Anda di halaman 1dari 13

IMPETIGO

Luciana Baptista Pereira 1

Abstrak: Impetigo adalah infeksi kulit umum yang sangat lazim terjadi pada
anak-anak. Secara historis, impetigo disebabkan oleh salah satu Streptococcus -
hemolitikus grup A atau Staphylococcus aureus. Saat ini, patogen yang paling
sering diisolasi adalah bakteri Staphylococcus aureus. Artikel ini membahas
tentang faktor mikrobiologis dan faktor virulensi dari Streptococcus -hemolitikus
grup A dan Staphylococcus aureus, serta karakteristik klinis, komplikasi, serta
pendekatan untuk penegakan diagnosis dan tatalaksana dari impetigo. Artikel ini
juga meninjau tentang berbagai agen topikal sebagai terapi untuk impetigo.
Kata kunci: Agen anti-bakterial; Impetigo; Staphylococcus aureus; Streptococcus
pyogenes

PENDAHULUAN
Kulit normal memiliki sejumlah besar koloni dari bakteri yang hidup sebagai
organisme komensal, di mana organisme- organisme tinggal di permukaan rambut atau di
folikel rambut. Kadang-kadang, pertumbuhan berlebihan dari bakteri- bakteri ini dapat
menyebabkan penyakit kulit, dan bakteri yang secara normal ditemukan pada kulit dapat
berkumpul dan menyebabkan berbagai macam penyakit kulit dalam kesempatan lain.[1]
Mikroflora kulit terutama terdiri dari diftheroid aerobik (Corynebacterium spp.), diftheroid
anaerobik (Propionibacterium acnes), dan staphylococci koagulase negatif (Staphylococcus
epidermidis). Berbagai penelitian genetik terbaru menunjukkan jumlah Pseudomonas spp.
dan Janthinobacterium spp. yang besar di kulit yang bebas dari penyakit.[2] Bakteri- bakteri
ini membentuk suatu biofilm pada permukaan kulit. Biofilm ini bersifat kompleks dan
memiliki tangkai, serta merupakan sekumpulan dari satu atau lebih spesies bakteri yang
terkait dengan substansi polimer ekstraseluler. Bakteri- bakteri yang terdapat dalam biofilm
ini adalah jenis yang 50 hingga 500 kali lebih tahan terhadap antibiotik daripada bakteri-

An Bras Dermatol. 2014; 89 (2): 293-9.


bakteri pada plankton (suatu organisme yang memiliki sedikit atau bahkan tidak ada
kemampuan untuk bergerak). Selain menginduksi toleransi antibiotik, biofilm tersebut juga
dapat meningkatkan virulensi dari bakteri.[2] Bayi yang baru lahir biasanya aseptik dan
kolonisasi bakteri mulai terjadi pada dua minggu pertama dari kehidupan.[1]
Berbagai faktor tuan rumah (inang), seperti integritas dari pertahanan kulit dengan
pH-nya yang asam, kehadiran mekanisme sekresi sebaseus (asam lemak, terutama asam
oleat), kehadiran lisozim dan produksi defensin serta status gizi yang memadai turut
memainkan peran penting dalam perlawanan terhadap infeksi ini.[1,3] Adapun faktor- faktor
predisposisi yang mempengaruhi kejadian penyakit kulit, antara lain: kejadian maserasi,
kelembaban, lesi kulit sebelumnya, obesitas, tatalaksana dengan kortikosteroid atau
kemoterapi, disglobulinemia, gangguan leukosit seperti leukemia dan penyakit granulomatosa
kronis, diabetes, malnutrisi, immunodefisiensi kongenital atau immunodefisiensi yang
diperoleh lainnya, seperti misalnya acquired immunodeficiency sindrom (AIDS).[4]
Kebanyakan bakteri yang ada dapat tumbuh dengan baik pada pH netral dan pada suhu
37C.[3]
Tindakan mencuci tangan dengan menggunakan sabun antiseptik atau bahkan sabun
biasa, terutama di kalangan pengasuh anak-anak, akan sangat menurunkan kesempatan
mereka untuk mendapatkan infeksi seperti pneumonia, diare, dan impetigo. Dalam suatu
penelitian terkontrol, penulis mengamati kejadian impetigo yang 34% lebih rendah pada
kelompok yang menjalani program orientasi tindakan mencuci tangan.[5]

