Anda di halaman 1dari 40

STANDARISASI SIMPLISIA DAUN TEMBELEKAN (Lantana Folium)

ASAL DAERAH DESA KAMIRI KABUPATEN BARRU, PROVINSI

SULAWESI SELATAN

OLEH :

KELOMPOK 4.1

KELAS C12

LABORATORIUM FARMAKOGNOSI-FITOKIMIA

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2016
LEMBAR PENGESAHAN

Lembar pengesahan ini dibuat sebagai salah satu syarat mengikuti ujian
praktikum Farmakognosi 1

Disusun oleh :

KELOMPOK 4.1

KELAS C12

ANGKATAN 2015

Disetujui oleh,

Asisten Kelompok

(Abdullah Mahmud, S.Farm., Apt)

Mengetahui,

Koordinator Praktikum Farmakognosi

(Aktsar Roskiana Ahmad, S.Farm., M.Farm., Apt)


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah subhanahu


wataala atas berkah dan rahmat yang dilimpahkan kepada kita semua
sehingga kami dapat menyelesaikan laporan hasil Praktek Kerja Lapang
(PKL) Farmakognosi 1 ini. Laporan ini kami susun untuk melengkapi tugas
akhir setelah melaksanakan Praktek Kerja Lapang di Desa Kamiri,
Kecamatan Ballusu, Kabupaten Barru pada tanggal 23-25 September
2015 lalu. Laporan ini juga sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian
praktikum Farmakognosi 1.
Dalam penyusunan laporan ini, tak lupa penyusun mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang secara langsung maupun tidak
langsung ikut membantu dalam penyelesaian laporan lengkap ini. Yaitu
kepada Bapak dan Ibu dosen yang telah banyak memberikan masukan
baik teori maupun bimbingan. Dan terutama kepada Kakak Asisten
Laboratorium Farmakognosi-Fitokimia untuk bimbingan, arahan dan
masukannya selama kegiatan PKL berlangsung sampai pada akhir
penyusunan laporan ini.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunaan laporan ini
masih terdapat banyak kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna.
Oleh sebab itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
penyusun harapkan untuk penyusun laporan berikutnya agar bisa lebih
baik.

Makassar, 12 Desember 2016

Penyusun
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahan alamnya.

Pemanfaatan tanaman sebagai bahan obat sedang digalakkan di

Indonesia. Penggunaan obat tradisional pada masyarakat telah

berlangsung lama secara turun temurun. Indonesia memiliki banyak

jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan obat.

Tanaman liar yang tumbuh bebas di sekitar pekarangan atau di kebun

bahkan mampu dimanfaatkan sebagai obat. Misalnya di Desa Kamiri

Kec. Ballusu, Kab. Barru, masyarakat banyak menggunakan daun

bangkara (tembelekan) sebagai obat tradisional.

Tanaman tembelekan (Lantana camara L) biasa tumbuh liar,

tetapi tembelekan kerap ditemui sebagai pengisi taman ataupun

tanaman pekarangan. Tanaman ini tumbuh di daerah ketinggian

sampai 1.700 meter diatas permukaan laut dan merupakan tumbuhan

perdu yang tingginya dapat mencapai 4 meter. Tanaman Tembelekan

mengandung senyawa kimia alkaloid, flavonoid, lemak, protein,

senyawa fenolik dan minyak atsiri.

Tembelekan digunakan masyarakat untuk mengobati beberapa

macam penyakit seperti batuk, luka, peluruh air seni, peluruh keringat,

penurun panas, obat bengkak, encok dan bisul. Pemanfaatan


tembelekan untuk berbagai penyakit, digunakan dengan dua cara yaitu

pengobatan dari dalam dan dari luar.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah adalah apakah simplisia daun

tembelekan (Lantana Folium) memetnuhi standar mutu simplisia?

C. Maksud

Adapun maksud percobaan yaitu untuk melakukan standarisasi

simplisia daun tembelekan (Lantana Folium).

D. Tujuan

Adapun tujuan percobaan adalah untuk memperoleh data

mengenai standarisasi simplisia daun tembelekan (Lantana Folium).


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Uraian Tanaman

1. Klasifikasi Tanaman (Van Steenis, 1997)

Kingdom : Plantae

Division : Spermatophyta

Subclass : Angiospermae

Class : Dicotyledonae

Ordo : Laminales

Family : Verbenaceae

Genus : Lantana L.

Species : Lantana camara L.

2. Morfologi Tanaman

Tembelekan (L. camara) merupakan tanaman perdu tegak

atau setengah merambat dengan ciri-ciri batang : berkayu, bercabang

banyak, ranting berbentuk segi empat, tinggi lebih dari 0,5-4 m,

memiliki bau yang khas, terdapat dua varietas (berduri dan tidak

berduri); Daun:tunggal, duduk berhadapan, bentuk bulat telur dengan

ujung meruncing dan bagian pinggirnya bergerigi, panjang 5-8 cm,

lebar 3,5-5 cm, warna hijau tua,tulang daun menyirip, permukaan atas

berbulubanyak, kasar dan permukaan bawah berbulu jarang; Bunga :

majemuk bentuk bulir, mahkota bagian dalam berbulu, berwarna putih,


merah muda, jingga kuning, dan masih banyak warna lainnya; Buah :

seperti buah buni dan berwarna hitam mengkilat bila sudah matang

(Dalimarta, 1999).

