Anda di halaman 1dari 36

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
II.1. ANATOMI DAN FISIOLOGI NEURON

Sel saraf atau neuron berfungsi untuk menerima, meneruskan, dan memproses stimulus;
memicu aktivitas sel tertentu; dan pelepasan neurotransmiter dan molekul informasi lainnya.
Sel saraf menerima sensasi atau stimulus melalui reseptor, yang terletak di tubuh baik
eksternal (reseptor somatik) maupun internal (reseptor viseral). Reseptor mengubah stimulus
menjadi impuls listrik yang menjalar di sepanjang saraf sampai ke otakdan medulla spinalis
yang kemudian akan mengintepretasi dan mengintegrasi stimulus, sehingga respons terhadap
informasi bisa terjadi. Impuls dari otak dan medula spinalis memperoleh respons yang sesuai
dari otot dan kelenjar tubuh, yang disebut efektor.
Kebanyakan neuron terdiri atas 3 bagian yaitu:
1. Dendrit
Merupakan cabang panjang yang dikhususkan menerima stimulus dari
lingkungan sel-sel epitel sensorik atau dari neuron lain. Dendrit umumnya pendek
dan bercabang-cabang mirip pohon. Dendrit menerima banyak sinaps dan merupakan
tempat penerimaan sinyal dan pemrosesan utama neuron. Kebanyakan sel saraf
memiliki banyak dendrit yang sangat memperluas daerah penerimaan sel.
Percabangan dendrit memungkinkan sebuah neuron untuk menerima dan
mengintegrasi sejumlah besar akson terminal dari sel saraf lain. Diperkirakan bahwa
sejumlah 200.000 akson terminal membentuk hubungan fungsional dengan dendrit
sel purkinje di serebelum. Jumlah tersebut mungkin lebih besar lagi dari sel saraf
lain.
Neuron bipolar, dengan hanya satu dendrit, tidak banyak dijumpai dan hanya
terdapat pada tempat khusus.Berbeda dari akson yang memiliki diameter tetap dari
satu ujung ke ujung lain, dendrit makin mengecil setiap kali bercabang. Komposisi
sitoplasma di basis dendrit, dekat dengan badan neuron, mirip dengan komposisi
sitoplasma perikarion namun tak mengandung kompleks golgi. Kebanyakan sinaps
yang berkontak dengan neuron terdapat di spina (ujung-ujung) dendrit, yang
umumnya merupakan struktur berbentuk jamur (bagian kepala membesar,
dihubungkan pada batang dendrit oleh bagian leher yang lebih sempit), spina
berfungsi penting dan berjumlah banyak, yaitu sekitar 1014 untuk korteks serebri
manusia.
Spina dendrit merupakan tempat pemrosesan pertama bagi sinyal sinaptik yang
tiba di neuron. Peralatan pemrosesan terdapat dalam suatu kumpulan protein yang
melekat pada permukaan sitosoldari membran pascasinaptik jauh sebelum fungsinya
diketahui. Spina dendrit ikut serta dalam perubahan plastis yang mendasari proses
adaptasi belajar dan mengingat. Spina-spina tersebut merupakan struktur dinamis
dengan plastisitas morfologi berdasarkan protein aktin sitoskeleton yang
berhubungan dengan perkembangan sinaps dan adaptasi fungsionalnya pa orang
dewasa.

