Anda di halaman 1dari 90

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Minyak dan gas bumi merupakan salah satu kebutuhan yang sangat penting
bagi energi di indonesia maupun seluruh dunia. Namun, turunnya harga minyak dan
gas bumi yang disebabkan adanya pemikiran baru mengenai kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi minyak dan gas bumi dengan metode unconventional telah membuat
berkembangnya inovasi serta terobosan baru mengenai kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi minyak dan gas bumi di dunia. Selain itu, turunnya harga minyak dan gas
bumi didunia tidak lepas adanya keinginan dari negara-negara maju untuk tidak lagi
membeli atau mengkonsumsi minyak dan gas bumi di pasar dunia. Hal ini
menyebabkan melimpahnya peredaran minyak dan gas bumi di pasar dunia sehingga
menyebabkan harga minyak dan gas bumi akan turun drastis.
Dalam kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi sangat diperlukan adanya
ketelitian, kecermatan serta ketepatan dalam mengambil keputusan sehingga hal ini
dapat menghindari kerugian dari perusahaan. Dalam kegiatan eksplorasi terdapat dua
kegiatan penting bagi geologist yaitu pemetaan geologi di permukaan dan pemetaan
bawah permukaan. Pemetaan geologi di permukaan sangat penting bagi geologist
untuk membangun konsep geologi daerah telitian serta merekonstruksi kejadian masa
lampau berdasarkan data-data yang diambil saat ini, yang mana hal ini sesuai dengan
hukum Nicholas Steno, 1669 The present is the key to the past.
Pemetaan bawah permukaan adalah salah satu faktor yang paling
membutuhkan tingkat ketelitian tinggi, dimana geologist setelah mendapatkan konsep
dari pemetaan geologi di permukaan geologist dituntut untuk membangun konsep
pemetaan bawah permukaan berdasarkan konsep yang didapat pada pemetaan geologi
di permukaan. Hal yang harus di lakukan pada saat pemetaan bawah permukaan yaitu
interpretasi litologi, penentuan fasies dari karakter log serta analog dari data refrensi,
penentuan zona fluida, melakukan korelasi dari sumur ke sumur dengan metode
sekeun stratigrafi, perhitungan evaluasi formasi, permodelan fasies, pembuatan peta
penyebaran porositas, permeabilitas, saturasi air,

1
perhitungan cadangan volumetrik. Kesemua rangkaian tersebut adalah salah satu
tahap yang harus dilewati untuk mendapatkan suatu cadangan volumetrik.
Saat ini, dengan kemajuan teknologi telah menghasilkan data-data bawah
permukaan yang jauh lebih baik serta tingkat akurasi tinggi diantaranya berupa
data log, data seismik, data core serta cutting. Selain data-data tersebut saat ini
juga banyak software yang dapat membantu geologist untuk mengolah data bawah
permukaan, hal ini tidak lepas adanya keinginan untuk mengurangi tingkat
kegagalan eksplorasi.
Berdasarkan pemaparan diatas dapat dijadikan landasan utama dalam
penelitian mengenai pemetaan bawah permukaan. Pada penelitian ini ingin
difokuskan mengenai korelasi data log dengan menggunakan marker batubara serta
melakukan studi petrofisika pada lapangan YOGI untuk mengetahui karakterisasi
reservoir secara kualitatif dan kuantitatif setelah itu melakukan pembuatan peta
distribusi porositas, permeabilitas, dan saturasi air pada lapangan YOGI.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun Penelitian ini akan difokuskan pada formasi Mentawir yang
berumur Akhir Miosen Tengah pada lapangan YOGI. permasalahan yang akan
dibahas pada penelitian ini yaitu :
1. Pada penelitian ini metode korelasi yang akan digunakan yaitu dengan
menggunakan marker batubara. Berdasarkan hipotesis batubara dapat
terbentuk pada keadaan muka air laut transgresi sehingga batubara memiliki
pelamparan yang luas dan dapat dijadikan asumsi bahwa kejadian
terbentuknya batuan yang berada dibawah marker tersebut adalah sama.
2. Pembuatan peta ketebalan reservoir pada masing masing marker.
Berdasarkan hipotesis reservoir channel adalah reservoir yang paling tebal
sedangkan reservoir yang paling tipis yaitu distributary mouth bar.
3. Perhitungan petrofisika yang akan dilakukan untuk mendapat porositas,
permeabilitas, serta saturasi air. Berdasarkan hipotesis fasies yang memiliki
porositas dan permeabilitas yang tinggi yaitu channel. Sedangkan fasies

2
yang memiliki saturasi air yang tinggi yaitu semua fasies yang hadir
memiliki nilai saturasi air yang tinggi.
4. Pembuatan peta distribusi porositas, permeabilitas, dan saturasi air.
Berdasarkan hipotesis lapangan YOGI yang memiliki reservoir pada zona
dangkal (Shallow Zone) memiliki distribusi saturasi air yang tinggi.
Namun untuk peta distribusi porositas dan permeabilitas akan didominasi
nilai porositas dan permeabilitas yang tinggi.

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian


1.3.1. Maksud
1. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik dari masing
masing reservoir dari korelasi dengan menggunakan marker batubara,
untuk mengetahui nilai porositas, permeabilitas serta saturasi air dari
masing-masing reservoir, serta pemodelan petrofisika.
2. Pembahasan penelitian ini mencakup korelasi dengan menggunakan marker
batubara, menganalisis elektrofasies dan perhitungan petrofisika.
Pemodelan distribusi nilai porositas, permeabilitas, dan saturasi air.
1.3.2. Tujuan
Tujuan dari penulisan Tugas Akhir ini adalah :
1. Menganalisis serta membuktikan korelasi antar sumur dengan
menggunakan marker batubara.
2. Membuat peta ketebalan reservoir, dari masing-masing marker.
3. Menganalisis elektrofasies dan petrofisika pada masing-masing sumur.
4. Menganalisis peta distribusi porositas, permeabilitas, dan saturasi air.

1.4. Batasan Masalah


1. Penelitian ini difokuskan pada difokuskan pada Formasi Mentawir yang
berumur akhir Miosen Tengah pada lapangan YOGI, Cekungan Kutai.
2. Data yang digunakan berupa data log gamma ray, log resistivitas, log
neutron, log densitas, mud log.

3
3. Pada peneliatian ini metode korelasi yang akan digunakan yaitu dengan
marker batubara dengan menggunakan 8 sumur.
4. Melakukan pembuatan peta ketebalan reservoir pada masing masing
marker.
5. Menganalisis elektrofasies dan petrofisika pada lapangan YOGI.
6. Menganalisis peta distribusi porositas, permeabilitas, dan saturasi air.

1.5. Manfaat Penelitian


Manfaat yang diharapkan dari pelaksanaan penelitian ini antara lain:
1. Memberikan pengetahuan mengenai distribusi porositas, permeabilitas,
saturasi air.
2. Memberikan pemahaman tentang konsep geologi yang didapatkan selama
dibangku kuliah untuk diaplikasikan dalam dunia kerja.
3. Memberikan informasi, pengetahuan serta keterampilan tentang perolehan,
pengolahan, dan analisis data berupa data bawah permukaan yakni data
sumur dan juga data pendukung lainnya dalam memecahkan permasalahan
geologi bawah permukaan.
4. Memberikan pengetahuan mengenai keadaan geologi bawah permukaan
lapangan YOGI.
5. Memberikan tambahan informasi dalam perencanaan pengembangan sumur
sumur baru.
6. Membantu memecahkan permasalahan geologi yang berhubungan dengan
analisis dan interpretasi data bawah permukaan di lapangan YOGI.
7. Menjalin kerja sama yang mendukung satu sama lain antara pihak institusi
pendidikan dengan pihak perusahaan.

1.6. Sistematika Penulisan


Untuk lebih mempermudah para pembaca dalam memahami isi dari Tugas
Akhir yang penulis sajikan. Maka penulis memberikan suatu sistematika
penulisan yang mana isi Tugas Akhir ini, terdiri dari beberapa bab yang saling
berhubungan satu dengan yang lainnya sebagai berikut :

4
BAB I Pendahuluan
Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang masalah yang akan
dikaji, maksud dan tujuan penulisan, ruang lingkup kajian, metodologi
penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II Tinjauan Lapangan


Pada bab ini akan dibahas mengenai geologi regional daerah telitian,
litologi dan formasi batuan yang terdapat pada daerah telitian.

BAB III Dasar Teori


Pada bab ini akan diuraikan mengenai dasar teori yang akan digunakan
dalam penulisan tugas akhir.

BAB IV Analisa dan Perhitungan


Pada bab ini, dilakukan analisa dan perhitungan terhadap semua
permasalahan yang kemudian akan dibahas secara detail.

BAB V Pembahasan
Pada bab ini menjelaskan pembahasan dari analisa yang akan dilakukan
terhadap data-data yang ada secara lebih detail.

BAB VI Kesimpulan dan Saran


Pada bab ini merupakan kesimpulan dari pembahasan dan analisa
perhitungan yang telah dijelaskan sebelumnya.

5
BAB II
TINJAUAN LAPANGAN

2.1. Geologi Regional


2.1.1. Geologi Regional Cekungan Kutai
Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan di Indonesia yang
menutupi daerah seluas 60.000 km2 dan mengandung endapan berumur Tersier
dengan ketebalan mencapai 14 km (Rose dan Hartono, 1971 op.cit. Mora
dkk.,2000). Cekungan ini merupakan cekungan terbesar dan terdalam di
Indonesia. Cekungan Kutai terletak di tepi bagian timur dari Paparan Sunda, yang
dihasilkan sebagai akibat dari gaya ekstensi di bagian selatan Lempeng Eurasia
(Howes, 1977 op.cit. Allen & Chambers, 1998).
Cekungan kutai (Gambar 2.1.) dibatasi di bagian utara oleh suatu daerah
tinggian batuan dasar yang terjadi pada Oligosen (Chambers dan Moss, 2000),
yaitu Tinggian Mangkalihat dan Sesar Sangkulirang yang memisahkannya dengan
Cekungan Tarakan. Di bagian timur daerah cekungan ini, terdapat Delta Mahakam
yang terbuka ke Selat Makasar. Di bagian barat, cekungan dibatasi oleh daerah
Tinggian Kuching (Central Kalimantan Ranges) yang berumur Kapur (Chambers
dan Moss, 2000). Di bagian tenggara cekungan ini, terdapat Paparan Paternoster
yang dipisahkan oleh gugusan Pegunungan Meratus. Di bagian selatan cekungan
ini, dijumpai Cekungan Barito yang dipisahkan oleh Sesar Adang.

6
8 N 110 114 118
trough

South china sea Sulu Sea


-Palawan
Sabah
Luconia Shoals Sabah

Baram Sabah
Delta Basin
Sarawak Celebes Sea
4 N
Natuna Basins Tarakan
Basin
Muara
Basin
Mangkalihat
Ketungau
Basin
Semitau Muller Mts Peninsula

0 Melawi Kutai Mahakam


Basin
Basin Delta
Schwarner Mountain
Mountains Makassar Sulawesi
Karimata Straits
Barito
Straits Basin Paternoster
0 200
Meratus Platform
Laut
4 S Km
Island

Slightly Modified From Wilson & Moss, 1998

Cenozoic rocks Pre - Cenozoic Early Cretaceous


volcanic arc &
Plio-Pleistocene ophiolite sequence
Volcanics Mesozoic/early Tertiary deep Ophiolite
marine sediments, mafic basic/ultrabasic units
Oligocene-early
igneous rocks and melange
Miocene deep
marine sediments Mostly Mesozoic igneous, Cretaceous granites
metamorphic and sedimentary rocks north of the Schwaner
Cenozoic sediments with some late Palaeozoic and early Mountains.
( includes some Cenozoic rocks
volcanics )
Cretaceous granites & Major
Eocene volcanics tonalites intruding Palaeozoic lineament,
metamorphic rocks
fault or fold
Area of Sintang
Intrusives

Gambar 2.1. Peta Geologi Kalimantan (dimodifikasi dari Wilson dan Moss,1999)

2.1.2. Evolusi Tektonik dan Struktur Geologi Cekungan Kutai


Struktur geologi yang paling jelas terlihat pada Cekungan Kutai berupa
adanya pegunungan lipatan memanjang yang disebut sebagai Sabuk Lipatan
Mahakam (Gambar 2.2. dan Gambar 2.3.). Sabuk lipatan ini terdapat pada area
darat dengan sangat intensif dan berkurang intensitasnya ke arah timur. Antiklin
yang terdapat pada cekungan ini umumnya asimetris, panjang, dan dibatasi oleh
patahan (thrust fault-bounded anticline). Antiklin ini memiliki orientasi timur laut
barat daya dengan lebar sekitar 2 5 km dan panjang sekitar 50 km. Antiklin
antiklin ini dipisahkan oleh adanya sinklin yang luas dan terbuka (McClay dkk.,
2000). Bagian barat dari sabuk lipatan Mahakam ini disebut sebagai Antiklinorium
Samarinda.

7
Gambar 2.2. A). Peta Regional Kalimantan. B). Peta Struktur Cekungan Kutai, terlihat
bahwa arah lipatan yang berarah Timur Laut Bara Daya. C). Penampang seismik yang
berarah Barat Laut Tenggara, terlihat kenampakan struktur lipatan berupa antiklin dan
sinklin serta struktur patahan sesar naik dan sesar turun. (Mc Clay, dkk., 2000)

Gambar 2.3. Mekanisme terbentuknya sesar inversi dan proses tektonik gravity gliding
(Mc Clay, et al, 2000)

8
Berdasarkan Moss dan Chambers (1999), terdapat beberapa proses-proses
tektonik yang terjadi pada Cekungan Kutai (Gambar 2.4), seperti yang dijelaskan
di bawah ini :
1 Fase Syn-rift pada Eosen Tengah Eosen Akhir
Pembentukan Cekungan Kutai dimulai dengan terbentuk sejumlah
regangan berarah timur laut - barat daya pada Kala Eosen Tengah. Regangan
terbentuk karena ekstensi yang memisahkan Kalimantan dan Sulawesi bagian
selatan dan membentuk Selat Makasar sebagai akibat adanya kolisi
mikrokontinen dan subduksi di bagian barat laut Kalimantan dan pembentukan
Pegunungan Kalimantan Tengah. Saat rifting ini rangkaian half graben kompleks
terbentuk dengan orientasi NNE-SSW sampai NE-SW dan offset sepanjang rift
berhubungan dengan sesar transform berorientasi ESE-WNW sampai NE-SW
(Cloke dkk.,1999 mengacu Moss dan Chambers, 1999). Pengisi graben graben
ini terdiri 2 tipe, yaitu endapan asal darat pada bagian barat dan endapan asal laut
pada bagian timur. Pengisian graben oleh material asal laut ini akibat dari graben
yang berada di bawah muka air laut. Graben di bagian barat mungkin terisi oleh
endapan-endapan kasar yg berasal dari kipas alluvial. Pada kala ini juga terjadi
aktivitas vulkanik yang menghasilkan batuan vulkanik. Aktivitas tektonik ini
terus berlanjut hingga Eosen Akhir.
2 Fase Sagging pada Eosen Akhir Oligosen Akhir
Pada kala Eosen Akhir, terjadi proses pemekaran Selat Makasar yang
masih diikuti aktivitas vulkanik dan mengakibatkan penurunan cekungan
regional yang terjadi diseluruh daerah Kalimantan Timur. Proses ini
mengakibatkan menjadi lebih dalam, sehingga banyak dipengaruhi oleh proses
asal laut. Fase ini secara regional yang menghasilkan sedimen laut dalam yang
didominasi oleh shale yang cukup tebal, dan tinggian basement dan batas margin
terbentuk batuan karbonat. Pada kala ini proses erosi telah menghilangkan relief
topografi yang terbentuk selama rifting Eosen Tengah, sehingga pasokan sedimen
klastik kasar ke cekungan menjadi terbatas. Fasa sag sedimentasi ini terus
berkembang hingga Oligosen Akhir.

9
3 Fase Uplift pada Oligosen Akhir Miosen
Pada kala Oligosen Akhir terjadi reaktivasi pengangkatan daerah
Kalimantan Tengah dan ekstension dalam Cekungan Kutai akibat kolisi dengan
bagian timur dan utara Sulawesi. Pensesaran ekstensional yang terjadi ini tegak
lurus arahnya dengan sesar-sesar ekstensional pada kala Eosen, hal ini
menunjukkan bahwa kedua elemen struktur ini terbentuk pada rezim stress yang
berbeda. Pensesaran pada kala Oligosen Akhir ini mengikuti bidang-bidang
lemah yang telah ada pada bagian kerak cekungan ini, khususnya bidang-bidang
lemah yang berarah barat laut-tenggara (NW-SE), transfer sesar yang
memisahkan graben-graben Eosen. Zona sesar Sangkulirang dan Sungai
Bengalon di utara membatasi deposenter Cekungan Kutai yang sekarang,
sedangkan zona sesar Adang membatasi bagian selatan, semuanya sebagai zona-
zona puncak/hinge utama dari kala Oligosen Akhir hingga Miosen Awal.
Pendinginan metasedimen basement berumur Paleosen-Kapur Akhir diinduksi
oleh pengangkatan tektonik sepanjang batas barat laut Cekungan Kutai (Moss,
dkk.,1998). Aktivitas tektonik yang disebutkan di atas disertai dengan aktivitas
vulkanik yang menghasilkan batuan vulkanik Sintang. Batuan vulkanik Sintang
ini terdiri dari intrusi level dangkal dan ekstrusif (diorit, mikrodiorit, dasit,
mikrogranit dan andesit), kemungkinan vulkanisme Sintang ini terjadi lebih dari
satu kali fasa vulkanik. Pecahan-pecahan vulkaniklastik dari fasa ini pertama kali
muncul pada kala Oligosen Akhir.
4 Fase Inversi dan Progradasi paada Miosen Resen
Kala Miosen Awal merupakan waktu terjadinya regresi dan pengisian
cekungan dan menandai dimulainya progradasi terhadap sungai proto-Mahakam
dan berasosiasi dengan sedimen-sedimen deltaik. Pada awal Miosen ini terjadi
tektonik inversi pada cekungan sehingga terjadi pendangkalan dan dengan
dimulainya progradasi delta ke arah timur. Fase inversi ini terus berlangsung
hingga saat ini. Inversi ini terjadi akibat ekstensi Laut Cina Selatan pada 14 juta
tahun yang lalu serta adanya kolisi blok Palawan Utara dengan blok Palawan
Selatan membentuk deformasi kontraksi berarah barat laut tenggara. Rotasi
pulau Kalimantan dengan arah putaran berlawanan arah jarum jam pada

10
20 juta tahun yang lalu juga mempengaruhi terjadinya inversi ini. Subduksi di
bagian timur Sulawesi, menghasilkan kolisi Banggai-Sula pada 10 juta tahun
yang lalu. Kolisi pada 10 juta tahun yang lalu ini menyebabkan terjadinya
percepatan inversi dan memperkuat terbentuknya sabuk lipatan Mahakam. Rezim
kontraksi dengan arah barat laut tenggara berlangsung hingga saat ini, diikuti
dengan adanya pergerakan lempeng Indo-Australia ke arah utara menuju ke busur
Banda. Pada kala ini terjadi progradasi sedimen-sedimen deltaik ke arah timur, ke
deposenter Delta Mahakam, akomodasi yang ada sesuai dengan pasokan sedimen
sehingga menghasilkan agradasi endapan dataran pantai yang tebal. Interval
sedimen pada kala ini mengandung petroleum systems dalam Cekungan Kutai
yang aktif dieksplorasi. Batuan Induk penghasil hidrokarbonnya adalah batubara
delta plain dan intertidal coaly, mudstone mangrove, sedimen karbonan. Pada
kala ini, khususnya Miosen Tengah terbentuk endapan batubara yang tebal.
Perangkap hidrokarbon yang terbentuk pada kala ini adalah perangkap struktur
yaitu perangkap antiklin hasil mekanisme kompresional tektonik inversi,
perangkap stratigrafi yang dibentuk oleh mekanisme sedimentasi, dan perangkap
kombinasi struktur dan stratigrafi.

