Anda di halaman 1dari 24

Refarat

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA RESTLESS LEGS SYNDROME

Oleh :
Henry Crosby 15014101273
Milary Wuisan 15014101305
Tazy A.P. Mashanafi 15014101340

Masa KKM :
11 September 08 Oktober 2017

Supervisor Pembimbing
Dr. dr. Herlyani Khosama, SpS (K)

BAGIAN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
BLU RSUP PROF DR R. D KANDOU MANADO
2017
BAB I
PENDAHULUAN

Restless Legs Sydrome (RLS) merupakan kelainan neurologis yang


dikarakteristikkan dengan adanya dorongan yang tidak tertahankan
menggerakkan ekstremitas, yang terjadi pada sebagian atau seluruh kaki,
yang dapat berkurang dengan pergerakan, dan yang biasanya terjadi saat
istirahat atau pada malam hari, yang nantinya dapat menyebabkan timbulnya
gangguan tidur. RLS sering disamakan dengan anxiety atau kecemasan
karena sebagian besar pasien mengeluhkan rasa gelisah ketika mau tidur.
Diagnosis dari RLS juga sering keliru oleh karena cara penggambaran yang
berbeda dari setiap penderitanya.1
Penjelasan mengenai hubungan RLS dengan gangguan tidur terjadi
pada tahun 1672. Karl Axel Ekbom adalah orang yang pertama kali
memberikan penjelasan rinci mengenai ciri dari kelainan ini, dan menamainya
dengan asthenia crurum paraesthetica. Pada tahun 1945 Ekbom
memberikan istilah baru, yaitu Restless Legs Syndrome atau disebut juga
dengan Ekbom Syndrome.2,3
Prevalensi RLS berkisar antara 2,5 sampai 15% populasi umum,
meningkat seiring bertambahnya usia dan dengan kecenderungan wanita.
Diagnosisnya berdasarkan klinis dan dapat dilakukan polisomnografi yang
bermanfaat untuk mengetahui dampaknya terhadap tidur dan untuk
membuktikan gerakan kaki periodik saat tidur dan bangun. RLS umumnya
idiopatik, dengan asosiasi dalam keluarga 40-60% kasus, namun dapat juga
merupakan gejala dari kondisi terkait (bentuk sekunder) sepertii neuropati
perifer, uremia, kekurangan zat besi, diabetes, penyakit Parkinson dan
kehamilan. Respon terhadap obat dopaminergik menunjukkan bahwa reseptor
dopamin terlibat, dan walaupun banyak kemajuan telah dicapai dalam
diagnosis dan pengobatan dalam dekade terakhir, lebih banyak diperlukan
penjelasan lengkap mengenai RLS. 2,3
BAB II
ISI

A. Definisi
Restless legs syndrome (RLS) adalah gangguan neurologis pada anggota
gerak tubuh yang sering dikaitkan dengan keluhan tidur. Pasien dengan RLS
mengeluhkan sensasi seperti dorongan yang hampir tak tertahankan untuk
menggerakkan kaki, yang tidak menyakitkan namun sangat mengganggu. RLS dapat
menyebabkan kecacatan fisik dan emosional yang signifikan.4

B. Etiologi
Penyebab RLS dibagi menjadi dua yaitu primer dan sekunder. Dalam
kebanyakan kasus, RLS primer merupakan gangguan sistem saraf pusat yang
idiopatik. Penyakit idiopatik merupakan familial pada 25-75% kasus. Dalam kasus
familial, RLS mengikuti pola warisan autosomal dominan atau resesif.
Pasien dengan RLS familial cenderung memiliki usia yang lebih dini (<45
tahun) dan perkembangan penyakit yang lebih lambat. Faktor psikiatri, stres, dan
kelelahan bisa memperburuk gejala RLS.
RLS sekunder dapat berkembang sebagai akibat dari kondisi atau faktor
tertentu, terutama kekurangan zat besi dan neuropati perifer. 5,6
Penyebab lain dari RLS adalah sebagai berikut:
- Defisiensi folat atau magnesium
- Amiloidosis
- Diabetes mellitus
- Radikulopati lumbosakral
- Penyakit Lyme
- Gammopati monoklonal signifikansi yang belum ditentukan
- Radang sendi
- Sindrom Sjgren
- Uremia
- Kekurangan vitamin B12
RLS terjadi pada 25-50% pasien penyakit ginjal stadium akhir yang
mengeluhkan gejala yang menggangu selama hemodialisis. Satu studi menemukan
bahwa hiperfosfatemia, kegelisahan, dan tingkat emosi yang tinggi dalam mengatasi
stres terkait dengan munculnya gejala RLS pada pasien dengan uremia yang
menjalani hemodialisis. RLS dapat membaik setelah transplantasi ginjal.
Obat berikut telah diketahui menyebabkan atau memperparah gejala RLS:
- Obat antidopaminergik (misalnya neuroleptik)
- Diphenhydramine
- Antidepresan trisiklik
- Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI)
- Serotonin-norepinepherine reuptake inhibitor (SNRI)
- Alkohol
- Kafein
- Lithium
- Penghambat beta

