SKENARIO 1
BLOK MEDIKOLEGAL
MATA DIOBATI MENJADI BUTA
KELOMPOK B-5
KETUA: NURYADI HERMITA 1102012209
SEKRETARIS: YUNISA TRIVARSARY L.R.P 1102012314
ANGGOTA: NUR ISNAENI EVRY KURNIAWATI 1102012203
RANIA MERRIANE DEVINA 1102012224
RIKA DWI ANGGRAINI 1102012247
RIVANTI MEDYANA PUTRI 1102012249
SEPTHA AMELIA DEVI 1102012269
SORAYA DWI KHAIRUNNISA 1102012285
SYIFA ANANTA KHAIRUNNISA 1102012290
TAMARA FIRDAUS ANINDHITA 1102012292
Tidak terima matanya menjadi hbuta, Haslinda bersama tim kuasa hukum dari Lembaga Bantuan
Hukum Kesehatan mendatangi ke Polda Metro Jaya untuk melaporkan dugaan malpraktek
dokter, Waldensius Girsang di Rumah Sakit Jakarta Eyes Center.
Haslinda menuturkan, pada 6 Maret lalu, Kemerahan pada mata, kabur penglihatan, kepekaan
terhadap cahaya (ketakutan dipotret), gelap, mata sakit sudah disampaikan ke okter Fikri Umar
Purba yang kemudian didiagnosis sebagai penyakit uveitis tuberkulosa. Namun beberapa hari
kemudian setelah ditangani oleh dokter Purba, mata Haslinda tidak kembali berfungsi normal
atau menjadi buta.
Sementara itu, Dokter Purba yang ditemui di Rumah Sakit Jakarta Eyes Center membantah telah
melakukan malpraktek terhadap Haslinda.
Dalam pengaduannya, Jakarta Timur ini tidak menyebutkan tuntutan materil dan inmateril
kepada dokter Purba dan Rumah Sakit Jakarta Eyes Center sebagai pihak yang diduga
melakukan malpraktek.
Pengacara pasien juga menuliskan dasar gugatannyaberdasarkan:
1. Pasal 27 (1) UUD 1945
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
4. UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
5. UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kesehatan
6. UU No 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
7. Kode Etik Kedokteran
8. UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
KATA SULIT
1. PIDANA: Segala sesuatu yang melanggar hokum / sebuah tindakan kejahatan
2. MALPRAKTEK: kesalahan yang dilakukan tenaga kesehatan dalam melaksanakan
profesinya yang sesuai dengan standar profesi dan operasionalnya
3. HUKUM PERDATA: Ketentuan yang mengatur hak dan kepentingan individu dalam
masyarakat
PERTANYAAN
1. Apa tugas dari Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan?
2. Kriteria Malpraktek?
3. Kenapa pelapor tidak menuntut materil dan imateril?
4. Apa bentuk perlindungan yang diberikan RS kepada dokter?
5. Contoh malpraktek?
6. Hukum malpraktek dalam islam?
7. Apa saja upaya pencegahan terjadinya malpraktek?
8. Bagaimana cara penyelesaian kasus ini?
9. Lembaga apa yang mengurus masalah malpraktek?
JAWABAN
1. Melindungi masyarakat yang menjadi korban malpraktek
2. Tidak melakukan informed consent, salah diagnosis dan terapi, tidak membuat rekam
medis
3. Kemungkinan pengacara ingin menjatuhkan nama dokter
4. Memberikan rekam medis pasien selengkap-lengkapnya
5. Aborsi illegal, salah dalam mendiagnosis, dan tatalaksana nya
6. Haram
7. Kerja sesuai dengan SOP, informed consent yang jelas, rekam medis yang jelas, tidak
menjanjikan kesembuhan
8. Negosiasi mediasi keputusan
9. MKDKI, MKEK, komisi etik RS
HIPOTESIS
KRITERIA: CONTOH:
Aborsi illegal,
- Tidak melakukan informed consent
salah dalam
- Salah diagnosis dan terapi
mendiagnosis,
- Tidak membuat rekam medis PERLINDUNGAN
dan tatalaksana
YANG DIBERIKAN
RS: Memberikan
rekam medis pasien
selengkap-lengkapnya
PENCEGAHAN:
CARA PENYELESAIAN
Negosiasi
Mediasi
Putusan
SASARAN BELAJAR
Pengertian malpraktik medik menurut WMA (World Medical Associations) adalah Involves
the physicians failure to conform to the standard of care for treatmentof the patients
condition, or a lack of skill, or negligence in providing care to thepatient, which is the direct
cause of an injury to the patient (adanya kegagalan dokter untuk menerapkan standar
pelayanan terapi terhadap pasien, atau kurangnya keahlian, atau mengabaikan perawatan
pasien, yang menjadi penyebab langsung terhadap terjadinya cedera pada pasien).
