Anda di halaman 1dari 31

Konsep penyakit dan keganasan

pada anak dan bayi

Neuroblastoma

Neuroblastoma adalah tumor embrional dari system saraf otonom yang mana
sel tidak berkembang sempurna. Neuroblastoma umumnya terjadi bayi usia
rata-rata 17 bulan. Tumor ini berkembang dalam jaringan sistem saraf
simpatik, biasanya dalam medula adrenal atau ganglia paraspinal, sehingga
menyebabkan adanya sebagai lesi massa di leher, dada, perut, atau panggul.
Insiden neuroblastoma adalah 10,2 kasus per juta anak di bawah 15 tahun.
Yang paling umum kanker didiagnosis ketika tahun pertama kehidupan (Jhon,
2010).
Neuroblastoma merupakan tumor lunak, padat yang berasal dari sel-sel crest
neuralis yang merupakan prekusor dari medula adrenal dan sistem saraf
simpatis. Neuroblastoma dapat timbul di tempat terdapatnya jaringan saraf
simpatis. Tempat tumor primer yang umum adalah abdomen, kelenjar adrenal
atau ganglia paraspinal toraks, leher dan pelvis. Neuroblastoma umumnya
bersimpati dan seringkali bergeseran dengan jaringan atau organ yang
berdekatan (Cecily & Linda, 2002)
Neuroblastoma adalah tumor padat ekstrakranial pada anak yang paling
sering, meliputi 8-10% dari seluruh kanker masa knak-kanak, dan merupakan
neoplasma bayi yang terdiagnosis adalah 2 tahun, 90% terdiagnosis sebelum 5
tahun.Neuroblastoma berasal dari sel krista neuralis sistem saraf simpatis dan
karena itu dapat timbul di manapun dari fossa kranialis posterior sampai
koksik. Sekitar 70% tumor tersebut timbul di abdomen, 50% dari jumlah itu di
kelenjar adrenal. Dua pulu persen lainnta timbul di toraks, biasanya di
mediastinum posterior. Tumor itu paling sering meluas ke jaringan sekitar
dengan invasi lokal dan ke kelenjar limfe regional melalui nodus limfe.
Penyebaran hematogen ke sumsum tulang, kerangka, dan hati sering terjadi.
Dengan teknik imunologik sel tumor dapat dideteksi dalam darah tepi pada
lebih dari 50% anak pada waktu diagnosis atau relaps. Penyebaran ke otak dan
paru pada kasus jarang (Nelson, 2000).
Neuroblastoma adalah tumor ganas yang berasal dari sel Krista neurak
embronik, dapat timbul disetiap lokasi system saraf simpatis, merupakan
tumor padat ganas paling sering dijumpai pada anak. Insiden menempati 8%
dari tumor ganas anak, atau di posisi ke-4. Umumnya ditemukan pada anak
balita, puncak insiden pada usia 2 tahun. Lokasi predeileksi di kelenjar
adrenal retroperitoneal, mediastrinum, pelvis dan daerah kepala-leher. Tingkat
keganasan neuroblastoma tinggi, sering metastasis ke sumsum tulang, tulang,
hati, kelenjar limfe, dll (Willie, 2008).
Tumor ini biasanya tidak memungkiri asalnya, dengan mengeluarkan hormon
katekolamin. Tekanan darah tinggi yang merupakan akibat tumor ini jarang
menimbulkan keluhan, tetapi dapat berfungsi sebagai zat penanda tumor: di
dalam air kemih dapat dilihat hormon yang dikeluarkan, sehingga diagnosis
tumor menjadi jelas. Dengan dapat dipastikan, apakah tumornya
neuroblastoma atau nefroblastoma (Wim De Jong, 2005)
yang menyebutkan bahwa timbulnya neuroblastoma infantile (pada anak-
anak) berkaitan dengan orang tua atau selama hamil terpapar obat-obatan atau
zat kimia tertentu seperti hidantoin, etanol, dll. (Willie , 2008). Kelainan
sitogenik

Etiologi

Kebanyakan etiologi dari neuroblastoma adalah tidak diketahui. Ada laporan


yang terjadi pada neuroblastoma kira-kira pada 80% kasus, meliputi
penghapusan (delesi) parsial lengan pendek kromosom 1, anomali kromosom
17, dan ampifilatik genomik dari oncogen N-Myc, suatu indikator prognosis
buruk (Nelson, 2000).
Manifestasi Klinis
Menurut Cecily & Linda (2002), gejala dari neuroblastoma yaitu Gejala yang
berhubungan dengan massa retroperitoneal, kelenjar adrenal, paraspinal.
1. Massa abdomen tidak teratur,tidak nyeri tekan, keras, yang melintasi garis
tengah.
2. Perubahan fungsi usus dan kandung kemih

3. Kompresi vaskuler karena edema ekstremitas bawah

4. Sakit punggung, kelemahan ekstremitas bawah

5. Defisit sensoris

6. Hilangnya kendali sfingter

Gejala-gejala yang berhubungan dengan masa leher atau toraks.

1. Limfadenopati servikal dan suprakavikular


2. Kongesti dan edema pada wajah

3. Disfungsi pernafasan

4. Sakit kepala

5. Proptosis orbital ekimotik

6. Miosis

7. Ptosis

8. Eksoftalmos

9. Anhidrosis
Menurut Willie (2008) manifestasi klinis dari neuroblastoma berbeda tergantung
dari lokasi metastasenya:

1. Neuroblastoma retroperitoneal
Massa menekan organ dalam abdomen dapat timbul nyeri abdomen,
pemeriksaan menemukan masa abdominal yang konsistensinya keras dan
nodular, tidak bergerak, massa tidak nyeri dan sering melewati garis tengah.
Pasien stadium lanjut sering disertai asites, pelebaran vena dinding abdomen,
edema dinding abdomen.