KARAKTERISTIK STREPTOCOCCUS
Klasifikasi oleh Lancefield mengenai Streptococcus didasarkan pada karbohidrat
antigen C yang terdapat pada dinding sel, yakni karbohidrat antigen dari A hingga T.
Berbagai varian Streptococcus mungkin saja merupakan bakteri komensal pada kulit, selaput
lendir, dan saluran pencernaan. Isolasi dari Streptococcus kelompok lain selain dari grup A
dapat berarti telah terjadinya suatu infeksi sekunder dari lesi-lesi atau adanya kolonisasi di
permukaan kulit. Streptococcus grup A dapat dibagi lagi menjadi beberapa serotipe
berdasarkan antigenisitas dari protein M yang mereka miliki. Patogenisitas dari Streptococcus
grup A adalah jauh lebih tinggi dari grup lainnya. Bakteri- bakteri ini adalah sekumpulan
bakteri dengan potensi invasif yang dapat mencapai beberapa lapisan jaringan,
seperti epidermis (impetigo), dermis (ecthyma) atau jaringan subkutan yang lebih dalam
(selulit).[6,7] Mereka juga dapat menyebabkan edema lokal, limfadenopati lokal, dan demam.
Penemuan agen- agen ini pada kulit anak- anak yang sehat didahului dengan kemunculan lesi

An Bras Dermatol. 2014; 89 (2): 293-9.


dalam kurang lebih 10 hari dan mereka dapat diisolasi dari orofaring antara 14 dan 20 hari
setelah muncul pada kulit. Dengan demikian, jalan yang akan mereka tempuh adalah dari
kulit normal ke kulit yang terluka dan kemudian dapat mencapai hingga ke orofaring.
Beberapa dekade yang telah dihabiskan untuk melakukan berbagai penelitian
epidemiologi menunjukkan bahwa ada beberapa golongan dari Streptococcus grup A yang
dapat menimbulkan infeksi orofaringeal, tetapi justru jarang menyebabkan impetigo. Di sisi
lain, ada pula kelompok yang berbeda dari golongan ini yang menyebabkan infeksi kulit
tetapi tidak mempengaruhi tenggorokan.[6] Seperti yang telah diketahui bersama, bahwa
berbagai komplikasi dapat menyertai infeksi yang disebabkan oleh Streptococcus grup A,
seperti: demam rematik, glomerulonefritis difus akut, dan eritema nodosum, di mana
komplikasi- komplikasi ini tergantung pada golongan bakteri yang terlibat. Demam rematik
dapat menjadi komplikasi dari faringitis atau tonsilitis yang disebabkan oleh Streptococcus,
tetapi tidak terjadi setelah suatu infeksi kulit. Sebaliknya, glomerulonefritis mungkin terjadi
sebagai akibat dari infeksi Streptococcus di kulit atau infeksi pada saluran pernapasan atas, di
mana sebelumnya kulit adalah situs infeksi utama. Penatalaksanaan dari impetigo tidak
mengurangi risiko kejadian glomerulonefritis, tetapi mampu mengurangi penyebaran bakteri
golongan nefritogenik yang ada di populasi.[4,8] Periode latensi untuk kejadian
glomerulonefritis adalah 7 sampai 21 hari setelah infeksi saluran pernafasan atas dan dapat
berlangsung lebih lama dalam kasus impetigo. Streptococcus beta-hemolitikus grup A tidak
umum diamati sebelum usia dua tahun, tetapi ada peningkatan progresif pada anak-anak
dengan usia yang lebih tua. Glomerulonefritis mempengaruhi hingga 5% dari keseluruhan
pasien yang menderita impetigo.[1,4,8]
Streptococcus dapat diambil melalui kultur dari material lesi pada orofaring atau lesi
pada kulit. Dosis dari anti-streptolisin O mungkin tidak berguna untuk infeksi kulit oleh
karena khasiatnya yang tidak meningkat dengan memuaskan.[1] Tes deteksi cepat untuk
Streptococcus dengan melalui lateks hanya digunakan untuk menunjukkan keberadaan agen
ini di dalam orofaring. Untuk penyakit kulit, maka kita dapat melakukan tes serologis anti
DNA-ase B yang merupakan suatu tes yang berguna untuk menunjukkan kejadian infeksi
Streptococcus sebelumnya (Streptococcus grup A).[1] Namun, selain merupakan suatu uji
dengan sensitivitas yang tinggi dan spesifisitas yang rendah, hanya ada beberapa
laboratorium yang menyediakannya dalam praktek mereka sehari- hari sesuai standarisasi
yang berlaku.