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga kesehatan berlaku norma etika dan norma
hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah
diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang
etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical
malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga perawatan berlaku
norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain
apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar
menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk
menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga
berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan
tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief
Justice, 1893).
Sesuatu perbuatan atau sikap medis dianggap lalai apabila memenuhi empat unsur 4D, yaitu:
a. Duty. Ada kewajiban medis untuk melakukan tindakan medis tertentu terhadap pasien
pada situasi kondisi tertentu
b. Derelection of that duty. Adanya penyimpangan kewajiban tersebut
c. Damage. Segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan
kesehatan kedokteran yang diberikan
d. Direct causal relationship. Dapat dibuktikan adanya hubungan sebab akibat yang nyata
antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian
LO 1.2 KLASIFIKASI
Berpijak pada hakekat malpraktek adalan praktik yang buruk atau tidak sesuai dengan
standar profesi yang telah ditetepkan, maka ada bermacam-macam malpraktek yang dapat
dipiah dengan mendasarkan pada ketentuan hukum yang dilanggar, walaupun kadang kala
sebutan malpraktek secara langsung bisa mencakup dua atau lebih jenis malpraktek. Secara
garis besar malprakltek dibagi dalam dua golongan besar yaitu mal praktik medik
(medicalmalpractice) yang biasanya juga meliputi malpraktik etik (etichalmalpractice) dan
malpraktek yuridik (yuridicalmalpractice). Sedangkan malpraktik yurudik dibagi menjadi
tiga yaitu malpraktik perdata (civilmalpractice), malpraktik pidana (criminalmalpractice) dan
malpraktek administrasi Negara (administrativemalpractice).
Malpraktik perdata terjadi jika dokter tidak melakukan kewajiban (ingkar janji)
yaitu tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati. Tindakan dokter
yang dapat dikatagorikan sebagai melpraktik perdata antara lain :
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan
b. Melakukan apa yang disepakati dilakukan tapi tidak sempurna
c. Melakukan apa yang disepakati tetapi terlambat
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatan tidak seharusnya dilakukan
b. Malpraktik Pidana (criminalmalpractice)
Malpraktik pidana terjadi, jika perbuatan yang dilakukan maupun tidak dilakukan
memenuhi rumusan undang-undang hukum pidana. Perbuatan tersebut dapat berupa
perbuatan positif (melakukan sesuatu) maupun negative (tidak melakukan sesuatu) yang
merupakan perbuatan tercela (actus reus), dilakukan dengan sikap batin yang slah (mens
rea) berupa kesengajaan atau kelalauian. Contoh malpraktik pidana dengan sengaja
adalah :
a. Melakukan aborsi tanpa tindakan medik
b. Mengungkapkan rahasia kedi\okteran dengan sengaja
c. Tidak memberikan pertolongan kepada seseorang yang dalam keadaan darurat
d. Membuat surat keterangan dokter yang isinya tidak benar
e. Membuat visum et repertum tidak benar
Peraturan Hukum
Pemberlakukan hukum pidana dalam kasus-kasus kelalaian medis yang terjadi di dalam
penyelenggaraan praktek kedokteran haruslah sebagai ultimatum remidium artinya hukum
pidana sebagai alternatif terakhir apabila upaya-upaya non litigasi sudah tidak bisa lagi
berhasil untuk mengatasi permasalahan yang timbul. Selain iitu juga karena praktek
kedokteran merupakan profesi yang sangat mulia dan luhur yang diperlukan oleh banyak
orang dan praktek kedokteran dijamin pelaksanaannya oleh undang-undang.
LO 1.4 PENCEGAHAN
Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga medis karena adanya
malpraktek diharapkan tenaga dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena
perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan
berhasil (resultaat verbintenis).
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan
segalakebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
Apabila tuduhan kepada kesehatan merupakan criminal malpractice, maka tenaga kesehatan
dapat melakukan :
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa
tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang
ada, misalnya perawat mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan
tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa
dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam
perumusan delik yang dituduhkan.
