Anda di halaman 1dari 32

Presentasi Kasus Bedah Anak

SEORANG ANAK LAKI-LAKI 6 TAHUN DENGAN MEGACOLON


KONGENITAL POST TCS

Oleh:
Ridho Frihadananta
G99161082

Periode:28 Agustus 2017 2 September 2017

Pembimbing:
Suwardi dr., Sp.B, Sp.BA

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2017

1
BAB I
STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. Identitas pasien
Nama : An. IKR
Umur : 6 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
No. RM : 01316xxx
Alamat : Sukorejo RT/RW 007/001 Padas Tanon Sragen Jawa
Tengah
Agama : Islam
Berat Badan : 16 Kg
Tinggi Badan : 120 cm
MRS : 22 Agustus 2017
Tanggal Periksa : 28 Agustus 2017

B. Keluhan Utama
Sulit buang air besar

C. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke RSDM dengan keluhan sulit buang air besar yang
memberat sejak 7 hari yang lalu. Orang tua pasien mengaku sejak lahir pasien
sering mengeluh sulit buang air besar. Biasanya pasien BAB setiap 4-5 hari
sekali dengan konsistensi keras, mrongkol, dan berwarna cokelat kehitaman.
Pasien masih bisa kentut.. Untuk mengurangi keluhan, pasien diberi microlax
atau dulcolax. Namun lama kelamaan pemberian obat tersebut tidak mempan,
pasien semakin sulit buang air besar.
Orang tua pasien mengaku perut pasien semakin lama semakin membesar.
Oleh orang tua pasien dibawa ke RSDM dan disarankan untuk foto rontgen.
Hasil foto rotngen menggambarkan adanya usus yang membesar. Pada saat

2
pasien umur 5 bulan menjalani operasi pembuatan lubang pada dinding perut
untuk mengeluarkan feses.

D. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat sakit liver : disangkal
Riwayat sakit ginjal : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat mondok : disngkal
Riwayat operasi : (+) pasien umur 5 bulan di RSDM operasi
pembuatan stoma pada dinding perut
untuk mengeluarkan feses.

E. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi : disangkal

F. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir pada tanggal 11 Agustus 2008 dari ibu berusia 23 tahun
G2P1A0, lahir secara pervaginam dengan umur kehamilan 49 minggu. Bayi
menangis kuat (+), nafas spontan (+), ketuban jernih, tidak berbau, berat badan
lahir 3700 gram.

G. Riwayat Kehamilan dan ANC


Riwayat sakit saat hamil : rutin di bidan
Riwayat perdarahan : disangkal
Riwayat konsumsi jamu : disangkal
Riwayat alkohol, merokok : disangkal

3
II. PEMERIKSAAN FISIK
A. KeadaanUmum
a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang, BB: 16 Kg, TB: 120 cm
b. Kesadaran : Composmentis, GCS E4V5M6
c. Vital sign :
N : 92 x/menit, regular
RR : 20 x/menit
T : 36.5oC
SiO2 : 99%
B. General Survey
a. Kulit : warna sawo matang, kering (-), hiperpigmentasi (-)
b. Kepala : mesocephal, old man face (-)
c. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), reflex cahaya (+/+),
cekung (+/+)
d. Telinga : sekret (-/-)
e. Hidung : bentuk simetris, napas cuping hidung(-),sekret (-/-), darah (-/-)
f. Mulut : mukosa basah(+), sianosis (-)
g. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-).
h. Thorak : normochest, retraksi (-)
i. Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi :batas jantung kesan tidak melebar.
Auskultasi :bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-).
j. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri.
Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor/sonor.
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan (-/-).

4
k. Abdomen
Inspeksi : dinding perut lebih tinggi daripada dinding dada, perut distended
(-), stoma (+), produk (+)
Auskultasi : bising usus (+)
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), massa (-), defans muscular (-), undulasi (-),
hepar dan lien sulit dievaluasi
l. Ekstremitas : CRT < 2 detik, arteri dorsalis pedis (+/+)
Akral dingin Oedema
- - - -
- - - -
m. Rectal toucher : TMSA (+), ampula longgar, mukosa licin, tidak
terdapat massa, feces (+) sarung tangan lendir darah
(-)
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
I. Laboratorium Darah (23 Agustus 2017)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 11.7 g/dL 11.5 15.5
Hematokrit 37 % 33-45
Leukosit 5.8 ribu/l 4.5-14.5
Trombosit 354 ribu/l 150 450
Eritrosit 4.80 juta/l 4.00-5.20
HOMEOSTASIS
PT 12.7 detik 10.0 15.0
APTT 29.8 detik 20.0 - 40.0
INR 0.930 -
KIMIA KLINIK
Glukosa Darah 119 mg/dl 60-100
Sewaktu

5
SGOT 24 u/l <35
SGPT 12 u/l <45
Albumin 4.2 g/dl 3.8-5.4
Creatinin 0.4 mg/dl 0.3-0,7
Ureum 23 Mg/dl <48
ELEKTROLIT
Natrium darah 135 mmol/L 132-145
Kalium darah 3.6 mmol/L 3.1-5.1
Chlorida darah 110 mmol/L 98 106
HEPATITIS
HbsAg Nonreactive Nonreactive

