Trauma Abdomen
Trauma Abdomen
PENDAHULUAN
1.1. Epidemiologi
Kematian yang disebabkan oleh trauma merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang sulit dicegah. Trauma muncul tanpa dapat diprediksi, dan mengenai segmen
masyarakat produktif. Di Negara berkembang sendiri, trauma merupakan penyebab utama
kematian pada usia 15-44 tahun dan didapatkan angka yang lebih tinggi pada negara miskin,
disamping kematian karena komplikasi infeksi. Secara keseluruhan, 16 % masalah kesehatan
dunia, berhubungan dengan trauma.1,2
Di dunia, trauma tumpul tercatat pada 80 - 90 % kasus trauma, dimana keterlibatan
abdomen terdapat pada 12 15 % kasus. Trauma pada abdomen seringkali disertai trauma pada
organ lain misalnya pada ektrimitas, rongga dada dan rongga pelvis sehingga dapat
mengalihkan perhatian dokter dari kemungkinan adanya cedera abdomen yang fatal. Trauma
abdominopelvis merupakan kasus terbesar dari penyebab kematian yang bisa dicegah. 1,3
Banyak penelitian tentang prosedur diagnosis, outcome dari kejadian trauma dan indikasi
tindakan pembedahan pada trauma abdomen. Namun, pada beberapa kejadian trauma, tetap sulit
untuk menentukan keterlibatan abdomen, apalagi pada trauma yang terdapat cedera ekstra
abdomen berat. Terkadang tindakan laparotomi dilakukan pada pasien trauma dengan
hemodinamik tidak stabil, namun saat intra-operatif tidak ditemukan kerusakan organ abdomen
sebagai penyebab. Pada kasus lain, kasus politrauma berat, adanya cedera abdomen luput dari
perhatian, sehingga terjadi keterlambatan dalam diagnosis serta keputusan untuk dilakukna
tindakan laparotomi, kejadian ini tercatat sebanyak 50 % dari penyebab kematian kasus
politrauma. Dengan demikian, diagnosis dini dan keputusan tindakan yang tepat terhadap cedera
abdomen, terutama pada kasus politrauma, merupakan faktor yang berpengaruh yang menetukan
keberhasilan manajemen terhadap kasus trauma abdomen.3
1
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pukulan langsung; mekanisme ini dapat menyebabkan kerusakan organ yang cukup
signifikan. Tingkat keparahan dapat diprediksi sesuai dengan besarnya energy dan
lamanya kontak, ukuran tubuh pasien dan area yang terkena. Hepar dan lien merupakan
organ yang sering terlibat melalui mekanisme ini.
2. Deselerasi; mekanisme ini berhubungan dengan kecelakaan kendaraan bermotor
kecepatan tinggi dan kejadian jatuh dari ketinggian. Ketika tubuh tiba-tiba berhenti,
2
organ intraabdomen tetap bergerak maju, sehingga menyebabkan robekan pada pembuluh
darah dan jaringan pada titik perlekatan. Cedera duodenum dan aorta paling sering terjadi
melalui mekanisme ini.
3
ditemukan nyeri tekan abdomen pada 90 % kasus. Tanda ini sebenarnya kurang spesifik, karena
dapat juga ditemukan pada kontusio jaringan pada dinding torakoabdominal atau fraktur kosta
bagian bawah. Namun, tetap pelu diingat keluhan nyeri perut dapat tidak ditemukan pada
sebagian kecil kasus cedera intraabdomen. Selanjutnya dapat ditemukan hipotensi pada kasus
cedera organ padat atau cedera pembuluh darah intraabdomen. Namun penilaian terhadap cedera
ekstraabdomen tetap perlu dilakukan untuk mencari sumber perdarahan.
Ekimosis dinding abdomen, distensi abdomen dan penurunan bising usus dapat dicurigai
keterlibatan cedera intraabdomen. Adanya seatbelt sign disertai dengan cedera intraabdomen
pada sepertiga kasus. Distensi abdomen, yang diakibatkan iritasi peritoneum atau dilatasi
lambung, mengindikasikan adanya cedera intraabdomen yang cukup parah. Penurunan bising
usus dapat muncul akibat peritonitis yang disebabkan karena darah atau cedera organ berongga.
Terdengarnya bising usus di bagian toraks, dapat dipikirkan telah terjadi ruptur diafragma.
