Anda di halaman 1dari 35

A.

Pendahuluan

Menurut FAO (United Nations Food and Agriculture Organization),


malnutrisi adalah kondisi fisiologis abnormal yang disebabkan oleh
defisiensi, kelebihan, atau ketidakseimbangan energy, protein, dan atau
nutrisi lainnya (FAO, 2000). Malnutrisi pada dasarnya berarti gizi buruk,
yang secara klinis, ditandai dengan asupan yang tidak memadai atau
kelebihan energy, protein, dan mikronutrien seperti vitamin, dan sering
infeksi atau gangguan lain akibat infeksi tersebut. Individu yang kekurangan
gizi adalah jika mereka tidak mampu untuk memanfaatkan sepenuhnya
makanan yang mereka makan, misalnya karena diare atau penyakit lain, atau
jika mereka mengkonsumsi kalori terlalu banyak , dan atau jika diet mereka
tidak memberikan cukup kalori dan protein untuk pertumbuhan dan
pemeliharaan (gizi buruk atau malnutrisi energi protein). (WHES,2010)

Status gizi individual tergantung pada interaksi antara makanan yang


dimakan, kesehatan dan lingkungan fisik, serta kondisi kesehatan negara
secara umum. Malnutrisi sering terjadi pada keluarga dengan kondisi
ekonomi yang kurang atau miskin. Apabila dikaitkan dengan kemiskinan,
malnutrisi memberikan kontribusi untuk meningkatnya beban penyakit,
menghambat tumbuh kembang dan mengurangi kemampuan fungsional
tubuh. Nutrisi, air dan sanitasi yang buruk adalah determinan penting dalam
hubungan ini, tapi kadang-kadang perbaikan tidak mendapatkan manfaat
untuk seluruh penduduk. Konflik sipil dan peperangan berkontribusi penting
terhadap peningkatan kekurangan gizi. (WHES,2010)

Tidak ada yang benar-benar tahu berapa banyak orang yang kekurangan gizi.
Statistik yang paling sering dikutip berasal dari data FAO yang merupakan
badan resmi PBB yang membidangi masalah pangan dan pertanian dunia.
Namun FAO belum mempublikasikan data terakhir tahun 2011 tentang
malnutrisi yang terjadi di seluruh dunia. Perkiraan FAO pada tahun 2010
mengatakan bahwa 925 juta orang kekurangan gizi. Jumlah orang yang

1
kelaparan diseluruh dunia telah meningkat sejak tahun 1995-1997.
Peningkatan itu terjadi karena tiga faktor: 1) kelalaian terhadap masalah
pertanian relevan untuk masyarakat sangat miskin oleh pemerintah dan
lembaga internasional, 2) krisis ekonomi saat ini di seluruh dunia, dan 3)
peningkatan signifikan dari harga pangan dalam beberapa tahun terakhir. 925
juta orang adalah 13,6 persen dari penduduk dunia yang diperkirakan 6,8
miliar. Hampir semua kekurangan gizi terjadi di negara berkembang (FAO,
2000).

Anak-anak adalah korban yang paling terlihat dari kekurangan gizi. Anak-
anak yang menderita kurang gizi, setiap tahunnya sakit rata-rata selama 160
hari. Kurang gizi memainkan peran dalam setidaknya setengah dari 10,9 juta
anak meninggal setiap tahunnya. Kekurangan gizi memperbesar efek dari
setiap penyakit, termasuk campak dan malaria. Proporsi kematian akibat
malnutrisi yang menjadi penyebabnya, rata-rata untuk diare (61%), malaria
(57%), pneumonia (52%), dan campak (45%) (Black 2003, Bryce 2005).
Malnutrisi juga bisa disebabkan oleh penyakit, seperti penyakit yang
menyebabkan diare, dengan mengurangi kemampuan tubuh untuk mengubah
makanan menjadi nutrisi yang dapat digunakan. (FAO, 2000)

Menurut FAO, ada dua tipe dasar malnutrisi. Yang pertama dan paling
penting adalah protein energi malnutrisi (PEM) yaitu kurang cukupnya
protein (dari daging dan sumber lainnya) dan makanan yang menyediakan
energi (diukur dalam kalori). Ini adalah jenis kekurangan gizi yang dimaksud
ketika kelaparan dunia dibahas. Tipe kedua kekurangan gizi, yaitu defisiensi
mikronutrien (vitamin dan mineral). (FAO, 2000)

PEM merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. PEM


disebabkan karena defisiensi makronutrien (zat gizi makro). Meskipun
sekarang ini terjadi pergeseran masalah gizi dari defisiensi makronutrien
menjadi defisiensi micro nutrien, namun beberapa daerah di Indonesia

2
prevalensi PEM masih tinggi (> 30%) sehingga memerlukan penanganan
intensif dalam upaya penurunan prevalensi PEM. (Aritonang, 2004)

A.1 Definisi
Menurut WHO malnutrisi didefinisikan sebagai ketidakseimbangan
selular antara ketersediaan nutrisi dan energi dan kebutuhan tubuh untuk
pertumbuhan, pemeliharaan, dan fungsi spesifik. Malnutrisi energi
protein (PEM) adalah defisiensi energi karena defisiensi kronis terhadap
semua makronutrisi. Umumnya termasuk defisiensi mikronutrisi. PEM
dapat terjadi tiba-tiba dan total (kelaparan) atau bertahap. (Morley, 2007;
Scheinfeld, 2011)

PEM dapat dibagi menjadi 3, yaitu marasmus, kwashiorkor, dan


pertengahan antara marasmus-kwashiorkor. Istilah marasmus berasal dari
kata Yunani marasmos, yang berarti lemah atau kurus. Marasmus
merupakan kurangnya asupan protein dan kalori dan dikarakteristikkan
dengan kurus. Istilah kwashiorkor diambil dari bahasa Ga dari Ghana dan
berarti the sickness of the weaning. William adalah orang pertama yang
menggunakan istilah tersebut pada tahun 1993, dan istilah kwashiorkor
merupakan kurangnya asupan protein dengan asupan kalori. Edema
merupakan karakteristik dari kwashiorkor tetapi tidak ada pada
marasmus. Penelitian menunjukkan bahwa marasmus merupakan suatu
respon adaptif dari kelaparan, sedangkan kwashiorkor merupakan respon
maladaptif dari kelaparan. (Morley, 2007; Scheinfeld, 2011)

A.2 Epidemiologi
Pada tahun 2000, WHO memperkirakan bahwa anak-anak yang
mengalami malnutrisi sebanyak 181,9 juta (32%) di negara berkembang.
Diperkirakan sebanyak 149,6 juta anak-anak dibawah umur 5 tahun
kekurangan nutrisi jika diukur dari segi berat badan meurut umur. Di
Asia Selatan, Asia Tengah, dan Afrika Timur, setengah dari anak anak
tersebut mengalami retardasi pertumbuhan karena malnutrisi energi

3
protein. Hal ini terjadi 5 kali pada prevalensi belahan bumi bagian barat.
(Scheinfeld, 2011)
Diperkirakan 50% dari 10 juta kematian setiap tahun terjadi di negara
berkembang karena malnutrisi pada anak-anak dibawah umur 5 tahun.
Mortalitas pada kwashiorkor menurun menurut umur dengan onset yang
meningkat. Malnutrisi energi protein ini merupakan bentuk defisiensi
nutrisi terbanyak diantara pasien yang dirawat inap di Amerika.
Marasmus terbanyak terjadi pada anak-anak dibawah umur 5 tahun.
Periode ini dikarakteristikkan dengan peningkatan kebutuhan energi dan
peningkatan terinfeksi virus dan bakteri. (Scheinfeld, 2011)

Pada beberapa penelitian, prevalensi malnutrisi energi protein diantara


para manula adalah diperkirakan 4% di komunitas, 50% untuk yang
menjalani perawatan jangka pendek di rehabilitasi geriatri, dan 30-40%
untuk yang menjalani perawatan jangka panjang. Malnutrisi energi
protein ini juga dijadikan sebagai faktor primer terhadap prognosis buruk
pada manula. (Scheinfeld, 2011)

B. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis


Patofisiologi
PEM umumnya disebabkan oleh kelaparan, yang terdiri dari dua jenis yaitu
marasmus dengan proses adaptasi yang baik dan onset yang lambat, dan
kwashiorkor dengan proses adaptasi yang buruk dan onset akut (Behrman dan
Kliegman, 2004). PEM adalah penyakit yang berkembang ketika asupan
protein atau asipan energi gagal memenuhi nutrisi yangdiperlukan tubuh.
PEM selalu menjadi penyakit yang umum, dan manusia memiliki mekanisme
adaktif untuk memperlambat atau mencegah terjadinya PEM. Kehilangan
lemak diperlambat oleh reduksi di dalam pelepasan energi, baik dengan
mengurangi tingkat metabolisme per unit metabolisme jaringan aktif atau
penggunaan sumber cadangan protein didalam tubuh. Protein otot biasanya
menyumbangkan sekitar 80% dari masa jaringan yang berperan untuk
menggantikan sumber energi dalam proses glukoneogenesis, sehingga

4
jaringan pada organ sentral seperti hati, saluran cerna, dan ginjal relatif aman.
Selama batas kekurangan energi dan protein tidak terlalu rendah tubuh akan
berusaha untuk melakukan proses adaptasi. Kerugian yang terjadi pada proses
adaptasi yang tidak mendapat eksogenous protein adalah terjadinya
penurunan rasio metabolik dan berkurangnya masa otot, sehingga terjadi
kelemahan otot dan keterbatasan fungsi, menurunkan kapasitas jantung dan
pernapasan, hipotermia sedang dan menurunkan cadangan protein tubuh
(Hoffer dan Lady, 2001).

Gambar 1. Patofisiologi PEM (Hoffer dan Lady, 2001)

Bila adaptasi berhasil maka tubuh akan kembali dalam keadaan homeostasis
yang ditandai dengan adanya keseimbangan protein dan energi, dan serum
albumin yang normal. Bila adaptasi gagal akan terjadi kehilangan protein dan
lemak berkelanjutan, hipoalbuminemia, dan berkurangnya kekebalan sistem
imunitas. Hal tersebut di pengaruhi oleh adanya stress metabolik,
menurunnya asupan mikronutien,dan kelaparan yang berat.

Proses adaptasi pada PEM dipengaruhi oleh 3 fator utama yaitu (1)
Mobilisasi dan pengeluaran energi, dimana pada marasmus perubahan
komposisi tubuh meningkatkan konsumsi basal oksigen (basal metabolic
rate) per unit tubuh, berat, dan terus menurun pada tahap berat. Pada

5
kwashiorkor, kekurangan diet protein yang berat meningkatkan deplesi
viseral pada asam amino yang menyebabkan kerusakan pada fungsi sel
viseral, dan menurunkan konsumsi oksigen seperti basal energy expenditure
menurunkan total massa tubuh. (2) Pemecahan dan sintesis protein, dimana
pada marasmus penggunaan protein terjadi setelah terjadinya glikogenolisis
dan glukoneogenesis( lipolisis) dan diikuti pemecahan protein yang terjadi
bertahap, sedangkan pada kwashiorkor pengubahan energi dari semua
cadangan terjadi secara bersamaan. Keadaan deplesi protein yang berat akan
mengakibatkan terjadi kegagalan proses adaptif , penurunan konsetrasi serum
protein dan albumin. Keadaan tersebut akan menginduksi tekanan onkotik
intravaskular dan distribusi air ke bagian ekstravaskuler yang berkontribusi
dalam pengembangan edema pada kwashiorkor. (3) Perubahan Endokrine,
dimana hormon sangat berperan dalam mengatur energi homeostasis,
meningkatkan glikolisis dan lipolisis, meningkatkan mobilisaasi asam amino,
meningkatkan pemecahan protein otot, menurunkan cadangan glikogen,
lemak dan protein, dan menurunkan metabolisme energi. Reson adaktif yang
lebih baik pada penderita marasmus disebabkan oleh peran hormonal
didalamnya (Behrman dan Kliegman, 2004).

Manifestasi Klinis
Marasmus didiagnosis ketika lemak subkutan dan otot hilang karena
mobilisasi endogen energy dan nutrisi. Aspek klinis biasanya mencakup mata
cekung memberikan tampilan "orang tua". ala tampak lebih besar
dibandingkan dengan tubuh, dan wajah tipis. Kulit dapat diangkat dari seperti
lipatan, terutama di daerah bokong, memberikan penampilan "kulit dan
tulang". Rambut biasanya tidak berubah (kecuali dalam kasus marasmus
kwashiorkor-kombinasi). Mungkin ada tanda-tanda dehidrasi, amenore
primer atau sekunder, perut membesar yang berasal dari hipotonia otot, anal
atau rectal prolaps yang disebabkan oleh karena hilangnya lemak perianal.

Kwashiorkor biasanya bermanifestasi dengan edema yang merupakan


pembengkakan abnormal dalam tubuh, paling sering terdapat pada
pergelangan tangan, wajah, kaki dan matakaki. Edema berasal dari

6
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit serta melemahnya pembuluh darah di
kaki. Selain itu terdapat pula perubahan rambut dan warna kulit. Kulit
menjadi pucat, kering dan dingin, dan mungkin tampak menipis. Ruam kulit
dan perubahan pigmen juga umum terlihat. Rambut dapat menjadi tipis dan
rapuh, serta mudah rontok dan dapat bewarna kelabu atau kemerahan. Ada
perubahan perilaku yang dimanifestasikan dengan apatis, kurang nafsu
makan, penarikan diri. Dijumpai juga tanda-tanda anemia, hepatomegali,
kekebalan tubuh yang menurun sehingga rentan terhadap penyakit infeksi,
gagal tumbuh dan kematian dini (Muller,2005)

Gambar 2. Manifestasi klinis Marasmus (kiri) dan Kwashiorkor (kanan).


(Muller, 2005)

Degenerasi lemak dari organ yang beragam seperti hati dan jantung
menyebabkan insufisiensi jantung, terutama bila disertai malnutrisi dan
edema. Jika insufisiensi miokard tidak dikoreksi, cairan iatrogenic dan
sodium yang berlebihan dapat cepat meningkat yang mengakibatkan gagal
jantung. Kehilangan lemak subkutan, mengurangi tubuh kapasitas untuk
pengaturan suhu dan penyimpanan air. Sebagai akibatnya, anak-anak kurang

7
gizi mengalami dehidrasi, hipotermia dan hipoglikemik lebih cepat dan parah
daripada yang lain. Akhirnya, kekurangan energi protein dikaitkan dengan
atrofi dari mukosa usus kecil, menyebabkan hilangnya penyerapan serta
kapasitas pencernaan. Gizi buruk ini lebih lanjut terkait dengan hipovolemia,
yang mengarah ke hiperaldosteronisme sekunder, dan semakin mengganggu
keseimbangan cairan dan elektrolit. Karena perkembangan distrofi otot
memobilisasi banyak kalium tubuh, dan diekskresi melalui urin, anak yang
terkena tidak menunjukkan tanda-tanda hyperkalemia. (Muller,2005)

C. Penilaian Nutrisi pada Malnutrisi Protein Energi

C.1 Evaluasi Diet dan Riwayat Personal


Evaluasi diet meliputi informasi nutrisi yang didapat seseorang yang
berhubungan dengan situasi kehidupan sosial, psikososial, dan masalah
ekonomi yang menjadi dasar penilaian nutrisi. Konsumsi diet dari
makanan yang mengandung protein dan energy merupakan salah satu
dampak klinis terjadinya malnutrisi protein dan energy. Beberapa hal
yang ditinjau terkait evaluasi diet dan riwayat personal adalah data
rekaman makanan selama 24 jam, riwayat diet, dan data variasi makanan
secara periodik. Data asupan makanan diperlukan untuk tes seperti
keseimbangan nitrogen atau memonitior energy dan asupan nutrisi.
Asupan protein yang disarankan pada orang dewasa adalah 0,8 g/kg berat
badan. Tambahan 25 gram pada ibu hamil dan menyusui. PEMerluan
untuk infant dan anak-anak tergantung umur dan pola pertumbuhan.
(Depkes, 2006)

C.2 Antrophometri
Pengukuran status nutrisi menggunakan antropometri berhubungan
dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh
dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Sangat umum digunakan
untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidakseimbangan antara
asupan protein dan energi. Gangguan ini biasanya terlihat dari pola

8
pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh, seperti lemak, otot dan
jumlah air dalam tubuh.