Fisiologi Tidur
Tidur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, kebutuhan tidur untuk
semua umur berbeda. Tidur merupakan keadaan berkurangnya tanggapan dan
interaksi dengan lingkungan yang bersifat reversibel dan berlangsung cepat.35
Rekaman electroencephalography (EEG) dan rekaman fisiologis yang
dilakukan sewaktu tidur mendefinisikan dua tahap tidur yang nyata, yaitu : rapid eye
movement (REM) dan non-rapid eye movement (NREM). 36
Tidur NREM dibagi atas 4 stadium : stadium 1 (tidur ringan), stadium 2 (tidur
konsolidasi), dan stadium 3 dan 4 (tidur dalam atau tidur gelombang lambat).
Pembagian tingkat tidur ini mengacu kepada 3 variabel fisiologis, yaitu :
electroencephalography (EEG), electromyography (EMG), electroocculography
(EOG).36
Stadium 1 adalah keadaan mengantuk, tidur ringan, pupil mata kontriksi dan
dilatasi secara lambat, bola mata bergerak pelan bolak-balik, kelopak mata tertutup
sebagian atau semuanya. Bila pada saat stadium 1 ini diukur terhadap rangsangan,
terlihat melamban dan ketajaman intelektual menurun.Terdapat penurunan respon
secara objektif. Di tempat tidur, orang dengan stadium 1, tidur ringan dan bergerak
atau menggeliat ringan.36 Stadium 2 adalah individu merasa tertidur bila individu
tersebut dibangunkan. Namun, sebagaimana dengan stadium 1, ada individu yang
merasa bahwa ia cukup sadar terhadap sekelilingnya, tetapi ia tidak menyadari
seberapa jauh kesadarannya menumpul. Pada stadium ini gerakan badan berkurang
dan ambang bangun terhadap rangsang taktil dan bicara lebih tinggi dan juga
terhadap rangsang pergerakan badan. Tiga pola utama gambaran EEG menandakan
mulanya stadium 2 ini, yaitu adanya sleep spindle ( yaitu kelompok gelombang 40-
100 muV dengan frekuensi 10-16Hz, berlangsung selama 0,5-3 detik, kadang lebih
lama). Juga terdapat gelombang panjang vertex atau gelombang V dan K- kompleks.
K-kompleks dan gelombang vertex dapat bersamaan atau mendahului sleep spindle. 36
Stadium 3 dan 4 adalah slow wave sleep (SWS), tidur gelombang lambat.
Stadium ini merupakan tingkat tidur yang paling dalam, ditandai oleh imobilitas dan
lebih sulit dibangunkan, dan terdapat gelombang lambat pada rekaman EEG. Fase
tidur ini sering disebut juga sebagai tidur gelombang delta atau tidur dalam. Transisi
dari stadium 2 ke stadium tidur gelombang lambat sulit ditentukan. Spindles dapat
berlanjut walaupun tidur gelombang lambat sudah muncul, dan K- kompleks (yang
juga merupakan gelombang lambat voltase tinggi) bergabung menjadi gelombang
lambat. Stadium tidur gelombang lambat ini bervariasi berkaitan dengan usia. Orang
yang berusia lebih dari 60 tahun dapat tanpa tidur gelombang lambat, dan anak yang
sangat muda dapat mempunyai banyak gelombang lambat voltase tinggi walaupun ia
masih tidur ringan. Stadium 3 ditandai oleh gambaran EEG dengan jumlah
gelombang lambat 20 % dan tidak melebihi 50 %, terdiri dari gelombang 2 Hz
dengan amplitudo > 75 muV. Stadium 4, pada rekaman EEG didapatkan 50 % atau
lebih gelombang lambat ( 2 Hz dengan amplitudo > 75 muV). Stadium 3 dan 4
umumnya dianggap satu, sebagai stadium tidur gelombang lambat.36
Waktu tidur normal, stadium ini cenderung terjadi berurutan. Umumnya, dari
keadaan bangun seseorang jatuh ke tingkat 1 tidur, diikuti tingkat 2, 3 dan 4 dan tidur
REM. Urutan stadium tidur, yang berakhir pada tidur REM, membentuk satu siklus
tidur. Lama serta isi siklus tidur (sleep cycle) berubah sepanjang malam dan usia.
Persentase tidur-dalam paling tinggi pada siklus-tidur pertama dan kemudian
mengurang dengan melanjutnya malam dan lamanya tidur. REM meningkat
sepanjang malam. Bila dijumlahkan stadium tidur pada dewasa muda yang normal,
tingkat 1 mengambil 5 % dari malam, tingkat 2 mengambil 50 % dari malam dan
tidur REM juga tidur gelombang lambat masing masing 20-25 %. Persentase relatif
ini berubah dengan usia, demikian juga lamanya siklus. Pada bayi, satu siklus normal
berlangsung kira-kira satu jam, dan pada dewasa selama kira-kira 1,5 jam. Gerak
badan yang singkat, yang menemani bangun (arousal) menandai transisi ke dan dari
tidur REM. Persentase tidur gelombang lambat (SWS) paling tinggi pada permulaan
tidur dan tidur REM meningkat di pagi hari. Bagian REM pada siklus tidur
meningkat dengan melanjutnya malam.36