Berdasarkan salah satu systematic review yang melibatkan 12 studi dan total 10.757
pasien, temuan pemeriksaan fisik, yang dapat mendukung kecurigaan terhadap cedera
intraabdomen yaitu: seatbelt sign (likelihood ratio (LR) 5,6 9,9), nyeri lepas ( LR 6,5, 95% CI
1,8-2,4), hipotensi ( LR 5,2, 95% CI 3,5-7,5), distensi abdomen (LR 3,8, 95% CI 1,9-7,6) defans
muskular (LR 3,7, 95% CI 2,3-5,9), adanya fraktur femur ( LR 2,9, 95% CI 2,1-4,1). Sebagai
catatan, walaupun nyeri dan nyeri tekan abdomen meningkatkan kemungkinan cedera
intraabdomen pada pasien dengan trauma tumpul abdomen, namun memberikan nilai prediksi
yang lebih rendah disbanding tanda-tanda yang disebutkan di atas. Sementara itu, tidak
ditemukannya tanda-tanda di atas, secara statistik menurunkan kemungkinan cedera organ
intraabdomen (LR 0,52-0,96).4,5,6
4
dengan cedera spinal. Bahkan pada pasien yang sangat gelisah, pemberian sedasi dapat
dilakukan. Sekali lagi perlu diingat, pemeriksaan radiologi harus dilakukan dengan observasi
ketat, bahkan pada pasien trauma tumpul abdomen dengan hemodinamik telah stabil.
Pemeriksaan foto polos abdomen kurang berarti pada keadaan trauma, dan pemeriksaan
dapat digantikan sepenuhnya dengan CT scan atau pemeriksaan ultrasonografi abdomen.
Peningkatan kecepatan dan resolusi gambar pada CT scan abdomen, meningkatkan kelayakan
menggunakan pemeriksaan ini dalam manajemen kasus trauma abdomen. Namun
penggunaannya tetap terbatas pada pasien dengan hemodinamik stabil.
Focused Assessment with Sonography for Trauma (FAST), merupakan pemeriksaan
penyaringan cepat untuk mengidentifikasi adanya cairan bebas intraperitoneal atau
intraperikardial, dan dalam keadaan trauma kemungkinan cairan bebas tersebut adalah darah.
Saat ini merupakan pemeriksaan standar dalam manajemen trauma tumpul abdomen. Pasien
dengan hemodinamik tidak stabil dan FAST didapatkan hasil positif, merupakan indikasi untuk
dilakukan laparotomi eksplorasi.
Pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil dan fraktur pelvis dapat dilakukan
angiografi. Sebenarnya prosedur ini membutuhkan waktu yang cukup lama, namun kita dapat
melakukan kontrol perdarahan dengan tindakan embolisasi. Prosedur ini biasanya dilakukan
untuk kontrol perdarahan pada trauma pelvis, beberapa organ padat abdomen (biasanya pada
trauma lien) dan pada cedera pedikel ginjal.5
5
larutan salin fisiologis, lalu hasil lavase dikirim ke laboratorium. Dikatakan positif jika didaptkan
100,000 eritrosit/L,500 leukosit/L, 175 U amilase/dl, Bakteri pada pewarnaan gram,
didapatkan empedu dan partikel makanan.5
Algoritma Penatalaksanaan Trauma Tumpul Abdomen
6
2.3 Trauma Tumpul Abdomen dengan Hemodinamik Tidak Stabil
Perdarahan intraabdomen massif merupakan penyebab utama kematian pada kasus
trauma multiple, dengan angka mortalitas secara keseluruhan yaitu 41,9 %. Pada pasien ini
terjadi perdarahan yang terus berlanjut serta konsumsi faktor pembekuan saat terjadinya trauma.
Adanya trauma penyerta seperti cedera kepala berat, usia tua juga meningkatkan angka
mortalitas pasien dengan trauma tumpul abdomen.6
Organ terbanyak sebagai penyebab perdarahan intraabdomen yaitu lien, diikuti
selanjutnya hepar, ginjal, mesenterium dan pembuluh darah besar secara berturut. Dimana
penyebab kematian utama jika terdapat keterlibatan hepar. Tindakan operasi merupakan tindakan
utama dalam manajemen trauma tumpul abdomen dengan hemodinamik tidak stabil. Sementara
prosedur operatif disesuaikan dengan organ yang terlibat.6
7
Grade 5 : splenektomi.
Splenorafi
Penggunaan teknik ini sudah semakin berkurang. Prosedur ini biasanya lebih sering
digunakan pada cedera lien iatrogenik. Terdapat 4 teknik dasar dalam tindakan splenorafi: (1)
tindakan hemostasis superficial; (2) debridement jaringan mati; (3) penjahitan parenkim; (4)
pembungkusan lien dengan mesh absorbable.1,5
Pada titik ini, evaluasi terhadap cedera hepar ditunda dahulu, hingga anestesiologis telah
melakukan resusitasi volume intravascular yang adekuat.