Antropometri dapat digunakan untuk mengidentifikasi status buruk,


kurang dan baik, karena sudah ada ambang batas yang jelas namun tidak
dapat mendeteksi status gizi dalam waktu singkat, tidak dapat
membedakan kekurangan zat gizi tertentu, misalnya Fe dan Zn.
Kesalahan biasanya terjadi pada pengukuran ataupun kesalahan alat.

Sebagai indikator gizi, antropometri dapat dilakukan dengan mengukur


beberapa parameter, parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh
manusia. Jenis parameter antropometri antara lain umur, berat badan,
tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar PEMala, lingkar dada, jaringan
lunak. (WHO, 2006)

Penilaian antropometri yang terbaik untuk penilaian nutrisi dan PEM


berdasarkan pengukuran berat dan tinggi atau panjang, dan data umur
untuk mengkalkulasi dua indeks yaitu berat menurut tinggi untuk status
nutrisi sekarang yang disebut wasting dimana normal berkisar antara 90-
110 (1 SD), PEM ringan berkisar antara 80-89 (-1,1 sampai -2 SD)
PEM sedang berkisar antara 75-79 (-2,1 sampai -3 SD) dan PEM berat
yaitu <75 (<-3 SD) atau dengan edema. Sedangkan indeks yang
berikutnya adalah tinggi menurut umur untuk indeks riwayat nutrisi
sebelumnya yang disebut stunting dimana normal berkisar antara 95-105
(1 SD), PEM ringan berkisar antara 90-94 (-1,1 sampai -2 SD), PEM
sedang 85-89 (-2,1 sampai -3 SD) dan PEM berat yaitu <85 (<-3 SD).
Indeks berat menurut umur dimana normalnya 95-105 % (1 SD), PEM
ringan <90 %( <-1 SD), PEM sedang <75 %( <-2 SD), PEM berat <60 %
( <-3 SD). (WHO, 2006)

Indeks masa tubuh(IMT) direkomendasikan untuk remaja dan dewasa


baik laki-laki maupun perempuan dimana IMT 18,5 kg/m2 adalah

9
normal, PEM ringan yaitu dengan IMT berkisar 17-18,4 kg/m2 , PEM
sedang berkisar antara IMT 16-16,9 kg/m2 , PEM berat yaitu <16 kg/m2.
Penilaian Lingkar lengan atas dimana untuk PEM Ringan yaitu <13,5
cm, PEM Sedang < 12,5 cm, PEM Berat < 11,5 cm. (James dan Ferro,
2000)

Lingkar lengan atas, PEMala dan dada bukan indicator yang sensitif tapi
dapat membedakan antara PEM sedang, berat dan yang memiliki nutrisi
yang baik. Pada orang dewasa, PEM ringan dan sedang dapat dilihat dari
pengurangan jaringan subkutan. Yang paling sering adalah pengurangan
jaringan adipose dibawah 12% dan 20% pada laki-laki dan perempuan.
(Viteri et al, 2001).

C.3 Observasi Klinis

PEM ringan hingga sedang didiagnosis terutama berdasarkan


antropometri, terutama menggunakan pengukuran berat badan dan tinggi
badan, dan kadang-kadang dilakukan juga pengukuran lingkar lengan
atau ketebalan lipatan kulit. Sedangakan dua bentuk malnutrisi berat,
kwashiorkor dan marasmus, memiliki tanda klinis yang berbeda. Ciri
utama dari kwashiorkor adalah pitting edema, sedangkan marasmus ciri
utamanya adalah sangat kurus. Anak-anak yang memiliki kedua ciri
tersebut didiagnosis menderita marasmic kwashiorkor. (FAO, 1997)

1. Kwarshiorkor
Semua penderita kwarshiorkor memiliki edema, gagal tumbuh,
kehilangan massa otot dan infiltrasi lemak di liver. Tanda lainnya adalah
perubahan status mental, rambut tidak normal, atypical dermatosis,
anemia, diare, moonface dan defisiensi mikronutrien. (FAO, 1997; Syam,
2009)

Edema

10
Akumulasi cairan di jaringan akan menyebabkan pembengkakan.
Kondisi ini biasanya dimulai dengan sedikit pembengkakan pada kaki.
Kemudian diikuti oleh pembengkakan tangan dan wajah. Untuk
mendiagnosis adanya edema, tekan bagian pergelangan kaki pasien
dengan jari. Kulit yang tidak segera kembali menandakan adanya pitting
oedema.
Gagal Tumbuh
Jika usia anak diketahui, anak akan terlihat lebih pendek dari normal.
Berat badan anak juga akan lebih ringan dari normal kecuali dalam kasus
edema berat. Berat anak biasanya 60 sampai 80 persen dari standar atau
di bawah 2 SD.
Kehilangan Massa Otot
Kehilangan massa otot menyebabkan kaki dan tangan anak terlihat kurus.
Infiltrasi Lemak di Liver
Kondisi ini, yang ditandai dengan hepatomegali, biasanya ditemukan
pada pemeriksaan post-mortem kasus kwarshiorkor.
Perubahan Status Mental
Anak biasanya akan terlihat apatis terhadap lingkungan sekitar dan marah
apabila diganggu.
Perubahan Rambut
Pada kasus kwarshiorkor, rambut akan lebih halus dan tipis, tidak
bercahaya, mati, berubah warna menjadi coklat atau merah kecoklatan,
dan mudah dicabut.
Perubahan Kulit
Dermatosis biasanya terjadi di daerah yang sering bergesekan dan
tertekan seperti pangkal paha, belakang lutut dan siku. Selain itu akan
terlihat patch gelap berpigmen dengan skuama (flaky-paint dermatosis).
Anemia
Anemia terjadi pada sebagian besar kasus karena terbatasnya jumlah
protein untuk mensintesis sel darah.
Diare

11
Feses berstruktur lembut dan terdapat partikel-partikel makanan yang
tidak dicerna. Terkadang feses sangat berbau atau cair atau disertai darah.
Moonface
Disebabkan karena pembengkakan di daerah pipi akibat penumpukan
cairan atau lemak di jaringan.
Defisiensi Mikronutrien
Pada kasus kwarshiorkor, lemak subkutan biasanya terpalpasi, dan
jumlahnya mengindikasikan adanya defisiensi energi. Adanya glositis
dengan permukaan lidah yang halus dan merah menunjukkan adanya
defisiensi vitamin B12. Xerosis or xerophthalmia dapat terjadi akibat
defisiensi vitamin A. Defisiensi zinc dan mikronutrien lainnya juga dapat
terjadi.

2. Marasmus
Berikut ini adalah tanda utama marasmus : (FAO, 1997)
Gagal Tumbuh dan Kehilangan Massa Otot
Apabila usia anak diketahui, berat badan anak akan jauh di bawah
standar (di bawah 60 persen dari berat badan normal atau di bawah -3
SD). Pada kasus yang parah, sangat jelas terlihat hilangnya massa otot,
tulang rusuk menonjol, wajah seperti kera (simian appearance), dan
anggota gerak yang sangat kurus. Anak terlihat seperti tulang dan kulit
saja. Kulit terlihat keriput, terutama di sekitar pantat dan paha (Baggy
pants). Ketika kulit dicubit dengan menggunakan telunjuk dan ibu jari,
tidak ditemukan jaringan adiposa.
Kewaspadaan
Anak penderita marasmus akan terlihat pendiam. Anak kurang mudah
tersinggung, berbeda dengan kwarshiorkor.
Nafsu Makan
Anak biasanya memiliki nafsu makan yang baik, mungkin karena mereka
kelaparan. Biasanya mereka menghisap jari tangan atau pakaian atau
apapun yang ada.
Anorexia

12
Diare
Feses lembek, namun bukan tanda yang konstan pada penyakit ini. Diare
juga dapat menjadi faktor pencetus marasmus.
Anemia
Luka pada Kulit
Pada kasus marasmus, biasanya terjadi luka tekanan yang terjadi pada
tonjolan tulang, tidak pada daerah gesekan. Berbeda dengan
kwarshiorkor, pada marasmus tidak ada edema dan flaky-paint
dermatosis.
Perubahan Rambut
Perubahan rambut yang terjadi mirip dengan kwarshiorkor.
Dehidrasi
Biasanya terjadi karena diare yang berat.