Gambar 2.4. Tektonostratigrafi Cekungan Kutai (Moss dan Chambers 1999)

11
2.1.3. Stratigrafi Regional Cekungan Kutai
Fase pembukaan (extensional) terjadi selama Eosen mengawali
terbentuknya formasi graben dan hemi-graben. Fase ini sesuai dengan pembukaan
Laut Sulawesi dan Selat Makassar. Fase Vulkanik (riolitik-felsik) menghasilkan
lava dan tuff Formasi Nyanan dan Sembulu di onshore Kalimantan.
Pendalaman seluruh cekungan oleh proses sagging dicirikan oleh endapan
turbidit dan batulempung laut dalam Formasi Ujoh Bilang terjadi selama Eosen
Akhir, pada dasar cekungan ini ditemukan karbonat Formasi Batu Baleh. Rezim
subsidence dan sistem pengendapan tidak terjadi secara signifikan selama masa
Oligosen. Pembukaan terjadi kembali selama Oligosen Akhir tidak mengubah
sumbu Cekungan dan sedimentasi laut dalam berlanjut. Fasa pembukaan Oligosen
Akhir ini juga ditandai oleh intrusi vulkanik (Sintang Suite). Perubahan besar
terjadi selama masa transisi antara Miosen Awal Miosen Tengah yaitu terjadinya
pembalikan struktur.
Pengangkatan selama Paleogen hingg Miosen Awal dan vulkanisme
andesit pada bagian barat Cekungan Kutai, menghasilkan penurunan kedalaman
secara simultan pada pusat cekungan dan peningkatan input sedimen. Satyana,
dkk (1999) telah menyusun kolom stratigrafi regional Cekungan Kutai (Gambar
2.13.) dari yang tertua sampai yang termuda sebagai berikut:
Formasi Pamaluan terutama terdiri dari batulempung dengan sisipan-
sisipan tipis batupasir, batubara dan batugamping, diendapkan pada
lingkungan delta marin (prodelta). Formasi Pamaluan diendapkan pada akhir
Oligosen sampai awal Miosen.
Kelompok Bebulu terdiri dari Formasi Pulau Balang dan Formasi Maruat.
Litologi Formasi Palubalang terutama terdiri dari batulempung, batupasir
lempungan, batupasir dan batulempung karbonatan, yang merupakan endapan
delta front. Formasi Maruat dengan litologi batugamping paparan yang
diendapkan pada awal Miosen Awal hingga Miosen Tengah.
Kelompok Balikpapan terdiri dari Formasi Mentawir dan Formasi
Gelingseh. Lithologi dari Formasi Mentawir terdiri dari batupasir, batulempung
dan batulanau. Lapisan batupasir terutama terletak di bagian bawah yang

12
terendapkan pada lingkungan delta front delta plain dari suatu bagian dari delta.
Formasi Gelingseh terdiri dari batulempung, batulanau dan batupasir. Kelompok
ini terendapkan pada Miosen Tengah.
Kelompok Kampungbaru terdiri dari Formasi Tanjungbatu dan Formasi
Sepinggan. Litologi Formasi Tanjungbatu adalah batupasir, batulempung dan
batulanau, sedangkan litologi Formasi Sepinggan terdiri dari batupasir,
batulempung, batulanau dan batubara. Kelompok ini diendapkan pada Miosen
Tengah sampai akhir Miosen Akhir.
Kelompok Mahakam terdiri dari Formasi Handil dan Formasi Attaka.
Formasi Attaka terdiri dari batulempung, batupasir, dan kalkarenit bioklastik yang
diendapkan pada daerah neritik pada kala Pleistosen sampai Resen. Formasi
Handil Dua terdiri dari batupasir yang diendapkan pada lingkungan delta pada
kala Holosen.

Gambar 2.5. Kolom stratigrafi regional dan tatanan tektonika Cekungan


Kutai (Awang Satyana, dkk., 1999)

13
2.2. Geologi Regional Lapangan YOGI
Lapangan YOGI merupakan suatu area rawa yang dimana terletak pada
hilir muara sungai Mahakam yang bercabang dan terletak di bagian tengah dari
cekungan Kutai. Daerah ini merupakan suatu antiklin tertutup dengan sumbu
antiklin utama berarah timur laut-barat daya.
Patahan regional diperkirakan terjadi pada akhir perioda Miosen Tengah.
Patahan ini berhubungan dengan intrusi tektonik pada lapisan batulempung yang
dimulai pada fase tektonik kompresif dalam peristiwa pengangkatan Pegunungan
Meratus di Kalimantan Selatan. Akibatnya di daerah penelitian berkembang
struktur geologi berupa patahan normal yang berarah barat-timur. Sebuah patahan
utama yang terletak di sebelah Utara puncak antiklin membagi dua lapangan
YOGI menjadi Utara dan selatan. Patahan utama ini memiliki pergeseran vertikal
yang bervariasi 20-75 m. Bagian hanging wall terletak di sebelah selatan sehingga
blok bagian Selatan turun terhadap bagian Utara.

Gambar 2.6. Peta akumulasi hidrokarbon dan struktur regional cekungan Kutai
yang berarah Timur Laut Barat Daya. Pada kotak merah merupakan lokasi penelitian
lapangan YOGI (Agus Ramdhan, 2010)

14
2.2.1. Letak Geografis Lapangan YOGI
Letak geografi lapangan YOGI adalah terletak di Kalimantan Timur, Kalimantan,
Indonesia. Kalimantan Timur berbatasan oleh, pada bagian utara Kalimantan
Utara, pada bagian selatan Kalimantan Selatan, pada bagian barat Kalimantan
Tengah, pada bagian Timur Selat Makassar. Lapangan YOGI berlokasi di dataran
dengan morfologi delta pada bagian hilir sungai Mahakam (Gambar 2.5.), serta
merupakan lapangan gas yang besar, dimana akumulasi hidrokarbon tersebut
terperangkap disepanjang antiklin yang berarah timur laut barat daya.

Gambar 2.7. Lokasi daerah penelitian pada lapangan YOGI (Peter J Butterworth, dkk.,
2001)
2.2.2. Stratigrafi Lapangan YOGI
Stratigrafi Delta Mahakam didominasi oleh stratigrafi Cekungan Kutai
dengan tebal antara 14 km (Cibaj, dkk., 2014). Lingkungan pengendapannya adalah
lingkungan deltaik sampai laut dalam (Samuel & Muchsin, 1975) dengan fasies
pengendapan yang berbeda-beda dan secara umum memperlihatkan siklus regresi dan
transgresi. Sedimen transgresi terdiri dari lapisan lapisan sedimen klastik

15
berbutir kasar dan lempung yang terendapkan dalam lingkungan paralik pantai.
Sedimen regresi tersusun dari lapisan lapisan sedimen klastik delta hingga
paralik pantai dan lapisan batubara.
Berdasarkan kenampakan dan interpretasi data Wireline log, sumur
penelitian di lapangan YOGI dibagi menjadi 6 zona kedalaman yang
menunjukkan suksesi stratigrafi (Anonymous., 2003) yaitu :

Very Shallow Zone, terletak pada sekuen pengendapan MF8 MF3


berumur Miosen Atas (9.8 5.5 juta tahun yang lalu).
Shallow Zone, terletak pada sekuen pengendapan MF9 MF8 berumur
akhir Miosen Tengah hingga awal Miosen Atas (10.2 9.8 juta tahun yang
lalu).
Upper Zone, terletak pada sekuen pengendapan U9 MF9 berumur akhir
Miosen Tengah (10.5 10.2 juta tahun yang lalu).
Main Zone, terletak pada sekuen pengendapan U10 U9 berumur Miosen
Tengah (12 10.5 juta tahun yang lalu).
Lower Zone, terletak pada sekuen pengendapan MF11 U10 berumur
Miosen Tengah (12.5 12 juta tahun yang lalu).
Deep Zone, batas atasnya adalah MF11 yang berumur 12.5 juta tahun yang
lalu.

16
Gambar 2.8. Stratigrafi pada lapangan YOGI (Rufino Rengifo, dkk., 2012)

2.2.3. Karakteristik Batuan Reservoir Lapangan YOGI


Jenis batuan reservoir pada Lapangan YOGI adalah batupasir formasi
Balikpapan, karena reservoir yang di teliti adalah reservoir yang terletak pada
zona dangkal (shallow zone). Reservoir lapangan YOGI memiliki Porositas ( )
batuan reservoirnya sebesar 18 %, saturasi air (Sw) sebesar 13 %. Gambar
dibawah ini adalah gambar sistem fasies Delta Mahakam dan top overpressure.

Gambar 2.9. Lingkungan pengendapan Delta Mahakam dan top


overpressure pada Cekungan Kutai (Total E&P Indonesie., 2003 dalam
Agus M Ramdhan, 2010)

17
BAB III
DASAR TEORI

3.1. Stratigrafi
3.1.1. Sejarah Perkembangan Sekuen Stratigrafi
Dalam lebih dari dua dekade terakhir ini telah terjadi dua revolusi ilmiah
dalam ilmu geologi, yaitu munculnya teori Global Plate Tectonics dan sekuen
stratigrafi (Sequence Stratigraphy). Thomas Kuhn (1970) dalam bukunya The
Structure of Scientific Revolutions menyatakan bahwa suatu revolusi ilmiah terjadi
karena munculnya suatu set paradigma baru atau munculnya suatu set paradigma
akan menyebabkan suatu revolusi ilmiah. Thomas Kuhn adalah orang pertama
yang memberikan pengertian baru terhadap istilah paradigma, yang arti
harafiahnya adalah contoh, atau sesuatu yang dijadikan contoh.
Paradigma adalah suatu set dari prinsip-prinsip, konsep, rumus-rumus
maupun prosedur dalam suatu ilmu yang diyakini kebenarannya oleh masarakat
ilmiah secara meluas, sehingga dijadikan suatu standar prosedur untuk
memecahkan masalah-masalah ilmiah, sehingga dapat dijadikan contoh, yang
diajarkan oleh dan kepada para anggota masarakat ilmiah itu. (Kuhn, 1974)
Paradigma yang baru tidak perlu merupakan suatu revolusi ilmiah yang besar,
tetapi dapat pula terjadi dalam suatu cabang ilmu yang tidak begitu kentara oleh
masarakat luas.
Dalam pengertian yang lebih luas lagi dikatakan paradigma merupakan
pandangan dunia (welt-anschaung), terhadap gejala-gejala ilmiah yang
dipelajarinya. Dalam sekuen stratigrapi, ternyata prinsip-prinsip dan konsep
maupun prosedur yang tercetus didalamnya telah merubah tentang prinsip,
konsep, pengertian dan definisi maupun prosedurnya dalam ilmu stratigrafi
tradisional. Beberapa konsep sequence stratigraphy boleh dikatakan telah mulai
muncul.
Menjelang abad ke-19. Konsep perubahan muka laut eustatic pertama kali
dikemukakan Darwin, untuk menerangkan terjadinya atol, dengan mengatakan
bahwa muka laut itu dimasa yang lampau (terutama zaman glasial

18
di Pleistosen) pernah turun secara global. Blackwelder (1910) memberikan
pengertian yang mendalam mengenai unconformity :
1. Bahwa unconformity tidak bersifat regional apalagi global.
2. Bahwa unconformity pada hakekatnya dapat menghilang ke suatu tempat
menjadi suatu hubungan conformable. Sebagaimana kita ketahui bahwa,
unconformity menjadi dasar pembagian sequence stratigraphy.
Barrel (1917) memberikan konsep base level of erosion yang ditentukan
oleh garis pantai, dan perubahan garis pantai akan pula merubah base level of
erosion ini yang akan mengendalikan terjadinya erosi (degradasi) dan sedimentasi
(agradasi) di darat, sehingga turun-naiknya muka air laut pun akan
mempengaruhi sedimentasi di daratan, suatu konsep yang penting bagi sekuen-
stratigrafi. Istilah sequence sebagai suatu satuan stratigrafi yang dibatasi oleh
unconformity diusulkan oleh Sloss dkk (1949), dan inilah kemudian menjadi
dasar dari prinsip sequnce stratigraphy.
Rich (1951) memberikan pengertian yang lebih baik mengenai permukaan
pengendapan (depositional surface), yang dia bagi sebagai clinoform, un-daform
dan fondoform. Pengendapan pada clinoform yi: permukaan yang miring, telah
mengakibatkan konsep terjadinya akumulasi lateral dari sedimen, menjadi sangat
dasar, dalam konsep sequence stratigraphy. Wheeler (1958) menunjukan adanya
sifat cyclicity pada urutan lapisan sedimen, antara lain adanya konsep cyclothems,
khususnya untuk lapangan yang mengandung endapan batubara. Konsep
cyclothem sebetulnya telah lama muncul.
Pada tahun 1961 Schenk mengemukakan dalam makalahnya Guiding
Principels of Stratigraphy mengukuhkan prinsip stratigrafi yang berdasarkan
Steno sebagai time-honoured principles, sehingga prinsip Steno ini masih berlaku
walaupun dengan sedikit modifikasi (gambar 3 . 1). Sesuai dengan perkembangan
metoda seismik, di tahun tujuh puluhan, yang memberikan pandangan menerus
mengenai tatanan perlapisan secara regional, dibandingkan dengan data
singkapan dan pemboran, telah merubah pandangan terhadap bagaimana lapisan
sedimen berakumulasi.

19
Gambar 3.1. Pandangan stratigrafi tradisional tentang akumulasi sedimen. Pinggiran
paparan (shelf edge) merupakan pusat dari pengendapan (dimodifikasi dari Nicholas
Steno., 1669)

Gambar 3.2. Pandangan stratigrafi sekuen tentang akumulasi sedimen dimana pusat
pengendapan lapisan sedim en adalah suatu bentuk cekungan (Galloway., 1989)

Hal ini dikemukakan oleh Weimer (1972 dan 1975) yang menunjukan bahwa
prinsip-prinsip stratrigrafi yang didasari pada Hukum Steno secara implisit
menyatakan bahwa lapisan sedimen pada umumnya berakumulasi secara vertikal,
sedangkan dalam kenyataannya lapisan sedimen pada umumnya berakumulasi lateral
secara akresi, walupun komponen vertikal masih ada, tetapi dalam skala yang jauh
lebih kecil. Weimer (1971 dan 1975) menunjukan bahwa pada umumnya sedimen
berakumulasi secara lateral dengan akresi pada pinggiran paparan, sehingga
akumulasi vertikal harus dimodifikasi dengan akumulasi lateral, dan

20
akumulasi vertikal hanya merupakan komponen saja. Hal ini bertentangan
langsung dengan prinsip-prinsip stratigrafi lama, paling tidak prinsip-prinsip
Steno harus dimodifikasi.
Pada tahun 1977 munculah apa yang disebut seismic stratigraphy yang
dikembangkan oleh pusat penelitian Exxon, yang didasarkan atas data seismik di
Pantai Atlantic, yang dipelopori oleh Vail dkk (1977) yang merupakan murid-
murid Sloss. Konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang telah dikemukakan di atas
ini kemudian menjadi dasar dari ilmu stratigrafi yang baru. Dengan mengaplikasi
prinsip-prinsip dan konsep stratigrafdi yang baru pada singkapan dan log sumur,
maka terjadilah ilmu stratigrafi yang baru yang disebut sebagai sequence
stratigraphy.
3.1.2. Pandangan dan Konsep Dasar Sekuen Stratigrafi
Berdasarkan pengamatan regional dari penampang seismik di pinggiran
paparan Samudera Atlantik, maka didapat suatu pandangan mengenai akumulasi
lapisan sedimen yang tebal (depocenter) adalah sebagai berikut :
1. Pinggiran paparan (shelf edge) merupakan pusat dari pengendapan lapisan
sedimen (Gambar 3.3). Hal ini jelas merubah pandangan sebelumnya
bahwa pusat pengendapan lap sedimen adalah sebuah cekungan.
2. Pinggiran paparan merupakan kunci untuk pemahaman hubungan
stratrigrafi.
3. Akumulasi lateral & pergesaran dalam siklus pengendapan.
4. Perubahan muka air laut eustatik sebagai pengendali utama perulangan
lapisan sedimen.

