Anda di halaman 1dari 13

Sakramen Krisma adalah salah satu dari tiga sakramen inisiasi Kristen yaitu Baptis, Krisma dan Ekaristi.

Sakramen Krisma memiliki dasar Kitab Suci dari Kis 8:16-17 "Sebab Roh Kudus belum turun di atas
seorangpun di antara mereka, karena mereka hanya dibaptis dalam nama Tuhan Yesus. Kemudian
keduanya menumpangkan tangan di atas mereka, lalu mereka menerima Roh Kudus." dan dari Kis 19:5-
6 "Ketika mereka mendengar hal itu, mereka memberi diri mereka dibaptis dalam nama Tuhan Yesus.
Dan ketika Paulus menumpangkan tangan di atas mereka, turunlah Roh Kudus ke atas mereka, dan
mulailah mereka berkata-kata dalam bahasa roh dan bernubuat". dari kedua kutipan ini jelas bahwa
Sakramen Krisma membutuhkan penumpangan tangan untuk mengundang Roh Kudus.

Didalam sakramen Krisma, kita menerima "Kepenuhan Roh Kudus" sehingga kita dapat secara penuh
dan aktif berkarya dalam Gereja. bandingkan dengan para rasul yang menerima Roh Kudus
saat Pantekosta, sebelum peristiwa Pantekosta mereka sudah menerima Roh Kudus (lihat Yoh 20:22)
tetapi mereka baru 'aktif' sesudah Pantekosta. Demikian juga halnya dengan kita karena sebenarnya
Roh Kuduspun sudah kita terima saat Permandian, yaitu Roh yang menjadikan kita Anak-Anak Allah, dan
yang membersihkan kita dari Dosa Asal (lebih Jelasnya lihat tentang Sakramen Babtis). Itulah disebutkan
bahwa Sakramen Babtis adalah Sakramen Paskah dan Sakramen Krisma adalah Sakramen Pantekosta.

Dalam Sakramen Krisma juga ada Pengurapan dengan minyak Krisma yang berarti kita yang sudah
menerima Krisma Dikuduskan, Dikhususkan, dan menerima Kuasa untuk melakukan tugas perutusan kita
sebagai umat beriman (bdk 1 Samuel 10:1;1Samuel 16:13; 1 Raj 1:39). Dengan menerima Sakramen
Krisma, kita menerima Roh Kudus yang merupakan meterai, Tanda bahwa kita ini milik Allah.

SAKRAMEN KRISMA: SAKRAMEN PERUTUSAN

PENGANTAR

Sakramen Krisma atau Penguatan adalah satu dari tiga Sakramen inisiasi yang paling banyak
mengalami perubahan baik di dalam ritusnya maupun maknanya.[i] Bahkan beberapa teolog
menyatakan secara agak berlebihan keadaan yang menyangkut Sakramen ini dengan ungkapan
sebuah praktis yang sedang mencari teorinya.[ii] Salah satu titik simpul yang menjadi
perdebatan teologis dari zaman ke zaman adalah relasi antara Sakramen Baptis dan Sakramen
Krisma. Dari simpul inilah kemudian dapat ditelusuri jawaban atas pertanyaan apakah Sakramen
Penguatan memang tepat disebut sebagai Sakramen Pendewasaan atau Sakramen Orang Dewasa
(atau bahkan Sakramen bagi Para Prajurit Kristus)? Atau lebih tepat disebut sebagai Sakramen
Perutusan? Artikel ini bermaksud membantu menerangi masalah ini dan memberi arah dengan
pertama-tama memaparkan sejarah terpisahnya Sakramen Krisma dari Sakramen Baptis.
Kemudian pertanyaan-pertanyaan di atas akan coba dijawab dengan menggunakan pemaparan
sejarah dan sebuah teologi tentang Roh Kudus. Di akhir artikel adalah sebuah kesimpulan dalam
bentuk rangkuman.

SEJARAH MUNCULNYA DUA UPACARA INISIASI

Dari Satu Upacara dalam Banyak Simbol

Pada mulanya, menurut kesaksian Perjanjian Baru, inisiasi Kristen berlangsung serba sederhana.
Bagian inti dari praktek inisiasi ini adalah upacara Pembaptisan. Kis. 8: 36-38 menggambarkan
bagaimana proses inisiasi ini dijalankan: Pewartaan Injil dari dan mengenai Yesus Kristus
ditanggapi dengan iman, disusul pengakuan iman (Yesus Kristus adalah Anak Allah), lalu segera
orang dibaptis oleh orang lain dengan air. Dan dengan demikian, proses inisiasi selesai.[iii]
Dalam perkembangannya, proses inisiasi yang sederhana ini dikembangkan oleh jemaat Kristen
abad III. Saksi pertama dari perkembangan proses inisiasi ini adalah tulisan Hipolitus, Tradisi
Apostolik (215), yang memberikan urutan upacara inisiasi sebagai berikut: penenggelaman dalam
air baptis yang disertai dengan pengakuan iman akan Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus,
kemudian pengurapan dengan minyak oleh seorang imam, pengucapan doa dengan
penumpangan tangan oleh Uskup, dan pengurapan minyak oleh Uskup yang disertai dengan
rumusan: Aku mengurapi engkau dengan minyak suci dalam nama Allah Bapa dan Yesus Kristus
dan Roh Kudus.[iv] Dari kesaksian Hipolitus ini kita dapat melihat bahwa upacara inisiasi tidak
lagi disimbolkan hanya oleh air baptis, tetapi juga oleh penumpangan tangan yang disertai
dengan doa dan juga oleh pengurapan minyak. Intinya adalah bahwa mulai abad III, inti upacara
Pembaptisan lebih diperinci lagi tidak saja dengan penggunaan air baptis tetapi dengan simbol-
simbol lainnya. Kemajemukan simbol ini ingin mengungkapkan betapa kayanya makna
pembaptisan. Selain Hipolitus, Bapa-bapa Gereja lainnya, seperti Tertulianus, Origines,
Ambrosius, juga memberikan kesaksian yang sama, meski dengan urutan dan simbol yang agak
sedikit berbeda. Kemajemukan aksi simbolis ini mereka sebut pembaptisan. Jadi tidak ada dua
upacara, melainkan satu upacara yang dilaksanakan dengan memakai beragam simbol.[v]