2. Badan Sel (Perikarion)


Badan akson yang merupakan pusat trafik untuk keseluruhan sel saraf dan juga
berfungsi menerima stimulus. Badan sel yang disebut juga perikarion adalah bagian
neuron yang mengandung inti dan sitoplasma di sekelilingnya dan tidak mencakup
cabang-cabang sel. Badan sel terutama merupakan pusat trofik, meskipun struktur ini
juga dapat menerima impuls. Perikarion di kebanyakan neuron menerima sejumlah
besar ujung saraf yang membawa stimulus eksitatorik atau inhibitorik yang datang
dari sel saraf lain.
Kebanyakan sel saraf memiliki inti eukromatik bulat dan sangat besar dengan
anak inti yang sangat nyata. Sel saraf binukleus terlihat dalam ganglia simpatis dan
sensorik. Kromatin halus tersebar merata yang menggambarkan tingginya aktivitas
sintesis di sel-sel ini.
Badan sel mengandung suatu retikulum endoplasma kasar yang berkembang
sangat baik, berupa kelompok-kelompok sisterna paralel. Di dalam sitoplasma
diantara sisterna terdapat banyak poliribosom yang memberi kesan bahwa sel-sel ini
menyintesis protein struktural dan protein transpor. Bila dipulas dengan pewarnaan
yang cocok, retikulum endoplasma kasar dan ribosom bebas tampak sebagai daerah
bergranul basofilik di bawah mikroskop cahaya yang disebut badan nissl. Jumlah
badan nissl bervariasi sesuai jenis neuron dan keadaan fungsionalnya.
Badan nissl sangat banyak dijumpai dalam sel saraf besar seperti neuron
motorik. Kompleks golgi hanya terdapat dalam badan sel dan terdiri atas banyak
deretan paralel sisterna licin yang tersusun disekitar tepi inti. Mitokondria banyak
dijumpaikhususnya dalam akson terminal. Mitokondria tersebar dalam sitoplasma
badan sel.
Neurofilamen (filamen intermediet berdiameter 10 nm) banyak dijumpai dalam
perikarion dan cabang sel. Neurofilamen bergabung sebagai akibat darikerja bahan
fiksasi tertentu. Bila diimpregnasi dengan perak, neurofilamen akan membentuk
neurofibril, yang akan tampak dengan mikroskop cahaya. Neuron juga mengandung
mikrotubulus yang identik dengan mikrotubulus yang terdapat pada banyak sel lain.
Sel saraf kadang-kadang mengendung inklusi pigmen, seperti lipofuksin, yakni suatu
residu materi yang tak tercerna oleh lisosom

3. Akson
Yang merupakan suatu cabang tunggal yang dikhususkan untuk menciptakan
atau menghantarkan impuls saraf ke sel-sel lain (sel saraf, sel otot, dan sel kelenjar).
Akson dapat juga menerima informasi dari neuron lain; informasi ini terutama
memodifikasi transmisi potensial aksi ke neuron lain. Bagian distal dari akson
umumnya bercabang dan membentuk ranting-ranting terminal. Setiap cabang ranting
berakhir pada sel berikutnya berupa pelebaran yang berinteraksi dengan neuron atau
sel selain neuron, dan membentuk struktur yang disebut sinaps. Sinaps meneruskan
informasi ke sel berikutnya dalam sirkuit.
Kebanyakan neuron hanya memiliki satu akson; ada sejumlah kecil yang tidak
mempunyai akson sama sekali. Sebuah akson merupakan cabang silindris dengan
panjang dan diameter yang bervariasi, sesuai jumlah neuronnya. Meskipun ada
neuron dengan akson pendek, akson umumnya berukuran panjang. Misalnya akson
sel motorik di medula spinalis yang mempersarafi otot kaki harus memiliki panjang
sampai 100 cm (sekitar 40 inci). Semua akson berasal adri daerah berbentuk piramida
pendek, yaitu muara akson, yang umumnya muncul dari perikarion. Membrn plasma
di akson disebut aksolemma, isinya dikenal sebagai aksoplasma.
Pada neuron yang membentuk akson bermielin, bagian akson diantara muara
akson dan titik awal mielinisasi disebut segmen inisial. Segmen ini merupakan
tempat berkumpulnya berbagai stimulus yang merangsang dan menghambat pada
neuron, yang dijumlahkan secara aljabar, dan menghasilkan keputusan untuk
meneruskan atau tidak meneruskan suatu potensial aksi atau impuls saraf. Diketahui
bahwa beberapa jenis kanal tersebut penting untuk mengadakan perubahan potensial
listrik yang membentuk potensial aksi. Berbeda dengan dendrit, akson memiliki
diameter yang tetap dan tidak bercabang banyak. Kadang-kadang segera setelah
keluar dari badan sel, akson menghasilkan sebuah cabang yang kembali ke daerah
badan sel saraf. Semua cabang akson dikenal sebagai cabang kolateral. Sitoplasma
akson (aksoplasma) mengandung mitokondria, mikrotubulus neurofilamen dan
sejumlah sisterna retikulum endoplasma halus. Tidak ada poliribosom dan retikulum
endoplasma kasar memperjelas ketergantungan akson pada perikarion untuk
mempertahankan diri. Jika akson dipotong, bagian perifernya akan berdegenerasi dan
mati. Terdapat lalu lintas dua arah yang sibuk dari molekul besar dan kecil di
sepanjang akson.
Makromolekul dan organel yang disintesis di dalam badan sel akan diangkut
secara kontinu oleh suatu aliran anterograd disepanjang akson ke bagian terminalnya.
Aliran anterograd berlangsung dengan 3 kecepatan yang berbeda. Aliran lambat
(beberapa milimeter per hari) mengangkut protein dan mikrofilamen. Aliran dengan
kecepatan sedang mengangkut mitokondria dan aliran cepat (100 kali lebih cepat)
mengangkut zat yang ditampung dalam vesikel, yang diperlukan di akson terminal
selama transmisi saraf berlangsung.
Bersamaan dengan aliran anterograd, aliran retrograd dalam arah berlawanan
mengangkut sejumlah molekul ke badan sel, termasuk zat yang masuk melalui
endositosis (meliputi virus dan toksin). Proses ini digunakan untuk mempelajari
jalur-jalur neuron; peroksidase atau zat penanda yang lain disuntikkan ke daerah
dengan akson terminalnya, dan penyebarannya diikuti dalam selang waktu tertentu.
Protein motorik yang terkait dengan aliran akson meliputi dinein, suatu protein
dengan aktivitas ATPase yang terdapat dalam mikrotubulus (berhubungan dengan
aliran retograd) dan kinesin, yakni suatu mikrotubulus yang teraktivasi-ATPase yang
mempercepat aliran anterograd dalam akson ketika melekat pada vesikel.

