Anda di halaman 1dari 19

A.

DEFINISI
Neuralgia post herpetik (NPH) merupakan nyeri neuropatik yang sangat mengganggu
akibat komplikasi yang serius dari herpes zooster yang sering terjadi pada orang tua. The
International Association for Study of Pain (IASP) menggolongkan neuralgia post herpetika
sebagai nyeri kronik yaitu nyeri yang timbul setelah penyembuhan usai atau nyeri yang
berlangsung lebih dari tiga bulan tanpa adanya malignitas. 1,2,3 NPH biasanya terjadi pada
populasi usia pertengahan dan usia lanjut serta menetap hingga bertahun-tahun setelah
penyembuhan erupsi (cacar). Nyeri umumnya diekspresikan sebagai sensasi terbakar
(burning) atau tertusuk-tusuk (shooting) atau gatal (itching), bahkan yang lebih berat lagi
terjadi allodinia (rabaan atau hembusan angin dirasakan sebagai nyeri) dan hiperalgesia
(sensasi nyeri yang dirasakan berlipat ganda). Pada pasien dengan NPH, biasanya terjadi
perubahan fungsi sensorik pada area yang terkena. Pada satu penelitian, hampir seluruh
penderita memiliki area erupsi yang sangat sensitif terhadap nyeri, dengan sensasi abnormal
terhadap sentuhan ringan, nyeri atau temperature pada area kulit yang terkena.

B. EPIDEMIOLOGI
Kebanyakan data insidensi herpes zoster dan neuralgia paska herpertika didapatkan
dari data Eropa dan Amerika Serikat. Insedensi dari herpes zoster pada negara-negara
tersebut bervariasi dari 1.3 sampai 4.8/1000 pasien/tahun, dan data ini meningkat dua sampai
empat kali lebih banyak pada individu dengan usia lebih dari 60 tahun. Data lain menyatakan
pada penderita imunokompeten yang berusia dibawah 20 tahun dilaporkan 0.4-1.6 kasus per
1000; sedangkan untuk usia di atas 80 tahun dilaporkan 4.5-11 kasus per 1000. Pada
penderita imunidefisiensi (HIV) atau anak-anak dengan leukimia dilaporkan 50-100 kali
lebih banyak dibandingkan kelompok sehat usia sama. Penelitian Choo 2011 melaporkan
prevalensi terjadinya neuralgia paska herpetika setelah onset ruam herpes zoster sejumlah 8
kasus/100 pasien dan 60 hari setelah onset sekitar 4.5 kasus/100 pasien. Sehingga
berdasarkan penelitia Choo, diperkirakan angka terjadi neuralgia paska herpetika sekitar
80.000 kasus pada 30 hari dan 45.000 kasus pada 60 hari per 1 juta kasus herpes zoster di
Amerika Serikat per tahunnya. Sedangkan belum didapatkan angka insidensi Asia Australia
dan Amerika Selatan, tetapi presentasi klinis dan epidemiologi herpes zoster di Asia,
Australia dan Amerika Selatan mempunyai pola yang sama dengan data dari Eropa dan
Amerika Serikat. Pada herpes zoster akut hampir 100% pasien mengalami nyeri, dan pada
10-70%nya mengalamia neuralgia paska herpetika. Nyeri lebih dari 1 tahun pada penderita
berusia lebih dari 70 tahun dilaporkan mencapai 48%.

C. ETIOLOGI

Neuralgia post herpetik disebabkan oleh infeksi virus herpes zooster. Virus varisella
zooster merupakan salah satu dari delapan virus herpes yang menginfeksi manusia. Virus ini
termasuk dalam famili herpesviridae. Struktur virus terdiri dari sebuah icosahedral
nucleocapsid yang dikelilingi oleh selubung lipid. Ditengahnya terdapat DNA untai ganda.
Virus varisella zoster memiliki diameter sekitar 180-200 nm. Herpes Zooster adalah infeksi
virus yang terjadi senantiasa pada anak-anak yang biasa disebut dengan varicella (chicken
pox). Tipe Virus yang bersifat patogen pada manusia adalah herpes virus-3 (HHV-3), biasa
juga disebut dengan varisella zoster virus (VZV). Virus ini berdiam di ganglion posterior
susunan saraf tepi dan ganglion kranialis terutama nervus kranialis V(trigeminus) pada
ganglion gasseri cabang oftalmik dan vervus kranialis VII (fasialis) pada ganglion
genikulatum. 4,5,6,7,8

Herpes zoster merupakan infeksi virus (yang sifatnya terlokalisir) dari reaktivasi
infeksi virus varicella-zoster endogen (telah ada sebelumnya dalam tubuh seseorang). Virus
ini bersifat laten pada saraf sensorik atau pada saraf-saraf wajah dan kepala (saraf kranialis)
setelah serangan varicella (cacar air) sebelumnya. Reaktivasi virus sering terjadi setelah
infeksi primer, namun bila sistem kekebalan tubuh mampu meredamnya maka tidak nampak
gejala klinis. Sekitar 90% orang dewasa di Amerika Serikat pada pemeriksaan laboratorium
serologik (diambil dari darah) ditemukan bukti adanya infeksi varicella-zoster sehingga
menempatkan mereka pada kelompok resiko tinggi herpes zoster.