3. Kandungan kimia

Tembelekan (Lantana camara) merupakan tanaman liar

yang pada daunnya memiliki kandungan kimia antara lain fenol,

flavonoid dan alkaloid. Kandungan kimia pada Tembelekan diduga

memiliki kemampuan antibakteri terhadap Staphylococcus epidermidis.

Sehingga pada sebuah penelitian yaitu membuat salep antibakteri

dengan zat aktif ekstrak etanol daun tembelekan. Salep antibakteri

ekstrak etanol daun tembelekan dibuat dalam dua konsentrasi yaitu

20% dan 24%. Pengujian kualitas salep yang dilakukan adalah uji

organoleptis, uji homogenitas, uji nilai pH dan uji daya sebar. Hasil

pengujian kualitas yang dilakukan terhadap salep dengan dua

konsentrasi tersebut memenuhi parameter uji organoleptis,

ujihomogenitas dan uji nilai pH. Salep ekstrak etanol daun tembelekan

konsentrasi 20% dan 24% tidak memenuhi parameter kualitas untuk

uji daya sebar. Penelitian ini menujukkan bahwa tumbuhan

tembelekan sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia (Parwanto

dkk., 2013).

4. Manfaat

Tanaman tembelekan selain dapat digunakan sebagai

tanaman hias juga dapat digunakan sebagai tanaman obat dan


insektisida alami. Bagian tanaman yang dapat digunakan adalah akar

yang bersifat tawar dan sejuk, untuk meredakan demam TBC, rematik,

memar, keputihan, kencing nanah, gondongan, sakit kulit, penawar

racun, penghilang nyeri dan penghenti pendarahan. Daun yang

bersifat pahit, sejuk dan berbau, untuk menghilangkan gatal, batuk,

rematik, antitoksik, menghilangkan bengkak. Bunga tembelekan

bersifat manis dan sejuk dapat digunakan untuk penyakit di TBC,

sesak nafas dan dapat menghentikan pendarahan. Tanaman ini juga

digunakan sebagai pengendali serangga (Dalimarta, 1999).

B. Parameter Standar Mutu (Standarisasi) Simplisia

1. Standarisasi

Standarisasi rangkaian proses yang melibatkan berbagai metode

analisis kimiawi berdasarkan data farmakologis, melibatkan analisis

fisik dan mikrobiologi berdasarkan kriteria umum keamanan

(toksikologi) terhadap suatu ekstrak alam (Saefuddin et al, 2011).

Standarisasi secara nomativ ditujukan untuk memberikan efikasi

yang terukur secara farmakologis dan menjamin keamanan konsumen.

Standarisasi obat herbal meliputi dua aspek :

a. Aspek parameter spesifik: berfokus pada senyawa atau golongan

senyawa yang bertanggung jawab terhadap aktivitas farmakologi.

Analisis kimia yang dilibatkan ditujukan untuk analisa kualitatif dan

kuantitatif terhadap senyawa aktif.


b. Aspek parameter non spesifik: berfokus pada aspek kimia,

mikrobiologi dan fisis yang akan mempengaruhi keamanan

konsumen dan stabilitas missal kadar logam berat, aflatoksin,

kadar air dan lain-lain.

2. Standarisasi Obat Herbal

Standarisasi obat herbal merupakan rangkaian proses yang

melibatkan berbagai metode analisis kimiawi berdasarkan data

farmakologis, melibatkan analisis fisik dan mikrobiologi berdasarkan

kriteria umum keamanan (toksikologi) terhadap suatu alam atau

tumbuhan obat herbal (Saefuddin et al, 2011).

Standarisasi dalam keamanan kefarmasian tidak lain adalah

serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya

merupakan unsur-unsur terkait paradigm kefarmasian, mutu dalam

artian memenuhi syarat standar (kimia, biologi dan farmasi), termasuk

jaminan batas-batas stabilitas sebagai produk kefarmasian umumnya.

Dengan kata lain, pengertian standarisasi juga berarti proses

menjamin bahwa produk akhir obat (obat, ekstrak atau produk ekstrak)

mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan dan ditetapkan

terlebih dahulu. Terdapat dua factor yang mempengaruhi mutu ekstrak

yaitu factor biologi dari bahan asal tumbuhan obat dan factor

kandungan kimia bahan obat tersebut (Depkes RI, 2000).


1. Faktor biologi

Mutu ekstrak dipengaruhi oleh bahan asal yaitu tumbuhan

obatnya dan khusus dipandang dari segi biologi. Faktor biologi,

baik untuk bahan dari tumbuhan obat hasil budidaya (kultivar)

ataupun dari tumbuhan liar (wild crop) yang meliputi beberapa hal,

yaitu :

a. Faktor internal

1. Jenis senyawa aktif dalam bahan

2. Komposisi kualitatif senyawa aktif

3. Komposisi kuantitatif senyawa aktif

4. Kadar total rata-rata senyawa aktif

b. Faktor eksternal

1. Metode ekstraksi

2. Perbandingan ukuran alat ekstraksi (diameter dan tinggi

alat)

3. Ukuran, kekerasan, dan kekeringan bahan

4. Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi

5. Kandungan logam berat

6. Kandungan pestisida

3. Parameter Spesifik Ekstrak

Penentuan parameter spesifik adalah aspek kandungan kimia

kualitatif dan aspek kuantitatif kadar senyawa kimia yang bertanggung


jawab langsung terhadap aktivitas farmakologis tertentu. Parameter

spesifik ekstrak meliputi :

1. Identitas (parameter identitas ekstrak) meliputi : deskripsi tata nama,

nama ekstrak, nama lain tumbuhan (sistematika botani), bagian

tumbuhan yang digunakan, dan nama Indonesia tumbuhan.