Menuju Dua Upacara dengan Simbolnya Masing-masing


Namun demikian, mulai abad IV, V, dan VI, muncul satu faktor penting yang mengubah proses
inisiasi ini. Faktor ini adalah menyebarnya komunitas-komunitas Kristen dari perkotaan ke
pedesaan (de-urbanisasi).[vi] Pada umumnya, komunitas-komunitas Kristen dibentuk di daerah
perkotaan. Sejak Konstantinus menjadi Kaisar Roma, penganiayaan terhadap orang Kristen
berhenti dan jumlah katekumen serta baptisan baru bertambah. Komunitas-komunitas Kristen
pun bertumbuhan sampai ke pelosok pedesaan. Mulanya, orang-orang Kristen pedesaan harus
pergi ke kota untuk mendapatkan pelayanan pastoral atau untuk mengikuti upacara-upacara
liturgis, khususnya upacara inisiasi yang pelayanannya hanya dapat diberikan oleh Uskup.
Dengan bertambahnya jumlah baptisan, seorang Uskup tidak mampu lagi menjalankan seluruh
upacara inisiasi seorang diri. Oleh karena itu, sebagian upacara inisiasi, yaitu bagian penggunaan
air baptis, diserahkan kepada ketua jemaah setempat (seorang imam, presbyteros)[vii]. Akan
tetapi, untuk memperlihatkan bahwa orang yang dibaptis itu juga dimasukkan ke dalam kesatuan
jemaat yang lebih luas (bukan saja komunitas Kristen di desa di mana ia dibaptis tetapi juga ke
dalam komunitas keuskupan yang lebih besar seperti Milan atau Roma), maka bagian
penumpangan tangan (dan pengurapan minyak) sesudah penggunaan air baptis dikhususkan
untuk Uskup setempat yang berkunjung ke daerah-daerah terpencil untuk maksud itu.[viii] Maka
ada jarak antara upacara inisiasi melalui pembaptisan yang dilakukan oleh imam dan upacara
inisiasi melalui penumpangan tangan (dan pengurapan minyak) oleh Uskup. Pelan-pelan, apa
yang sebenarnya merupakan kesatuan upacara dengan beragam simbol menjadi dua upacara
dengan simbolnya masing-masing. Upacara yang dikhususkan untuk Uskup ini kemudian disebut
entah sebagai consignatio (pemeteraian), entah confirmatio[ix] (peneguhan/penguatan), entah
krisma (pengurapan). Dalam Gereja (Katolik Roma dan Ortodox) upacara Penguatan ini,
bersama dengan Baptis, dan Ekaristi, membentuk Sakramen-sakramen inisiasi. Dalam
prakteknya, ketika baptisan anak semakin bertambah, urutan upacara inisiasi yang semula adalah
Baptis, Krisma, dan Ekaristi, berubah menjadi Baptis, Ekaristi, dan Krisma. Ketika lahir, seorang
anak segera dibaptis. Kemudian ketika sesudah cukup umur untuk membeda-bedakan (sekitar 7
tahun), seorang anak boleh menyambut Ekaristi Kudus. Sakramen Krisma baru diterima ketika
seseorang dianggap cukup dewasa. Itulah sebabnya mengapa Sakramen Krisma kerap disebut
juga sebagai Sakramen kedewasaan orang beriman.

SAKRAMEN PENDEWASAAN ATAU SAKRAMEN PERUTUSAN?


Dari paparan di atas dapat kita lihat bahwa sesungguhnya perayaan Sakramen Krisma tidak
pernah dimaksudkan untuk dipisahkan dari perayaan Sakramen Baptis. Jika Sakramen Krisma
tidak dapat lepas dari Sakramen Baptis, maka ungkapan Sakramen Pendewasaan yang muncul
kemudian juga perlu dicermati secara kritis. Ungkapan itu lahir dari suatu pengandaian bahwa
memang sejak awal mulanya Sakramen Krisma terpisah dari Sakramen Baptis. Inilah yang
dipikirkan oleh para teolog abad XI dan XII seperti, misalnya, St. Thomas Aquinas yang
menyatakan bahwa Sakramen Krisma memberi orang kekuatan untuk pertempuran rohani dan St.
Bonaventura yang membayangkan orang yang menerima Sakramen Krisma sebagai seorang
petarung di garis depan pertempuran.[x] Oleh karena itu, dari sudut pandang teologis pastoral,
adalah lebih bermanfaat untuk mengalihkan perhatian dari ungkapan Sakramen Pendewasaan
yang berkutat pada usia yang tepat untuk menerima Sakramen Krisma, kepada kehadiran Roh
Kudus.[xi]