21
Gambar 3.3. Konsep pengakhiran dan pola lapisan pada teori sekuen stratigrafi. sekuen
stratigrafi mengajarkan bahwa lapisan pada umumnya diendapkan pada permukaan
miring (clinoform), walaupun juga masih mengenali pengendapan dalam keadaan
horizontal (Catuneanu., 2002)

Walaupun prinsip-prinsip ini diketemukan di pinggiran Paparan Atlantik


Pantai Amerika Timur, namun prinsip-prinsip ini dapat diterapkan pada semua
akumulasi sedimen dimana saja di dunia. Hal ini tidak mengherankan, karena
mayoritas cekungan-cekungan sedimen berada disekitar passive margin,
sebagaimana halnya Paparan Amerika bagian timur. Namun demikian prinsip-
prinsip diyakini pula berlaku untuk tepian benua active margins, seperti di
Indonesia dan cekungancekungan Circum Pasific, walaupun, mungkin akan
lebih komplek, mengingat adanya dua sumber sedimen dalam cekungan busur
kepulauan.
3.1.3. Model Pengendapan
Pada model pengendapan tradisional, akumulasi sedimentasi terjadi dalam
cekungan, dimana pinggiran cekungan merupakan suatu tempat pembajian
lapisan, dan lapisan akan menumpuk secara vertikal di tengah cekungan. Adanya
transgresi, dan regresi terjadi pada pinggiran cekungan, dan terjadi perubahan
fasies dari darat sampai kelaut, di tengah cekungan. Transgresi, dan regresi ini
hanya mempengaruhi fasies sekitar pantai. Pada model pengendapan sekuen
stratigrafi, akumulasi sedimentasi terjadi di pinggiran paparan (shelf) atau daerah
pantai. Adanya clinoform atau lereng pada tepi paparan merupakan gejala yang

22
penting dalam mengendalikan pengendapan dan pergeseran fasies, bukan saja di
daerah pinggiran paparan tetapi juga hingga paparan dan jauh di daratan maupun
di laut dalam, bersifat daur yang berulang-ulang.
3.1.3.1. Prinsip Steno
Hukum Superposisi menyatakan: lapisan yang berada di bawah, berumur
lebih tua dari lapisan lapisan yang berada di atasnya. Prinsip ini tidak berubah,
tetapi mempertajam pengertian lapisan dan bidang perlapisan sebagai bidang
antarmuka pengendapan (depositional interface) sebagai bidang kesamaan waktu
(isochronous time surface).
3.1.3.2. Konsep Perlapisan
Dalam stratigrafi tradiosional pengertian lapisan tidak terlalu ditekankan,
bahkan definisinyapun tidak ada, kecuali pada Hukum Superposisi, dimana secara
implisit dinyatakan bahwa permukaan lapisan atau batas lapisan adalah pembatas
waktu (lapisan yang di atasnya selalu lebih muda dari lapisan di bawahnya) atau
sebagai permukaan kesamaan waktu (Hukum ke 1 dari Prinsip Steno).
Sekuen stratigrafi, menyatakan bahwa lapisan sebagai sedimen yang
serupa, disebarkan oleh medium (air atau angin) dalam keadaan serupa pula.
Lebih tegas dinyatakan bahwa permukaan antar lapisan yang disebut juga sebagai
depositional interface. Menurut R P Koesoemadinata (1997) secara praktis
merupakan bidang kesaman waktu dan bidang ini terjadi karena berhentinya
keadaan penyebaran sedimen yang serupa karena:
1 Berubah jenis sedimen yang di endapkan.
2 Tidak adanya pengendapan (non-depositional).
3 Adanya erosi.
Dengan demikian bidang permukaan lapisan (stratal surface) mewakili
suatu rumpang waktu minimal (minimum time gap) atau suatu hiatus kecil,
sehingga untuk keperluan praktis dapat dianggap sebagai permukaan waktu
(isochronous time surface). Dalam hal ini horizon seismik dianggap pula sebagai
bidang permukaan lapisan atau bidang kesamaan waktu. Dalam stratigrafi
tradisional sering lapisan itu dikacaukan dengan pengertian satuan litologi. Dalam
pengetian sekuen stratigrafi lapisan dapat saja secara berangsur berubah.

23
3.1.3.3. Hukum Lateral Continuity dan Lateral Termination
Hukum ini secara tradisional menyatakan bahwa lapisan menerus secara
lateral sampai lapisan itu membaji ke pinggiran cekungan, atau juga kena
pemancungan. Membaji yaitu suatu bentukan lapisan batuan yang menipis dan
habis pada ujung lapisan.
3.1.3.4. Konsep Pengakhiran Lapisan
Konsep Pengakhiran Lapisan. (prinsiple of stratal temination) ini sudah
tidak sesuai dengan Hukum Steno yang kedua: prinsip kesinambuangan lapisan
secara lateral (Law of Lateral Conitnuity of strata) yang menyatakan bahwa
lapisan bersinambungan secara lateral sampai berakhir pada tepi cekungan
(Gambar 3.4.). Sekuen stratigrafi mengajarkan bahwa lapisan berakhir pada arah
darat maupun ke arah laut (cekungan). Dengan demikian muncul istilah mengenai
berakhirnya lapisan sebagai berikut.

Gambar 3.4. Prinsip akumulasi lateral juga memberikan berbagai, Pola penumpukan
perlapisan seperti: 1. Progradasi (pola sigmoid, tabular) , pola ini memberikan pergeseran
kedua arah ataupun satu arah kearah laut (truncation) 2. Retrogradasi, memberikan
penumpukan searah kedarat (backstepping) 3. Agradasi (penumpukan vertikal) (R P
Koesoemadinata., 1997)

24
3.1.3.5. Hukum Original Horizontality vs Clinoform
Secara tradisional sedimen diendapkan dalam keadaan aslinya secara
horizontal, atau tidak sejajar dengan lapisan (dasar cekungan) yang ada di
bawahnya. Belakangan juga diakui adanya kemiringan asli, subpararel dalam hal
terjadinya onlapping. Dalam sekuen stratigrafi adanya pengendapan yang miring
pada clinoform (walaupun hanya beberapa derajat saja) selain yang horizontal
merupakan prinsip dasar, karena keadaan ini mengendalikan sedimentasi dan
urutan stratigrafi pada umumnya. Prinsip pengendapan pada clinoform jelas tidak
sesuai lagi dengan hukum ke-3 Steno yang menyatakan bahwa endapan sedimen
di endapkan pada keadaan aslinya dalam keadaan mendatar atau horizontal
(original Horizontality of strata). Sekuen stratigrafi mengajarkan bahwa lapisan
pada umumnya diendapkan pada permukaan miring atau disebut clinoform,
walaupun masih mengenali pengendapan dalam keadaan horizontal.
3.1.3.6. Hukum Vertical vs Lateral Accumulation
Dalam stratigrafi tradisional lapisan sedimen menumpuk atau
berakumulasi secara vertikal, walupun diakui adanya pergeseran fasies secara
lateral sepanjang lapisan dan adanya onlapping. Dalam s e k u e n s t r a t i g r a f i
secara prinsip lapisan sedimen berakumulasi bukan saja secara vertikal akan
tetapi akumulai secara lateral merupakan proses yang dominan. s e k u e n s t r a t
i g r a f i secara prinsip mengenal akumulasi secara agradasi (vertikal),
retrogradasi (vertikal dan lateral) dan progradasi (lateral).
Prinsip akumulasi lateral juga tidak sesuai lagi dengan prinsip Steno yang
secara implisit menekankan bahwa lapisan sedimen menumpuk secara vertikal,
yang diturunkan prinsip original horizontality. s e k u e n s t r a t i g r a f i
mendasarkan pada kenyataan bahwa akumulasi sedimen terutama terjadi di pinggiran
paparan atau tepian daerah pantai, dimana akumulasi terjadi secara lateral. Konsep ini
masih juga mengenal terjadinya akumulasi secara vertikal dalam keadaan tertentu
misal karena adanya subsidence dan compation. Dengan demikian sekuen stratigrafi
sebetulnya berprinsip bahwa penumpukan sedimen mempunyai komponen lateral dan
vertikal, dimana komponen horizontal lebih bersifat dominan. Karena dua komponen
akumulasi ini maka prinsip akumulasi lateral juga

25
memberikan berbagai jenis pola penumpukan perlapisan (Catuneanu., 2002)
seperti:
1 Penumpukan progradasi (pola sigmoid, tabuler), yang memberikan
pergeseran kedua arah (onlaping dan downlaping) ataupun satu arah (arah
laut) (truncation atau toplapping dan downlapping).
2 Penumpukan retrogradasi dimana memberikan penumpukan searah (ke
darat, onlapping, dan backstepping).
3 Penumpukan agradasi (penumpukan vertikal).

3.1.4. Konsep Ketidakselarasan dan Stratal Discontinuity


Konsep ketidakselarasan (unconformity) pertama dicetuskan oleh James
Hutton (1785), dalam gagasannya mengenai adanya daur geologi (gelogical cycles).
Ketidakselarasan adalah bukti adanya ketidaklanjutan secara vertikal dari sedimentasi,
yang disebabkan oleh adanya gejala tektonik (seperti: perlipatan, kemudian disusul
oleh pengangkatan/orogenesa) atau gejala tektonik pengangkatan dan kemiringan
ataupun semata-mata pengangkatan saja (epirogenesa). Istilah unconformity kemudian
berkembang menjadi berbagai jenis, seperti: disconformity, agular unconformity, non-
conformity dan sebagainya. Dalam sekuen stratigrafi, ketidakselarasan merupakan
salah satu dari ketidaklanjutan lapisan (stratal disconformity), dimana turun naiknya
muka air laut relatif merupakan unsur penting. Disini ditekankan keberadaan
ketidakmenerusan secara vertikal dalam perlapisan atau stratal discontinuity. Dalam
hal ini stratal discontinuity mengandung pengertian adanya hiatus atau waktu yang
tidak terekam dengan cukup panjang. Bentuk-bentuk stratal discontinuity yaitu :

1 permukaan non-erosi (non-erosional surfaces).


2 Permukaan tererosi.
Bentuk-bentuk permukaan non-erosi yang berupa stratal discontinuity itu
tidak dikenal dalam stratigrafi tradisional (R P Koesoemadinata., 1997). Bentuk
non-erosi itu antara lain:

26
1 Permukaan tanpa pengendapan (surface non-depositional), dimana sedimen
lewat permukaan tanpa adanya pengendapan atau pengerosian yang berarti,
yang disebut sebagai sedimen by passing (depostional hiatus).
2 Permukaan berakhirnya lapisan (surface of stratal termination), jadi
berhubungan dengan prinsiple of stratal termination, seperti onlap
surface, downlap surface, toplap surface dan apparent surface.
Dalam sekuen stratigrafi perlu diketahui juga bahwa keadaan tanpa
pengendapan (surface of non-depositi) hal ini merupakan suatu bidang stratigrafi
yang penting dan prinsipiil yang disebut SB tipe 2, disebut juga sebagai tipe 2
unconformity. Permukaan erosi mencakup ketidakselarasan dalam arti klasik
(classical unconformity) dan berhubungan dengan subaerial exposure dan proses
transgresi. Namun selain itu mencakup juga bidang permukaan erosi bawah laut
(surface of sub-marne erosion), suatu konsep yang juga tidak ada dalam stratigrafi
tradisional. Dalam hal ketidakselarsan klasik (surface of erosion with subaerial
exposure), dikenal juga ketidakselarasan (R P Koesoemadinata., 1997) berupa:
1 Diskordansi dengan pemancungan (discordance with truncation) yang
dalam istilah stratigrafi tradisional dikenal sebagai angular unconformity.
2 Konkordansi dengan pengikisan lembah (concordance with incised
valleys) yang dalam istilah stratigrafi tradisional dikenal sebagai
disconformity.
Perlu dijelaskan bahwa dalam Bahasa Indonesia istilah diskordansi
(diambil dari bhs Belanda discordantie, antara lain hoek-discordantie = angular
unconformity) dan unconfornmity (Bahasa Inggris) diterjemahkan sebagai
ketidakselarasan. Dalam kontek ini discordance dan concordance diartikan
sebagai hubungan antar lapisan, dan tidak perlu dalam hubungan unconformity
yang mengandung arti adanya hiatus. Salah satu konsep baru adalah bahwa
unconformity dapat berlanjut secara lateral menjadi permukaan yang selaras
(equivalent conformable surface) dimana tidak terdapat stratal discontinuity. Dari
pembahasan di atas jelaslah bahwa telah terjadi pergeseran dalam pengertian
ataupun definisi unconformity, malah mencakup konsep stratal discontinuity
lainnya yang tidak pernah ada dalam prinsip stratigrafi tradisional.

27
3.1.5. Pendauran Lapisan (Cyclicity of Strata) dan Sistem Klasifikasi
Stratigrafi
Adanya daur stratigrafi, sebenarnya telah lama dikenal dan terutama
Wheeler (1958) secara khusus membahas mengenai adanya cyclotheme. Namun
stratigrafi sekuen secara explisit menyatakan bahwa semua urutan sedimen dapat
dianalisis sebagai bersiklus. Walaupun juga diakui adanya siklus yang terjadi
sendiri (autocyclus) seperti dalam perpindahan delta lobe, namun kebanyakan
cycles dapat diterangkan oleh turun-naiknya muka air laut yang eustatik dan
global. Diakui pula adanya proses yang bersifat berulang (repetitive) yang
disebabkan tektonik, dan yang bersifat episodic (sewaktu-waktu).
Dalam hal kejadian berdaur maupun berulang, stratigrafi sekuen mengenal
berbagai tingkatan atau order yang masing-masing mempunyai jangka waktu
panjang maupun pendek. Dalam hal daur maka pada tingkatan lapisanpun atau
yang disebut parasequence, terdapat daur berfrekuensi tinggi (order 4 atau lebih),
maupun berfrekuensi rendah (order 3 sampai ke 1), dan frekuensi ini dinyatakan
dalam puluhan ribu - ratusan juta tahun. Frekuensi tinggi tersuperimposisikan
pada daur frekuensi rendah sehingga merupakan suatu bentuk kurva yang
komplek (convolution). Salah satu daur yang penting dalam stratigrafi sekuen
disebut sequence, dimana batas-batasnya merupakan unconformity yang
merupakan sedimentasi dalam 1 siklus turun naiknya muka laut. Bagian-bagian
dari daur itu disebut system tracts yang terbagi dalam lowstand (LST),
trangressive(TST) dan higstand system tracts (HST).
Satu system tracts terdiri a t a s parasequenceset, yang merupakan satu
genetically related units yang ditafsirkan pula sebagai daur kecil, yang dibatasi
apa yang disebut marine flooding surfaces (MFS). Setiap siklus kecil ini dapat
dikenal dalam setiap urutan stratigrafi, dan merupakan daur order ke 4-ke 6,
sedangkan penyebabnya ditafsirkan perubahan iklim dan muka laut secara kecil-
kecilan yang dikaitkan dengan gejala astronomis yang berdaur seperti axial
oblixity dan orbit eccentricity dan disebut Milankovich cycles.

28
Namun demikian stratigrafi sekuen memperhatikan pula adanya gejala
geologi lainnya yang mempengaruhi urutan yang bersifat cyclic, seperti gejala
tektonik (orogenesa) yang bersifat perulangan (repetitive) dan gejala proses
sedimentasi yang bersifat episodic. Jelas stratigrafi sekuen telah memberikan
pengertian mengenai klasifikasi baru yang lain sama sekali dengan apa yang kita
kenal dalam stratigrafi tradisionil seperti satuan lithostratigrafi (formasi, anggota,
kelompok), dan kronostratigrafi (stage, epoch dan sebagainya), dimana
kelihatannya tidak ada hubungannya sama sekali antar satuan stratigrafi tersebut,
karena konsep atau cara kita mengamati gejala stratigrafinya sudah lain sama
sekali, dengan menggunakan kriteria yang lain.

3.1.6. Pendekatan Stratigrafi Tradisional (Descriptive) vs Sekuen Stratigrafi


(Deterministic)
3.1.6.1. Stratigrafi Tradisional (Descriptive)
Stratigrafi ini berlandaskan atas deskripsi dari lapisan-lapisan yang diamati,
(didasarkan kriteria yang dapat diamati), dan interpretasi terbatas dari padanya.
Kriteria itu bisa bersifat litologi dan atau fosil (paleontologi, biostratigrafi), sehingga
adanya satuan lithostratigraphy, satuan chronostratigraphy dan geochronology.
Malah dalam Sandi Stratigraphy International terakhir (1984) terdapat profillifsas
satuan stratigrafi yang bersifat desktriptif, dan beberapa satuan interpretasinya. Satuan
interpretatif ini yang bersifat satuan waktu, merupakan usaha globalisasi satuan
seperti berbagai jenis satuan kronostratigrafi. Satuan litologi tetap bersifat lokal dan
tidak terkait secara global.
3.1.6.2. Sekuen Stratigrafi (Deterministic)
Terikat oleh hukum-hukum dari daur turun atau naiknya muka laut.
Stratigrai sekuen, walupun pada mulanya bersifat deskriptif seperti halnya dalam
stratigrafi tradisional, tetapi telah berkembang menjadi ilmu yang sangat
deterministik, malahan bersifat prediktif. Satuan stratigrafi dan sedimentasi
ditentukan oleh aturan-aturan yang dapat diturunkan dari hukum turun-naiknya
muka air laut yang bersifat global. Dengan menambahkah input laju pasokan
sedimen, laju penurunan tektonik, maka satuan-satuan stratigrafinya (system

29
tract/facies) dapat diprediksi. Dalam stratigrafi sekuen faktor geologi yang
mengendalikan urutan stratigrafi, pola penumpukan lapisan (stratal stactking
pattern) dan facies dikendalikan hanya oleh 3 faktor:
1 Laju perubahan muka air laut eustatik (eustatic sealevel changes).
2 Laju penurunan tektonik (tectonic subsidence).
3 Laju Pemasokan sediment (sediment supply).
Ketiga faktor di atas itu menentukan perubahan muka laut relatif dan apa
yang disebut sediment accomodation, suatu konsep baru yang menyangkut
kedalaman laut (bathymetry) Satuan statigrafinya seperti: sequence, system tracts,
parasequences dapat dikaitkan langsung dengan turun naik muka laut relatif. Hal
ini langsung dikaitkan dengan perubahan muka laut eustatik yang bersifat cyclic,
dengan memperhitungkan laju pasokan sedimen dan laju penurunan tektonik.
Dengan mengetahui persamaan sinusoid dari perubahan muka laut eustatik untuk
zaman tertentu, dan memasukan 2 nilai laju tersebut, maka pada suatu titik dalam
suatu cekungan sedimen dapat diprediksi urutan stratigrafi sekuen, termasuk
system tracts yang akan terbentuk, pola penumpukan lapisan, serta ketebalan,
sehigga dimungkinkan suatu simulasi sedimentasi komputer, dimana hasilnya
berupa suatu penampang stratigrafi.
Endapan darat adalah sangat ditentukan oleh perubahan muka air laut relatif,
hal ini yang akan merubah base-of level of erosion, dan ini menentukan adanya erosi
atau pengendapan di dataran aluvial. Pengendapan laut dalam yang diluar pengaruh
turun naiknya muka air laut akan ditentukan secara tidak langsung oleh turun-naiknya
muka air laut, perubahan yang hampir tidak teramati dalam gejala kimia-fisika dan
biologi dari lingkungan pengendapan. Dengan demikian jelaslah bahwa sekuen
stratigrafi sifatnya sudah sangat deterministic, bahkan prediktif.
3.1.7. Integrasi antara Stratigrafi Waktu dan Batuan
Dalam stratigrafi sekuen tidak ada lagi pemisahan antara satuan stratigrafi
waktu, dan batuan. Satuan batuan terikat oleh batas-batas waktu, karena satuan
batuan yang bersifat fasies didefinisikan berdasarkan kriteria yang terikat waktu,
yang dihubungkan dengan fase dari daur turun-naiknya muka air laut yang bersifat
sinusoid.