II. Thorax PA/ Lateral (12 Agustus 2017)

Cor : Besar dan bentuk normal


Paru : Tak tampak infiltrat di kedua lapang paru , corakan bronkovaskular
normal. Sinus costophrenicus kanan kiri aterior posterior tajam.
Hemidiaphragma kanan kiri normal. Trakhea di tengah. Sistema tulang baik.
Kesimpulan : Cor dan pulmo tak tampak kelainan

6
III. Colon Inloop (3 Agustus 2017)

Plain foto :
Bayangan gas usus normal bercampur fecal material
Sistema tulang tampak baik
Kontras study :
Kontras barium +/- 200 cc dimasukkan melalui kateter ke dalam anus
Tampak kontras berjalan dengan lancar mulai dari rectum dan sigmoid
Tak tampak penyempitan/pendesakan, filling defect maupun additional
shadow
Kesimpulan:
Colon in loop tak tampak kelainan
IV. ASSESSMENT
Megacolon kongenital long segment post TCS
V. PLANNING
1. IV line D NS 20 tpm mikro
2. Pro Duhamel procedure

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Embriologi Kolon dan Rektum


2.1.1 Kolon

Secara embriologi, kolon kanan berasal dari usus tengah, sedangkan kolon
kiri sampai dengan rectum berasal dari usus belakang. Dalam perkembangan
embriologik kadang terjadi gangguan rotasi usus embrional, sehingga kolon kanan
dan sekum mempunyai mesenterium yang bebas. Keadaan ini memudahkan
terjadinya putaran atau volvulus sebagian besar usus yang sama halnya dapat terjadi
dengan mesenterium yang panjang pada kolon sigmoid dengan radiksnya yang
sempit.5
Usus besar merupakan tabung muscular berongga dengan panjang sekitar 5
kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani. Diameter usus
besar lebih besar daripada usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inchi (sekitar 6,5cm),
tetapi makin dekat anus diameternya makin kecil. Usus besar dibagi menjadi sekum,
kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat
pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus
besar. Katup ileosekal mengontrol aliran kimus dari ileum ke sekum. Kolon dibagi
lagi menjadi kolon ascendens, transversum, descendens, dan sigmoid. Tempat
dimana kolon membentuk kelokan tajam yaitu pada abdomen kanan dan kiri atas
berturut-turut dinamakan fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid
mulai setinggi krista iliaka dan berbentuk suatu lekukan berbentuk S. Lekukan
bagian bawah membelok ke kiri waktu kolon sigmoid bersatu dengan rectum.
Rectum terbentang dari kolon sigmoid sampai dengan anus. Satu inci terakhir dari
rectum terdapat kanalis ani yang dilindungi oleh sfingter ani eksternus dan internus.
Panjang rektum sampai kanalis ani adalah 5,9 inci.6

8
Gambar 1. Anatomi Kolon15
Sumber: Diambil dari http://www.scribd.com/doc/94209609/anatomi kolon

Dinding kolon terdiri dari empat lapisan, yaitu tunika serosa, muskularis,
tela submukosa, dan tunika mukosa, akan tetapi usus besar mempunyai gambaran-
gambaran yang khas berupa: lapisan otot longitudinal tidak sempurna tetapi
terkumpul dalam tiga pita yang disebut taenia koli yang bersatu pada sigmoid distal.
Panjang taenia lebih pendek daripada usus sehingga usus tertarik dan berkerut
membentuk kantong-kantong kecil yang disebut haustra. Pada taenia, melekat
kantong-kantong kecil perineum yang berisi lemak yang disebut appendices
epiploika. Lapisan mukosa usus besar lebih tebal dengan kriptus lieberkuhn terletak
lebih dalam serta mempunyai sel goblet lebih banyak daripada usus halus.6

9
Gambar 2. Lapisan Dinding Kolon16
Sumber: Diambil dari Atlas Histologi di Fiore

Vaskularisasi usus besar diatur oleh arteri mesenterika superior dan inferior.
Arteri mesenterika superior memvaskularisasi kolon bagian kanan dari sekum
sampai dua pertiga proksimal kolon transversum. Arteri mesenterika superior
mempunyai tiga cabang utama, yaitu arteri ileokolika, arteri kolika dekstra, dan
arteri kolika media. Sedangkan arteri mesenterika inferior memvaskularisasi kolon
bagian kiri (mulai dari sepertiga distal kolon transversum sampai rectum bagian
proksimal). Arteri mesenterika inferior mempunyai tiga cabang, yaitu arteri kolika
sinistra, arteri hemoroidalis superior, dan arteri sigmoidea.6

Gambar 3. Vaskularisasi Kolon17


Sumber: Diambil dari Atlas of Human Anatomy Sobotta Vol.2

Vaskularisasi tambahan daerah rectum diatur oleh arteri sakralis media dan
arteri hemoroidalis inferior dan media. Aliran balik vena dari kolon dan rectum
superior melalui vena mesenterika superior dan inferior serta vena hemoroidalis
superior, yaitu bagian dari system portal yang mengalirkan darah ke hati.6
Persarafan usus besar dilakukan oleh system saraf otonom dengan
perkecualian sfingter eksterna yang berada dibawah control voluntar. Serabut
parasimpatis berjalan melalui saraf vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan

10
saraf pelvikus yang berasal dari daerah sacral mensuplai bagian distal. Serabut
simpatis meninggalkan medulla spinalis melalui saraf splangnikus untuk mencapai
kolon. Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan kontraksi,
serta perangsangan sfingter rectum, sedangkan perangsangan parasimpatis
mempunyai efek yang berlawanan.7

Sistem saraf otonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :7


1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal
2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler
3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa
Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ketiga
pleksus tersebut.7

Gambar 4. Skema syaraf autonom intrinsik usus12


Sumber: Diambil dari http://www.netterimages.com/image/4491.htm

11
Jadi pasien dengan kerusakan medulla spinalis, maka fungsi ususnya tetap
normal, sedangkan pasien dengan penyakit hirschprung akan mempunyai fungsi
usus yang abnormal karena pada penyakit ini terjadi keabsenan pleksus aurbach dan
meissner.9

2.1.2 Rektum

Rektum memiliki 3 buah valvula: superior kiri, medial kanan dan inferior
kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksasi, sedangkan 1/3
bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian ini
dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih panjang
dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari
usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proximal; dikelilingi
oleh sphincter ani (eksternal dan internal) serta otot-otot yang mengatur pasase isi
rektum ke dunia luar. Sphincter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas, medial dan
depan.7

Gambar 5 . Anatomi anus dan rektum beserta otot-ototnya. LA = otot levator anal; PR = otot puborektal;
SE = sfingter anal externa: SI = sfingter anal internal; TK = tulang koksigeus; MM = muskularis
mukosa.12
Sumber: Diambil dari http://www.netterimages.com/image/4492.htm

12
Persarafan motorik spinchter ani interna berasal dari serabut saraf simpatis
(N. hipogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut saraf parasimpatis
(N. splanknicus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis serabut saraf ini
membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator ani dipersarafi oleh N.
sakralis III dan IV. Nervus pudendalis mempersarafi sphincter ani eksterna dan
m.puborektalis. Saraf simpatis tidak mempengaruhi otot rektum. Defekasi
sepenuhnya dikontrol oleh N. N. splanknikus (parasimpatis). Akibatnya kontinensia
sepenuhnya dipengaruhi oleh N. pudendalis dan N. splanknikus pelvik (saraf
parasimpatis).7

2.2 Fisiologi Kolon


Fungsi usus besar ialah menyerap air, vitamin dan elektrolit, ekskresi mucus
serta menyimpan feses, dan kemudian mendorongnya keluar. Dari 700-1000 ml
cairan usus halus yang diterima oleh kolon, hanya 150-200 ml yang dikeluarkan
sebagai feses setiap harinya. Udara ditelan sewaktu makan, minum, atau menelan
ludah.10
Oksigen dan karbondioksida didalamnya diserap di usus, sedangkan
nitrogen bersama dengan gas hasil pencernaan dari peragian dikeluarkan sebagai
flatus. Jumlah gas di dalam usus mencapai 500 ml sehari. Pada infeksi usus,
produksi gas meningkat dan bila mendapat obstruksi usus, gas tertimbun di saluran
cerna yang menimbulkan flatulensi.10

2.3 Penyakit Hirschsprung


2.3.1 Definisi
Penyakit Hirschsprung atau megakolon aganglionik bawaan disebabkan
oleh kelainan inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan meluas ke
proksimal, melibatkan panjang usus yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan
setidak-tidaknya sebagian rectum. Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat dari
kegagalan perpindahan neuroblast dari usus proksimal ke distal. Segmen yang
aganglionik terbatas pada rektosigmoid pada 75% penderita, 10% sampai seluruh
usus, dan sekitar 5% dapat mengenai selruh usus sampai pylorus.11

13
Gambar 6. Gambaran Megacolon Kongenital12
Sumber: Diambil dari http://annisanurizzah.webnode.com/informasi-penyakit

2.3.2 Epidemiologi
Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar
1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan
tingkat kelahian 35 permil, maka diprediksikan akan lahir 1400 bayi dengan
penyakit hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit hirschsprung akan
dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.12
Menurut catatan Swenson, 81,1% dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-
laki, sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan pada
penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga). Beberapa kelainan kongenital
dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit Hirschsprung, namun hanya 2
kelainan yang memiliki angka yang cukup signifikan, yaitu Down Syndrome (5-
10%) dan kelainan urologi seperti refluks vesikoureter, hydronefrosis dan gangguan
vesica urinaria (mencapai 1/ kasus).4

2.3.3 Etiologi
Sampai tahun 1930an etiologi Penyakit Hirschsprung belum jelas diketa-
hui. Penyebab sindrom tersebut baru jelas setelah Robertson dan
Kernohan pada tahun 1938 serta Tiffin, Chandler,dan Faber pada tahun 1940
mengemukakan bahwa megakolon pada penyakit Hirschsprung primer disebabkan
oleh gangguan peristalsis usus dengan defisiensi ganglion di usus bagian distal.12
Sebelum tahun 1948 belum terdapat bukti yang menjelaskan apakah defek
ganglion pada kolon distal menjadi penyebab penyakit Hirschprung ataukah defek

