Anda di halaman 1dari 28

WRAP UP

SKENARIO 1
BLOK MEDIKOLEGAL
MATA DIOBATI MENJADI BUTA

KELOMPOK B-5
KETUA: NURYADI HERMITA 1102012209
SEKRETARIS: YUNISA TRIVARSARY L.R.P 1102012314
ANGGOTA: NUR ISNAENI EVRY KURNIAWATI 1102012203
RANIA MERRIANE DEVINA 1102012224
RIKA DWI ANGGRAINI 1102012247
RIVANTI MEDYANA PUTRI 1102012249
SEPTHA AMELIA DEVI 1102012269
SORAYA DWI KHAIRUNNISA 1102012285
SYIFA ANANTA KHAIRUNNISA 1102012290
TAMARA FIRDAUS ANINDHITA 1102012292

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI


JAKARTA
2015
SKENARIO

MATA DIOBATI MENJADI BUTA

Tidak terima matanya menjadi hbuta, Haslinda bersama tim kuasa hukum dari Lembaga Bantuan
Hukum Kesehatan mendatangi ke Polda Metro Jaya untuk melaporkan dugaan malpraktek
dokter, Waldensius Girsang di Rumah Sakit Jakarta Eyes Center.
Haslinda menuturkan, pada 6 Maret lalu, Kemerahan pada mata, kabur penglihatan, kepekaan
terhadap cahaya (ketakutan dipotret), gelap, mata sakit sudah disampaikan ke okter Fikri Umar
Purba yang kemudian didiagnosis sebagai penyakit uveitis tuberkulosa. Namun beberapa hari
kemudian setelah ditangani oleh dokter Purba, mata Haslinda tidak kembali berfungsi normal
atau menjadi buta.
Sementara itu, Dokter Purba yang ditemui di Rumah Sakit Jakarta Eyes Center membantah telah
melakukan malpraktek terhadap Haslinda.
Dalam pengaduannya, Jakarta Timur ini tidak menyebutkan tuntutan materil dan inmateril
kepada dokter Purba dan Rumah Sakit Jakarta Eyes Center sebagai pihak yang diduga
melakukan malpraktek.
Pengacara pasien juga menuliskan dasar gugatannyaberdasarkan:
1. Pasal 27 (1) UUD 1945
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
4. UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
5. UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kesehatan
6. UU No 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
7. Kode Etik Kedokteran
8. UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
KATA SULIT
1. PIDANA: Segala sesuatu yang melanggar hokum / sebuah tindakan kejahatan
2. MALPRAKTEK: kesalahan yang dilakukan tenaga kesehatan dalam melaksanakan
profesinya yang sesuai dengan standar profesi dan operasionalnya
3. HUKUM PERDATA: Ketentuan yang mengatur hak dan kepentingan individu dalam
masyarakat
PERTANYAAN
1. Apa tugas dari Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan?
2. Kriteria Malpraktek?
3. Kenapa pelapor tidak menuntut materil dan imateril?
4. Apa bentuk perlindungan yang diberikan RS kepada dokter?
5. Contoh malpraktek?
6. Hukum malpraktek dalam islam?
7. Apa saja upaya pencegahan terjadinya malpraktek?
8. Bagaimana cara penyelesaian kasus ini?
9. Lembaga apa yang mengurus masalah malpraktek?

JAWABAN
1. Melindungi masyarakat yang menjadi korban malpraktek
2. Tidak melakukan informed consent, salah diagnosis dan terapi, tidak membuat rekam
medis
3. Kemungkinan pengacara ingin menjatuhkan nama dokter
4. Memberikan rekam medis pasien selengkap-lengkapnya
5. Aborsi illegal, salah dalam mendiagnosis, dan tatalaksana nya
6. Haram
7. Kerja sesuai dengan SOP, informed consent yang jelas, rekam medis yang jelas, tidak
menjanjikan kesembuhan
8. Negosiasi mediasi keputusan
9. MKDKI, MKEK, komisi etik RS
HIPOTESIS

KRITERIA: CONTOH:
Aborsi illegal,
- Tidak melakukan informed consent
salah dalam
- Salah diagnosis dan terapi
mendiagnosis,
- Tidak membuat rekam medis PERLINDUNGAN
dan tatalaksana
YANG DIBERIKAN
RS: Memberikan
rekam medis pasien
selengkap-lengkapnya
PENCEGAHAN:

- Kerja sesuai SOP MALPRAKTEK


- informed consent
yang jelas
- rekam medis yang DALAM ISLAM:
jelas haram
- tidak menjanjikan
LEMBAGA YANG MENGURUS:
kesembuhan
MKEK, MKDKI, Komisi Etik RS

CARA PENYELESAIAN

Negosiasi

Mediasi

Putusan
SASARAN BELAJAR

LI 1. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN MALPRAKTEK


LO 1.1 DEFINISI
LO 1.2 KLASIFIKASI
LO 1.3 ASPEK HUKUM DAN SANKSI
LO 1.4 PENCEGAHAN
LO 1.5 ALUR HUKUM

LI 2. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN INFORMED CONSENT

LI 3. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN MALPRAKTEK DALAM ISLAM


LI 1. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN MALPRAKTEK
LO 1.1 DEFINISI
Secara harfiah mal mempunyai arti salah sedangkan praktik mempunyai arti
pelaksanaan atau tindakan, sehingga malpraktik berarti pelaksanaan atau tindakan yang
salah. Definisi malpraktik profesi kesehatan adalah kelalaian dari seseorang dokter atau
perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati
dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka
menurut ukuran dilingkungan yang sama (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle
de Los Angelos, California, 1956).

Pengertian malpraktik medik menurut WMA (World Medical Associations) adalah Involves
the physicians failure to conform to the standard of care for treatmentof the patients
condition, or a lack of skill, or negligence in providing care to thepatient, which is the direct
cause of an injury to the patient (adanya kegagalan dokter untuk menerapkan standar
pelayanan terapi terhadap pasien, atau kurangnya keahlian, atau mengabaikan perawatan
pasien, yang menjadi penyebab langsung terhadap terjadinya cedera pada pasien).

Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga kesehatan berlaku norma etika dan norma
hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah
diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang
etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical
malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga perawatan berlaku
norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain
apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar
menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk
menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga
berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan
tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief
Justice, 1893).