Roh Kudus bukanlah sebuah ide. Di satu sisi, Roh Kudus berarti kuasa dan kekuatan Allah
sendiri yang menghidupkan (Kej. 2:7). Di sisi lain, Roh Kudus adalah Allah sendiri yang
memberikan DiriNya, sebagaimana terungkap dalam pribadi Yesus dari Nazaret. Dalam seluruh
hidupNya, Yesus menampakkan ketaatanNya secara total kepada kehendak Bapa di dalam
tuntunan Roh Kudus. Apa yang dikehendaki Bapa, dikomunikasikan oleh Roh Kudus, dan
dilaksanakan oleh Yesus. Oleh karena itu, setelah menjalani seluruh kehendak Bapa dan
dibangkitkan dari kematian, Yesus pun menjadi pemberi Roh Kudus. Dia mampu memberikan
Roh Kudus karena pertama-tama Dia tunduk secara penuh padaNya. Penerimaan Roh Kudus
inilah yang dirayakan di dalam Sakramen Pembaptisan. Menerima Roh Kudus berarti mengalami
kedekatan dengan Allah Bapa di dalam Allah Putra. Maka, Sakramen Baptis adalah pintu masuk
ke dalam pengalaman kedekatan ini. Namun demikian, pengalaman ini tidak berhenti hanya pada
moment pembaptisan. Hidup dekat dengan Allah terus berkembang, semakin luas dan semakin
dalam, berkat kehadiran aktif Roh Kudus sendiri yang memberikan aneka karunia. Karunia-
karunia ini adalah wujud partisipasi seseorang dalam kekuatan Allah. Dengan karunia-karunia
ini, Allah sendiri mengambil kendali hidup seseorang dan mengarahkannya untuk mewujudkan
karya keselamatanNya bagi Gereja dan dunia. Bagi orang yang bersangkutan, hidup adalah
Kristus dan diarahkan pada kesatuan. Seluruh pengalaman inilah yang sebenarnya dirayakan
dalam Sakramen Krisma. Maka Sakramen ini lebih tepat disebut sebagai Sakramen Perutusan
dan bukan Sakramen Pendewasan, sebab fokus utamanya bukan lagi pada kematangan tetapi
pada kehadiran Roh Kudus yang menghidupkan dan memampukan orang untuk semakin menjadi
alat di tangan Tuhan, seperti Kristus sendiri.

KESIMPULAN

Pemahaman Sakramen Krisma sebagai Sakramen Orang Dewasa berangkat dari sebuah
pengandaian bahwa Sakramen ini sejak semula berdiri sendiri dan terpisah dari Sakramen Baptis.
Maka, penyebutan ini tidak tepat karena di satu sisi mengaburkan relasi Sakramen Krisma
dengna Sakramen Baptis dan di sisi lain mengalihkan perhatian orang dari kehadiran Roh Kudus
dengan memperdebatkan usia yang pas untuk menerimanya. Secara teologis, usia tidak
membatasi karya Roh Kudus. Maka akan lebih berdaya guna jika perhatian tidak lagi diarahkan
pada faktor usia, tetapi pada kehadiran Roh Kudus. Karena Roh Kudus ini adalah buah pertama
yang diterima para Rasul dari Kristus yang Bangkit, yang kemudian mengutus mereka
mewartakan Kabar Sukacita, maka lebih tepatlah jika Sakramen Krisma disebut sebagai
Sakramen Perutusan.

Sakramen berasal dari kata mysterion (Yunani), yang dijabarkan dengan kata mysterium dan
sacramentum (Latin). Jadi sakramen-sakramen Gereja merupakan tanda yang kelihatan dari
rahasia/ misteri Kristus -yang tak kelihatan- yang bekerja di dalam Gereja-Nya oleh kuasa Roh
Kudus. Betapa nyatanya rahasia ini diungkapkan di dalam sakramen-sakramen Gereja,
terutama di dalam Ekaristi.
Dikutip dari imankatolik.or.id, Sakramen Krisma adalah salah satu dari tiga sakramen inisiasi
yaitu Baptis, Krisma dan Ekaristi. Sakramen Krisma memiliki dasar Kitab Suci dari Kis 8:16-17
"Sebab Roh Kudus belum turun di atas seorangpun di antara mereka, karena mereka hanya
dibaptis dalam nama Tuhan Yesus. Kemudian keduanya menumpangkan tangan di atas mereka,
lalu mereka menerima Roh Kudus.