2. Neurobalstoma mediastinal
Kebanyakan di paravertebral mediastinum posterior, lebih sering di
mediastinum superior daripada inferior. Pada awalnya tanpa gejala, namun
bila massa besar dapat menekan dan timbul batuk kering, infeksi saluran
nafas, sulit menelan. Bila penekanan terjadi pada radiks saraf spinal, dapat
timbul parastesia dan nyeri lengan.

3. Neuroblastoma leher
Mudah ditemukan, namun mudah disalahdiagnosis sebagai limfadenitis atau
limfoma maligna. Sering karena menekan ganglion servikotorakal hingga
timbul syndrome paralisis saraf simpatis leher(Syndrom horner), timbiul
miosis unilateral, blefaroptosis dan diskolorasi iris pada mata.

4. Neuroblastoma pelvis
Terletak di posterior kolon presakral, relative dini menekan organ sekitarnya
sehingga menimbulkan gejala sembelit sulit defekasi, dan retensi urin.

5. Neuroblastoma berbentuk barbell


yaitu neuroblastoma paravertebral melalui celah intervertebral ekstensi ke
dalam canalis vertebral di ekstradural. Gejala klinisnya berupa tulang
belakang kaku tegak, kelainan sensibilitas, nyeri. Dapat terjadi hipomiotonia
ekstremitas bawah bahkan paralisis.

Stadium

Beberapa system penentuan stadium staging, system kelompok evans dan


kelompok Onkologi Pediatrik (Pediatrik Oncology Group POG ). System
klasifikasi stadium neuroblastoma terutama memakai system klasifikasi stadium
klinis neuroblastoma internasional (INSS).

Klasifikasi stadium INSS :

1. Stadium I
Tumor terbatas pada organ primer, secara makroskopik reseksi utuh,
dengan atau tanpa residif mikroskopik. Kelenjar limfe regional
ipsilateral negative.
2. Stadium IIA
Operasi tumor terbatas tak dapat mengangkat total, kelenjar limfe
regional ipsilateral negative.
3. Stadium IIB
Operasi tumor terbatas dapat ataupun tak dapat mengangkat total,
kelenjar limfe regional ipsilateral positif.

4. Stadium III
Tumor tak dapat dieksisi, ekspansi melewati garis tengah, dengan atau
tanpa kelenjar limfe regional ipsi atau tanpa kelenjar limfe regional
ipsilateral positif.

5. Stadium IV
Tumor primer menyebar hingga kelenjar limfe jauh, tulang, sumsum
tulang, hati, kulit atau organ lainnya.
6. Stadium IVS
Usia <1 tahun, tumor metastasis ke kulit,hati, sumsum tulang, tapi
tanpa metastasis tulang(Willie, 2008).

Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik pada neuroblastoma menurut Suriadi dan Rita (2006), antara
lain :

a. Foto abdomen bisa memperlihatkan klasifikasi tumor. Tumor adrenalis


menggeser ginjal, tetapi biasanya tidak merubah system pelvicalyces
pada urogram intravena atau pemeriksaan ultrasonografi.
b. Peningkatan kadar kartekolamin urina (VMA dan VA)
mengkonfirmasi diagnosis pada 90% kasus dan juga merupakan
indicator rekuensi yang sensitive. Kadang-kadang timbul metastasis
tulang (Thomas, 1994)
c. CT Scan untuk mengetahui keadaan tulang pada tengkorak, leher, dada
dan abdomen.
d. fungsi sumsum tulang untuk mengetahui lokasi tumor atau metastase
tumor.
e. Analisa urine untuk mengetahui adanya Vanillymandelic acid (VMA)
homovillic acid (HVA), dopamine, norepinephrine.
f. Analisa kromosom untuk mengetahui adanya gen N myc.
g. Meningkatnya ferritin, neuron spesific enolase (NSE), ganglioside
(GDZ).

Penatalaksanaan

Menurut Cecily (2002), International Staging System untuk neuroblastoma


menetapkan definisi standar untuk diagnosis, pertahapan, dan pengobatan serta
mengelompokkkan pasien berdasarkan temuan-temuan radiografik dan bedah,
ditambah keadaan sumsum tulang.

Tumor yang terlokalisasi dibagi menjadi tahap I, II, III, tergantung cirri tumor
primer dan status limfonodus regional. Penyakit yang telah mengalami penyebaran
dibagi menjadi tahap IV dan IV (S untuk spesial ), tergantung dari adanya
keterlibatan tulang kortikal yang jauh, luasnya penyakit sumsum tulang dan
gambaran tumor primer. Anak dengan prognosis baik umumnya tidak memerlukan
pengobatan, pengobatan minimal, atau banyak reseksi. Reseksi dengan tumor
tahap I. Untuk tahap II pembedahan saja mungkin sudah cukup, tetapi kemoterapi
juga banyak digunakan dan terkadang ditambah dengan radioterpi lokal.
Neuroblastoma tahap IVS mempunyai angka regresi spontan yang tinggi, dan
penatalaksanaannya mungkin hanya terbatas pada kemoterapi dosis rendah dan
observasi ketat. Neuroblastoma tahap II dan IV memerlukan terapi intensif,
termasuk kemoterapi, terapi radiasi, pembedahan, transplantasi sumsum tulang
autokolog atau alogenik, penyelamatan sumsum tulang, metaiodobenzilquainid
(MIBG), dan imunoterapi dengan antibody monklonal yang spesifik terhadap
neuroblastoma. Pengobatan terdiri atas penggunaan kemoterapi multiagens secara
simultan atau bergantian.