Sesuatu perbuatan atau sikap medis dianggap lalai apabila memenuhi empat unsur 4D, yaitu:
a. Duty. Ada kewajiban medis untuk melakukan tindakan medis tertentu terhadap pasien
pada situasi kondisi tertentu
b. Derelection of that duty. Adanya penyimpangan kewajiban tersebut
c. Damage. Segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan
kesehatan kedokteran yang diberikan
d. Direct causal relationship. Dapat dibuktikan adanya hubungan sebab akibat yang nyata
antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian

LO 1.2 KLASIFIKASI

Berpijak pada hakekat malpraktek adalan praktik yang buruk atau tidak sesuai dengan
standar profesi yang telah ditetepkan, maka ada bermacam-macam malpraktek yang dapat
dipiah dengan mendasarkan pada ketentuan hukum yang dilanggar, walaupun kadang kala
sebutan malpraktek secara langsung bisa mencakup dua atau lebih jenis malpraktek. Secara
garis besar malprakltek dibagi dalam dua golongan besar yaitu mal praktik medik
(medicalmalpractice) yang biasanya juga meliputi malpraktik etik (etichalmalpractice) dan
malpraktek yuridik (yuridicalmalpractice). Sedangkan malpraktik yurudik dibagi menjadi
tiga yaitu malpraktik perdata (civilmalpractice), malpraktik pidana (criminalmalpractice) dan
malpraktek administrasi Negara (administrativemalpractice).

A. Malpraktik Medik (medicalmalpractice)

John.D.Blum merumuskan: Medical malpractice is a form of professional


negligence in whice miserable injury occurs to a plaintiff patient as the direct result of
an act or omission by defendant practitioner. (malpraktik medik merupakan bentuk
kelalaian professional yang menyebabkan terjadinya luka berat pada pasien / penggugat
sebagai akibat langsung dari perbuatan ataupun pembiaran oleh dokter/terguguat).

Sedangkan rumusan yang berlaku di dunia kedokteran adalah Professional


misconduct or lack of ordinary skill in the performance of professional act, a
practitioner is liable for demage or injuries caused by malpractice. (Malpraktek adalah
perbuatan yang tidak benar dari suatu profesi atau kurangnya kemampuan dasar dalam
melaksanakan pekerjaan. Seorang dokter bertanggung jawab atas terjadinya kerugian
atau luka yang disebabkan karena malpraktik), sedangkan junus hanafiah merumuskan
malpraktik medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat
keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien
atau orang yang terluka menurut lingkungan yang sama.

B. Malpraktik Etik (ethicalmalpractice)

Malpraktik etik adalah tindakan dokter yang bertentangan dengan etika


kedokteran, sebagaimana yang diatur dalam kode etik kedokteran Indonesia yang
merupakan seperangkat standar etika, prinsip, aturan, norma yang berlaku untuk dokter.

C. Malpraktik Yuridis (juridicalmalpractice)

Malpraktik yuridik adalah pelanggaran ataupun kelalaian dalam pelaksanaan


profesi kedokteran yang melanggar ketentuan hukum positif yang berlaku.

Malpraktik Yuridik meliputi:

a. Malpraktik perdata (civilmalpractice0

Malpraktik perdata terjadi jika dokter tidak melakukan kewajiban (ingkar janji)
yaitu tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati. Tindakan dokter
yang dapat dikatagorikan sebagai melpraktik perdata antara lain :
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan
b. Melakukan apa yang disepakati dilakukan tapi tidak sempurna
c. Melakukan apa yang disepakati tetapi terlambat
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatan tidak seharusnya dilakukan
b. Malpraktik Pidana (criminalmalpractice)

Malpraktik pidana terjadi, jika perbuatan yang dilakukan maupun tidak dilakukan
memenuhi rumusan undang-undang hukum pidana. Perbuatan tersebut dapat berupa
perbuatan positif (melakukan sesuatu) maupun negative (tidak melakukan sesuatu) yang
merupakan perbuatan tercela (actus reus), dilakukan dengan sikap batin yang slah (mens
rea) berupa kesengajaan atau kelalauian. Contoh malpraktik pidana dengan sengaja
adalah :
a. Melakukan aborsi tanpa tindakan medik
b. Mengungkapkan rahasia kedi\okteran dengan sengaja
c. Tidak memberikan pertolongan kepada seseorang yang dalam keadaan darurat
d. Membuat surat keterangan dokter yang isinya tidak benar
e. Membuat visum et repertum tidak benar

f. Memberikan keterangan yang tidak benar di pengadilan dalan kapasitasnya


sebagai ahli
Contoh malpraktik pidana karena kelalaian:
a. Kurang hati-hati sehingga menyebabkan gunting tertinggal diperut
b. Kurang hati-hati sehingga menyebabkan pasien luka berat atau meninggal
c. Malpraktik Administrasi Negara (administrative malpractice)

Malpraktik administrasi terjadi jika dokter menjalankan profesinya tidak


mengindahkan ketentuan-ketentuan hukum administrasi Negara. Misalnya:
a. Menjalankan praktik kedokteran tanpa ijin
b. Menjalankan praktik kedokteran tidak sesuai dengan kewenangannya
c. Melakukan praktik kedokteran dengan ijin yang sudah kadalwarsa.
d. Tidak membuat rekam medik.

LO 1.3 ASPEK HUKUM DAN SANKSI


Peraturan Non Hukum
Diatur oleh Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). KODEKI semula merupakan
peraturan non hukum karena peraturan ini telah menjadi petunjuk perilaku atau etika seorang
dokter dalam menjalankan profesinya. Dalam KODEKI diatur tentang kewajiban dokter
terhadap pasien yang dicantumkan di dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 14, yaitu:

Pasal 10 KODEKI: Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya


melindungi makhluk insani
Pasal 11 KODEKI: Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala
ilmu dan keterampilannya untu kepentingan penderita. Dalam hal ia tidak mampu melakukan
suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka ia wajib merujuk penderita kepada dokter lain
yang mempunyai keahlian dalam bidang penyakit tersebut
Pasal 13 KODEKI: Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya
tentang penderita, bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia
Pasal 14 KODEKI: Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu
tugas perikemanusiaan, kecuali ia yakin ada orang lain yang bersedia dan lebih mampu
memberikan pertolongan darurat terhadap pasien yang membutuhkannya, padahal ia mampu
dapat terkena sasaran tuntutan malpraktek juga

Peraturan Hukum

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


Pasal-pasal didalam KUHP yang terkait dengan malpraktik medik, yaitu:
a. Pasal 263 dan 267 KUHP (Membuat Surat Keterangan Palsu)
b. Pasal 290 KUHP (Melakukan Pelanggaran Kesopanan)
c. Pasal 299 KUHP (Mengobati seorang wanita dengan memberitahukan atau
menimbulkan harapan bahwa kandungannya dapat digugurkan)
d. Pasal 322 KUHP (Membuka Rahasia)
e. Pasal 304 KUHP (Pembiaran / Penelantaran)
f. Pasal 306 KUHP (Apabila tindakan penelantaran tersebut mengakibatkan
kematian)
g. Pasal 322 KUHP (Membocorkan rahasia profesi)
h. Pasal 333 KUHP (Dengan sengaja dan tanpa hak telah merampas kemerdekaan
seseorang)
i. Pasal 344 KUHP (Euthanasia)
j. Pasal 347 KUHP (Sengaja melakukan abortus tanpa persetujuan wanita yang
bersangkutan)
k. Pasal 348 KUHP (Sengaja melakukan abortus dengan persetujuan)
l. Pasal 349 KUHP (Membantu atau melakukan tindakan abortus provocatus
criminalis)
m. Pasal 359 KUHP (Kelalaian yang menyebabkan kematian)
n. Pasal 360 KUHP (Kelalaian yang menyebabkan luka / cacat)
o. Pasal 386 KUHP (Memberi atau menjual obat palsu)
p. Pasal 531 KUHP (Tidak memberi pertolongan pada orang yang berada dalam
keadaan bahaya)