D. KLASIFIKASI NYERI

Berikut adalah rasa nyeri yang dapat digunakan sebagai penanda suatu penyakit:

1. Nyeri Nosiseptif : nyeri timbul sebagai akibat perangsangan pada nosiseptor (serabut
A- dan serabut C) oleh rangsang mekanik, termal, kimiawi
2. Nyeri Somatik: nyeri timbul pada organ non-viseral, misal nyeri pasca bedah, nyeri
metastatic, nyeri tulang, dan nyeri artritik

3. Nyeri Somatic Superfisial: menimbulkan nyeri di kulit berupa rangsang mekanis,


suhu, kimiawi, listrik. Kulit punya banyak saraf sensorik sehingga kerusakan kulit
menimbulkan sensasi lesi nyeri yang akurat (yang terbatas dermatom)

4. Nyeri Somatic Dalam: Nyeri yang berasal dari otot, tendon, ligamentum, tulang,
sendi, dan arteri. Struktur tadi memiliki lebih sedikit reseptor sehingga lokasi nyeri
sering tidak jelas.

5. Nyeri Viseral: nyeri berasal dari organ dalam, biasanya akibat distensi organ
berongga, misal usus, kandung empedu, pancreas, jantung. Nyeri visceral sering kali
diikuti referred pain dan sensasi otonom (mual, muntah)

6. Nyeri Neuropatik: nyeri yang timbul akibat iritasi atau trauma pada saraf, seringkali
persisten, walaupun penyebabnya sudah tidak ada, nyeri dirasa seperti terbakar,
tersengat listrik, alodinia, disestesi.

7. Nyeri Psikogenik: nyeri yang tidak memenuhi criteria nyeri somatic, dan nyeri
neuropatik, dan memenuhi criteria untuk depresi atau kelainan psikosomatik.

Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Durasi

1. Nyeri Akut: nyeri yang mereda setelah penyembuhan

2. Nyeri Kronik: nyeri yang tetap berlanjut walaupun di beri pengobatan dan nyeri tidak
memiliki makna biologic. Nyeri kronik merupakan suatu sindrom kompleks yang
memerlukan pendekatan multidisiplin untuk penanganan.

Macam Nyeri yang lain

1. Nyeri Setempat: terjadi karena iritasi pada ujung saraf penghantar impuls nyeri.
Biasanya terus menerus atau hilang timbul (intermiten). Nyeri bertambah pada sikap
tertentu atau karena gerakan. Pada penekanan nyeri dapat bertambah hebat atau diluar
masa dapat ditimbulkan nyeri tekan.

2. Referred Pain (nyeri pindah): nyeri yang dirasakan ditempat lain bukan di tempat
kerusakan jaringan penyebab nyeri. Misal pada infark miokard, nyeri dirasa di bahu
kiri; pada kolesistitis, nyeri dirasa di bahu kanan
3. Nyeri Radikular: serupa referred pain, tapi nyeri radikular berbatas tegas, terbatas
pada dermatomnya, sifat nyeri lebih keras dan terasa pada permukaan tubuh. Nyeri
timbul karena perangsangan pada radiks (baik tekanan, terjepit, sentuhan, regangan,
tarikan)

4. Nyeri akibat spasmus otot (pegal): terjadi ketika otot dalam keadaan tegang (akibat
kerja berat), keadaan tegang mental juga berperan terjadinya ketegangan pada otot

Mekanisme Nyeri

Proses nyeri terjadi saat simuli nosiseptor oleh stimulus noxious (nyeri) sampai terjadinya
pengalaman subyektif nyeri adalah suatu seri kejadian elektrik dan kimia. Selama proses
tersebut terdapat 4 proses

1. Transduksi : aktivasi reseptor, adanya stimulus nyeri yang mengakibatkan stimulasi


nosiseptor, disini stimulus noxious dirubah menjadi potensial aksi

2. Transmisi: potensial aksi ditransmisikan menuju neuron susunan saraf pusat yang
berhubungan dengan nyeri. Tahap dimulai dari konduksi impuls dari neuron aferen
primer ke kornu dorsalis medulla spinalis, kemudian akan bersinaps pada neuron
susunan saraf pusat, lalu naik keatas menuju batang otak dan thalamus. Selanjutnya
terjadi hubungan timbal balik antara thalamus antara pusat yang lebih tinggi di otak
yang mengurusi respon persepsi dan afektif yang berhubungan dengan nyeri. Tapi
rangsangan nosiseptif tidak selalu menimbulkan persepsi nyeri dan sebaliknya
persepsi nyeri bisa terjadi tanpa stimulasi nosiseptif

3. Modulasi: sinyal yang mampu mempengaruhi proses nyeri tersebut, tempat modulasi
sinyal yaitu kornu dorsalis medulla spinalis

4. Persepsi: pesan nyeri di relay menuju ke otak dan menghasilkan pengalaman yang
tidak menyenangkan

Mekanisme nyeri

Proses terjadinya nyeri secara umum dapat dibagi menjadi 4 fase :

a. Fase I : proses stimulasi singkat (nyeri nosiseptif)


b. Fase II : proses stimulasi yang berkepanjangan, yang menyebutkan lesi atau
inflamasi jaringan (nyeri inflamasi)
c. Fase III : proses yang terjadi akibat lesi dari sistem saraf (nyeri neuropatik)
d. Fase IV : proses yang terjadi akibat respon abnormal susunan saraf (nyeri
fungsional) Fase I disebut juga nyeri nosiseptif. Pukulan, cubitan, aliran listrik
dan sebagainya, yang mengenai bagian tubuh tertentu akan menyebabkan
timbulnya persepsi nyeri. Bila stimulasi tersebut tidak begitu kuat dan tidak
menimbulkan lesi, maka persepsi nyeri yang timbul akan terjadi dalam waktu
singkat. 16

