Anda di halaman 1dari 12

Reaksi merugikan obat didefinisikan oleh WHO sebagai respon terhadap

obat yang merugikan dan tidak diinginkan yang terjadi pada dosis normal
pemberian obat yang digunakan manusia untuk profilaksis, diagnosis atau terapi
penyakit atau untuk modifikasi fungsi fisiologis. Reaksi merugikan obat
diklasifikasikan menjadi tipe A jika dapat diprediksi dan berhubungan pada aksi
farmakologis obat, dan tipe B jika tidak dapat diprediksi dan biasanya tidak
berhubungan dengan aksi farmakologis obat. Reaksi tipe A merupakan reaksi
paling umum dan terjadi kira-kira 80% dari semua reaksi merugikan. Immune-
mediated adverse drug reactions juga diketahui sebagai reaksi hipersensitivitas
dan terjadi kira-kira sepertujuh dari semua reaksi adverse drug dan termasuk
dalam kategori tipe B.
Menurut Gell dan Combs, reaksi alergi dapat dibedakan menjadi 4 tipe. Tipe
1 juga disebut reaksi immediate, yaitu terjadi dalam waktu kurang dari sejam dari
administrasi obat hingga dimediasi oleh antibodi spesifik (IgE) terhadap obat.
Gejala klinis khasnya seperti urtikaria dan anafilaksis. Tipe 2 yaitu reaksi
sitotoksik yang dan tipe 3 yaitu reaksi kompleks imun yang dimediasi oleh
antibodi spesifik obat tipe IgG atau IgM. Dan tipe 4 merupakan reaksi
hipersensitivitas lambat yang secara primer dimediasi oleh sel T, dan reaksi ini
terjadi antara satu jam dan beberapa hari setelah mengkonsumsi obat.
Secara klinis reaksi alergi terhadap obat dapat dibedakan menjadi
immediate, accelerated atau delayed tergantung waktu dari minum obat sampai
terjadinya reaksi alergi. Klasifikasi ini telah dikembangkan oleh Levine yang telah
melakukan eksperimen terhadap alergi penicillin. Klasifikasi yang digunakan
untuk klinis dibagi menjadi reaksi immediate dan nonimmediate (NIRs yaitu
reaksi accelerated atau delayed). Reaksi immediate terjadi kurang dari sejam dan
sering terjadi kurang dari beberapa menit, dengan gejala klinis utamanya yaitu
urtikaria dan anafilaksis. NIRs dapat terjadi pada jam, hari ataupun mingguan dari
sesudah mengkonsumsi obat dengan karakteristik gejala klinis yang rentangnya
lebar.

1
GEJALA KLINIS

Kulit termasuk target utama NIRs dengan gejala klinisnya yaitu mulai dari
eksantema makulopapular (MPE). Paling sering untuk tipe drug eruption
menyebabkan urtikaria dan entitas yang kurang umum terjadi tetapi beberapa
entitas berat seperti acute generalized exanthematic pustulosis (AGEP), obat ruam
(kudis) dengan eosinofil dan gejala-gejala sistemik (DRESS) atau drug induced
sindrom hipersensitivitas (DIHS), Steven-Johnson syndrome (SJS), dan toxic
epidermal necrolysis (TEN). Eritema multiforme dan fixed drug eruption adalah
gejala klinis yang kurang umum terjadi. Entitas klinis lain juga dijelaskan
termasuk baboon syndrome yaitu sebuah reaksi erythematous yang mempengaruhi
pantat, paha bagian dalam, dan aksila. Terkadang sulit juga untuk
mengidentifikasi NIRs karena gejala klinisnya mempunyai spektrum yang luas
dan bisa sangat mirip dengan yang disebabkan oleh infeksi atau autoimmun.
Umumnya kebanyakan entitas yang berhubungan dengan NIRs adalah
penyakit yang sifatnya jinak seperti reaksi exanthematic, MPE, dan urtikaria yang
jumlahnya sedikit. Informasi yang didapat dari penelitian secara retrospektif,
terkadang sulit untuk membedakan dengan reaksi lainnya, bahkan angioedema
terjadi karena reaksi exanthematic berat yaitu termasuk pembengkakan.
Reaksi DRESS/DIHS dan bullous pada mukosa termasuk dalam penyakit
berat. Eritema multiforme, yang kurang parah biasanya disebabkan oleh virus dan
ditandai oleh adanya target khas terjadinya lesi (gambar 2). SJS dan TEN
kebanyakan terjadi pada reaksi hipersensitivitas tipe berat yang mempengaruhi
kulit dengan ditandai dengan detasmen epidermis yang luas dan erosi dari
membrane mukosa. Secara umum, semakin berat reaksi yang terjadi, semakin
besar kemungkinan bahwa reaksi diakibatkan oleh reaksi induksi obat.