Pemberlakukan hukum pidana dalam kasus-kasus kelalaian medis yang terjadi di dalam
penyelenggaraan praktek kedokteran haruslah sebagai ultimatum remidium artinya hukum
pidana sebagai alternatif terakhir apabila upaya-upaya non litigasi sudah tidak bisa lagi
berhasil untuk mengatasi permasalahan yang timbul. Selain iitu juga karena praktek
kedokteran merupakan profesi yang sangat mulia dan luhur yang diperlukan oleh banyak
orang dan praktek kedokteran dijamin pelaksanaannya oleh undang-undang.

2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


Pasal-pasal didalam KUHPerdata yang terkait dengan malpraktek medik, yaitu:
a. Pasal 1239 KUH Perdata (Melakukan wanprestasi atau cidera janji)
b. Pasal 1365 KUH Perdata(Melakukan perbuatan melawan hukum)
c. Pasal 1366 KUH Perdata (Melakukan kelalaian sehingga menimbulkan kerugian)
d. Pasal 1367 KUH Perdata (Bertanggung jawab atas kelalaian yang dilakukan oleh
bawahannya)

3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan


a. Pasal 54 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Kesalahan atau kelalaian
yang dilakukan tenaga kesehatan)
b. Pasal 80 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Sengaja melakukan
tindakan medis tidak sesuai dengan Standart Operational Procedure pada ibu
hamil)
c. Pasal 81 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Sengaja melakukan
transplantasi organ tubuh untuk tujuan komersil)
d. Pasal 81 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Tanpa keahlian sengaja
melakukan transplantasi, implan alat kesehatan, bedah plastik)
e. Pasal 81 ayat 2a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Sengaja mengambil
organ tanpa memperhatikan kesehatan dan persetujuan pendonor / ahli waris)

4) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran


a. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 (Pengaturan praktek kedokteran
bertujuan untuk, Pertama memberikan perlindungan kepada pasien, Kedua
mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh
dokter dan dokter gigi, dan Ketiga memberikan kepastian hukum kepada
masyarakat, dokter dan dokter gigi)
b. Pasal 44 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 (Mensyaratkan kepada setiap
dokter dan dokter gigi dalam memberikan pelayanan haruslah mempunyai standar
pelayanan. Standar pelayanan disini adalah pedoman yang harus diikuti oleh
dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktek kedokteran)
c. Pasal 75 dan 76 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 (Mensyaratkan setiap
dokter harus mempunyai surat registrasi yang ditandatangani oleh konsil
kedokteran. Sedangkan surat izin praktek kedokteran ditandatangani oleh pejabat
kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat praktek kedokteran atau
dokter gigi dilaksanakan. Kedua persyaratan tersebut menjadi suatu hal yang
mutlak dimiliki oleh seorang dokter. Apabila dokter tidak mempunyai surat
registrasi dan surat izin praktek, maka selain dokter tersebut tidak sah, masyarakat
juga tidak berani di diagnosa oleh dokter tersebut karena takut terjadi malpraktek)

5) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan


a. Pasal 32 (Pasien berhak atas ganti rugi apabila dalam pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat atau kematian yang terjadi karena
kesehatan atau kelalaian
Dalam perikatan sebagaimana diatur di dalam KUHPerdata dikenal adanya dua
macam perjanjian, yaitu:
Inspanningverbintenis: perjanjian upaya, artinya kedua belah pihak yang berjanji
berdaya upaya secara maksimal untuk mewujudkan apa yang diperjanjikan
Resultaatbintennis: perjanjian bahwa pihak yang berjanji akan memberikan result,
yaitu sesuatu hasil yang nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan.

LO 1.4 PENCEGAHAN
Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga medis karena adanya
malpraktek diharapkan tenaga dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena
perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan
berhasil (resultaat verbintenis).
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan
segalakebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.

Upaya menghadapi tuntutan hukum


Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga perawat
menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga kesehatan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien
atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian tenaga kesehatan.

Apabila tuduhan kepada kesehatan merupakan criminal malpractice, maka tenaga kesehatan
dapat melakukan :
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa
tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang
ada, misalnya perawat mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan
tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa
dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam
perumusan delik yang dituduhkan.
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau
menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan
cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk
membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang
dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya perawat menggunakan jasa penasehat hukum,
sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.

Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana perawat digugat membayar
ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena
dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan
perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan
bahwa tergugat (perawat) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak
diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk
membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya
hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan
(damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan
dan hal inilah yang menguntungkan tenaga perawatan.

LO 1.5 ALUR HUKUM


MAJELIS KEHORMATAN ETIK KEDOKTERAN (MKEK)
MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) adalah badan otonom IDI yang bertanggung
jawab mengkoordinasi kegiatan internal organisasi dalam pengembangan kebijakan,
pembinaan pelaksanaan dan pengawasan penerapan etika kedokteran.

Dalam hal pengembangan dan pelaksaaan kebijakan yang bersifat nasional dan strategis,
MKEK wajib mendapat persetujuan dalam forum Musyawarah Pimpinan Pusat.

MKEK dibentuk pada tingkat pusat, wilayah, dan cabang. MKEK di tingkat cabang dibentuk
apabila dianggap perlu atas pertimbangan dan persetujuan dari MKEK wilayah. MKEK
bertanggung jawab kepada muktamar musyawarah wilayah dan musyawarah cabang sesuai
dengan tingkat kepengurusan.

Masa jabatan MKEK sama dengan PB IDI Kepengurusan MKEK sekurang-kurangnya


terdiri dari ketua, sekretaris, dan anggota. MKEK wilayah dan cabang mengadakan
koordinasi dengan pengurus wilayah dan pengurus cabang, sesuai dengan tingkat
kepengurusan.

Tugas dan wewenang


1. Melaksanakan isi anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta semua keputusan
yang ditetapkan muktamar.
2. Melakukan tugas bimbingan, pengawasan dan penilaian dalam pelaksanaan etik
kedokteran, termasuk perbuatan anggota yang melanggar kehormatan dan tradisi
luhur kedokteran.
3. Memperjuangkan agar etik kedokteran dapat ditegakkan di Indonesia.
4. Memberikan usul dan saran diminta atau tidak diminta kepada pengurus besar,
pengurus wilayah dan pengurus cabang, serta kepada Majelis Kolegium Kedokteran
Indonesia.
5. Membina hubungan baik dengan majelis atau instansi yang berhubungan dengan etik
profesi, baik pemerintah maupun organisasi profesi lain.
6. Bertanggung jawab kepada muktamar, musyawarah wilayah dan musyawarah cabang.