Fase II, nyeri yang terjadi pada fase II berbeda dengan fase I. Pada fase II, stimuli yang
merangsang jaringan cukup kuat, sehingga jaringan akan menyebabkan fungsi berbagai
komponen sistem nosiseptif berubah.16 Ciri khas dari inflamasi ialah rubor, kalor, tumor, dolor
dan fungsiolesa. Rubor dan kalor merupakan akibat bertambahnya aliran darah, tumor akibat
meningkatnya permeabilitas pembuluh darah, dolor terjadi akibat aktivasi atau sensitisasi
nosiseptor dan berakhir dengan adanya penurunan fungsi jaringan yang mengalami inflamasi
(fungsiolesa).16 Perubahan sistem nosiseptif pada inflamasi disebabkan oleh jaringan yang
mengalami inflamasi mengeluarkan berbagai mediator inflamasi, speri bradikinin, prostaglandin,
leukotrien, amin, purin, sitokin, dan sebagainya, yang dapat mengaktivasi atau men-sensitisasi
nosiseptor secara langsung maupun tidak langsung.16

Fase III dikenal sebagai nyeri neuropatik. Lesi saraf tepi atau sentral akan mengakibatkan
hilangnya fungsi seluruh atau sebagian dari sistem saraf tersebut. Lesi saraf menyebabkan
perubahan fungsi neuron sensorik yang dalam keadaan normal dipertahankan secara aktif oleh
keseimbangan antara neuron dengan lingkungannya. Gangguan yang terjadi dapat berupa
gangguan keseimbangan neuron sensorik, melalui perubahan molekuler, sehingga aktivitas
sistem saraf aferen menjadi abnormal (mekanisme perifer) yang selanjutnya menyebabkan
gangguan nosiseptif sentral (sensitisasi sentral). 4 mekanisme penyebab timbulnya aktivitas
abnormal sistem saraf aferen akibat lesi, yaitu:3,16

1. aktivitas ektopik
2. sensitisasi nosiseptor
3. interaksi abnormal antar serabut saraf
4. hipersensitivitas terhadap katekolamin
Fase IV disebut nyeri fungsional yang merupakan konsep yang masih baru. Bentuk sensitivitas
nyeri ini ditandai dengan tidak ditemukannya abnormalitas perifer dan defisit neurologis. Nyeri
disebabkan oleh respon atau fungsi abnormal sistem saraf, dimana sensitivitas apparatus sensorik
memperkuat gejala. Beberapa kondisi umum memiliki gambaran tipe nyeri ini yaitu
fibromyalgia,irritable bowel syndrome,beberapa bentuk nyeri dada non-kardiak, dan nyeri kepala
tipe tegang.16

E. PATOGENESIS

Infeksi primer virus varisella zoster dikenal sebagai varisella atau cacar air. Virus ini
masuk ke tubuh melalui system respiratorik. Pada nasofaring, virus varisella zoster
bereplikasi dan menyebar melalui aliran darah sehingga terjadi viremia dengan manifestasi
lesi kulit yang tersebar di seluruh tubuh. Periode inkubasi sekitar 14-16 hari setelah paparan
awal. Setelah infeksi primer dilalui, virus ini bersarang di ganglia akar dorsal, hidup secara
dorman selama bertahun-tahun. Patogenesis terjadinya herpes zoster disebabkan oleh
reaktivasi dari virus varisella zoster yang hidup secara dorman di ganglion. Imunitas seluler
berperan dalam pencegahan pemunculan klinis berulang virus varicella zoster dengan
mekanisme tidak diketahui. Hilangnya imunitas seluler terhadap virus dengan bertambahnya
usia atau status imunokompromis dihubungkan dengan reaktivasi klinis. Saat terjadi
reaktivasi, virus berjalan di sepanjang akson menuju ke kulit. Pada kulit terjadi proses
peradangan dan telah mengalami denervasi secara parsial. Di sel-sel epidermal, virus ini
bereplikasi menyebabkan pembengkakan, vakuolisasi dan lisis sel sehingga hasil dari proses
ini terbentuk vesikel yang dikenal dengan nama Lipschutz inclusion body. Pada ganglion
kornu dorsalis terjadi proses peradangan, nekrosis hemoragik, dan hilangnya sel-sel saraf.
Inflamasi pada saraf perifer dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan dan
dapat menimbulkan demielinisasi, degenerasi wallerian dan proses sklerosis. Proses
perjalanan virus ini menyebabkan kerusakan pada saraf.

Beberapa perubahan patologi yang dapat ditemukan pada infeksi virus varisella
zoster:
1. Reaksi inflamatorik pada beberapa unilateral ganglion sensorik di saraf spinal
atau saraf kranial sehingga terjadi nekrosis dengan atau tanpa tanda perdarahan.
2. Reaksi inflamatorik pada akar spinal dan saraf perifer beserta ganglionnya.
3. Gambaran poliomielitis yang mirip dengan akut anterior poliomielitis, yang dapat
dibedakan dengan lokalisasi segmental, unilateral dan keterlibatan dorsal horn,
akar dan ganglion.
4. Gambaran leptomeningitis ringan yang terbatas pada segmen spinal, kranial dan
akar saraf yang terlibat.