KETERLIBATAN OBAT
Prevalensi dari NIRs tidak diketahui, khususnya pada reaksi yang kurang
berat, dan terjadi kebingungan terhadap alasan yang berbeda-beda pada virus dan
autoimmune disease. Hubungan gejala dengan partikel obat juga sulit dibedakan
karena interval yang panjang antara konsumsi obat dan onset terjadinya gejala

2
klinis, terutama pada pasien yang menggunakan banyak obat dalam waktu yang
bersamaan.
Beberapa penelitian melaporkan relevansi dari aminopeniccilin dalam
perkembangan MPE dan urtikaria pada pasien dengan reaksi yang ringan dan
sedang. Walaupun frekuensinya kurang, reaksi tipe ini juga telah dijelaskan untuk
obat lain seperti antikonvulsan, kortikosteroid sistemik, dan iodinated contrast
media. Investigasi terhadap reaksi obat pada reaksi berat seperti SJS dan TEN
mempunyai resiko yang tinggi pada jenis obat anti-infective sulfonamides
(khususnya cotrimoxazole), carbamazepine, phenytoin, phenobarbital, NSAIDs
dari tipe oxicam, allopurinol, chlormezanone, aminopenicillins, cephalosporins,
quinolones, dan tetracycline antibiotics. Juga telah dilaporkan terdapat hubungan
yang kuat seperti obat neviraprine dan lamotrigine.

MEKANISME IMMUNOPATOLOGI
Beraneka ragam gejala klinis yang ditemukan pada NIRs tidak dapat
sepenuhnya dijelaskan oleh mekanisme yang dijabarkan pada reaksi tipe 4 oleh
Gell dan Combs. Satu sisi menjelaskan mekanisme yang terlibat dalam
pengelompokan respon sel T yang dibedakan menjadi 4 tipe. Tipe respon IVa,
yang mana sel T menghasilkan interferon (IFN)-gamma-activated macrophages,
dengan gejala klinis yang khas yaitu eczema. Tipe respon IVb, dimediasi oleh sel
T yang menghasilkan Th2 dan sitokin (IL-4 dan IL-5) yang mendorong sel B
untuk memproduksi antibodi, sel mast, dan respon eosinofil, terutama pada
DRESS, MPE, dan bullous exanthema. Tipe respon IVc, didorong oleh CD4+ dan
CD8+ sel T untuk menghasilkan mediator sitotoksik yang akan menghasilkan
apoptosis keratinosit pada MPE dan apoptosis berat pada TEN dan tipe respon
IVd, ditandai dengan aktifnya neutrofil dan rekrutmen didorong oleh sel T melalui
produksi dari kemokin, CXCL8, dengan gejala klinis khas yaitu AGEP. Dasar dari
klasifikasi sistem ini ialah bahwa sel imun selain sel T (neutrofil, eosinofil,
macrofag, dan keratinosit) itu termasuk dalam reaksi tipe 4. Namun perbedaan
dari respon
Itu menunjukkan bahwa drug-protein conjugates dapat diproses dan
dipresentasikan oleh antigen presenting cell ke nave cell T setelah

3
mengkonsumsi obat yang mendorong respon toleransi atau efektor seperti reaksi
hipersensitivitas. Pada kasus hipersensitivitas, sistem imun berkembang baik
secara immediate respon tipe Th2, dimediasi oleh antibodi spesifik (IgE) atau
non-immediate respon tipe Th1, dimediasi oleh sel T spesifik. Banyak informasi
tentang NIRs yang tersedia mengenai efektor respon imun spesifik yang dimediasi
oleh sel T, tetapi sedikit yang diketahui tentang langkah-langkah awal yang
dimediasi oleh system imun innate, terutama dengan sel dendritik.

