Anda di halaman 1dari 44

9

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 UMUM

Dalam kaitannya dengan simulasi keruntuhan bendungan dan klasifikasi

hazard yang akan ditentukan, maka analisis terhadap beberapa hal berikut ini

harus menjadi perhatian, agar simulasi yang dilakukan nantinya benar-benar

mendekati keadaan yang sesungguhnya apaibila benar-benar terjadi keruntuhan

Bendungan Mamak dan Bendungan Batu Bulan.

1. Analisis hidrologi DTA Mamak dan DTA Batu Bulan.

2. Analisis terhadap sistim pengaliran yang terkait dengan DTA di wilayah hilir

Waduk Mamak dan Batu Bulan.

3. Analisis terhadap volume dan luas tampungan Waduk Mamak dan Waduk Batu

Bulan.

4. Analisis Keruntuhan Bendungan.

2.2 ANALISIS HIDROLOGI

2.2.1 Analisis Curah Hujan

2.2.1.1 Uji Konsistensi Data Hujan

Jika data hujan tidak konsisten karena perubahan atau gangguan lingkungan

di sekitar tempat penakar hujan dipasang, misalnya penakar hujan terlindung oleh

pohon, terletak berdekatan dengan gedung tinggi, perubahan cara penakaran dan

pencatatan, pemindahan letak penakar dan sebagainya, memungkinkan terjadi

penyimpangan terhadap trend semula (CD. Soemarto, 1995:14). Hal tersebut

dapat diselidiki dengan menggunakan lengkung masa ganda (Double Mass Curve)

seperti gambar di bawah ini.


10

Gambar 2. 1 Lengkung Masa Ganda (Double Mass Curve)

Apabila terjadi penyimpangan (ABC), maka dapat dikoreksi menjadi garis

ABC dengan menggunakan rumus sebagai berikut (CD. Soemarto, 1995:14) :

1
H z (Tg .Tg 0 ).H 0

dimana :

Hz = Data hujan terkoreksi (mm)

H0 = Data hujan pengamatan (mm)

Tg = Kemiringan garis sebelum penyimpangan

Tgo = Kemiringan garis setelah penyimpangan

2.2.1.2 Curah Hujan Rerata Daerah (Areal Rainfall)

Ada beberapa cara untuk menentukan curah hujan rerata daerah aliran

sungai, yaitu :

1. Cara tinggi rata-rata Aljabar

2. Cara Poligon Thiessen

3. Cara Isohyet
11

Cara Rata-rata Aljabar

Merupakan metode yang paling sederhana dalam perhitungan hujan kawasan.

Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa semua penakar hujan mempunyai

pengaruh yang setara. Cara ini cocok untuk kawasan dengan topografi rata atau datar,

alat penakar tersebut merata/hampir merata, dan harga individual curah hujan tidak

terlalu jauh dari harga rata-ratanya. Hujan kawasan diperoeh dari persamaan (Suripin,

2004:27). :

P P2 P3 ..... Pn P i
P 1 i 1
n n

dimana P1, P2, ., Pn adalah curah hujan yang tercatat di pos penakar ke-i.

Cara Poligon Thiesen


P.2
Batas DTA

P.1
A2

A4 A3
A1
P.3
P.4

Gambar 2. 2 Curah Hujan Rerata Cara Poligon Thiesen

Cara ini didasarkan atas cara rata-rata timbang (weight average). Masing-masing

penakar hujan mempunyai daerah pengaruh yang dibentuk dengan

menggambarkan garis-garis sumbu tegak lurus terhadap garis penghubung antara

2 (dua) pos penakar (Suripin, 2004:27).

Misalkan A1 adalah luas daerah pengaruh pos 1, A2 adalah luas daerah pengaruh

pos 2 dan An adalah luas daerah pengaruh untuk pos n, maka jumlah A 1+A2+
12

.An = A adalah merupakan jumlah luas seluruh areal yang dicari tinggi curah

hujannya. Jika pos penakar 1 menakar hinggi hujan d1, pos 2 menakar tinggi

hujan d2 dan pos n menakar tinggi hujan dn, maka :

A1 d 1 A2 d 2 .........An d n n
Ad
d i i
A 1 A
A1
jika : p1 yang merupakan prosentase luas,
A
n
d p1d1
maka : 1

dengan :

A = Luas areal

d = Tinggi curah hujan rata-rata areal

d1,d2,d3,dn = Tinggi curah hujan pos 1,2,3,n.

A1,A2,A3,An = Luas daerah pengaruh pos 1,2,3,n.

p 1
1 = Jumlah prosentase luas = 100 %.

Cara Isohyet

Metode ini merupakan metode yang paling akurat untuk menentukan hujan rata-rata,

namun diperlukan keahlian dan pengalaman. Cara ini memperhitungkan secara

aktual pengaruh tiap-tiap pos penakar hujan. Dengan kata lain asumsi metode

Thiessen yang secara membabi buta menganggap bahwa tiap-tiap pos penakar

hujan mencatat kedalaman yang sama untuk daerah sekitarnya dapat dikoreksi.

Metode ini terdiri dari beberapa langkah sebagai berikut :

Plot data kedalaman air hujan untuk tiap pos penakar hujan pada peta.
13

Gambar kontur kedalaman air hujan dengan menghubungkan titik yang

mempunyai kedalaman air yang sama. Interval Isohyet yang umum dipakai

adalah 10 mm.
Hitung luas area antara dua garis Isohyet dengan menggunakan planimeter.

Kalikan masing-masing luas areal dengan rata-rata hujan antara dua Isohyet

yang berdekatan.

Hitung hujan rata-rata DAS dengan persamaan berikut :

P P P P3 P P
A1 1 2 A2 2 .... An 1 n 1 n
2 2 2
P
A1 A2 .... An 1
Atau
P1 P2
A 2

P
A
Metode Isohyet cocok untuk daerah berbukit dan tidak teratur dengan luas lebih dari

5.000 km2 , (Soemarto, 1999).

P.2
110 Batas DTA
100
90
P.1 80
70 A5
60
50
A3 A4
A2
95
A1 80
P.3
P.4

Gambar 2. 3 Curah Hujan Rerata Cara Isohyet

2.2.1.3 Analisis Curah Hujan Rancangan

Curah hujan rancangan adalah curah hujan tahunan dengan suatu

kemungkinan terjadi yang tertentu, atau hujan dengan suatu kemungkinan periode

ulang tertentu. Metode analisis hujan tersebut pemilihannya sangat tergantung dari
14

kesesuaian parameter statistik dari data yang bersangkutan atau dipilih

berdasarkan petimbangan-pertimbangan teknis lainnya. Dalam studi ini untuk

menentukan besar curah hujan rancangan digunakan metode analisis frekuensi

Log Pearson Type III, Log Normal (Iwai Kedoya) dan distribusi Gumbel.

a. Distribusi Log Pearson Type III

Tahapan untuk menghitung curah hujan rancangan dengan menggunakan metode

ini adalah sebagai berikut (Soemarto, 1999) :

1. Ubahlah data hujan tahunan sebanyak n buah X1,X2,X3,Xn menjadi Log X1,

Log X2, Log X3,,Log Xn.

2. Hitung nilai tengahnya dengan rumus :


LogX i
LogX i 1

3. Hitung nilai standar deviasinya dengan rumus :

( LogX i LogX ) 2
S1 i 1

n 1

4. Hitung koefisien kepencengan dengan rumus :

n
n ( LogX i LogX ) 3
Cs i 1
3
(n 1)(n 2).S1

5. Hitung logaritma debit dengan waktu balik yang dikehendaki dengan rumus

sebagai berikut :

LogX i LogX G.S

Dengan harga G merupakan koefisien faktor frakuensi (diperoleh berdasarkan

Cs dan tingkat probabilitasnya).