C. Patofisiologi
Patogenesis RLS saat ini masih belum jelas. Mekanisme yang paling banyak
diterima melibatkan komponen genetik, bersamaan dengan kelainan pada jalur
dopamin subkortikal sentral dan gangguan homeostasis besi.8,9
Saat antagonis reseptor dopamin yang bekerja sentral diberikan pada pasien
dengan RLS, maka gejala akan direaktivasi. Hasil dari single-photon emission
computed tomography (SPECT) menunjukkan defisiensi reseptor dopamin D2.
Kelainan homeostasis besi juga telah didapatkan melalui pengukuran profil besi
cairan serebrospinal.8,9
Selain itu, para peneliti telah menunjukkan peningkatan keparahan RLS
dengan berkurangnya kemampuan transporter serotonin di batang otak, yang
mendukung hipotesis bahwa peningkatan transmisi serotonin di otak dapat
memperburuk RLS.10
RLS dapat disebabkan faktor genetik atau familial. Berbagai kromosom yang
terlibat yaitu 12q, 14q, 9p, 20p, 4q, dan 17p, secara autosomal dominan dan
resesif.8,11
Beberapa bukti lainnya juga menghubungkan patofisiologi RLS dengan
sistem opioid, mekanisme batang otak, hormon steroid, neuropati perifer, atau
kelainan vaskular.
1. Defisiensi zat besi
Ada bukti yang menyatakan peranan besi dalam RLS, kebanyakan
karena terdapatnya defisit besi pada kasus RLS sekunder (contohnya penyakit
ginjal stadium akhir, kehamilan, dan anemia defisiensi besi). 2,3
Konsentrasi besi dalam darah mengikuti ritme sirkardian, konsenterasi
besi dalam darah akan menjadi lebih rendah 50-60% pada malam hari
dibandingkan pada siang hari. Kadar besi yang rendah pada waktu malam ini
berhubungan dengan munculnya atau memburuknya gejala RLS pada waktu
malam. Saat kadar besi dalam darah mencapai kadar terendah, disinilah terjadi
gejala RLS yang paling maksimal.3
Penelitian yang menggunakan pengukuran cairan serebrospinal, MRI,
dan otopsi untuk menentukan status besi pada orang dengan RLS
menyimpulkan adanya kekurangan zat besi pada otak pasien dengan RLS.
Besi adalah kofaktor dari tyrosine hydroxylase, yang merupakan enzim yang
digunakan untuk sintesis dopamin. Oleh karena itu, besi diperlukan untuk
sintesis dopamin dan defisiensi dari besi dapat menyebabkan gangguan dari
produksi dopamin.2,3
2. Defisiensi dopamin
Respon positif dari pengobatan dengan mengunakan dopamin dosis
rendah dan memburuknya gejala dengan dopamine release blocker
(metoclopramide dan pimozise) menegaskan adanya peran penting dopamin
dalam patofisiologi dari RLS. Akan tetapi peranan dopamin ini juga diragukan
karena pada pemeriksaan functional neuroimaging of nigrostriatal
dopaminergic dysfunction pada pasien dengan RLS idiopatik ditemukan
bahwa secara keseluruhan pasien dengan RLS tidak memiliki defisiensi
dopamin. Fakta ini juga didukung dengan hasil pemeriksaan patologi yang
menyatakan bahwa tidak ditemukan sel dopaminergik yang hilang pada
bagian tersebut.2,3
Sistem dari dopamin merupakan ekspresi sirkardian. Kadar dari
dopamin akan meningkat pada pagi hari dan mencapai kadar yang terendah
pada tengah malam. Ini menjelaskan mengapa gejala dari RLS muncul atau
lebih memburuk pada malam hari dan respon neuroendrokrin orang dengan
RLS terhadap pemberian levodopa lebih bermakna jika diberikan pada malam
hari dibandingan pagi hari.2,3
3. Sistem opioid
Terlibatnya sistem opioid dalam RLS dikemukan berdasarkan bukti
adanya efektifitas pengobatan opioid pada pasien dengan RLS. Pemberian
naloxone pada pasien yang diterapi dengan opioid akan mengakibatkan
reaktifitas dari gejala RLS. Akan tetapi efek ini tidak konsisten terjadi pada
pasien yang diobati dengan menggunakan agen dopaminergik. Pemberian
naloxone pada pasien yang tidak diterapi dengan opioid juga tidak
menunjukkan adanya perburukan dari gejala RLS.2
4. Sistem medula spinalis
Keterlibatan medula spinalis pada patofisiologi RLS dikemukan
adanya gejala sensoris dan motoris yang terjadi secara bilateral dan
terlokalisasi secara segmental pada kebanyakan kasus. Ada dugaan bahwa
impuls sensorik dari perifer ke korteks sensorik dipengaruhi oleh ketinggian
dari medula spinalis yang terkena. Ada beberapa laporan kasus yang
menyatakan adanya hubungan antara RLS dengan kelainan pada spinal
seperti radikulopati lumbosakral, mielitis akibat borrelia, mielitis tranversa,
cedera vaskular di batang otak, lesi traumatik atau mielopati spondilosis
servikal. Kebanyakan penyakit kelainan spinal ini juga memberikan respon
positif pada terapi dopamin. Akan tetapi, belum ada bukti adanya hubungan
ini karena kelainan spinal lebih berhubungan dengan timbulnya PLM. Pada
kelainan spinal yang murni seperti syringomyleia atau syringobulbia
ditemukan bahwa 62% pasien memiliki gejala PLM namun tidak satupun dari
mereka memiliki gejala RLS.2
5. RLS pada wanita hamil
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa RLS lebih sering terjadi pada
perempuan dan risiko ini akan meningkat sesuai dengan jumlah kehamilan
yang dialaminya. Kira-kira 25% dari wanita yang hamil pernah mengalami
RLS dengan prevalensi paling tinggi pada trimester akhir.1,3 Etiologi dari RLS
pada wanita hamil diduga karena adanya defisiensi dari besi dan asam folat
dan perubahan hormonal yang terjadi pada waktu kehamilan.2
Pada wanita hamil, kebutuhan besi meningkat menjadi 3-4 kali lipat
dan kebutuhan asam folat meningkat menjadi 8-10 kali lipat. Defisiensi dari
kadar besi dan asam folat ditemukan pada wanita hamil dengan RLS dan
gejala ini membaik pada saat kadar besi dan asam folat kembali normal yaitu
setelah melahirkan.3
Pada wanita hamil, kadar hormon estrogen, progesteron, dan prolaktin
juga akan meningkat dalam plasma darah. Diketahui juga bahwa pada
kehamilan minggu ke-35 sampai minggu ke-12 post partum terjadi
peningkatan estradiol pada wanita hamil dengan RLS. Pada saat inilah wanita
hamil tersebut mengalami gejala RLS. Setelah melahirkan, kadar estradiol
akan kembali normal dalam darah yang diikuti dengan menghilangnya gejala
RLS.2
Pengaruh hormonal ini juga diteliti pada kelompok transeksual yang
diterapi dengan terapi hormonal. Pada kelompok transeksual laki-laki menjadi
perempuan yang diterapi dengan estrogen dilaporkan memiliki prevalensi
timbulnya gejala RLS yang tinggi dibandingkan dengan kelompok transeksual
perempuan menjadi laki-laki yang diterapi dengan hormon testorsteron.2
6. Sistem saraf
Neuropati perifer juga dikaitkan sebagai penyebab sekunder dari RLS.
Akan tetapi, hubungan antara neuropati perifer dan RLS sangatlah kompleks
dan masih dalam penelitian. Mekanisme yang mungkin terjadi adalah karena
terganggunya tingkat persepsi dasar sensorik dapat mengakibatkan terjadinya
hipersensitisasi dari jalur sensoris menimbulkan terjadinya RLS.2
7. Sistem vaskularisasi
Pembuluh darah dilibatkan dalam terjadinya RLS karena kebanyakan
orang dengan RLS akan memberikan respon yang positif terhadap terapi
dengan agen vasodilatasi seperti carbachol dan tolazoline. Akan tetapi,
penelitian dengan duplex utrasonography menyatakan bahwa gejala RLS
tidak berhubungan dengan refluks vena dan gangguan vaskular. Seperti
neuropati perifer, gangguan dari vaskular juga dapat menyebabkan
terganggunya sistem-sistem lain termasuk kerusakan sistem saraf perifer.
PLMS dan RLS juga dihipotesiskan berhubungan dengan terjadinya penyakit
jantung, hipertensi, dan stroke.2
8. Genetik
RLS dinyatakan diturunkan secara autosomal dominan. Beberapa
lokus yang berhubungan dengan RLS ditemukan pada kromosom 12q, 14q,
9p, 2q,16p, dan 20p. Lima puluh persen orang dengan riwayat keluarga RLS
memiliki kecenderungan menderita RLS juga.9