1. Siklofosfamid menghambat replikasi DNA.


2. Doksorubisin mengganggu sintesis asam nukleat dan memblokir transkripsi
DNA.

3. VP-16 menghentikan metaphase dan menghambat sintesis protein dan asam


nukleat.

Jenis terapi :

1. Neuroblastoma berisiko rendah


Perawatan untuk pasien neuroblastoma beresiko rendah meliputi:
a. Operasi yang diikuti oleh watchful waiting (penungguan yang diawasi
dengan ketat).
b. Watchful waiting sendirian untuk bayi-bayi tertentu.
c. Operasi diikuti oleh kemoterapi, jika kurang dari separuh dari tumor
yang dikeluarkan atau jika gejala-gejala serius tidak dapat dibebaskan
dengan operasi.
d. Terapi radiasi untuk merawat tumor-tumor yang menyebabkan
persoalan-persoalan serius dan tidak merespon secara cepat pada
kemoterapi.
e. Kemoterapi dosis rendah.

2. Neuroblastoma beresiko sedang


Perawatan untuk pasien neuroblastoma berisiko sedang mungkin meliputi :
a. Kemoterapi.
b. Kemoterapi yang diikuti oleh operasi dan/atau terapi radiasi.
c. Terapi radiasi untuk merawat tumor-tumor yang menyebabkan persoalan-
persoalan yang serius dan tidak merespon secara cepat pada kemoterapi.

3. Neuroblastoma beresiko tinggi


a. Kemoterapi dosis tinggi yang diikuti oleh operasi untuk mengeluarkan
sebanyak mungkin tumor
b. Terapi radiasi pada tempat tumor dan, jika diperlukan, pada bagian-bagian
lain tubuh dengan kanker.
c. Transplantasi sel induk (Stem cell transplant).
d. Kemoterapi yang diikuti oleh 13-cis retinoic acid.
e. Percobaan klinik dari monoclonal antibody therapy setelah kemoterapi.
f. Percobaan klinik dari terapi radiasi dengan yodium ber-radioaktif sebelum
stem cell transplant.
g. Percobaan klinik dari stem cell transplant yang diikuti oleh 13-cis retinoic
acid.

Komplikasi
Komplikasi dari neuroblastoma yaitu adanya metastase tumor yang relatif dini ke
berbagai organ secara limfogen melalui kelenjar limfe maupun secara hematogen ke
sum-sum tulang, tulang, hati, otak, paru, dan lain-lain. Metastasis tulang umumnya ke
tulang cranial atau tulang panjang ekstremitas. Hal ini sering menimbulkan nyeri
ekstremitas, artralgia, pincang pada anak. Metastase ke sum-sum tulang
menyebabkan anemia, hemoragi, dan trombositopenia (Willie, 2008).

Prognosis

Kelangsungan hidup 5 tahun 60%. Kadang-kadang dilaporkan pemulihan


spontan(Thomas, 1994). Identifikasi factor prognosis spesifik adalah penting untuk
perencanaan terapi. Prediktor paling menonjol bagi keberhasilan adalah umur dan
stadium penyakit. Anak yang berusia kurang dari satu tahun agak lebih baik daripada
anak berumur lebih tua dengan stadium penyakit yang sama. Angka ketahanan hidup
bayi dengan penyakit berstadium rendah melebihi 90% dan bayi dengan penyakit
metastasis mempunyai angka ketahanan hidup jangka panjang 50% atau lebih. Anak
dengan penyakit stadium stadium rendah umumnya mempunyai prognosis yang
sangat baik, tidak tergantung umur. Makin tua umur penderita dan makin menyebar
penyakit, makin buruk prognosisnya. Meskipun dengan terapi konvensional atau CST
yang agresif, angka ketahanan hidup bebas penyakit untuk anak lebih tua dengan
penyakit lanjut jarang melebihi 20% (Nelson, 2000)

Factor yang terpenting dalam prognosis neuroblastoma adalah ada tidaknya


ampilifikasi oncogen N-myc.

1. ampilifikasi oncogen N-myc di atas 10 kopi menunjukkan prognosis buruk


dan terapi perlu diperkuat.
2. Pasien stadium III tanpa ampilifikasi oncogen N-myc digunakan terapi
kombinasi agresif dan survival dapat mencapai 50%
3. Pasien stadium I/II dan IVS tanpa ampilifikasi oncogen N-myc dapat
memiliki survival mencapai 90% lebih (Willie, 2008)

Kanker Pada Anak


Tahukan Anda?
Data statistic resmi dari IARC(International Agency for Research on Cancer)
menyatakan bahwa 1 dari 600 anak akan menderita kanker sebelum umur 16 tahun.

Penyakit kanker pada anak membutuhkan penanganan dengan keahlian, sarana dan
prasarana khusus.
Apabila kanker menimpa pada anak, maka akan merupakan beban yang kompleks
bukan hanya bagi orang tua tetapi juga pada saudara-saudaranya, dokter, perawat,
sekolah dan masyarakat serta lingkungannya.

Kanker pada anak diperkirakan mencapai 1% dari jumlah penyakit kanker secara
menyeluruh, namun kanker pada anak dapat disembuhkan bila dideteksi secara
dini dan pengobatan serta perawatannya dilaksanakan dengan sarana/prasarana yang
memadai.