6. Cari antilog dari Log Q untuk mendapatkan debit banjir dengan waktu balik

yang dikehendaki QT.


15

Dimana :

Log Xt = Logaritma debit banjir rancangan dengan kala ulang 1

tahun (m3/det)

LogX = Logaritma debit rata-rata (m3/det)

S = Standar deviasi data

Cs = Koefisien kepencengan

G = Faktor frekuensi

N = Banyaknya tahun pengamatan

Dari nilai-nilai tersebut logaritma hujan atau banjir dengan periode ulang T dapat

dihitung dengan rumus :

log X T log X K s

Di mana K adalah variabel standar (standardized variable) untuk X yang

besarnya tergantung koefisien kemencengan G, yang nilainya dapat dilihat pada

tabel berikut :

Tabel 2. 1 Nilai K untuk distribusi Log-Person III

b. Distribusi Log Normal (Iwai Kedoya)


16

Tahapan perhitungan curah hujan rancangan dengan cara Iwai Kedoya adalah

sebagai berikut di bawah ini (Sosrodarsono, 1980) :

YT Y K T S

YT Y
KT
S

Di mana :

YT = Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T-tahunan,

Y = Nilai rata-rata hitung variat,

S = Deviasi standar nilai variat,

KT = Faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau periode ulang dan tipe

model matematik distribusi peluang yang digunakan untuk analisis peluang.

c. Distribusi Gumbel

YTr Yn
X Tr X KS K
Sn

YTr Yn YS Y S
X Tr X S X n Tr
Sn Sn Sn

1 S Yn S
atau X Tr b YTr a n dan b X
a S Sn

Di mana :

Yn = reduce mean yang tergantung jumlah sampel/data n,

Sn = reduce standard deviation yang juga tergantung pada jumlah sampel/data n,

YTr = reduce variate yang dapat dihitung dengan rumus berikut :

T 1
YTr ln ln r
Tr

Nilai Yn dan Sn serta YTr dapat dilihat pada tabel-tabel berikut :


17

Tabel 2. 2 Reduce Mean Yn

Tabel 2. 3 Reduce Standard Deviation Sn

Tabel 2. 4 Reduce Variate YTr

2.2.1.4 Uji Kesesuaian Distribusi

Untuk menguji kecocokan (the goodness of fittest test) distribusi frekuensi

sampel data terhadap fungsi distribusi peluang yang diperkirakan dapat

menggambarkan atau mewakili distribusi frekuensi diperlukan penguji parameter.

Dalam hal ini pengujian parameter yang sering dipakai adalah chi-kuadrat dan

Smirnov-Kolmogorov, dengan uraian sebagai berikut.

1. Data curah hujan maksimum tiap tahun diurutkan dari besar ke kecil.

2. Hitung probabilitasnya dengan menggunakan rumus Weilbull (Subarkah,

1980:28) sebagai berikut :


18

m
p x100%
( n 1)

dengan :

p = Probabilitas (%)

m = Nomor urut data seri yang telah diurutkan

n = Jumlah data

3. Plotting data hujan (Xi) dengan probabilitas (P)

a. Uji Smirnov-Kolmogorov

Rumus :

Dmax P( x ) P ' ( x )

Syarat : Dmax D0 distribusi bisa diterapkan untuk semua data

yang ada.

dengan :

Dmax = Selisih antara peluang teoritis dan empiris

P(x) = Peluang pengamatan

P(x) = Peluang teoritis

D0 = Simpangan Kritis

b. Uji Chi Square

Rumus :

G
(Oi Ei ) 2
( xh 2 )
i 1 Ei

G = 1+3,22 . Log n

Dk = G-(P+1)

dengan :

Xh2 = Parameter Chi Quadrat terhitung

Oi = Jml nilai pengamatan pd sub kelompok ke i


19

Ei = Jumlah nilai teoritis pada sub kelompok ke i

G = Jumlah sub kelompok

n = Banyaknya data

Dk = Derajad kebebasan

P = Banyaknya parameter sebaran Chi Square

2.2.1.5 Distribusi Hujan

Untuk mentransformasikan curah hujan rancangan menjadi debit banjir

rancangan diperlukan curah hujan jam-jaman. Pada umumnya data hujan yang

tersedia pada stasiun meteorologi adalah data hujan harian. Namun demikian jika

tersedia data hujan otomatis (automatic rainfall recorder), maka pola distribusi

hujan jam-jaman dapat dibuat dengan menggunakan metode mass curve untuk

tiap kejadian hujan lebat dengan mengabaikan waktu (Suripin, 2004:27).

Untuk studi ini akan digunakan metode Mononobe dengan rumus sebagai

berikut:

R24 t
Rt ( ) x( ) 2 / 3
t T
dengan :

Rt = Intensitas hujan rata-rata dalam T jam (mm/jam)

R24 = Curah hujan efektif dalam satu hari (mm)

t = Waktu mulai hujan

T = Waktu konsentrasi hujan


20

2.2.1.6 Koefisien Pengaliran

Koefisien pengaliran adalah suatu variabel yang didasarkan pada kondisi

daerah pengaliran dan karakteristik hujan yang jatuh di daerah tersebut. Adapun

kondisi dan karakteristik yang dimaksud adalah (Suripin, 2004:27):

1. Keadaan hujan

2. Luas dan daerah aliran

3. Kemiringan daerah aliran dan kemiringan dasar sungai

4. Daya infiltrasi dan perkolasi tanah

5. Kelembaban tanah

6. Suhu udara, angin dan evaporasi

7. Tata guna lahan

Angka koefisien pengaliran untuk berbagai kondisi DTA seperti ditunjukkan

pada tabel di bawah ini.

Tabel 2. 5 Angka Koefisien Pengaliran untuk Berbagai Kondisi DTA


No Kondisi DPS Koef. Pengaliran
1Pegunungan 0.75-0.90
2Pegunungan tersier 0.70-0.80
3Tanah ber-relief berat dan berhutan kayu 0.50-0.75
4Daratan pertanian 0.45-0.60
5Dataran sawah irigasi 0.70-0.80
6Sungai di pegunungan 0.75-0.85
7Sungai di dataran rendah 0.45-0.75
8Sungai besar yang sebagian alirannya berada di 0.50-0.75
dataran rendah
Sumber : Sosrodarsono, 1980 : 145

Koefisien pengaliran yang tertera pada tabel di atas telah didasarkan pada

pertimbangan bahwa koefisien itu terutama tergantung dari faktor-faktor fisik DTA.