Manfaat Pedoman MKEK


Pedoman MKEK ini merupakan jabaran dan pedoman pelaksanaan dari Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga IDI tentang MKEK dalam rangka pengaturan substansi etika
kedokteran bagi setiap pengabdian profesi dokter di Indonesia, penegakan, pengawasan,
bimbingan, penilaian pelaksanaan, penjatuhan sanksi etika, rehabilitasi (pemulihan hak-hak
profesi), dan interaksi kelembagaan MKEK dengan sesama perangkat dan jajaran internal
IDI atau lembaga etika lainnya di luar IDI.

Status MKEK:
1. Sebagai badan otonom IDI
2. Segala keputusannya di bidang etika tidakdipengaruhi pengurus IDI
3. Keputusan MKEK mengikat pengurus IDI

Kewajiban MKEK
1. MKEK wajib ikut mempertahankan hubungan dokter pasien sebagai hubungan
kepercayaan.
2. MKEK Pusat mempertanggungjawabkan kinerja dari program kerjanya kepada
Muktamar, MKEK Wilayah kepada Musyawarah Wilayah IDI dan MKEK Cabang ke
Rapat Anggota Cabang IDI setempat
3. MKEK wajib menyimpan kerahasiaan medik kasus yang disidangkannya apabila
secara eksplisit diminta oleh pasien pengadu.
4. MKEK Pusat dalam batas kemampuannya wajib meningkatkan kapasitas
pengetahuan, sikap dan ketrampilan anggota MKEK Wilayah dan Cabang yang
memerlukannya.

Fungsi
Perkara yang dapat diputuskan di majelis ini sangat bervariasi jenisnya. Di MKEK IDI
Wilayah DKI Jakarta diputus perkara-perkara pelanggaran etik dan pelanggaran disiplin
profesi, yang disusun dalam beberapa tingkat berdasarkan derajat pelanggarannya

Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak dapat
dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam bentuk
permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli
di pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya
persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham
dengan putusan MKEK.

Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau
Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya
diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter
teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan.

Tatacara Pengelolaan
a. Ketua MKEK dipilih dan ditetapkan dalam muktamar, musyawarah wilayah dan
musyawarah cabang.
b. Pengurus MKEK adalah anggota biasa.
c. Ketua MKEK tingkat pusat dipilih dalam sidang khusus MKEK di muktamar dan
dikukuhkan dalam sidang pleno muktamar.
d. MKEK segera menjalankan tugas-tugasnya setelah selesainya muktamar,
musyawarah wilayah, dan musyawarah cabang.
e. MKEK dapat melakukan kegiatan atas inisiatif sendiri ataupun atas usul serta
permintaan.
f. MKEK mengadakan pertemuan berkala sesama pengurus ataupun dengan pihak lain
yang ditentukan sendiri oleh MKEK.

MAJELIS KEHORMATAN DISIPLIN KEDOKTERAN INDONESIA (MKDKI)


MKDKI adalah lembaga yang berwenang untuk :
1. Menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam
penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi.
2. Menetapkan sanksi disiplin.
Sesuai dengan UU PRADOK NO.29 Tahun 2004 Pasal 55 ayat (1) yang berisi Menegakkan
disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktil kedokteran.

Tujuan penegakan disiplin adalah :


1. Memberikan perlindungan kepada pasien.
2. Menjaga mutu dokter/dokter gigi.
3. Menjaga kehormatan profesi kedokteran/kedokteran gigi.

Kedudukan dan Keanggotaan MKDKI


MKDKI sebagai lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia. Majelis ini dibentuk
ditingkat pusat dan provinsi. Anggota MKDKI terdiri dari 3 orang dokter dari organisasi
profesi, 1 orang dokter dari asosiasi rumah sakit (dalam hal ini PERSI), dan 3 orang sarjana
hukum. Anggota-anggota dalam majelis ditetapkan oleh menteri atas usulan organisasi
profesi. Masa bakti MKDKI adalah 5 tahun dan dapat diusulkan kembali untuk 1 kali masa
jabatan lagi.

Tugas MKDKI :
a. menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter
dan dokter gigi yang diajukan dan
b. menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter atau
dokter gigi.

Dalam melaksanakan tugas MKDKI mempunyai wewenang:


a. menerima pengaduan pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi
b. menetapkan jenis pengaduan pelanggaran disiplin atau pelanggaran etika atau bukan
keduanya
c. memeriksa pengaduan pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi
d. memutuskan ada tidaknya pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi
e. menentukan sanksi terhadap pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi
f. melaksanakan keputusan MKDKI
g. menyusun tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi
h. menyusun buku pedoman MKDKI dan MKDKI-P
i. membina, mengkoordinasikan dan mengawasi pelaksanaan tugas MKDKI-P
j. membuat dan memberikan pertimbangan usulan pembentukan MKDKI-P kepada
Konsil Kedokteran Indonesia
k. mengadakan sosialisasi, penyuluhan, dan diseminasi tentang MKDKI dan dan
MKDKI-P mencatat dan mendokumentasikan pengaduan, proses pemeriksaan, dan
keputusan MKDKI.

Disiplin Kedokteran
Disiplin kedokteran berarti kepatuhan menerapkan aturan-aturan atau ketentuan penerapan
keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan. Lebih khusus lagi yaitu kepatuhan menerapkan
kaidah-kaidah penatalaksanaan klinis yang mencakup penegakan diagnosis, tindakan
pengobatan, menetapkan prognosis, dengan standar atau indikator dari Standar Kompetensi,
Standar Perilaku Etis, Standar Asuhan Medis dan Standar Klinik

Tujuan Penegakan Disiplin Kedokteran


Tujuan utama adalah untuk proteksi pasien. Tujuan lainnya yaitu untuk menjaga mutu dokter
atau dokter gigi dan juga untuk menjaga kehormatan profesi kedokteran atau kedokteran gigi.
Pelanggaran Disiplin
Sesuai putusan KKI No. 17/KKI/KEP/VIII/2006
1. Kegagalan penatalaksanaan pasien oleh karena:
a. Ketidakcakapan (Incompetence)
b. Kelalaian (Gross Negligence)
2. Perilaku tercela (menurut ukuran profesi)
3. Ketidaklayakan fisik dan mental (Unfit to practice)

Atau dengan kata lain


Tidak memenuhi:
1. Standard of care, Clinical Standard
2. Standard of competence
3. Standard of professional atitude