Jenis Kanker Pada Anak

Leukimia
Leukimia adalah kanker pada anak yang paling banyak dijumpai pada anak-
anak. Leukimia mempunyai harapan sembuh dengan pengobatan yang tepat
dan benar. Gejala yang perlu diwaspadai dan sering ditemukan pada leukimia
antara lain pucat, demam atau pendarahan yang tidak jelas sebabnya, nyeri
tulang dan pembengkakan perut.
Tumor Otak
Tumor pada otak dapat mengganggu fungsu dan merusak struktur sususan
saraf pusat, karena terletak di dalam rongga yang terbatas(rongga tengkorak).
Gejala yang harus diwaspadai pada tumor otak adalah sakit yang disertai mual
sampai muntah-muntah. Dapat pula disertai daya penglihatan berkurang,
penurunan kesadaran atau perubahan perilalku.
Pada bayi biasanya ubun-ubun besar menonjpol. Hal lain yang perlu dicurigai
adalah bila terdapat gangguan bicara dan keseimbangan tubuh, anggota gerak
melemah atau kejang.
Retinablastoma
Retinablastoma adalah kanker mata yang sering dijumpai pada anak. Gejala
yang perlu duawasi ialah adanya bercak putih di bagian tengah mata yang
seolah bersinar bila kena cahaya seperti mata kucing. Hal lain yang perlu
diperhatikan ialah penglihatan yang terganggu, mata menjadi juling dan bila
telah lanjut maka bola mata menonjol keluar.
Limfoma
Limfoma Maglia adalah kanker kelenjar getah bening, kanker ini biasanya
ditandai dengan pembesaran dan pembengkakan kelenjar getah bening yang
cepat tanpa disertai rasa nyeri. Pembesaran kelenjar getah bening yang cepat
tanpa disertai rasa nyeri. Pembesaran kelenjar getah bening di daerah leher,
ketiak dan atau selangkangan serta usus tanpa disertai rasa nyeri.
Bila timbulnya di kelenjar getah bening dalam usus maka dapat menyebabkan
sumbatan pada usus dengan gejala sakit perut, muntah, tidak bisa buang air
besar dan demam. Bila tumbuh di daerah dada maka dapat mendorong atau
menekan saluran nafas. Menyebabkan sesak nafas dan muka membiru.
Neuroblastoma
Neuroblastoma adalah suatu gejala jenis kanker saraf yang dapat
menunjukkan banyak gejala, tergantung pada lokasinya. Neuroblastoma dapat
terjadi di daerah leher atau rongga dada dan mata. Bila terdapat di daerah
mata dapat menyebabkan bola mata menonjol, kelopak mata turun dan pupil
melebar.
Bila terdapat di tulang belakang dapat menekan saraf tulang belakang dan
mengakibatkan kelumpuhan yang cepat. Tumor di daerah perut akan teraba
bisa sudah besar. Penyebaran pada tulang dapat menyebabkan patah tulang
tanpa sebab, tanpa nyeri sehingga penderitanya pincang mendadak.
Tumor Wilms
Tumor Wilms adalah kanker ginjal yang paling sering dijumpai pada
anak.Kanker ini dapat ditandai dengan kecing berdarah, rasa tidak enak di
dalam perut dan bila sudah cukup besar teraba keras, biasanya diketahui
ketika anak dimandikan.
Rabdomiosarkoma
Kanker ini dijumpai pada otot di mana saja, biasanya pada anak di daerah
kepala, leher, kandung kemih, prostat(kelenjar kelamin pria) dan vagina.
Gejala yang ditimbulkan bergantung pada letak kanker.
Pada rongga mata menyebabkan mata menonjol keluar. Di telinga
menyebabkan nyeri atau keluarnya darah dari lubang telinga. Di tenggorokan
menyebabkan sumbatan jalan nafas, radang sinus(rongga sekitar hidung),
keluar darah dari hidung (mimisan) atau sulit menelan. Di saluran kandung
kemih menyebabkan gangguan buang air kecil atau air seni berdarah. Bila
mengenai saluran pencernaan dapat mengalami gangguan buang air besar.
Bila mengenai otot anggota gerak akan membengkak.
Osteosarkoma
Osteosarkoma adalah kanker pada tulang. Pembengkakan yang cepat apabila
disertai rasa nyeri perlu diwaspadai sebagai kemungkinan adanya kanker
tulang. Kanker tulang dapat menyerang setiap bagian tulang, tetapi yang
terbanyak ditemukan pada tungkai lengan dan pinggul.Kadang-kadang
didahului oleh benturan keras seperti jatuh dan sebagainya.

http://www.ykaki.org/id/cancer/page/kanker-pada-anak

Selasa, 27 Maret 2012


ASKEP NEUROBLASTOMA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN NEUROBLASTOMA

A. DEFINISI

Neuroblastoma berasal dari embrionyc neural crest dan kelenjar adrenal


merupakan tempat yang sering terkena, tumor ini mempunyai keganasan yang tinggi
pada bayi dan anak. Biasanya di temukan pada anak usia 2-4 tahun (prof. DR
Iskandar W, 1985).

Neuroblastoma adalah tumor ganas yang terjadi pada system persarafan yang
berasal dari sel-sel saraf yang terdapat paa medula adrenal dan system saraf simpatik
(Sumadi. 2001).

B. ETIOLOGI

Penyebabnya tidak diketahui. Mungkin berhubungan dengan faktor keturunan


karena pada sel-sel tumor ditemukan kelainan genetik tertentu.

C. PATOFISIOLOGI
Sel-sel kanker yang berasal dari medula adrenal dan system saraf simpatik
berploriferasi,menekan jaringan sekitarnya, kemudian menginfasi sel-sel normal
disekitarnya.