Seperti yang dilansir dari indocell.net, dalam Sakramen Baptis, kita disambut dalam persekutuan
dengan Kristus. Dalam Sakramen Penguatan, kita disambut dalam persekutuan dengan suatu
komunitas, yaitu Gereja Katolik.
Sedangkan, informasi yang didapat dari wikipedia, Sakramen Krisma atau yang disebut dengan
sakramen penguatan adalah sakramen ketiga dalam inisiasi Kristiani. Sakramen ini diberikan
dengan cara mengurapi penerimanya dengan Krisma, minyak yang telah dicampur
sejenis balsam, yang memberinya aroma khas, disertai doa khusus yang menunjukkan bahwa,
baik dalam variasi Barat maupun Timurnya, karunia Roh Kudus menandai si penerima seperti
sebuah meterai. Melalui sakramen ini, rahmat yang diberikan dalam pembaptisan "diperkuat dan
diperdalam".

Berdasar dokumen gereja Kitab Hukum Kanonik 880 ayat 1, Sakramen penguatan diberikan
dengan pengurapan krisma pada dahi, yang hendaknya dilakukan dengan penumpangan tangan serta
dengan kata-kata yang diperintahkan dalam buku-buku liturgi yang telah disetujui. Kitab Hukum
Kanonik 880 ayat 2, Krisma yang dipergunakan dalam sakramen penguatan haruslah dikonsekrasi
oleh Uskup, meskipun sakramen diberikan oleh seorang imam.
Di kebanyakan Gereja Katolik, seorang Uskup-lah yang memberikan isyarat penyambutan itu.
Perkecualian terjadi apabila calon penerima sakramen adalah orang dewasa yang baru masuk
Katolik. Maka, imam pembimbing yang menerimakan Sakramen Penguatan. Bapa Uskup atau
imam menyatakan sambutannya dengan isyarat tangan yang artinya kami menghormatimu,
kami menyambutmu dalam keluarga Katolik.
Dalam inisiasi sebagai seorang Kristen, pengurapan adalah tanda sakramen dari pernyataan
Setuju (Konfirmasi), disebut peng-Khrisma-an di Gereja Gereja di Timur. Makna dan
Kekuatan Sesungguhnya hanya bisa didapat bila dipersatukan dengan pengurapan yang
dilakukan oleh Roh Kudus, oleh Yesus. Krisus (dalam bahasa Yahudi Mesias) berarti Dia
Yang Diurapi oleh Roh Kudus. Katekismus Gereja Katolik. (jff/ric)

Pendahuluan

Jika kita bertanya pada anak-anak tentang cita-cita mereka, tentu mereka ingin menjadi besar,
dengan kata lain, ingin bertumbuh menjadi dewasa. Memang, pertumbuhan menjadi ciri khas
kita sebagai manusia, yang kita alami baik secara jasmani maupun rohani. Selayaknya, kita yang
telah dibaptis ingin bertumbuh menjadi lebih dewasa di dalam Kristus. Allah sendiri
menghendaki pertumbuhan iman ini, dan karena itu Ia mengaruniakan rahmat Sakramen
Penguatan, yang dimaksudkan untuk melengkapi rahmat Pembaptisan.[1]

Sebagaimana secara alamiah seseorang lahir, bertumbuh, oleh karena makanan jasmani, maka
secara rohani, iapun dilahirkan kembali di dalam Pembaptisan; menjadi dewasa oleh Penguatan
dan bertumbuh dan dikuatkan oleh Ekaristi, yang adalah makanan rohani. Oleh karena itu
sakramen Pembaptisan, Penguatan dan Ekaristi menjadi Sakramen-sakramen Inisiasi Kristen
yang kesatuannya harus dipertahankan.[2]

Arti Sakramen Penguatan / Krisma

Dalam kehidupan rohani, kita yang telah dilahirkan kembali oleh air dan Roh melalui
Pembaptisan, juga bertumbuh dewasa di dalam Kristus. Kedewasaan di dalam Kristus ini
ditandai oleh ketahanan kita untuk menolak dosa dan kuasa jahat yang menjadi musuh iman
kita. Untuk itu, Kristus melalui Gereja-Nya memberikan pada kita Sakramen Penguatan, yang
memperlengkapi kita untuk menghadapi peperangan rohani antara keinginan berbuat baik dan
pengaruh dunia yang sering kali bertentangan dengan iman kita. Karena pergumulan ini bersifat
rohani, maka Allah memberikan kepada kita sumber kekuatan, yaitu karunia yang berasal dari
Roh Kudus-Nya sendiri. Kepenuhan Roh inilah yang dijanjikan oleh Kristus kepada para murid-
Nya (Yoh 14:15-26).

Sakramen Penguatan disebut juga sebagai sakramen Krisma. Krisma sendiri berarti pengurapan.
Pengurapan ini menjelaskan nama Kristen yang berarti yang terurapi yang dapat kita lihat
kesempurnaannya pada diri Yesus Kristus, yang diurapi Allah dengan Roh Kudus-Nya (Kis
10:38). Jadi Krisma bagi kita adalah pengurapan yang menjadikan kita seperti Kristus, dengan
menerima pengurapan Roh Kudus yang sama seperti yang diterima oleh Kristus.
Sakramen Penguatan menurut Kitab Suci