3. Marasmic Kwarshiorkor
Anak-anak yang memiliki tanda-tanda dari marasmus dan kwarshiorkor
didiagnosis memiliki marasmic kwashiorkor. Diagnosis ini diberikan
untuk anak dengan gizi buruk yang ditemukan memiliki edema dan berat
badan berdasarkan usia di bawah 60 persen dari normal. Anak dengan
marasmic kwashiorkor memiliki semua tanda marasmus termasuk
kehilangan massa otot yang parah, kurangnya lemak subkutan dan gagal
tumbuh. Selain edema, mereka juga memiliki tanda-tanda dari
kwashiorkor seperti flaky-paint dermatosis, perubahan rambut,
perubahan status mental dan hepatomegali. Banyak dari penderita
marasmic kwarshiorkor yang mengalami diare. (FAO, 1997)

Tabel 1. Perbandingan Tanda Klinis Kwashiorkor dan Marasmus (FAO, 1997)

Feature Kwashiorkor Marasmus

13
Growth failure Present Present

Wasting Present Present, marked

Oedema Present (sometimes Absent


mild)

Hair changes Common Less common

Mental changes Very common Uncommon

Dermatosis, flaky-paint Common Does not occur

Appetite Poor Good

Anaemia Severe (sometimes) Present, less severe

Subcutaneous fat Reduced but present Absent

Face May be oedematous Drawn in, monkey-


like

Fatty infiltration of Present Absent


liver

C.4 Tes Biokimia

Beberapa estimasi biokimia digunakan untuk evaluasi PEM, dan


memberikan hasil yang berbeda pada anak-anak dengan kwashiorkor dan
marasmus dibandingkan anak normal atau mereka dengan PEM sedang.
Pada kwashiorkor terdapat penurunan total serum protein, terutama
albumin. Pada marasmus penurunan tersebut lebih jarang ditemukan.
Peningkatan globulin dalam serum sering terjadi karena infeksi. Serum
albumin yang rendah atau sangat rendah biasanya terjadi pada
kwarshiorkor yang jelas secara klinis. Tingkat albumin serum di bawah
2,8 g / dl menunjukkan risiko tinggi. Penentuan serum albumin relatif
mudah dan murah untuk dilakukan. Tidak seperti tes biokimia lainnya,
penentuan serum albumin dapat dilakukan di laboratorium sederhana di
banyak negara berkembang. (FAO, 1997)

14
Kadar protein serum lainnya yang digunakan adalah pre-albumin dan
transferin. Kadar kedua protein serum tersebut menurun pada
kwarshiorkor dan berguna dalam menilai beratnya. Namun, serum
transferin tingkat juga dipengaruhi oleh status zat besi, yang mengurangi
nilai mereka sebagai indikator kwashiorkor. Kadar retinol binding protein
(RBP) juga cenderung berkurang dalam kwashiorkor dan lebih rendah
lagi pada marasmus. Namun pada penyakit lain, seperti penyakit hati,
kekurangan vitamin A, Zn dan hipertiroidisme, juga dapat mempengaruhi
tingkat RBP. (FAO, 1997)

Pemeriksaan dasar urin 24-jam digunakan untuk mengukur produk


metabolisme protein (kreatinin urin dan nitrogen urea). Ekskresi kreatinin
24-jam kemudian dibandingkan dengan creatinine-height index (CHI).
Ekskresi nitrogen urea 24-jam digunakan bersamaan dengan perhitungan
asupan nitrogen dalam makanan untuk menghitung keseimbangan
nitrogen. (William, 1993; Worthington, 2006)
N balance = (protein intake 6,25) (urinary urea nitrogen + 4)
Catatan : angka 4 menunjukkan nitrogen yang hilang melalui feses dan
kulit.

Tes biokimia lainnya yang direkomendasikan untuk mendiagnosis atau


mengevaluasi PEM memiliki kegunaan yang terbatas. Tes ini tidak
spesifik, dan sebagian besar tidak dapat dilakukan di laboratorium rumah
sakit biasa. Tes-tes tersebut antara lain: (FAO, 1997; Truswell, 2007)
a) Tingkat insulin serum puasa, yang meningkat pada kwashiorkor dan
rendah pada marasmus;

b) Rasio serum asam amino esensial dan non-esensial, rendah pada


kwashiorkor tapi tidak banyak dipengaruhi oleh marasmus;

c) Kadar hidroksiprolin dan kreatinin dalam urin, yang jika rendah


mungkin menunjukkan defisit pertumbuhan dan marasmus.

15
d) Pengukuran Integritas Sistem Imun. Pemeriksaan dasarnya adalah
jumlah limfosit. Pemeriksaan tambahan dapat berupa skin testing,
dengan cara mengobservasi sensitivitas terhadap antigen yang
umumnya telah dikenali, seperti mumps atau purified protein
derivative of tuberculin (PPD). Skin test dibaca setelah 24 dan 48 jam.
Apabila reaksi di kulit lebih dari 5 mm, mengindikasikan adanya
reaksi imun. (William, 1993)

Tabel 2. Kadar Serum Albumin pada Penderita Malnutrisi (FAO, 1997)

Concentration
Interpretation
(g/dl)

_ 3.5 Normal

3-3.4 Subnormal

2.5-2.9 Low

_ 2.5 Pathological

D. Penanganan Nutrisi
D.1 Penanganan Primer
Penanganan primer memerlukan pendekatan multisektoral untuk
mencegah protein energi malnutrisi dan meningkatkan perbaikan gizi di
masyarakat secara kesuluruhan. Pada tingkat pemerintah tindakan
pencegahan dapat dilakukan berupa penyelenggaraan program kesehatan
jangka pendek dan jangka panjang yang dapat mengeradikasi penyebab
protein energi malnutrisi. Pada akhirnya dokter, ahli nutrisi, pekerja
kesehatan masyarakat dan edukator harus bisa berperan aktif untuk
mencegah protein energi malnutrisi di masyarakat bahkan sampai ke
tingkat populasi terkecil (Torun dan Chew, 2002). Intervensi yang
tercakup adalah intervensi untuk meningkatkan asupan nutrisi, intervensi
mikronutrien, strategi mencegah penyakit, dan strategi yang mendukung
peningkatan nutrisi. (Bhutta dkk, 2008)

16
Intervensi untuk meningkatkan asupan nutrisi meliputi pemberian
suplemen protein dan energi yang seimbang selama kehamilan, promosi
untuk menyusui, terutama asi eksklusif selama 6 bulan juga dilakukan
karena dapat menurunkan angka mortalitas pada bayi dan balita. Selain
itu juga dilakukan edukasi mengenai makanan komplementer pendukung
asupan nutrisi.
Intervensi mikronutrien meliputi pemberian makanan yang sudah
difortifikasi mikronutrien, suplementasi dengan kandungan zat besi, atau
alternatif lain berupa penyediaan mikronutrien mengandung zat besi dan
mikronutrien lain dalam bentuk mikroenkapsulasi yang dapat difortifikasi
dalam makanan. Pemberian suplementasi vitamin A.zinc, yodium juga
dapat diberikan pada ibu hamil dan bayi. Pada ibu hamil dapat diberikan
multiple micronutrien dan kalsium. Pada bayi dapat juga dilakukan
penundaan pemutusan tali pusar karena pemutusan tali pusar yang lebih
awal dapat mengurangi transfusi plasenta dan mempengaruhi status zat
besi pada bayi.
Strategi pencegahan penyakit berupa anjuran mencuci tangan sebelum
makan atau melakukan aktivitas, peningkatan kualitas air, sanitasi dan
edukasi tentang kesehatan. Dianjurkan pula penggunaan obat cacing pada
ibu hamil.
Strategi yang terakhir yaitu strategi untuk peningkatan nutrisi yang
dilakukan pemerintah berupa subsidi atau bahan makanan dalam hal
vaksinasi, pelayanan kesehatan, dan juga bahan makanan. Termasuk di
strategi ini adalah upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas
pertanian dan peternakan untuk menghasilkan bahan makanan dari
hewan dan tumbuhan yang baik secara kualitas dan kuantitas (Bhutta
dkk, 2008). Selain itu juga semua anak balita diharapkan rutin datang dan
mengikuti kegiatan posyandu serta diberikan KMS (Kartu Menuju
Sehat). (Depkes, 2006)
D.2 Penanganan Sekunder
Penanganan sekunder meliputi penanganan pada individu yang telah
terdiagnosis protein energi malnutrisi yang meliputi :

17
Pengobatan Awal

Pengobatan awal dimulai saat anak masuk kerumah sakit dan


berlangsung sampai kondisi anak stabil dan nafsu makannya telah
kembali. Biasanya pengobatan ini berlangsung selama 2-7 hari. Langkah-
langkah tambahan diperlukan jika tahap awal memakan waktu lebih lama
dari 10 hari (penanganan tersier).