An Bras Dermatol. 2014; 89 (2): 293-9.


KARAKTERISTIK STAPHYLOCOCCUS
Faktor penting sehubungan dengan virulensi infeksi adalah kemampuan bakteri ini
dalam menghasilkan toksin yang beredar dalam jaringan yang bertindak sebagai
superantigen.[9] Superantigen ini mampu melewati langkah-langkah tertentu dari respon imun
dan mampu menyebabkan aktivasi limfosit T secara besar- besaran, dan juga produksi dari
berbagai limfokin seperti interleukin 1 dan 6 serta faktor nekrosis tumor alfa. Mekanisme
tanggapan ini dapat menyebabkan pembentukan erupsi eksfoliatif kutaneus, muntah,
hipotensi, dan syok. Impetigo bulosa dan sindrom kulit melepuh yang disebabkan oleh toksin
stafilokokus dan sindrom syok toksik yang disebabkan oleh toksin stafilokokus atau
Streptococcus adalah contoh dari penyakit yang dimediasi oleh toksin.
Staphylococcus koagulase negatif adalah contohh organisme yang paling umum yang
terdapat sebagi flora kulit normal, yang memiliki sekitar 18 spesies yang berbeda. Sedangkan
contoh lain adalah jenis yang paling umum dari spesies Staphylococcus, yakni
Staphylococcus epidermis.[1] Staphylococcus aureus (koagulase positif) sering ditemukan di
kulit pada anak-anak yang sehat. Status kolonisasi dapat terjadi pada nares yakni sebesar
35% dari keseluruhan populasi, di perineum sebesar 20%, di aksila dan daerah interdigital
sebesar 5 sampai 10%.[10] Kondisi kolonisasi staphylococcal di hidung ditemukan sampai
dengan 62% dari pasien dengan impetigo.[11] Pada pasien dengan dermatitis atopik, kolonisasi
staphylococcal ini dapat ditemukan sampai dengan 90% kasus (kondisi kulit yang kering dan
hiperkeratinisasi akan memfasilitasi perkembangan dari staphylococci.[1] Terutama pada
individu yang memiliki sejumlah besar kolonisasi bakteri ini pada kulit mereka, maka lesi
kulit dapat saja ditimbulkan oleh inokulasi akibat garukan kulit oleh pasien itu sendiri. Jalur
perpindahan bakteri tersebut adalah dari nares atau perineum ke kulit normal, lalu kemudian
ke kulit yang terluka. Faktor tuan rumah (inang) tampaknya menjadi penentu utama dari
timbulnya penyakit ini. Imunosupresi dan kerusakan jaringan dianggap penting dalam proses
patogenesis, karena kemampuannya dalam menghasilkan koagulase, leukocidin, dan toksin
adalah serupa dengan yang dimiliki oleh flora normal pada kulit individu pembawa dan
bakteri yang diisolasi dari lesi kulit.
Staphylococci ditularkan terutama melalui tangan, khususnya dalam ruang lingkup
rumah sakit. Infeksi stafilokokus dapat terjadi pada semua kelompok umur.

An Bras Dermatol. 2014; 89 (2): 293-9.