2. Organoleptis : Parameter orgnoleptik ekstrak meliputi penggunaan

panca indera mendeskripsikan bentuk, warna, bau, rasa, guna

pengenalan awal yang sederhana seobjektif mungkin.

3. Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu : ,elarutkan ekstrak dengan

pelarut (alcohol/air) untuk ditentukan jumlah larutan yang identik

dengan jumlah senyawa kandungan secara gravimetik. Dalam hal

tertentu dapat diukur senyawa terlarut dalam pelarut lain misalnya

heksan, diklorometan, methanol. Tujuannya untuk memberikn

gambaran awal jumlah senyawa kandungan.

4. Uji kandungan kimia ekstrak

a. Pola kromatogram

Pola kromatogram dilakuakn sebagai analisis kromatografi

sehingga memberikan pola kromatogram yang khas. Bertujuan

untuk memberikan gambaran awal komposisi kandunagn kimia

berdasarkan pola (KLT, KCKT) (Depkes RI, 2000)

b. Kadar kandungan kimia

Kadar kandungan kimia yang merupakan senyawa identitas

atau senyawa kimia utama ataupun kandungan kimia lainnya,


maka secara kromatografi instrumental dapat dilakukan

penetapan kadar kandungan kimia tersebut. Instrument yang

dapat digunakan adalah densiometri, kromatografi gas, KCKT,

atau instrument yang sesuai. Tujuannya memberikan data

kadar kandungan kimia tertentu sebagai senyawa identitas atau

senyawa yang diduga bertanggung jawab pada efek

farmakologi (Depkes RI, 2000).

4. Parameter Non Spesifik Ekstrak

Penentuan parameter non spesifik ekstrak yaitu penentuan

aspek kimia, mikrobiologis dan fisis yang akan mempengaruhi

keamanan konsumen dan stabilitas (Saifuddin, Rahayu, dan Teruna,

2011).

Parameter nonspesifik ekstrak menurut buku Parameter

Standarisasi Umum Ekstrak Tumbuhan Obat (Depkes RI, 2000),

meliputi :

1. Susut pengeringan

Parameter susut pengeringan adalah pengukuran sisa zat

setelah pengeringan pada temperature 105oC selama 30 menit

atau sampai berat konstan, yang dinyatakan sebagai nilai persen.

Dalam hal khusus (jika bahan tidak mengandung minyak

menguap/atsiri dan sisa pelarut organic menuap) identik dengan

kadar air, yaitu kandungan air karena berada

diatmosfer/lingkungan udara terbuka. Tujuannya adalah


memberikan batasan maksimal (rentang) tentang besarnya

senyawa yang hilang pada proses pengeringan (Depkes RI, 2000).

2. Kadar air

Parameter kadar air adalah pengukuran kandungan air yang

berada didalam bahan, yang berujuan untuk memberikan batasan

minimal atau rentang besarnya kandungan air dalam bahan

(Depkes RI, 2000).

3. Kadar abu

Parameter kadar abu adalah bahan yang dipanaskan pada

temperature dimana senyawa organic dan turunannya

terdekstruksi dan menguap. Sehingga tinggal unsur mineral yang

dan anorganik, yang memberikan gambaran kandungan mineral

internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai

terbentuknya ekstrak. Parameter kadar abu ini terkait dengan

kemurnian dan kontaminasi suatu ekstrak (Depkes RI, 2000).

4. Sisa pelarut

Parameter sisa pelarut adalah penentuan kandungan sisa

pelarut tertentu yang mungkin terdapat dalam ekstrak. Tujuannya

adalah memberikan jaminan bahwa selama proses tidak

meninggalkan sisa pelarut yang memang seharusnya tidak ada

(Depkes RI, 2000) pengujian sisa pelarut dalam penyimpanan

ekstrak dan kelayakan ekstrak untuk formulasi (Putri, E.,

anggraeni dan Khairina, 2012).


5. Cemaran mikroba

Parameter cemaran mikroba adalah penentuan adanya

mikroba yang pathogen secara analisis mikrobiologis. Tujuannya

adalah memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak boleh

mengandung mikroba pathogen dan tidak mengandung mikroba

non pathogen melebihi batas yang ditetapkan karena berpengaruh

pada stabilitas ekstrak dan berbahaya (toksik) bagi kesehatan

(Depkes RI, 2000).

6. Aflatoksin

Alfatoksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh

jamur. Aflatoksik sangat berbahaya karena dapat menyebabkan

toksigenik (menimbulkan keracunan), mutagenic (mutasi gen),

tertogenik (penghambatan pada pertumbuhan janin) dan

karsinogenik (menimbulkan kaner pada jaringan) (Rustian, 1993

dalam Arfini, H., Anggraini, Handayani dan Rasyid). Jika ekstrak

positif mengandung alfatoksin maka pada media pertumbuhan

akan menghasilkan koloni berwarna hijau kekuningan sangat

cerah (Saefuddin et al., 2011).