30
3.1.8. Sifat Global.
Mengingat bahwa satuan stratigrafi dikendalikan oleh kurva turun-naiknya
muka air laut yang dinyatakan bersifat global, maka satuan stratigrafinya pun
(yang disebut sekuen) bersifat global. Bahkan untuk satuan bawahannya seperti
system tracts, parasequence, yang dibatasi oleh MFS dinyatakan bersifat global,
yang dihubungkan dengan daur Milankovic yang berperiode puluhan-ratusan ribu
tahun per siklus.
3.1.9. Metode dan Teknik dalam Sekuen Stratigrafi (Sequence Stratigraphy)
Sekuen stratigrafi memberikan dampak pada metode pengamatan
singkapan, metode korelasi, maupun dalam interpretasi. Pengamatan singkapan
tidak lagi semata-mata deskriptif, namun sudah diarahkan pada pengenalan hal-
hal seperti: MFS, SB, trangressive surface, condensed sections dan sebagainya,
yang sulit diamati kecuali dengan menggunakan kriteria tertentu. Hal yang sama
juga terhadap pengamatan yang diarahkan untuk mengenal jenis SB, system
tracts, parasequence, berdasarkan deduksi dengan menggunakan kriteria-kriteria
tertentu. Dalam hal metode korelasipun sekuen stratigrafi menggunakan prosedur
yang lain, yang lebih bersifat deterministik dengan memperhatikan bounding
surface, disconformity, unconformity, serta stratal patern, adanya onlaping, down
laping, backsteping dan sebagainya.
3.1.10. Metode Korelasi
Dalam melakukan korelasi terjadi praktek yang lain. Pada stratigrafi
tradisionil, korelasi dilakukan antar lapisan (formasi). Juga pada subsurface,
dilakukan korelasi dengan meneruskan bidang perlapisan/ bidang kesamaan
waktu, dan horizon korelasi. Pada stratigrafi sekuen, korelasi dilakukan dengan
melacak SB dimana bidang ketidakselarasan dapat dilanjutkan pada bidang
antarlapisan yang selaras, MFS, Condens section, dan dalam melaksanakan
korelasi detail pada parasequence dilakukan pada MFS, dengan memperhatikan
pola penumpukan seperti agradasi, progradasi, dan retrogradasi) dimana terjadi
stratal termination.

31
3.1.11. Dasar Klasifikasi Stratigrafi
Pada stratigrafi tradisional yang dijadikan dasar pengelompokan satuan
batuan adalah kriteria litologi dalam hal satuan litostratigrafi atau penyebaran
asosiasi fosil dalam hal biostratigrafi. Yang belakangan ini ditafsir sebagai
kronostratigrafi dan menjadi dasar geokronologi. Dalam sekuen stratigrafi dasar
pembagian satuan stratigrafi adalah pengenalan adanya permukaan antar lapisan
yang bersifat unconformity serta korelasinya, permukaan yang memisahkan
berbagai system tracts yang tidak berdasarkan kriteria litologi saja tetap harus
memperhatikan kriteria biostratigrafi maupun kriteria korelasi serta sifat dari
bidang permukaannya sendiri. Posisi suatu satuan stratigrafi dapat saja
berdampingan dengan satuan lainnya atau bergeser secara geografinya dan tidak
perlu berada di atas atau di bawahnya.
3.1.12. Identifikasi Fasies dan System Tracts
Sebetulnya antara fasies dan system tracts, terdapat perbedaan prinsip,
tetapi dalam suatu system tracts dapat diidentifikasi adanya beberapa fasies atau
lebih tepat lagi lingkungan pengendapan. Dalam satu fasies, misalnya suatu fasies
marine shale dapat saja terpotong oleh dua system tracts, misalnya bagian
bawahnya termasuk dalam TST, sedangkan bagian atasnya masuk HST,
sedangkan pada bagian distalnya suatu deep marine fasies, bisa merupakan
gabungan antara LST, TST, dan HST karena semuanya diendapkan dalam
lingkungan yang sama. System tracts sering dibedakan karena adanya pola
pengendapan, seperti adanya down lapping surface, condesed section yang secara
kriteria litologi maupun paleontologi sulit untuk dibedakan.
3.1.13. Perbedaan antara Stratigrafi Tradisional dan Sekuen Stratigrafi
Dewasa ini terjadi koeksistensi antara sratigrafi tradisional dengan sekuen
stratigrafi. Pada geologi permukaan (surface geology) penelitian geologi serta
juga klasifikasi stratigrafi masih mempergunakan paradigma stratigrafi tradisional.
Akan memerlukan waktu cukup lama untuk dapat mengkonfersikan pengetahuan
stratigrafi tradisional, seperti terdapat pada peta geologi, untuk menjadi sekuen
stratigrafi mengingat kriterianya sangat berlainan, kemungkinan besar penelitian
stratigrafi berdasarkan surface geologi harus ditentukan ulang

32
untuk dapat dikonversikan ke sekuen stratigrafi. Diindustri minyak dan gas bumi,
terutama dengan menggunakan data pemboran dan seismik pada umumnya terjadi
penyesuaian antara stratigrafi tradisional dengan sekuen stratigrafi. Walaupun
sebenarnya secara prinsip ke dua ilmu stratigrafi tersebut berlainan, tetapi dalam
prakteknya terjadi penyesuaian antara satuan-satuan stratigrafi tradisional pada
satuan-satuan sekuen stratigrafi, dengan melakukan modifikasi pada batas formasi
sehingga sesuai dengan batas-batas sekuen dan system tracts.
3.2. Logging
Pada hakekatnya penilaian formasi adalah proses pengumpulan data dari
formasi yang dilakukan secara berkelanjutan mengenai sifat-sifat lapisan yang
ditembus. suatu proses analisis ciri dan sifat batuam di bawah tanah dengan
menggunakan hasil pengukuran lubang sumur. Tujuan utama dari evaluasi
formasi adalah untuk mengidentifikasi reservoir, memperkirakan cadangan
hidrokarbon dan memperkirakan perolehan hidrokarbon. Penilaian formasi
meliputi serangkaian kegiatan pencatatan data tentang keadaan dan sifat-sifat atau
karakteristik formasi untuk digunakan sebagai dasar pada penentuan dan
perkiraan cadangan reservoir serta produktivitas reservoirnya.
Data-data yang diperoleh dari penilaian formasi meliputi sifat-sifat fisik
batuan reservoir, sifat-sifat fisik fluida reservoir, kondisi reservoir dan jenis-jenis
reservoir. Dari data penilaian formasi ini dapat diketahui kedalaman formasi
produktif serta batasan-batasannya dengan formasi di atas atau di bawahnya,
jenis reservoir dengan mengetahui sifat fisik batuan dan fluida reservoir,
gangguan pada sumur yang disebabkan oleh kerusakan formasi disekitar lubang
bor pada formasi produktif sebagai akibat dari aktivitas pemboran, serta dari data
ini dapat juga untuk penentuan atau perkiraan cadangan reservoir serta
produktivitas reservoirnya, dan dapat juga untuk penentuan kelakuan
(performance) reservoir tersebut.
Logging merupakan metode pengukuran besaran-besaran fisik batuan
reservoir terhadap kedalaman lubang bor. Tujuan logging yaitu menentukan
besaran-besaran fisik batuan reservoir (porositas, saturasi air formasi, ketebalan
formasi produktif, lithologi batuan). Berdasarkan kemampuan, kegunaan, dan

33
prinsip kerja maka jenis logging ini dibagi menjadi log listrik (log spontanious
potensial dan log resistivity), log radioaktif (log gamma ray, log neutron dan log
density), log sonic, dan log caliper.
3.2.1. Logging While Drilling (LWD)
Logging while drilling (LWD) merupakan suatu metode pengambilan data
log dimana logging dilakukan bersamaan dengan pemboran (Harsono,1997). Hal
ini dikarenakan alat logging tersebut ditempatkan di dalam drill collar. Pada
LWD, pengukuran dilakukan secara real time oleh measurement while drilling
(Harsono,1997).
Alat LWD terdiri dari tiga bagian yaitu: sensor logging bawah lubang bor,
sebuah sistem transmisi data, dan sebuah penghubung permukaan. Sensor logging
ditempatkan di belakang drill bit, tepatnya pada drill collars (lengan yang
berfungsi memperkuat drill string) dan aktif selama pemboran dilakukan
(Bateman,1985). Sinyal kemudian dikirim ke permukaan dalam format digital
melalui pulse telemetry melewati lumpur pemboran dan kemudian ditangkap oleh
receiver yang ada di permukaan (Harsono,1997). Sinyal tersebut lalu dikonversi
dan log tetap bergerak dengan pelan selama proses pemboran. Logging
berlangsung sangat lama sesudah pemboran dari beberapa menit hingga beberapa
jam tergantung pada kecepatan pemboran dan jarak antara bit dengan sensor di
bawah lubang bor (Harsono,1997).
Layanan yang saat ini disediakan oleh perusahaan penyedia jasa LWD
meliputi gamma ray, resistivity, densitas, neutron, survei lanjutan (misalnya
sonik). Tipe log tersebut sama (tapi tidak identik) dengan log sejenis yang
digunakan pada wireline logging. Secara umum, log LWD dapat digunakan sama
baiknya dengan log wireline logging dan dapat diinterpretasikan dengan cara yang
sama pula (Darling,2005). Meskipun demikian, karakteristik pembacaan dan
kualitas data kedua log tersebut sedikit berbeda.
3.2.2. Wireline Logging
Wireline logging adalah kegiatan untuk dilakukan menggunakan wireline
untuk memperoleh informasi mengenai parameter petrofisika dari batuan formasi
seperti porositas, litologi, dan karakteristik fluida dalam formasi tersebut. Wireline

34
logging adalah kegiatan yang bertujuan untuk menentukan kedalaman dan
ketebalan zona prospek hidrokarbon atau sering disebut netpay.
Prinsip dasar wireline log adalah mengukur parameter sifat-sifat fisik dari
suatu formasi pada setiap kedalaman secara kontinyu dari sumur pemboran.
Adapun sifat-sifat fisik yang diukur adalah potensial listrik batuan/kelistrikan,
tahanan jenis batuan, radioaktivitas, kecepatan rambat gelombang elastis,
kerapatan formasi (densitas), dan kemiringan lapisan batuan, serta kekompakan
formasi yang kesemuanya tercermin dari lubang bor. Secara kualitatif dengan data
sifat-sifat fisik tersebut kita dapat menentukan jenis litologi dan jenis fluida pada
formasi yang tertembus sumur. Sedangkan secara kuantitatif dapat memberikan
data-data untuk menentukan ketebalan, porositas, permeabilitas, kejenuhan fluida,
dan densitas hidrokarbon.
3.2.2.1. Jenis-jenis Wireline Logging
3.2.2.1.1. Log Gamma Ray (GR Log)
Log Gamma Ray adalah metode untuk mengukur radiasi sinar gamma
yang dihasilkan oleh unsur-unsur radioaktif yang terdapat dalam lapisan batuan di
sepanjang lubang bor. Unsur radioaktif yang terdapat dalam lapisan batuan
tersebut diantaranya Uranium, Thorium, Potassium, Radium, dll. Unsur radioaktif
umumnya banyak terdapat dalam batulempung dan sedikit sekali terdapat dalam
batupasir, batugamping, dolomit, batubara, gypsum, dll. Oleh karena itu
batulempung akan memberikan response gamma ray yang sangat signifikan
dibandingkan dengan batuan yang lainnya.
Jika kita berekerja di sebuah cekungan dengan lingkungan pengendapan
fluvio-deltaic atau channel sistem dimana biasanya sistem perlapisannya terdiri
dari batupasir dan batulempung (sand-shale interbeded), maka log gamma ray ini
akan sangat membantu didalam evaluasi formasi (formation evaluation). Seperti
halnya logging yang lainnya, pengukuran log gamma ray dilakukan dengan
menurunkan instrument log gamma ray kedalam lubang bor dan merekam radiasi
sinar gamma untuk setiap interval tertentu. Biasanya interval perekaman gamma
ray (baca: resolusi vertikal) sebesar 0.5 feet.

35
Dikarenakan sinar gamma dapat menembus logam dan semen, maka logging
gamma ray dapat dilakukan pada lubang bor yang telah dipasang casing ataupun telah
dilakukan cementing. Walaupun terjadi atenuasi sinar gamma karena casing dan
semen, akan tetapi energinya masih cukup kuat untuk mengukur sifat radiasi gamma
pada formasi batuan disampingnya. Seperti yang disebutkan diatas bahwa gammar
ray log mengukur radiasi gamma yang dihasilkan oleh unsur-unsur radio aktif seperti
Uranium, Thorium, Potassium dan Radium. Dengan demikian besaran gamma ray log
yang terdapat didalam rekaman merupakan jumlah total dari radiasi yang dihasilkan
oleh semua unsur radioaktif yang ada di dalam batuan. Untuk memisahkan jenis-jenis
bahan radioaktif yang berpengaruh pada bacaan gamma ray dilakukan gamma ray
spectroscopy.
Karena pada hakikatnya besarnya energi dan intensitas setiap material
radioaktif tersebut berbeda-beda. Spectroscopy ini penting dilakukan ketika kita
berhadapan dengan batuan selain batulempung yang memungkinkan untuk
memiliki unsur radioaktif, seperti mineralisasi uranium pada batupasir, potassium
feldsfar atau uranium yang mungkin terdapat pada batubara dan dolomit. Gamma
ray log memiliki satuan API (American Petroleum Institute), dimana tipikal
kisaran API biasanya berkisar antara 0 s/d 150. Walaupun terdapat juga suatu
kasus dengan nilai gamma ray sampai 200 API untuk jenis organic shale. Gambar
dibawah ini menunjukkan contoh interpretasi lapisan log gamma ray.

36
Gambar 3.5. Interpretasi litologi dengan log gamma ray (dimodifikasi dari Asquith, G dan
Gibson, C, R., 1982)

Dikarenakan log gamma ray memiliki kapabilitas untuk mengukur derajat


kandungan lempung di dalam lapisan batuan, maka didalam industri migas
gamma ray log kerap kali digunakan untuk memprediksi besaran volume shale
atau dikenal dengan Vshale dengan formulasi:
GR GR ..... (3-1)
Vsh log min

GR GR
max min

Gamma ray log memiliki kegunaan lain diantaranya untuk melakukan well
to well correlation (Gambar 3.4) dan penentuan Sequence Boundary (SB), yakni
dengan mengidentifikasi Maximum Flooding Surface (MFS) dengan nilai gamma
ray yang tinggi. Well to well correlation ini biasanya dilakukan dengan melibatkan
log-log yang lainnya seperti sonic, density, porositas, dan lain-lain.

37
Gambar 3.6. Korelasi antar sumur dengan log triplecombo

3.2.2.1.2. Log Resistivitas


Log Resistivitas (resistivity log) adalah suatu alat yang dapat mengukur
tahanan batuan formasi beserta isinya, yang mana tahanan ini tergantung pada
porositas efektif, salinitas air formasi, dan banyaknya hidrokarbon dalam pori-
pori batuan. Gambar resistivity log dapat dilihat pada gambar 3.8.

38
Gambar 3.7. Kurva log resistivitas (Resistivity Log) (Schlumberger, 1997)

3.2.2.1.2.1. Normal Log


Skema rangkaian dasar normal log dapat dilihat pada gambar 3.9., dengan menganggap
bahwa pengukurannya pada medium yang mengelilingi electrode-elektrode adalah homogen
dengan tahanan batuan sebesar R ohm-meter. Elektroda A dan B merupakan elektroda
potensial , sedangkan M dan N merupakan elektroda arus. Setiap potensial (V) ditransmisikan
mengalir melingkar keluar melalui formasi den besarnya potensial tersebut adalah:
V R i
4 ( AM ) (3-2)
dimana:
R = tahanan formasi, ohm-m
i = intensitas arus konstan dari elektroda A, Amp
AM = jarak antara elektroda A dan M, in
= konstanta = 3.14

Jarak antara A ke M disebut spacing, dimana untuk normal log ini terdiri dari dua

39
spacing, yaitu:
1. Short normal device, dengan spacing 16 inchi.
2. Long normal device, dengan spacing 64 inchi.
Pemilihan spacing ini tergantung dari jarak penyelidikan yang dikehendaki. Short
normal device digunakan untuk mengukur resistivitas pada zona terinvasi, sedang
long normal device digunakan untuk mengukur resistivitas formasi yang tidak
terinvasi filtrat lumpur atau true resistivity (Rt).
3.2.2.1.2.2. Lateral Log
Tujuan log ini adalah untuk mengukur Rt, yaitu resistivity formasi yang
terinvasi. Skema dasar dari lateral log device dapat dilihat pada gambar 3.9. Alat
ini terdiri dari dua elektrode arus A dan B serta dua elektrode potensial M dan N.
Jarak spasi M dan N adalah 32 inch, sedang jarak A dan O adalah 18,8 inch. Titik
O merupakan titik referensi dari pengukuran terhadap kedalaman, sedangkan
elektrode B diletakkan jauh dipermukaan. Arus listrik yang konstan dialirkan
melalui elektrode A, sedangkan perbedaan potensial antara M dan N di tempatkan
pada permukaan lingkaran yang berpusat di titik A. Perbedaan potensial yang
dipindahkan ke elektrode M dan N adalah :
V R i 1 1
4 ..................................................................... (3-3)
AM A
N
Persamaan (3-8) diturunkan dengan anggapan bahwa formasinya
homogen dan lapisan cukup tebal. Apabila arus yang diberikan (i) konstan maka
besarnya potensial yang dicatat pada referensi O adalah sebanding dengan
besarnya resistivitas formasi (R) dengan syarat anggapan tersebut dipenuhi dan
pengaruh diameter lubang bor diabaikan.
Pada kenyataannya nilai resistivity yang dicatat oleh resistivity log adalah
resistivity semu bukan resistivity yang sebenarnya (R t). Hal ini disebabkan
pengukuran dipengaruhi oleh diameter lubang bor (d), ketebalan formasi (e), tahanan
lumpur (Rm), diameter invasi air filtrat Lumpur (D i), tahanan zone invaded (R i) dan
uninvaded (Rt), tahanan lapisan batuan diatas dan dibawahnya (R s). Pembacaan yang
baik didapatkan dalam lapisan tebal dengan resistivity relative tinggi. Log ini
digunakan secara optimal di dalam susunan sand dan shale yang

40
tebal dengan ketebalan dari 10 ft dan range resistivity optimum setara 1-500 ohm-
m.