PERAN SEL T PADA NIRs


Keterlibatan peran sel T dalam NIRs telah ditunjukkan, tidak hanya
melakukan respon immunologi secara primer dengan berinteraksi dengan sel
dendritik akan tetapi sel T juga berperan sebagai sel efektor yang menginduksi
kerusakan jaringan dan peradangan.
Salah satu cara untuk memahami mekanisme patologi yang mendasari NIRs
adalah memantau respon akut dengan mendapatkan sampel yang berurutan (dari
darah, cairan blister, dan kulit) selama reaksi terjadi. Pendekatan seperti ini telah
menunjukkan, meskipun terdapat heterogenitas klinis dari NIRs, reaksi ini
membagikan aspek umum yang terjadi seperti aktivasi dari sel T dengan
meningkatnya ekspresi CD25 dan HLA-DR. Seperti telah dikatakan sebelumnya
bahwa kulit merupakan target organ yang paling banyak terjadi pada NIRs, pada
beberapa kasus sel T bisa mengekspresikan reseptor homing seperti cutaneous
lymphocyte antigen (CLA) dan reseptor kemokin seperti CCR6 dan CCR10 yang
ditemukan paling banyak pada reaksi yang lebih berat seperti SJS dan TEN.
Marker diatas telah dideteksi secara simultan pada darah tepi dan kulit, berbeda
dengan ligan kemokinnya, CCL20 dan CCL27 yang hanya ditemukan pada
tingkatan level dari kulit yang menunjukkan bahwa perjalanan sel dari
subpopulasi sel T ke bagian kulit yang mengalami peradangan.
NIRs secara umum didefinisikan sebagai reaksi Th1 yang memproduksi
IFN-gamma, tumor necrosis factor (TNF-alfa), IL-2, T-bet (faktor transkripsi
Th1), dan marker sitotoksik, perforin dan granzyme. Beberapa penelitian
menemukan bahwa tingkat dari marker tersebut bervariasi tergantung dari gejala
klinisnya. Pada 1 penelitian, analisis yang mendetail dari skin-homing CLA