7. Cemaran logam berat

Parameter cemaran logam berat adalah penentuan

kandungan logam berat dalam suatu ekstrak, sehingga dapat

memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung logam


berat tertentu (Hg, Pb, Cd, dan lain-lain) melebihi batas yang telah

ditetapkan karena berbahaya bagi kesehatan (Depkes RI, 2000).


BAB III

PROSEDUR KERJA

A. Alat dan Bahan

1. Alat

Alat yang digunakan adalah bunsen, mikroskop, lampu UV 254

dan 366, oven, timbangan kasar, timbangan analitik, kertas saring,

eksikator, gegep kayu (gegep besi), pinset dan seperangkat alat

gelas.

2. Bahan

Bahan yang digunakan adalah simplisia (Lantana Folium),

flouroglucin, kloralhidrat, akuades, asam klorida 2 N, etil asetat,

etanol, eter, baouchardat (warger) LP, mayer LP, dragendorff LP,

asam sulfat pekat, natrium klorida. Larutan glukosa 1 %, reagen

molisch, asam sulfat pekat, reagen barfoed, reagen benedict, reagen

larutan selliwanof.

B. Cara Kerja

A. Pembuatan Simplisia

1. Koleksi bahan baku

Pengumpulan bahan baku atau panen pada bagian

tumbuhan tembelekan yaitu daun untuk membuat simplisia

(Anonim, 2016).
2. Pencucian dan sortasi basah

Pencucian dan sortasi basah dilakukan untuk membersihkan

bagian tumbuhan dari zat-zat asing yang bukan merupakan

bagian dari tumbuhan tersebut, seperti pasir, batu, kotoran

insekta, dll (Anonim, 2016).

3. Pengeringan

Pengeringan alamiah dilakukan dengan cara pengeringan

yaitu panas sinar matahari tidak langsung. (Anonim, 2016).

4. Sortasi kering

Tujuan sortasi kering adalah untuk memastikan tidak ada

kontaminasi bahan asing terhadap simplisia tersebut (Anonim,

2016).

5. Pengepakan dan penyimpanan

Kecuali dinyatakan lain, simplisia disimpan di tempat

terlindung dari sinar matahari dan pada suhu ruang (Depkes RI,

2011).

6. Pemeriksaan mutu (standarisasi)

Pemeriksaan mutu bahan baku simplisia atau ekstrak

merujuk pada Parameter Standar Ekstrak Indonesia (2000) dan

Farmakope Herbal Indonesia (2008, 2010 dan 2011).

B. Pemeriksaan Anatomi

Dikeluarkan koleksi basah (herbarium basah) dari wadah

penyimpanan lalu dibilas dengan air mengalir. Dibuat preparat dari


masing-masing bagian tumbuhan (akar, batang, daun dan buah/biji)

dan diletakkan pada objek glass, dan dibasahkan dengan reagen

floroglucin/kloralhidrat. Dipanaskan diatas api bunsen. Diletakkan

pada meja preparat mikroskop. Dibuat sketsa (gambar) anatomi

tumbuhan dan diberi keterangan gambar (Anonim, 2016).

C. Pemeriksaan Makrskopik Dan Mikroskopik

Pemeriksaan makroskopik

Disiapkan simplisia haksel. Diletakkan diatas kertas putih. Diukur

panjang dan lebar simplisia dengan menggunakan mistar dan

diamati warna, bentuk, baud an rasa simplisia (Anonim, 2016).

Pemeriksaan Mikroskopik

Disiapkan simplisia serbuk. Diletakkan serbuk diatas objek glass.

Dibasahkan dengtan reagen flouroglucin/kloralhidrat. Dipanaskan

diatas api Bunsen. Diletakkan pada meja preparat mirkoskop dan

diamati fragmen simplisia tersebut. Dibuat sketsa/gambar fragmen

dan diberi keterangan gambar (Anonim, 2016).

D. Identifikasi Golongan Senyawa

1. Saponin

Sebanyak 0,5 gr serbuk simplisia, dimasukkan ke dalam

tabung reaksi, ditambahkan 10 mL air panas, didinginkan

kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik. Positif

mengandung saponin jika terbentuk buih setinggi 1-10 cm dan


dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2 N buih tidak hilang

(Anonim, 2016).

2. Flavonoid

Larutan uji : 1 gr serbuk simplisia ditambahkan 10 mL

metanol dan 5 mL petroleum eter, dikocok dan didiamkan.

Diambil lapisan metanol, diuapkan pada suhu 40 0C. Sisa larutan

ditambahkan 5 mL etil asetat P, disaring. Percobaan dilakukan

sebagai berikut (Depkes RI, 1995) :

a. Larutan uji sebanyak 1 mL diuapkan hingga kering, sisanya

dilarutkan dalam 1-2 mL etanol (95%) P, ditambahkan 0,5 gr

serbuk seng P dan 2 mL asam klorida 2 N, didiamkan

selama 1 menit. Ditambahkan 10 tetes asam klorida pekat.