Gambar 3.8. Skema rangkaian dasar normal log (Schlumberger, 1984)

Gambar 3.9. Skema rangkaian dasar lateral log (Schlumberger, 1984)


3.2.2.1.2.3. Induction Log
Pengukuran tahanan listrik menggunakan log resistivity memerlukan lumpur
yang konduktif sebagai penghantar arus dalam formasi. Oleh sebab itu tidak satu pun
peralatan pengukuran resistivity diatas dapat digunakan pada kondisi

41
lubang bor kosong, terisi minyak, gas, oil base mud dan fresh water serta udara.
Untuk mengatasi ini maka dikembangkan peralatan terfokuskan yang dapat
berfungsi dalam kondisi tersebut. Rangkaian peralatan dari dasar Induction log
secara skematis dapat dilihat pada gambar 3.11.
Prinsip kerjanya adalah sebagai berikut, arus bolak-balik dengan frekuensi
tinggi ( 20000 cps) yang mempunyai intensitas konstan dialirkan melalui
transmitter coil yang ditempatkan pada insulating sehingga menimbulkan arus
induksi didalam formasi. Medan magnet ini akan menimbulkan arus berputar yang
akan menginduksi potensial dalam receiver coil. Coil kedua ini ditempatkan pada
mandrel yang sama dengan jarak tertentu dari coil pertama. Besarnya signal yang
dihasilkan receiver akan diukur dan dicatat di permukaan yang besarnya
tergantung pada konduktivitas formasi yang terletak diantara kedua coil tersebut.
Nilai konduktifitas formasi (Cf) berbanding terbalik dengan nilai resistivity.

Gambar 3.10. Skema rangkaian dasar induction log (Prentice Hall., 1962)

Tujuan utama dari induction log adalah menghasilkan suatu daerah investigasi
yang jauh didalam lapisan-lapisan tipis untuk menentukan harga R t. Induction log
dapat diturunkan didalam semua jenis lumpur dengan syarat sumur belum dicasing.
Hasil terbaik dari induction log adalah dalam suatu kondisi sebagai

42
berikut, didalam susunan shale dengan Rt lebih kecil dari 100 ohm-m dan
ketebalan lapisan lebih besar dari 20 m, R xo lebih besar dari Rt dan jika Rxo lebih
kecil dari Rt maka induction log akan kurang memberikan hasil yang memuaskan.
Induction log tidak sensitif terhadap perubahan Rt bila resistivitynya
tinggi. Perbedaan resistivity sekitar 400-500 ohm-m tidak dapat dideteksi. Kondisi
yang baik untuk operasi induction log ini adalah menggunakan lumpur yang tidak
banyak mengandung garam (Rmf > Rw) serta pada formasi dengan Rt kurang dari
100 ohm-m tapi akan lebih baik lagi jika kurang dari 50 ohm-m. Induction log ini
mempunyai beberapa kelebihan dari log-log sebelumnya, antara lain :
1. Batas lapisan dapat dideliniasikan dengan baik dan resistivity yang diukur
tidak dipengaruhi oleh batas tersebut.
2. Dalam fresh mud, pengukuran Rt hanya memerlukan koreksi yang
sederhana atau tidak memerlukan sama sekali.
3. Dapat dikombinasikan dengan SP log dan Kurva Normal sehingga dapat
melengkapi informasi yang diperoleh.
3.2.2.1.2.4. Laterolog (Guard Log)
Laterolog adalah suatu alat yang berfungsi untuk memperkecil pengaruh
lubang bor pada lapisan yang berbatasan dan pengukuran lapisan yang tipis serta
kondisi lumpur yang konduktif atau salt mud. Prinsip kerjanya adalah sebagai berikut
(Gambar 3.6.), suatu arus Io yang konstan dialirkan melalui elektrode A o lewat
elektrode A1 dan A2 dimana arus tersebut diatur secara otomatis oleh kontak
pengontrol sehingga dua pasang elektrode penerima M 1M2 dan M1M2 mempunyai
potensial yang sama. Selisih potensial diukur diantara salah satu elektrode penerima
dengan electrode dipermukaan. Jika perbedaan antara potensial pasangan M 1M2 dan
M1M2 dibuat nol, maka tidak ada arus yang mengalir dari A o. Disini arus listrik dari
Ao dipaksa mengalir horizontal kearah formasi.
Ada beberapa jenis laterolog, yaitu jenis Laterolog 7, Laterolog 3, dan
Laterolog 8. Perbedaan dari ketiga jenis laterolog tersebut hanya terdapat pada
jumlah elektrodenya, dan ketebalan lapisan yang dideteksi berbeda. Alat ini
mengukur harga Rt terutama pada kondisi pengukuran Rt dengan Induction Log
mengalami kesulitan (banyak kesalahan). Laterolog ini hanya dapat digunakan

43
dalam jenis lumpur water base mud. Dianjurkan pada kondisi R t/Rm dan Rt/Rs besar
(salt mud, resistivity tinggi yaitu lebih besar dari 100 ohm-m) dan tidak berfungsi di
dalam oil base mud, inverted mud, lubang berisi gas, atau sumur sudah dicasing.

Gambar 3.11. Skema alat laterolog (Schlumberger, 1997)


3.2.2.1.2.5. Microresistivity Log
Log ini dirancang untuk mengukur resistivity formasi pada flush zone
(Rxo) dan sebagai indikator lapisan porous permeable yang ditandai oleh adanya
mud cake. Hasil pembacaan Rxo dipengaruhi oleh tahanan mud cake(Rmc) dan
ketebalan mud cake (hmc). Ketebalan dari mud cake dapat dideteksi dari besar
kecilnya diameter lubang bor yang direkam oleh caliper log. Alat microresistivity
log yang sering digunakan, yaitu: Microlog (ML), Microlaterolog (MLL),
Proximity Log (PL), MicroSpherical Focused Log (MSFL).
3.2.2.1.2.5.1. Microlog (ML)
Microlog dirancang untuk mengukur secara tepat lapisan tipis dan
permeabel, karena dengan pengukuran ini dapat ditentukan secara tepat net pay
dalam suatu interval total. Pada prinsipnya microlog menggunakan tiga electrode
dengan ukuran kecil yang dipasang didalam lempeng karet, dengan tujuan agar
tetap dapat mengikuti variasi bentuk lubang bor. Alat ini mempunyai tiga
electrode yang mempunyai jarak 1 inch. Elektrode-elektrode tersebut yaitu A 0,
M1, dan M2 yang dipasang pada salah satu baris pada rubber (Gambar 3.13.)

44
Gambar 3.12. Skema posisi microlog didalam sumur (Schlumberger, 1984)

Pada elektrode A0 diberikan arus listrik tertentu kemudian potensialnya


diukur pada elektrode M1 dan M2 yang dicatat dipermukaan oleh Galvanometer.
Pada saat pengukuran, ketiga elektrode tersebut ditempatkan pada dinding lubang
bor dengan menggunakan pegas yang dapat dikembangkan antara 6 inch sampai
16 inch. Ada dua sistem pengukuran yang umum dilakukan :
1. Sistem A0M1M2 yang merupakan short lateral/inverse (R 1x1) dengan spacing
A0O = 1 inch, dimana O adalah titik tengah antara M 1 dan M2. Pada sistem
ini arus listrik yang diberikan dari A o kemudian diukur perbedaan
potensialnya pada titik antara elektrode M 1 dan M2. Sistem inverse pada
intinya mengukur resistivity mud cake pada lapisan permeable.
2. Sistem A0M2 merupakan micronormal dengan spacing AM 2 = 2 inch. Sistem
ini mempumyai investigasi pengukuran lebih kurang dua kali lebih jauh dari
sistem A0M1M2 dan pada sistem ini arus listrik yang diberikan dari
A0 diukur perbedaan potensialnya pada M2.
Micronormal digunakan untuk mengukur resistivity dari flush zone (R xo).
Adanya mud cake inilah yang menyebabkan terjadinya pemisahan dari kedua kurva

45
microlog tersebut. Lapisan porous permeable ini ditandai dengan adanya mud
cake pada permukaan dinding lubang bor yang dinyatakan oleh munculnya
separasi dari dua kurva microlog.
Microlog tidak akan memberikan keterangan yang berarti jika arus yang
dipancarkan hanya berada di sekitar mud cake (short circuit). Hal ini dapat terjadi
jika resistivity formasi sangat tinggi dan tidak berfungsi pada keadaan oil base
mud. Separasi dua kurva positif jika R2 > R1x1 dan fluida hidrokarbon yang
terkandung dalam batuan porous tersebut merupakan hidrokarbon air tawar.
Separasi negatif dapat terjadi jika R2 < R1x1 dan fluida yang terkandung
biasanya air asin. Bila SP log tidak menghasilkan kurva yang baik, microlog dapat
digunakan untuk menentukan letak lapisan-lapisan yang porous dan permeabel.
Kriteria yang harus dipertimbangkan agar pengukuran microlog optimum yang
pertama sebagai indikator lapisan porous permeabel didalam susunan sand-shale
dengan range tahanan batuan formasi 1 200 ohm-m, porositas batuan lebih besar
dari 15 %, Rxo/Rmc lebih kecil dari 15, ketebalan mud cake kurang dari inch dan
kedalaman invasi lumpur lebih besar atau sama dengan 4 inch. Microlog juga
bermanfaat dalam memperkirakan porositas, menghitung faktor formasi (F),
melokasikan lapisan permeable dan memperkirakan water-oil contact dibawah
kondisi tertentu. Dan juga mencarikan batasan yang akurat dari batas lapisan dan
deliniasi dari zone produktif dan zone non produktif.
3.2.2.1.2.5.2. Microlaterolog (MLL)
Alat ini digunakan untuk menentukan Rxo pada batuan yang keras, dimana
lumpur yang digunakan mempunyai kadar garam yang tinggi. Sehingga dengan
mengetahui Rxo maka harga F bisa ditentukan berdasarkan F = Rxo/Rmf sehingga
selanjutnya besarnya porositas efektif dapat ditentukan. MLL hanya merekam satu
kurva yaitu tahanan flush zone (Rxo). Alat ini mempunyai 4 elektrode yaitu sebuah
elektrode pusat (Ao) dan 3 elektrode cincin M1, M2, dan A1 yang letaknya
konsentris terhadap Ao, seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 3.14.

46
Gambar 3.13. Distribusi arus dan posisi elektrode MLL didalam lubang bor
(Schlumberger, 1997)
Cara kerja MLL pada prinsipnya sama dengan laterolog, yaitu sejumlah
arus konstan Io yang diketahui intensitasnya dialirkan melalui elektrode pusat Ao
dan lainnya dialirkan melalui elektrode paling luar A1. Kemudian arus listrik
secara otomatis dan kontinyu diatur sedemikian rupa sehingga perbedaan
potensial antara elektrode M1 dan M2 praktis sama dengan nol sehingga tidak ada
arus yang mengalir dari Ao tapi dari M1 dan M2. Jadi arus dari Ao dipaksa
mengalir horizontal kearah formasi. Resistivity yang diukur adalah sebanding
dengan potensial yang dicatat.
MLL hanya dapat digunakan dalam kondisi water base mud khususnya salt
mud, dan tidak berfungsi didalam oil base mud, inverted emulsion mud serta
keadaan lubang bor yang terisi gas atau sudah dicasing. Jika invasi lumpur
dangkal (kurang dari 4 inch) MLL mungkin mengukur tahanan batuan zone
uninvaded (Rt) karena MLL digunakan untuk daerah penyelidikan sampai 4 inch.
Ketebalan mud cake juga mempengaruhi pembacaan harga Rxo.
3.2.2.1.2.5.3. Proximity Log (PL)
Proximity Log pada prinsipnya adalah sama dengan ML ataupun MLL, akan
tetapi PL dirancang untuk mengukur daerah yang lebih dalam lagi yaitu pada
penyelidikan 16 inch dan tidak tergantung pada ketebalan mud cake yang terbentuk.

47
Proximity Log mempunyai beberapa karakteristik, yaitu: dapat mengukur Rxo
tanpa dipengaruhi oleh mud cake sampai ketebalan mud cake - 1 inch,
mempunyai radius investigasi yang lebih besar dari ML maupun MLL, kurang
sensistif terhadap ketidakhomogenan lubang bor, biasanya alat ini diturunkan
bersama-sama dengan ML untuk mendeteksi adanya mud cake. Dalam pembacaan
PL banyak dipengaruhi oleh besarnya harga tahanan batuan zone uninvaded (Rt).
Oleh karena itu harus diadakan koreksi. Hasil pembacaan proximity log (R PL)
dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut :

RPL
J Rxo 1 J Rt .... (3-4)

dimana J adalah faktor pseudogeometric dari zone invaded. Harga J merupakan


fungsi dari diameter invasi (Di). Sebagai harga pendekatan, jika Di > 40 inch harga
J mendekati 1 (satu). Jika Di < 40 inch maka harga R PL berada diantara Rxo dan Rt,
biasanya lebih mendekati harga Rxo. PL akan mengukur Rt jika invasi filtrat
lumpur sangat dangkal, sehingga secara praktis harga R PL = Rt. Operasi
pengukuran dengan alat ini akan memperoleh hasil yang optimum pada kondisi
batuan invaded karbonat atau sand, range tahanan batuannya 0.5 100 ohm-m,
invasi lumpur dalam, dan ketebalan mud cake lebih kecil dari inch.
3.2.2.1.2.5.4. Micro Spherical Focused Log (MSFL)
MSFL biasanya di-run bersama dengan alat log induksi atau laterolog.
Serupa dengan alat microlog, pengukuran terhadap MSFL dibuat dengan sebuah
bantalan elektroda khusus yang ditekan ke dinding lubang bor dengan batuan
sebuah kaliper. Pada bantalan tersebut dipasang suatu rangkaian bingkai logam
yang konsentrik (Gambar 3.15.) disebut elektroda yag mempunyai fungsi
memancarkan, mengfokuskan, dan menerima kembali arus istrik yang hamper
sama dengan cara kerja elektroda laterolog. Bantalan pada MSFL ini kecil dan
elektrodenya berdekatan sehingga hanya beberapa inchi dari formasi dekat lubang
bor yang diselidiki yang mengakibatkan kita mempunyai suatu pengukuran dari
resistivity didaerah rembesan. Pengukuran terhadap diameter lubang bor secara
bersamaan oleh caliper yang merupakan bagian tak terpisahkan dari alat MSFL.

48
Gambar 3.14. Penampang bantalan MSFL (Schlumberger, 1984)

3.2.2.1.3. Neutron Porosity dan Density Logging


Pengukuran Neutron Porosity pada evaluasi formasi ditujukan untuk
mengukur indeks hidrogen yang terdapat pada formasi batuan. Indeks hidrogen
didefinsikan sebagai rasio dari konsentrasi atom hidrogen setiap cm kubik batuan
terhadap kandungan air murni pada suhu 75F. Jadi, Neutron Porosity log tidaklah
mengukur porositas sesungguhnya dari batuan, melainkan yang diukur adalah
kandungan hidrogen yang terdapat pada pori-pori batuan. Secara sederhana,
semakin berpori batuan semakin banyak kandungan hidrogen dan semakin tinggi
indeks hidrogen. Sehingga, shale yang banyak mengandung hidrogen dapat
ditafsirkan memiliki porositas yang tinggi pula. Untuk mengantisipasi
ketidakpastian tersebut, maka pada prakteknya, interpretasi porositas dapat
dilakukan dengan mengkolaborasikan log neutron dan log densitas.
Density logging sendiri dilakukan untuk mengukur densitas batuan
disepanjang lubang bor,. Densitas yang diukur adalah densitas keseluruhan dari
matrik batuan dan fluida yang terdapat pada pori. Prinsip kerja alatnya adalah
dengan emisi sumber radioaktif. Semakin padat batuan semakin sulit sinar
radioaktif tersebut ter-emisi dan semakin sedikit emisi radioaktif yang terhitung
oleh penerima (counter). Gambar dibawah ini menunjukkan teknik interpretasi

49
porositas dan litologi dari data density log (RHOB) dan neutron porosity (NPHI) .
Pada contoh dibawah, jika kita memiliki data dengan NPHI=15% dan RHOB=2.4
g/cc maka porositas yang sesungguhnya adalah 18% dan batuannya berupa SS
(Sandstone).
Tabel 3.1. Tabel untuk menentukan porositas batuan (Schlumberger)

Penggabungan neutron porosity dan density porosity log sangat


bermanfaat untuk mendeteksi zona gas dalam reservoir. Zona gas ditunjukkan
dengan cross-over antara neutron dan density. Untuk lebih jelasnya perhatikan
gambar dibawah ini.