1. Yesus menjanjikan karunia Roh Kudus yang disebut-Nya sebagai Penolong dan Roh Kebenaran
yang akan menyertai para murid-Nya sampai selama-lamanya (lih. Yoh 14:16). Jadi, Kristus
meng-institusikan sakramen ini, bukan dengan memberikannya secara langsung, tetapi dengan
menjanjikannya. Ia mengatakan, Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi. Sebab jikalau
Aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu, tetapi jika Aku pergi, Aku akan
mengutus Dia kepada-Mu (Yoh 16:7).
2. Para Rasul menerima pemenuhan janji rahmat Penguatan dari Roh Kudus tersebut pada hari
Pentakosta. Setelah dipenuhi oleh Roh Kudus, para murid menjadi berani untuk mewartakan
perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah (Kis 2:11).
3. Curahan Roh Kudus merupakan tanda untuk saat mesianis pada hari-hari terakhir (lih. Kis 2:17-
18)[3], yang mendatangkan karunia Roh Kudus.
4. Pengurapan Roh Kudus ini ditandai dengan penumpangan tangan (lih. Kis 8:14-17) dan
pengurapan dengan minyak harum yang disebut krisma. Oleh Penguatan, kita semakin
diikutsertakan dalam perutusan Yesus Kristus dan mengambil bagian di dalam kepenuhan Roh
Kudus, sehingga seluruh kehidupannya mengalirkan keharuman Kristus (lih. 2 Kor 2:15).[4]
5. Rasul Paulus mengajarkan agar sebagai umat beriman, kita perlu bertumbuh, agar tidak terus
menjadi manusia duniawi yang puas dengan susu, melainkan juga yang dapat menerima
makanan keras (1 Kor 3:2, Ibr 5:12). Pertumbuhan ini dimungkinkan oleh Roh Kudus yang
memberikan kekuatan kepada kita.

Buah-buah Sakramen Penguatan

Pertama, sakramen Penguatan menyebabkan curahan Roh Kudus dalam kelimpahan, seperti
yang dialami oleh para Rasul pada hari Pentakosta.[5] Curahan Roh Kudus dapat menjadikan
kita seperti para rasul: yaitu memiliki kasih yang berkobar kepada Kristus dan keinginan
memberikan diri untuk ikut serta dalam karya Keselamatan-Nya.

Kedua, sakramen Penguatan menghasilkan pertumbuhan dan pendalaman rahmat


Pembaptisan, yaitu menjadikan kita anak-anak Allah dengan lebih sungguh, meneguhkan
persatuan kita dengan Kristus, menambah karunia Roh Kudus, mengikat kita lebih sempurna
dengan Gereja, dan menganugerahkan pada kita kekuatan Roh Kudus sehingga kita lebih berani
menjadi saksi Kristus, dan membela iman dengan perkataan dan perbuatan.[6] Kesatuan dengan
Kristus ini dapat mendorong kita untuk melakukan tugas-tugas apostolik, yang bertujuan untuk
membangun Gereja.

Ketiga, seperti halnya Pembaptisan, sakramen Penguatan mengukir suatu tanda rohani yang
tak terhapuskan sebagai suatu karakter dalam jiwa. Ini adalah tanda bahwa Kristus telah
memeteraikan kita sebagai saksi-Nya dan memberikan pada kita kekuatan yang berasal dari-
Nya.[7]

Keempat, karakter ini menyempurnakan imamat bersama yang diterima dalam Pembaptisan.
Gereja menghendaki agar semua anggotanya disempurnakan oleh Roh Kudus dan dianugerahi
dengan kepenuhan Kristus.[8] Imamat bersama ini mencapai puncaknya pada saat kita
berpartisipasi di dalam perayaan Ekaristi, di mana Kristus hadir dengan segala kepenuhan-Nya.
Itulah sebabnya sakramen Penguatan berkaitan erat tidak hanya dengan Pembaptisan tetapi juga
dengan Ekaristi.

Sakramen Penguatan menurut para Bapa Gereja

1. Pada abad-abad awal, Sakramen Penguatan diberikan bersama-sama dengan Pembaptisan.[9]


Ketiga sakramen, Pembaptisan, Penguatan dan Ekaristi diberikan pada saat seseorang memulai
kehidupan sebagai seorang Kristen. Tertullian (155-222) mengatakan Pengurapan minyak
diberikan setelah Pembaptisan. Pembasuhan tubuh oleh air mendatangkan akibat rohani, yaitu
penghapusan dosa; dan pengurapan tubuh oleh minyak dan penumpangan tangan mendatangkan
Roh Kudus.[10]

2. St. Teofilus dari Antiokhia (169-183), mengatakan bahwa kita disebut sebagai orang-orang
Kristen sebab kita diurapi oleh minyak (krism) Tuhan.[11]

3. St. Cyril dari Jerusalem (313-386) memperingatkan bahwa minyak yang digunakan dalam
sakramen Penguatan adalah bukan minyak biasa. Seperti halnya roti dan anggur yang setelah doa
konsekrasi diubah menjadi Tubuh dan Darah Yesus, maka minyak itu setelah doa permohonan
kepada Roh Kudus diubah manjadi karunia rahmat Kristus untuk menanamkan sifat Ilahi yang
menguduskan jiwa kita oleh Roh Kudus.[12]

4. St. Jerome (347-420) mengajarkan bahwa penumpangan tangan setelah Pembaptisan dan doa
permohonan kepada Roh Kudus merupakan Tradisi Gereja. Bukti alkitabiah dari Tradisi ini
dapat dilihat dalam Kisah Para Rasul. Namun meskipun seandainya hal ini tidak didasari oleh
Kitab Suci sekalipun, Tradisi ini sudah berakar di seluruh dunia, sehingga memiliki kekuatan
sebagai perintah. Karena banyak peraturan Gereja yang bersumber pada Tradisi suci telah
memperoleh kuasa dari hukum yang tertulis.[13]