4
menunnjukkan bahwa antigen meningkat pada MPE dibandingkan dengan
SJS/TEN, kemungkinan dikarenakan sel-sel CLA terutama berlokasi di dermis
pada reaksi MPE, dimana terjadi kerusakan berat yang menyebabkan hilangnya
sel-sel CLA. Penelitian lain juga melaporkan produksi yang lebih tinggi dari Th1
sitokin (IFN-gamma dan TNF-alfa), T-beta, dan marker sitokin lain pada reaksi
yang lebih berat seperti terlihat pada SJS/TEN, yang membuktikan sebuah
korelasi dengan keparahan klinis.
Perbedaan penting lainnya antara perbedaan entitas klinis yang dihubungkan
dengan NIRs adalah subpopulasi dari sel yang berpartisipasi dalam reaksi sebagai
sel-sel efektor. Sementara beberapa penulis menunjukkan bahwa CD4+ dan CD8+
sel T yang masing-masing terlibat dalam MPE dan bullous exanthema, lainnya
melaporkan bahwa kedua tipe dari sel mungkin terlibat dalam SJS/TEN (sel CD4
dalam dermis dan sel CD8 dalam epidermis). Kelompok penelitian ini
menemukan peningkatan level sel CD4 pada kulit dan darah tepi dalam SJS/TEN
dan tingkat yang lebih rendah dalam MPE. Mungkin ada beberapa alasan untuk
perbedaan ini tetapi kompartemen yang dievaluasi cenderung memiliki pengaruh
yang cukup. Mayoritas penelitian pada SJS/TEN melakukan tindakan pada kulit
dan cairan blister, dimana dapat ditemukan sel sitotoksik yang mengekspresikan
CD8+ sel T. Sebaliknya sel-sel mononuklear pada darah tepi dan dermis dominan
terdiri dari CD4+ sel T. Penelitian baru menunjukkan keterlibatan sel ini dalam
meningkatkan jumlah sel di darah tepi dan kulit dan dalam peningkatan produksi
dari sitokin, kemokin, dan marker sitotoksik.
Seperti yang sudah dijelaskan, sel T bertindak langsung sebagai sel efektor
dengan menghasilkan mediator sitokin, perforin, dan granzyme B, yang
menyebabkan kematian pada sel target. Mereka juga berperan penting pada NIRs
dengan bertindak sebagai kemoatraktan dan aktivator dari sel imun lainnya seperti
neutrofil, eosinofil, dan keratinosit. Pada kasus AGEP, NIR ditandai dengan
adanya sterile pustules dari erythemaotus base dan peningkatan neutrofil.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sel T diaktivasi secara khusus oleh obat-
obat culprit, seperti yang ditunjukkan oleh respon proliferatif spesifik mereka.
Selain itu mereka menghasilkan neutrofil yang menarik kemokin IL-8, yang dapat
berkontribusi pada akumulasi netrofil polimorfonuklear pada lokasi lesi. Dalam

5
MPE dan DRESS/DHIS, kulit infiltrasi sel T mampu memproduksi IL-5 dan
eotaxin (CCL-11). Khususnya ini penting karena kedua marker tersebut diketahui
sebagai faktor kunci dalam peraturan pertumbuhan, diferensiasi, dan aktivasi
eosinofil, yang dapat meningkatkan sedemikian reaksi dan berkontribusi pada
generasi kerusakan jaringan melalui pelepasan berbagai protein granul beracun.
Sel T juga dapat mengaktifkan keratinosit epidermis, yang menyebabkan
apoptosis berat pada sel-sel dalam TEN melalui 2 mekanisme utama: mekanisme
perforin atau granzyme B dan mekanisme Fas ligand (FasL). Penelitian baru
menunjukkan bahwa selain bertindak sebagai sel target dalam TEN, keratinosit
juga merupakan sitotoksik aktif. Jika kasusnya ini, direkrutlah memori CD4+ dan
CD8+ sel T yang mengekspresikan CLA dan CCR10 pada kulit yang akan
menghasilkan IFN-gamma, yang merangsang keratinosit aktif untuk memproduksi
TNF-alfa dan FasL sehingga memicu apoptosis. Selain itu, produksi TNF-alfa
akan meningkatkan ekspresi antigen dari MHC kelas 1 di keratinosit, dan
pembuatannya lebih sensitif terhadap sel sitotoksik yang memproduksi perforin
dan granzyme B.
Data ini menunjukkan bahwa fenotip akhir dari erupsi obat dihasilkan secara
alami oleh efektor sitotoksik sel T dalam MPE dan erupsi bulla, dan sel T
melepaskan kemokin spesifik untuk reaksi yang dimediasi oleh neutrofil atau
eosinofil.

PERAN SEL DENDRIT PADA NIRs


Sebagian besar informasi mengenai reaksi obat yang dimediasi oleh sel T
mengarah pada efektor spesifik respon imun dan peran obat dalam berinteraksi
dengan sel T spesifik, baik secara langsung ataupun melewati metabolism obat
dan haptenisasi. Sedikit informasi, tersedia langkah-langkah awal dimediasi,
terutama melalui sel dendrit, dengan sistem imun innate. Sel dendrit merupakan
antigen presenting sel yang memainkan peran penting dalam inisiasi respon sel T.
Kemampuannya diatur dalam proses yang dikenal sebagai maturasi, mereka
memodulasi toleransi atau respon immune efektor yang dimediasi oleh subtipe sel
T yang berbeda. Sementara sel dendrit immatur dan semimatur yang sangat
endocytic tapi kurang efektif sebagai antigen presenting cell yang telah dikaitkan