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau
menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan
cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk
membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang
dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya perawat menggunakan jasa penasehat hukum,
sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana perawat digugat membayar
ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena
dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan
perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan
bahwa tergugat (perawat) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak
diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk
membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya
hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan
(damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan
dan hal inilah yang menguntungkan tenaga perawatan.
Dalam hal pengembangan dan pelaksaaan kebijakan yang bersifat nasional dan strategis,
MKEK wajib mendapat persetujuan dalam forum Musyawarah Pimpinan Pusat.
MKEK dibentuk pada tingkat pusat, wilayah, dan cabang. MKEK di tingkat cabang dibentuk
apabila dianggap perlu atas pertimbangan dan persetujuan dari MKEK wilayah. MKEK
bertanggung jawab kepada muktamar musyawarah wilayah dan musyawarah cabang sesuai
dengan tingkat kepengurusan.
Status MKEK:
1. Sebagai badan otonom IDI
2. Segala keputusannya di bidang etika tidakdipengaruhi pengurus IDI
3. Keputusan MKEK mengikat pengurus IDI
Kewajiban MKEK
1. MKEK wajib ikut mempertahankan hubungan dokter pasien sebagai hubungan
kepercayaan.
2. MKEK Pusat mempertanggungjawabkan kinerja dari program kerjanya kepada
Muktamar, MKEK Wilayah kepada Musyawarah Wilayah IDI dan MKEK Cabang ke
Rapat Anggota Cabang IDI setempat
3. MKEK wajib menyimpan kerahasiaan medik kasus yang disidangkannya apabila
secara eksplisit diminta oleh pasien pengadu.
4. MKEK Pusat dalam batas kemampuannya wajib meningkatkan kapasitas
pengetahuan, sikap dan ketrampilan anggota MKEK Wilayah dan Cabang yang
memerlukannya.
Fungsi
Perkara yang dapat diputuskan di majelis ini sangat bervariasi jenisnya. Di MKEK IDI
Wilayah DKI Jakarta diputus perkara-perkara pelanggaran etik dan pelanggaran disiplin
profesi, yang disusun dalam beberapa tingkat berdasarkan derajat pelanggarannya
Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak dapat
dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam bentuk
permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli
di pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya
persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham
dengan putusan MKEK.
Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau
Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya
diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter
teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan.
Tatacara Pengelolaan
a. Ketua MKEK dipilih dan ditetapkan dalam muktamar, musyawarah wilayah dan
musyawarah cabang.
b. Pengurus MKEK adalah anggota biasa.
c. Ketua MKEK tingkat pusat dipilih dalam sidang khusus MKEK di muktamar dan
dikukuhkan dalam sidang pleno muktamar.
d. MKEK segera menjalankan tugas-tugasnya setelah selesainya muktamar,
musyawarah wilayah, dan musyawarah cabang.
e. MKEK dapat melakukan kegiatan atas inisiatif sendiri ataupun atas usul serta
permintaan.
f. MKEK mengadakan pertemuan berkala sesama pengurus ataupun dengan pihak lain
yang ditentukan sendiri oleh MKEK.
Tugas MKDKI :
a. menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter
dan dokter gigi yang diajukan dan
b. menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter atau
dokter gigi.
Disiplin Kedokteran
Disiplin kedokteran berarti kepatuhan menerapkan aturan-aturan atau ketentuan penerapan
keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan. Lebih khusus lagi yaitu kepatuhan menerapkan
kaidah-kaidah penatalaksanaan klinis yang mencakup penegakan diagnosis, tindakan
pengobatan, menetapkan prognosis, dengan standar atau indikator dari Standar Kompetensi,
Standar Perilaku Etis, Standar Asuhan Medis dan Standar Klinik
Jika keempat kriteria tersebut terpenuhi, akan dilanjutkan dengan pemeriksaan oleh Majelis
Pemeriksa Disiplin (MPD)
Dalam formulir pengaduan, terdapat beberapa informasi yang harus diberikan, antara lain :
1. Identitas pengadu/pelapor;
2. Identitas pasien (jika pengadu bukan pasien);
3. Nama dan tempat praktik dokter/dokter gigi yang diadukan;
4. Waktu tindakan dilakukan;
5. Alasan pengaduan dan kronologis;
6. Pernyataan tentang kebenaran pengaduan, dsb
Setelah semua kelengkapan data pengaduan diterima, Anda akan mendapatkan tanda terima
pengaduan (berisi nomor register pengaduan). Setelah dilakukan verifikasi, pengaduan akan
ditangani oleh Majelis Pemeriksa Awal ataupun Majelis Pemeriksa Disiplin.