IMPETIGO
IMPETIGO BULOSA
Secara universal, impetigo bulosa disebabkan oleh organisme tunggal, yaitu
Staphylococcus aureus, terutama Staphylococcus aureus kelompok II (80%); tipe fage 71
(60% kasus). Jenis fage lain yang terlibat adalah 3A, 3C, dan 55.[3,12] Ada suatu deskripsi
yang ditemukan dalam suatu literature yang mengatakan bahwa impetigo bulosa disebabkan
oleh Streptococcus grup A.
Staphylococcus aureus menghasilkan toksin eksfoliatif, yakni suatu protease yang
menghidrolisis salah satu molekul adhesi intraseluler secara selektif (desmoglein-1).
Desmoglein-1 ini terdapat dalam desmosom keratinosit yang terletak di lapisan granular dari
epidermis. Toksin adalah faktor virulensi terbesar dari Staphylococcus aureus, di mana toksin
ini mampu menyebabkan disosiasi dari sel epidermis dengan pembentukan lepuhan. Lepuhan
ini terlokalisir pada impetigo bulosa dan tampak menyebar pada sindrom kulit melepuh.
Setidaknya ada dua jenis toksin eksfoliatif, di mana toksin eksfoliatif A berkaitan dengan
impetigo bulosa dan toksin eksfoliatif B berkaitan dengan sindrom kulit melepuh. Sindrom
kulit melepuh biasanya dimulai setelah infeksi lokal pada konjungtiva, hidung, pusar, atau
daerah perioral, dan lebih jarang terjadi setelah pneumonia, endokarditis, dan arthritis.
Golongan dari Staphylococcus aureus yang memproduksi toksin eksfoliatif sering diisolasi
dari pasien yang menderita impetigo.[13-15]
Impetigo bulosa dimulai dengan suatu lesi kulit berupa vesikel dengan ukuran yang
lebih kecil, yang selanjutnya akan menjadi lepuhan yang flaksid, berukuran diameter hingga
2 cm, di mana berisi cairan yang jernih dan kemudian akan menjadi purulen (Gambar 1).
Dinding dari lepuhan akan mudah pecah sehingga menunjukkan suatu dasar yang
eritematosa, mengkilap, dan basah. Sisa dari dinding lepuhan tersebut dapat dilihat sebagai
lesi collarette (lesi dangkal dengan sisik di bagian tepinya) (lesi dangkal dengan sisik di
bagian tepinya) di bagian pinggiran dan pertemuan dari beberapa lesi menunjukkan tampakan
polisiklik (Gambar 2 dan 3). Impetigo bulosa paling sering terjadi di daerah intertriginosa
seperti daerah popok, aksila dan leher, meskipun area kulit lainnya juga dapat dipengaruhi,
termasuk telapak tangan dan telapak kaki (Gambar 1 dan 2).[1,13] Pembesaran kelenjar getah
bening regional biasanya tidak ada. Hal ini merupakan hal yang sangat penting saat periode
neonatal, yang biasanya dimulai setelah minggu kedua kehidupan, meskipun dapat hadir
sejak pada saat lahir dalam kasus ruptur membran prematur. Impetigo bulosa adalah penyakit
kulit yang paling sering terjadi di antara anak-anak yang berusia 2-5 tahun.[13,15-17]

An Bras Dermatol. 2014; 89 (2): 293-9.


GAMBAR 1: Impetigo bulosa di daerah genital tampak pustula yang intak dan lembek, proses ulserasi
(eksulserasi) dan pecahnya krusta pada lesi lesi collarette (lesi dangkal dengan sisik di bagian tepinya) (lesi
dangkal dengan sisik di bagian tepinya).

GAMBAR 2: Impetigo bulosa - deskuamasi dari lesi collarette (lesi dangkal dengan sisik di bagian tepinya) dan lepuhan yang flaksid.

GAMBAR 3: Impetigo bulosa di daerah popok.

IMPETIGO NON-BULOSA (BERKRUSTA)


Impetigo non-bulosa mewakili lebih dari 70% dari semua kasus kejadian impetigo
yang ada. Impetigo jenis ini umumnya terjadi pada orang dewasa dan anak-anak tetapi jarang
menjangkit anak- anak yang berusia di bawah dua tahun. Agen etiologi utama bervariasi dari
waktu ke waktu. Staphylococcus aureus adalah agen dominan di tahun 40-an dan 50-an, yang
selanjutnya diiringi dengan peningkatan prevalensi dari streptokokkus. Dalam penelitian yang
dilakukan selama tiga dekade terakhir, telah didapati kecenderungan dari Staphylococcus
aureus sebagai agen penyebab utama dari impetigo berkrusta.[16-24] Staphylococcus aureus,

An Bras Dermatol. 2014; 89 (2): 293-9.