Bentuk Pelanggaran Disiplin Kedokteran


1. Tidak kompeten
2. Tidak merujuk
3. Dokter atau dokter gigi pengganti tidak diberitahu ke pasien, Tidak memiliki SIP
4. Tidak layak praktik (kesehatan fisik dan mental)
5. Kelalaian dalam penatalaksanaan pasien
6. Pemeriksaan dan pengobatan berlebihan
7. Tidak memberikan informasi yang jujur
8. Tidak ada informed consent
9. Tidak membuat atau menimpan rekam medis
10. Penghentian kehamilan tanpa indikasi medis
11. Euthanasia
12. Penerapan pelayanan yang belum diterima ilmu kedokteran
13. Penelitian klinisi tanpa persetujuan etis.
14. Tidak memberi pertolongan darurat.
15. Menolak atau menghentikan pengobatan tanpa alasan yang sah
16. Membuka rahasia medis tanpa izin
17. Membuat keterangan medis tidak benar
18. Ikut serta tindakan penyiksaan
19. Peresepan obat psikotropik/narkotik tanpa indikasi
20. Pelecehan seksual, initimidasi, dan kekerasan
21. Penggunaan gelar akademik atau profesi palsu
22. Menerima komisi terhadap rujukan atau resepan
23. Pengiklanan diri yang menyesatkan
24. STR, SIP, Sertifikan kompetensi tidak sah
25. Imbalan jasa tidak sesuai tindakan.

Proses Pengaduan Pelanggaran


TAHAP PENEGAKAN DISIPLIN OLEH MKDKI
TAHAP 1: INVESTIGATIONAL STAGE (TAHAP INVESTIGASI)
A. PENGADUAN (ADMISSION)
B. VERIFIKASI
C. PEMERIKSAAN AWAL OLEH MPA
D. INVESTIGASI (INQUIRY)

TAHAP 2: ADJUDICATORY STAGE (PEMERIKSAAN DAN KEPUTUSAN)


A. PEMERIKSAAN DISIPLIN OLEH MPD
B. PEMBUKTIAN
C. PENGAMBILAN KEPUTUSAN

TAHAP 3: DISPOSITIONAL STAGE (PENYAMPAIANKEPUTUSAN)


A. PEMBACAAN KEPUTUSAN
B. PENGAJUAN KEBERATAN TERADU (JIKA ADA)
C. PENYAMPAIAN KEPUTUSAN KEPADA PIHAK TERKAIT

Pelanggaran disiplin kedokteran adalah pelanggaran terhadap aturan-aturan dan/atau


ketentuan dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran/kedokteran gigi. Dokter/dokter gigi
dianggap melanggar disiplin kedokteran bila :
1. Melakukan praktik dengan tidak kompeten
2. Tidak melakukan tugas dan tanggung jawab profesionalnya dengan baik (dalam hal
ini tidak mencapai standar-standar dalam praktik kedokteran)
3. Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesinya
Yang termasuk pelanggaran disiplin kedokteran/kedokteran gigi antara lain ketidakjujuran
dalam berpraktik, berpraktik dengan ketidakmampuan fisik dan mental, membuat laporan
medis yang tidak benar, memberikan "jaminan kesembuhan" kepada pasien, menolak
menangani pasien tanpa alasan yang layak, memberikan tindakan medis tanpa persetujuan
pasien/keluarga, melakukan pelecehan seksual, menelantarkan pasien pada saat
membutuhkan penanganan segera, mengistruksikan atau melakukan pemeriksaan
tambahan/pengobatan yang berlebihan, bekerja tidak sesuai standar asuhan medis, dsb

Suatu pengaduan diputuskan menjadi kewenangan MKDKI apabila :


1. Dokter/dokter gigi yang diadukan telah terregistrasi di Konsil Kedokteran Indonesia.
2. Tindakan medis yang dilakukan oleh dokter/dokter gigi yang diadukan terjadi setelah
tanggal 6 Oktober 2004 (setelah diundangkannya UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran)
3. Terdapat hubungan profesional dokter-pasien dalam kejadian tersebut
4. Terdapat dugaan kuat adanya pelanggaran disiplin kedokteran/kedokteran gigi

Jika keempat kriteria tersebut terpenuhi, akan dilanjutkan dengan pemeriksaan oleh Majelis
Pemeriksa Disiplin (MPD)

Dalam formulir pengaduan, terdapat beberapa informasi yang harus diberikan, antara lain :
1. Identitas pengadu/pelapor;
2. Identitas pasien (jika pengadu bukan pasien);
3. Nama dan tempat praktik dokter/dokter gigi yang diadukan;
4. Waktu tindakan dilakukan;
5. Alasan pengaduan dan kronologis;
6. Pernyataan tentang kebenaran pengaduan, dsb

Setelah semua kelengkapan data pengaduan diterima, Anda akan mendapatkan tanda terima
pengaduan (berisi nomor register pengaduan). Setelah dilakukan verifikasi, pengaduan akan
ditangani oleh Majelis Pemeriksa Awal ataupun Majelis Pemeriksa Disiplin.
Sesuai UU Praktik Kedokteran, sanksi disiplin dalam keputusan MKDKI dapat berupa:
1. Pemberian peringatan tertulis
2. Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) atau Surat Izin Praktik (SIP);
dan/atau
3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran
atau kedokteran gigi

MKDKI dapat menangani permintaan ganti rugi/kompensasi yang diajukan terhadap dokter
teradu:
1. MKDKI berwenang untuk menentukan ada tidaknya pelanggaran disiplin oleh
dokter/dokter gigi
2. MKDKI berwenang menetapkan sanksi disiplin kepada dokter/dokter gigi yang
dinyatakan melanggar disiplin kedokteran/kedokteran gigi
3. MKDKI tidak menangani sengketa antara dokter dan pasien/keluarganya
4. MKDKI tidak menangani permasalahan ganti rugi yang diajukan pasien/keluarganya
Keputusan MKDKI bersifat final dan mengikat dokter/dokter gigi yang diadukan, KKI,
Departemen Kesehatan, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, serta instansi terkait.
Dokter/dokter gigi yang diadukan dapat mengajukan keberatan terhadap keputusan MKDKI
kepada Ketua MKDKI dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari sejak dibacakan atau
diterimanya keputusan tersebut dengan mengajukan bukti baru yang mendukung
keberatannya.

LI 2. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN INFORMED CONSENT


Definisi dan Tujuan Inform Consent
Menurut Permenkes No.585/Menkes/Per/IX/1989, PTM berarti persetujuan yang diberikan
pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan
terhadap pasien tersebut. Dari pengertian di atas PTM adalah persetujuan yang diperoleh
dokter sebelum melakukan pemeriksaan, pengobatan atau tindakan medik apapun yang akan
dilakukan.

Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup untuk dapat
mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan. Informed consent juga berarti
mengambil keputusan bersama. Hak pasien untuk menentukan nasibnya dapat terpenuhi
dengan sempurna apabila pasien telah menerima semua informasi yang ia perlukan sehingga
ia dapat mengambil keputusan yang tepat. Kekecualian dapat dibuat apabila informasi yang
diberikan dapat menyebabkan guncangan psikis pada pasien. Secara keseluruhan, tujuannya
adalah:
a. Perlindungan pasien untuk segala tindakan medik. Perlakuan medik tidak
diketahui/disadari pasien/keluarga, yang seharusnya tidak dilakukan ataupun yang
merugikan/membahayakan diri pasien.
b. Perlindungan tenaga kesehatan terhadap terjadinya akibat yang tidak terduga serta
dianggap meragukan pihak lain. Tak selamanya tindakan dokter berhasil, tak terduga
malah merugikan pasien meskipun dengan sangat hati-hati, sesuai dengan SOP. Peristiwa
tersebut bisa risk of treatment ataupun error judgement.

Dokter harus menyadari bahwa informed consent memiliki dasar moral dan etik yang kuat.
Menurut American College of Physicians Ethics Manual, pasien harus mendapat informasi
dan mengerti tentang kondisinya sebelum mengambil keputusan. Berbeda dengan teori
terdahulu yang memandang tidak adanya informed consent menurut hukum penganiayaan,
kini hal ini dianggap sebagai kelalaian. Informasi yang diberikan harus lengkap, tidak hanya
berupa jawaban atas pertanyaan pasien.

Manfaat Inform Consent


Informed Consent bermanfaat untuk :
1) Melindungi pasien terhadap segala tindakan medik yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasien. Misalnya tindakan medik yang tidak perlu atau tanpa indikasi,
penggunaan alat canggih dengan biaya tinggi dsbnya.
2) Memberikan perlindungan hukum bagi dokter terhadap akibat yang tidak terduga dan
bersifat negatif. Misalnya terhadap resiko pengobatan yang tidak dapat dihindari walaupun
dokter telah bertindak seteliti mungkin.
Dengan adanya informed consent maka hak autonomy perorangan di kembangkan, pasien
dan subjek dilindungi, mencegah terjadinya penipuan atau paksaan, merangsang profesi
medis untuk mengadakan introspeksi, mengajukan keputusan-keputusan yang rasional dan
melibatkan masyarakat dalam memajukan prinsip autonomy sebagai suatu nilai sosial serta
mengadakan pengawasan dalam penelitian biomedik.

Hakikat Informed Consent

a. Merupakan sarana legimitasi bagi dokter untuk melakukan intervensi medik yang
mengandung resiko serta akibat yang tidak menyenangkan
b. Merupakan pernyataan sepihak; maka yang menyatakan secara tertulis (written consent)
hanya yang bersangkutan saja yang seharusnya menandatangani
c. Merupakan dokumen walau tidak pakai materai tetap syah.

Bentuk-bentuk Inform Consent


1. Implied Constructive Consent (Keadaan Biasa)
Tindakan yang biasa dilakukan, telah diketahui, telah dimengerti oleh masyarakat
umum, sehingga tidak perlu lagi dibuat tertulis. Misalnya pengambilan darah untuk
laboratorium, suntikan, atau hecting luka terbuka.

2. Implied Emergency Consent (Keadaan Gawat Darurat)


Bila pasien dalam kondiri gawat darurat sedangkan dokter perlu melakukan tindakan
segera untuk menyelematkan nyawa pasien sementara pasien dan keluarganya tidak
bisa membuat persetujuan segera. Seperti kasus sesak nafas, henti nafas, henti
jantung.

3. Expressed Consent (Bisa Lisan/Tertulis Bersifat Khusus)


Persetujuan yang dinyatakan baik lisan ataupun tertulis, bila yang akan dilakukan
melebihi prosedur pemeriksaan atau tindakan biasa. Misalnya pemeriksaan vaginal,
pencabutan kuku, tindakan pembedahan/operasi, ataupun pengobatan/tindakan
invasive.

Isi Inform Consent


Dalam Permenkes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik dinyatakan
bahwa dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien / keluarga
diminta atau tidak diminta, jadi informasi harus disampaikan.

Mengenai apa yang disampaikan, tentulah segala sesuatu yang berkaitan dengan penyakit
pasien. Tindakan apa yang dilakukan, tentunya prosedur tindakan yang akan dijalani pasien
baik diagnostic maupun terapi dan lain-lain sehingga pasien atau keluarga dapat
memahaminya. Ini mencangkup bentuk, tujuan, resiko, manfaat dari terapi yang akan
dilaksanakan dan alternative terapi (Hanafiah, 1999).

Secara umum dapat dikatakan bahwa semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap
pasien yang harus diinformasikan sebelumnya, namun izin yang harus diberikan oleh pasien
dapat berbagai macam bentuknya, baik yang dinyatakan ataupun tidak. Yang paling untuk
diketahui adalah bagaimana izin tersebut harus dituangkan dalam bentuk tertulis, sehingga
akan memudahkan pembuktiannya kelak bila timbul perselisihan.
Secara garis besar dalam melakukan tindakan medis pada pasien, dokter harus menjelaskan
beberapa hal, yaitu:
1. Garis besar seluk beluk penyakit yang diderita dan prosedur perawatan / pengobatan
yang akan diberikan / diterapkan.
2. Resiko yang dihadapi, misalnya komplikasi yang diduga akan timbul.
3. Prospek / prognosis keberhasilan ataupun kegagalan.
4. Alternative metode perawatan / pengobatan.
5. Hal-hal yang dapat terjadi bila pasien menolak untuk memberikan persetujuan.
6. Prosedur perawatan / pengobatan yang akan dilakukan merupakan suatu percobaan
atau menyimpang dari kebiasaan, bila hal itu yang akan dilakukan Dokter juga perlu
menyampaikan (meskipun hanya sekilas), mengenai cara kerja dan pengalamannya
dalam melakukan tindakan medis tersebut (Achadiat, 2007).

Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran dilaksanakan


adalah:
1. Diagnosa yang telah ditegakkan
2. Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan.
3. Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut.
4. Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran
tersebut.
5. Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara
pengobatan yang lain.
6. Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.

Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan
tindakan kedokteran :
Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.
Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.

Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan
melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan ( Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No 290
/ Menkes / PER / III / 2008 ). Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar daripada persetujuan (Ayat 2).

Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan


tindakan kedokteran adalah:
a. Dalam keadaan gawat darurat (emergency), dimana dokter harus segera
bertindak untuk menyelamatkan jiwa.
b. Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi
situasi dirinya.Ini tercantum dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008.