D. Tanda dan Gejala


Kriteria diagnostik berdasarkan International RLS Study Group (IRLSSG).
Sekitar 85% pasien dengan RLS memiliki pergerakan tidur secara periodik, biasanya
melibatkan kaki (gerakan kaki periodik saat tidur [PLMS]). PLMS ditandai dengan
dorsofleksi otot yang tidak disengaja dan kuat yang berlangsung 0,5-5 detik dan
terjadi setiap 20-40 detik selama tidur. Sering timbul pada fase NREM atau saat onset
tidur sehingga menyebabkan gangguan tidur.7
RLS ditandai dengan keinginan yang amat sangat untuk menggerakkan kaki
karena adanya sensasi yang tidak nyaman, yang dapat berkurang dengan pergerakan
dan biasanya terjadi pada saat istirahat atau malam hari. Kebanyakan orang dengan
RLS dapat menjelaskan gejala-gejala ini dengan sangat terperinci. Keluhan tipikal
yang umum dan membuat pasien dengan RLS datang mencari pengobatan adalah
adanya gangguan tidur atau insomnia.2,3
Gejala lain yang umumnya terkait dengan RLS namun tidak diperlukan untuk
diagnosis meliputi:
- Gangguan tidur
- Kelelahan siang hari
- Gerakan anggota badan tanpa disengaja, berulang, berkala, dan menyentak
baik saat tidur atau saat bangun dan saat istirahat.7

E. Kriteria Diagnostik
Kriteria diagnostik berdasarkan International RLS Study Group (IRLSSG)
adalah sebagai berikut:7
1. Dorongan untuk menggerakkan kaki biasanya dirasakan tapi tidak selalu
disertai atau disebabkan oleh sensasi yang tidak nyaman dan tidak
menyenangkan di kaki.
2. Dorongan untuk menggerakkan kaki dan sensasi tidak menyenangkan lainnya
mulai atau memburuk selama periode istirahat atau tidak aktif seperti
berbaring atau duduk.
3. Dorongan untuk menggerakkan kaki dan sensasi tidak menyenangkan lainnya
baik sebagian atau seluruhnya memberi kelegaan dengan gerakan, seperti
berjalan atau peregangan, setidaknya selama aktivitas berlanjut.
4. Dorongan untuk menggerakkan kaki dan sensasi tidak menyenangkan yang
menyertainya saat istirahat atau tidak aktif hanya terjadi atau lebih buruk pada
sore hari atau malam hari daripada siang hari.
5. Terjadinya gejala sebelumnya tidak dianggap sebagai gejala utama pada
kondisi medis atau perilaku lainnya seperti mialgia, stasis vena, edema kaki,
artritis, kram kaki, ketidaknyamanan posisi, dan kebiasaan menyentakkan
kaki.
Dalam American Psychiatric Associations Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders, Edisi ke-5 (DSM-5), kriteria spesifik untuk RLS adalah sebagai
berikut.12
1. Dorongan untuk menggerakkan kaki yang biasanya disertai atau terjadi
sebagai respons terhadap sensasi tidak nyaman dan tidak menyenangkan di
kaki, ditandai oleh semua hal berikut: (1) dorongan untuk menggerakkan kaki
dimulai atau memburuk selama periode istirahat atau tidak aktif; (2) dorongan
sebagian atau sepenuhnya lega dengan gerakan; dan (3) dorongan untuk
menggerakkan kaki lebih buruk pada sore hari atau pada malam hari daripada
siang hari atau hanya terjadi pada sore atau malam hari.
2. Gejala terjadi minimal 3 kali per minggu dan bertahan paling lama 3 bulan
3. Gejala menyebabkan gangguan signifikan pada area kerja sosial, pekerjaan,
pendidikan, akademik, perilaku atau area lainnya
4. Gejalanya tidak dapat dikaitkan dengan gangguan mental atau kondisi medis
lainnya (misalnya edema kaki, artritis, kram kaki) atau kondisi perilaku
(misalnya ketidaknyamanan posisi, kebiasaan mengetuk kaki)
5. Gangguan ini tidak bisa dijelaskan oleh efek penyalahgunaan narkoba atau
pengobatan.