Sesuai UU Praktik Kedokteran, sanksi disiplin dalam keputusan MKDKI dapat berupa:
1. Pemberian peringatan tertulis
2. Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) atau Surat Izin Praktik (SIP);
dan/atau
3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran
atau kedokteran gigi
MKDKI dapat menangani permintaan ganti rugi/kompensasi yang diajukan terhadap dokter
teradu:
1. MKDKI berwenang untuk menentukan ada tidaknya pelanggaran disiplin oleh
dokter/dokter gigi
2. MKDKI berwenang menetapkan sanksi disiplin kepada dokter/dokter gigi yang
dinyatakan melanggar disiplin kedokteran/kedokteran gigi
3. MKDKI tidak menangani sengketa antara dokter dan pasien/keluarganya
4. MKDKI tidak menangani permasalahan ganti rugi yang diajukan pasien/keluarganya
Keputusan MKDKI bersifat final dan mengikat dokter/dokter gigi yang diadukan, KKI,
Departemen Kesehatan, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, serta instansi terkait.
Dokter/dokter gigi yang diadukan dapat mengajukan keberatan terhadap keputusan MKDKI
kepada Ketua MKDKI dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari sejak dibacakan atau
diterimanya keputusan tersebut dengan mengajukan bukti baru yang mendukung
keberatannya.
Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup untuk dapat
mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan. Informed consent juga berarti
mengambil keputusan bersama. Hak pasien untuk menentukan nasibnya dapat terpenuhi
dengan sempurna apabila pasien telah menerima semua informasi yang ia perlukan sehingga
ia dapat mengambil keputusan yang tepat. Kekecualian dapat dibuat apabila informasi yang
diberikan dapat menyebabkan guncangan psikis pada pasien. Secara keseluruhan, tujuannya
adalah:
a. Perlindungan pasien untuk segala tindakan medik. Perlakuan medik tidak
diketahui/disadari pasien/keluarga, yang seharusnya tidak dilakukan ataupun yang
merugikan/membahayakan diri pasien.
b. Perlindungan tenaga kesehatan terhadap terjadinya akibat yang tidak terduga serta
dianggap meragukan pihak lain. Tak selamanya tindakan dokter berhasil, tak terduga
malah merugikan pasien meskipun dengan sangat hati-hati, sesuai dengan SOP. Peristiwa
tersebut bisa risk of treatment ataupun error judgement.
Dokter harus menyadari bahwa informed consent memiliki dasar moral dan etik yang kuat.
Menurut American College of Physicians Ethics Manual, pasien harus mendapat informasi
dan mengerti tentang kondisinya sebelum mengambil keputusan. Berbeda dengan teori
terdahulu yang memandang tidak adanya informed consent menurut hukum penganiayaan,
kini hal ini dianggap sebagai kelalaian. Informasi yang diberikan harus lengkap, tidak hanya
berupa jawaban atas pertanyaan pasien.
a. Merupakan sarana legimitasi bagi dokter untuk melakukan intervensi medik yang
mengandung resiko serta akibat yang tidak menyenangkan
b. Merupakan pernyataan sepihak; maka yang menyatakan secara tertulis (written consent)
hanya yang bersangkutan saja yang seharusnya menandatangani
c. Merupakan dokumen walau tidak pakai materai tetap syah.
Mengenai apa yang disampaikan, tentulah segala sesuatu yang berkaitan dengan penyakit
pasien. Tindakan apa yang dilakukan, tentunya prosedur tindakan yang akan dijalani pasien
baik diagnostic maupun terapi dan lain-lain sehingga pasien atau keluarga dapat
memahaminya. Ini mencangkup bentuk, tujuan, resiko, manfaat dari terapi yang akan
dilaksanakan dan alternative terapi (Hanafiah, 1999).
Secara umum dapat dikatakan bahwa semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap
pasien yang harus diinformasikan sebelumnya, namun izin yang harus diberikan oleh pasien
dapat berbagai macam bentuknya, baik yang dinyatakan ataupun tidak. Yang paling untuk
diketahui adalah bagaimana izin tersebut harus dituangkan dalam bentuk tertulis, sehingga
akan memudahkan pembuktiannya kelak bila timbul perselisihan.
Secara garis besar dalam melakukan tindakan medis pada pasien, dokter harus menjelaskan
beberapa hal, yaitu:
1. Garis besar seluk beluk penyakit yang diderita dan prosedur perawatan / pengobatan
yang akan diberikan / diterapkan.
