Masih Maniskah Gula Indonesia? Indonesia saat ini memiliki 62 pabrik gula dengan rincian 50 Pabrik Gula Milik Negara (PTPN) dan 12 Pabrik Gula Swasta, namun hanya memiliki kapasitas total 245.000 TCD atau rata-rata 3.900 TCD per pabrik dengan rendemen 7,1%. Produktivitas yang rendah ini disebabkan oleh kondisi alat proses terutama pada pabrik gula kristal tebu yang menggunakan alat dan sistem pengolahan lama, dan lahan yang mayoritas masih milik pribadi (petani tebu) sehingga pabrik tidak dapat menjaga kualitas tanam tebu secara rutin Bumerang Bernama Pemerintah Pemerintah menetapkan harga pokok pemerintah petani tebu (HPP) pada tahun 2016 hanya berkisar Rp. 9.100 per kg. bahkan pada 2015 HPP hanya sebesar Rp 8.900 per kg, yang membuat petani tebu mengalihkan usahanya ke jalur lain. Dengan peralihan itu, lahan dan pensupplai bahan produksi gula kristal putih menjadi menurun drastis dan membuat pabrik gula kristal putih kekurangan bahan baku. Kemudian berkembanglah pabrik gula rafinasi di Indonesia demi mencukupi kebutuhan gula di Indonesia baik untuk konsumsi masyarakat maupun industri makanan dan minuman (MAMIN) Jalan Pintas Tak Secepat Itu Berkembangnya gula rafinasi pada akhirnya membuat kebutuhan bahan meningkat juga. Hal ini menyebabkan impor raw gula yang tak terkendali dan persaingan harga yang ketat, antara petani dan raw sugar impor. Ditengah permasalahan itu, pemerintah hanya mengutak-atik peraturan tentang penetapan HPP yang bahkan hampir tidak mengubah keadaan sama sekali. Kejanggalan terlihat ketika izin impor raw sugar yang dikeluarkan pemerintah secara rutin, rata-rata setiap tahun paling sedikit 3,5 juta ton. Padahal, kebutuhan gula kristal rafinasi sebesar 2,3 juta ton per tahun. Indonesia Adalah Mangsa
Selain samurai, pemangsa gula di Indonesia ada juga
yang disebut 11 Naga yang merupakan perusahaan importir produsen gula rafinasi, yang menggunakan raw sugar impor sebagai bahan baku utama. Kejanggalan mulai terlihat saat izin impor raw sugar yang dikeluarkan pemerintah secara rutin, rata- rata setiap tahun paling sedikit 3,5 juta ton. Padahal kebutuhannya 2,3 juta ton. Indonesia Adalah Mangsa Para Naga dan Samurai gula dengan cerdiknya mengajukan izin impor raw sugar dengan kuantitas tinggi , dengan alasan mengacu pada kapasitas menganggur (idle capacity) pabrik gula rafinasi. Lalu yang menjadi problem utama adalah panjangnya distribusi gula. Rantai distribusi gula memiliki alur yang panjang dan permintaannya besar. Yang biasa kita kenal dengan D1 (distributor), D2 (sub-distributor), D3 (grosir), dan D4 (retail). Tidak sampai di sana, ternyata banyak gula rafinasi yang seharusnya menjadi jatah insdusri makanan dan minuman (Mamin) tembus ke pasar bebas, dengan harga yang jauh lebih murah, yang membuat gula kristal putih kalah dalam persaingan harga, dan hal itu berdampak pada pabrik yang memproduksi serta petani yang mensupplai bahan baku. Seputih Rafinasi, Semanis Gula Negeri Tembusnya gula rafinasi ke pasar bebas juga merugikan pabrik itu sendiri, dimana hal itu melanggar kebijakan pemerintah yang isinya adalah gula rafinasi diproduksi untuk industri Mamin. Hal ini juga dapat menyebabkan persaingan yang kurang sehat antar pabrik gula, dimana beberapa oknum membuat paradigma ke masyarakat bahwa gula rafinasi adalah gula yang tidak layak untuk di konsumsi. Padahal gula rafinasi sangat memenuhi persyaratan untuk di konsumsi langsung oleh masyarakat. Namun, pemerintah hanya menyalurkan gula rafinasi untuk kebutuhan mamin dan farmasi karena, melihat dari fakta bahwa produksi gula kristal putih yang menggunakan SDM dengan jumlah besar, jika di tutup akan berdampak pada meningkatnya pengangguran dan permasalahan ekonomi yang lain. Sekian Dan Terimakasih