Virus herpes zooster kebanyakan memusnahkan sel-sel ganglion yang berukuran


besar. Yang tersisa adalah sel-sel berukuran kecil. Mereka tergolong dalam serabut halus
yang mengahantarkan impuls nyeri, yaitu serabut A-delta dan C. Sehingga semua impuls
yang masuk diterima oleh serabut penghantar nyeri. Selain itu pada saraf perifer terjadi
perlukaan mengakibatkan saraf perifer tersebut memiliki ambang aktivasi yang lebih rendah
sehingga menimbulkan hyperesthesia yaitu respon sensitifitas yang berlebihan terhadap
stimulus. Hal ini menunjukkan adanya kelainan pada proses transduksi. 1,2,4,11,17
Penghantaran nyeri pada proses transmisi juga mengalami gangguan. Hal ini diakibatkan
oleh hilangnya impuls yang disalurkan oleh serabut tebal maka semua impuls yang masih
bisa disalurkan kebanyakan oleh serabut halus. Akibatnya sumasi temporal tidak terjadi,
karena impuls yang seharusnya dihantarkan melalui serabut tebal dihantarkan oleh serabut
halus. Karena sebagian besar dari serabut tebal sudah musnah, maka mayoritas dari serabut
terdiri dari serabut halus. Karena itu sumasi temporal yang wajar hilang. 1,2,4,11,17
Dengan hilangnya sumasi temporal maka proses modulasi yang terjadi pada kornu
posterior tidak berjalan secara normal akibatnya tidak terjadi proses antara sistem analgesilk
endogen dengan asupan nyeri yang masuk ke kornu posterior. Kornu posterior adalah pintu
gerbang untuk membuka dan menutup jalur penghantaran nyeri. Hal ini dapat mengakibatkan
munculnya gejala hyperalgesia.1,2,4,11,17 Maka dari itu impuls yang dipancarkan ke inti
thalamus semuanya tiba kira-kira pada waktu yang sama dan hampir semuanya telah
dihantarkan oleh serabut halus yang merupakan serabut penghantar impuls nyeri. Kedatangan
impuls yang serentak dalam jumlah yang besar dipersepsikan sebagai nyeri hebat yang sesuai
dengan sifat neuralgia. Sesuai dengan tipe pada penghantaran serabut saraf masing-masing,
yaitu serabut saraf tipe A membawa nyeri tajam, tusuk dan selintas sedangkan serabut saraf
tipe C membawa nyeri lambat dengan rasa terbakar dan berkepanjangan. Hal ini
mengakibatkan timbulnya allodinia, yaitu nyeri yang disebabkan oleh stimulus normal
(secara normal semestinya tidak menimbulkan nyeri).1,2,4,11,17 Pada otopsi pasien yang
pernah mengalami herpes zoster dan neuralgia paska herpetika ditemukan atrofi kornu
dorsalis, sedangkan pada pasien yang mengalami herpes zoster tetapi tidak mengalami
neuralgia paska herpetika tidak ditemukan atrofi kornu dorsalis.

Pada keadaan fisiologis, stimulus nosiseptif diterima oleh 3 macam reseptor saraf,
yakni mekanoseptor, termoreseptor, dan nosiseptor polimodal. Mekanoseptor diaktivasi oleh
stimulus mekanis, kemudian ditransmisikan oleh serabut saraf A dan C, sedangkan
termoreseptor diaktivasi oleh stimulus termal yang kebanyakan ditransmisikan oleh serabut
saraf C. Serabut saraf A dan C merupakan serabut saraf aferen pada akson distal dari neuron
sensoris primer. Serabut saraf C sangat halus, tidak bermyelin, mengalirkan stimulus
secara lambat. Serabut saraf C adalah serabut saraf polimodal dan mentransmisikan nyeri
tumpul atau seperti terbakar. Serabut saraf A bermyelin tipis dan mengalirkan stimulus
dengan cepat. Serabut saraf A merespons sentuhan ringan, suhu, tekanan, serta nyeri
bersifat tajam dan dapat meletupkan potensial aksi sesuai dengan proporsi intensitas stimulus
yang diterimanya.7

Neuralgia pascaherpetika termasuk nyeri neuropatik, yakni nyeri yang disebabkan


oleh kerusakan atau disfungsi primer pada system saraf. Pada nyeri neuropatik terjadi
kerusakan saraf perifer dan perubahan sinyal sistem saraf pusat, sehingga terjadi letupan
potensial aksi spontan, ambang aktivasi saraf yang menurun, dan peningkatan respon
terhadap stimulus.8,9 Mekanisme terjadinya neuralgia pascaherpetika dapat berlainan pada
setiap individu sehingga manifestasi nyeri yang berhubungan dengan neuralgia
pascaherpetika juga berlainan. Replikasi virus di dalam ganglion dorsalis menyebabkan
respon inamasi berupa pembengkakan, perdarahan, nekrosis dan kematian
sel neuron. Kemudian virus akan menyebar secara sentrifugal sepanjang saraf menuju ke
kulit, menyebabkan inamasi dan kerusakan saraf perifer. Kadang-kadang virus menyebar
secara sentripetal ke arah medula spinalis (mengenai area sensorik dan motorik) serta batang
otak. Hal ini menyebabkan sensitisasi ataupun deaferenisasi elemen saraf perifer dan
sentral.1,6
Sensitisasi saraf perifer terutama terjadi pada nosiseptor serabut saraf C yang halus
dan tidak bermyelin. Sensitisasi ini menyebabkan ambang sensoris terhadap suhu menurun,
menimbulkan heat hyperalgesia, yakni nyeri seperti terbakar. Selain itu juga terjadi letupan
ektopik dari nosiseptor C yang rusak sehingga timbul alodinia, yakni rasa nyeri akibat
stimulus yang pada keadaan normal tidak menimbulkan rasa nyeri. Sebagai respon atas
menghilangnya sebagian besar input serabut saraf C karena kerusakan tersebut, terbentuk
tunas-tunas serabut saraf A yang menerima rangsang non-noksius mekanoseptor di lapisan
superf sial kornu dorsalis medula spinalis. Pertunasan ini menyebabkan hubungan antara
serabut saraf A yang tidak menghantarkan nyeri dengan serabut saraf C, sehingga stimulus
yang tidak menyebabkan nyeri (raba halus) dipersepsikan sebagai nyeri.1,5,8 Selain
sensitisasi perifer dapat juga terjadi sensitisasi sentral yang menyebabkan terjadinya nyeri
spontan maupun nyeri yang diprovokasi, berupa alodinia dan hiperalgesia.