6
dengan respon immunologi toleran, sel dendrit matur, yang tidak memiliki
kapasitas endocytic, bermigrasi ke limponodi dan sebelumnya antigen ditangkap
dan diproses ke sel T yang menyebabkan respon efektor. Konsep ini merupakan
faktor kunci dalam diskriminasi dari diri antigen atau molekul berbahaya dari
molekul pathogen, terlihat lebih kompleks, dan faktor lainnya kemungkinan
terlibat.
Hal ini diyakini bahwa signal bahaya diperlukan untuk memicu respon
patologis dimana pembawa hapten dikenal oleh sistem immune dan antibodi atau
sel T yang dihasilkan. Ada berbagai jenis signal bahaya, termasuk signal
exogenous yang berkaitan terhadap pathogen infeksius, juga disebut pathogen-
associated-molecule patterns (PAMPS), bakteri dan genom virus, flagella, dan
eadotoxin seperti lipopolisakarida dan signal endogen seperti TNF-alfa dan IL-1.
Molekul-molekul ini berinteraksi dengan sel dendrit melalui sebuah reseptor Toll-
like, merangsang aktivasi dari kaskade sinyal dengan partisipasi protein kinase
yang diaktivasi mitogen. Proses maturasi sel dendrit menghasilkan serangkaian
sitokin dan kemokin yang memodulasi Th1 atau Th2 yang tepat untuk
merangsang sinyal bahaya.
Sejumlah temuan mendukung peran sel dendrit dalam respon terhadap
hapten. Dermatitis kontak merupakan sebuah reaksi hipersensitivitas tipe lambat
dengan berat molekul yang rendah seperti nikel yang merupakan model penelitian
yang terbaik. Hapten dengan sendirinya mampu memproduksi state maturasi
dalam sel dendrit yang merangsang respon sel T spesifik. Pada kasus dari
sulfamethoxazole dan reaksi metabolitnya yaitu nitroso sulfamethoxazole yang
telah terbukti terkait dengan generasi sinyal cnstimulatory yang diperlukan untuk
memulai respon imun primer.
Selain itu kelompok peneliti juga telah mempelajari peran dari sel dendrit
dalam generasi dan modulasi patologis sel T dimediasi NIRs terhadap obat dan
menunjukkan bahwa hapten seperti amoxicillin dan heparin dapat menyebabkan
perubahan dalam status maturasi dari sel dendrit, menghasilkan respon
proliferative spesifik dalam sel T pada pasien alergi tetapi tidak di control toleran.
Hasil ini menunjukkan bahwa obat tertentu dapat bertindak khususnya tidak hanya
sebagai antigen target untuk respon imun, tetapi juga sebagai stimulus untuk

7
maturasi sel dendrit. Penjelasan lain yang mungkin untuk generasi dari respon
efektor terhadap obat bahwa interaksi dengan sel dendrit terjadi pada kondisi
maturasi. Maturasi ini dapat disebabkan oleh faktor secara bersamaan dengan
adanya sinyal eksogen seperti PAMPS atau dari sinyal endogen, dengan sitokin
seperti TNF-alfa akibat oleh proses inflamasi.