Tahap-tahap pada neuroblastoma:

Tahap I : tumor terlokalisasi pada daerah asal tumor, nodus limfe belum terkna

Tahap II : tumor unilateral, nodus limfe belumterkena

Tahap III : tumor menginfiltrasi kearaah tengah, tumor unilateral dengan terkenanya
nodus limfe, tumor mengenai seluruh nodus limfe.

Tahap IV : tumor menginvasi nodus limfelebih jauh, mengenai tulang sumsum tulang,
hati dan organ lain.

Tahap IV-S : tumor dengan cirri tahap I atau II tetapi dngan metastase pada hati,
sumsum tulang atau kulit.simpatis

Neuroblastoma berasal dari sel Krista neuralis system saraf dan karena itu
dapat timbul dimanapun dari fossa kranialis sampai koksik. Secara histologis,
Neuroblastoma terdiri atassel bulat kecil dengan granula yang banyak

D. MANIFESTASI KLINIS

Neuroblastoma bisa tumbuh di berbagai bagian tubuh. Kanker ini berasal dari
jaringan yang membentuk sistem saraf simpatis (bagian dari sistem saraf yang
mengatur fungsi tubuh involunter/diluar kehendak, dengan cara meningkatkan denyut
jantung dan tekanan darah, mengkerutkan pembuluh darah dan merangsang hormon
tertentu).

Gejalanya tergantung kepada asal tumor dan luas penyebarannya.


Gejala awal biasanya berupa perut yang membesar, perut terasa penuh dan nyeri
perut. Gejalanya juga bisa berhubungan dengan penyebaran tumor: Kanker yang telah
menyebar ke tulang akan menyebabkan nyeri tulang

Kanker yang telah menyebar ke sumsum tulang menyebabkan:


Berkurangnya jumlah sel darah merah sehingga terjadi anemia

Berkurangnya jumlah trombosit sehingga anak mudah mengalami memar


berkurangnya jumlah sel darah putih sehingga anak rentan terhadap infeksi

Kanker yang telah menyebar ke kulit bisa menyebabkan terbentuknya benjolan-


benjolan di kulit

Kanker yang telah menyebar ke paru-paru bisa menyebabkangangguanpernafasan


Kanker yang telah menyebar ke korda spinalis bisa menyebabkan kelemahan pada
lengan dan tungkai.

Sekitar 90% neuroblastoma menghasilkan hormon (misalnya epinefrin, yang


dapat menyebabkan meningkatnya denyut jantung dan terjadinya kecemasan).Gejala
lainnya yang mungkin ditemukan;

Kulitnya pucat

Di sekeliling mata tampak lingkaran hitam

Kelelahan menahun, kelelahan yang berlebihan berlangsung selama berminggu-


minggu atau berbulan-bulan

Diare

Rasa tidak enak badan (malaise) berlangsung selama berminggu-minggu atau


berbulan-bulan

Keringat berlebihan

Gerakan mata yang tak terkendali

Rewel.

E. KOMPLIKASI

- Metastase
- Prognosis buruk

F. PEMERIKSAAN FISIK

CT scan untuk mengetahui keadaan tulang pada tengkorak, leher, dada, dan
abdomen.

Punksi sumsum tulang untuk mengetahui lokasi tumor atau metastase tumor.

Analisa urine untuk mengetahui adanya vanillylmandelic aci (VMA). Homovillic


acid (HVA), dapomine, norepinephrin.

Analisa kromosom untuk mengetahui adanya gen N-myc

Meninngkatkan ferritin, neuron-specific enolase (NSE), gangnoside (GD2)

G. PENANGANAN

Adapun penanganannya antara lain adalah:

Pengobatan

Pengobatannya bervariasi, tergantung kepada lokasi, penyebaran dan usia


penderita. Jika kanker belum menyebar, biasanya diangkat melalui pembedahan.
Jika kanker berukuran besar atau telah menyebar, diberikan kemoterapi (obat anti-
kanker vincristine, siklofosfamid, doksorubisin dan cisplastin) atau terapi penyinaran.
Pemberian vitamin B12 dosis tinggi ada baiknya, walaupun belum diketahui pasti
kegunaannya.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN GANGGUAN


NEUROBLASTOMA
A. PENGKAJIAN

Pemeriksaan fisik

Riwayat penyakit

Kaji adanya rasa nyeri, demam, kelemahan, berat badan menurun, anemia.

Kaji adanya masa diabdomen, inkontinensia atau retensi urin, ekimosis pada
supsaorbital, exoptalmus, paralysis akibat kompresi pada saraf spinal.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Risiko injury berhubungan dengan mengganasnya tumor, proliferasi sel, dan dampak
pengobatan.

2. Risiko infeksi berhubungan dengan menurunnya system pertahanan tubuh

3. Risiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah

4. Nyeri berhubungan dengan dilakukannya pemeriksaan diagnostic, efek fisiologi


neoplasma.

C. INTERVENSI

1. Risiko injury berhubungan dengan mengganasnya tumor, proliferasi sel, dan dampak
pengobatan.

Tujuan: Mempertahankan kemoterapi

Kriteria hasil: > Anak akan sembuh dari penyakit baik secara sebagian maupun secara keseluruhan
dan anak tidak akan mengalami komplikasi dari kemoterapi

Perencanaan
Memberikan kemoterapi sesuai dengan anjuran

Siapkan anak dan keluarga apabila akan dilakukan pembedahan

Observasi tanda-tanda cystitis

Membantu anak dalam program radioterapi

2. Risiko infeksi berhubungan dengan menurunnya system pertahanan tubuh

Tujuan: Meningkatkan system pertahanan tubuh.

Kriteria hasil: > Anak tidak akan memperlihatkan gejala-gejala infeksi

Perencanaan

Memberikan vaksinasi dari virus yang tidak diaktifkan (misalnya varicella, polio
salk, influenza)

Kolaborasi untuk pemberian obat

3. Risiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah

Tujuan: Mengurangi mual dan muntah.