Sensitisasi sentral disebabkan oleh aktivitas ektopik dari serabut saraf aferen.
Neurotransmiter eksitatorik utama di medula spinalis adalah glutamat yang berikatan dengan
reseptor N-Metil-D-Aspartat (NMDA). Glutamat diproduksi oleh serabut saraf aferen primer
di kornu dorsalis. Pada keadaan istirahat glutamat akan mengaktivasi reseptor ionotropik -
amino-3-hidroksi-5 metil-4-isoksazol propionat (AMPA), reseptor kainat, dan reseptor
metabotropik glutamat (mGluRs), sedangkan reseptor NMDA diblok oleh ion magnesium
sehingga mencegah masuknya ion natrium dan kalsium yang akan terjadi saat glutamate
berikatan dengan reseptor NMDA tersebut. Aktivasi pascasinap yang berulang akan
menyebabkan sumasi potensial sinaptik dan depolarisasi membran yang progresif. Hal ini
menyebabkan reseptor NMDA terbebas dari blok ion magnesium yang selanjutnya
menyebabkan in uks kation-kation ke dalam sel dan depolarisasi membran makin
progresif.5,9 Neuralgia pascaherpetika juga dapat terjadi akibat proses deaferenisasi, yakni
hilangnya serabut saraf aferen sensoris baik yang berdiameter besar maupun kecil. Lesi pada
serabut saraf perifer maupun sentral dapat memacu terjadinya remodeling dan
hipereksitabilitas membrane sel. Lesi yang masih terhubung dengan badan sel akan
membentuk tunas-tunas baru. Tunastunas baru ini ada yang mencapai organ target,
sedangkan yang tidak mencapai organ target akan membentuk neuroma, di neuroma ini akan
terakumulasi berbagai kanal ion, terutama kanal ion natrium, molekul-molekul transduser
dan reseptor-reseptor baru, sehingga pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya letupan
ektopik, mekanosensitivitas abnormal, sensitivitas terhadap suhu dan kimia. Letupan ektopik
dan sensitisasi berbagai reseptor akan menyebabkan timbulnya nyeri spontan dan nyeri yang
diprovokasi. Letupan spontan pada neuron sentral yang terdeaferenisasi akan menyebabkan
terjadinya nyeri konstan pada area tersebut.1,8

E. FAKTOR RESIKO

Beberapa faktor resiko terjadinya neuralgia paska herpetika adalah meningkatnya usia,
nyeri yang hebat pada fase akut herpes zoster dan beratnya ruam HZ. Dikatakan bahwa ruam
berat yang terjadi dalam 3 hari setelah onset herpes zoster, 72% penderitanya mengalami
neuralgia paska herpetika. Faktor resiko lain yang mempunyai peranan pula dalam menimbulkan
neuralgia paska herpetika adalah gangguan sistem kekebalan tubuh, pasien dengan penyakit
keganasan (leukimia, limfoma), lama terjadinya ruam.

F. MANIFESTASI KLINIS

Tanda khas dari herpes zooster pada fase prodromal adalah nyeri dan parasthesia pada
daerah dermatom yang terkena. Dworkin membagi neuralgia post herpetik ke dalam tiga fase:
1. Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya berlangsung < 4
minggu,
2. Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4 bulan,
3. Neuralgia post herpetik: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi kulit atau 3
bulan setelah penyembuhan lesi herpes zoster. 1,3

Pada umumnya penderita dengan herpes zoster berkunjung ke dokter ahli penyakit kulit
oleh karena terdapatnya gelembung gelembung herpesnya. Keluhan penderita disertai dengan
rasa demam, sakit kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala prodromal
timbul lesi makulopapular eritematosa unilateral mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat
berubah bentuk menjadi lesi vesikular. Nyeri yang timbul mempunyai intensitas bervariasi dari
ringan sampai berat sehingga sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu
penderitanya. Setelah 3-5 hari dari awal lesi kulit, biasanya lesi akan mulai mengering. Durasi
penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi biasanya untuk lesi kulit kembali normal dibutuhkan waktu
sampai berminggu-minggu.1,6 Penyakit ini dapat sangat mengganggu penderitanya. Gangguan
sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia,
allodinia dan hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur
bahkan sampai mood sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup jangka pendek
maupun jangka panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu
sebelum timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering dilaporkan adalah nyeri seperti rasa
terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan
respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Nyeri
sendiri dapat diprovokasi antara lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia), rasa gata-gatal
yang tidak tertahankan dan nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi rangsang yang
berulang. 1

Beberapa hari sebelum lesi kulit timbul, pasien biasanya merasa nyeri di lokasi yang
terkena. Lesi kulit dapat juga muncul tanpa didahului rasa nyeri, atau bahkan tidak disertai rasa
nyeri. Pada keadaan tertentu dapat juga terjadi nyeri tanpa lesi kulit di tempat tersebut.3,5 Pada
awalnya erupsi berupa papul dan plak eritem yang dalam beberapa jam akan menjadi vesikel.
Vesikel-vesikel baru terus terbentuk selama beberapa hari, biasanya 1-5 hari, dipengaruhi usia
pasien, beratnya penyakit, dan imunitas pasien. Vesikel baru menandakan aktivitas replikasi
virus. Vesikel selanjutnya dapat berubah menjadi bula, vesikel hemoragik, pustul, krusta, lalu
menyembuh.3,5

G. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan dari gejala lesi N. Trigeminal (terdapat defisit sensorik ) disertai
dari gejala infeksi (yang mendahului atau menyertai berupa demam, kelainan kulit berupa
kelainan kulit bergelembung dan terdapat cairan didalamnya, bergerombol diatas dasar ukuran
kecil dan terdapat keropeng yang khas terdapat diatasnya ) ditambah dengan penurunan
pendengaran yang berarti menunjukkan gangguan N. Vestibulocochlearis.