5. St. Thomas Aquinas (1225-1274) mengutip Paus Melchiades mengatakan, bahwa Roh Kudus
yang turun melalui air pada waktu Pembaptisan yang membawa keselamatan, menganugerahkan
pembersihan dari dosa, tetapi dalam Penguatan, Ia menyampaikan penambahan rahmat. Di dalam
Pembaptisan kita dilahirkan kembali, setelah Pembaptisan kita dikuatkan.[14] St. Thomas juga
mengajarkan, melalui Baptisan kita ditulis bagaikan surat rohani, dan melalui Penguatan, kita
sebagai surat tertulis ditandatangani/ disahkan dengan tanda Salib. Maka pengesahan ini menjadi
kuasa para uskup yang memegang kuasa tertinggi di dalam Gereja.[15]

Pelaksanaan Sakramen Penguatan sepanjang sejarah Gereja

Kini, sering kita mendapati bahwa Sakramen Penguatan diberikan secara terpisah dari
Pembaptisan, sehingga ketiga sakramen (Pembaptisan, Penguatan, Ekaristi) tidak diberikan
sekaligus seperti pada abad-abad awal. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena
prinsip pengajaran quam primum, yaitu Pembaptisan harus dilakukan segera setelah kelahiran.
St. Cyprian (250) mengajarkan Pembaptisan yang memberikan rahmat penghapusan dosa tidak
boleh ditunda.[16] Juga hal serupa diajarkan oleh St. Augustinus (422), dalam pengajarannya
tentang akibat dosa Adam yang membawa kematian, dan makna Pembaptisan yang
menghapuskan segala dosa[17] dan karenanya membebaskan dari kematian kekal. Penerapan
baptisan bayi/ anak-anak oleh para Rasul dapat dilihat pada baptisan Lydia dan Krispus beserta
seluruh isi rumah mereka (lih. Kis 16:15; 18:8).

Penerapan baptisan bayi membawa dampak lebih lanjut. Karena pesatnya pertumbuhan umat
Kristen sejak abad ke-4, maka diperlukan kesiap-sediaan para imam dan uskup untuk
memberikan ketiga sakramen setiap waktu. Hal ini tentu saja tidak mudah, sehingga Gereja
dihadapkan oleh dua pilihan: Pertama, ketiga sakramen diberikan sekaligus, namun Sakramen
Penguatan dapat diberikan oleh imam, seperti yang diterapkan Gereja-gereja Timur; atau kedua,
Sakramen Penguatan dapat diberikan terpisah dari Pembaptisan, karena hanya uskup yang dapat
memberikan sakramen Penguatan. Surat bapa Paus Innocentius (416) memutuskan pilihan yang
kedua.[18] Namun demikian, sampai abad ke-8 tetap diusahakan pemberian ketiga sakramen
sekaligus, dan jika Sakramen Penguatan tidak diadakan segera setelah Pembaptisan karena uskup
tidak dapat hadir, itu dianggap sebagai kelalaian.[19]

Jadi, meskipun pada abad ke-10, upacara ketiga sakramen diadakan sebagai satu perayaan, kita
mengetahui bahwa pelaksanaannya tidak mudah. Pada abad ke-12 melalui Pontificale Guglielmi
Durandi, diputuskan bahwa sakramen Penguatan dapat diberikan setelah Pembaptisan hanya jika
uskup dapat hadir; sehingga dapat disimpulkan, jika tidak demikian, Penguatan diberikan
terpisah dari Pembaptisan.[20]

Tingginya tingkat kematian bayi pada abad ke-13 mengakibatkan peningkatan jumlah
Pembaptisan bayi. Uskup yang tidak bisa selalu hadir dalam pemberian ketiga sakramen inisiasi
menyebabkan terpisahnya pelaksanaan Pembaptisan dari Penguatan, sehingga urutannya menjadi
Pembaptisan, Ekaristi dan Penguatan.

Perkembangan penting lain yang menyebabkan pemisahan ketiga sakramen adalah pengajaran
bahwa Komuni Kudus hanya dapat diberikan pada anak-anak yang telah mencapai usia akal
sehat (the age of reason), seperti yang dinyatakan oleh Konsili Lateran (1215).[21] Penundaan
penerimaan Komuni pada anak-anak ini berkaitan dengan penghormatan terhadap Ekaristi,
seperti yang diajarkan oleh Rasul Paulus (lih. 1 Kor 11:27). Penundaan Komuni Kudus
kemudian mengakibatkan penundaan Penguatan (sampai usia 16 tahun), sehingga Penguatan
dianggap sebagai sakramen orang dewasa.

Pemisahan sakramen Penguatan dari Pembaptisan ditetapkan oleh Konsili Lion (1274) dengan
ditetapkannya ke-7 sakramen.[22] Paus Paulus V (1614) menegaskan kembali bahwa ketiga
sakramen tidak perlu harus digabungkan di dalam satu perayaan. Pemisahan ini dimaksudkan
untuk memberikan waktu persiapan yang layak bagi Sakramen Penguatan, dan memberi
kesempatan kepada uskup untuk bertemu dengan mereka yang sudah dibaptis. Sayangnya,
pemisahan ini sedikit banyak telah mengaburkan makna sakramen inisiasi, terutama makna
sakramen Penguatan.