14
ganglion pada kolon distal merupakan akibat dilatasi dari stasis feses dalam kolon.
Dari segi etiologi, Bodian dkk menyatakan bahwa aganglionosis pada penyakit
Hirschprung bukan disebabkan oleh kegagalan perkembangan inervasi
parasimpatik ekstrinsik, melainkan lesi primer, sehingga terdapat
ketidakseimbangan autonomik yang tidak dapat dikoreksi dengan simpatektomi.12
Kenyataan ini mendorong Swenson untuk mengengembangkan prosedur
bedah definitif penyakit Hirschsprung dengan pengangkatan segmen aganglion
disertai dengan preservasi sfingter anal.12

2.3.4 Patogenesis
Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada distal colon
dan spingter anus internal sehingga terjadi obstruksi. Maka dari itu bagian yang
abnormal akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal sehingga bagian yang
normal akan mengalami dilatasi di bagian proksimalnya. Bagian aganglionik selalu
terdapat dibagian distal rectum.7
Dasar patofisiologi dari HD adalah tidak adanya gelombang propulsive dan
abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus internus yang disebabkan
aganglionosis, hipoganglionosis atau disganglionosis pada usus besar.7

Gambar 7. Gambaran segmen aganglion pada penyakit hirschprung12


Sumber: Diambil dari http://www.netterimages.com/image/4493.htm

a. Hipoganglionosis
Pada proximal segmen dari bagian aganglion terdapat area
hipoganglionosis. Area tersebut dapat juga merupakan terisolasi.

15
Hipoganglionosis adalah keadaan dimana jumlah sel ganglion kurang dari 10
kali dari jumlah normal dan kerapatan sel berkurang 5 kali dari jumlah normal.
Pada colon inervasi jumlah plexus myentricus berkurang 50% dari normal.
Hipoganglionosis kadang mengenai sebagian panjang colon namun ada pula
yang mengenai seluruh colon.8
b. Imaturitas dari sel ganglion
Sel ganglion yang imatur dengan dendrite yang kecil dikenali dengan
pemeriksaan LDH (laktat dehidrogenase). Sel saraf imatur tidak memiliki
sitoplasma yang dapat menghasilkan dehidrogenase.
Sehingga tidak terjadi diferensiasi menjadi sel Schwanns dan sel saraf
lainnya. Pematangan dari sel ganglion diketahui dipengaruhi oleh reaksi
succinyldehydrogenase (SDH). Aktivitas enzim ini rendah pada minggu
pertama kehidupan. Pematangan dari sel ganglion ditentukan oleh reaksi SDH
yang memerlukan waktu pematangan penuh selama 2 sampai 4 tahun.
Hipogenesis adalah hubungan antara imaturitas dan hipoganglionosis.8
c. Kerusakan sel ganglion
Aganglionosis dan hipoganglionosis yang didapatkan dapat berasal dari
vaskular atau nonvascular. Yang termasuk penyebab nonvascular adalah
infeksi Trypanosoma cruzi (penyakit Chagas), defisiensi vitamin B1, infeksi
kronis seperti Tuberculosis. Kerusakan iskemik pada sel ganglion karena
aliran darah yang inadekuat, aliran darah pada segmen tersebut, akibat
tindakan pull through secara Swenson, Duhamel, atau Soave.8

2.3.5 Klasifikasi
Menurut letak segmen aganglionik maka penyakit ini dibagi dalam : 12
1. Megakolon kongenital segmen pendek
Bila segmen aganglionik meliputi rektum sampai sigmoid (70-80%).
2. Megakolon kongenital segmen panjang
Bila segmen aganglionik lebih tinggi dari sigmoid (20%).
3. Kolon aganglionik total
Bila segmen aganglionik mengenai seluruh kolon (5-11%)

16
4. Kolon aganglionik universal
Bila segmen aganglionik meliputi seluruh usus sampai pylorus (5%).

Gambar 8. Tipe penyakit hirschsprung,: (a) rectosigmoid aganglionosis, (b) short atau ultrashort
segment, (c) long segment, (d) total colonic aganglionosis, (e) aganglionosis ke seluruh kolon dan
sebagian ke usus kecil12
Sumber: Diambil dari http://www.netterimages.com/image/4493.htm

2.3.6 Manifestasi Klinis


Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan
usia gejala klinis mulai terlihat :
1. Periode Neonatal
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran
mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran
mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda
klinis yang signifikan. Swenson (1973) mencatat angka 94% dari
pengamatan terhadap 501 kasus, sedangkan Kartono mencatat angka 93,5%
untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk waktu 48 jam setelah lahir. Muntah
hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala mekonium
dapat dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman
komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat
menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu,
meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa
diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam.
Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan

17
manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah
dilakukan kolostomi.12
2. Anak
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah
konstipasi kronis dan gizi buruk. Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus
di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces
biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak
sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam
beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi. Kasus yang lebih ringan
mungkin baru akan terdiagnosis di kemudian hari. 12