H. PENCEGAHAN

Pencegahan terjadinya NPH merupakan masalah penting yang perlu


diperhatikan saat pasien tengah menderita HZ.12 Penanganan HZ yang adekuat
dengan terapi antivirus maupun analgesik dapat memberikan keuntungan dalam
mencegah NPH sehingga pengenalan gejala HZ secara dini merupakan hal yang
sangat penting.6 Strategi dalam pengelolaan pencegahan terhadap NPH meliputi
pemberian obat antivirus, pengendalian nyeri secara adekuat terhadap neuralgia
herpetika akut dan vaksinasi.4

1. OBAT ANTIVIRUS

Pemberian obat antivirus dalam 72 jam setelah awitan HZ akut dapat


menurunkan intensitas dan durasi NPH. Hal ini disebabkan karena pemberian
antivirus pada awal terapi dapat menurunkan kerusakan saraf akibat infeksi HZ.
Namun bukti terkini menunjukkan pasien akan tetap mendapatkan keuntungan dari
obat antivirus walaupun terapi diberikan terlambat lebih dari 3 hari.1,10
Preparat asiklovir, famsiklovir dan valasiklovir telah terbukti mempercepat
penyembuhan NPH. Asiklovir oral terbukti meningkatkan laju perbaikan nyeri NPH
sebesar 81% pada pasien dibandingkan dengan plasebo.10 Dosis asiklovir yang
direkomendasikan untuk HZ pada pasien imunokompeten dengan fungsi ginjal yang
normal adalah 800mg setiap 4 jam per hari selama 7-10 hari.13
Famsiklovir 3x 500mg per hari selama 7 hari efektif dan dapat ditoleransi
dengan baik pada HZ akut. Sebuah penelitian randomized, double-blind, placebo
controlled pada dua dosis famsiklovir (500mg atau 750mg tiga kali sehari)
menunjukkan nyeri berkurang secara bermakna pada bulan ke 5 dan resolusi NPH
yang lebih cepat dengan reduksi median 2 bulan.1 Pada sebuah penelitian multisentra,
valasiklovir dengan dosis 1000mg setiap 8 jam selama 7 sampai 14 hari dibandingkan
dengan asiklovir dengan dosis 5x800mg per hari selama 7 hari menunjukkan valasiklovir
mengurangi nyeri yang berkaitan dengan HZ secara bermakna, memperpendek durasi
NPH dan menurunkan, proporsi pasien yang mengalami nyeri pada bulan ke 6. Tidak ada
perbedaan bila pasien melanjutkan terapinya sampai 14 hari. Pada penelitian randomized-
controlled trial yang membandingkan pemberian valasiklovir (1000mg tiga kali sehari)
dan famsiklovir (500mg tiga kali sehari) selama 7 hari untuk terapi HZ pada pasien
berusia 50 tahun menunjukkan efikasi yang sama antara valasiklovir dan
famsiklovir dalam meningkatkan resolusi nyeri yang berkaitan dengan zoster dan
NPH.1
Dalam pemberian obat antivirus ini, hal yang perlu diperhatikan adalah fungsi
ginjal. Penyesuaian dosis diperlukan untuk pasien geriatrik atau bagi yang
mempunyai gangguan ginjal.12 Valasiklovir dan famsiklovir memiliki kelebihan
dibandingkan asiklovir karena jadwal pemberian yang lebih singkat, walaupun
ketiganya sama efektifnya dalam mengobati nyeri yang berkaitan dengan HZ dan
dapat mengurangi beban penyakit akibat NPH.1 Penelitian menunjukkan pemberian
asiklovir intravena pada pasien imunokompromais yang menderita HZ dapat
menghambat progresifitas penyakit, baik pada pasien dengan lesi yang terlokalisir
maupun yang diseminata. Nyeri yang berkurang dengan cepat dan lebih sedikit laporan
kejadian NPH setelah pemberian asiklovir pada pasien imunokompromais. Dosis
asiklovir pada pasien dengan imunokompromais berat adalah 10mg/kgBB IV setiap 8
jam selama 7-10 hari sedangkan pada pasien HZ dengan imunokompromais yang ringan
dan lesi terlokalisir cukup dengan pemberian asiklovir, famsiklovir dan valasiklovir per
oral dengan dosis yang sama dengan pada pasien imunokompeten.2

2. ANALGETIK

Semakin berat nyeri HZ akut merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
NPH, dan nyeri akut berperan dalam sensitisasi sentral yang akan berlanjut menjadi
nyeri kronik.2 Belum ada bukti yang kuat terhadap penggunaan antidepresan trisiklik,
antikonvulsan, dan analgetik opioid dalam mengatasi nyeri pada fase akut HZ namun
demikian, pemberian terapi ini tetap dianjurkan.2,6 Bila dengan terapi diatas masih
inadekuat dalam mengontrol nyeri akut, maka perlu dipertimbangkan anestesi blok
saraf lokal atau regional.2,4 Amitriptilin (golongan antidepresan trisiklik) adalah satu-
satunya obat yang menunjukkan sedikit efek yang menguntungkan dalam pencegahan
NPH. Pada sebuah penelitian randomized double-blind controlled pada 72 pasien HZ
berusia diatas 60 tahun yang diberikan amitriptilin 25mg setiap hari bersama dengan obat
antivirus atau bersama dengan plasebo dalam 48 jam pertama sejak awitan erupsi.
Outcome utama yang dinilai adalah prevalensi nyeri pada bulan ke 6 dimana terjadi
pengurangan nyeri pada setengah dari pasien pada kelompok terapi.4,6