Setelah resusitasi introperatif dilakukan, hepar dapat dinilai dengan memobilisasi hepar.
Sementara itu, maneuver pringle dapat dilakukan dengan menempatkan klem, hepar dapat
bertahan dengan keadaan avaskular selama 1 jam. Selanjutnya, teknik pembedahan disesuaikan
dengan derajat kerusakan dan pengalaman pembedah.1
8
Teknik hemostasis1,5
Perihepatic packing
Pada kasus dimana kontrol definitive terhadap perdarahan tidak dapat dilakukan, maka
perihepatic packing dapat dilakukan sebagai tindakan damage control. Pilihan ini dilakukan
pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil dan disertai koagulopati dan asidosis, dimana
pasien-pasien tersebut tidak dapat menoleransi prosedur operasi yang lama.
Hepatorafi
Benang absorbable dengan jarum bulat tumpul dapat digunakan untuk melakukan
aproksimasi pada cedera parenkim hepar. Teknik penjahitan dilakukan secara matras dan dapat
ditambahkan material hemostatik. Walau berguna pada cedera minor hepar, teknik ini memiliki
kekurangan pada trauma mayor hepar, dimana perdarahan pada parenkim hepar akan terus
berlanjut, sehingga menyebabkan terjadinya kavitasi hematoma, dan juga cedera pada saluran
empedu tidak dapat terdeteksi, bahkan teknik penjahitan sendiri dapat menyebabkan perdarahan
pada tempat tusukan bahkan terjadi iskemia dan cedera saluran empedu.
Omental packing
Omentum mayor dapat digunakan sebagai flep untuk mengisi defek dari parenkim hepar.
Omentum tersebut dapat membantu dalam menghentikan rembesan darah dari system vena
parenkim hepar dan dapat mengisi ruang kosong pada parenkim sehingga mencegah terbentuk
abses di kemudian hari.
Mesh wrapping
Dengan menggunankan mesh poliglaktin pada disrupsi parenkim hepar. Namun tindakan
ini tidak dianjurkan pada cedera yang melibatkan kerusakan vena
9
Reseksi debridemen
Dilakukan dengan mengangkat semua jaringan mati sesuai dengan alur cedera tanpa
memperhatikan anatomi hepar sebagai batas reseksi. Teknik ini biasanya dikombinasikan dengan
tindakan packing dan dilakukan operasi selanjutnya dalam kurang dari 48 jam dengan harapan
demarkasi cedera hepar dapat terlihat jelas.
10
BAB III
PENUTUP
1. Trauma abdomen bila tidak ditangani dengan tepat maka akan dapat mengakibatkan
kematian
2. Bila ditangani dengan baik maka kemungkinan seorang pasien bisa selamat dari suatu kasus
trauma abdomen akan makin besar.
3. Kendala utama dalam trauma abdomen adalah penentuan kapan akan dilakukan suatu
tindakan intervensi bedah dianggap tepat dan sesuai dengan indikasi dan dapat bermanfaat
membantu kehidupan pasien.
11
Daftar Pustaka
1. Peitzman AB, Richardson JD. Surgical Treatment of Injuries to the Solid Abdominal Organs
: A 50-Year Perspective From the Journal of Trauma. The journal of trauma. 2010
November; 69: 1011-1021.
2. Schroeppel TJ, Croce MA. Diagnosis and management of blunt abdominal solid organ
injury. Curr Opin Crit Care. 2007; 13:399404.
3. Hildebrand F, Winkler M, Griensven MV, Probst C, Musahl V, Krettek C, et al. Blunt
Abdominal Trauma Requiring Laparotomy : an Analysis of 342 Polytraumatized Patients.
European Journal of Trauma. 2006 Apr 20; 5: 430-438.
4. Farrath S, Parreira JG, Pierlingeiro PAG, Solda SC, Assef JC. Predictors of abdominal
injuries in blunt trauma. Rev. Col. Bras. Cir. 2012; 39(4): 295-300.
5. Puskarich MA. Initial evaluation and management of blunt abdominal trauma in adults.
UptoDate. 2012.
6. Malhotra AK, Ivatury RR, Latifi R. Blunt abdominal trauma : Evaluation and indication for
laparotomy. Scandinavian Journal of Surgery. 2002; 91: 5257.
7. Lund H, Kofoed SC, Hillings JG, Larsen CF, Svendsen LB. High mortality after emergency
room laparotomy in haemodynamically unstable trauma patients.Dan Med Bul. 2011 May;
58/5.
12