2.3.7 Diagnosis
Berbagai teknologi tersedia untuk menegakkan diagnosis penyakit
Hirschsprung. Namun demikian, dengan melakukan anamnesis yang cermat,
pemeriksaan fisik yang teliti, pemeriksaan radiografi, serta pemeriksaan patologi
anatomi biopsi isap rectum, diagnosis penyakit Hirschsprung pada sebagian kasus
dapat ditegakkan. 12
1. Anamnesis12
a. Pada neonatus :
1) Mekonium keluar terlambat > 24 jam
2) Tidak dapat buang air besar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir
3) Perut cembung dan tegang
4) Muntah
5) Feses encer
b. Pada anak :12
1) Konstipasi kronis
2) Failure to thrive (gagal tumbuh)
3) Berat badan tidak bertambah
4) Nafsu makan tidak ada (anoreksia)

18
Gambar 9. Foto pasien penderita Hirschsprung12
Sumber: Diambil dari http://freddypanjaitan.wordpress.com/2011

2. Pemeriksaan Fisik12
Pada inspeksi abdomen terlihat perut cembung atau membuncit
seluruhnya, didapatkan perut lunak hingga tegang pada palpasi, bising usus
melemah atau jarang. Pada pemeriksaan colok dubur terasa ujung jari
terjepit lumen rektum yang sempit dan sewaktu jari ditarik keluar maka feses
akan menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan kemudian
kembung pada perut menghilang untuk sementara.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada
penyakit Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran
obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus
halus dan usus besar.11

19
Gambar 10. Foto polos abdomen pada penyakit Hirschsprung12
Sumber http://herryyudha.com/2012/01/hirschprung-disease-megakolon_09.html

Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa


Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas :11
1) Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang
panjangnya bervariasi
2) Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan
kearah daerah dilatasi
3) Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas
penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium,
yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces.
Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces
kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan
Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat
menggumpal di daerah rektum dan sigmoid.11

20
Gambar 11. Terlihat gambar barium enema penderita Hirschsprung.
Tampak rektum yang mengalami penyempitan,dilatasi sigmoid dan daerah transisi yang
melebar11
Sumber : Diambil dari http://www.szote.u-zeged.com

b. Anorectal manometry dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit


hirschsprung, gejala yang ditemukan adalah kegagalan relaksasi sfingter ani
interna ketika rectum dilebarkan dengan balon. Keuntungan metode ini
adalah dapat segera dilakukan dan pasien bisa langsung pulang karena tidak
dilakukan anestesi umum. Metode ini lebih sering dilakukan pada pasien
yang lebih besar dibandingkan pada neonatus. 11
c. Biopsy rectal merupakan gold standard untuk mendiagnosis penyakit
hirschprung. Pada bayi baru lahir metode ini dapat dilakukan dengan
morbiditas minimal karena menggunakan suction khusus untuk biopsy

21
rectum. Untuk pengambilan sample biasanya diambil 2 cm diatas linea
dentata dan juga mengambil sample yang normal jadi dari yang normal
ganglion hingga yang aganglionik. Metode ini biasanya harus menggunakan
anestesi umum karena contoh yang diambil pada mukosa rectal lebih tebal.11

2.3.8 Diagnosis Banding


1. Meconium plug syndrome12
Riwayatnya sama seperti permulaan penyakit Hirscprung pada neonatus, tapi
setelah colok dubur dan mekonium bisa keluar, defekasi selanjutnya normal.
2. Akalasia recti12
Keadaan dimana sfingter tidak bisa relaksasi sehingga gejalanya mirip dengan
Hirschprung tetapi pada pemeriksaan mikroskopis tampak adanya ganglion
Meissner dan Aurbach.

2.3.9 Penatalaksanaan
1. Tindakan Non Bedah
Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mencegah komplikasi-
komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan umum
penderita sampai pada saat operasi definitif dapat dikerjakan. Pengobatan non
bedah diarahkan pada stabilisasi cairan, elektrolit, asam basa dan mencegah
terjadinya over distensi sehingga akan menghindari terjadinya perforasi usus
serta mencegah terjadinya sepsis. Tindakan-tindakan nonbedah yang dapat
dikerjakan adalah pemasangan pipa nasogastrik, pemasangan pipa rektum,
pemberian antibiotik, lavase kolon dengan irigasi cairan, koreksi elektrolit serta
pengaturan nutrisi.12
2. Tindakan Bedah
a. Tindakan Bedah Sementara
Tindakan bedah sementara dimaksudkan untuk dekompresi
abdomen dengan cara membuat kolostomi pada kolon yang mempunyai
ganglion normal bagian distal. Tindakan dimaksudkan guna
menghilangkan obstruksi usus dan mencegah terjadinya enterokolitis
yang diketahui sebagai penyebab utama terjadinya kematian pada

22
penderita penyakit Hirschsprung. Manfaat lain dari kolostomi adalah
menurunkan angka kematian pada saat dilakukan tindakan bedah definitif
dan mengecilkan kaliber usus pada penderita Hirschsprung yang telah
besar sehingga memungkinkan dilakukan anastomose.12

b. Tindakan Bedah Definitif


Ada beberapa cara tindakan pembedahan yang dapat digunakan
untuk tindakan bedah definitif antara lain teknik Swenson, Duhamel,
Soave dan Rehbein Operation.12