Dr. Kawagami mengemukakan bahwa untuk sungai tertentu, koefisien itu tidak
21

tetap, tetapi berbeda-beda tergantung dari curah hujan. Persamaannya adalah

sebagai berikut :

R'
f 1 1 f '
Rt

dimana :

f = Koefisien pengaliran


f = Laju kehilangan = s
Rt

Rt = Jumlah curah hujan (mm)

R' = Kehilangan curah hujan (mm)

,s = Tetapan


f 1 f 1 s
Rt

R24 34,70
rt 1,35
24 t 1,50

R24 30
rt
24 t 6

dimana :

rt = Intensitas curah hujan rata-rata selama t jam

t = Lama curah hujan atau waktu tiba dari banjir (jam)

R24 = Curah hujan harian, yakni curah hujan 24 jam (mm)

2.2.1.7 Hujan Netto

Hujan netto adalah bagian total yang menghasilkan limpasan langsung

(direct run-off). Limpasan langsung ini terdiri dari limpasan permukaan (surface

run-off) dan aliran yang masuk ke dalam lapisan tipis di bawah permukaan tanah

dengan permeabilitas rendah, yang keluar lagi ke tempat yang lebih rendah dan
22

berubah menjadi limpasan permukaan (interflow) (Suripin, 2004:27). Dengan

menganggap bahwa proses transformasi hujan menjadi limpasan langsung

mengikuti proses linier dan tidak berubah oleh waktu, maka hujan netto (Rn) dapat

dinyatakan sebagai berikut (Subarkah, 1980:85) :

Rn = CxR

dengan :

Rn = Hujan netto (mm)

C = Koefisien limpasan

R = Intensitas curah hujan (mm)

2.2.1.8 Hujan Rancangan Maksimum Boleh Jadi (PMP)

Hujan Rancangan Maksimum Boleh Jadi PMP (Probable Maximum

Precipatation) dihitung dengan metode Hersfield, dimana merupakan debit

rancangan terbesar yang diperkirakan berpeluang sekali terjadi sepanjang

eksistensi umur waduk. Sebagai pembanding akan dihitung pula dengan Metode

Isohyet.

Dimana untuk perhitungan banjir tersebut diambil asumsi-asumsi sebagai

berikut:

1. Hujan efektif diperhitungkan terhadap beberapa faktor yaitu faktor reduksi

area, faktor reduksi hujan dan besarnya faktor kehilangan.

2. Debit banjir dihitung dengan menggunakan data hujan (stasiun penakar hujan

di dalam dan di sekitar DTA Bendungan Mamak dan Batu Bulan.

3. Dari hasil perhitungan dari kedua metode tersebut di atas yang akan dipakai

sebagai dasar perhitungan Analisis Keruntuhan Bendungan adalah yang

terbesar. Hal tersebut sesuai dengan Pedoman Perencanaan Bendungan,

PSA-007 Ditjen SDA, Kementerian Pekerjaan Umum.


23

X X K. S
PMP

dimana :

XPMP = hujan banjir maximum boleh jadi

X = nilai rata-rata hujan / banjir

K = faktor koefisien Hersfield

S = standard deviasi

2.2.2 Analisis Debit Banjir Rancangan

Hidrograf merupakan gambaran integral dari karakteristik fisiografis dan

klimatis yang mengendalikan hubungan antara curah hujan dan pengaliran dari

suatu daerah pengaliran tertentu (Subarkah, 1978 : 67). Sedangkan menurut Sri

Harto (1993: 144), hidrograf dapat disebut sebagai penyajian grafis antara salah

satu unsur aliran dengan waktu. Hidrograf menunjukkan tanggapan menyeluruh

DPS terhadap masukan hujan dengan intensitas, lama, dan distribusi tertentu

(Subramanya, 1989: 159).

Hidrograf terdiri dari tiga bagian yakni lengkung konsentrasi, bagian puncak

dan lengkung resesi (Subarkah, 1978 : 68). Debit puncak merupakan salah satu

bagian terpenting hidrograf. Debit puncak terjadi ketika limpasan dari berbagai

bagian dari DPS bersama-sama menyumbangkan jumlah maksimum aliran di

outlet DPS. Untuk DPS yang besar, debit puncak terjadi setelah terhentinya hujan,

jarak waktu dari pusat massa hujan ke puncak sangat dipengaruhi oleh DPS dan

karakteristik hujan (Subramanya, 1989: 159).

2.2.2.1 Hidrograf Satuan Sintetis Nakayasu

Dr. Nakayasu dari Jepang telah menyelidiki hidrograf satuan pada beberapa

sungai di Jepang. Ia membuat rumus satuan sintetis dari hasil penyelidikannya.

Rumus yang dihasilkannya adalah sebagai berikut (CD. Soemarto, 1995: 100) :
24

1 Ro
Qp
36
*A*
0.3 * Tp T0.3
dimana :

Qp = debit puncak banjir (m3/det/mm)

A = luas daerah pengaliran (km2)

Ro = curah hujan satuan (mm)

Tp = tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir (jam)

T0.3 = waktu yang diperlukan pada penurunan debit puncak sampai ke debit

sebesar 30 % dari puncak (jam)

dengan :

Tp = tg + 0,8 tr

Tg = 0,21 L0,7 , untuk L < 15 km

Tg = 0,4 + 0,058 L, untuk L > 15 km

Tr = 0,5 tg sampai tg

T0, 3 .t g

Sedangkan persamaan hidrograf satuannya adalah sebagai berikut (CD.


Soemarto, 1995: 100):

a. Untuk kurva naik (rising line) 0 < t < Tp


2.4
t
Q 0 Qp *
Tp
b. Pada kurva turun (recession line)

Tp < t < (Tp + T0.3)


t Tp

T0.3
Q1 Qp * 0.30

(Tp + T0.3) < t < (Tp + T0.3 + 1.5 T0.3)


t Tp 0.5*T0.3

1.5*T0.3
Q 2 Qp * 0.3

t > (Tp + T0.3 + 1.5 T0.3)


25

t Tp 1.5*T0.3

2*T0.3
Q3 Qp * 0.30

dengan :

L = panjang alur sungai (km)


Tg = waktu konsentrasi (jam)
Qa = limpasan sebelum mencapai debit puncak (m3/det/mm)
T = waktu (jam)
tr = Satuan Waktu hujan (jam)
= Parameter hidrograf, untuk
=2 => Pada daerah pengaliran biasa
=1,5 => Pada bagian naik hydrograf lambat, dan turun
cepat
=3 => Pada bagian naik hydrograf cepat, turun lambat
Dengan dihitungnya hidrograf satuan, maka hidrograf banjir untuk berbagai

kala ulang dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut (CD. Soemarto,

1995: 100):

Qk U 1 .Ri U 2 .Ri 1 U 3 .Ri 2 ... U n .Ri n1 Bf

dengan :

Qk = Ordinat hidrograf banjir pada jam ke k


Un = Ordinat hidrograf satuan
Ri = Hujan Netto pada jam ke i
Bf = Aliran dasar (Base Flow)

i tr

t
0.8 tr tg
O

lengkung naik lengkung turun

Qp
2
0.3 Qp
0.3 Q

Tp To.3 1.5 To.3

Gambar 2. 4 Sketsa HSS Nakayasu


26

2.2.2.2 Hidrograf Satuan Sintetis Snyder

Di dalam HSS Snyder terdapat tiga parameter hidrograf yaitu : lebar dasar

hidrograf, debit puncak dan kelambatan DAS (basin lag).

Snyder beranggapan bahwa karakteristik DAS yang mempunyai pengaruh

kuat terhadap hidrograf satuan sintetik adalah luas DAS, bentuk DAS, topografi,

kemiringan saluran, kerapatan sungai dan daya tampung saluran. Rumus-rumus

yang dipakai adalah

1. Keterlambatan DAS (basin lag) (CD. Soemarto, 1995: 100)

t p 5,5t r

t p C1Ct LLc
0,3

dimana :

tp = keterlambatan DAS (jam),

L = panjang sungai utama dari outlet ke batas hulu (km),

Lc = jarak antara outlet ke titik pada sungai yang terdekat dengan titik
pusat (centriod) DTA

C1 = 0,75 (C1 = untuk sistem Inggris)

Ct = koefisien yang diturunkan dari DAS yang memiliki data pada daerah
yang sama,

tr = durasi hujan.