baik ia sendiri maupun dalam kombinasinya dengan Streptococcus beta hemolitik grup A,
bertanggung jawab untuk sekitar 80% dari keseluruhan kasus, di mana mereka menjadi agen
terisolasi yang paling sering ditemukan. Meskipun kami belum menemukan penelitian yang
diadakan di Brasil dalam beberapa dekade terakhir mengenai epidemiologi dari impetigo,
akan tetapi data- data dalam artikel kami ini dikuatkan dengan penelitian yang dilakukan di
berbagai negara, seperti di Amerika Serikat, di Israel, di Thailand, di Guyana, di India, di
Cile, dan Jepang.[16-20,22-25] Beberapa peneliti mempercayai kemungkinan yang mengatakan
bahwa Staphylococcus aureus merupakan penyebab sekunder dan bukan agen penyebab
utama.
Impetigo berkrusta dapat terjadi pada kulit normal atau impetiginisasi mungkin
muncul setelah kejadian dermatosis sebelumnya, seperti dermatitis atopik, dermatitis kontak,
gigitan serangga, pediculosis, dan skabies. Malnutrisi dan kebersihan yang buruk merupakan
faktor predisposisi dari penyakit ini. Lesi awal berupa suatu vesikel yang terletak dengan
basis eritematosa dan sangat mudah pecah. Ulserasi superfisial yang dihasilkan ditutupi
dengan pelepasan cairan purulen lalu mengering menjadi krusta yang melengket dan
berwarna kekuningan (berwarna madu). Setiap lesi berukuran diameter 1 cm sampai 2 cm
dan tumbuh secara sentrifugal (Gambar 4). Juga sering ditemukan lesi satelit yang
disebabkan oleh inokulasi dari individu itu sendiri. Ada dominasi dari lesi pada daerah yang
terkena, terutama pada daerah tungkai dan wajah (Gambar 5 dan 6). Limfadenopati regional
adalah gejala yang umum terjadi dan demam dapat terjadi pada kasus- kasus yang berat.[3,26]
Impetigo non-bulosa dapat sembuh secara spontan tanpa pengobatan dalam 2-3 minggu.[13]

GAMBAR 4: vesikel impetigo yang berkrusta, krusta yang berwarna madu dan hematik.

An Bras Dermatol. 2014; 89 (2): 293-9.


GAMBAR 5: Impetigo berkrusta yang terletak di lengan.

GAMBAR 6: Impetigo berkrusta (non-bulosa) pada wajah.

PENGOBATAN
EVOLUSI DARI KETAHANAN BAKTERI
Staphylococcus aureus mudah menyebabkan kondisi yang resisten terhadap
antimikroba sehingga membuat sulit dalam pengobatannya.[27,28] Selama lebih dari 60 tahun,
hampir semua golongan Staphylococcus aureus mampu menghasilkan beta-laktamase
(penisilinase) sehingga bakteri ini menjadi tahan terhadap beta-laktamase sensitif dari
antibiotik. Enzim ini menghidrolisis cincin beta laktam, dan sejauh ini mereka diketahui
memiliki mekanisme resistensi utama terhadap betalaktam antibiotik.[13]
Staphylococcus aureus yang resisten terhadap methicillin (SARM) pertama kali
terdeteksi pada tahun 1961. Kasus-kasus infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus
yang resisten terhadap methicillin (SARM) di masyarakat dilaporkan sekitar tahun 80-an,
akan tetapi kejadian kelompok bakteri ini telah meningkat secara signifikan dalam beberapa
tahun belakangan ini.[27] Infeksi dari Staphylococcus aureus yang resisten terhadap
methicillin (SARM) tidak lagi terbatas pada ruang lingkup rumah sakit, melainkan tingkat
dari Staphylococcus aureus yang resisten terhadap methicillin yang terkait komunitas
(SARM-TK) secara luas telah bervariasi di antara penelitian- penelitian yang ada.[28,29]
Kehadiran Staphylococcus aureus yang resisten terhadap methicillin (SARM) sebagai
agen penyebab dari impetigo pada pasien yang bukan rawat inap dan dengan distribusi

An Bras Dermatol. 2014; 89 (2): 293-9.


heterogen dianggap sebagai hal yang tidak lazim terjadi. Impetigo staphylococcal biasanya
disebabkan oleh golongan Staphylococcus aureus yang memiliki gen toksin eksfoliatif. Pada
sisi lain, kelompok Staphylococcus aureus yang resisten terhadap methicillin yang terkait
komunitas (SARM-TK) tidak memiliki gen toksin eksfoliatif, tetapi memiliki gen Panton-
Valentine-Leucodin (PVL). Staphylococci yang memiliki gen Panton-Valentine-Leucodin
(PVL) dapat menyebabkan infeksi kulit supuratif seperti abses dan furunkel. Oleh karena itu,
keprihatinan tentang Staphylococcus aureus yang resisten terhadap methicillin (SARM)
sehubungan dengan infeksi yang didapat dari komunitas haruslah lebih besar oleh karena
adanya furunkel dan abses yang lebih besar daripada yang ditemukan pada impetigo.[30]