Tugas pokok selama pengobatan awal adalah:

- Untuk mengobati atau mencegah dehidrasi dan


mengembalikan keseimbangan elektrolit;
- Untuk mengobati atau mencegah hipoglikemia dan hipotermia;
- Untuk mengobati syok septik atau baru mulai dikembangkan, jika ada;
- Untuk mulai memberi makan anak;
- Untuk mengobati infeksi;
- Untuk mengidentifikasi dan mengobati masalah lain, termasuk
kekurangan vitamin, anemia berat, dan gagal jantung.

Tabel 5.1 Jadwal Pengobatan dan Perawatan Anak Gizi Buruk (Depkes
2006)

Hipoglikemia

18
Untuk mencegah hipoglikemia anak harus diberi makan setiap 2 atau 3
jam, jika dicurigai hipoglikemia, pengobatan harus segera diberikan
tanpa konfirmasi laboratorium. Jika anak sadar atau dapat dibangunkan
dan mampu minum dapat diberikan larutan glukosa 10% sebanyak 50 mg
secara oral. Jika anak kehilangan kesadaran, tidak dapat dirangsang, atau
memiliki tanda kejang, berikan 5 ml/kgBB glukosa 10% steril secara IV,
diikuti oleh 50 ml glukosa 10% atau sukrosa menggunakan nasogastric
tube.

Hipotermia

Bayi dibawah 12 bulan, dan mereka dengan marasmus, kerusakan kulit


yang luas atau infeksi yang serius sangat rentan terhadap hipotermia.
Anak dengan hipotermia harus segera dihangatkan. Entah menggunakan
teknik kangguru yaitu menempatkan anak pada dada atau perut ibu
(kulit ke kulit) dan selimuti badan mereka berdua, atau memakaikan anak
tersebut pakaian hangat, termasuk sampai kepala lalu tutup dengan
selimut hangat. Pemanasan tubuh anak juga dapat dilakukan dengan
menempatkan lampu pijar 50 cm dari tubuh anak. Penting untuk diingat,
suhu rektal harus diukur setiap 30 menit selama penghangatan dengan
lampu, karena cepat menyebabkan anak menjadi hipertermia (Depkes
2006, WHO 1999). Hentikan pemanasan bila suhu tubuh sudah mencapai
370 C (Depkes 2006).

Dehidrasi dan syok septik

Bila anak dengan KEP mengalami dehidrasi, maka harus di rehidrasi


secara oral menggunakan ReSoMal : 5 ml/kgBB, tiap 30 menit untuk 2

19
jam pertama dan kemudian 5-10 ml / kg per jam sampai terrehidrasi.
Infus IV sangat mudah menyebabkan overhidrasi dan gagal jantung
sehingga hanya digunakan ketika ditemukan tanda-tanda syok.
Setiap anak dengan syok septik harus segera diberikan antibiotik
spektrum luas dan tetap hangat untuk mencegah atau
mengobati hipotermia. (WHO 1999)

Perbaikan gangguan elektrolit

Pada semua KEP berat terjadi kelebihan natrium (Na) tubuh, walaupun
kadar Na plasma rendah. Defisiensi kalium (K) dan magnesium (Mg)
sering terjadi dan paling sedikit perlu 2 minggu untuk pemulihan.

Ketidakseimbangan elektrolit ini ikut berperan pada terjadinya edema


(jangan obati edema dengan pemberian diuretikum). Yang diberikan :

- Tambahan Kalium 2-4 mEq/kg BB/hari (= 150-300 mg KCl/kgBB/hari)


- Tambahkan Mg 0.3-0.6 mEq/kg BB/hari (= 7.5-15 mg MgCl2
/kgBB/hari)
- Untuk rehidrasi, berikan cairan rendah natrium (Resomal/pengganti)
- Siapkan makanan tanpa diberi garam/rendah garam.

Tambahan K dan Mg dapat disiapkan dalam bentuk larutan yang


ditambahkan langsung pada makanan. Penambahan 20 ml larutan
tersebut pada 1 liter formula, dapat memenuhi kebutuhan K dan Mg.
(Lihat lampiran 6 untuk cara pembuatan larutan).

Penanganan Infeksi

20
Infeksi merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada PEM
berat (Torun & Chew 2002). Umumnya anak malnutrisi sudah terinfeksi
bakteri ketika pertama kali datang ke rumah sakit. Beberapa infeksi
disebabkan organisme yang berbeda-beda. Infeksi saluran pernapasan
merupakan tempat infeksi yang paling sering terjadi (WHO 1999).

Penanganan awal infeksi bakteri dengan antibiotika yang efektif


meningkatkan respon anak untuk makan, mencegah syok septik dan
menurunkan mortalitas. Karena infeksi bakteri sering terjadi dan susah
dideteksi, seluruh anak malnutrisi harus diberikan antibiotika spektrum
luas secara rutin ketika penanganan awal. Pemberian antibiotika
dibedakan menjadi obat lini pertama yang diberikan secara rutin pada
anak malnutrisi berat dan obat lini kedua yang diberikan jika obat lini
pertama tidak memberi hasil atau tidak terdiagnosis secara spesifik.

Obat lini pertama diberikan pada anak dengan tanda infeksi yang tidak
jelas dan tidak terdapat komplikasi. Obat yang diberikan adalah
cotrimoxazole (25 mg sulfamethoxazole + 5 mg trimethoprim/kg) secara
oral 2 kali sehari selama 5 hari. Obat lini pertama juga diberikan pada
anak dengan komplikasi (syok septik, hipoglikemia, hipotermia, infeksi
kulit, infeksi pernapasan dan saluran kemih atau yang terlihat letargi atau
terlihat sakit). Obat yang harus diberikan adalah : ampicillin, 50mg/kg
IM atau IV setiap 6 jam selama 2 hari, dilanjutkan dengan amoxicillin,
15mg/kg secara oral setiap 8 jam selama 5 hari (jika amoxicillin tidak
tersedia, berikan ampicillin, 25mg/kg secara oral setiap 6 jam) dan
gentamicin, 7.5 mg/kg IM atau IV sekali sehari selama 7 hari.

Obat lini kedua diberikan jika pemberian obat lini pertama tidak
mengalami peningkatan dalam waktu 48 jam. Obat yang diberikan adalah

21
chloramphenicol, 25mg/kg IM atau IV setiap 8 jam (atau setiap 6 jam
jika dicurigai meningitis) selama 5 hari. Durasi pemberian obat
tergantung dari respon dan status gizi anak. Antibiotika harus dilanjutkan
paling tidak selama 5 hari. Jika anoreksia masih terjadi setelah 5 hari
pemberian obat, teruskan pemberian obat selama 5 hari. Jika anoreksia
masih terjadi setelah 10 hari pemberian obat, segera periksa ulang secara
keseluruhan. Periksa apakah terdapat infeksi spesifik dan kemungkinan
adanya resistensi, cek juga pemberian vitamin dan mineral apakah sudah
diberikan secara tepat (WHO 1999).

Semua anak malnutrisi harus mendapatkan vaksin campak ketika dibawa


kerumah sakit. Pemberian vaksin yang kedua diberikan sebelum anak
pulang dari rumah sakit (Torun & Chew 2002, WHO 1999). Jika demam
(suhu tubuh >39.5 C atau 103 F), harus diberikan antipiretik.