2. Debit puncak per satuan luas dari hidrograf satuan standar

C2C p
3. qp
tp

Di mana

C2 = 2,75 (640 untuk sistem Inggris)

Cp = koefisien yang diturunkan dari DAS yang memiliki data pada daerah yang
sama.
27

Gambar 2. 5 Sketsa HSS Snyder

2.2.2.3 Hidrograf Satuan Sintetis Gamma I

Metode ini dikembangkan oleh DR. Ir. Sri Harto, berdasarkan penelitian 30

DPS di pulau Jawa. Satuan hidrograf sintetik Gama I dibentuk oleh tiga komponen

dasar yaitu waktu naik (TR), debit puncak (Qp), waktu dasar (TB), dengan uraian

sebagai berikut :

1. Waktu naik (TR) dinyatakan dengan rumus (CD. Soemarto, 1995: 100):

3
L
TR 0,43 1,0665 SIM 1,2775
100SF
Di mana :

TR= Waktu naik (jam)

L = Panjang sungai (km)

SF = Faktor sumber yaitu perbandingan antara jumlah panjang sungai

tingkat I dengan jumlah panjang sungai semua tingkat.

SIM = Faktor simetri ditetapkan sebagai hasil kali antara factor lebar (WF)

dengan luas relatif DAS sebelah hulu ( RUA )


28

WF = Faktor lebar adalah perbandingan antara lebar DPS yang diukur

dari titik di sungai yang berjarak 3/4 L dan lebar DPS yang diukur

dari titik yang berjarak 1/4 L dari tempat pengukuran (lihat gambar).

2. Debit puncak (Qp) dinyatakan dengan rumus (CD. Soemarto, 1995: 100):

Qp 0,1836. A 0, 5886 .JN 0, 2381 .TR 0, 4008

di mana :

Qp = Debit puncak (m3/dt)

JN = Jumlah pertemuan sungai

TR = Waktu naik

3. Waktu dasar (TB) dinyatakan dengan rumus :

TB 27,4132.TR 0,1457 .S 0, 0986 .SN 0, 7344 .RUA0, 2574

di mana :

TB = Waktu dasar (jam)

TR = Waktu naik (jam)

S = Kelandaian sungai rata-rata

SN = Frekuensi sumber yaitu perbandingan antara jumlah segmen

sungai-sungai tingkat I dengan jumlah sungai semua tingkat.

RUA = Luas DPS sebelah hulu (km) (lihat gambar).

Beberapa parameter penting dalam perhitungan HSS Gama 1 adalah

sebagai berikut ini (CD. Soemarto, 1995: 100):

1. Faktor-sumber, (SF) yaitu perbandingan antara jumlah panjang sungai-sungai

tingkat satu dengan jumlah panjang sungai-sungai semua tingkat.


29

2. Frekuensi-sumber, (SN) yaitu perbandingan antara jumlah pangsa sungai-

sungai tingkat satu dengan jumlah pangsa sungai-sungai semua tingkat.

3. Faktor-lebar, (WF) yaitu perbandingan antara lebar DAS yang diukur dititik di

sungai yang berjarak 0,75 L dengan lebar DAS yang diukur dititik di sungai

yang berjarak 0,25 L dari stasiun hidrometri.

4. Luas DAS sebelah hulu , (RUA) yaitu perbandingan luas DAS yang diukur di

hulu garis yang ditarik tegak lurus garis hubung antara stasiun hidrometri

dengan titik yang paling dekat dengan titik berat DAS, melewati titik tersebut.

5. Faktor simetri, (SIM) yaitu hasil kali antara faktor lebar (WF) dengan luas DAS

sebelah hulu (RUA) .

6. Jumlah pertemuan sungai, (JM) adalah jumlah semua pertemuan sungai

didalam DAS tersebut. Jumlah ini tidak lain adalah jumlah pangsa sungai

tingkat satu dikurangi satu.

7. Kerapatan-jaringan-kuras, (D) yaitu jumlah panjang sungai semua tingkat tiap

satuan luas DAS.

Penetapan tingkat-tingkat sungai dilakukan dengan cara Strahler (1964)

yang pada dasarnya sebagai berikut (Subramanya, 1989: 159):

1. Sungai-sungai paling ujung adalah sungai-sungai tingkat satu.

2. Apabila dua buah sungai dengan tingkat yang sama bertemu akan terbentuk

sungai satu tingkat lebih tinggi.

3. Apabila sebuah sungai dengan suatu tingkat bertemu dengan sungai lain

dengan tingkat yang lebih rendah maka tingkat sungai yang pertama tidak

berubah.
30

Penetapan parameter-parameter yang disebutkan diatas dapat dilakukan

dengan mudah, namun memerlukan kesabaran dan peta yang digunakan dengan

skala 1: 50.000. Untuk itu pengukuran dianjurkan paling tidak dilakukan

pengulangan sebanyak tiga kali, untuk memperoleh pengukuran yang lebih baik.

Gambar 2. 6 Sketsa HSS Gamma I


Dalam pemakaian cara ini masih ada hal-hal lain yang perlu diperhatikan,

diantaranya sebagai berikut :

1. Koefisien tampungan dipergunakan untuk menetapkan liku-resesi hidrograf-

satuan yang pada dasarnya dapat didekati dengan persamaan eksponensial

(Van Dam, 1979). Koefisien Tampung, K dirumuskan sebagai berikut :

K = 0,5617 x A0,1798 x D0,0452 / S0,1446 / SF1,0897

dengan :

SF = faktor sumber

A = luas DAS (km2)

S = landai sungai rerata

K = koefisien tampung (jam)

D = kerapatan jaringan kuras


31

2. Sisi naik hidrograf satuan mengikuti persamaan garis lurus, sedangkan sisi

resesi merupakan eksponensial dengan persamaan sebagai berikut:

1
( )
Qt = Qp .
e K

3. Dalam menetapkan hujan rata-rata DAS, masih perlu mengikuti cara-cara

yang ada. Akan tetapi, apabila dalam praktek analisis tersebut sulit, maka

dapat disarankan untuk menggunakan cara yang disebutkan berikut ini,

dengan mengalikan hujan titik dengan faktor reduksi hujan, sebesar (CD.

Soemarto, 1995: 100):

B = 1,5518 A0,1491 N0,2725 SIM0,0259 S0,0733

4. Penetapan Hujan efektif untuk memperoleh hidrograf

dilakukan dengan menggunakan indeks-infiltrasi atau metode indeks.

Untuk memperoleh indeks ini agak sulit. Untuk ini, dipergunakan pendekatan

dengan mengikuti petunjuk Barnes (1959). Perkiraan dilakukan dengan

mempertimbangkan pengaruh parameter DAS yang secara hidrolik dapat

diketahui pengaruhnya terhadap indeks infiltrasi. Persamaan pendekatannya

dipengaruhi fungsi luas DPS dan frekuensi sumber SN., dirumuskan sebagai

berikut (CD. Soemarto, 1995: 100):


= 10,4903 3,859 . 10-6 . A2 = 1,6985 . 10-13 . (A/SN)4
dimana :

= indeks infiltrasi, dalam mm/jam

A = luas DPS dalam km2

SN = frekuensi sumber, tidak berdimensi

5. Untuk memperkirakan aliran-dasar dipergunakan

persamaan pendekatan berikut ini. Persamaan ini merupakan pendekatan

untuk aliran dasar yang tetap, dengan memperhatikan pendekatan

Kraijenhoff van der Leur (1967) tentang hidrograf air laut.