PERAWATAN UMUM PASIEN DENGAN IMPETIGO


Pada pasien dengan impetigo, lesi harus tetap bersih, di mana kulit tetap harus dicuci
dengan sabun dan air hangat, serta setiap sekresi dan krusta juga harus dibersihkan. Sabun
biasa atau sabun yang mengandung zat antiseptik seperti triclosan, chlorhexidine, dan
povidone iodine dapat digunakan. Dalam tinjauan mengenai pengobatan impetigo yang
tercantum dalam Cochrane Database of Systematic Reviews, para penulis melaporkan relatif
kurangnya data yang membahas tentang kemanjuran dari antiseptik topikal. Di sisi lain,
penggunaan antiseptik topikal ini terus berlanjut oleh karena mereka tidak meningkatkan
resistensi bakteri.[31]

INDIKASI PENGOBATAN DENGAN ANTIBIOTIK SISTEMIK


Antibiotik topikal adalah pilihan terapi untuk sebagian besar kasus impetigo.[8,17]
Agen- agen antimikroba sistemik diindikasikan bila ada keterlibatan dari struktur yang lebih
dalam (jaringan subkutan, fascia otot), demam, limfadenopati, faringitis, infeksi dekat rongga
mulut, infeksi pada kulit kepala dan / atau lesi multipel (lebih dari lima) (Gambar 6).

TERAPI ANTIBIOTIK SISTEMIK


Spektrum antibiotik yang dipilih harus mencakup staphylococci dan streptococci, baik
untuk impetigo bulosa serta untuk impetigo berkrusta. Dengan demikian, benzatin penisilin
atau antibiotik yang sensitif terhadap penicillinases tidak diindikasikan dalam pengobatan
impetigo.[31,32] Penisilin yang resisten terhadap penisilinase (oksasilin, kloksasilin,
dicloxacillin) dapat digunakan, tetapi kesulitan terutama disebabkan oleh tidak adanya
formulasi khusus untuk penggunaan secara oral di Brasil. Sefalosporin generasi pertama,

An Bras Dermatol. 2014; 89 (2): 293-9.


seperti sefaleksin dan sefadroksil juga dapat digunakan, karena tidak ada perbedaan di antara
mereka yang ditemukan dalam sebuah metaanalisis.[31]
Eritromisin, dengan harga yang lebih murah, bisa menjadi antibiotik pilihan untuk
populasi dengan keadaan ekonomi yang lemah. Setiap dari kita harus mempertimbangkan
kemungkinan resistensi terhadap Staphylococcus aureus, yang dapat terjadi pada berbagai
tingkat yang berbeda-beda, tergantung pada populasi yang diteliti.
Makrolida lainnya seperti klaritromisin, roxithromycin, dan azitromisin memiliki
keuntungan dengan efek samping yang lebih sedikit terhadap saluran pencernaan, serta
posologi yang lebih nyaman, meskipun dengan biaya yang lebih tinggi. Golongan
stafilokokus yang tahan terhadap eritromisin juga akan tahan terhadap klaritromisin,
roxithromycin, dan azitromisin.
Amoksisilin yang terkait dengan asam klavulanat adalah kombinasi dari satu jenis
penisilin dengan agen penghambat beta-laktamase (asam klavulanat), sehingga
memungkinkan cakupan yang memadai terhadap streptococcus dan stafilokokus.
Clindamycin, sulfamethoxazole / trimethoprim, minocycline, tetracycline, dan
fluoroquinolones adalah antibiotik pilihan untuk Staphylococcus aureus yang resisten
terhadap methicillin (SARM).

PENGOBATAN TOPIKAL
Ada bukti kuat mengenai keunggulan atau setidaknya kesetaraan dari antibiotik
topikal jika dibandingkan dengan antibiotik oral dalam pengobatan impetigo yang
terlokalisir. Selain itu, antibiotik oral memiliki efek samping yang lebih banyak daripada
antibiotik topikal.[31,32]
Mupirocin dan asam fusidic adalah pilihan terapi pertama. Dalam publikasi dari suatu
meta-analisis, didapati bahwa tidak ada perbedaan antara dua agen ini.[31,32] Untuk saat ini,
hanya ada satu penelitian yang membandingkan retapamulin dan asam fusidic, di mana
penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan secara statistik di antara dua produk
tersebut.[31] Kombinasi neomycin dan bacitracin tidak menyebabkan eradikasi dari bakteri ini.

ANTIBIOTIK TOPIKAL - KARAKTERISTIK ASAM FUSIDIC


Asam fusidic sangat efektif terhadap Staphylococcus aureus, dengan penetrasi yang
baik ke permukaan kulit dan konsentrasi tinggi di tempat infeksi. Pada tingkat lebih rendah,
hal ini juga efektif terhadap Streptococcus dan Propionibacterium acnes. Basil gram negatif
adalah jenis bakteri yang resisten terhadap asam fusidic.[33]

An Bras Dermatol. 2014; 89 (2): 293-9.