Jika terbentuk warna merah intensif menunjukkan adanya

flavonoid (glikosida-3-flavonol).

b. Larutan uji sebnayk 1 mL diuapkan, sisanya dilarutkan dalam

1 mL etanol (95%) P, ditambahkan 0,1 gr serbuk magnesium

P dan 10 tetes asam klorida 2 N. Jika terjadi warna merah

jingga sampai merah ungu, menunjukkan adanya flavonoid.

Jika warna kuning jingga menunjukkan adanya flavon,

karbon dan auron.

c. Diuapkan hingga kering 1 mL larutan uji, sisa dibasahkan

dengan aseto P, ditambahkan sedikit serbuk asam borat P

dan serbuka asam oksalat P, dipanaskan. Sisa dicampur


dengan 10 mL eter P. Diamati dibawah sinar UV 366 nm, jika

larutan berflurosensi kuning intensif meninjukkan adanya

flavonoid.

3. Alkaloid

Larutan uji : 1 gr simplisia ditambahkan 1 mL asam klorida 2

N dan 9 mL air, dipanaskan selama 2 menit, didinginkan dan

disaring. Percobaan dilakukan sebagai berikut (Depkes RI,

1995) :

a. Larutan uji ditambahkan Bauchardat LP, jika terbentuk

endapan coklat sampai hitam maka positif mengandung

alkaloid.

b. Laporan uji ditambahkan Mayer Lp, jika terbentuk endapan

putih sampai kuning maka mengandung alkaloid.

c. Larutan uji ditambahkan 2 tetes Dragendorff LP, positif

mengandung alkaloid jika terbentuk endapan jingga coklat.

4. Glikosida

Larutan uji : sebanyak 1 gr ekstrak disaring dengan 30 mL

pelarut campuran (7 bagian etaanol 95% P dan 3 bagian air)

selama 10 menit, didinginkan dan disaring. Sisa ditambahkan 2

mL metanol P. Percobaan (Depkes RI, 1995) :

a. Diuapkan 0,1 mL larutan uji, sisanya ditambahkan 5 mL

asam asetat anhidrat P. Ditambahkan 10 tetes asam sulfat P,

terjadi warna biru atau hijau, menunjukkan adanya glikosida .


b. Sebanyak 0,1 mL larutan uji dalam tabung rekasi diuapkan.

Sisa ditambahkan 2 mL air dan 5 tetes Molish LP.

Ditambahkan 2 mL asam sulfat P. Terbentuk cincin warna

ungu pada batas cairan menunjukkan adanya ikatan gula.

5. Terpen

Serbuk sebanyak 0,5 gr ditambahkan 5 mL larutan eter,

disaring. Filtrat ditambahkan asam asetat anhidrat dan asam

sulfat pekat (2:1). Warna merah, hijau atau biru menunjukkan

positif terpen (Farnsworth, 1966).

6. Tanin

Larutan uji : ekstrak sebanyak 1 gr ditambah 15 mL air panas.

Larutan dipanaskan hingga mendidih selama 5 menit, disaring.

Percobaan dilakukan sebagai berikut (Farnsworth, 1996; Trease

& Evans, 1978) :

a. Filtrat sebanyak 5 mL ditambah beberapa tetes FeCl3 1 %,

menghasilkan warna hijau violet.

b. Filtrat sebanyak 5 mL ditambahkan gelatin 10% membentuk

endapan putih.

c. Filtrat sebanyak 5 mL ditambahkan NaCl-gelatin (larutan

gelatin1% dalam larutan NaCl 10%) membentuk endapan

putih.
E. Kadar Abu

Penentuan Kadar Abu (Metode Dry Ashing)

Cawan yang telah dibersihkan dipanaskan dalam tanur pada

suhu 100-1050C selama 3 jam lalu ditimbang sebagai bobot kosong.

Contoh yang telah diuapkan ditimbang teliti 5 gr dan dinyatakan

sebagai bobot awal, kemudian cawan tersebut disimpan dalam tanur

pada suhu 5500C selama 6 jam. Setelah pemanasan cawan

dimasukkan dalam desikator dan setelah dingin ditimbang sampai

diperoleh bobot tetap sebagai bobot akhir (Herman et al, 2011).

Penentuan Kadar Abu Tidak Larut Asam

Didihkan abu dengan 25 mL asam klorida encer LP selama 5

menit, kumpulkan bagian yang tidak larut dalam asam, saring melalui

kertas saring bebas abu, cuci dengan air panas, panaskan

menggunakan oven hingga bobot konstan (1500C) kadar abu tidak

larut dalam asam dihitung terhadap berat ekstrak (Herman et al,

2011).

F. Kadar Zat Terekstrasi Air dan Etanol

Penetapan Kadar Sari yang Larut Dalam Air

Merujuk pada prosedur yang tertera pada Farmakope Herbal

Indonesia (Depkes RI, 2011) dengan beberapa modifikasi :

1. Serbuk kering dimaserasi sebanyak 5 gram dengan

menggunakan air (jenuh kloroform) sebanyak 100 ml pada labu

bersumbat.
2. Disonikator selama 15 menit, kemudian disaring.

3. Sebanyak 20 ml filtrate diuapkan hingga kering dalam cawan

dangkal rata yang sebelumnya telah ditara.

4. Sisa dipanaskan pada suhu 105oC hingga bobot tetap (bobot

konstan).

5. Hitung kadar dalam persen sari yang larut dalam air terhadap

bahan yang telah dikeringkan di udara.