Gambar 12. Tekhnik Operasi Definitif pada Hirschprung Disease12


Sumber: Diambil dari http://herryyudha.com/2012/01/ hirschprung-disease-
megakolon_09.html

1) Prosedur Swenson
Swenson memperkenalkan prosedur rektosigmoidektomi dengan
preservasi sfingter anal. Anastomosis dilakukan langsung di luar
rongga peritoneal. Pembedahan ini disebut sebagai prosedur
rektosigmoidektomi dilanjutkan dengan pull-through abdomino-
perineal. Puntung rektum ditinggalkan 2-3 cm dari garis mukokutan.
Pada masa pascabedah ditemukan beberapa komplikasi seperti
kebocoran anastomosis, stenosis, inkontinensi, enterokolitis dan lain-
lain.13

Teknik Pembedahan
Reseksi kolon aganglion dimulai dengan pemotongan arteri dan
vena sigmoidalis dan hemoroidalis superior. Segmen sigmoid

23
dibebaskan beberapa sentimeter dari dasar peritoneum sampai 1-2 cm
proksimal kolostomi. Puntung rektosigmoid dibebaskan dari jaringan
sekitarnya di dalam rongga pelvis untuk dapat diprolapskan melalui
anus. Pembebasan kolon proksimal dilakukan untuk memungkinkan
kolon tersebut dapat ditarik ke perineum melalui anus tanpa
tegangan.13

Puntung rektum diprolapskan dengan tarikan klem yang


dipasang di dalam lumen. Pemotongan rektum dilakukan 2 cm
proksimal dari garis mukokutan, bagian posterior dan bagian anterior
sama tinggi (Prosedur Swenson I). Atau pemotongan dilakukan dengan
arah miring, 2 cm di bagian anterior dan 0,5 cm di bagian posterior
(prosedur Swenson II). Selanjut-nya, kolon proksimal ditarik ke
perineum melalui puntung rektum yang telah terbuka. Anastomosis
dilakukan dengan jahitan dua lapis dengan menggunakan benang
sutera atau benang vicryl. Setelah anastomosis kolorektal selesai
dilakukan, kemudian rektum dimasukkan kembali ke rongga pelvis.
Reperitonealisasi dilakukan dengan perhatian pada vaskularisasi kolon
agar tidak terjahit. Penutupan dinding abdomen dilakukan setelah
pencucian rongga peritoneum. Kateter dan pipa rektal kecil
dipertahankan untuk 2 - 3 hari.13

Gambar 13. Prosedur Swenson12


Sumber : http://herryyudha.com/2012/01/hirschprung-disease-megakolon_09.html

24
2) Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk
mengatasi kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip
dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke
arah anal melalui bagian posterior rectum yang aganglionik,
menyatukan dinding posterior rektum yang aganglionik dengan
dinding anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga
membentuk rongga baru dengan anastomose end to side. Prosedur
Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranya sering terjadi
stenosis, inkontinensia dan pembentukan fekaloma di dalam puntung
rektum yang ditinggalkan apabila terlalu panjang.12

Oleh sebab itu dilakukan beberapa modifikasi prosedur


Duhamel, diantaranya :12
a) Modifikasi Grob (1959)
Anastomose dengan pemasangan 2 buah klem melalui sayatan
endoanal setinggi 1,5-2,5 cm, untuk mencegah inkontinensi
b) Modifikasi Talbert dan Ravitch
Modifikasi berupa pemakaian stapler untuk melakukan anastomose
side to side yang panjang
c) Modifikasi Ikeda
Ikeda membuat klem khusus untuk melakukan anastomose, yang
terjadi setelah 6-8 hari kemudian
d) Modifikasi Adang
Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik transanal dibiarkan prolaps
sementara. Anastomose dikerjakan secara tidak langsung, yakni pada
hari ke 7-14 pasca bedah dengan memotong kolon yang prolaps dan
pemasangan 2 buah klem; kedua klem dilepas 5 hari berikutnya.
Pemasangan klem disini lebih dititik beratkan pada fungsi hemostasis.

25
Gambar 14. Skema tahapan bedah definitif prosedur Duhamel modifikasi. (1)
gambar kolon dan rektum setelah reseksi kolon dilatasi; (2) pembebasan ruang
retrorektal dari lantai dasar peritoneum; (3) posisi kolon setelah pull-through
retrorektal, kolon dibiarkan prolaps; (4) dan (5), tahapan anastomosis, reseksi kolon
yang diprolapskan dan setelah reseksi septum.12
Sumber : Diambil dari http://herryyudha.com/2012/01/hirschprung-disease-
megakolon_09.html