3. KORTIKOSTEROID
Adanya kemungkinan bahwa NPH disebabkan oleh inflamasi pada ganglion
sensorik dan struktur neuron yang dapat menular menjadi alasan penggunaan
kortikosteroid selama fase akut HZ guna mengurangi nyeri akut dan mencegah NPH.
Namun, pemberian kortikosteroid ini menunjukkan hasil yang kontroversial.2,6
Pemberian kortikosteroid dalam jangka pendek dapat mengurangi intensitas
nyeri yang berkaitan dengan HZ namun tetap perlu diperhatikan risiko adanya efek
samping kortikosteroid ini, terutama pada pasien geriatrik.2,13 Beberapa penelitian
yang telah dilakukan menunjukkan pemberian kortikosteroid bersama dengan obat
antivirus tidak memberikan keuntungan yang lebih besar daripada hanya pemberian
obat antivirus saja dalam pencegahan NPH.13

4. VAKSINASI

Vaksin untuk VVZ (Varivax) yang saat ini diberikan secara rutin pada anak-
anak, diharapkan dapat menurunkan insidensi varisela dan timbulnya HZ pada usia yang
lebih awal. Seperti halnya imunitas yang didapat dari infeksi VVZ primer, imunitas dari
vaksin ini juga akan menurun seiring dengan proses penuaan, namun demikian
pengalaman sampai saat ini menunjukkan HZ terjadi lebih sedikit pada yang
mendapatkan vaksin VVZ(Varivax). Penelitian prospektif terhadap individu yang
menerima vaksinasi VVZ ketika masa anak-anak masih diperlukan untuk mengetahui
berkurangnya insidensi HZ dan NPH ketika dewasa.1 Penelitian randomized, double-
blind, placebo-controlled pada 38546 orang berusia >60 tahun yang menerima perlakuan
berupa vaksin Oka live-attenuated (Zostavax) atau plasebo menunjukkan penggunaan
vaksin ini berkaitan dengan berkurangnya insidens HZ sebesar >50%, insidens NPH
menurun sebesar 66% dan menurunkan beban penyakit akibat HZ sebesar 61%. Vaksin
ini memang tidak untuk mengeliminasi penyakit atau menngobati NPH yang aktif.1
Reaksi simpang berupa eritema, nyeri, pembengkakan, hematoma, pruritus, panas, reaksi
lokal (inflamasi pada tempat injeksi).7
I. PENGOBATAN

Klasifikasi pengobatan NPH yang membagi pilihan terapi menjadi terapi lini pertama dan
kedua sangat berguna, namun strategi pengobatan harus tetap sesederhana mungkin. Gharibo C
merekomendasikan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memutuskan memulai terapi
NPH dan interval pengamatan yang memadai yaitu: derajat keparahan nyeri, dampak nyeri
terhadap fungsi fisik dan psikososial pasien, derajat kecemasan dan depresi pasien, pertimbangan
terhadap efek samping dari analgetik yang digunakan, dosis titrasi analgetik sampai
menimbulkan efek dan kemudahan dalam penggunaan analgetik dalam keseharian.10
Pengobatan NPH meliputi berbagai modalitas meliputi terapi farmakologik yang dibagi menjadi
terapi topikal dan sistemik dan terapi non farmakologik meliputi intervensi fisik, invasif,
psikologik dan alternatif. Pendekatan multimodalitas memberikan peluang terbaik untuk
keberhasilan terapi (lihat gambar 4).4
1. ANTIDEPRESAN TRISIKLIK (ATS)

Antidepresan trisiklik yang biasa digunakan di praktik sehari-hari adalah


amin tersier (amitriptilin, doksepin) dan amin sekunder (desipramin, nortriptilin).1
Mekanisme kerja ATS adalah menghambat uptake noerepinefrin dan serotonin,
menghambat kanal kalsium serta sebagai antagonis NMDA (N-methyl-D aspartic
acid); dimana diketahui bahwa nyeri juga ditransmisikan melalui reseptor NMDA di
susunan saraf pusat.10 Selain itu, ATS juga bermanfaat bagi pasien NPH karena efek
sedatifnya (antihistaminergik) dan efek ansiolitiknya, yang dapat menangani
gangguan tidur dan kecemasan.1 Antidepresan trisiklik ini telah terbukti efikasinya pada
penatalaksanaan NPH namun tidak mendapatkan persetujuan FDA untuk terapi NPH.
Faktor utama yang membatasi penggunaan ATS adalah efek sampingnya. Efek samping
yang biasa dijumpai antara lain: mulut kering, fatigue, dizziness, sedasi, konstipasi,
retensi urin, palpitasi, hipotensi ortostatik, kenaikan berat badan, penglihatan kabur dan
pemanjangan QT. Penggunaan obat golongan ini harus lebih hati-hati pada orang tua
dan pasien dengan riwayat aritmia kordis atau penyakit jantung.4 Dosis awal 10mg
setiap malam (2 jam sebelum tidur) dengan titrasi ditingkatkan 20mg setiap 7 hari
menjadi 50 mg kemudian menjadi 100mg dan 150mg tiap malam.7

2. ANTIKONVULSAN

A. PENGHAMBAT KANAL KALSIUM

Baik gabapentin dan pregabalin telah terbukti efikasi dan keamanannya


dalam terapi NPH pada randomized controlled trial.13 Keduanya tergolong dalam
ligand alfa-2-delta yang telah digunakan secara luas dan disetujui oleh Food and
Drug Administration (FDA). Mekanisme kerja keduanya dalam menghasilkan efek
analgesik diduga dengan mengikat secara selektif pada subunit alfa-2-delta pada
kanal kalsium tipe-L sehingga mengurangi influks Ca2+ kedalam ujung saraf
presinaptik yang akan menghambat pelepasan neurotransmiter pronosiseptif seperti
glutamat dan substansi P yang berperan pada sensitisasi sentral.14 Penggunaan
gabapentin dapat menurunkan derajat nyeri, memperbaiki gangguan tidur, mood dan
kualitas hidup secara bermakna.4,13 Dosis gabapentin yaitu 100mg 3x per hari dengan
titrasi 100-300mg ditingkatkan setiap 5 hari sampai dosis 1800-3600mg per hari.7