Koreksi defisiensi mikro nutrien


Semua KEP berat menderita kekurangan vitamin dan mineral. Walaupun
anemia biasa dijumpai, jangan terburu-buru memberikan preparat besi
(Fe), tetapi tunggu sampai anak mau makan dan berat badannya mulai
naik (biasanya setelah minggu ke-2). Fe diberikan setiap hari selama 4
minggu atau lebih dengan dosis: 1 3 mg/kgBB sehari (sirup Sulfas
Ferosus tiap 1 sendok takar = 5 ml mengandung 30 mg elemen besi)

Berikan setiap hari:

- Suplementasi multivitamin
- Asam folat 1 mg/hari (5 mg pada hari pertama)
- Seng (Zn) 2 mg/kgBB/hari
- Tembaga (Cu) 0.2 mg/kgBB/hari
- Bila BB mulai naik: Fe 3 mg/kgBB/hari atau sulfas ferrosus 10
mg/kgBB/hari

22
- Vitamin A oral pada hari I : umur > 1 tahun : 200.000 SI, 6-12 bulan :
100.000 SI, < 6 bulan : 50.000 SI, kecuali bila dapat dipastikan anak
sudah mendapat suplementasi vit.A pada 1 bulan terakhir. Bila ada
tanda/gejala defisiensi vit.A, berikan vitamin dosis terapi.

Mulai pemberian makanan

Pada awal fase stabilisasi, perlu pendekatan yang sangat berhati-nati


karena keadaan anak sangat lemah dan kapasitas homeostatik berkurang.
Pemberian makanan harus dimulai segera setelah anak dirawat dan
dirancang sedemikian rupa sehingga energi dan protein cukup untuk
memenuhi metabolisme basal.

Prinsip pemberian nutrisi pada fase ini adalah :

Porsi kecil tapi sering dengan formula laktosa rendah dan hipo/iso-
osmolar.

Berikan secara oral/nasogastrik

Energi : 80 100 kal/kgBB/hari

Protein : 1 1.5 g/kgBB/hari

Cairan : 130 ml/kgBB/hari (100 ml/kgBB/hari bila terdapat edema)

Bila masih mendapat ASI, tetap diberikan tetapi setelah pemberian


formula.

Anak dengan BB <7 kg berikan makanan bayi / lumat, untuk BB . 7 kg


berikan makanan anak / lunak (Depkes 2006)

Formula khusus seperti F-WHO 75 yang dianjurkan dan jadwal


pemberian makanan harus disusun sedemikian rupa agar dapat mencapai

23
prinsip tersebut di atas. Berikan formula dengan cangkir/gelas. Bila anak
terlalu lemah, berikan dengan sendok / pipet.

Pada anak dengan selera makan baik dan tanpa edema, jadwal pemberian
makanan pada fase stabilisasi ini dapat diselesaikan dalam 2-3 hari saja
(1 hari untuk setiap tahap). Bila asupan makanan tidak mencapai dari 80
Kkal/kg BB/hari, berikan sisa formula melalui pipa nasogastrik. Jangan
beri makanan lebih 100 Kkal/kgBB/hari pada fase stabilisasi ini.

Fasilitasi tumbuh kejar


Pada masa rehabilitasi, dibutuhkan berbagai pendekatan secara gencar
agar tercapai masukan makanan yang tinggi dan pertambahan berat
badan 50 g/minggu. Awal fase rehabilitasi ditandai dengan timbulnya
selera makan, biasanya 1-2 minggu setelah dirawat.

Pada periode transisi, dianjurkan untuk merubah secara perlahan-lahan


dari formula khusus awal ke formula khusus lanjutan :

- Ganti formula khusus awal (energi 75 Kkal dan protein 0.9-1.0 g per 100
ml) dengan formula khusus lanjutan (energi 100 Kkal dan protein 2.9
gram per 100 ml) dalam jangka waktu 48 jam. Modifikasi
bubur/makanan keluarga dapat digunakan asalkan dengan kandungan
energi dan protein yang sama.
- Kemudian naikkan dengan 10 ml setiap kali, sampai hanya sedikit
formula tersisa, biasanya pada saat tercapai jumlah 30 ml/kgBB/kali
(=200 ml/kgBB/hari).
Pemantauan pada masa transisi:
frekwensi nafas
frekwensi denyut nadi

24
Bila terjadi peningkatan detak nafas >5x/menit dan denyut nadi
>25x/menit dalam pemantauan setiap 4 jam berturutan, kurangi volume
pemberian formula. Setelah normal kembali, ulangi menaikkan volume
seperti di atas.

Setelah periode transisi dilampaui, anak diberi:

- Makanan/formula dengan jumlah tidak terbatas dan sering.


- Energi : 150-220 Kkal/kgBB/hari
- Protein 4-6 gram/kgBB/hari
- Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi juga beri formula, karena
energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuh-kejar.

Pemantauan setelah periode transisi:

Kemajuan dinilai berdasarkan kecepatan pertambahan berat badan :


- Timbang anak setiap pagi sebelum diberi makan.
- Evaluasi kenaikan BB setiap minggu
Bila kenaikan BB:

- kurang ( <50 g/minggu ), perlu re-evaluasi menyeluruh :


cek apakah asupan makanan mencapai target atau apakah infeksi telah
dapat diatasi.
- Baik ( 50 g/minggu), lanjutkan pemberian makanan

Berikan stimulasi sensorik dan dukungan emosional


Pada KEP berat terjadi keterlambatan perkembangan mental dan
perilaku, karenanya berikan:

- Kasih sayang
- Lingkungan yang ceria
- Terapi bermain terstruktur selama 15 30 menit/hari

25
- Aktifitas fisik segera setelah sembuh
- Keterlibatan ibu (memberi makan, memandikan, bermain dsb).

Tindak lanjut di rumah


Bila gejala klinis sudah tidak ada dan BB anak sudah mencapai 80%
BB/U, dapat dikatakan anak sembuh. Pola pemberian makan yang baik
dan stimulasi harus tetap dilanjutkan dirumah setelah penderita
dipulangkan.

Peragakan kepada orangtua :

- pemberian makan yang sering dengan kandungan energi dan nutrien yang
padat
- terapi bermain terstruktur.
Sarankan:

Membawa anaknya kembali untuk kontrol secara teratur:


bulan I : 1x/minggu
bulan II : 1x/2 minggu
bulan III : 1x/bulan.
- Pemberian suntikan/imunisasi dasar dan ulangan (booster)
- Pemberian vitamin A setiap 6 bulan.

Penanganan Defisiensi Vitamin

Vitamin A merupakan penyebab utama kebutaan pada anak, oleh karena


itu pemberian dosis besar vitamin A pada anak malnutrisi harus diberikan
pada hari pertama kecuali sudah diberikan pada beberapa bulan
sebelumnya. Dosis yang diberikan adalah : 50.000 International Units
(IU) secara oral untuk bayi <6 bulan, 100.000 International Units (IU)
secara oral untuk bayi 6-12 bulan, dan 200.000 International Units (IU)

26
secara oral untuk bayi >12 bulan. Jika terdapat tanda defisiensi vitamin
A (rabun senja , konjungtival xerosis dengan Bitots spots, corneal
xerosis atau ulserasi, atau keratomalasia), dosis besar harus diberikan
pada hari kedua (dosis sesuai umur), diikuti dengan dosis ketiga (dosis
sesuai umur) selama 2 minggu berikutnya. Dianjurkan untuk pemberian
secara oral kecuali IM pada awal anoreksia berat, malnutrisi oedematous
atau syok septik. Jika terdapat inflamasi okular atau ulserasi, lindungi
mata dengan kapas yang direndam dalam saline 0.9%. tetes mata
tetracycline (1%) harus diberikan 4 kali sehari hingga tanda inflamasi
dan ulserasi berkurang (WHO 1999). Tetes mata atropine (0.1%) juga
dapat diberikan dan mata yang terkena harus ditutup perban karena
gesekan tangan dapat menyebabkan rupturnya ulserasi kornea (Torun &
Chew 2002, WHO 1999). Segera rujuk ke dokter mata (jangan
tambahkan preparat yang mengandung kortikosteroid karena akan
memperberat kondisi mata yang pada akhirnya dapat menyebabkan
kebutaan sertajangan diberi salep supaya tidak ada perlengketan (Depkes
2006).