F. Diagnosis Banding
RLS dapat didiagnosis banding dengan gangguan dari sistem saraf perifer
seperti neuropati perifer, sindroma cedera akar saraf atau kompresi dari nervus
perifer, gangguan sistem vaskular seperti penyakit arteri perifer, gangguan psikiatri,
seperti gangguan cemas, gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif (GPPH),
gangguan tidur, seperti periodic limb movements in sleep (PLMS), pengeruh obat
seperti ataksia akibat antipsikotik, anti depresan dan antipsikotik menyebabkan
RLS.2,3
Tabel 1. Diagnosis Banding RLS dengan Penyakit Lainnya.9
No Diagnosis Banding Karakteristik
1. Neuropati Perifer - Tidak ada perubahan pada pola tidur
- Tidak terdapat PLMS
- Konduksi saraf normal
- Tidak ada perbaikan dengan pergerakan
2. Akathisia - Tidak mengikuti pola tidur
- Tidak terdapat parestesia
- Membaik dengan pengunaan penghambat dopamin
3. Penyakit vaskular - Memburuk dengan pergerakan dan membaik
perifer dengan istirahat
- Pada pemeriksaan fisik terdapat perubahan pada
pembuluh darah dan kulit
4. Nocturnal leg cramps - Unilateral, fokal, terdapat onset yang parah secara
mendadak
5. Painful Legs and moving - Tidak ada keinginan yang sangat untuk
toes menggerakkan kaki
- Gejalanya tidak memburuk saat istirahat dan tidak
membaik dengan adanya pergerakan
- Tidak ada perubahan pola tidur

G. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Diagnosis sindrom kaki gelisah (RLS) didasarkan terutama pada riwayat
klinis pasien. Seringkali, pasien tidak memberikan gejala RLS. Oleh karena itu,
beberapa pertanyaan mengenai tidur dapat membantu sebagai tinjauan satu sistem.
Pasien RLS biasanya melaporkan sensasi disestesi yang digambarkan sebagai pin dan
jarum, kram, atau sensasi merayap.
Sebagian besar pasien (85%) dengan RLS kesulitan tidur di malam hari
sebagai konsekuensi dari kondisi tersebut, dan mereka mungkin mengalami rasa
kantuk yang berlebihan di siang hari karena kualitas tidur yang buruk akibat beberapa
dorongan yang disebabkan oleh PLMS. PLMS yang tercatat di polysomnography
(PSG) saja tidak menjamin perawatan. Dokter harus mempertimbangkan untuk
merawat PLMS jika sering menimbulkan gejala.
Hal lain yang umumnya terkait dengan RLS tapi tidak diperlukan untuk
diagnosis termasuk gangguan tidur, kelelahan siang hari, dan pergerakan anggota
badan yang tidak disengaja, berulang, berkala, menyentak (baik saat pasien sedang
tidur atau saat ia sedang bangun dan saat istirahat). Riwayat keluarga yang positif
juga membantu diagnosis RLS, terutama pada anak-anak.
RLS biasa sulit didiagnosis pada anak-anak, terutama yang lebih muda. Untuk
diagnosis yang pasti, pasien harus sesuai kriteria diagnosis dan dapat
menggambarkan gejala kaki dalam bahasa mereka sendiri. Sebagai alternatif, RLS
pada anak harus memiliki kriteria diagnostik dengan gangguan tidur, saudara
kandung atau orang tua dengan RLS, dan indeks PLMS lebih tinggi dari 5 pada PSG.
Untuk diagnosis yang mungkin, indeks PLMS lebih dari 5 pada PSG dan ada anggota
keluarga yang menderita RLS. Kriteria ketat ini dimaksudkan untuk mencegah
overdiagnosis RLS pada anak-anak.
Pemeriksaan fisik biasanya normal pada pasien dengan RLS. Hal ini
dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab sekunder dan untuk menyingkirkan
gangguan lainnya. Secara khusus, pasien harus dievaluasi untuk neuropati,
radikulopati, dan parkinsonisme. 13,14

H. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Semua pasien dengan gejala RLS harus melakukan pemeriksaan zat besi.
Minimal, kadar feritin harus diperoleh. Komponen besi lengkap, termasuk kadar
besi, feritin, saturasi transferrin, dan kapasitas pengikatan besi total lebih baik
karena ferritin dapat meningkat palsu pada keadaan inflamasi akut.
Pasien yang RLS-nya terkontrol dengan baik tetapi terjadi kekambuhan
atau adanya gejala tambahan harus menjalani evaluasi ulang status zat besi
mereka. Gejala tambahan yang dimaksudkan yaitu 1 atau lebih dari yang berikut:
- Gejala awal pada malam hari atau saat istirahat
- Meningkatnya intensitas gejala di pagi hari
- Perpanjangan gejala ke bagian atas tubuh
Jika penyebab sekunder RLS dicurigai berdasarkan riwayat, temuan
abnormal pada pemeriksaan neurologis, atau respons yang buruk terhadap
pengobatan, pemeriksaan laboratorium lain harus dilakukan, termasuk jumlah
darah lengkap dan pengukuran kadar berikut ini:15,16
- Nitrogen urea darah
- Kreatinin
- Gula darah puasa
- Magnesium
- Thyroid-stimulating hormone
- Vitamin B12
- Folat
2. Pemeriksaan lain
Pemeriksaan Needle electromyography (EMG) dan konduksi saraf harus
dipertimbangkan jika polineuropati atau radikulopati dicurigai berdasarkan klinis,
walaupun hasil pemeriksaan neurologisnya ternyata normal.
Polisomnografi (PSG) mungkin diperlukan untuk mengukur PLMS atau
untuk menggambarkan pola tidur, terutama pada anak-anak dan pada pasien yang
terus mengalami gangguan tidur yang signifikan walaupun ada gejala RLS yang
membaik dengan pengobatan. PSG adalah pencatatan poligrafik selama tidur
dengan variabel fisiologis multiple, baik langsung maupun tak langsung yang
berhubungan dengan stadium dan kedalaman tidur, untuk menilai penyebab
biologis yang mungkin pada gangguan tidur. Dari data hasil pemeriksaan
polisomnografi akan didapatkan jumlah pergerakan tungkai pasien yang dapat
digunakan untuk menentukan tingkat keparahan RLS/PLMS, yaitu dengan
mengunakan indeks PLMS. Indeks PLMS atau juga disebut PLMI (Periodic Limb
Movement Index) biasanya dihitung sebagai jumlah total PLMS selama tidur
dibagi dengan waktu tidur total dalam jam (total sleep time). PLMI 5
dinyatakan signifikan.
Derajat beratnya PLMS ini juga berbanding lurus dengan tingkat
keparahan RLS yang diderita pasien. Berdasarkan data pemeriksaan PSG dapat
ditentukan derajat keparahan PLMS yang diderita masing-masing pasien sebagai
berikut.
- PLMS ringan mempunyai nilai PLMI 5 hingga 25 per jamnya,
- PLMS sedang mempunyai nilai PLMI 25 hingga 50 per jamnya,
- PLMS berat mempunyai nilai PLMI lebih dari 50 per jamnya.17

