PEMBAHASAN
Pasien datang ke IGD RSUD Dr. Moewardi dengan keluhan BAB cair
memberat sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. BAB cair dirasakan sejak 1
bulan sebelum masuk rumah sakit. BAB cair 3-5 kali sehari sebanyak gelas
belimbing tiap kali BAB. BAB warna kuning, masih ada ampasnya. Diare dengan
onset >14 hari termasuk diare kronik. Etiologi diare kronik beragam seperti
Inflammatory bowel disease, infeksi parasit, komplikasi dari infeksi HIV,
gangguan endokrin, keganasan, kelainan hati dan sebagainya (Lilihata G, 2014).
Irritable bowel syndrome merupakan kumpulan gejala nyeri dan rasa tidak
nyaman diperut yang diasosiasikan dengan abnormalitas fungsi dan pergerakan
usus besar tanpa kelainan strukturan, biokimia maupun sistemik yang mendasari.
Sensasi tidak nyaman pada abdomen tersebut minimal selama 3 hari dalam 1
bulan pada 3 bulan terakhir dengan 2 dari 3 gejala : perbaikan defekasi, onset
terkait perubahan frekuensi dan onset terkait perubahan bentuk feses. Irrittable
bowel syndrome (IBS) ada 4 subtype yaitu diare, konstipasi, campuran dan
unsubtye. Pada pasien ini termasuk IBS tipe diare. Nyeri pada Irrtiable bowel
syndrome biasanya akan berkurang jika defekasi. Inflammatory bowel disease
(IBD) merupakan kondisi peradangan saluran cerna kronik dan idiopatik, yang
diperkirakan melibatkan reaksi imun dalam tubuh terhadap saluran pencernaan.
Secara umum dibagi atas kolitis ulseratif (KU), penyakit Crohn (PC) dan IBD
unclassified type (IBDU, dulu dikenal sebagai indeterminate colitis). Seperti
namanya, UC terbatas pada kolon, sedangkan CD mencakup semua segmen
daripada traktus gastrointestinal dari mulut sampai anus (Rowe, 2011). Gambaran
Klinis Inflammatory Bowel Disease berupa diare kronik dengan atau tanpa darah
dan nyeri perut.
Tabel 3.1. Perbedaan kolitis ulseratif dan penyakit chron (Lauren, 2007).
Diare kronik > 1 bulan dapat merupakan gejala klinis infeksi HIV,
disamping gejala-gejala lain seperti demam > 1 bulan, penurunan berat badan
tanpa sebab yang jelas, oral thrush, flu like symptom dan tanda infeksi
opportunistic lain. Ditambah faktor resiko hubungan seksual tidak aman (HSTA)
dikonfirmasi dengan pemeriksaan serologi Anti HIV.
Pada pasien didapatkan diare kronik 1 bulan. Gejala lain penurunan berat
badan 10 kg dalam 4 bulan terakhir dan penurunan nafsu makan. Diagnosis
banding diare kronik pasien adalah klinis HIV dengan didapatkan gejala mayor
diare kronik >1 bulan, penurunan berat badan dan gejala minor oral thrush serta
adanya riwayat hubungan seksual tidak aman. Pada pemeriksaan serologi Anti
HIV didapatkan hasil positif sejak bulan November 2016 dan saat ini pasien rutin
kontrol ke poli VCT.
Dalam situasi dimana imunodefisiensi yang berkembang pada orang
dengan infeksi HIV, salah satu organ yang paling parah terkena adalah intestinum.
Pertama, enterosit dapat mengalami atrofi, akibat virus HIV yang menginfeksi sel
enterosit dan merusak fungsinya. Kedua, karena intestinum merupakan organ
imunologis di tubuh, penghancuran sel imunokompeten di intestinum akan
menyebabkan disfungsi dari intestinum yang merupakan memunculkan gejala
diare (Lidia E dan Floren CH, 2010; Chiampas TD, 2017).
Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa diare pada HIV/AIDS
dapat disebabkan oleh patogen umum, termasuk virus, jamur, bakteri dan
helminthes. Yang juga menyulitkan situasinya adalah bahwa, begitu pula infeksi
oleh patogen biasa, risiko infeksi oleh agen oportunistik meningkat seiring
kejadian immunocompromised. Namun, tidak ada campuran spesifik patogen dan
agen oportunistik yang hadir pada diare terkait HIV (Lidia E dan Floren CH,
2010).