Kriteria hasil: Anak tidak akan mengalami mual atau muntah.

Perencanaan

Kolaborasi untuk pemberian cairan infuse untuk mempertahankan hidrasi.

Menghindari memberikan makanan yang memiliki aroma yang merangsang mual


atau muntah

Menganjurkan makan dengan porsi kecil tapi sering.

4. Nyeri berhubungan dengan dilakukannya pemeriksaan diagnostic, efek fisiologi


neoplasma.

Tujuan: Mengurangi rasa nyeri


Kriteria hasil: Anak tidak akan mengalami rasa nyeri atau nyeri dapat berkurang.

Perencanaan

Memberikan teknik untuk mengurangi rasa nyeri nonfarmakologi.

Kaji adanya kebutuhan klien untuk mengurangi rasa nyeri

Evalasi efektivitas terapi pengurangan rasa nyeri secara teratur untuk mencegah
timbulnya nyeri yang berulang.

DAFTAR PUSTAKA

Lynda Juall C, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, Penerjemah Monica
Ester, EGC, Jakarta
Marilyn E. Doenges, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerjemah Kariasa I Made,
EGC, Jakarta
Santosa NI, 1989, Perawatan I (Dasar-Dasar Keperawatan), Depkes RI, Jakarta.
Suharso Darto, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi, F.K. Universitas Airlangga, Surabaya.
http://sixxmee.blogspot.com/2012/03/askep-neuroblastoma.html

Sindrom Steven-Johnson, Manifestasi Klinis dan Penanganannya


Posted on Februari 17, 2012

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan


suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan
pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat.
Nama lain dari penyakit ini adalah sindrom de Friessinger-Rendu, eritema
eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-
okular, dermatostomatitis, dll. Istilah eritema multiforme yang sering dipakai
sebetulnya hanya merujuk pada kelainan kulitnya saja.

Bentuk klinis SSJ berat jarang terdapat pada bayi, anak kecil atau orang tua. Lelaki
dilaporkan lebih sering menderita SSJ daripada perempuan. Tidak terdapat
kecenderungan rasial terhadap SSJ walaupun terdapat laporan yang menghubungkan
kekerapan yang lebih tinggi pada jenis HLA tertentu.

Penyebab

Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti


karena dapat disebabkan oleh berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering
dikaitkan dengan respons imun terhadap obat.
Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri,
parasit),

obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif),

makanan (coklat),

fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X),

lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan).

Faktor penyebab timbulnya Sindrom Stevens-Johnson

Infeksivirusjamur Herpes simpleks, Mycoplasma pneumoniae, vaksiniakoksidioidomikosis,


histoplasma
bakteri
streptokokus, Staphylococcs haemolyticus, Mycobacterium
parasit tuberculosis, salmonela

malaria
Obat salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis,
kontraseptif, klorpromazin, karbamazepin, kinin, analgetik/antipiretik
Makanan Coklat

Fisik udara dingin, sinar matahari, sinar X

Lain-lain penyakit kolagen, keganasan, kehamilan

(Dikutip dengan modifikasi dari SL Moschella dan HJ Hurley, 1985)

Keterlibatan kausal obat tersebut ditujukan terhadap obat yang diberikan sebelum
masa awitan setiap gejala klinis yang dicurigai (dapat sampai 21 hari). Bila
pemberian obat diteruskan dan geja]a klinis membaik maka hubungan kausal
dinyatakan negatif. Bila obat yang diberikan lebih dari satu macam maka semua obat
tersebut harus dicurigai mempunyai hubungan kausal.
Obat tersering yang dilaporkan sebagai penyebab adalah golongan salisilat, sulfa,
penisilin, antikonvulsan dan obat antiinflamasi non-steroid.

Sindrom ini dapat muncul dengan episode tunggal namun dapat terjadi berulang
dengan keadaan yang lebih buruk setelah paparan ulang terhadap obat-obatan
penyebab.

PATOFISIOLOGI

Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan
reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh
kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan
reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV)
adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.
Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM, IgA,
C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi.
Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat
merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar.
Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel
obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab
tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi,
inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat mengendap di
daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi
komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi.

Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang
dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit
dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta
produk inflamasi lainnya.

Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang


akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.

GEJALA KLINIK

Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal,
sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi
dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut.
Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh
tubuh.

Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna
merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada
membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan
meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran
utama.

Mata : konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata


edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang
dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus
yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi
kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan
mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari
beberapa bulan sampai 31 tahun.

DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan laboratorium.


Anamnesis dan pemeriksaan fisis ditujukan terhadap kelainan yang dapat sesuai
dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor
penyebab.
Secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris, atau mata sapi, kelainan pada
mukosa, demam, dan hasil biopsi yang sesuai dengan SSJ .

Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari hubungan dengan faktor


penyebab serta untuk penatalaksanaan secara umum. Pemeriksaan yang rutin
dilakukan diantaranya adalah pemeriksaan darah tepi (hemoglobin, leukosit,
trombosit, hitung jenis, hitung eosinofil total, LED), pemeriksaan imunologik (kadar
imunoglobulin, komplemen C3 dan C4, kompleks imun), biakan kuman serta uji
resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.

Hasil biopsi dapat menunjukkan adanya nekrosis epidermis dengan keterlibatan


kelenjar keringat, folikel rambut dan perubahan dermis.

Anemia dapat dijumpai pada kasus berat yang menunjukkan gejala perdarahan.

Leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, dan pada hitung jenis terdapat
peninggian eosinofil.

Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun, dan
dapat dideteksi adanya kompleks imun yang beredar.

Pemeriksaan histopatologik dapat ditemukan gambaran nekrosis di epidermis


sebagian atau menyeluruh, edema intrasel di daerah epidermis, pembengkakan
endotel, serta eritrosit yang keluar dari pembuluh darah dermis superfisial.

Pemeriksaan imunofluoresen dapat memperlihatkan endapan IgM, IgA, C3, dan


fibrin. Untuk mendapat hasil pemeriksaan imunofluoresen yang baik maka bahan
biopsi kulit harus diambil dari lesi baru yang berumur kurang dari 24 jam.

DIAGNOSIS BANDING
Nekrosis epidermal toksik (NET) dimana
manifestasi klinis hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk
daripada SSJ.
Erythema Multiforme

Burns, Chemical

Burns, Ocular

Staphylococcal Scalded Skin Syndrome

Toxic Epidermal Necrolysis

Burns, Thermal

Dermatitis, Exfoliative

Toxic Shock Syndrome

PENATALAKSANAAN

Terapi suportif merupakan tata laksana standar pada pasien SSJ. Pasien yang
umumnya datang dengan keadaan umum berat membutuhkan cairan dan elektrolit,
serta kebutuhan kalori dan protein yang sesuai secara parenteral. Pemberian cairan
tergantung dari luasnya kelainan kulit dan mukosa yang terlibat. Pemberian nutrisi
melalui pipa nasogastrik dilakukan sampai mukosa oral kembali normal. Lesi di
mukosa mulut diberikan obat pencuci mulut dan salep gliserin.
Untuk infeksi, diberikan antibiotika spektrum luas, biasanya dipergunakan
gentamisin 5mg/kgBB/hari intramuskular dalam dua dosis. Pemberian antibiotik
selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit
dan darah.

Kortikosteroid diberikan parenteral, biasanya deksametason dengan dosis awal 1


mg/kgBB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kgBB tiap 6 jam, setelah itu
diturunkan berangsur-angsur dan bila mungkin diganti dengan prednison per oral.
Pemberian kortikosteroid sistemik sebagai terapi SSJ masih kontroversial. Beberapa
mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan
penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang
menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.

Penggunaan Human Intravenous Immunoglobulin (IVIG) dapat menghentikan


progresivitas penyakit SSJ dengan dosis total 3 gr/kgBB selama 3 hari berturut-turut
(1 gr/kgBB/hari selama 3 hari).

Dilakukan perawatan kulit dan mata serta pemberian antibitik topikal. Kulit dapat
dibersihkan dengan larutan salin fisiologis atau dikompres dengan larutan Burrow.
Pada kulit atau epidermis yang mengalami nekrosis dapat dilakukan debridement.
Untuk mencegah sekuele okular dapat diberikan tetes mata dengan antiseptik.

Faktor penyebab (obat atau faktor lain yang diduga sebagai penyebab) harus segera
dihentikan atau diatasi. Deteksi dari penyebab yang paling umum seperti riwayat
penggunaan obat-obatan terakhir, serta hubungannya dengan perkembangan
penyakit terutama terhadap episode SSJ, terbukti bermanfaat dalam manajemen
SSJ.

Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi
kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.

Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat
(Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-
12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat
diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10
mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.

Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.

Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.

Lesi mulut diberi kenalog in orabase.


Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi,
berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya
klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.

PROGNOSIS

Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam
waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan
berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih
berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis

http://allergyclinic.wordpress.com/2012/02/17/sindrom-steven-johnson-manifestasi-klinis-
dan-penanganannya-2/

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN


DENGAN STEVEN JOHNSON
A.Pengertian
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di
orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat,
kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda,
1993: 127).
Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari
erupsi kulit, kelainan dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982: 480).
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula,
dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata
dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).
B.Etiologi
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap
sebagai penyebab adalah:
1. Alergi obat secara sistemik
a. penisilin, analgetik, arti piuretik
b. Penisilline dan semisentetiknya
c. Sthreptomicine
d. Sulfonamida
e. Tetrasiklin
f. Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol, metampiron dan
paracetamol)
g. Kloepromazin
h. Karbamazepin
i. Kirin Antipirin
j. Tegretol
2. Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)
3. Neoplasma dan faktor endokrin
4. Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)
C.Manefestasi klinis
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya
bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun,
penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala
prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri
tenggorokan.

Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:


1. Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian
memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura.
Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.
2. Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian
disusul oleh kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan dilubang hidung dan
anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).
3. Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi dan
ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dalam terbentuk pseudomembran. Dibibir
kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal.
4. Kelainan dimukosa dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas
dan esofagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan.
Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.
5. Kelainan mata
konjungitivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan
bola mata), konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak
mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang
dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus
yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi
kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan
mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari
beberapa bulan sampai 31 tahun.
6. Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya:
nefritis dan onikolisis.
7. Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal,
sakit nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat
berat dan kombinasi gejala tersebut.
C.Komplikasi
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang didapati sejumlah 16 %
diantara seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau
darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan
karena gangguan lakrimasi.
D.Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan
IV. Reaksi

tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-
presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi
neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan
pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit
T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian
limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000: 147) .
1. Reaksi Hipersensitif tipe III.
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah
mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak
ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya.
Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan
terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III
mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan
jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah
tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan
enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan
berlanjut (Corwin, 2000: 72).
2. Reaksi Hipersensitif Tipe IV
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin
atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang
bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed)
memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.
E.Test diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium:
Tidak ada pemeriksaan labor (selain biopsi) yang dapat membantu dokter dalam
menegakkan diagnosa.
2. Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah putih yang
normal atau leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam kadar sel darah putih dapat
mengindikasikan kemungkinan infeksi bakterial berat.
3. Determine renal function and evaluate urine for blood.
4. Pemeriksaan elektrolit
5. Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai terjadi.
6. Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan
kolonoskopi dapat dilakukan
7. Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis
8. Pemeriksaan histopatologi dan imonohistokimia dapat mendukung ditegakkannya
diagnosa.