32

Aliran Dasar dapat didekati sebagai fungsi luas DPS dan kerapatan jaringan

sungai yang dirumuskan sebagai berikut (CD. Soemarto, 1995: 100):

QB = 0,4751 . A0,6444A D0,9430


Dimana :

QB = aliran dasar (m3/dt)

A = luas DPS (km2)

D = kerapatan jaringan sungai (km/km2)

Gambar 2. 7 Sketsa Penetapan WF dan RUA

2.3 ANALISIS TAMPUNGAN WADUK

Disamping sebagai salah satu input yang diperlukan di dalam simulasi

keruntuhan bendungan, analisa terhadap lengkung kapasitas waduk ditujukan

untuk keperluan penelusuran banjir (hidrograf PMF atau debit dengan kala ulang

tertentu) melalui waduk dan spillway (reservoir flood routing).

Routing Waduk digunakan untuk mengetahui apakah dengan debit

rancangan PMF, waduk akan mengalami overtopping atau tidak. Jika tidak, maka

analisis terhadap keruntuhan bendungan lazimnya disimulasikan hanya

disebabkan oleh piping, kecuali terdapat pertimbangan lain.

Metode perhitungan routing yang digunakan adalah berdasarkan

persamaan:

Sj+1 Sj = ((Ij + Ij+1) t ((Qj + Qj+1)/2)t


33

Dimana :

S = fungsi tampungan

Q = hidrograf outflow

I = hidrograf inflow

t = interval durasi

Q = C L H 3/2

Dimana:

Q = debit desain (m3/dt)

C = koefisien debit antara 1,8 2.7

L = panjang mercu spillway

H = kedalaman muka air (m)

2.4 ANALISIS KERUNTUHAN BENDUNGAN (DENGAN BANTUAN


PERANGKAT LUNAK ZHONG XING HY21)

Setelah dilakukan analisis inflow hidrograf ke waduk berdasarkan hujan PMP

sehingga menghasilkan hidrograf PMF, maka dapat dievaluasi apakah banjir

tesebut mengakibatkan overtopping pada puncak bendungan atau tidak. Apabila

tidak terjadi Overtopping, maka analisis terhadap keruntuhan bendungan

dilakukan terhadap Piping, atau simulasi keruntuhan akibat overtopping tetap

dapat dilakukan atas asumsi terjadinya landslide di sekitar waduk atau oleh akibat

lainnya seperti adanya sabotase dan lain-lain.

Selain itu deliniasi terhadap Peta DEM, khususnya di wilayah lembah di hilir

bendungan termasuk dimensi bangunan-bangunan air yang berada di sungai yang

perlu diperhitungkan juga harus dipersiapkan terlebih dahulu. Setelah data-data


34

tersebut di atas disiapkan, maka pekerjaan analisis untuk keruntuhan bendungan

dapat mulai dilaksanakan.

Software DBA digunakan untuk membuat hidrograf aliran keluar dari

bendungan dan merouting banjir yang terjadi secara hidrolis di sepanjang lembah

hilir serta menggambarkan peta genangan banjir yang terjadi secara otomatis.

Persamaan dasar yang digunakan dalam model simulasi adalah

persamaan St. Venant yang lengkap untuk aliran unsteady yang dikaitkan dengan

persamaan batas internal (internal boundary equations) sebagai aliran berubah

cepat (rapidly varied flow) lewat bangunan seperti bendung dan jembatan /

timbunan yang dapat berkembang menjadi rekahan yang tergantung pada waktu

(time dependent). Juga digunakan persamaan batas external (external boundary

equations) di ujung hulu dan hilir dari routing reach. Sistem persamaannya

diselesaikan dengan metode finite-difference implisit 4 titik timbang non-linier,

disamping itu untuk software DBA (ZhongXing-HY21) digunakan penyelesaian

cara finite element. Alirannya dapat berupa aliran subkritis maupun superkritis

atau berupa kombinasi dari keduanya. Sifat zat cair dari aliran dapat mengikuti

prinsip-prinsip aliran Newton atau bukan (Newtonian or non Newtonian flow).

Hidrograf ditentukan sebagai masukan berupa deret kala (time series).

Kemungkinan keberadaan bendungan di hilir yang dapat direkahkan oleh banjir,

penyempitan aliran karena adanya jembatan/timbunan, aliran masuk dari anak

sungai, adanya belokan-belokan sungai, tanggul yang terletak di sepanjang sungai

hilir, dan pengaruh pasang-surut muara ditinjau secara baik selama merambatnya

gelombang banjir ke hilir.

2.4.1 Rekahan

Sebelum bendungan mengalami keruntuhan total, didahului oleh terjadinya

rekahan (breaching). Rekahan adalah lubang yang terbentuk dalam tubuh


35

bendungan pada saat runtuh. Sebenarnya mekanisme keruntuhannya tidak begitu

dipahami, baik untuk bendungan urugan tanah maupun bendungan beton. Untuk

meramal banjir di daerah hilir akibat keruntuhan bendungan, biasanya dianggap

bahwa bendungan runtuh secara total dan secara mendadak (Users Manual Boss

Dambrk, 1991).

Para peneliti dari gelombang banjir akibat keruntuhan bendungan seperti

Ritter (1892), Schoklitich (1917), Dressler (1954), Stoker (1957) dan Barnes (1969)

menganggap bahwa rekahan tersebut meruntuhkan seluruh tubuh bendungan dan

terjadi secara mendadak. Sedangkan peneliti lain seperti Schoklitsch (1917) dan

US Army Corps of Engineers (1960) mengakui perlunya anggapan rekahan

sebagian, dibandingkan rekahan total, tetapi mereka masih menganggap bahwa

rekahan terjadi secara mendadak. Asumsi rekahan total dan kejut ini digunakan

dengan alasan untuk memudahkan bila diterapkan teknik matematika untuk

menganalisis gelombang banjir dari keruntuhan bendungan. Asumsi asumsi ini

agak cocok bila dipakai untuk bendungan beton pelengkung (concrete arch dam).

Sedangkan untuk bendungan urugan maupun concrete gravity dam kurang cocok.

Rekahan tersebut ada dua jenis, yaitu:

- Rekahan karena overtoping

- Rekahan karena piping

a. Rekahan Karena Overtoping

Rekahan karena overtoping disimulasikan berupa rekahan yang berbentuk

segi empat, segitiga atau trapesium (Users Manual Boss Dambrk, 1991).

Rekahan tersebut makin lama makin membesar dengan waktu secara progresif

dari puncak bendungan ke bawah sampai mencapai pondasi. Aliran yang melewati

rekahan diperhitungkan sebagai aliran melewati ambang lebar (broad crested

Bendung).
36

Bentuk dari terminal breach ditentukan oleh parameter (Z) yang

mengidentifikasikan lereng samping dari rekahan, yaitu lereng vertikal : Z

horisontal, dan parameter (b) yang disebut lebar terminal dari dasar rekahan.

Rentangan (range) dari nilai parameter lereng samping Z adalah : 0<Z<2.

Nilai ini tergantung dari lereng alam dari material yang dipadatkan dan dibasahi.

Bentuk-bentuk segipanjang, segitiga atau trapesium ditentukan dengan

menggunakan kombinasi nilai-nilai Z dan b.

Lebar terminal b dihubungkan dengan lebar rata-rata dari rekahan b,

kedalaman rekahan h dan lereng rekahan (Z), sedemikian rupa sehingga :

b = bbar - 0,5 Zhd ..........................(1)

Gambar 2. 8 Tampak depan dari formasi perubahan ukuran rekahan yang


terjadi pada tubuh dam akibat overtoping

Seperti terlihat pada gambar di atas, rekahan tersebut dimulai pada satu titik

kemudian membesar dengan kecepatan linier atau nonlinier dalam selang waktu

keruntuhan hingga tercapai lebar terminal b dan dasar rekahan tererosi hingga

elevasi h bm yang biasanya merupakan elevasi dasar waduk atau outlet channel.