KETENTUAN INFORMED CONSENT


Ketentuan persetujuan tidakan medik berdasarkan SK Dirjen Pelayanan Medik
No.HR.00.06.3.5.1866 Tanggal 21 April 1999, diantaranya :
1. Persetujuan atau penolakan tindakan medik harus dalam kebijakan dan prosedur (SOP)
dan ditetapkan tertulis oleh pimpinan RS.
2. Memperoleh informasi dan pengelolaan, kewajiban dokter
3. Informed Consent dianggap benar :
a. Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan untuk tindakan medis yang
dinyatakan secara spesifik.
b. Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan tanpa paksaan (valuentery)
c. Persetujuan dan penolakan tindakan medis diberikan oleh seseorang (pasien) yang
sehat mental dan memang berhak memberikan dari segi hokum
d. Setelah diberikan cukup (adekuat) informasi dan penjelasan yang diperlukan

4. Isi informasi dan penjelasan yang harus diberikan :


a. Tentang tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medis yang ada dilakukan
(purhate of medical procedure)
b. Tentang tata cara tindakan medis yang akan dilakukan (consenpleated medical
procedure)
c. Tentang risiko
d. Tentang risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
e. Tentang alternatif tindakan medis lain yang tersedia dan risiko risikonya
(alternative medical procedure and risk)
f. Tentang prognosis penyakit, bila tindakan dilakukan
g. Diagnosis

5. Kewajiban memberi informasi dan penjelasan


. Dokter yang melakukan tindakan medis tanggung jawab
a. Berhalangan diwakilkan kepada dokter lain, dengan diketahui dokter yang
bersangkutan

6. Cara menyampaikan informasi


. Lisan
a. Tulisan

7. Pihak yang menyatakan persetujuan


a. Pasien sendiri, umur 21 tahun lebih atau telah menikah

b. Bagi pasien kurang 21 tahun dengan urutan hak :


- Ayah/ibu kandung
- Saudara saudara kandung

c. Bagi pasien kurang 21 tahun tidak punya orang tua/berhalangan, urutan hak :
- Ayah/ibu adopsi
- Saudara-saudara kandung
- Induk semang

d. Bagi pasien dengan gangguan mental, urutan hak :


- Ayah/ibu kandung
- Wali yang sah
- Saudara-saudara kandung

e. Bagi pasien dewasa dibawah pengampuan (curatelle) :


- Wali
- Kurator

f. Bagi pasien dewasa telah menikah/orangtua


- Suami/istri
- Ayah/ibu kandung
- Anak-anak kandung
- Saudara-saudara kandung

8. Cara menyatakan persetujuan


- Tertulis; mutlak pada tindakan medis resiko tinggi
- Lisan; tindakan tidak beresiko

9. Jenis tindakan medis yang perlu informed consent disusun oleh komite medik ditetapkan
pimpinan RS.
10. Tidak diperlukan bagi pasien gawat darurat yang tidak didampingi oleh keluarga pasien.
11. Format isian informed consent persetujuan atau penolakan
- Diketahui dan ditandatangani oleh kedua orang saksi, perawat bertindak sebagai
salah satu saksi
- Materai tidak diperlukan
- Formulir asli harus dismpan dalam berkas rekam medis pasien
- Formulir harus ditandatangan 24 jam sebelum tindakan medis dilakukan
- Dokter harus ikut membubuhkan tanda tangan sebagai bukti telah diberikan
informasi
- Bagi pasien/keluarga buta huruf membubuhkan cap jempol ibu jari tangan
kanannya

12. Jika pasien menolak tandatangan surat penolakan maka harus ada catatan pada rekam
medisnya.

LI 3. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN MALPRAKTEK DALAM ISLAM


BENTUK-BENTUK MALPRAKTEK

Malpraktek yang menjadi penyebab dokter bertanggungjawab secara profesi bisa


digolongkan sebagai berikut:

1. Tidak punya keahlian ( jahil ).


Yang dimaksudkan disini adalah melakukan praktek pelayanan kesehatan tanpa
memiliki keahlian, baik tidak memiliki keahlian sama sekali dalam bidang kedokteran,
atau memiliki sebagian keahlian tapi bertindak di luar keahliannya. Orang yang tidak
memiliki keahlian di bidang kedokteran kemudian nekat membuka praktek disinggung
oleh Nabi -shallallah 'alaihi wasallam- dalam sabda beliau:


"Barang siapa yang praktek menjadi dokter dan sebelumnya tidak diketahui
memiliki keahlian, maka ia bertanggungjawab.

Kesalahan ini sangat berat, karena menganggap remeh kesehatan dan nyawa banyak
orang, sehingga paru ulama sepakat bahwa pelakunya ( mutathabbib) harus
bertanggungjawab jika timbul masalah dan harus dihukum agar jera dan menjadi
pelajaran bagi orang lain.

2. Menyalahi prinsip-prinsip ilmiah ( mukhalafatul ushul al-'ilmiyyah).

Yang dimaksud dengan pinsip ilmiah adalah dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang telah
baku dan biasa dipakai oleh para dokter, baik secara teori maupun praktek, dan harus
dikuasai oleh dokter saat menjalani profesi kedokteran.

Para ulama telah menjelaskan kewajiban para dokter untuk mengikuti prinsip-prinsip
ini dan tidak menyalahinya.Imam asy-Syafi'i misalnya- mengatakan: "Jika menyuruh
seseorang untuk membekam, mengkhitan anak, atau mengobati hewan piaraan, kemudian
semua meninggal karena praktek itu, jika orang tersebut telah melakukan apa yang
seharusnya dan biasa dilakukan untuk maslahat pasien menurut para pakar dalam profesi
tersebut, maka ia tidak bertanggungjawab. Sebaliknya jika ia tahu dan menyalahinya,
maka ia bertanggungjawab." Bahkan hal ini adalah kesepakatan para ulama semuanya,
sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim

Hanya saja, hakim harus lebih jeli dalam menentukan apakah benar-benar terjadi
pelanggaran prinsip-prinsip ilmiah dalam kasus yang diangkat, karena ini termasuk
permasalahan yang pelik.

3. Ketidaksengajaan ( khatha' ).

Ketidaksengajaan adalah sesuatu yang orang tidak punya maksud di dalamnya.


Misalnya tangan dokter bedah terpeleset sehingga ada anggota tubuh pasien yang terluka.
Bentuk malpraktek ini tidak membuat pelakunya berdosa, tapi ia harus bertanggungjawab
terhadap akibat yang ditimbulkan sesuai dengan yang telah digariskan Islam dalam bab
jinayat, karena ini termasuk jinayat khatha' (tidak sengaja).

4. Sengaja menimbulkan bahaya ( I'tida' ).

Maksudnya adalah membahayakan pasien dengan sengaja. Ini adalah bentuk


malpraktek yang paling buruk. Tentu saja sulit diterima bila ada dokter atau paramedis
yang melakukan hal ini, sementara mereka telah menghabiskan umur mereka untuk
mengabdi dengan profesi ini. Kasus seperti ini terhitung jarang dan sulit dibuktikan
karena berhubungan dengan isi hati orang. Biasanya pembuktiannya dilakukan dengan
pengakuan pelaku, meskipun mungkin juga mengetahui kesengajaan ini melalui indikasi-
indikasi kuat yang menyertai terjadinya malpraktek yang sangat jelas. Misalnya, adanya
perselisihan antara pelaku malpraktek dengan pasien atau keluarganya.