PERAN INFEKSI VIRUS PADA NIRs


NIRs dapat juga terjadi sebagai hasil interaksi antara obat tertentu dan faktor
yang berbeda. Faktor kunci adalah penyakit yang mendasarinya, khususnya pada
kasus infeksi virus. Beberapa virus telah berhubungan dengan reaksi alergi
terhadap obat, termasuk virus herpes manusia 6 (HHV-6), cytomegalovirus,
Epsteinn-Barr virus (EBV) dan yang terbaru adalah paramyxovirus.
Virus dapat berinteraksi dengan sistem imun pada beberapa poin: selama
metabolism obat, selama presentasi obat ke limfosit oleh sel dendrit, dan selama
produksi sitokin dan kemokin dalam respon efektor. Produk mikroba yang
dibudidayakan dicoba berinteraksi dengan reseptor pengenalan pola seperti Toll-
like reseptor yang dapat menyebabkan maturasi dari sel dendrit dan ini mungkin
berkaitan dengan meningkatnya resiko reaksi hipersensitivitas yang berhubungan
dengan infeksi virus seperti EBV, HHV, dan HIV.
Obat induksi entitas klinis yang lebih sering dihubungkan dengan infeksi
virus ialah ampicillin-induced exanthema pada pasien dengan infeksi
mononucleosis, yaitu sebuah penyakit akut yang diinduksi oleh EBV. Exanthema
terjadi pada 5% dari 13% pasien dengan infeksi mononucleosis, tetapi kejadian ini
meningkat pada mereka yang menggunakan ampicillin (dewasa 29%-69% dan
anak-anak diatas 100%). Walaupun beberapa penulis melaporkan bahwa ini bukan
sensitisasi yang benar, lainnya menunjukkan kebenaran sensitisasi immunologi
dengan tes kulit dan tes transformasi limfosit (LTT). Selain itu, respon tidak
transien. Beberapa laporan menunjukkan bahwa ada hubungan antara frekuensi
tinggi dari SJS dan TEN pada pasien dengan HIV dan reaktivasi awal dari EBV
dan reaktivitas silang dengan obat. Penelitian terbaik reaksi alergi obat
menunjukkan bahwa yang berhubungan dengan infeksi virus adalah
DRESS/DIHS yang mana telah dikaitkan dengan reaktivasi dari HHV-6. Gejala

8
klinis dari penyakit ini sering menyerupai gejala yang disebabkan oleh infeksi
virus kulit. Beberapa penulis menunjukkan bahwa resolusi lambat dari
DRESS/DIHS disebabkan oleh reaktivasi dari HHV-6, disukai dengan
hypogammaglobulinemia, yang dapat terjadi selama pengobatan dengan obat
tertentu seperti antikonvulsan. Hal ini menunjukkan bahwa antikonvulsan tidak
hanya mengaktifkan sel T sitotoksik yang terlibat dalam reaksi alergi terhadap
obat tetapi juga menyebabkan immunosupresi yang juga mendukung reaktivasi
virus, sehingga menunda resolusi.
Peran yang kooperatif antara virus dan obat dalam induksi NIRs tidak jelas.
Kelompok peneliti menunjukkan bahwa amoxixillin yang menyebabkan
perubahan status maturitas dari sel dendrit menuju sel dendrit seminatur,
memproduksi proliferasi sel T spesifik. Kenyataannya pasien mungkin terkena
NIRs tetapi LTT negative terhadap obat tertentu yang mungkin disebabkan karena
tidak adanya stimulasi virus secara bersamaan, yang telah terbukti dapat
menyebabkan sel dendrit matur sepenuhnya. Awal penelitian dengan obat dan
sebuah Toll-like receptor agonist menunjukkan sebuah peningkatan pada maturasi
dari sel dendrit dan respon LTT yang positif hanya pada pasien dengan drug-
induced MPE dan sebuah penyakit infeksius (tidak dipublikasikan). Hal ini
menunjukkan bahwa kedua unsur mungkin diperlukan untuk meniru mekanisme
immunologi yang terlibat dalam reaksi in vivo.
Selain itu, infeksi virus bisa menyebabkan gejala pada kulit yang sama
dengan reaksi dari alergi obat, sebuah faktor penting ketika menegakkan sebuah
diagnosis banding, terutama pada anak-anak. Membandingkan yang disebabkan
oleh virus dan obat yang menyebabkan reaksi exantematik pada anak-anak,
kelompok penelitian menemukan ekspresi yang tinggi dari homing receptor CLA
dan aktivasi marker CD69, serta pola sitokin Th1 pada anak-anak dengan reaksi
yang disebabkan oleh obat. Anak-anak dengan reaksi virus, sebaliknya memiliki
pola sitokin yang tidak dapat terdefinisikan.