Jika < 1 menit, lebar rekahan dimulai dengan nilai b bukan dari nol. Ini

lebih menunjukkan peristiwa kehancuran karena ambruk (collapse failure) dari

pada kehancuran karena erosi.


37

Elevasi dasar rekahan di simulasikan sebagai fungsi dari waktu ()

menurut hubungan berikut ini :

hb = hd - (hd - hbm) (tb / ) untuk 0 < tb < ................(2)

dimana :

hbm = elevasi final dari dasar rekahan

tb = waktu sejak mulai terjadi rekahan

= pangkat yang menunjukkan non linieritas yang besarnya antara

1 sampai 4

kalau = 1 adalah kecepatan rekahan linier

kalau = 2 adalah kecepatan rekahan nonlinier kuadratik.

biasanya digunakan = 1

Lebar dasar kejut (b) dari rekahan di berikan sebagai hubungan sebagai berikut :

bi = b (tb / ) untuk 0 < tb < .....................................(3)

bi= lebar kejut rekahan

Selama simulasi dari keruntuhan bendungan, formasi rekahan yang

sesungguhnya dimulai bila elevasi muka air (h) melebihi suatu nilai hf. Gambaran

ini memungkinkan adanya simulasi suatu pelimpahan (overtopping) dari suatu

bendungan dimana rekahannya tidak akan terbentuk sampai aliran airnya cukup

besar melewati mercu bendungan.


38

b. Rekahan Karena Piping

Keruntuhan bendungan akibat piping dapat disimulasikan dengan

menentukan elevasi sumbu dari pipingnya. Ini disimulasikan sebagai rekahan

lubang (orifice) berbentuk segipanjang (Users Manual Boss Dambrk, 1991).

hd

hf

hbm

tr

Gambar 2. 9 Tampak depan formasi perubahan ukuran rekahan yang terjadi


pada tubuh DAM akibat piping

Rekahan karena piping disimulasikan sebagai lubang (orifice), rekahan

berbentuk segiempat yang tumbuh dengan waktu keatas dan kebawah dalam

tubuh bendungan. Aliran kejut (instanteneous flow) lewat rekahan tersebut dihitung

dengan rumus orifice atau sebagai ambang lebar, tergantung pada posisi muka air

di waduk dan puncak dari orifice.

Debit yang keluar dari kedua macam rekahan tersebut merupakan hidrograf

banjir yang terjadi pada penampang melintang 0 (permulaan), yang harus ditelusur

ke hilir di sepanjang lembah sungai dengan metode Unsteady flow.

c. Pemeriksaan Parameter Rekahan

Cara lain untuk memeriksa kebenaran parameter rekahan (bbar dan )

adalah dengan menggunakan persamaan berikut ini :

Qp* = 370 ( Vr hd )0,5 ............................................. (4)


39

Qp = 3,1 bbar [C / +C/(hd)0,5]3 ........................... (5)

C = 23,4 As / bbar .............................................. (6)

dimana :

Qp* = debit puncak yang diharapkan lewat rekahan.

Qp = debit puncak yang diharapkan lewat rekahan.

Vr = volume waduk.

As = luas permukaan waduk pada puncak bendungan.

Persamaan (4) dikembangkan oleh Hagen (1962) untuk data historik bagi 14

keruntuhan bendungan dan menghasilkan lingkungan maksimum dari seluruh 14

buah debit yang diamati.

Rumus (5) dan (6) dibuat Fread (1981) dan digunakan oleh National

Weather Service dalam Simplified Dam Break Model, SMP DBK (Wetmore dan

Fread, 1984).

Setelah dipilih bbar dan , persamaan (5) dapat dipakai untuk menghitung

Qp yang kemudian dapat dibandingkan dengan Qp*, maka bbar kecil dan/atau

terlalu besar.

Fread menemukan bahwa Persamaan (6) merupakan over estimasi debit

puncak untuk tiap kegagalan dari 21 bendungan, (termasuk 14 kegagalan yang

disebutkan sebelumnya, rata-rata 130%.

2.4.2 Algoritma Komputasi Hidrolik

Untuk penelusuran gelombang banjir akibat keruntuhan bendungan

digunakan metode yang dikenal sebagai metode gelombang dinamik. Metode ini

didasarkan atas aliran tidak permanen yang digunakan untuk menelusur hidrograf

banjir akibat keruntuhan bendungan. Metode ini didasarkan atas versi yang
40

diperluas dari persamaan-persamaan aslinya yang dibuat oleh Barre de Saint-

Venant (1871). Koefisien satu-satunya yang harus diekstrapolasikan adalah

koefisien tahanan aliran.

Koefisien tersebut bukanlah parameter sensitif dalam mempengaruhi

perubahan dari gelombang banjir akibat perambatannya melewati lembah di hilir

bendungan.

Persamaan Saint de Venant setelah ditambah dengan efek

pelebaran/penyempitan, channel sinuosity (perbandingan panjang palung

terhadap panjang flood plain) dan kekekalan massa menjadi sebagai berikut :

Q s
( A A0 ) q 0
x t

dan kekekalan momentum sebagai berikut :

h
( sQ ) (Q 2 ) g A S f Se Si L' 0
t x x

Dimana :

h = elevasi muka air

A = penampang melintang aktif dari aliran

Ao = penampang aliran tidak aktif dari aliran (off cannal)

s = faktor sinuosity yang beragam dengan h

x = jarak memanjang menurut lembah

t = waktu

q = aliran masuk atau aliran keluar samping per jarak panjang menurut

sepanjang lembah (aliran masuk positif dan aliran keluar negatif)

= koefisien momentum untuk distribusi kecepatan


41

g = percepatan gravitasi

Sf = lereng gesekan batas

Se = lereng pelebaran-penyempitan

Dalam persamaan momentum, efek dari aliran samping yang masuk atau

keluar secara tegak lurus terhadap arah aliran pokok:

1. Aliran masuk samping :

L = 0

2. Aliran keluar rembesan samping :

L = 0,5qQ/A

3. Bulk lateral outflow

L = qQ/A

Lereng gesekan batas (Sf) dalam persamaan (8) dihitung dari persamaan

Manning untuk aliran uniform dan persamaan :

Sf = (n2 Q Q) / (2.21A2R4/3) = Q Q/K2

dimana :

n = koefisien manning untuk tahanan gesekan

R = radius hidrolika

K = faktor conveyance (angkut)

Faktor conveyance K dihitung sebagai berikut :

Kl = (1.49 / nl)Al Rl^(2/3)

Kc = (1,49 Ac Rc 2/3) (nc(2/3)

Kr = (1,49 / nr) Ar Rr 2/3


42

K = Kl + Kc + Kr

dalam mana indeks l dan r menunjukkan flood plain kiri channel dan flood plain

kanan. Faktor sinuositys merupakan perbandingan bobot (weighted ratio) dari

jarak sepanjang flood plain. Ini beragam dengan kedalaman aliran menurut

hubungan berikut ini :

1.06 (K l2 / A l K 2 2
c / A c K r / Ar )
=
(K l K c K r )2 / (A l A c A r )

= 1.06 bila karakteristik flood plain tidak ditentukan dan penampang


totalnya diperlakukan sebagai penampang komposit.