Penetapan Kadar Sari yang Larut Dalam Etanol

Merujuk pada prosedur yang tertera pada Farmakope Herbal

Indonesia (Depkes RI, 2011) dengan beberapa modifikasi :

1. Serbuk kering dimaserasi sebanyak 5 gram dengan

menggunakan etanol sebanyak 100 ml pada labu bersumbat.

2. Disonikator selama 15 menit, kemudian disaring.

3. Sebanyak 20 ml filtrate diuapkan hingga kering dalam cawan

dangkal berdasar rata yang sebelumnya telah ditara.

4. Sisa dipanaskan pada suhu 105oC hingga bobot tetap (bobot

konstan).

5. Hitung kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol terhadap

bahan yang telah dikeringkan di udara.

G. Pola Kromatogram

Sebanyak 1 gram ekstrak dilarutkan menggunakan pelarut n :

kloroform (7:3) dan ditotolkan menggunakan pipa kapiler pada


lempeng plat silica gel F254 ukuran 1x7 cm (Depkes RI, 2008 &

Helmi et al, 2006).

Uji Terpenoid : digunakan fase gerak heksan etil asetat (1:1),

disemprot reagen vanillin asam sulfat dan asam sulfat, dipanaskan

pada plat pemanas. Mengandung terpen jika berwarna merah ungu

atau biru dengan pereaksi asam sulfat 10%. Dan reagen vanillin

asam sulfat jika spot berwarna biru (Saponin) dan jika spot berwarna

merah, biru atau kuning (minyak atsiri) (Depkes RI, 2008 & Helmi et

al, 2006).

Uji Alkaloid : menggunakan fase gerak etil asetat-metanol-air

(100:13,5:10), mengandung alkaloid jika berwarna jingga dengan

pereaksi Dragendorf (Depkes RI, 2008 & Helmi et al, 2006).

Uji Fenolik : digunakan fase gerak kloroform-etilasetat (6:4),

disemprot reagen spesifik FeCl3 dan mengandung fenolik jika spot

berwarna biru-hijau (Depkes RI, 2008 & Helmi et al, 2006).

Uji Falvonoid : digunakan fase gerak kloroform : etil asetat (6:4).

Disemprot dengan reagen spesifik sitoborat dan mengandung

flavonoid jika berflouresensi pada UV 366 nm (Depkes RI, 2008 &

Helmi et al, 2006).

H. Susut Pengeringan

Ditentukan bobot konstan botol timbang dipanaskan pada suhu

105oC selama 30 menit, kemudian tara. Ditimbang 1-2 gram serbuk

simplisia dan masukkan ke dalam botol timbang. Dikeringkan dalam


oven suhu 105oC selama 30 menit, timbang dan tentukan bobot

konstan (Anonim, 2016).

I. Kadar Air

Dengan menggunakan metode gravimetri, ditentukan bobot

konstan cawan porselen dan tara. Sebanyak 10 gram serbuk

simplisia, ditempatkan pada cawan porselen. Dikeringkan pada suhu

105oC selama 5 jam. Ditimbang konstan dan tentukan kadar air

simplisia (Anonim, 2016).

J. Metabolit Primer

Beberapa metode pengujian kualitatif karbohidrat yaitu (Proyadi

et al, 2015) :

Uji Molisch

1. Sebanyak 2 mL karbohidrat ditambah 2 tetes larutan molisch.

Campurkan larutan hingga homogeny.

2. Melalui dinding tabung reaksi yang dimiringkan, kemudian

teteskan 5 ml asam sulfat pekat hingga timbul cincin diantara

kedua larutan tersebut.

Uji Benedict

1. 1 mL larutan karbohidrat ditambah 5 mL larutan Benedict lalu

diaduk.

2. Tempatkan tabung dalam air mendidih.

3. Diamkan selama 5 menit, perhatikan tabung yang memberikan

endapan merah bata.


Uji selliwanof

1. 1 mL karbohidrat ditambah 2 mL larutan selliwanof.

2. Tempatkan dalam penangas air, sampai timbul warna merah.

3. Amati hasilnya mana yang memberikan warna merah.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Praktikum

1. Parameter Spesifik

Tabel 1.1. Parameter Identitas simplisia

Parameter Hasil

Identitas Simplisia

Nama Simplisia Lantana Folium

Nama Latin Lantana camara L

Bagian Tanaman Daun

Tabel 1.2. Parameter Organoleptik Simplisia

Parameter Hasil

Uji Organoleptik

Bentuk Memanjang

Warna Hijau

Bau Khas

Rasa Sepat/Pahit

Tabel 1.3. Parameter Kadar Senyawa Terlarut Dalam Pelarut Tertentu

Kandungan Pereaksi Hasil Ket.

Tannin FeCl3 Hijau violet +


2. Parameter Non Spesifik

Tabel 2.1 Parameter Non Spesifik Ekstrak Daun Tembelekan

Parameter Hasil Syarat

Susut Pengeringan 18,5% -

Kadar Air 2,8% 10%

Kadar Abu Total 3% -

Kadar Abu Tidak 0,4% -

Larut Asam

Sari Larut Air 42% >12%

Sari Larut Etanol 11% >8%

B. Pembahasan

Standarisasi rangkaian proses yang melibatkan berbagai metode

analisis kimiawi berdasarkan data farmakologis, melibatkan analisis

fisik dan mikrobiologi berdasarkan kriteria umum keamanan

(toksikologi) terhadap suatu ekstrak alam (Saefuddin et al, 2011).