Melihat kenyataan ini, maka Vatikan II memberikan beberapa keputusan penting untuk
menyatukan kembali ketiga sakramen inisiasi, yaitu: 1) Jika mungkin Pembaptisan diberikan di
dalam perayaan Ekaristi, demikian juga Penguatan, atau setidaknya didahului oleh Liturgi
Sabda[23]; 2) Ritus Penguatan direvisi[24] untuk menyatakan kaitan yang erat dengan Baptisan
dan Ekaristi; Pembaharuan janji Baptis dan pernyataan iman diucapkan sebelum Penguatan; 3)
Meskipun yang terbaik adalah uskup yang memberikan Sakramen Penguatan, namun jika
kebutuhan meningkat, maka uskup dapat memberikan kuasa kepada para imam untuk tugas
tersebut[25]; 4) Ditetapkannya Ritus Inisiasi bagi umat dewasa (RCIA= The Rite of Christian
Initiation for Adults) yang memberikan acuan untuk proses inisiasi yang terpadu, dari persiapan
katekumen, pemberian ketiga sakramen bagi umat dewasa, mystagogia, yang melibatkan umat
pendukung (sponsor) dan umat lainnya untuk mendukung perjalanan iman para katekumen.

Sudahkah Sakramen Penguatan membawa efek pada kehidupan rohani kita?

Sakramen Penguatan seharusnya membawa dampak yang besar dalam kehidupan rohani kita.
Namun kenyataannya, banyak dari yang sudah menerima Sakramen ini masih merasa belum
dewasa di dalam iman, atau belum sungguh bertumbuh di dalam iman. Bukan berarti bahwa
tidak ada Roh Kudus pada orang-orang tersebut, karena melalui Pembaptisan dan Penguatan,
Roh Kudus sudah hadir dan siap berkarya di dalam hidup mereka, hanya saja sikap kesiapan
hati pada saat penerimaan sakramen juga adalah sangat penting[26] agar seseorang dapat
menerima kelimpahan buah-buahnya. Jadi terdapat kemungkinan, karunia Roh Kudus yang
diterima pada sakramen Penguatan baru dapat berdayaguna beberapa waktu sesudah penerimaan
sakramen, misalnya setelah melalui doa-doa pribadi, setelah sekian lama mengikuti Misa Kudus,
dan setelah mengikuti kegiatan-kegiatan rohani Gereja.

Apa tandanya kedewasaan iman dalam Kristus?

Ada beberapa tanda kedewasaan iman dalam Kristus, yang dimungkinkan oleh karunia Roh
Kudus. Pertama ialah jika kita dapat memusatkan perhatian kepada Kristus, dan bukan
kepada diri sendiri. Secara praktis kita melihat contoh yang nyata pada anak-anak kecil yang
sampai umur tertentu menginginkan dirinya terus menjadi pusat perhatian. Namun semakin
besar, sifatnya (seharusnya) berubah, dan dapat memperhatikan orang lain. Dalam ibadah dan
doa-doa kita, kita-pun dapat melihat gejala serupa. Jika kita belum dewasa dalam iman, doa-doa
kita didominasi oleh doa permohonan yang berpusat pada kebutuhan kita, seperti, minta rejeki,
kesehatan, dll. Namun jika kita terus bertumbuh, maka doa kita berkembang menjadi ucapan
syukur dan pujian penyembahan kepada Tuhan. Kita mulai dapat mengasihi Sang Pemberi berkat
dan bukannya mengasihi berkat-berkat-Nya. Bukan berarti bahwa kita tidak boleh memohon
berkat pada Tuhan, tetapi seharusnya kita memusatkan perhatian kepada Tuhan terlebih dahulu,
sebab yang lain akan diberikan kepada kita kemudian. Dengan ini kita memenuhi kehendak
Tuhan yang berkata, Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan
ditambahkan kepadamu. (Mat 6:33)

Tanda kedewasaan iman yang kedua adalah kesediaan kita untuk memberikan diri kita untuk
pekerjaan-pekerjaan Allah di dunia. Dengan perkataan lain, kita mau melayani daripada
dilayani. Bukankah hal ini juga sangat nyata dalam kehidupan seorang anak? Anak kecil minta
dilayani, tetapi yang sudah besar dapat melayani anggota keluarga yang sedang membutuhkan
bantuan. Jadi, dalam kegiatan di Gereja dan masyarakat misalnya, kita tidak menuntut orang lain
untuk memperhatikan, melayani, dan menghormati kita; melainkan kita terdorong untuk
membantu dan melayani orang lain. Karena itu, selayaknya kita tidak berkomentar, Aku tidak
senang ke gereja Katolik, karena di gereja aku tidak mendapat perhatian Walaupun tentu
sebagai umat seharusnya kita saling memperhatikan satu sama lain, namun jangan sampai kita
lupa bahwa tujuan utama kita beribadah di gereja adalah untuk bersyukur kepada Tuhan dan
bersekutu dengan-Nya. Baru kemudian, langkah berikutnya adalah, apa yang dapat kulakukan
agar dapat turut meningkatkan keakraban umat.