3) Prosedur Soave atau Endorectal Pull Through


Soave mengerjakan prosedur bedah yang berbeda dengan dua
prosedur bedah seperti diuraikan di atas. la melakukan pendekatan
abdominoperineal dengan membuang lapisan mukosa rektosigmoid
dari lapisan seromuskular. Selanjutnya dilakukan penarikan kolon
berganglion normal keluar anus melalui selubung seromuskular
rektosigmoid. Prosedur ini disebut juga sebagai prosedur pull-through
endorektal. Setelah 21 hari, sisa kolon yang diprolapskan dipotong.
Boley pada waktu yang hampir bersamaan melakukan prosedur pull-
through endorektal persis seperti prosedur Soave dengan anastomosis
langsung tanpa kolon diprolapskan lebih dahulu. Tehnik ini dilakukan
untuk mencegah retraksi kolon bila terjadi nekrosis bagian kolon yang
diprolapskan.13

26
Gambar 15. Skema tahapan bedah prosedur Soave (sigmoidektomi dengan tarik-
melalui endorektal). Reseksi kolon disertai diseksi mukosa rektum, sehingga tersisa
selubung seromuskular.12

Sumber : http://herryyudha.com/2012/01/hirschprung-disease-megakolon_09.html

4) Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana
dilakukan anastomose end to end antara usus aganglionik dengan
rektum pada level otot levator ani (2-3 cm diatas anal verge),
menggunakan jahitan 1 lapis yang dikerjakan intra abdominal
ekstraperitoneal. Pasca operasi, sangat penting melakukan businasi
secara rutin guna mencegah stenosis.12

Gambar 16. Skema tahapan bedah prosedur Rehbein, deep anterior resection (rekto-
sigmoidektomi dengan anastomosis ujung-ke-ujung, dilakukan intraabdominal extraperitoneal). 12

Sumber : http://herryyudha.com/2012/01/hirschprung-disease-megakolon_09.html

2.3.10 Komplikasi
Secara garis besar, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung
dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis, enterokolitis dan
gangguan fungsi spinkter. Beberapa hal dicatat sebagai faktor predisposisi
terjadinya penyulit pasca operasi, diantaranya : usia muda saat operasi, kondisi
umum penderita saat operasi, prosedur bedah yang digunakan, keterampilan dan
pengalaman dokter bedah, jenis dan cara pemberian antibiotik serta perawatan
pasaca bedah.12

27
1. Kebocoran Anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh
ketegangan yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak
adekuat pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar
anastomose serta trauma colok dubur atau businasi pasca operasi yang
dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati.12
Kartono mendapatkan angka kebocoran anastomese hingga 7,7%
dengan menggunakan prosedur Swenson, sedangkan apabila dikerjakan
dengan prosedur Duhamel modifikasi hasilnya sangat baik dengan tak satu
kasus pun mengalami kebocoran.12
Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran anastomose ini
beragam. Kebocoran anastomosis ringan menimbulkan gejala peningkatan
suhu tubuh, terdapat infiltrat atau abses rongga pelvik, kebocoran berat
dapat terjadi demam tinggi, pelvioperitonitis atau peritonitis umum , sepsis
dan kematian. Apabila dijumpai tanda-tanda dini kebocoran, segera dibuat
kolostomi di segmen proksimal.4,12
2. Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi dapat disebabkan oleh gangguan
penyembuhan luka di daerah anastomose, infeksi yang menyebabkan
terbentuknya jaringan fibrosis, serta prosedur bedah yang dipergunakan.
Stenosis sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur Swenson atau
Rehbein, stenosis posterior berbentuk oval akibat prosedur Duhamel
sedangkan bila stenosis memanjang biasanya akibat prosedur Soave.
Manifestasi yang terjadi dapat berupa gangguan defekasi yaitu kecipirit,
distensi abdomen, enterokolitis hingga fistula perianal. Tindakan yang dapat
dilakukan bervariasi, tergantung penyebab stenosis, mulai dari businasi
hingga sfingterektomi posterior.4
3. Enterokolitis
Enterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya, dan dapat
berakibat kematian. Swenson mencatat angka 16,4% dan kematian akibat
enterokolitis mencapai 1,2%. Kartono mendapatkan angka 14,5% dan

28
18,5% masing-masing untuk prosedur Duhamel modifikasi dan Swenson.
Sedangkan angka kematiannya adalah 3,1% untuk prosedur Swenson dan
4,8% untuk prosedur Duhamel modifikasi. Tindakan yang dapat dilakukan
pada penderita dengan tanda-tanda enterokolitis adalah 4
a. Segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit,
b. Pemasangan pipa rektal untuk dekompresi,
c. Melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari
d. Pemberian antibiotika yang tepat.
Sedangkan untuk koreksi bedahnya tergantung penyebab/prosedur
operasi yang telah dikerjakan. Businasi pada stenosis, sfingterotomi
posterior untuk spasme spingter ani, dapat juga dilakukan reseksi ulang
stenosis. Prosedur Swenson biasanya disebabkan spinkter ani terlalu ketat
sehingga perlu spinkterektomi posterior. Sedangkan pada prosedur Duhamel
modifikasi, penyebab enterokolitis biasanya adalah pemotongan septum
yang tidak sempurna sehingga perlu dilakukan pemotongan ulang yang lebih
panjang.12
Enterokolitis dapat terjadi pada semua prosedur tetapi lebih kecil
pada pasien dengan endorektal pullthrough. Enterokolitis merupakan
penyebab kecacatan dan kematian pada megakolon kongenital, mekanisme
timbulnya enterokolitis menurut Swenson adalah karena obtruksi parsial.
Obtruksi usus pasca bedah disebabkan oleh stenosis anastomosis, sfingter
ani dan kolon aganlionik yang tersisa masih spastik. Manifestasi klinis
enterokolitis berupa distensi abdomen diikuti tanda obtruksi seperti muntah
hijau atau fekal dan feses keluar eksplosif cair dan berbau busuk.
Enterokolitis nekrotikan merupakan komplikasi paling parah karena terjadi
nekrosis, infeksi dan perforasi. Hal yang sulit pada megakolon kongenital
adalah terdapatnya gangguan defekasi pasca pullthrough, kadang ahli bedah
dihadapkan pada konstipasi persisten dan enterokolitis berulang pasca
bedah.12
4. Gangguan Fungsi Sphingter