Efek samping yang sering dijumpai pada penggunaan gabapentin adalah


somnolens, dizziness, edema perifer, gangguan pada penglihatan, cara berjalan atau
keseimbangan.4 Dosis pregabalin 75mg 2x per hari dengan titrasi dosis ditingkatkan
sampai 150mg 2x per hari dalam 1 minggu.7 Sedangkan efek samping pregabalin
adalah kenaikan berat badan, dizziness dan somnolens. Karena sebagian besar pasien
NPH adalah orang tua sangat perlu diperhatikan tentang titrasi dosis pada obatobatan
ini.4

B. PENGHAMBAT KANAL NATRIUM

Yang termasuk golongan ini adalah karbamazepin, okskarbazepin, fenitoin,


lamotrigin, dan asam valproat. Obat-obatan golongan ini dipertimbangkan sebagai
terapi lini ketiga dalam pengobatan NPH. Pada praktik sehari-hari, obat-obatan ini
jarang digunakan karena profil keamanan penggunaannya.4 Dosis yang dibutuhkan
untuk analgesia lebih rendah daripada dosis untuk antiepilepsi. Dosis awal
karbamazepin adalah 2x100mg/hari dan dinaikkan bertahap hingga dosis maksimum
1200mg/hari. Fenitoin digunakan dengan dosis awal 100mg/hari hingga maksimum
500mg/hari. Dosis awal asam valproat adalah 2x250mg/hari hingga maksimum
2000mg/hari.5 Pada sebuah penelitian selama 8 minggu, pasien yang diterapi dengan
asam valproat 1000mg/hari mengalami perbaikan nyeri yang signifikan dibandingkan
dengan plasebo.4

3. ANALGETIK OPIOID

Saat ini golongan analgetik opioid direkomendasikan sebagai terapi lini


kedua atau ketiga untuk nyeri neuropatik seperti NPH. Hal ini karena adanya
perhatian terhadap penyalahgunaan dan kekerasan dalam penggunaan golongan ini.
Selain itu, hal yang perlu diperhatikan adalah tolerabilitas terhadap sedasi dan
keluhan konstipasi yang sering dijumpai pada penggunaan obat ini rekomendasi
klinis penggunaan analgetik opioid pada NPH adalah menggunakan dosis sekecil
mungkin. Diawali dengan terapi menggunakan agen kerja singkat. Bila pasien
menunjukkan tolerabilitas, dapat diganti opioid kerja panjang.1,4 Analgetik opioid
yang biasa digunakan adalah oksikodon, tramadol, tapentadol dan morfin.4,14
Tramadol, suatu derivat sintetik kodein, merupakan analgetik yang bekerja
sentral memiliki sifat seperti analgetik opioid dan ATS. Secara khusus, tramadol
bekerja sebagai agonis reseptor- yang lemah, menghambat re-uptake serotonin dan
norepinefrin dan memfasilitasi pelepasan serotonin neuronal. Sifat multimekanistik
tramadol menghasilkan sifat antinosiseptif sentral.1,14 Perbaikan nyeri dan kualitas
hidup dengan tramadol telah dibuktikan pada randomized controlled trial.4 Dosis
yang direkomendasikan adalah 50mg/hari dengan titrasi dosis dapat ditingkatkan
sampai 150mg 2 x per hari dalam 1 minggu.7 Reaksi simpang yang umum dijumpai
antara lain nausea, konstipasi, sakit kepala dan somnolens.14 Penelitian Gilron dkk
menunjukkan penggunaan terapi kombinasi gabapentin dan morfin memberikan efek
analgesia yang lebih baik dengan dosis masing-masing obat lebih kecil dibandingkan
dengan terapi tunggal dengan efek samping yang paling sering dilaporkan konstipasi,
sedasi dan mulut kering.15

4. ANTAGONIS RESEPTOR N-METHYL-D-ASPARTIC ACID (NMDA)

Yang termasuk golongan ini adalah dekstrometorfan, memantin dan ketamin.


Dekstrometorfan merupakan antagonis reseptor NMDA lemah yang telah dievaluasi
penggunaannya untuk nyeri neuropatik. Namun demikian penggunaannya pada NPH
tidak terbukti mengurangi nyeri NPH. Begitupula dengan memantin hanya
menunjukkan sedikit efek yang menguntungkan dalam mengurangi nyeri NPH.14
Ketamin merupakan antagonis reseptor NMDA non kompetitif, yang dapat
mengurangi nyeri dengan mencegah aktivasi kanal kalsium yang berkaitan dengan
NMDA yang berperan dalam sensitisasi sentral. Ketamin dapat diberikan secara
intravena, subkutan, per oral, per rektal atau topikal. Beberapa penelitian kecil
menunjukkan pemberian ketamin intravena dan infus subkutan dapat mengurangi
nyeri paroksismal dan spontan seperti alodinia pada pasien NPH dengan sukses
namun dengan efek samping yang signifikan seperti gatal, indurasi yang nyeri pada
tempat suntikan, nausea, fatigue dan dizziness. Hal ini membatasi penggunaan
ketamin dengan cara ini. Masalah lain yang perlu diperhatikan terutama pada pasien
geriatrik adalah efek gangguan kognisi dan halusinogenik.1

Anda mungkin juga menyukai