Resistensi asam fusidic, baik secara in vitro maupun in vivo, telah diverifikasi tetapi
hanya pada tingkat yang rendah.[33-36] Karena asam jenis ini termasuk ke dalam kelompok
fusidanes, maka ia memiliki struktur kimia yang sangat berbeda dari kelas-kelas antibiotik
lainnya, seperti betalaktam, aminoglikosida, dan makrolida, sehingga mampu mengurangi
kemungkinan resistensi silang.
Insiden dari reaksi alergi termasuk rendah dan reaksi alergi silang belum pernah
terjadi. Antibiotik ini tidak dipasarkan di Amerika Serikat. Tidak seperti di Eropa, di Brazil
obat jenis ini hanya dapat ditemukan dalam sediaan krim 2%, dan dengan demikian tidak
tersedia untuk penggunaan oral.

MUPIROCIN
Mupirocin (asam pseudomonic A) adalah metabolit utama dari fermentasi
Pseudomonas fluorescens.[37] Struktur kimianya tidak berhubungan dengan agen antibakteri
dan tidak ada kecenderungan terjadinya resistansi silang dengan antibiotik lainnya oleh
karena mekanisme yang unik dari aksinya. Mupirocin bertindak dengan menghambat sintesis
protein bakteri, dengan cara berikatan dengan enzim sintetase isoleucyl-tRNA, sehingga
mampu mencegah inkorporasi isoleusin ke dalam rantai protein. Obat ini adalah sangat
efektif terhadap Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, dan semua spesies lain dari
streptococcus kecuali dari kelompok D. Obat ini kurang efektif terhadap bakteri Gram-
negatif, tetapi menunjukkan aktivitas secara in-vitro terhadap Haemophilus influenzae,
Neisseria gonorrhoeae, Pasteurella multocida, Bordetella pertussis, dan Moraxella
catarrhalis. Obat ini tidak aktif terhadap bakteri dari flora kulit normal sehingga tidak
mengubah pertahanan alami dari kulit. Aktivitas bakterisidal yang dimiliki oleh mupirocin
akan meningkat dengan pH asam pada kulit. Mupirocin dapat membasmi Staphylococcus
aureus pada kulit.
Tingkat resistensi bakteri termasuk rendah, yakni sekitar 0,3% untuk golongan
Staphylococcus aureus. Resistensi dari staphylococcus aureus yang resisten terhadap
methicillin (SARM) terhadap mupirocin sudah pernah dilaporkan sebelumnya.[8]
Reaksi merugikan dilaporkan terjadi dalam 3% dari keseluruhan pasien, di mana
keluhan gatal-gatal dan iritasi di lokasi aplikasi adalah hal yang paling umum. Fotoreaksi
adalah keluhan yang tidak mungkin terjadi karena berbagai sinar ultraviolet yang diserap oleh
produk ini tidak mampu menembus lapisan ozon. Penyerapan sistemik termasuk cukup
minimal, dan komponen kecil yang diserap akan dengan cepat diubah menjadi metabolit
tidak aktif, sehingga hal ini menjadi alasan mengapa tidak tersedianya formulasi oral atau

An Bras Dermatol. 2014; 89 (2): 293-9.


parenteral. Penggunaan di daerah yang lebih luas atau pada pasien dengan luka bakar tidak
direkomendasikan, karena risiko nefrotoksisitas dan potensi penyerapan dari substansi
pembawa obat (polietilen glikol), khususnya pada pasien dengan insufisiensi ginjal. Di
Amerika Serikat sudah ada formulasi salep mupirocin tanpa polyethylene glycol. Hal ini
dianggap aman dan efektif pada pasien yang berusia lebih dua bulan. Hal ini tercantum dalam
kategori B untuk digunakan bagi wanita hamil yang sedang menyusui.[38]
Di Brazil sendiri, produk ini ditemukan dalam bentuk krim 2%.