Melayani Tuhan juga berarti mau menjalankan tugas mewartakan Injil (lih. Mat 28:19-20). Hal
ini dapat kita lakukan dengan perkataan, tetapi terlebih lagi dengan perbuatan. Sudah menjadi
misi Kristus untuk menyelamatkan semua manusia, maka jika kita sungguh mengasihi Kristus
kita akan turut mengambil bagian dalam misi-Nya tersebut, yang juga menjadi misi Gereja.
Dengan perkataan lain, kita tidak hanya menjadi pengikut Kristus, tetapi menjadi murid
Kristus.

Tanda ketiga adalah kita tidak mudah bertengkar dengan sesama, terutama dengan sesama
umat. Rasul Paulus menunjukkan hal ini dengan begitu jelas dalam suratnya kepada jemaat di
Filipi. Timotius diutus oleh Rasul Paulus untuk membacakan pesannya kepada jemaat di sana,
yang berisi nasihat supaya bersatu dan merendahkan diri seperti Kristus (Fil 2:1-11), untuk
menghindari segala bentuk perselisihan. Secara khusus ia menyebut nama dua orang wanita yang
bertengkar, Euodia dan Sintikhe (Fil 4:2) dan menasihati supaya mereka berhenti berselisih dan
menjadi sehati sepikir dalam Tuhan. Jika kita memiliki pengalaman berselisih dengan sesama
umat di gereja, bayangkanlah jika nama kita yang disebutkan di sana!

Keempat, kita bertumbuh di dalam iman jika kita mau dengan hati lapang memikul salib yang
Tuhan izinkan terjadi di dalam kehidupan kita, dengan harapan akan kebangkitan bersama
Kristus. Hal ini bertentangan dengan keinginan dunia. Banyak orang cenderung menyukai ajaran
teori kemakmuran jika mengikuti Yesus, daripada harus berjuang memikul salib bersama
Yesus, untuk dapat bangkit bersama Dia. Pendeknya, ingin mencapai kebangkitan tanpa salib.
Namun, melalui Kitab Suci, kita dapat melihat dengan jelas, bahwa ajaran Tuhan bukanlah
demikian. Yesus mengatakan, Setiap orang yang mau mengikuti Aku, ia harus menyangkal
dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku (Mat 16:24). Artinya, dengan rahmat Tuhan, kita
harus berjuang untuk meninggalkan dosa dan segala keakuan kita, serta mengambil bagian dalam
penderitaan Kristus untuk dapat mencapai kebahagiaan bersama-Nya (lih. Rom 6:5-11; 1 Pet
4:13). Bersama Kristus dan semua anggota Gereja-Nya, kita dipanggil untuk menjadi rekan
sekerja Allah, (lih. 1 Kor 3:9) dengan mempersembahkan segala penderitaan kita untuk
dipersatukan dengan kurban Kristus, agar mendatangkan keselamatan bagi orang-orang yang kita
kasihi, dan untuk seluruh dunia.

Terakhir, tanda kedewasaan iman adalah jika kita mau mengikuti seluruh ajaran dan
kehendak Tuhan dan tidak memilih-milih dan menyesuaikan dengan kehendak kita sendiri.
Artinya, jangan sampai ajaran yang mudah kita terima, tetapi ajaran yang sukar dan
membutuhkan pengorbanan, kita tolak, seperti ajaran mengampuni orang yang menyakitkan hati,
mengasihi dan mendoakan orang yang membenci kita, larangan korupsi, dst. Jika kita bertindak
demikian, kita belum sungguh dewasa dalam iman.

Memang, kelima tanda ini merupakan perjuangan bagi setiap kita. Kita tidak perlu berkecil hati
jika belum secara sempurna mempraktekkannya. Yang terpenting adalah kita terus berjuang
supaya semakin hari kita semakin dapat menjadikan kelima tanda ini bagian dari hidup kita.
Kesimpulan

Kita patut bersyukur karena Sakramen Penguatan yang kita terima, karena dengan sakramen ini
kita dikuatkan oleh Roh Kudus untuk bertumbuh dewasa di dalam iman. Pengurapan Roh Kudus
ini seharusnya mengobarkan kasih kita kepada Yesus Kristus, yang menjadikan kita hidup
sesuai martabat kita sebagai anak-anak Allah, berani menjadi saksi-Nya, dan mengambil
peran dalam tugas-tugas perutusan Gereja. Marilah kita mohon pada Tuhan untuk
menjadikan kita anggota-anggota Kristus yang hidup, yang mengandalkan Tuhan dalam
pergumulan kita untuk mengalahkan keinginan berbuat dosa, untuk menerima dengan iman, salib
yang Tuhan ijinkan terjadi dalam kehidupan kita, dan perjuangan untuk mencapai segala sesuatu
yang sesuai dengan kehendak-Nya. Semoga doa ini selalu bergema di dalam hati kita,
Datanglah Roh Kudus, penuhilah hati umat-Mu. Nyalakanlah api cinta-Mu di dalam hati kami.
Utuslah Roh-Mu, ya Tuhan, dan kami semua akan diperbaharui dan Engkau akan
memperbaharui seluruh muka bumi.

Anda mungkin juga menyukai