I. Terapi
1. Farmakologi
Terapi obat untuk RLS primer sebagian besar simptomatik; penyembuhan
hanya mungkin untuk RLS sekunder. Pada beberapa pasien, gejala RLS muncul
secara sporadis, dengan remisi spontan yang berlangsung berminggu-minggu atau
berbulan-bulan. Pengobatan RLS bukan untuk menyembuhkan tetapi hanya
menghilangkan gejala dalam jangka waktu lama. Terapi saat ini yang sering
diberikan adalah levodopa, opioid, dan benzodiazepin dalam jangka waktu yang
lama. Akan tetapi berdasarkan penelitian dan pedoman klinik menempatkan agonis
dopamin sebagai lini pertama pengobatan dari gejala RLS yang terjadi sehari-
hari.25,26
Pedoman tatalaksana RLS terdapat menurut Restless Legs Syndrome Task
Force of the Standards of Practice Committe og the American Academy Sleep
25,26
Medicine (AASM) pada tahun 2008. Pasien dengan RLS dibagi menjadi 3
kelompok, yaitu; (1) Pasien dengan gejala yang intermiten. (2) Pasien dengan gejala
yang berlangsung setiap hari. (3) Pasien dengan gejala refrakter yang sulit diatasi
dengan pengobatan standar.26
1.1. Pasien dengan gejala intermiten
Pasien yang gejalanya terjadi secara interminten dapat di atasi dengan
obat-obat yang hanya diminum ketika gejala RLS muncul. Obat-obatan yang
dianjurkan adalah carbidopa atau levodopa 25-100 mg diminum sebelum
tidur, opioid potensi rendah atau agonis reseptor opioid seperti codein 30-60
mg, propoxyphene hydrochloride 65-130 mg, tramadol, dosis: 50-100mg, dan
benzodiazephin, misalnya triazolam 0,125-0,5 mg.25,26

1.2. Pasien dengan gejala yang berlangsung setiap hari


Pasien dengan gejala RLS yang terjadi setiap hari harus meminum
obat secara rutin. Terapi lini pertama adalah agonis dopamin. Agonis
dopamin yang sering digunakan adalah pramipexole 0,125-2 mg/hari atau
ropinirole 0,125-4mg/hari. Obat alternatif lainnya yang dapat digunakan
adalah anti konvulsan seperti gabapentin dan opioid potensi rendah. 26

1.3. Pasien dengan gejala refrakter


Pasien dengan gejala yang refrakter memerlukan pergantian
pengobatan. Bisa digunakan agonis dopamin jenis lain, opioid, atau anti
konvulsan. Bisa juga digunakan tambahan obat kedua seperti benzodiazepin,
atau gabapentin. Pada RLS derajat berat dapat digunakan opioid kuat seperti
methadone 5-40 mg/hari. 1,26

Terapi untuk RLS sekunder berdasarkan penyebab yaitu :

1.4. Terapi RLS pada penyakit ginjal stadium akhir


Pedoman terapi RLS pada penyekit ginjal stadium akhir yaitu menangani
anemia dengan pemberian erythropoietin.27 Untuk untuk pasien dengan kadar
feritin rendah harus mendapat terapi zat besi tambahan, dapat diberikan sulfat
ferosus 325 mg dan vitamin C 250 mg.28 Untuk terapi awal dapat diberikan
obat benzodiazepin (clonazepam 0.5-2.0 mg /hari, temazepam 7.5-3.0 mg
/hari, triazolam 0.125-0.5 mg /hari).25 Jika pemberian benzodiazepin tidak
efektif dalam menangani gejala, dapat diberikan agen dopaminergik seperti
carbidopa atau levodopa. Pemberian gabapentin dan clonidine juga
direkomendasikan. 29,30
1.5 Terapi RLS pada kehamilan
Terapi non farmakologi lebih dianjurkan selama kehamilan untuk
mengobati gejala RLS ringan sampai sedang. Terapi yang dianjurkan
meliputi olahraga ringan dan menghindari minuman berkafein dan beralkohol.
Terapi farmakologi selama kehamilan belum direkomendasikan karena
penelitian mengenai kemanan dan kemanjuran pengobatan masih diragukan.
Namun untuk menangani gejala RLS yang persisten dapat diberikan suplemen
besi oral.31 Jika gejala terus berlanjut, dan manfaat ibu melebihi risiko pada
janin, pengobatan lain dapat dipertimbangkan yaitu obat dopaminergik,
benzodiazepin, opioid, atau agen anti konvulsan.32,33