KOMBINASI NEOMYCIN DAN BACITRACIN


Aminoglikosida mengerahkan aktivitas antibakteri mereka dengan cara mengikat
subunit ribosom 30S dan mengganggu sintesis protein dari bakteri. Neomycin sulfate adalah
antibiotik dari grup aminoglikosida yang paling umum digunakan dalam bentuk topikal. Obat
jenis ini adalah hasil fermentasi dari Streptomyces fradiae. Formulasi yang tersedia secara
komersial adalah campuran dari neomycin B dan C, sedangkan framycetin yang digunakan di
Kanada dan di beberapa negara Eropa, terdiri dari neomycin B murni. Neomycin sulfate aktif
terutama terhadap bakteri Gram negatif aerobik (Escherichia coli, Enterobacter aerogenes,
Klebsiella pneumoniae, Proteus vulgaris). Sebagian besar spesies Pseudomonas aeruginosa
termasuk ke dalam golongan bakteri yang resisten terhadap obat ini. Aktivitasnya terhadap
bakteri Gram-positif kebanyakan terbatas. Streptococcus pneumoniae dan Streptococcus
pyogenes sangat tahan terhadap neomycin, sehingga hal ini menjadi alasan obat ini
dikombinasikan dengan bacitracin untuk mengobati infeksi kulit. Meskipun Staphylococcus
aureus merupakan bakteri Gram positif yang mampu dihambat oleh neomycin, akan tetapi
penggunaan topikal dari obat tidak mampu memberantas bakteri tersebut dari kulit. Hal ini
disebabkan oleh inferioritas yang dimilikinya jika dibandingkan dengan asam fusidic dan
mupirocin. Asosiasi ini tidak efektif terhadap Staphylococcus aureus yang resisten terhadap
methicillin (SARM).[13]
Insiden dermatitis kontak dengan sensititasi relatif tinggi, terjadi pada 6-8% dari
keseluruhan pasien yang menggunakan obat ini dalam bentuk topikal. Pasien yang
tersensitasi mungkin mengalami reaksi silang ketika turut menggunakan aminoglikosida
topikal atau sistemik lainnya.
Obat ini tersedia di Brazil dalam bentuk salep, baik tunggal ataupun dalam kombinasi
dengan bacitracin. Asosiasi penggunaannya dengan kortikosteroid topikal dan / atau agen
anti-jamur sangat tidak dianjurkan.

An Bras Dermatol. 2014; 89 (2): 293-9.


Bacitracin adalah antibiotik topikal yang awalnya berasal dari bakteri Bacillus subtilis
yang pertama kali diisolasi dari pasien yang mengalami patah tulang dan terkontaminasi oleh
tanah (baci, bacillus + tracina, berasal dari nama pasien yaitu Tracy). Obat ini adalah
polipeptida yang dibentuk oleh beberapa komponen (A, B dan C). Bacitracin A adalah
komponen utama dari produk komersil dan umumnya dirumuskan sebagai garam zinc. Ia
bekerja dengan mengganggu pembentukan dari dinding sel bakteri. Obat ini aktif terhadap
kokus Gram-positif seperti staphylococci dan streptococci. Kebanyakan mikroorganisme
Gram-negatif dan ragi adalah resisten untuk obat ini.
Efek samping yang sering dilaporkan adalah dermatitis kontak, dan yang lebih jarang
ialah syok anafilaksis.
Di Brazil, obat ini tersedia dalam bentuk salep dan dalam kombinasi dengan
neomycin.

RETAPAMULIN
Retapamulin adalah agen semi-sintetik yang berasal dari jamur merang yang disebut
Clitopilusscyphoides. Aktivitas antibakterinya terjadi melalui penghambatan dari sintesis
protein dengan cara berikatan secara selektif dengan ribosom bakteri. Obat ini efektif
terhadap Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes.[39,40]
Pengobatan klinis dari impetigo dengan retapamulin ditemukan berjalan dengan baik,
jika dibandingkan dengan plasebo. Sebagai obat bakteriostatik, maka pemberantasan bakteri
mungkin tidak terjadi, bahkan setelah kesembuhan klinis dari impetigo.[39,40] Retapamulin
tidak diindikasikan untuk infeksi Staphylococcus aureus yang resisten terhadap methicillin
(SARM). Obat ini kurang efektif pada lesi traumatik dan penyakit yang disertai dengan
pembentukan abses [biasanya disebabkan oleh bakteri anaerob dan Staphylococcus aureus
yang resisten terhadap methicillin (SARM)].[39,40]
Obat ini tersedia dalam bentuk salep 1%, dan dapat digunakan pada anak-anak yang
berusia lebih dari 9 bulan.[39]

An Bras Dermatol. 2014; 89 (2): 293-9.

Anda mungkin juga menyukai