Semua anak malnutrisi harus mendapatkan asam folat 5 mg secara oral


pada hari pertama dilanjutkan dengan dosis 1 mg per hari pada hari
berikutnya. Banyak anak malnutrisi juga kekurangan riboflavin, asam
askorbat, piridoksin, tiamin, dan vitamin D, E, K. Semua makanan harus
difortifikasi dengan vitamin tersebut dengan menambahkan vitamin
campuran (WHO 1999).

Penanganan Anemia sangat Berat

Anemia sangat berat terjadi jika konsentrasi hemoglobin kurang dari 40


g/l atau hematokrit kurang dari 12%, hal ini dapat menyebabkan gagal
jantung (Torun & Chew 2002, WHO 1999). Anak dengan anemia sangat
berat harus mendapatkan tranfusi darah. Berikan 10 ml packed red blood

27
cell atau darah lengkap (whole blood) per kilogram berat badan secara
perlahan selama 2-3 jam, ulangi setelah 12 sampai 24 jam bila perlu.
Pemberian darah lengkap (whole blood) 10 ml/kgBB dapat dilakukan
pada pasien marasmus, tetapi pada pasien protein energi malnutrisi
dengan edema lebih baik menggunakan packed red blood cell 6 ml/kgBB
(Torun & Chew 2002). Jika tes untuk HIV dan virus hepatitis B tidak
memungkinkan, tranfusi diberikan hanya jika kadar hemoglobin jatuh
dibawah 30 g/l (atau hematokrit dibawah 10%), atau ketika ada tanda
gagal jantung yang mengancam jiwa. Jangan berikan zat besi pada
penanganan fase awal karena memberikan efek toksik (WHO 1999). Beri
furosemide 1 mg/kgBB secara IV pada saat tranfusi dimulai dan hentikan
semua pemberian cairan lewat oral/Naso gastric tube selama anak
ditranfusi (Depkes 2006).

Penanganan Gagal Jantung Kongestif

Gagal jantung kongestif disebabkan kompikasi dari overhidrasi, anemia


berat, tranfusi darah atau plasma, atau diet tinggi natrium. Ketika gagal
jantung disebabkan fluid overload, yang harus dilakukan adalah : 1)
Hentikan semua asupan oral dan cairan intravena, penanganan gagal
jantung harus didahulukan daripada pemberian makan pada anak.
Pemberian cairan tidak diperbolehkan sampai tanda gagal jantung
membaik meskipun itu terjadi selama 24-48 jam. 2) berikan diuretik IV,
pilihan yang terbaik adalah furosemide (1mg/kg). 3) Jangan berikan
digitalis kecuali diagnosis gagal jantung ditegakkan (tekanan vena
jugularis meningkat) dan level plasma kalium normal. Pada kasus ini
diberikan digoxin 5 mg/kg dosis tunggal IV atau secara oral jika IV tidak
tersedia (WHO 1999).

Penanganan Dermatosis pada Kwashiorkor

Dermatotis pada kwashiorkor disebabkan karena hipo- atau


hiperpigmentasi, berupa sisik, lembaran dan ulserasi pada kulit perineum,

28
paha, anggota gerak, dibelakang telinga, dan ketiak. Mungkin saja
terdapat lesi yang luas dan mudah terkena infeksi. Resolusi spontan
terjadi bila asupan gizi anak membaik. Atropi pada kulit area perineum
menunjukkan dermatitis akibat popok yang berat, terutama bila anak
terkena diare. Area popok harus dibiarkan terbuka. Jika area popok
terinfeksi Candida spp., harus ditangani dengan salep atau cream nystatin
(100.000 IU(1 g)) dua kali sehari selama 2 minggu dan anak harus
diberiakn nystatin (100.00 IU empat kali sehari) secara oral. Di beberapa
daerah pemberian zinc dan salep minyak castor, petroleum jelly, atau
parafin dapat mengurangi nyeri dan mencegah infeksi. Pengobatan area
yang terkena dengan larutan kalium permanganat (KmnO4) 1% selama
10-15 menit setiap hari. Salep polyvidone iodine 10% dapat juga
digunakan (WHO 1999).

D.3 Penanganan Tersier


Penatalaksanaan tersier difokuskan pada penanganan komplikasi atau
penyakit penyulit yang dapat menyebabkan pasien gagal merespon terapi
sekunder. Komplikasi tersering pada malnutrisi energi protein adalah
infeksi. Berikut penjelasan tentang beberapa infeksi tersering yang
menyebabkan komplikasi beserta penanganannya.

Diare Persisten
Diare persisten terjadi bila diare berlangsung setiap hari selama 14 hari.
ReSoMal dapat diberikan untuk menangani dehidrasi. Jika tinja dicurigai
mengandung kista dan trofozoid Giardia, tangani dengan cotrimoxazole
5-8 mg/kgBB/hari, periksa dan ganti dengan metronidasol bila
pemeriksaan positif. Berikan metronidazole 30-50 mg/kgBB/hari selama
7-10 hari (Depkes 2006). Setiap anak dengan diare persisten harus
diperiksa apakah terkena infeksi bakteri non-intestinal seperti
pneumonia, sepsis, infeksi saluran kemih, dan otitis media. Obat anti
diare tidak pernah digunakan. Pemberian makanan dapat dilanjutkan

29
dengan hati-hati, yaitu makanan formula bebas yang rendah laktosa.
(WHO, 1999)

Disentri
Disentri ditandai dengan adanya darah di tinja yang biasanya disebabkan
Shigella sehingga penanganannya adalah antibiotika yang sensitif
terhadap Shigella. Pilihan obatnya adalah cotrimoxazole (25mg
sulfamethoxazole + 5mg trimethoprim/kg secara oral 2 kali sehari selama
5 hari) atau ampicillin (25mg/kg 4 kali sehari selama 5 hari). Pada
daerah yang resisten, dapat diberikan Nalidixic acid (15mg/kg 4 kali
sehari selama 5 hari). Apabila disentri disebabkan oleh amoebiasis, dapat
diberikan suspensi oral metronidazole, 10 mg/kg tiga kali sehari selama
510 hari. (WHO, 1999)

Otitis Media
Otitis media sering dihubungkan dengan infeksi saluran napas atas.
Penanganannya dilakukan dengan cotrimoxazole (25mg of
sulfamethoxazole + 5mg of trimethoprim/kg 2 kali sehari), ampicillin (25
mg/kg 4 kali sehari) atau amoxicillin (15 mg/kg 3 kali sehari) selama 5
hari. Gunakan cotton bud untuk mengeringkan cairan yang keluar dari
telinga.

Pneumonia
Pneumonia pada anak, terutama bila napas anak cepat, ditangani dengan
antibiotika oral selama 5 hari. Pilihannya adalah cotrimoxazole
(sulfamethoxazole + trimethoprim), ampicillin atau amoxicillin. Pada
anak dengan napas cepat dan retraksi dada harus ditangani dengan
benzylpenicillin, 50 000 IU/kg IM 4 kali sehari selama 5 hari sampai
terlihat perbaikan, kemudian dilanjutkan dengan ampicillin atau
amoxicillin oral. Oksigen harus diberikan bila laju napasnya lebih dari 70
kali per menit.

30
Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih juga sering terjadi. Penangannya adalah
cotrimoxazole (25mg sulfamethoxazole + 5 mg trimethoprim/kg 2 kali
sehari selama 5 hari) atau berikan ampicillin (25 mg/kg 4 kali sehari
selama 5 hari).