1.6 Terapi RLS pada pasien dengan anemia defisiensi besi


Semua pasien dengan kadar zat besi rendah (feritin <50 ng / mL) harus
mendapat terapi zat besi tambahan. Pada defisiensi zat besi, dapat diberikan
sulfat ferosus 325 mg dan vitamin C 250 mg. Absorbsi obat ini meningkat
pada waktu lambung kosong atau 60 menit sebelum makan. Besi parenteral
juga memiliki peran dalam pengobatan RLS sekunder akibat anemia
defisiensi besi.23

2. Non farmakologi
Sleep Hygiene harus direkomendasikan pada semua penderita. Pendekatan ini
bertujuan untuk meningkatkan dan merubah cara hidup dan lingkungan penderita
dalam rangka meningkatkan kualitas tidur penderita itu sendiri. Sleep hygiene
yang tidak baik sering menyebabkan insomnia tipe primer. Terdapat beberapa hal
yang perlu dihindari dan dilakukan penderita untuk menerapkan sleep hygiene
yang baik, seperti hindari mengkonsumsi alkohol, kafein dan produk nikotin
sebelum tidur, meminimumkan suasana bising, pencahayaan yang terlalu terang,
suhu ruangan yang terlalu dingin atau panas, pastikan kamar tidur mempunyai
ventilasi yang baik, menggunakan bantal dan kasur yang nyaman dengan
penderita, hindari makanan dalam jumlah yang banyak sebelum tidur, elakkan
membawa pikiran yang bisa mengganggu tidur sewaktu di tempat tidur , lakukan
senam secara teratur (3-4x/minggu), serta hindari melakukan aktivitas yang berat
sebelum tidur.24

Prognosis
RLS umumnya merupakan kondisi yang terjadi seumur hidup. Terapi yang
dilakukan saat ini dapat menghilangkan atau mengurangi gejala yang dirasakan dan
meningkatkan efektifitas dari tidur. Simptom ini biasanya memburuk seiring dengan
bertambahnya usia. Ada beberapa individu yang dapat mengalami fase remisi. Akan
tetapi, gejala ini akan kembali setelah selama beberapa hari, minggu, atau bulan.
Prognosis dari RLS dapat diklasifikasikan menurut etiologinya:
- RLS primer
Keparahan dan frekuensi dari gejala biasanya akan meningkat seiring dengan
berjalannya waktu. Pada individu yang onset terjadinya RLS setelah 45 tahun,
progesivitas yang terjadi akan lebih cepat. Pada individu yang onset terjadinya
RLS kurang dari 45 tahun progesivitasnya lebih tersembunyi.
- RLS sekunder
Gejala yang dialami biasanya akan menghilang jika faktor penyebabnya
dihilangkan. Pada wanita hamil, RLS biasanya akan menghilang beberapa
minggu setelah dia melahirkan.11
BAB III
PENUTUP

RLS adalah kelainan neurologis yang dikarakteristikkan dengan adanya


dorongan yang sangat untuk menggerakkan ekstremitas yang berhubungan dengan
parestesia, yang terjadi pada sebagian atau seluruh kaki, yang dapat berkurang
dengan pergerakan, dan yang biasanya terjadi saat istirahat atau pada malam hari,
yang nantinya dapat menyebabkan timbulnya gangguan tidur. RLS merupakan
penyakit yang sering dijumpai dan memiliki angka morbiditas sekitar 1-10% dari
populasi umumnya, lebih sering terjadi pada wanita, dan risikonya akan meningkat
seiring bertambahnya usia. Populasi yang berisiko menderita RLS adalah wanita
hamil, pasien dengan defisiensi besi atau asam folat, pasien dengan gagal ginjal
stadium akhir, GPPH. Penyebab dari RLS masih belum diketahui dengan pasti.
Fakta-fakta yang ada menunjukkan bahwa RLS berhubungan dengan defisiensi
besi atau asam folat, defisiensi dopamin, meningkatnya hormon kortisol, gangguan
di sistem opiate, saraf, dan pembuluh darah. RLS sering salah didiagnosiskan
dengan penyakit lainnya padahal RLS memiliki manifestasi klinis yang sangat
khas. RLS dapat diobati secara non-farmakologi dan farmakologi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Fulda S. Restless Legs Syndrome: Diagnosis, Treatment and