Standarisasi simplisia yakni syarat yang harus dipenuhi meliputi

pemurnian simplisia meliputi tidak mengandung pestisida berbahaya,

logam berat dan senyawa toksik serta beberapa persyaratan lain

dalam farmakope indonesia.

Standarisasi simplisia sebagai bahan baku obat trasional

merupakan titik awal yang penting bagi standarisasi obat secara


keseluruhan, karena obat tradisional yang baik dan terjamin dalam

bentuk keamanan dan manfaat diperlukan jaminan dari mutu simplisia.

Adapun simplisia yang digunakan adalah Lantana Camara

yang diambil daunnya (Lantana Folium). Deskripsi tumbuhannya

adalah Tembelekan (L. camara) merupakan tanaman perdu tegak

atau setengah merambat dengan ciri-ciri batang : berkayu, bercabang

banyak, ranting berbentuk segi empat, tinggi lebih dari 0,5-4 m,

memiliki bau yang khas, terdapat dua varietas (berduri dan tidak

berduri); Daun : tunggal, duduk berhadapan, bentuk bulat telur dengan

ujung meruncing dan bagian pinggirnya bergerigi, panjang 5-8 cm,

lebar 3,5-5 cm, warna hijau tua,tulang daun menyirip, permukaan atas

berbulubanyak, kasar dan permukaan bawah berbulu jarang; Bunga :

majemuk bentuk bulir, mahkota bagian dalam berbulu, berwarna putih,

merah muda, jingga kuning, dan masih banyak warna lainnya; Buah :

seperti buah buni dan berwarna hitam mengkilat bila sudah matang

(Dalimarta, 1999).

Tanaman tembelekan selain dapat digunakan sebagai

tanaman hias juga dapat digunakan sebagai tanaman obat dan

insektisida alami. Bagian tanaman yang dapat digunakan adalah akar

yang bersifat tawar dan sejuk, untuk meredakan demam TBC, rematik,

memar, keputihan, kencing nanah, gondongan, sakit kulit, penawar

racun, penghilang nyeri dan penghenti pendarahan. Daun yang

bersifat pahit, sejuk dan berbau, untuk menghilangkan gatal, batuk,


rematik, antitoksik, menghilangkan bengkak. Bunga tembelekan

bersifat manis dan sejuk dapat digunakan untuk penyakit di TBC,

sesak nafas dan dapat menghentikan pendarahan. Tanaman ini juga

digunakan sebagai pengendali serangga (Dalimarta, 1999).

Tembelekan sendiri sebagai tanaman liar ternyata memiliki

banyak kandungan kimia diantaranya minyak atsiri, fenol, flavonoid,

karbohidrat, protein, alkaloid, glikosida, glikosida iridoid, etanoid fenil,

oligosakarida, quinin, saponin, steroid, triterpin, sesquiterpenoid dan

tannin (Purwanto et al., 2013). Tetapi pada percobaan, hanya

diperoleh kandungan tannin pada tembelekan.

Prinsip dari pengujian kadar abu adalah bahan dipanaskan

pada temperatur dimana senyawa organik dan turunannya tereduksi

dan menguap sehingga tinggal unsur mineral dan anorganik (Depkes

RI, 2000). Berdasarkan prinsip itu, telah diperoleh kadar abu 3% dan

kadar abu tidak larut asam 0,4%.

Pada umumnya bahan (simplisia) yang sudah kering

memiliki kadar air 8 - 10%. Jika kadar air yang terkandung dalam

simplisia tidak melebihi batas tersebut, maka proses pembusukan

dapat terhambat, kerusakan bahanpun dapat ditekan baik dalam

pengolahan maupun waktu penyimpanan. Dengan demikian dapat

dihasilkan simplisia terstandar, tidak mudah rusak dan tahan disimpan

dalam waktu yang lama. berkurangnya kadar air, membuat reaksi-

reaksi zat aktif dalam bahan akan berkurang (Bragem, 2007). Pada
percobaan diketahui bahwa kadar air yang diperoleh sebesar 2,8%

dimana tidak melebihi 10% dari syarat.

Susut pengeringan adalah persentase senyawa yang

menghilang selama proses pemanasan (tidak hanya menggambarkan

air yang hilang, tetapi juga senyawa menguap lain yang

hilang).Pengukuran sisa zat dilakukan dengan pengeringan pada

temperatur 105C selama 30 menit atau sampai berat konstan dan

dinyatakan dalam persen. Dan diperoleh susut pengeringan dari daun

tembelekan 18,5%.

Pada pengujian kadar sari larut air diperoleh 42% dimana

telah memenuhi syarat yakni lebih dari 12%, sedangkan pengujian

kadar sari larut etanol diperoleh 11% yang telah memenuhi syarat

karena melebihi 8%.

Adapun pengujian metabolit primer pada tembelekan

dilakukan uji molisch, uji benedict dan uji salliwanof. Namun, dari

ketiga pengujian tersebut tidak ada ynag menghasilkan perubahan

dalam proses pengujian.