Suku Se ditentukan sebagai berikut :

Se = (kce (Q/A)2 / 2g x)

kce = koefisien pengembangan penyusutan yang bergerak dari

0 1 (+ jika penyusutan dan - kalau pengembangan)

(Q/A)2 = perbedaan dalam suku (Q/A)2 pada dua buah penampang


yang berdekatan berjarak x.

Diberlakuan ketentuan dalam DAMBRK untuk mengubah (secara otomatis)

kontraksi terhadap koefisien perluasan dan sebaliknya, jika perubahan arah aliran

dari hilir ke hulu di kasus mana nilai yang dihitung, negatif. Koefisien

perluasan/kontraksi (Kce) sementara diubah ke kn untuk aliran kebalikannya

dengan menggunakan hubungan sebagai berikut:

Kn = - Kce
Dimana :

=3 jika Kce > 0

1
= jika Kce > 0
3
43

2.4.3 Teknik Pemecahan Persamaan St. Venant

MODEL MATEMATIS

Model mathematis persamaan Saint de Venant untuk aliran unsteady flow

pada saluran terbuka adalah sebagai berikut :

Persamaan kekekalan massa

Q
A
0
x t

.................................................................(1)

Persamaan kekekalan momentum

Q
(
Q 2
) g A
y
gA
Q2

t x A x K 2

...................................................(2)

dimana : y = elevasi muka air

A = penampang melintang aktif dari aliran

Q = debit aliran

x = jarak memanjang menurut lembah

t = waktu

= koefisien momentum untuk distribusi kecepatan

g = percepatan gravitasi

K = Conveyance (daya angkut sungai/saluran)

2
A 3
K = R ...................................................................(3)
n

n = koefisien kekasaran Manning

R = jari-jari hidrolis

Persamaan (1) dapat dirubah menjadi :


44

A A y y
Jika t y . t W ......................................................
t

.....(4)

Maka persamaan kekekalan massa menjadi :

Q W
y
0 ...........................................................
x t

.........................(5)

dimana : W = lebar sungai/saluran bagian atas

Persamaan (2) dapat dirubah menjadi :

Q A
2 QA Q 2
Jika Q 2 x x 2 Q Q Q A ......
2
( )
x A A2 A x A 2 x
..............(6)

Maka persamaan kekekalan momentum menjadi :

Q 2 Q Q Q 2 A y Q2
g A
x gA
t A x A2 x K 2

...........................(7)

METODE BEDA HINGGA (FINITE DIFFERENCE)


Known Q, y
t = waktu 1/2 1/2 Unknown Q,y

N+1 Faktor pembobot



t
1 0 1
N

J J+1 (X = Jarak)
Gambar 2. 10 Skema Preismann
45

Persamaan (5) dapat dirubah menjadi : F(I)=E1+E2=0

Q
E1
x

1
x
(1 )(QJN1 QJN ) (QJN11 QJN 1 ) ............................
...........................(8)

y
E2 W
t
W
1
2t
( y JN 1 y Nj ) ( y JN11 y JN1 ) ..............................(9)

Jika F(I) = 0 adalah persamaan kekelan massa, maka :

F(I)=
1
x

(1 )(QJN1 QJN ) (QJN11 QJN 1 ) +

W
1
2t

( y JN 1 y Nj ) ( y JN11 y JN1 ) .................................(10)

Persamaan (7) dapat dirubah menjadi : F(I+1)=G1+G2+G3+G4+G5=0, dimana :

Q
G1
t

1
2t
(Q JN11 Q JN1 ) (Q JN 1 Q JN ...........................................
.(11)

G2
2 Q Q 2 Q
A x

Ax

(Q JN11 Q JN 1 ) (1 )(Q JN1 Q JN ) ................................

(12)

Q 2 A Q 2
G3 2 2 ( AJN11 AJN 1 ) (1 )( AJN1 AJN ) .........(13)
A x A

y
G4 g A
x
gA N N

x (1 )( y J 1 y J ) ( y J 1 y J
N 1 N 1
) (1

4)

Q2
G 5 gA ...............................................................................(15)
K2

Maka :

F(I) = E1+E2=0 ........................................................................................(16)


46

F(I+1) = G1+G2+G3+G4+G5=0......................................................................(17)

Persamaan F(I) dan F(I+1) merupakan persamaan non-linier dengan 4 bilangan


yang tidak diketahui, yaitu :

Q JN 1 ; Q JN11 ; y JN 1 ; y JN11

Dimana :

Q JN 1 = Debit pada section ke-J pada waktu ke- N+1

QJN11 = Debit pada section ke-J+1, pada waktu ke N+1

y JN 1 = Elevasi muka air pada section ke-J, pada waktu ke N+1

y JN11 = Elevasi muka air pada section ke-J+1, pada waktu ke N+1

KONDISI BATAS ATAS DAN BATAS BAWAH

Sehubungan hanya terdapat 2 persamaan dengan 4 bilangan tidak

diketahui (anu), maka untuk memecahkan persoalan tersebut diperlukan 2

persamaan tambahan, yaitu :

a. Kondisi batas atas (upper boundary condition), yang merupakan hydrograph

inflow PMF atau Q=f(t), yang menyebabkan keruntuhan bendungan (sejak

terjadi rekahan sampai kehancuran total).

b. Kondisi batas bawah (lower boundary condition), merupakan channel control

control atau rating curve H=f(Q), tinggi gelombang pasang di muara sungai,

bangunan struktur lanilla, misalnya tanggul, jalan kereta api, bukit, dan lain-

lain tergantung sampai batas mana banjir yang ditimbulkan oleh keruntuhan

bendungan terjadi.

Dengan tambahan dua persamaan di atas, maka persoalan tersebut dapat

diselesaikan secara numerik. Dengan kata lain jika terdapat sebanyak M buah

cross section maka akan terdapat (2M-2) persamaan dengan 2M bilangan tidak

diketahui, dimana untuk memecahkan persoalan tersebut diperlukan 2 persamaan


47

tambahan yang berupa hydrograph PMF Q=f(t) di bagian hulu (section ke-0) dan

tinggi gelombang pasang yM=C, control channel, dan lain-lain di bagian hilir

(section ke-M), dimana batas banjir diperkirakan terjadi.

ANALISIS NUMERIK (METODE NEWTON-RAPHSON)

Setelah didapat sebanyak 2M bilangan tidak diketahui berupa debit aliran

(Q) dan elevasi muka air (y) dalam 2M persamaan, maka selanjutnya untuk

mendapatkan jawabannya digunakan metode Newton-Raphson yang diilustrasikan

sebagai berikut di bawah ini :

f1 ( x1 , x 2 ,..., x n ) 0
f 2 ( x1 , x 2 ,..., x n ) 0

f n ( x1 , x 2 ,..., x n ) 0

Jika diberikan vektor nilai awal : x0 ( x10 , x2 0 ,..., xn 0 ) ,

maka akan terdapat vektor galat : (1 , 2 ,..., n )

Sehingga persamaan di atas dapat dirubah menjadi :

F1 f 1( x10 1 , x 20 2 ,.........., x n0 n ) 0
F2 f 2( x10 1 , x 20 2 ,.........., x n0 n ) 0

Fn f n ( x10 1 , x 20 2 ,........., x n0 n ) 0

Dengan menggunakan Teori Ekspansi Deret Taylor, dimana :

f (m + h) = f(m) + h.f(m) , yang mana

f(m) = turunan pertama dari fungsi f(m)

maka persamaan di atas dapat dirubah menjadi berikut di bawah ini :