DIAGNOSIS
Gambaran umum dari NIRs adalah gejala-gejala yang muncul 24 sampai 48
jam setelah mengkonsunsi obat, walaupun terkadang muncul setelah beberapa jam

9
dan pada beberapa kasus bahkan setelah beberapa hari. Karena bervariasinya
entitas klinis yang terjadi, riwayat klinis tidak selalu memberikan deskripsi
tentang definisi yang baik dari perjalanan akhir penyakit. Onset dari timbulnya
gejala-gejala dan keparahan, faktor yang harus diperhitungkan tidak hanya
mengevaluasi NIRs tetapi juga dalam penentuan tes diagnostik yang diperlukan.
Kesulitan dalam mendiagnosis berada pada kurangnya kesensitifitas tes yang
tersedia, tidak adanya co-faktor mungkin telah dikeluarkan pada waktu reaksi, dan
kemungkinan gejala-gejala tidak dimediasi oleh immunologi. Perbedaan metode
diagnostik yang ada yang akan dijelaskan dibawah ini.
Tes Kulit
Nilai diagnostik dari tes kulit tidak sepenuhnya mengevaluasi dan
pengalaman di berbagai pusat penelitian jarang didiskusikan. Prosedur tes kulit
yang terpercaya untuk mendiagnosis NIRs kurang umum dan konsentrasi tesnya
tidak diketahui dan validitas lemah untuk kebanyakan obat. Delayed-reading
intradermal dan atau patch tes telah digunakan selama bertahun-tahun.
Keuntungan utama dari drug patch tes ialah tes ini dapat dilakukan dengan apapun
bentuk obat yang tersedia secara komersial. Sementara tes intradermal lebih
sensitif, yang dilakukan dalam bentuk injeksi atau steril, persiapan murni obat.
Baik intradermal dan patch tes telah digunakan dalam mendiagnosis NIRs
untuk betalaktam, dengan dilaporkan sensitifitas 2,6% (respon positif untuk patch
tes pada 8 dari 298 pasien yang di tes dengan phenoxymethyl penicillin) untuk
37,8% (respon positif untuk patch tes dan atau delayed-reading intradermal tes
dengan penicillin pada 98 dari 259 pasien). Terlihat bukti baru yang
mengindikasikan bahwa kesensitivitasan dari tes kulit lebih rendah dari yang
diyakini sebelumnya. Sebuah penelitian baru secara prospektif mengevaluasi 22
pasien dengan MPE atau exanthema urticarial karena mengkonsumsi betalactam
ditemukan bahwa hanya 2 (9%) yang positif setelah dilakukan tes delayed-reading
intradermal/patch tes meskipun konfirmasi dari reproduksibilitas reaksi dengan tes
provokasi obat. Hasil serupa ditemukan pada anak-anak. Hai ini mengindikasikan
bahwa tes kulit memiliki sensitifitas yang lebih rendah dari pengujian
sebelumnya, pada pasien dengan reaksi exanthematic oleh betalactam, meskipun
lebih tinggi pada reaksi yang lebih berat seperti exanthema desquamativ.