Pathophysiology. 2010.
2. Sommer, David B and Mark Stacy. Epidemiology and Pathophysiology of
Restless Legs Syndrome. US Neurological Disease. 2007.
3. Restless Legs Stndrome: Pathophysiology and the Role of Iron Folate.
Alternative Medicine Review. 2007;12(2):101-10.
4. Gamaldo CE, Earley CJ. Restless legs syndrome: a clinical update. Chest.
2006 Nov. 130(5):1596-604. Hening WA. Restless Legs Syndrome. Curr
Treat Options Neurol. 1999 Sep. 1(4):309-319.
5. Evidente VG, Adler CH. How to help patients with restless legs syndrome.
Discerning the indescribable and relaxing the restless. Postgrad Med. 1999
Mar. 105(3):59-61, 65-6, 73-4.
6. Silber MH. Restless legs syndrome. Mayo Clin Proc. 1997 Mar. 72(3):261-4.
7. 2012 Revised IRLSSG Diagnostic Criteria for RLS. International Restless
Legs Syndrome Study Group (IRLSSG). Tersedia
di http://irlssg.org/diagnostic-criteria/. Disitasi: September 17, 2017.
8. Allen RP, Earley CJ. Restless legs syndrome: a review of clinical and
pathophysiologic features. J Clin Neurophysiol. 2001;18(2):128-47.
9. Jhoo JH, Yoon IY, Kim YK, Chung S, Kim JM, Lee SB. Availability of brain
serotonin transporters in patients with restless legs syndrome. Neurology.
2010;74(6):513-8.
10. Trenkwalder C, Hogl B, Winkelmann J. Recent advances in the diagnosis,
genetics and treatment of restless legs syndrome. J Neurol. 2009 Apr.
256(4):539-53.
11. Cesnik E, Casetta I, Turri M, Govoni V, Granieri E, Strambi LF, et al.
Transient RLS during pregnancy is a risk factor for the chronic idiopathic
form. Neurology. 2010 Dec 7. 75(23):2117-20.
12. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders, Fifth Edition. 5th. Arlington, VA: American Psychiatric
Association; 2013. 410-3.
13. Kotagal S, Silber MH. Childhood-onset restless legs syndrome. Ann Neurol.
2004;56(6):803-7.
14. Hattan E, Chalk C, Postuma RB. Is there a higher risk of restless legs
syndrome in peripheral neuropathy?. Neurology. 2009;72(11):955-60.
15. Gamaldo CE, Earley CJ. Restless legs syndrome: a clinical update. Chest.
2006 Nov. 130(5):1596-604. Hening WA. Restless Legs Syndrome. Curr
Treat Options Neurol. 1999 Sep. 1(4):309-319.
16. Ferreri F, Rossini PM. Neurophysiological investigations in restless legs
syndrome and other disorders of movement during sleep. Sleep Med. 2004 Jul.
5(4):397-9.
17. Restless legs syndrome. detection and management in primary care. National
Heart, Lung, and Blood Institute Working Group on Restless Legs
Syndrome. Am Fam Phys. 2000 Jul 1. 62(1):108-14
18. Baldwin CM, Keating GM. Rotigotine transdermal patch: in restless legs
syndrome. CNS Drugs. 2008. 22(10):797-806.
19. Garcia-Borreguero D, Kohnen R, Silber MH, Winkelman JW, Earley CJ,
Hgl B, et al. The long-term treatment of restless legs syndrome/Willis-
Ekbom disease: evidence-based guidelines and clinical consensus best
practice guidance: a report from the International Restless Legs Syndrome
Study Group. Sleep Med. 2013 Jul. 14(7):675-84.
20. Grote L, Leissner L, Hedner J, Ulfberg J. A randomized, double-blind,
placebo controlled, multi-center study of intravenous iron sucrose and placebo
in the treatment of restless legs syndrome. Mov Disord. 2009 Jul 30.
24(10):1445-52.
21. Shinno H, Yamanaka M, Ishikawa I, Danjo S, Nakamura Y, Inami Y.
Successful treatment of restless legs syndrome with the herbal prescription
Yokukansan. Prog Neuropsychopharmacol Biol Psychiatry. 2010 Feb 1.
34(1):252-3
22. Garcia-Borreguero D, Kohnen R, Silber MH, Winkelman JW, Earley CJ,
Hgl B, et al. The long-term treatment of restless legs syndrome/Willis-
Ekbom disease: evidence-based guidelines and clinical consensus best
practice guidance: a report from the International Restless Legs Syndrome
Study Group. Sleep Med. 2013;14(7):675-84.
23. Anderson P. Restless Legs Syndrome Linked to Higher Mortality. Tersedia
di http://www.medscape.com/viewarticle/805712. Disitasi: September 17,
2017.
24. R.George L, Cynthia G. Nonpharmacologic Approaches to the Management
on Insomnia. JAOA. Nov : 2010; Vol 110: 695-700
25. Ondo WG, Restless Legs Syndrome.In: Jankovic J, Tolosa E (eds),
Parkinsons Disease and Movement Disorder, 5th edition, Philadelphia:
Lippincott, Williams, and Wilkins, 2007; 409-20.
26. Symvoulakis E, Dimitrios Anyfantakis, Christos Lionis. Restless Legs
Syndrome: Literature Review. Sao Paulo Med. 2010; 128 (3): 167-170
27. Harris, DC, Chapman, JR, Stewart, KH, et al. Low dose erythropoietin in
maintenance hemodialysis: Improvement in quality of life and reduction in
true cost of hemodialysis. Aust N Z J Med. 2011; 21:693. 4.
28. Roger, SD, Harris, DCH, & Stewart, JH. Possible relation between restless
legs and anaemia in renal dialysis patients. Lancet. 2010; 337: 1551.
29. Allen, RP, & Earley, CJ, Augmentation of the restless leg syndrome with
carbidopa/levodopa. Sleep 2012; 19: 205. 11.
30. Von Scheele, C, Kempe, V. Long-term effect of dopaminergic drugs in
restless legs: A 2-year follow-up. Arch Neurol 2010; 47:1223.
31. Picchietti DL, Hensley JG, Bainbridge JL, et al. Consensus clinical practice
guidelines for the diagnosis and treatment of restless legs syndrome/ Willis-
Ekbom disease during pregnancy and lactation. Sleep Med Rev. 2015;22:64
77.
32. Gupta R, Dhyani M, Kendzerska T, et al. Restless legs syndrome and
pregnancy: prevalence, possible pathophysiological mechanisms and
treatment. Acta Neurol Scand. 2016;133(5):320329.
33. Srivanitchapoom P, Pandey S, Hallett M. Restless legs syndrome and
pregnancy: a review. Parkinsonism Relat Disord. 2014;20(7):716722.
34. National institute of neurological disorder and stroke. Restless Legs
Syndrome Fact Sheet. 2010
35. Chen T, Wu Z, Shen Z, Zhang J, Shen X, Li S. Sleep duration in Chinese
adolescents: biological, environmental, and behavioral predictors. Sleep
medicine 2014;15(11):1345-1353.
36. Lumbantobing S. Gangguan Tidur. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008:6-12.

Anda mungkin juga menyukai