Satu patogen, pada pasien infeksi HIV positif dengan adanya
immunocompromised, yang menyebabkan diare kronis, adalah Cryptosporidium.
Pada orang yang imunokompeten, infeksi ini biasanya bersifat self-limiting
disease, namun tidak pada pasien HIV-positif dengan immunocompromised.
Umumnya, tidak ada pengobatan yang efektif untuk diare kronis pada pasien
seperti ini. Pengobatan yang utama adalah terapi antiretroviral (Lidia E dan Floren
CH, 2010).
Sejumlah penelitian telah mendokumentasikan patogen yang dapat
ditemukan pada pasien dengan diare terkait HIV. Konsensus menunjukkan bahwa
semua patogen dan agen oportunistik yang ditemukan dapat menyebabkan diare
kronis. Diperlukan pemeriksaan penunjang diagnostik untuk setiap pasien, jika
memungkinkan. Pemeriksaan dapat dibatasi pada kultur tinja dan mikroskopi,
tetapi mungkin juga dilakukan biopsi rektal dan atau intestinum (Lidia E dan
Floren CH, 2010; Chen XM et al., 2002).
Beberapa penelitian melaporkan hasil yang tinggi dari agen penyebab yang
diidentifikasi, sementara yang lain melaporkan hasil dengan angka yang rendah.
Diare tidak mengancam jiwa, tapi bisa sangat menghambat aktivitas sehari-hari
dan menurunkan kualitas hidup. Upaya diagnostik harus dilakukan untuk
mencoba menemukan agen penyebab dan untuk mengobati dengan antibiotik dan
terapi spesifik lainnya jika memungkinkan. Satu penelitian menunjukkan bahwa
pada individu yang imunokompeten, yang didefinisikan sebagai mereka dengan
jumlah CD4> 200 / L, agen yang menginfeksi adalah patogen biasa, sedangkan
pada individu dengan jumlah CD4 <200 / L, agen yang menginfeksi adalah agen
oportunistik (Lidia E dan Floren CH, 2010; Call SA et al., 2000).
Gejala diare kronik pada pasien diberikan terapi obat anti-diare kelompok
absorbent khususnya attapulgit aktif, yaitu New Diatabs 2 tablet setiap habis
BAB. Obat ini bekerja menyerap bahan infeksius atau toksin. Melalui efek
tersebut, sel mukosa usus terhindar kontak langsung dengan zat-zat yang dapat
merangsang sekresi elektrolit. Pasien juga diberikan kelompok opiat, yaitu
Loperamide HCl. Efek kelompok obat tersebut meliputi penghambatan propulsi,
peningkatan absorbsi cairan, sehingga dapat memperbaiki konsistensi feses dan
mengurangi frekuensi diare. Bila diberikan dengan benar cukup aman dan dapat
mengurangi frekuensi defekasi sampai 80%. Suplemen Zinc diberikan karena dari
beberapa sumber mengatakan untuk memperbaiki absorbsi dari villi-villi
intestinum pasca diare.
Selain mencari etiologi dan diagnosis diare, penting untuk menilai status
dehidrasi dan memulai terapi penggantian cairan. Hal ini karena kekurangan
cairan dalam intravascular berpotensi menimbulkan syok hipovolemik. Berikut
adalah skoring daldiyono untuk menilai status hidrasi dan perkiraan penggantian
cairan
Tabel 3.2. Metode Daldiyono dan perkiraan kebutuhan cairan
(Simadibrata M et al, 2010).
Teknik rehidrasinya adalah :
a. 2 jam pertama (tahap rehidrasi inisial): jumlah total kebutuhan cairan
menurut rumus BJ plasma/skor daldiyono diberikan langsung dalam 2
jam ini agar tercapai rehidrasi optimal secepat mungkin.
b. 1 jam berikutnya / jam ke 3 (tahap kedua) pemberian diberikan
berdasarkan kehilangan cairan rehidrasi inisial sebelumnya. Bila tidak
ada syok/skor daldiyono kurang dari 3 dapat diganti cairan perooral.
c. Jam berikutnya pemberian cairan diberikan berdasarkan cairan melalui
tinja dan IWL.
Pada pasien didapatkan muntah dan usia 56 tahun sehingga skor menjadi 0.
Pemberian cairan bertujuan untuk maintenance dan pencegahan dehidrasi.
Mekanisme imunologik
PANSITOPENIA
Febris - kulit
Ulkus mulut/faring - mukosa
Sepsis - organ dalam