F1 f 1( x10 , x20 , , xn0 ) ( 1 f1'x 2 f1'x n f1'x ) 0


10 20 10

F2 f 2( x10 , x20 , , xn0 ) ( f '


1 2 x1 2 f '
2 x2 n f 2'x ) 0
0 0 n0

Fn f n ( x10 , x20 , , xn0 ) (1 f n'x1 2 f n'x2 n f n'xn ) 0


0 0 0
48

Atau dapat disusun menjadi :

( 1 f1'x 2 f1'x n f1'x ) f 1( x10 , x20 , , xn0 )


10 20 10

( f '
1 2 x1 f '
2 2 x2 f '
n 2 xn ) f 2( x10 , x20 , , xn0 )
0 0 0

( 1 f n'x 2 f n'x n f n'x ) f n ( x10 , x20 , , xn0 )


10 20 n0

Persamaan di atas selanjutnya dapat dirubah menjadi bentuk Matriks Jacobi yang
bersifat banded sebagai berikut :

f1'x1 f1'x f1'x1 1 f 1( x10 , x20 , , xn0 )


0 20 0
2 f 2( x10 , x20 , , xn0 )
f 2'x1 f 2'x2 f 2'xn

=
0 0 0

n
f n ( x10 , x20 , , xn0 )
f n'x1 f n'x2 f n'xn
0 0 0

Matriks Jacobi (A) Vektor Galat (b) Vektor c

Selanjutnya dilakukan iterasi sampai didapat nilai ABS() yang cukup kecil
(memenuhi syarat konvergensi).

f ( xi )
i xi 1 xi i i
f ' ( xi )

Jika ABS() telah memenuhi syarat (0,01< <0,1), maka :

x1 ( x11 , x21 ,..., xn1 ) dst

2.5 PEMETAAN GENANGAN BANJIR

Setelah dilakukan penelusuran banjir terhadap hydrograph outflow

keruntuhan bendungan ke arah hilir waduk dengan menggunakan software

ZhongXing-Hy21 yang secara numerik telah dijelaskan sebelumnya, maka output

yang didapat adalah hidrograf banjir di setiap lokasi terpilih di wilayah lembah hilir

waduk yang terdiri dari informasi-informasi sebagai berikut :

Hydrograph banjir di lokasi terpilih Q = f(t) m3/dt

Elevasi banjir di lokasi terpilih H = f(t) m


49

Waktu perambatan banjir di lokasi terpilih (t)

Waktu surutnya banjir di setiap lokasi terpilih (t)

Kecepatan banjir di setiap lokasi terpilih (v)

Peta genangan banjir di seluruh wilayah yang terdampak.

Dimana output peta genangan tersebut di atas jika dioverlaykan dengan peta

wilayah administrasi yang mengcover wilayah pemukiman dan juga mengcover

peta infrastruktur dan fasilitas umum, maka akan didapatkan klasifikasi bahaya

banjir keruntuhan bendungan.

2.6 PENENTUAN KLASIFIKASI TINGKAT BAHAYA

Setelah penggambaran peta banjir yang dioverlaykan dengan peta

permukiman dan peta prasarana umum, selanjutnya dilakukan pengklasifikasian

terhadap tingkat bahaya banjir yang terjadi dengan menggunakan acuan Surat

Keputusan Dirjen SDA Nomor 257/KPTS/D/2011, tentang Pedoman Klasifikasi

Bahaya Bendungan yang dideskripsikan sebagai berikut di bawah ini.

Tabel 2. 6 Klasifikasi Bahaya.Berdasarkan Surat Keputusan Dirjen SDA PU,


tahun 2011

Jarak Bagian Hilir dari Bendungan (km)


Jumlah Keluarga
Kumulatif 05 0 10 0 20 0 30 0 - >30

0 1 1 1 1 1

1 20 3 3 2 2 2

21 200 4 4 4 3 3

>200 4 4 4 4 4

Keterangan :
50

Klasifikasi Bahaya =1 : bahaya rendah

Klasifikasi Bahaya =2 : bahaya sedang

Klasifikasi Bahaya =3 : bahaya tinggi

Klasifikasi Bahaya =4 : bahaya sangat tinggi


51

BAB II..................................................................................................................................... 9

LANDASAN TEORI............................................................................................................... 9

2.1 UMUM......................................................................................................................... 9

2.2 ANALISIS HIDROLOGI...............................................................................................9

2.2.1 ANALISIS CURAH HUJAN.....................................................................................9

2.2.1.1 UJI KONSISTENSI DATA HUJAN.......................................................................9

2.2.1.2 CURAH HUJAN RERATA DAERAH (AREAL RAINFALL)................................10

2.2.1.3 ANALISIS CURAH HUJAN RANCANGAN........................................................13

2.2.1.4 UJI KESESUAIAN DISTRIBUSI.........................................................................17

2.2.1.5 DISTRIBUSI HUJAN..........................................................................................19

2.2.1.6 KOEFISIEN PENGALIRAN................................................................................20

2.2.1.7 HUJAN NETTO..................................................................................................21

2.2.1.8 HUJAN RANCANGAN MAKSIMUM BOLEH JADI (PMP).................................22

2.2.2 ANALISIS DEBIT BANJIR RANCANGAN............................................................23

2.2.2.1 HIDROGRAF SATUAN SINTETIS NAKAYASU.................................................23

2.2.2.2 HIDROGRAF SATUAN SINTETIS SNYDER......................................................26

2.2.2.3 HIDROGRAF SATUAN SINTETIS GAMMA I.....................................................27

2.3 ANALISIS TAMPUNGAN WADUK............................................................................32

2.4 ANALISIS KERUNTUHAN BENDUNGAN (DENGAN BANTUAN


PERANGKAT LUNAK ZHONG XING HY21).......................................................................33

2.4.1 REKAHAN............................................................................................................. 34
52

2.4.2 ALGORITMA KOMPUTASI HIDROLIK.................................................................39

2.4.3 TEKNIK PEMECAHAN PERSAMAAN ST. VENANT............................................43

2.5 PEMETAAN GENANGAN BANJIR...........................................................................49

2.6 PENENTUAN KLASIFIKASI TINGKAT BAHAYA.....................................................49

Tabel 2. 1 Nilai K untuk distribusi Log-Person III..................................................15


Tabel 2. 2 Reduce Mean Yn..................................................................................17
Tabel 2. 3 Reduce Standard Deviation Sn............................................................17
Tabel 2. 4 Reduce Variate YTr...............................................................................17
Tabel 2. 5 Angka Koefisien Pengaliran untuk Berbagai Kondisi DTA....................20
Tabel 2. 6 Klasifikasi Bahaya.Berdasarkan Surat Keputusan Dirjen SDA PU, tahun
2011...................................................................................................................... 50

Gambar 2. 1 Lengkung Masa Ganda (Double Mass Curve) 10


Gambar 2. 2 Curah Hujan Rerata Cara Poligon Thiesen 11
Gambar 2. 3 Curah Hujan Rerata Cara Isohyet 13
Gambar 2. 4 Sketsa HSS Nakayasu 25
Gambar 2. 5 Sketsa HSS Snyder 27
Gambar 2. 6 Sketsa HSS Gamma I 30
Gambar 2. 7 Sketsa Penetapan WF dan RUA 32
Gambar 2. 8 Tampak depan dari formasi perubahan ukuran rekahan yang terjadi
pada tubuh dam akibat overtopping 36
Gambar 2. 9 Tampak depan formasi perubahan ukuran rekahan yang terjadi pada
tubuh DAM akibat piping 38
Gambar 2. 10 Skema Preismann 44

Anda mungkin juga menyukai