2. Resiko yang dihadapi, misalnya komplikasi yang diduga akan timbul.
3. Prospek / prognosis keberhasilan ataupun kegagalan.
4. Alternative metode perawatan / pengobatan.
5. Hal-hal yang dapat terjadi bila pasien menolak untuk memberikan persetujuan.
6. Prosedur perawatan / pengobatan yang akan dilakukan merupakan suatu percobaan
atau menyimpang dari kebiasaan, bila hal itu yang akan dilakukan Dokter juga perlu
menyampaikan (meskipun hanya sekilas), mengenai cara kerja dan pengalamannya
dalam melakukan tindakan medis tersebut (Achadiat, 2007).
Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan
tindakan kedokteran :
Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.
Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.
Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan
melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan ( Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No 290
/ Menkes / PER / III / 2008 ). Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar daripada persetujuan (Ayat 2).
c. Bagi pasien kurang 21 tahun tidak punya orang tua/berhalangan, urutan hak :
- Ayah/ibu adopsi
- Saudara-saudara kandung
- Induk semang
9. Jenis tindakan medis yang perlu informed consent disusun oleh komite medik ditetapkan
pimpinan RS.
10. Tidak diperlukan bagi pasien gawat darurat yang tidak didampingi oleh keluarga pasien.
11. Format isian informed consent persetujuan atau penolakan
- Diketahui dan ditandatangani oleh kedua orang saksi, perawat bertindak sebagai
salah satu saksi
- Materai tidak diperlukan
- Formulir asli harus dismpan dalam berkas rekam medis pasien
- Formulir harus ditandatangan 24 jam sebelum tindakan medis dilakukan
- Dokter harus ikut membubuhkan tanda tangan sebagai bukti telah diberikan
informasi
- Bagi pasien/keluarga buta huruf membubuhkan cap jempol ibu jari tangan
kanannya
12. Jika pasien menolak tandatangan surat penolakan maka harus ada catatan pada rekam
medisnya.
"Barang siapa yang praktek menjadi dokter dan sebelumnya tidak diketahui
memiliki keahlian, maka ia bertanggungjawab.
Kesalahan ini sangat berat, karena menganggap remeh kesehatan dan nyawa banyak
orang, sehingga paru ulama sepakat bahwa pelakunya ( mutathabbib) harus
bertanggungjawab jika timbul masalah dan harus dihukum agar jera dan menjadi
pelajaran bagi orang lain.
Yang dimaksud dengan pinsip ilmiah adalah dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang telah
baku dan biasa dipakai oleh para dokter, baik secara teori maupun praktek, dan harus
dikuasai oleh dokter saat menjalani profesi kedokteran.
Para ulama telah menjelaskan kewajiban para dokter untuk mengikuti prinsip-prinsip
ini dan tidak menyalahinya.Imam asy-Syafi'i misalnya- mengatakan: "Jika menyuruh
seseorang untuk membekam, mengkhitan anak, atau mengobati hewan piaraan, kemudian
semua meninggal karena praktek itu, jika orang tersebut telah melakukan apa yang
seharusnya dan biasa dilakukan untuk maslahat pasien menurut para pakar dalam profesi
tersebut, maka ia tidak bertanggungjawab. Sebaliknya jika ia tahu dan menyalahinya,
maka ia bertanggungjawab." Bahkan hal ini adalah kesepakatan para ulama semuanya,
sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim
Hanya saja, hakim harus lebih jeli dalam menentukan apakah benar-benar terjadi
pelanggaran prinsip-prinsip ilmiah dalam kasus yang diangkat, karena ini termasuk
permasalahan yang pelik.
3. Ketidaksengajaan ( khatha' ).
PEMBUKTIAN MALPRAKTEK
Agama Islam mengajarkan bahwa tuduhan harus dibuktikan. Demikian pula, tuduhan
malparaktek harus diiringi dengan bukti, dan jika terbukti harus ada pertanggungjawaban
dari pelakunya. Ini adalah salah satu wujud keadilan dan kemuliaan ajaran Islam. Jika
tuduhan langsung diterima tanpa bukti, dokter dan paramedis terzhalimi, dan itu bisa
membuat mereka meninggalkan profesi mereka, sehingga akhirnya membahayakan
kehidupan umat manusia. Sebaliknya jika tidak ada pertanggungjawaban atas tindakan
malpraktek yang terbukti, pasien terzhalimi, dan para dokter bisa jadi berbuat seenak
mereka.