Terdapat faktor kesalahan yang membuat hasil pengujian

yang dilakukan tidak sesuai dengan literatur. Hal ini disebabkan oleh

kurang telitinya praktikan dalam melakukan pengujian.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan baik spesifik

maupun non spesifik dapat disimpulkan bahwa, pada pemeriksaan

morfologi daun tembelekan (Lantana camara L) yang berbentuk persegi

panjang berwarna hijau, berbau khas, rasa sepat serta panjang dan

lebarnya adalah 3,6 cm dan 0,9 cm. Pada pemeriksaan anatomi terdapat

epidermis, korteks, parenkim spons, dan rambut penutup. Senyawa yang

terkandung adalah tanin. Pada pemeriksaan mutu simplisia diperoleh

kadar abu total yang diperoleh setelah percobaan adalah 3%, kadar abu

tidak larut asam sebanyak 0,4%, sari larut air sebesar 42%, sari larut

etanol sebanyak 11% dan susut pengeringan sebesar 18,5%.

B. Saran

Sebaiknya praktikan tertib dalam menjalankan praktikum. Adapun

untuk asisten, agar lebih menekankan prosedur kerja kepada praktikan.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2016. Penuntun dan Lembar Kerja Praktikum Farmakognosi 1.


Makassar : UMI.

Anggraeni E Putri., Khairina. 2012. Metode Fitokimia : Penuntun Cara


Modern Menganalisis Tumbuhan. Bandung : Penerbit ITB.
Bragem Sembiring. 2007. Warta Puslitbangbun Vol. 13 No. 2.

Dalimartha, S. 1999. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, Jilid I. Jakarta :


Trubus Agriwidya.

Depkes RI. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Cetakan Keenam.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat Dan Makanan.

Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak


Tumbuhan Obat, Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan
Makanan. Departemen Kesehatan RI : Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, 2008, Farmakope Herbal Indonesia, Edisi 1.


Jakarta.

Fransworth, N.R., (1966). Biological and Phytochemical Screening of


Plants, Journal of Pharmaceutical Sciences. Volume 55. No.3.
Chicago: Reheis Chemical Company.

Gunawan, D. dan Mulyani, S., 2004, Ilmu Obat Alam (Farmakognosi),


Cetakan I, 9-16, Penebar Swadaya, Jakarta
Herman, Analisis Kadar Mineral Dalam Abu Buah Nipa Kaliwangu Teluk
Kendari Sulteng. J. Trop. Thard Cham. (Indonesia), 2011. Vol
1. No. 2.
Juliana, V., Siti, A., Iqbal, M. 2010. Isolasi dan Karakterisasi Senyawa
Turunan Terepenoid dari Fraksi n-Heksasn. Jurnal Sains dan
Teknologi Kimia. Vol.1 (1).

Parwanto, et al., 2013. Formulasi Salep Antibakteri Ekstrak Etanol Daun


Tembelekan (Lantana Camara L). Pharmacon Jurnal Ilmiah
Farmasi Unsrat. Vol. 2, No. 03.

Rohman, Abdul., Ganjar. 2007. Kromatografi untuk Analisis Obat.


Yogyakarta : Graha Ilmu.
Saefuddin, A., Rahayu, Teruna. 2011. Standarisasi Bahan Obat Alam.
Yogyakarta : Graha Ilmu.

Sulianti, Sri Budi., Kuncari, Emma Sri., Sofnie M. Chairul. 2006.


Pemeriksaan Farmakognosi dan Penapisan Fitokimia dari
Daun dan Kulit batang Calophyllum dan Calophyllum soulatri.
Journal Biodiversitas. Vol.7 : 25-29.

Van Steenis, G. Bloe Mbergen dan P. J., Eyma. 2005. Flora Untuk
Sekolah di Indonesia. Jakarta : Pradnya Paramita.
LAMPIRAN

Lampiran 1. Skema Kerja

Tanaman Daun Tembelekan (Lantana folium)


Ekstra etanol Ampas/Residu

Ekstrak kental

Parameter spesifik Parameter non spesifik

1. Pemeriksaan identitas dan 1. Susut pengeringan


organoleptik 2. kadar air
3. sari larut air dan etanol
2. uji kandungan kimia

3. kelarutan senyawa dalam


pelarut tertentu

Analisis data

Pembahasan

Kesimpulan
Lampiran 2. Gambar Tembelekan

Daun Tembelekan
Lampiran 3. Hasil

Pemeriksaan Anatomi

Akar

Cortex

Epidermis

Batang

Rambut Penutup
Cortex
Daun
Parenkim Spons

Epidermis

Pemeriksaan Mikroskopik

Haksel

Parenkim Palisade
Serbuk

Rambut Penutup

Fragmen

Pemeriksaan Makroskopik
Lampiran 4. Perhitungan

a. Abu Total
43,0542,90
Kadar abu = 100% = 100% = 3%
5

b. Abu Tidak Larut Asam


1,221,20
Kadar abu tidak larut asam = 100 = 100% = 0,4%
5

c. Sari Larut Air

5 () 5 (48,6248,20)
Kadar sari larut dalam air = 100% = 100%
5

= 42%

d. Sari Larut Etanol

5 ()
Kadar sari larut dalam etanol = 100%

5 (36,7236,61)
= 100% = 11%
5

e. Susut Pengeringan

()
% Susut pengeringan = 100%

(44,444,03)
= 100%
2

= 18,5%

Anda mungkin juga menyukai