PEMBUKTIAN MALPRAKTEK

Agama Islam mengajarkan bahwa tuduhan harus dibuktikan. Demikian pula, tuduhan
malparaktek harus diiringi dengan bukti, dan jika terbukti harus ada pertanggungjawaban
dari pelakunya. Ini adalah salah satu wujud keadilan dan kemuliaan ajaran Islam. Jika
tuduhan langsung diterima tanpa bukti, dokter dan paramedis terzhalimi, dan itu bisa
membuat mereka meninggalkan profesi mereka, sehingga akhirnya membahayakan
kehidupan umat manusia. Sebaliknya jika tidak ada pertanggungjawaban atas tindakan
malpraktek yang terbukti, pasien terzhalimi, dan para dokter bisa jadi berbuat seenak
mereka.

Seorang hakim bisa memakai bukti-bukti yang diakui oleh syariat sebagai berikut:

1. Pengakuan pelaku malpraktek ( iqrar ).

Iqrar adalah bukti yang paling kuat, karena merupakan persaksian atas diri sendiri, dan ia
lebih mengetahuinya. Apalagi dalam hal yang membahayakan diri sendiri, biasanya
pengakuan ini menunjukkan kejujuran.

2. Kesaksian ( syahadah ).

Untuk pertanggungjawaban berupa qishash dan ta'zir, dibutuhkan kesaksian dua pria
yang adil. Jika kesaksian akan mengakibatkan tanggung jawab materiil, seperti ganti rugi,
dibolehkan kesaksian satu pria ditambah dua wanita. Adapun kesaksian dalam hal-hal
yang tidak bisa disaksikan selain oleh wanita, seperti persalinan, dibolehkan persaksian
empat wanita tanpa pria. Di samping memperhatikan jumlah dan kepantasan saksi,
hendaknya hakim juga memperhatikan ada tidaknya tuhmah (kemungkinan mengalihkan
tuduhan malpraktek dari dirinya ). [8]

3. Catatan medis.

Yaitu catatan yang dibuat oleh dokter dan paramedis, karena catatan tersebut dibuat agar
bisa menjadi referensi saat dibutuhkan. Jika catatan ini valid, ia bisa menjadi bukti yang
sah.

BENTUK TANGGUNG JAWAB MALPRAKTEK

Jika tuduhan malpraktek telah dibuktikan, ada beberapa bentuk tanggung jawab yang
dipikul pelakunya. Bentuk-bentuk tanggung jawab tersebut adalah sebagai berikut:

1. Qishash.

Qishash ditegakkan jika terbukti bahwa dokter melakukan tindak malpraktek sengaja
menimbulkan bahaya ( I'tida' ), dengan membunuh pasien atau merusak anggota
tubuhnya, dan memanfaatkan profesinya sebagai pembungkus tindak kriminal yang
dilakukannya. Ketika memberi contoh tindak kriminal yang mengakibatkan qishash,
Khalil bin Ishaq al-Maliki mengatakan: "Misalnya dokter yang menambah (luas area
bedah) dengan sengaja."[9]

2. Dhaman (tanggung jawab materiil berupa ganti rugi atau diyat).

Bentuk tanggungjawab ini berlaku untuk bentuk malpraktek berikut:


a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak
ada kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.

b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah.

c. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi terjadi kesalahan tidak
disengaja.

d. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi tidak mendapat ijin
dari pasien, wali pasien atau pemerintah, kecuali dalam keadaan darurat.

3. Ta'zir berupa hukuman penjara, cambuk, atau yang lain. Ta'zir berlaku untuk dua
bentuk malpraktek:

a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak
ada kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.

b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah.

PIHAK YANG BERTANGGUNGJAWAB

Tanggung jawab dalam malpraktek bisa timbul karena seorang dokter melakukan
kesalahan langsung, dan bisa juga karena menjadi penyebab terjadinya malpraktek secara
tidak langsung. Misalnya, seorang dokter yang bertugas melakukan pemeriksaan awal
sengaja merekomendasikan pasien untuk merujuk kepada dokter bedah yang tidak ahli,
kemudian terjadi malpraktek. Dalam kasus ini, dokter bedah adalah adalah pelaku
langsung malpraktek, sedangkan dokter pemeriksa ikut menyebabkan malpraktek secara
tidak langsung.

Jadi, dalam satu kasus malpraktek kadang hanya ada satu pihak yang
bertanggungjawab. Kadang juga ada pihak lain lain yang ikut bertanggungjawab
bersamanya. Karenanya rumah sakit atau klinik juga bisa ikut bertanggungjawab jika
terbukti teledor dalam tanggung jawab yang diemban, sehingga secara tidak langsung
menyebabkan terjadinya malpraktek, misalnya dalam keadaan mengetahui
mempekerjakan dokter yang tidak ahli.
DAFTAR PUSTAKA

1. AbouZahr1, Carla & Boerma1,Ties . Health information systems: the foundations of public
health in Bulletin of the World Health Organization August 2005, 83 (8)

2. Agus M. Algozi. Rekam Medis Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. FK
UNAIR-RS. DR. Soetomo. Surabaya.

3. Buku Panduan HAM bagi Pasien dan Dokter untuk Mencegah Malpraktek, Diakses dari:
http://www.balitbangham.go.id/index/images/judul_pdf/sipol/pengembangan/2008/malprakt
ek.pdf

4. Chadha,P.Vijay.1995.Ilmu Forensik dan Toksikologi.Jakarta:Widya Medika Indonesia.

5. Departemen Kesehatan RI., Pedoman Sistem Pencatatan Rumah Sakit (Rekam


medis/Medical Record , 1994

6. Diakses dari http://indonesia.ahrchk.net/news/mainfile.php/Constitution/22

7. Diakses dari
http://serambimadinah.net/index.php?option=com_content&view=article&id=126:malprakte
k-menurut-syariat-islam&catid=38:fiqh&Itemid=63

8. Diakses dari http://www.ilunifk83.com/t143-informed-consent

9. Diakses dari http://www.inamc.or.id/download/penanganan.pdf

10. Etika Kedokteran, Diakses dari: http://www.scribd.com/doc/96601676/etika-kedokteran

11. Hanafiah MJ, Amir A. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Edisi ke-4. Jakarta: EGC.
2008
12. Hanafiah MJ, Amir Amri. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan Edisi 3. Jakarta: EGC .
1998

13. Malpraktek Dalam Kajian Hukum Pidana, Diakses


dari:http://eprints.undip.ac.id/20768/1/2380-ki-fh-98.pdf

14. National Cancer Institute. A Guide to Understanding Informed Consent. Available


at:www.cancer.gov/ClinicalTrials

15. World Health Organization, Medical Records Manual , A Guide for Developing Countries,
2006

Anda mungkin juga menyukai