Seorang hakim bisa memakai bukti-bukti yang diakui oleh syariat sebagai berikut:
Iqrar adalah bukti yang paling kuat, karena merupakan persaksian atas diri sendiri, dan ia
lebih mengetahuinya. Apalagi dalam hal yang membahayakan diri sendiri, biasanya
pengakuan ini menunjukkan kejujuran.
2. Kesaksian ( syahadah ).
Untuk pertanggungjawaban berupa qishash dan ta'zir, dibutuhkan kesaksian dua pria
yang adil. Jika kesaksian akan mengakibatkan tanggung jawab materiil, seperti ganti rugi,
dibolehkan kesaksian satu pria ditambah dua wanita. Adapun kesaksian dalam hal-hal
yang tidak bisa disaksikan selain oleh wanita, seperti persalinan, dibolehkan persaksian
empat wanita tanpa pria. Di samping memperhatikan jumlah dan kepantasan saksi,
hendaknya hakim juga memperhatikan ada tidaknya tuhmah (kemungkinan mengalihkan
tuduhan malpraktek dari dirinya ). [8]
3. Catatan medis.
Yaitu catatan yang dibuat oleh dokter dan paramedis, karena catatan tersebut dibuat agar
bisa menjadi referensi saat dibutuhkan. Jika catatan ini valid, ia bisa menjadi bukti yang
sah.
Jika tuduhan malpraktek telah dibuktikan, ada beberapa bentuk tanggung jawab yang
dipikul pelakunya. Bentuk-bentuk tanggung jawab tersebut adalah sebagai berikut:
1. Qishash.
Qishash ditegakkan jika terbukti bahwa dokter melakukan tindak malpraktek sengaja
menimbulkan bahaya ( I'tida' ), dengan membunuh pasien atau merusak anggota
tubuhnya, dan memanfaatkan profesinya sebagai pembungkus tindak kriminal yang
dilakukannya. Ketika memberi contoh tindak kriminal yang mengakibatkan qishash,
Khalil bin Ishaq al-Maliki mengatakan: "Misalnya dokter yang menambah (luas area
bedah) dengan sengaja."[9]
c. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi terjadi kesalahan tidak
disengaja.
d. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi tidak mendapat ijin
dari pasien, wali pasien atau pemerintah, kecuali dalam keadaan darurat.
3. Ta'zir berupa hukuman penjara, cambuk, atau yang lain. Ta'zir berlaku untuk dua
bentuk malpraktek:
a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak
ada kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.
Tanggung jawab dalam malpraktek bisa timbul karena seorang dokter melakukan
kesalahan langsung, dan bisa juga karena menjadi penyebab terjadinya malpraktek secara
tidak langsung. Misalnya, seorang dokter yang bertugas melakukan pemeriksaan awal
sengaja merekomendasikan pasien untuk merujuk kepada dokter bedah yang tidak ahli,
kemudian terjadi malpraktek. Dalam kasus ini, dokter bedah adalah adalah pelaku
langsung malpraktek, sedangkan dokter pemeriksa ikut menyebabkan malpraktek secara
tidak langsung.
Jadi, dalam satu kasus malpraktek kadang hanya ada satu pihak yang
bertanggungjawab. Kadang juga ada pihak lain lain yang ikut bertanggungjawab
bersamanya. Karenanya rumah sakit atau klinik juga bisa ikut bertanggungjawab jika
terbukti teledor dalam tanggung jawab yang diemban, sehingga secara tidak langsung
menyebabkan terjadinya malpraktek, misalnya dalam keadaan mengetahui
mempekerjakan dokter yang tidak ahli.
DAFTAR PUSTAKA
1. AbouZahr1, Carla & Boerma1,Ties . Health information systems: the foundations of public
health in Bulletin of the World Health Organization August 2005, 83 (8)
2. Agus M. Algozi. Rekam Medis Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. FK
UNAIR-RS. DR. Soetomo. Surabaya.
3. Buku Panduan HAM bagi Pasien dan Dokter untuk Mencegah Malpraktek, Diakses dari:
http://www.balitbangham.go.id/index/images/judul_pdf/sipol/pengembangan/2008/malprakt
ek.pdf
7. Diakses dari
http://serambimadinah.net/index.php?option=com_content&view=article&id=126:malprakte
k-menurut-syariat-islam&catid=38:fiqh&Itemid=63
11. Hanafiah MJ, Amir A. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Edisi ke-4. Jakarta: EGC.
2008
12. Hanafiah MJ, Amir Amri. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan Edisi 3. Jakarta: EGC .
1998
15. World Health Organization, Medical Records Manual , A Guide for Developing Countries,
2006