29
Hingga saat ini, belum ada suatu parameter atau skala yang diterima
universal untuk menilai fungsi anorektal ini. Fecal soiling (kecepirit)
merupakan parameter yang sering dipakai peneliti terdahulu untuk menilai
fungsi anorektal pasca operasi, meskipun secara teoritis tersebut tidaklah
sama. Kecipirit adalah suatu keadaan keluarnya feces lewat anus tanpa dapat
dikendalikan oleh penderita, keluarnya sedikit-sedikit dan sering. Untuk
menilai kecipirit, umur dan lamanya pasca operasi sangatlah menentukan,
Swenson memperoleh angka 13,3% terjadinya kecipirit, sedangkan
Kleinhaus justru lebih rendah yakni 3,2% dengan prosedur yang sama.
Kartono mendapatkan angka 1,6% untuk prosedur Swenson dan 0% untuk
prosedur Duhamel modifikasi. Sedangkan prosedur Rehbein juga
memberikan angka 0%. Pembedahan dikatakan berhasil bila penderita dapat
defekasi teratur dan kontinen.12

2.3.10 Prognosis
Secara umum prognosisnya baik jika gejala obstruksi segera diatasi, 90%
pasien dengan penyakit hirschprung yang mendapat tindakan pembedahan
mengalami penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien yang masih mempunyai
masalah dengan saluran cernanya sehingga harus dilakukan kolostomi permanen.
Angka kematian akibat komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar
20%. 12

30
DAFTAR PUSTAKA

1. KA Sari. 2011. Penyakit Hirschsprung. Medan: Universitas Sumatra Utara


2. Asrul mappiwali. 2011.Hirschprung Disease. Available from: URL:
http://www.scribd.com diakses 7 september 2012
3. Hidayat M, Nurmantu F, Bahar B. Anorectal Function of Hirsphrungs Patients After
Definitive Surgery. The Indonesian Journal of Medical Science. 2009 June;2(2): 77-
78
4. Swenson O. Hirschsprungs disease : A Review. J Pediatr 2002 ; 109 : 914-918
5. Sadler,T.W, 2000. Sistem Pencernaan.Dalam : Embriologi Kedokteran LangmanEdi
si 7,Jakarta : EGC, 243-271
6. Lindseth, Glenda N, 2005. Gangguan Usus Besar. Hartanto Huriawati. Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit , Volume 1, Edisi 6.Jakarta. EGC. 456-468
7. Leonidas J.C., Singh S.P., Slovis T.L. 2004. Chapter 4 Congenital Anomalies of The
Gastrointestinal Tract In: Caffeys Pediatric Diagnostic Imaging 10th edition.
Elsevier-Mosby. Philadelphia. Page 148-153
8. Holschneider A., Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschsprungs Disease in: Ashcraft
Pediatric Surgery 3rd edition W.B. Saunders Company. Philadelphia. page 453-468.
9. Taylo,Clive R, 2005. Struktur dan Fungsi, Sindrom Malabsorbsi, Obstruksiusus.
Mahanani, Dewi Asih,dkk. Ringkasan Patologi Anatomi. Jakarta.EGC5. 532-538
10. Pieter, John, 2005. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum.Sjamsuhidaja R,
De Jong,Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi II. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC, 646-647
11. Wyllie, Robert, 2000. Megakolon Aganglionik Bawaan (PenyakitHirschsprung)
.Behrmann, Kliegman, Arvin. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15, Jilid
II. Jakarta: EGC, 1316-1319
12. Kartono, Darmawan, 2004. Penyakit Hirschsprung.. Jakarta : Sagung Seto, 3-82
13. Hansen, T.J., Koeppen, B.M. 2006. Chapter35 Digestive System in Netters Atlas of
Humans Anatomy. McGraw-Hill. New York. Page 617-640.
14. Lee, Steven L. Hirschprung disease. Available from :
http://emedicine.medscape.com. Diakses tanggal 8 September 2012.

31
15. Anatomi Kolon. Available from: URL: http://www.scribd.com diakses 7 september
2012
16. Victor,P. E. 2007. Atlas of Histology with Functional Correlation. New York. Page
42
17. Urban, Fischer. 2007. Atlas of Human Anatomy Sobotta

32

Anda mungkin juga menyukai