Infeksi Kulit
Infeksi kulit diantaranya pustul, impetigo, fisura (khususnya dibelakang
telinga) dan ulkus indolen. Penanganan pada area yang terinfeksi dengan
sabun dan air, bersihkan debris dan kusta secara hati-hati dengan salline
hangat atau air hangat bersih. Keringkan dengan hati-hati dan aplikasikan
salep polyvidone iodine 10% atau lotion chlorhexidine 5% pada area
yang terinfeksi. Pada area yang meluas dan lebih dalam berikan
benzylpenicillin 50.000 IU/kg IM 4 kali sehari selama 10 hari. Bila
terjadi abses tangani dengan operasi. Sedangkan pada kandidiasis oral,
esofageal, dan rektal dapat diberikan suspensi oral nystatin 100.000 IU 4
kali sehari. Berikan krim nystatin 100.000 IU (1 g) pada area yang
terinfeksi 2 kali sehari selama 2 minggu. Anak dibawah 2 tahun
diberikan ketoconazole 5 mg/kg secara oral sampai keadaan membaik
Pada skabies, berikan anak Lindane, lotion 0,3%, harus diberikan pada
daerah yang terkena, sekali sehari selama 2 hari. Selain itu, benzil
benzoat lotion 25% harus dihindari pada anak malnutrisi. (WHO, 1999)

Tuberkulosis
Tuberkolosis cukup sering menjadi komplikasi dari protein energi
malnutrisi. Diagnosis tuberkulosis ditegakkan dengan X-ray dada dan
pemeriksaan kultur sputum atau sekret trakeal (WHO 1999). Obat
antituberkulosis diberikan hanya ketika tuberkulosis telah terdiagnosis,
jenis obat yang digunakan di Indonesia yaitu :

Tabel 4. Jenis dan Dosis Obat TBC pada Anak (Depkes 2006)

Jenis Obat BB 5 - <10 kg BB 10 - <20 kg BB 20-33 kg

31
Isoniasid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg
Pyrasinamid 150 mg 300 mg 600 mg

Anak-anak dengan infeksi HIV akan meningkatkan risiko TBC dan harus
dirawat jika dicurigai TB. Contoh obat yang direkomendasikan adalah
hepatotoksik, pemberiannya harus hati-hati pada setiap anak dengan
pembesaran hati (WHO, 1999). Penderita yang berat badannya kurang
dari 5 kg harus dirujuk ke rumah sakit. (Depkes, 2006)

Helminthiasis
Infeksi helminthiasis dapat pula di jumpai pada kurang gizi seperti:
Ascariasis, infeksi cacing tambang dan trichuriasis. Infeksi Ascaris
lumbricoides (cacing gelang), Ancylostoma duodenale atau Necator
americanus (cacing tambang), dan Trichuris trichiura (cacing cambuk)
sering dijumpai pada anak-anak yang bermain di luar. Infeksi cacing
cambuk dapat menyebabkan disentri dan anemia. Infeksi cacing tambang
dapat menyebabkan anemia berat. Pengobatan infeksi ini harus ditunda
sampai fase rehabilitasi dari pengobatan kekurangan gizi parah.
Albendazole (400 mg dalam dosis tunggal) dan mebendazole (100 mg
dua kali sehari selama 3 hari untuk pasien rawat inap atau 500 mg dalam
dosis tunggal untuk pengobatan rawat jalan) keduanya efektif pada anak
di atas 2 tahun. Jika obat ini tidak tersedia atau anak di bawah 2 tahun,
cacing tambang dapat diobati dengan pyrantel (10 mg / kg dalam dosis
tunggal) dan ascariasis dengan pyrantel atau piperazine. Piperazine juga
efektif untuk infeksi cacing cambuk. Anak usia 2-12 tahun harus
diberikan 75 mg / kg piperazine dalam dosis tunggal sampai dosis
maksimum 2,5 g, sedangkan mereka yang di bawah 2 tahun diberikan 50
mg / kg dalam dosis tunggal, di bawah pengawasan medis.
Infeksi Strongyloides stercoralis juga sering terjadi pada anak-anak yang
bermain di luar. Diagnosis ditegagkan dengan mendeteksi larva khas
dalam tinja. Albendazole merupakan obat pilihan untuk anak di atas 2

32
tahun, 400 mg harus diberikan dalam dosis tunggal secara oral. Jika
Albendazole tidak tersedia atau anak di bawah 2 tahun, ivermectin dapat
diberikan sebanyak 200g/kg dalam dosis tunggal secara oral.
Tiabendazole juga efektif, tetapi menyebabkan anoreksia yang berbahaya
bagi anak-anak kurang gizi. (WHO, 1999)

Malaria
Komplikasi kurang gizi seperti Malaria didiagnosis dengan mencari
parasit malaria pada pemeriksaan hapusan darah tepi. Malaria sering
muncul selama rehabilitasi pengobatan kurangan gizi. Anak kurang gizi
dengan malaria harus menerima terapi anti malaria dengan dosis
berdasarkan berat badan.
Malaria non-falciparum. Akibat Infeksi Plasmodium ovale dengan, P.
malariae atau P. vivax dapat diobati dengan chloroquine. Dosis total
hariannya adalah 25 mg / kg secara oral diberikan selama 3 hari sebagai
berikut:
Hari 1 dan 2 : 10 mg/kg BB dalam dosis tunggal
Hari 1 dan 3 : 5 mg/kg BB dalam dosis tunggal
Malaria falciparum. Sebuah obat tunggal harus diberikan berdasarkan
rekomendasi nasional. Obat yang dapat direkomendasikan yaitu
chloroquine (seperti di atas), quinine dan pyrimethamine + sulfadoxine.
Dosis quine adalah 8 mg/kgBB secara oral setiap 8 jam selama 7 hari.
Dosis pyrimethamine + sulfadoxine disesuaikan dengan berat badan
anak, sebagai berikut:
5-10 kg : 12.5mg + 250 mg oral dalam dosis tunggal
11-20 kg : 25mg + 500 mg oral dalam dosis tunggal.

AIDS
Anak-anak dengan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)
cenderung menunjukkan malnutrisi berat. Pengobatan kurangan gizi pada
anak dengan infeksi HIV atau AIDS adalah sama seperti anak yang tanpa

33
HIV. Jika pada X-ray ditemukan pneumonia limfositik interstisial, tes
HIV harus dilakukan. Pengobatannya dengan menggunakan steroid.

Penyakit Penyerta yang Serius


Malnutrisi dapat terjadi akibat kelainan bawaan yang belum terdiagnosis,
seperti kesalahan metabolisme bawaan, keganasan, penyakit imunologi
dan penyakit pada organ-organ utama lainnya. Pemeriksaan pada anak
yang gagal merespon pengobatan harus mencakup sumber penyakit
serius yang mendasarinya. Setiap masalah yang diidentifikasi harus
diobati dengan tepat. (WHO, 1999)

RINGKASAN

Malnutrisi didefinisikan sebagai ketidakseimbangan selular antara ketersediaan


nutrisi dan energi dan kebutuhan tubuh untuk pertumbuhan, pemeliharaan, dan

34
fungsi spesifik. Malnutrisi energi protein (PEM) adalah defisiensi energi karena
defisiensi kronis terhadap semua makronutrisi. Umumnya termasuk defisiensi
mikronutrisi PEM dapat terjadi tiba-tiba dan total (kelaparan) atau bertahap.

PEM dapat dibagi menjadi 3, yaitu marasmus, kwashiorkor, dan pertengahan


antara marasmus-kwashiorkor. Marasmus merupakan kurangnya asupan protein
dan kalori dan dikarakteristikkan dengan kurus. kwashiorkor merupakan
kurangnya asupan protein dengan asupan kalori. Penanganannya di bagi menjadi
3 yaitu, penanganan primer, sekunder dan tersier. Penanganan primer memerlukan
pendekatan multisektoral untuk mencegah protein energi malnutrisi dan
meningkatkan perbaikan gizi di masyarakat secara kesuluruhan. Penanganan
sekunder meliputi penanganan pada individu yang telah terdiagnosis protein
energi malnutrisi yang meliputi pengobatan Awal, hipotermia, hipoglikemia,
dehidrasi dan syok septik, perbaikan makanan, penanganan infeksi, penanganan
defisiensi vitamin, penanganan gagal jantung kongestif, penanganan dermatosis
pada kwashiorkor, penanganan anemia sangat berat. Penanganan tersier ,
penatalaksanaan tersier difokuskan pada penanganan komplikasi atau penyakit
penyulit yang dapat menyebabkan pasien gagal merespon terapi sekunder.
Komplikasi tersering pada malnutrisi energi protein adalah infeksi.

35

Anda mungkin juga menyukai