50
Gambar 3.15. Penentuan zona hidrocarbon berdasarkan cross-over antara
log densitas (RHOB) dan log neutron (NPHI)
Pada gambar di atas terlihat pada zona reservoir (low gamma ray), terdapat cross-
over antara density dan neutron., dalam hal ini neutron porosity lebih rendah dari
density porosity.
3.2.2.1.3.1. Log Densitas
Log Densitas merupakan suatu tipe log yang mengukur besarnya densitas
elektron suatu lapisan batuan (bulk density). Log ini menggunakan bahan radioaktif
sinar gamma dengan energi menengah, seperti cobalt-60 dan cesium-137 (Asquith &
Gibson., 1982). Dalam evaluasi sumur log densitas berguna untuk :
1. Menentukan porositas.
2. Identifikasi litologi.
3. Identifikasi adanya kandungan gas.
4. Mendeterminasi densitas hidrokarbon.
3.2.2.1.3.2. Log Neutron
Merupakan tipe log porositas yang mengukur konsentrasi ion hydrogen
dalam suatu formasi. Neutron energi tinggi yang dihasilkan oleh suatu sumber
kimia ditembakkan kedalam formasi. Di dalam formasi, neutron bertabrakkan

51
dengan atom-atom penyusun formasi sebagai akibatnya neutron kehilangan
energinya. Dalam penentuan pekerjaan evaluasi formasi, log neutron diantaranya
berguna sebagai :
1. Menentukan porositas.
2. Identifikasi litologi.
3. Indentifikasi adanya gas.
3.2.3. Mud Logging
Mud Logging adalah kegiatan pengumpulan dan perekaman data kondisi
suatu sumur dari aspek litologi, kimiawi, dan fisik batuan maupun fluida. Mud
Logging dilakukan dengan cara mengambil sampel batuan (cutting) yang dibawa
lumpur pemboran ke permukaan secara berkala.
Perekaman data mud log dibagi atas beberapa 3 bagian yaitu perekaman
sifat fisik batuan, litologi, dan sifat fisik kimia batuan dan fluida. Perekaman sifat
fisik batuan melalui rate of penetration (ROP), rate per minute (RPM), dan
weight on bit (WOB). Formasi serpih (shale) memiliki nilai ROP dan RPM yang
rendah sedangkan WOB dan rendah karena mudah ditembus.

Gambar 3.16. Mud Log


Sebaliknya untuk formasi batupasir memiliki nilai ROP dan RPM yang rendah
sedangkan WOB dan tinggi karena litologi diketahui melalui deskripsi batuan
dalam hal ini cutting dengan rangakain test seperti pemaparan sinar ultra violet.
Sedangkan untuk deskripsi kimianya melalui pemberian indicator dan zat yang
memberikan reaksi kimia. Untuk sifat kimia fluida, diketahui melalui pencatatan

52
chromatografi yang memberikan data gas C1-C5 dimana data C5 mendeskripsikan
minyak sedangkan sisanya gas.
3.3. Korelasi
Korelasi ialah penghubungan titik-titik kesamaan waktu atau
penghubungan satuan-satuan stratigrafi dengan mempertimbangkan kesamaan
waktu (Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996). Menurut North American Stratigraphy
Code (1983) ada tiga macam prinsip dari korelasi, yaitu :
1. Litokorelasi, yang menghubungkan unit yang sama pada litologi dan
posisi stratigrafinya.
2. Biokorelasi, yang secara cepat menyamakan fosil dan posisi
biostratigrafinya.
3. Kronokorelasi, yang secara cepat menyesuaikan umur dan posisi
kronostratigrafi.
Log adalah suatu terminologi yang secara original mengacu pada hubungan nilai
dengan kedalaman, yang diambil dari pengamatan kembali (mudlog). Sekarang
itu diambil sebagai suatu pernyataan untuk semua pengukuran kedalam lubang
sumur (Mastoadji, 2007)
3.3.1. Penyamaan Datum (Flatten)
Tahap awal dalam melakukan korelasi suatu unit stratigrafi terlebih dahulu
kita harus menyamakan datum yang akan dipakai (Di-flatten pada satu datum),
datum yang dipakai harus sama antara satu sumur dengan sumur lainnya supaya
sumur dapat dikorelasikan. Datum merupakan suatu kesamaan data yang dimiliki
oleh semua sumur yang akan dikorelasikan, datum tersebut dapat berupa kedalaman
(depth) lapisan maupun kesamaan waktu geologi yang dikontrol oleh dinamika muka
air laut (principal of stratigraphic sequence) dalam hal ini yang biasa dipakai adalah
Maximum Flooding Surface (MFS), Unconformity (UC)/Sequence Boundary (SB).
Maximum flooding surface dapat teridentifikasi oleh adanya maximumlandward
onlap dari lapisan marine pada batas basin dan kenaikan maksimum secara relatif
dari sea level (Armentout., 1991), MFS biasanya ditunjukan oleh adanya akumulasi
shale yang melimpah yang merupakan amplitude dari log pada daerah shale (High
gamma ray), akan tetapi pada kondisi

53
litologi berupa batugamping terumbu (Reef Carbonate) MFS biasanya ditandai
oleh pertumbuhan gamping yang optimal pada saat genang laut sehingga datum
yang dipakai yaitu pada zona reservoir (low gamma ray) yaitu kondisi dimana
log gamma ray menunjukan akumulasi batugamping yang sangat melimpah.
Unconformity merupakan suatu jeda pengendapan (hiatus) yang terjadi
pada kondisi diatas muka air laut (Sub aerial) yang biasanya ditunjukan oleh
perubahan drastis dari fining upward menjadi coarsening upward atau sebaliknya,
sebagian ahli menyamakan antara sequence boundary dengan unconformity,
sedangkan pengertian sequence boundary sendiri merupakan batas atas dan
bawah satuan sikuen stratigrafi yang berupa bidang ketidakselarasan atau bidang-
bidang keselarasan padanannya (Sandi Stratigrafi Indonesia., 1996).

Gambar 3.17. Korelasi dengan marker sequence boundary (SB) dan


maximum flooding surface (MFS) (Possamentier dan Allen 1999)
Masing-masing flatten dalam korelasi stratigrafi memiliki fungsi yang
berbeda, untuk mengetahui deformasi struktur geologi yang telah terjadi sepanjang
waktu geologi kita dapat melakukan flatten pada kedalaman (depth) yang sama pada
masing-masing sumur dimana dalam flatten ini kondisi stratigrafi yang diamati
adalah kondisi pada saat ini (setelah terdeformasi), korelasi ini dinamakan

54
dengan korelasi struktur. Sedangkan untuk melihat distribusi reservoir dan gejala
sedimentasi dengan baik kita dapat melakukan flatten pada salah satu datum
sikuen stratigrafi umumnya pada Maximun Flooding Surface (MFS), korelasi ini
dinamakan dengan korelasi stratigrafi.

Gambar 3.18. Korelasi stratigrafi dengan marker batubara yang di datarkan


(flatten) pada maximum flooding surface (MFS) (Ismail Zulmi, dkk., 2014)

55
Gambar 3.19. Korelasi struktur yang di datarkan kedalaman (flatten) pada
kedalaman (Ismail Zulmi, dkk., 2014)
3.3.2. Korelasi Lapisan Reservoir
Prinsip dari korelasi stratigrafi adalah untuk menyamakan umur suatu
lapisan sejenis dalam satu sumur dengan sumur lainnya, karena dalam hal ini
korelasi digunakan untuk kepentingan eksplorasi minyak dan gas bumi maka
korelasi perlu dikombinasikan antara kronokorelasi (menggunakan prinsip sikuen
stratigrafi) dan litokorelasi. Biasanya lapisan yang dikorelasikan adalah lapisan
reservoir baik itu sandstone maupun limestone karena lapisan inilah yang
memungkinkan untuk menyimpan dan mengalirkan hidrokarbon dalam jumlah
yang ekonomis.
Untuk mengetahui kesamaan lapisan tersebut kita dapat membaca pola
dari log sumur baik itu log gamma ray, resistivity, neutron, density maupun
photoelectric dan juga bila perlu dikalibrasi dengan data sampel cutting dan side
wall core untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Lapisan dengan litologi
sejenis dan memiliki umur geologi yang sama diasumsikan akan menghasilkan
pola kurva log yang sama ketika dideteksi oleh logging tools sehingga kesamaan
pada masing-masing sumur tersebut dapat ditarik garis korelasi.

56
Setelah menggantung log pada datum kedalaman (depth) maupun sikuen
stratigrafi (MFS, SB/UC) selanjutnya kita dapat dengan mudah melakukan korelasi
lapisan pada masing-masing sumur, korelasi dapat dilakukan dengan melihat litologi
penciri pada masing-masing sumur misalnya batubara (coal), dapat juga dilakukan
dengan membaca pola log gamma ray, log ini membaca kandungan radioaktif pada
batuan dimana semakin tinggi kandungan radioaktifnya maka log gamma ray akan
menunjukan nilai yang tinggi. Gamma ray dengan nilai yang tinggi biasanya
mencirikan litologi berbutir halus (shaly) sedangkan gamma ray dengan harga yang
rendah biasanya menunjukan litologi berupa reservoir baik itu sandstone maupun
limestone, akan tetapi dalam kondisi lapangan tertentu juga ditemukan high gamma
ray sand dimana lapisan sandstone banyak mengandung mineral feldspar sehingga
kurva log gamma ray akan menunjukan defleksi nilai yang tinggi disebabkan oleh
mineral feldspar yang bersifat radioaktif (Terutama Potassium), untuk itu dalam
penentuan zona reservoir kita juga harus membaca log lain dan di kalibrasi dengan
sampel cutting dan side wall core.
Ada beberapa pola pada log gamma ray yang dapat digunakan sebagai
acuan untuk mempermudah dalam korelasi diantaranya pola bell shape, funnel,
symmetric, irregular dan blocky/boxcar seperti yang ditunjukan oleh gambar
3.20. Pola-pola tersebut menunjukan gejala sedimentasi yang berbeda dimana
faktor yang mempengaruhi gejala sedimentasi tersebut dikontrol oleh suplai
sedimen, ruang akomodasi, perubahan muka air laut dan subsiden. Pola-pola log
tersebut juga dapat menunjukan perbedaan fasies dan lingkungan pengendapan
yang dikenal dengan istilah elektrofasies.

57
Gambar 3.20. Pola gamma ray dan lingkungan pengendapan (depositional setting) pada
endapan klastik (clastic deposits) (C. G. St. C Kendall., 2003)

58
Setelah membaca kesamaan pola pada log gamma ray kita juga harus
membaca pada log resistivity, log ini membaca nilai resistivitas dari suatu fluida
pada lapisan batuan sehingga jika kandungan fluidanya sama maka log
resistivitasnya akan menunjukan harga yang sama, akan tetapi pada suatu
reservoir sering kali kandungan fluidanya berbeda dikarenakan adanya perbedaan
hydrocarbon to water contact yang biasanya dikontrol oleh sistem jebakan
hidrokarbon (Gambar 3.21.), kasus ini sering terjadi pada lapisan antiklin dimana
pada lapisan puncak antiklin akan terbaca sebagai hidrokarbon yang menunjukan
resistivitas tinggi dan semakin rendah akan terbaca sebagai water yang memiliki
resistivitas rendah.
Pembacaan pada log neutron dan density juga tidak kalah pentingnya, log
neutron akan membaca Hydrogen Index yang terkandung dalam batuan dengan
menembakan neutron kedalam formasi, dimana semakin tinggi kandungan
hidrogennya maka neutron yang dipantulkan kembali kedalam logging tools akan
semakin sedikit (log neutron menunjukan nilai yang rendah) dan sebaliknya
ketika kandungan hidrogen pada formasi sedikit maka jumlah neutron yang
dipantulkan kembali kedalam logging tools akan semakin banyak (log neutron
menunjukan nilai yang tinggi).
Log density merupakan log yang membaca fungsi dari densitas batuan,
prinsip dari log ini adalah dengan menembakan sinar gamma kedalam formasi,
sinar gamma tersebut akan menendang elektron keluar dan ditangkap oleh
detektor dalam logging tools, banyaknya jumlah elektron yang ditangkap oleh
detektor merupakan fungsi dari nilai densitas formasi (semakin banyak elektron
yang ditangkap maka semakin tinggi densitas formasi dan sebaliknya).
Ketika dikombinasikan dengan interval skala yang berlawanan maka log
neutron dan density dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kandungan
hidrokarbon yang ditunjukan oleh adanya cross over (butterfly effect), akan tetapi
kita perlu berhati-hati dalam mengkorelasikan hidrokarbon karena belum tentu
lapisan yang sama akan menunjukan adanya kandungan hidrokarbon yang serupa
yang disebabkan oleh hydrocarbon to water contact (Gambar 3.21.). Setelah
diidentifikasi kesamaan pada kurva log masing-masing sumur maka kita dapat

59
menarik garis korelasi pada top formasi untuk sedimen silisiklastik dan pada base
formasi untuk reef carbonate.
3.4. Pemetaan Bawah Permukaan
Peta bawah pemukaan adalah peta yang menggambarkan bentuk maupun
kondisi bawah permukaan yang bersifat kuantitatif (menggambarkan suatu garis
yang menghubungkan titik-titik yang bernilai sama garis iso/kontur) dan bersifat
dinamis (yaitu kebenaran peta tidak dapat di nilai atas kebenaran metode tetapi
atas data yang ada, dan sewaktu-waktu akan dapat berubah bila ditemukan data
yang baru).
3.4.1. Peta Kontur Struktur
Peta kontur struktur merupakan peta yang menunjukkan kedalaman dari
zona lapisan batuan yang sama, dibuat berdasarkan data-data yang di peroleh dari
data sumur. Peta ini memperlihatkan kondisi struktur puncak (top) dan dasar
(base/bottom) dari zona batuan reservoir. Peta ini dibuat berdasarkan data-data
korelasi yang dilakukan pada setiap sumur pemboran.
3.4.2. Peta Ketebalan Reservoir (Peta Isopach)
Peta ketebalan batupasir dibagi menjadi dua yaitu peta gross sand (peta
ketebalan lapisan) dan peta net sand (peta ketebalan batupasir bersih). Peta gross
sand menggambarkan penyebaran suatu lapisan dari berbagai litologi, sedangkan
peta net sand menggambarkan penyebaran batupasir dalam suatu lapisan tersebut.
3.4.3. Model 3D Geoseluller
Model adalah suatu deskripsi yang sistematik sehingga dapat
mempresentasikan suatu obyek. Bentuk suatu model bermacam-macam
tergantung dari kebutuhan yang diinginkan dari si pembuat model. Dalam
penelitian ini akan dilakukan pemodelan geologi berupa model 3D geoselluler
atau model statik. 3D geoselluler adalah pemodelan properti reservoir dilakukan
dengan metode geostatistik. Beberapa metode geostatistik yang dilakukan dalam
pemodelan ini antara lain analisis variogram, Sequential Gaussian Simulation
(SGS), dan Sequential Indicator Simulation (SIS).

60
3.4.3.1. Variogram
Variogram ataupun semivariogram adalah salah satu alat untuk mengukur
kontinuitas atau roughnes dari data set secara spatial (Barnes, R., 2003 dalam
Budi Rahim Permana., 2009). Analisis variogram terdiri dari variogram
eksperimental yang dihitung dari data dan model variogram yang diinterpretasi
berdasarkan variogram eksperimental. Variogram eksperimental didapatkan
dengan pengukuran data pada arah tertentu dan pada jarak tertentu (Wu, C., 2006
dalam Budi Rahim Permana., 2009). Model variogram yang dihasilkan pada
umumnya dimodelkan dengan tiga model matematika yaitu spherical,
eksponensial dan Gaussian (Caers, J., 2005 dalam Budi Rahim Permana., 2009).
3.4.3.2. Sequential Gaussian Simulation (SGS)
Metode ini merupakan metode yang sangat populer dikalangan
geomodeller untuk mendistribusikan properti reservoir yang bersifat kontinu
seperti porositas, volume shale (Vsh), saturasi air (SW), permeabilitas, dll. Metode
ini dikembangkan oleh Deutsch dan journal tahun 1992 (Dubrule, O., 2007 dalam
Budi Rahim Permana., 2009).
Algoritma SGS bekerja secara berkelanjutan mengisi posisi secara acak
(Gambar 3.21.) pada posisi baru akan dicarikan suatu nilai dari variance dengan
cara kriging dari nilai sebelumnya dan dari data sumur. Selanjutnya nilai baru ini
akan menjadi mean didalam CDF (cumulative distribution function) sedangkan
yang akan mengisi titik kosong ini berasal dari random number dari CDF. Proses
selanjutnya adalah menggabungkan nilai baru ini kedalam data set. Data set baru
akan terbentuk dengan penggabungan data sumur (hard data) dengan nilai yang
diprediksi. Selanjutnya nilai algoritma SGS akan mencari lokasi baru yang belum
diprediksi secara random dan memperkirakannya dengan kriging menggunankan
data set yang baru. Proses ini berkelanjutan sehingga tercapai nilai statistik yang
diinginkan dalam distribusi Gaussian dan memenuhi input statistik seperti mean,
standar deviasi, variogram (Dubrule, O., 2007 dalam Budi Rahim Permana, 2009).

61
Gambar 3.21. Algoritma Sequential Gaussian Simulation (SGS) (Dubrule, O., 2007
dalam Budi Hadi Permana., 2009)

3.4.3.3. Sequential Indicator Simulation (SIS)


Sequential Indicator Simulation adalah simulasi yang sangat populer untuk
mendistribusikan atau memperkirakan properti yang diskrit seperti fasies, tipe
batuan, dll. Metode ini merupakan pendekatan berbasis pixel berdasarkan
indicator variogram (Dubrule, O., 2007 dalam Budi Rahim Permana., 2009).
Metode SIS dikembangkan oleh Standford School pada tahun 1989
(Dubrule, O., 2007 dalam Budi Rahim Permana., 2009) yang menghasilkan SGS
untuk variabel yang diskrit. Algoritma dari SIS hampir mirip dengan SGS, yang
membedakan adalah proses setelah langkah ke-2 dimana nilai tersebut akan
disampel dalam indikator sampel sehingga nilai pada langkah ke-2 akan dibuat
integral berdasarkan probabilitas data disekelilingnya (Dubrule, O., 2007 dalam
Budi Hadi Permana., 2009) (Gambar 3.22.).