G.Penatalaksanaan
1. Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone
30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus
diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan
digunakan deksametason intravena

dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.Umumnya masa kritis diatasi dalam


beberapa hari. Pasien steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan
deksametason 65 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum
membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan
secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari,
deksametason intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone
yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian
diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan
kira-kira 10 hari.Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan
elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi
hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi
hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet
tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat
dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).
2. Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat
menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi,
berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80
mg.Infus dan tranfusi darah.
3. Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar
atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat
menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow.
Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi
darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai
purpura yang luas.
4. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg
atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik.
5. Topikal :
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit
yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.
H.Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Nama;
Jenis kelamin
Umur
Status perkawinan
Pekerjaan
Agama

Pendidikan terakhir
Alamat.
b. Riwayat Kesehatan lalu
c. Riwayat kesehatan sekarang
d. Riwayat kesehatan keluarga
e. Riwayat pengobatan
f. Data sosial ekonomi
g. Aktifitas sehari-hari
h. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
Tanda-tanda Vital : suhu tubuh, tekanan darah, nadi, pernafasan.
2. Diagnosa
a. Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal
KH: menunjukkan kulit dan jaringan kulit yang utuh
Intervensi:
Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan
lainnya yang terjadi.
Rasional: menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat
dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat
Gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut
Rasional: menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari baju, membiarkan insisi
terbuka terhadap udara meningkat proses penyembuhan dan
menurunkan resiko infeksi
Jaga kebersihan alat tenun
Rasional: untuk mencegah infeksi
Kolaborasi dengan tim medis
Rasional: untuk mencegah infeksi lebih lanjut
b. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan
KH: menunjukkan berat badan stabil/peningkatan berat badan
Intervensi:
Kaji kebiasaan makanan yang disukai/tidak disukai
Rasional: memberikan pasien/orang terdekat rasa kontrol, meningkatkan partisipasi
dalam perawatan dan dapat memperbaiki pemasukan
Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering
Rasional: membantu mencegah distensi gaster/ketidaknyamanan

Hidangkan makanan dalam keadaan hangat


Rasional: meningkatkan nafsu makan
Kerjasama dengan ahli gizi
Rasional: kalori protein dan vitamin untuk memenuhi peningkatan kebutuhan
metabolik, mempertahankan berat badan dan mendorong regenerasi jaringan.
c. Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit
KH:
Melaporkan nyeri berkurang
Menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh rileks
Intervensi:
Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi dan intensitasnya
Rasional: nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan
jaringan
Berikan tindakan kenyamanan dasar ex: pijatan pada area yang sakit
Rasional: meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot dan kelelahan umum
Pantau TTV
Rasional: metode IV sering digunakan pada awal untuk memaksimalkan efek
obat
Berikan analgetik sesuai indikasi
Rasional: menghilangkan rasa nyeri
d. Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik
KH: klien melaporkan peningkatan toleransi aktivitas
Intervensi:
Kaji respon individu terhadap aktivitas
Rasional: mengetahui tingkat kemampuan individu dalam pemenuhan aktivitas
sehari-hari.
Bantu klien dalam memenuhi aktivitas sehari-hari dengan tingkat keterbatasan yang
dimiliki klien
Rasional: energi yang dikeluarkan lebih optimal
Jelaskan pentingnya pembatasan energy
Rasional: energi penting untuk membantu proses metabolisme tubuh
Libatkan keluarga dalam pemenuhan aktivitas klien
Rasional: klien mendapat dukungan psikologi dari keluarga
e. Gangguan persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis
KH :
Kooperatif dalam tindakan

Menyadari hilangnya pengelihatan secara permanen


Intervensi:
Kaji dan catat ketajaman pengelihatan
Rasional: Menetukan kemampuan visual
Kaji deskripsi fungsional apa yang dapat dilihat/tidak.
Rasional: Memberikan keakuratan terhadap penglihatan dan perawatan.
Sesuaikan lingkungan dengan kemampuan pengelihatan:
Rasional: Meningkatkan self care dan mengurangi ketergantungan.
Orientasikan terhadap lingkungan.
Letakan alat-alat yang sering dipakai dalam jangkuan penglihatan klien.
Berikan pencahayaan yang cukup.
Letakan alat-alat ditempat yang tetap.
Berikan bahan-bahan bacaan dengan tulisan yang besar.
Hindari pencahayaan yang menyilaukan.
Gunakan jam yang ada bunyinya.
Kaji jumlah dan tipe rangsangan yang dapat diterima klien.
Rasional: Meningkatkan rangsangan pada waktu kemampuan penglihatan menurun.

DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Price dan Wilson. 1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi
2. Jakarta: EGC.
Tim Penyusun. 1982. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius.
Tim Penyusun. 2000. Kapita Selekta Kedokteran 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Kamus kedokteran Dorland_EGC,
Kamus kedokteran _penerbitdjambatan,
Ilmu penyakit kulit kelamin_FK UI, saripati penyakit kulit_EGC
Ma_ni blog

http://weisaku.wordpress.com/2010/01/14/asuhan-keperawatan-pada-klien-dengan-
steven-johnson/

Anda mungkin juga menyukai