10
Hasil serupa telah terdeteksi untuk obat yang lain. Pada 21 pasien dengan
NIRs untuk sistemik kortikosteroid dikonfirmasi dengan tes provokasi, contohnya
hanya 2 pasien yang terdeteksi positif dengan intradermal dan patch tes. Patch tes
baru-baru ini terlihat sangat berguna untuk mendiagnosis exanthema yang
disebabkan oleh obat kardiovaskuler atau antiepilepsi (positifnya hasil tes pada 10
(4%) dari 247 pasien untuk amoxicillin dan 6 (3,9%) dari 152 pasien untuk
benzylpenicillin).
Tes Provokasi Obat
Karena intradermal dan patch tes sering tidak cukup sensitif untuk pasien
dengan NIRs, sebagian besar pasien perlu diberikan obat untuk menetapkan
diagnosis atau mungkin seringnya untuk mengkonfirmasi toleransi. Tes provokasi
obat adalah alat yang terbaik untuk mengkonfirmasi penyebab yang
menghubungkan antara administrasi obat dan NIRs. Itu melibatkan pemberian
yang hati-hati dari sebuah agen suspek dalam monitoring yang ketat untuk
terjadinya gejala, dan khususnya gejala pada kulit. Tes provokasi obat, umumnya
tidak direkomendasikan dan sebenarnya tedapat kontraindikasi pada beberapa
kasus seperti generalized bullous fixed drug eruptions, AGEP, SJS, TEN,
DRESS/DIHS, vaskulitis sistemik, manifestasi organ spesifik (cytopenia,
hepatitis, nephritis, pneumonitis) dan drug-induced autoimmune disease.
Dari semua obat penyebab NIRs, betalaktam telah diteliti lebih extensive.
Banyak pasien yang berkembang reaksi exanthematicnya setelah pemberian
Betalactam dan memiliki tes kulit negatif mentolerir tes provokasi obat dengan
baik. Penelitian oleh Romano dkk, hanya 3 (2,5%) dari 117 subjek bereaksi
terhadap tes provokasi obat dengan yang sudah terpapar penicillin. Meskipun
demikian, beberapa pasien dengan NIRs yang jelas, terdiagnosis dengan tes
provokasi yang positif. Penelitian oleh Padial dkk, hanya 2 (9%) dari 22 pasien
dewasa dengan reaksi exanthematic untuk betalaktam terdiagnosis positif dengan
tes delayed-reading intradermal. Hasil serupa ditemukan pada 20 anak-anak
dengan reaksi exanthematic dan positif dengan tes provokasi obat (hanya 1 yang
terdeteksi positif pada tes kulit). Ini mengindikasikan bahwa tes provokasi obat
merupakan alat diagnostik yang paling penting dalam kasus, khususnya reaksi
exanthematic untuk betalaktam.

11
Tes diagnostik In-Vitro : Tes Transformasi Limfosit
LTT, yang didasari pada prinsip bahwa sel T dapat berploriferasi dengan
adanya antigen spesifik, dan sudah menjadi tes yang sering dilakukan selama 30
tahun ke belakang untuk mendeteksi sensititasi sel T terhadap obat dalam in-vitro.
Tetapi keefektifan dari tes untuk mendiagnosis nonimmediate reaction ini sudah
diperdebatkan karena angka sensitifitas dari 60% sampai 70% dan spesifisitas
yang rendah.
Dari studi yang dilakukan pada group, 57% pasien dengan NIR terhadap
betalactam memiliki hasil positif LTT terhadap sedikitnya salah satu dari penisilin
yang diteskan. Dideteksi pada studi bahwa terdapat respon yang beragam.
Imunohistokimia
Temuan imunohistokimia membantu dalam penyelidikan mekanisme
imunologi yang mendasari. Tes ini tidak memberikan informasi mengenai obat
yang terlibat atau informasi mengenai perbedaan jenis reaksi. Yang paling umum
ditemukan adalah infiltrat sel mononuclear yang terdiri dari sel T aktif yang
mengekspresikan antigen DR, predominan dari sel CD4+.

Simpulan
NIRs terhadap obat merupakan reaksi hipersensitivitas yang paling umum dan
dapat disebabkan oleh obat-obatan. Reaksi ini menyebabkan gejala klinis yang
bermacam-macam (heterogen), yang mencerminkan perbedaan mekanisme
imunologi yang terlibat. Efektor dari sel T merupakan kejadian patologis yang
utama. Diagnosis sangat kompleks karena kesulitan dalam memperoleh riwayat
klinis, dan beberapa faktor penting seperti infeksi virus serta rendahnya angka
spesifisitas dari skin-test dan in-vitro. Diperlukan studi yang lebih banyak untuk
meningkatkan pemahaman kita tentang NIRs dan mempertajam kriteria diagnosis.

12

Anda mungkin juga menyukai