62
Gambar 3.22. Algoritma Sequential Indicator Simulation (SIS) (Dubrule, O.,
2007 dalam Budi Hadi Permana., 2009)
3.4.4. Peta Ketebalan Kolom Minyak/Gas (Net Pay Oil/Gas)
Peta net pay dibuat berdasarkan batas-batas penyebaran fluida yang diplot
dalam peta net sand dan di tampalkan terhadap peta kontur struktur. Peta ini
menggambarkan penyebaran dan variasi ketebalan dari hidrokarbon yang
terperangkap dalam reservoir. Batas-batas penyebarannya adalah dengan menentukan
daerah-daerah gas atau oil water contact (kontak gas, minyak dan air).
Peta ini selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk perhitungan cadangan.
Ada beberapa cara dalam pembuatan peta net pay, dimana kita harus terlebih dahulu
mengetahui jenis reservoir yang akan kita petakan, ada dua jenis reservoir, yaitu
Bottom Water Reservoir dan Edge Water Reservoir, dimana apabila daerah yang akan
kita petakan adalah daerah yang memiliki jenis reservoir Bottom Water Reservoir, kita
tidak harus membuat Peta bottom Struktur dalam pembuatan Peta net pay, tetapi
apabila kita memetakan daerah yang memiliki jenis reservoir Edge Water Reservoir,
kita harus membuat Peta bottom Struktur dalam pembuatan Peta net pay, karena
kedua jenis reservoir ini sangat berbeda dalam batas kontak GOC dan OWC nya,
dimana pada jenis reservoir Bottom Water Reservoir batas GOC dan

63
OWC tidak menyentuh bottom dari reservoir terebut, sebaliknya dengan jenis
reservoir Edge Water Reservoir, dimana batas GOC dan OWC menyentuh bottom
dari reservoir. Tetapi karena lapangan yang diteliti merupakan lapangan yang
sudah lama di produksi dan penulis hanya menghitung sisa-sisa oil yang ada
(baypass oil) jadi penulis hanya membuat peta top struktur saja.

Gambar 3.23. Model 3 dimensi dari kontak fluida

64
BAB IV
ANALISA DAN PERHITUNGAN

4.1. Ketersediaan Data


Dalam penelitian ini yang dilakukan di lapangan YOGI yang berada di
cekungan Kutai, penulis ingin menjelaskan keterkaitan data yang akan digunakan
sebagai berikut :
Tabel 4.1. Data log yang tersedia pada setiap sumur
Nama Nama Data Log

Lapangan Sumur GR Deep Medium Shallow Neutron Densitas Mud


Res Res Res Log

Y1 V V V V V V V
Y2 V V V V V V V
Y3 V V V V V V V
YOGI Y4 V V V V V V V
Y5 V V V V V V V
Y6 V V V V V V V
Y7 V V V V V V V
Y8 V V V V V V V

Kemudian dari data-data tersebut diolah dengan software, yang mana


software yang digunakan yaitu :
1. Petrel.
2. Interactive Petrophysic.

4.2. Metode Penelitian


Pada penelitian ini secara garis besar diawali dengan studi literatur dan
pengumpulan data setelah itu pengecekan data log yang tersedia kemudian
penginputan data kedalam software setelah itu melakukan korelasi stratigrafi,
penentuan elektrofasies, serta perhitungan petrofisika. Dari hasil itu nantinya akan
dibuat peta kedalaman struktur, setalah itu pembuatan peta ketebalan reservoir.

65
Desain grid dan upscaling log ini dilakukan untuk permodelan fasies dan
permodelan petrofisika dan yang terakhir kesimpulan, untuk lebih jelasnya akan
dapat diliat pada gambar 4.1.

Gambar 4.1. Diagram alir penelitian

4.3. Interpretasi Data Log


Interpretasi data log biasa nya kita lakukan terlebih dahulu sebelum kita
melakukan permodelan reservoir. Dalam penelitian ini interpretasi yang akan
dilakukan yaitu interpretasi litologi dan perhitungan petrofisika. Hal ini dilakukan
guna mendukung analisis permodelan reservoir. Data log yang akan digunakan

66
yaitu meliputi log gamma ray, log resistivitas, log neutron, log densitas serta mud
log.
4.3.1. Interpretasi Litologi
Interpretasi litologi menggunakan data log ini pada dasar nya
menggunakan data log gamma ray, log resistivitas, log neutron, log densitas.
Berdasarkan dari pola log tersebut kita dapat menginterpretasi litologi, berikut
contoh interpretasi litologi yang dilakukan.

Gambar 4.2. Interpretasi litologi pada lapangan YOGI sumur Y8


Berdasarkan gambar 4.2. lapangan YOGI sumur Y8 memiliki 3 litologi yang
hadir dalam data log tersebut diantaranya:
1. Litologi Batupasir
Litologi batupasir memiliki nilai gamma ray < 60 GAPI, nilai log resistivitas bisa tinggi ataupun
rendah (tergantung fluidanya). Nilai pada log densitas berkisar 2,2-2,6 / dan biasanya ketika log densitas
bertemu dengan log neutron akan

67
terdapat separasi, hal ini menunjukkan bahwa batuan tersebut memiliki pori-pori
yang baik serta fluida.
2. Litologi batulempung
Litologi batulempung memiliki nilai gamma ray tinggi yaitu > 60 GAPI, hal
ini dikarenakan batulempung memiliki kadar unsur radioaktif yang dihasilkan dari mineral-
mineral lempung. Nilai resistivitas rendah serta nilai densitas berkisar 2,0-2,1 / dan antara
log densitas serta neutron tidak memiliki separasi hal menunjukkan bahwa batuan tersebut
tidak memiliki fluida.
3. Litologi Batubara
Litologi batubara memiliki nilai gamma ray rendah yaitu < 60 GAPI, biasa
kenampakan pada log gamma ray sama dengan kenampakan litologi batupasir
yang dihasilkan oleh log gamma ray. Nilai resistivitas tinggi serta nilai densitas
rendah yaitu 1,8 / biasanya ketika log densitas bertemu dengan log neutron,
akan terdapat separasi namun defleksi dari separasinya akan mengarah kekiri dari
kolom log neutron dan log densitas.

4.3.2. Perhitungan Petrofisika


4.3.2.1. Perhitungan Volume Shale (Vsh)
Perhitungan volume shale (Vsh) dapat kita peroleh dari berbagai macam data
log diantaranya log gamma ray, log resistivitas, log spontaneous potential (SP) dan
log neutron. Banyaknya kandungan shale pada batuan harus diperhitungkan
dikarenakan nilai volume shale (Vsh) akan mempengaruhi besarnya nilai porositas
dari batuan reservoir. Dalam penelitian ini nilai volume shale (Vsh) yang akan
diperoleh yaitu dari log gamma ray, berikut contoh perhitungan volume shale (Vsh)
pada lapangan YOGI sumur Y8 kedalaman 800 m.

=
= ..................................................................
(4-1)

Perhitungan :

1513
= = 0,0303

7913

68
Gambar 4.3. Histogram log gamma ray pada sumur Y1, pada garis merah
yaitu menunjukkan nilai gamma ray minimum sedangakan pada garis hijau
yaitu menunjukkan nilai gamma ray maksimum

4.3.2.2. Perhitungan Nilai Porositas


Porositas merupakan perbandingan antara volume pori batuan terhadap
volume batuan. Beberapa data log dapat menentukan nilai porositas yaitu
diantaranya log neuton, log densitas dan log sonik. Dalam penelitian ini
perhitungan porositas yang akan digunakan yaitu log densitas dan log neutron.
1. Log Densitas
Porositas juga dapat ditentukan dari log densitas dimana porositas densitas
dapat dinotasikan D, dibawah ini merupakan contoh perhitungan porositas dari log densitas
pada lapangan YOGI Sumur Y8 kedalaman 800 m.



(4-2)
/ = = .......................................................................

(4-3)
= ( ) = ...................................................

Dimana:

Dsh = Porositas dari kurva log densitas pada lapisan shale (GR Max)
ma = Densitas matrik batuan, gr/cc
b = Densitas bulk yang dibaca pada kurva log densitas untuk setiap
kedalaman yang dianalisa, gr/cc
f = densitas fluida air (fresh water = 1.0 salt water = 1.1), gr/cc

69
Perhitungan :
= 2,651.052,651,7 = 0,422
= 2,651.052,652.2 = 0,322
= 0,422 (0,0303 0,322) = 0,4122

2. Neutron Log
Perhitungan nilai porositas juga dapat diperoleh dari log neutron dimana
porositas neutron dinotasikan N dibawah ini merupakan contoh perhitungan porositas
dari log neutron pada lapangan YOGI Sumur Y8 kedalaman 800 m.
(4-3)
= (1,02 / ) + 0,0425 = ..............................................

Dimana:
N = Porositas yang terbaca pada kurva neutron log
0.0425 = Koreksi terhadap limestone formation Perhitungan :
= (1,020,1)
+ 0,0425 = 0,1445

= (1,020,4) + 0,0425 = 0,4505

3. Porositas Efektif
Berdasarkan perhitungan porositas densitas dan porositas neutron maka kita
dapat menghitung porositas efektif, dibawah ini merupakan contoh perhitungan porositas dari log
neutron pada lapangan YOGI Sumur Y8 kedalaman 800 m.

=
+

= .........................................................................
(4-4)
2

Dimana :
= Porositas efektif

= Porositas densitas

= Porositas neutron

70
Perhitungan :
0,422+0,1445
= = 0,2832
2

4.3.2.3. Perhitungan Nilai Saturasi


Saturasi adalah kemampuan suatu batuan untuk diisi fluida. Nilai saturasi perlu diketahui
agar dapat mengetahui lapisan tersebut terisi hidrokarbon atau air. Metode yang digunakan untuk
menentukan nilai saturasi air formasi (Sw), diantaranya adalah persamaan Indonesia, dibawah ini
merupakan contoh perhitungan porositas dari log neutron pada lapangan YOGI Sumur Y8
kedalaman 800 m.

2
(1 )
1
=( 2

)
2
................................................. (4-5)

Perhitungan :

2
0,0 303

0,0303 (1 )
1 0,1445
2
=( + )
2

20
0,825 0,1841

Sw = 0,2942

Gambar 4.4. Histogram log resistivitas pada sumur Y1, garis merah pada
histogram resistivitas yaitu menunjukkan nilai resistivitas shale.

71
= ......................................................................... (4-6)

= 0,2832 0,2942 = 0,08833


...................................................................

(4-7)
( (1 ))
=

(0,08833(10,0303))
= = 0,3024
0,2832

4.3.2.4. Perhitungan Nilai Permeabilitas


Permebalitas adalah suatu kemampuan batuan untuk dialiri fluida. Nilai permeabilitas
perlu diketahui agar lapisan reservoir pada zona yang ditentukan permeable atau impermeable.
dibawah ini merupakan contoh perhitungan porositas dari log neutron pada lapangan YOGI
Sumur Y8 kedalaman 800 m.

2
753
=( ) ....................................................................... (4-8)

3 2
750,2832
=( ) = 31,6957 mD

0,3024

72
BAB V
PEMBAHASAN

Berdasarkan analisis yang dilakukan pada lapangan YOGI sebanyak 8


sumur pada Cekungan Kutai bagian bawah, Kalimantan Timur akan lebih lanjut
dibahas pada bab ini mulai dari korelasi stratigrafi sampai dengan pemodelan
properti.

5.1. Data
Sebelum membuat pemodelan petrofisika harus dipersiapkan terlebih
dahulu data-data yang akan digunakan. Penjelasan data secara detail sebelumnya
telah dibahas pada bab IV, namun untuk bab ini akan dijelaskan pelamparan
sumur pada lapangan YOGI. Lapangan YOGI mempunyai 8 sumur yaitu sumur
Y1, Y2, Y3, Y4, Y5, Y6, Y7, Y8. Sumur pada lapangan YOGI melampar dari
utara-selatan. Berikut peta penyebaran sumur pada lapangan YOGI.

PETA SUMUR LAPANGAN YOGI

Y6
Y5
Y4

Y3

Y7
Y2
Y8

0 2500 5000 75001000012500m

1:346446

Gambar 5.1. Peta penyebaran sumur pada lapangan YOGI.

73
5.2. Korelasi Stratigrafi
Berdasarkan analisis korelasi stratigrafi yang dilakukan pada lapangan
YOGI sumur Y1, Y2, Y3, Y4, Y5, Y6, Y7, Y8 yang mana sumur pada lapangan
YOGI melampar dari Utara ke Selatan, korelasi yang dipakai yaitu menggunakan
marker batubara. Hal ini dikarenakan batubara sangat baik berkembang pada
lingkungan delta. Siklus delta mahakam yang dimulai dari fase regresi yang
membentuk endapan sedimen klastik dengan ukuran butir sedang-kasar tektonik
yang dihasil yaitu berupa pengangkatan yang mana sedimen yang dihasilkan
didominasi dari endapan darat yang terbawa oleh fluvial sehingga membentuk
suatu endapan yang maju kedepan (progradasi) serta diikuti adanya erosi yang
dihasilkan dari fluvial. Pada fase transgresi endapan sedimen yang tadinya maju
kedepan (progradasi) dari garis pantai, pada fase ini endapan sedimen akan
mundur dari garis pantai hal ini disebabkan adanya tektonik subsidence yang akan
membuat muka air laut naik serta menutupi endapan sebelumnya oleh sedimen
dengan ukuran butir lebih halus serta pada fase ini batubara akan terbentuk dan
dapat menjadi marker yang dapat ditarik penyebarannya serta dapat menjadi
penciri endapan delta plain. Setelah itu fase transgresi akan mengalami kenaikan
secari maksimal dan akan membentuk endapan sedimen dengan ukuran butir
halus serta juga dapat terbentuk batuan karbonat.

Gambar 5.2. Interpretasi korelasi yang dilakukan dengan menggunakan marker batubara

74
5.3. Peta Struktur Kedalaman
Pada tahap ini yaitu pembuatan peta struktur kedalaman (depth structure
map) pada masing-masing marker hal ini bertujuan untuk melihat keadaan
struktur bawah permukaan pada setiap marker.

Gambar 5.3. Peta struktur kedalaman pada marker Bottom Coal 7


Pada gambar diatas (Gambar 5.3.) dapat di interpretasikan bahwa terdapat
3 buah bentukan antiklin, yang mana antiklin tersebut relatif berarah Timur Laut
Barat Daya. Hal ini bentukan antiklin tersebut searah dengan pelamparan antiklin
yang terbentuk di cekungan kutai secara regional yaitu Timur Laut Barat Daya.
sumur Y1, Y8, Y2, Y7 berada pada bagian selatan peta yaitu tepat di antiklin
bagian selatan sedangkan pada sumur Y3, Y4, Y5, Y6 berada pada bagian utara
pada peta. Sumur Y3, Y4, Y5, Y6 berada pada bagian sayap antiklin. pada bagian
peta yang berwarna merah adalah bagian yang paling tertinggi artinya pada bagian
tersebut adalah daerah yang sangat mendekati permukaan dengan kedalaman
sekitar 750 m dibawah permukaan. Sebaliknya pada bagian warna yang berwarna
ungu adalah bagian yang terdalam pada peta tersebut dengan kedalaman sekitar
1150 m dibawah permukaan.

75
5.4. Peta Ketebalan Reservoir
Pada tahap ini yaitu pembuatan peta ketebalan reservoir yang bertujuan
untuk mengetahui ketebalan reservoir dari marker bottom coal sampai top coal.
Marker-marker tersebut pada dasarnya dapat dilihat sebelumnya pada sub bab 5.2
mengenai korelasi stratigrafi. Berikut adalah peta ketebalan reservoir.

Gambar 5.4. Peta ketebalan Reservoir pada marker bottom coal 1-top coal 1
Pada gambar 5.4. yaitu peta ketebalan reservoir yang didapat dari marker
bottom coal 1-top coal 1. Pada peta ketebalan reservoir (Gambar 5.4.) dibuat
berdasarkan ketebalan dari fasies fasies yang ditentukan dari interpretasi
bentukan pada log serta cutting setelah itu diinterpolasi dari sumur-sumur lainnya.
Reservoir yang paling tebal yaitu pada fasies channel, ketebalannya bisa mencapai
25 m. Pada peta ketebalan reservoir, ketebalan yang paling tipis berada pada
tengah peta sedangkan pada bagian utara dan selatan terlihat ketebalan reservoir
berkisar 20 25 m.

5.5. Petrofisika
Pada tahap perhitungan petrofisika hasil yang akan dicari yaitu porositas,
permeabilitas, serta saturasi air yang mana dari hasil tersebut nantinya akan
digunakan untuk pemodelan petrofisika. Pemodelan tersebut bertujuan untuk
melakukan penyebaran serta distribusi nilai-nilai porositas, permeabilitas serta

76
saturasi air. Nilai-nilai tersebut yang nantinya akan disebarkan pada peta guna
untuk mengetahui serta mencari daerah-daerah yang dianggap memiliki potensi
minyak dan gas bumi secara statistik. Perhitungan petrofisika yang dilakukan pada
setiap sumur sebelumnya telah dijelaskan pada bab IV dengan secara manual.
Pada tahap ini akan diperlihatkan mengenai hasil perhitungan petrofisika yang
didapat dari software. Berikut adalah perhitungan petrofisika yang didapat dari
perhitungan software.

Gambar 5.5. Interpretasi perhitungan petrofisika


Pada gambar 5.5. mengenai interpretasi perhitungan petrofisika yang
dilakukan pada lapangan YOGI sumur Y8 dimana hasil perhitungan petrofisika
yang dihasil berupa data log yang nanti dapat di eksport serta diinput untuk
dilakukan pemodelan petrofisika, adapun parameter parameter yang akan diinput
adalah porositas efektif, permeabilitas, saturasi air (SW).
Pada lapangan YOGI nilai porositas dan permeabilitas, yang tinggi yaitu pada
fasies fluvial side bar, hal ini dikarenakan proses pengendapan pada fluvial side bar
diendapkan pada energi tinggi sehingga matriks yang dapat menutupi pori-pori relatif
sedikit (Gambar 5.6.). Nilai Saturasi air (SW) pada reservoir berbeda-beda hal ini
dikarenakan tergantung fluida apa yang mengisi reservoir. Apabila reservoir terisi
sepenuhnya air maka nilai saturasi airnya mencapai 1 namun

77
sebaliknya ketika reservoir terisi hidrokarbon sepenuhnya maka nilai nilai saturasi
air akan 0.

Gambar 5.6. Interpretasi fasies pada sumur Y7 serta perhitungan nilai porositas,
permeabilitas serta saturasi air (SW)

Pada gambar 5.7. cross plot pada RHOB vs TNPH dapat menjelaskan litologi
yang terisi fluida serta litologi yang tidak terisi fluida. Kotak berwarna biru pada tabel
4.2. yaitu terdiri dari litologi batugamping dimana nilai RHOB mencapai > 2.6 dan TNPH
0.3 0.1. pada litologi batugamping dapat diinterpretasi bahwa pada zona kotak berwarna
biru batugamping terisi fluida. Pada kotak berwarna merah dapat diinterpretasi sebagai
litologi tight sandstone ini dapat dilihat pada nilai RHOB 2.4 2.55. pada batupasir
tersebut mempunyai nilai TNPH yaitu 0.1 0.3. Pada kotak berwarna kuning dapat di
interpretasikan mempunyai litologi batupasir tidak terisi fluida hal ini dapat dilihat dari
nilai RHOB 2.3 2.55 dan nilai TNPH 0.28 0.6. Pada kotak berwarna hijau memiliki
nilai RHOB 1.9 - 2.1 dan nilai TNPH 0.2 0.6 ini menunjukkan litologi batulempng.
Kotak berwarna merah tua memiliki nilai RHOB 1.85 2.3 dan nilai TNPH 0.3 0.7 ini
menunjukkan litologi batulempung. Pada kotak berwarna ungu menunjukkan litologi

78
batupasir yang terisi air, hal ini dibuktikan dengan nilai RHOB 2.0 2.35 dan nilai TNPH
0.15 0.35. pada kotak berwarna merah tua dapat diinterpretasi sebagai batupasir yang
terisi hidrokarbon hal ini dapat dilihat dari nilai RHOB 1.5 - 2.0 dan nilai pada TNPH 0.8
0.35. Pada cross plot RHOB vs TNPH dapat dijelaskan secara umum bahwa batuan
yang memiliki nilai RHOB tinggi dan nilai TNPH tinggi maka batuan tersebut tidak
memiliki fluida, namun sebaliknya ketika batuan tersebut memiliki nilai RHOB rendah
dan nilai TNPH rendah maka batuan tersebut memiliki fluida yang di dalam batuan.

RHOB vs TNPH
0,8
0,7
0,6
Non
0,5 Fluida

0,4
TNPH
0,3

0,2
SST + HC SST + Water
0,1
0 Tight SST

1,1 1,3 1,5 1,7 1,9 2,1 2,3 2,5 2,7


RHOB
RHOB vs TNPH

Gambar 5.7. Cross plot RHOB vs TNPH pada sumur Y7 lapangan Yogi

5.6. Pilar Gridding


Pilar adalah teknik membuat grid pada luasan lapangan yang dibuat. Grid
berupa kotak-kotak dimana kotak-kotak tersebut bisa diatur besar dan kecilnya.
Gridding ini dibagi dalam 3 segmen, segmen atas, segmen tengah, segmen bawah.
Pada gambar 5.8. adalah contoh gridding yang mana nantinya kotak-kotak
tersebut akan diisi hasil nilai-nilai pemodelan. Pada saat pembuatan gridding
diusahakan masing-masing segmennya tidak boleh memotong satu dengan yang
lain apabila memotong maka pembuatan gridding akan gagal. Berikut adalah
contoh gridding pada lapangan YOGI.

79
Gambar 5.8. Pilar gridding pada lapangan YOGI

5.7. Membuat Horizon


Pembuatan horizon ini bertujuan untuk membuat batas atas dan batas
bawah dari pemodelan. Pembuatan horizon pada lapangan YOGI dibuat
berdasarkan well top dari masing-masing marker dimana well top dan marker
nantinya akan menjadi titik ikat untuk memodelkan zona-zona yang ada
didalamnya sesuai dengan ketebalannya (Gambar 5.9.).

Gambar 5.9. Horizon pada marker top coal 1

80
5.8. Layering
Layering merupakan proses merubah data log menjadi grid yang dapat
disesuaikan dari jumlah layering berdasarkan heterogenitas dari batuan. Semakin
beragam atau heterogen suatu reservoir maka layering yang dibuat juga semakin
padat.

5.9. Penentuan Fasies


Penentuan fasies ini dilakukan pada log dari masing-masing sumur, hal ini
bertujuan untuk menentukan karakteristik reservoir dari masing-masing fasies.
Penentuan fasies yang akan dilakukan yaitu berdasarkan pola-pola dari bentuk log
atau elektrofasies (Gambar 3.20.) selain itu data cutting juga akan dilihat untuk
mengetahui dan kalibrasi litologi yang akan diinterpretasi pada log.

Gambar 5.10. Penentuan fasies dari lapangan YOGI sumur Y1, Y8, Y2

Berdasarkan gambar 5.10. pada kolom fasies merupakan penentuan fasies


dari pola-pola log pada sumur. Warna orange menunjukkan fasies channel, warna
hijau menunjukkan fasies delta plain, warna kuning menunjukkan fasies
distributary mouth bar, warna biru muda menunjukkan fasies prodelta.

81
Gambar 5.11. Rekonstruksi fasies Channel dan Distributary Mouth Bar
Pada gambar 5.11. adalah rekonstruksi yang dilakukan pada fasies channel dan
distributary mouth bar. Rekonstruksi ini dilakukan pada lapangan YOGI sumur Y1,
Y2, Y3, Y4, Y5, Y6, Y7, Y8, dimana sumur sumur tersebut melampar dari Utara ke
Selatan. Pada daerah Selatan pada gambar 5.11. terlihat dominasi channel sangat lebih
terlihat dibandingkan pada daerah Utara pada gambar 5.11. pada daerah selatan juga
bisa dijumpai ketebalan channel dengan tebal sekitar 20 25 m sementara pada
daerah utara ketebalan channel dijumpai ketebalannya sekitar 10 15 m. Hal ini
berdasarkan studi grab sample dan shallow core pada endapan modern Delta
Mahakam pada saat ini pada daerah selatan merupakan daerah active lobe, sedangkan
pada daerah Utara merupakan daerah inactive lobe (Andang Bachtiar, dkk., 2010).
Pada daerah Selatan Delta mahakam, banyak dipengaruhi oleh sedimen bypass dari
channel sedangkan daerah Utara Delta Mahakam banyak dipengaruhi oleh aktivitas
pasang surut (Tidal) air laut. Sehingga perkembangan channel pada daerah Selatan
lebih baik dibandingkan pada daerah Utara. Perkembangan distributary mouth bar
pada daerah Utara banyak terbentuk distributary mouth bar namun tipis tipis,
sedangkan pada daerah Selatan distributary mouth bar yang terbentuk lebih tebal
dibandingkan pada daerah Utara Delta Mahakam. Hal ini pada daerah Utara banyak
dipengaruhi pasang surut air laut sedangkan pada daerah Selatan banyak dipengaruhi
sedimen bypass dari channel.

82
5.10. Pemodelan Petrofisika
Pemodelan petrofisika ini bertujuan untuk membuat pemodelan
penyebaran nilai-nilai porositas, permeabilitas, serta saturasi air. Namun sebelum
pemodelan petrofisika ini dilakukan tahapan yang harus dilalui yaitu menghitung
nilai porositas, permeabilitas, dan saturasi air. Pada tahapan tersebut telah
dijelaskan pada bab IV mengenai perhitungan petrofisika. Dari nilai tersebut
nantinya akan di konversi menjadi data LAS yang nanti akan diolah oleh software
serta akan disebarkan pada peta dengan menggunakan persamaan-persamaan
matematika tertentu.

5.10.1. Pemodelan Porositas


Pada pemodelan porositas metode yang akan digunakan yaitu dengan metode
Sequential Gaussian Simulation (SGS). Metode ini menyebarkan nilai secara acak
yang akan ditentukan dari variance dengan cara kriging dari nilai sebelumnya dan
dari data sumur, kriging adalah teknik interpolasi geostatistik (estimasi), teknik
interpolasi yang optimal, berdasarkan regresi nilai-nilai yang diamati dari sekitar data
menurut kovarians spasial (Bohling, G., 2005). Selanjutnya nilai baru ini akan
menjadi mean didalam CDF (cumulative distribution function) sedangkan yang akan
mengisi titik kosong ini berasal dari random number dari CDF. Proses selanjutnya
adalah menggabungkan nilai baru ini kedalam data set. Data set baru akan terbentuk
dengan penggabungan data sumur (hard data) dengan nilai yang diprediksi.
Selanjutnya nilai algoritma SGS akan mencari lokasi baru yang belum diprediksi
secara random dan memperkirakannya dengan kriging menggunankan data set yang
baru. Proses ini berkelanjutan sehingga tercapai nilai statistik yang diinginkan dalam
distribusi Gaussian dan memenuhi input statistik seperti mean, standar deviasi,
variogram (Dubrule, O., 2007 dalam Budi Rahim Permana, 2009). Setelah pemilihan
metode yang digunakan yaitu menentukan trend variogram, trend ini ditentukan dari
arah paleocurrent umum regional. Pada tahap ini penyebaran nilai perhitungan
petrofisika akan disebarkan melalui trend peta ketebalan reservoir yaitu co-kriging.
Berikut adalah penyebaran nilai porositas marker top coal 1-bottom coal 2.

83
Gambar 5.12. Trend variogram untuk distribusi porositas effektif pada
marker bottom coal 1-top coal 2
Berdasarkan trend variogram pada marker bottom coal 1-top coal 2, penyebaran
nilai porositas dengan menggunankan metode Sequential Gaussian Simulation (SGS)
o o
penyebaran nilai porositas dilakukan dengan arah -37 atau 323 . hal ini diambil
berdasarkan arah umum penyebaran sedimen yang berada di cekungan kutai. Arah
pengendapan cekungan kutai yaitu berarah Barat Laut-Tenggara (NW-SE). Pada
(Gambar 5.13.) peta penyebaran porositas effektif menunjukkan bahwa bagian peta
yang berwarna merah menunjukkan nilai porositas effektif yang tinggi yaitu berkisar
0,4 sedangkan yang berwarna ungu menunjukkan nilai porositas effektif yang rendah
yaitu berkisar 0. Semakin besar nilai porositas maka semakin besar pula kemampuan
reservoir untuk menyimpan fluida dan

84
sebaliknya apabila semakin kecil nilai porositas maka semakin kecil juga
kemampuan reservoir untuk menyimpan fluida.

Gambar 5.13. Peta distribusi porositas effektif pada marker bottom coal 1-top coal 2

5.10.2. Pemodelan Permeabilitas


Pada pemodelan permeabilitas metode yang akan digunakan yaitu dengan
metode Sequential Gaussian Simulation (SGS). Metode ini menyebarkan nilai secara
acak yang akan ditentukan dari variance dengan cara kriging dari nilai sebelumnya
dan dari data sumur, kriging adalah teknik interpolasi geostatistik (estimasi), teknik
interpolasi yang optimal, berdasarkan regresi nilai-nilai yang diamati dari sekitar data
menurut kovarians spasial (Bohling, G., 2005). Selanjutnya nilai baru ini akan
menjadi mean didalam CDF (cumulative distribution function) sedangkan yang akan
mengisi titik kosong ini berasal dari random number dari CDF. Proses selanjutnya
adalah menggabungkan nilai baru ini kedalam data set. Data set baru akan terbentuk
dengan penggabungan data sumur (hard data) dengan nilai yang diprediksi.
Selanjutnya nilai algoritma SGS akan mencari lokasi baru yang belum diprediksi
secara random dan memperkirakannya dengan kriging menggunankan data set yang
baru. Proses ini berkelanjutan sehingga tercapai nilai statistik yang diinginkan dalam
distribusi Gaussian dan memenuhi input statistik seperti mean, standar deviasi,
variogram (Dubrule, O., 2007 dalam Budi Rahim

85
Permana, 2009). Setelah pemilihan metode yang digunakan yaitu menentukan
trend variogram, trend ini ditentukan dari arah paleocurrent umum regional. Pada
tahap ini penyebaran nilai perhitungan petrofisika akan disebarkan melalui trend
peta ketebalan reservoir yaitu co-kriging. Berikut adalah penyebaran nilai
porositas marker top coal 1-bottom coal 2.

Gambar 5.14. Trend variogram untuk distribusi permeabilitas pada marker


bottom coal 1-top coal 2
Berdasarkan trend variogram pada marker bottom coal 1-top coal 2 , penyebaran
nilai porositas dengan menggunankan metode Sequential Gaussian Simulation
o o
(SGS) penyebaran nilai permeabilitas dilakukan dengan arah -37 atau 323 . hal
ini diambil berdasarkan arah umum penyebaran sedimen yang berada di cekungan
kutai. Arah pengendapan cekungan kutai yaitu berarah Barat Laut-Tenggara (NW-

86
SE). Pada (Gambar 5.15.) peta penyebaran permebilitas menunjukkan bahwa
bagian peta yang berwarna merah menunjukkan nilai permebilitas yang tinggi
yaitu berkisar 100000 mD sedangkan yang berwarna ungu menunjukkan nilai
permeabilitas yang rendah yaitu berkisar 0,00001 mD. Semakin besar nilai
permeabilitas maka semakin besar pula kemampuan reservoir untuk mengalirkan
fluida dan sebaliknya apabila semakin kecil nilai permebilitas maka semakin kecil
juga kemampuan reservoir untuk mengalirkan fluida.

Gambar 5.15. Peta distribusi permebilitas pada marker bottom coal 1-top coal 2

5.10.3. Pemodelan Saturasi Air (SW)


Pada pemodelan Saturasi Air (SW) metode yang akan digunakan yaitu dengan
metode Sequential Gaussian Simulation (SGS). Metode ini menyebarkan nilai secara
acak yang akan ditentukan dari variance dengan cara kriging dari nilai sebelumnya
dan dari data sumur, kriging adalah teknik interpolasi geostatistik (estimasi), teknik
interpolasi yang optimal, berdasarkan regresi nilai-nilai yang diamati dari sekitar data
menurut kovarians spasial (Bohling, G., 2005). Selanjutnya nilai baru ini akan
menjadi mean didalam CDF (cumulative distribution function) sedangkan yang akan
mengisi titik kosong ini berasal dari random number dari CDF. Proses selanjutnya
adalah menggabungkan nilai baru ini kedalam data set. Data set baru akan terbentuk
dengan penggabungan data sumur (hard data) dengan

87
nilai yang diprediksi. Selanjutnya nilai algoritma SGS akan mencari lokasi baru
yang belum diprediksi secara random dan memperkirakannya dengan kriging
menggunankan data set yang baru. Proses ini berkelanjutan sehingga tercapai nilai
statistik yang diinginkan dalam distribusi Gaussian dan memenuhi input statistik
seperti mean, standar deviasi, variogram (Dubrule, O., 2007 dalam Budi Rahim
Permana, 2009). Setelah pemilihan metode yang digunakan yaitu menentukan
trend variogram, trend ini ditentukan dari arah paleocurrent umum regional. Pada
tahap ini penyebaran nilai perhitungan petrofisika akan disebarkan melalui trend
peta ketebalan reservoir yaitu co-kriging. Berikut adalah penyebaran nilai saturasi
air (SW) marker top coal 1-bottom coal 2.

Gambar 5.16. Trend variogram untuk distribusi saturasi air (SW) pada
marker bottom coal 1-top coal 2

88
Berdasarkan trend variogram pada marker bottom coal 1-top coal 2 , penyebaran
nilai porositas dengan menggunankan metode Sequential Gaussian Simulation
o o
(SGS) penyebaran nilai permeabilitas dilakukan dengan arah -37 atau 323 . hal
ini diambil berdasarkan arah umum penyebaran sedimen yang berada di cekungan
kutai. Arah pengendapan cekungan kutai yaitu berarah Barat Laut-Tenggara (NW-
SE). Pada (Gambar 5.17.) peta penyebaran saturasi air (SW) menunjukkan bahwa
bagian peta yang berwarna biru menunjukkan nilai saturasi air (SW) yang tinggi
yaitu berkisar 1 sedangkan yang berwarna merah menunjukkan nilai saturasi air
(SW) yang rendah yaitu berkisar 0,2. Semakin besar saturasi air (SW) maka
semakin besar pula reservoir terisi air dan sebaliknya apabila nilai saturasi air
(SW) semakin kecil maka semakin besar pula reservoir terisi hidrokarbon.

Gambar 5.17. Peta distribusi saturasi air (SW) pada marker bottom coal 1-top coal 2

89
BAB VI
KESIMPULAN

1. Berdasarkan korelasi sumur dengan menggunakan marker batubara sangat


baik digunakan apabila jarak sumur yang akan dikorelasi dekat. hal ini
diakibatkan adanya aktifitas channel dan distributary channel yang dapat
mengerosi batubara sehingga kemenerusan batubara tidak dapat di
teruskan untuk korelasi.
2. Berdasarkan peta ketebalan reservoir, reservoir paling tebal berkisar 25 m
dengan fasies channel. Menurut kendal, (2003) bentukan log seperti balok dan
bel ini menunjukkan fasies channel. Sedangkan reservoir yang memiliki
ketebalan 3.5 m ini menunjukkan fasies distributary mouth bar hal ini
dibuktikan oleh bentukkan log yang berbentuk funnel (Kendal., 2003).
3. Berdasarkan perhitungan petrofisika pada lapangan YOGI nilai porositas
efektif pada fasies channel yang dihasilkan yaitu berkisar 0,3 0,4 sedangkan
nilai permeabilitas berkisar 800 - 900 mD. Sedangkan pada fasies distributary
mouth bar memiliki porositas 0,1 0,3 dan permeabilitas 80 - 200. nilai
Saturasi air pada lapngan YOGI berkisar 0,2 1.
4. Berdasarkan pemodelan petrofisika metode penyebaran yang digunakan yaitu
Sequential Gaussian Simulation (SGS). Metode menyebarkan nilai secara
acak yang akan ditentukan dari variance dengan cara kriging dari nilai
sebelumnya dan dari data sumur, kriging adalah teknik interpolasi geostatistik
(estimasi), teknik interpolasi yang optimal, berdasarkan regresi nilai-nilai
yang diamati dari sekitar data menurut kovarians spasial (Bohling, G., 2005).
Selanjutnya nilai baru ini akan menjadi mean didalam CDF (cumulative
distribution function) sedangkan yang akan mengisi titik kosong ini berasal
dari random number dari CDF (Dubrule, O., 2007 dalam Budi Hadi Permana.,
2009). Penyebaran nilai petrofisika akan disebarkan
o o
dengan trend variogram dengan berarah -37 atau 323 . Arah tersebut
diambil dari arah umum arus purba (paleocurrent) pada Cekungan Kutai.

90

Anda mungkin juga menyukai