Klasifikasi Neuron
Berdasarkan jumlah prosesusnya neuron diklasifikasikan menjadi:
1. Neuron Unipolar
Neuron unipolar mempunyai satu tonjolan yang kemudian bercabang dua
dekat dengan badan sel. Satu cabang menuju ke perifer sedangkan cabang yang lain
berjalan menuju SSP.Contoh: neuron sensorik saraf spinal

2. Neuron Bipolar
Neuron bipolar mempunyai dua tonjolan satu akson dan satu dendrit,
contohnya neuron bipolar antara lain adalah sel batang dan kerucut retina.

3. Neuron Multipolar
Neuron multipolar mempunyai beberapa dendrit dan satu akson yang dapat
bercabang-cabang banyak sekali. Kebanyakan neuron SSP merupakan neuron
multipolar. Salah satu contoh sel jenis ini adalah neuron motorik yang berasal dari

kornu ventral medula spinalis dengan aksonnya yang menjulur sampai ke otot rangka.

Berdasarkan struktur dan fungsinya, sel saraf dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu
sel saraf sensori, sel saraf motor, dan sel saraf intermediet (asosiasi).
1. Sel saraf sensorik
Fungsi sel saraf sensorik adalah menghantar impuls dari reseptor ke sistem
saraf pusat, yaitu otak (ensefalon) dan sumsum belakang (medula spinalis). Ujung
akson dari saraf sensori berhubungan dengan saraf asosiasi (intermediet).

2. Sel saraf motorik


Fungsi sel saraf motor adalah mengirim impuls dari sistem saraf pusat ke otot
atau kelenjar yang hasilnya berupa tanggapan tubuh terhadap rangsangan. Badan sel
saraf motor berada di sistem saraf pusat. Dendritnya sangat pendek berhubungan
dengan akson saraf asosiasi, sedangkan aksonnya dapat sangat panjang.

3. Sel saraf intermediet


Sel saraf intermediet disebut juga sel saraf asosiasi. Sel ini dapat ditemukan di
dalam sistem saraf pusat dan berfungsi menghubungkan sel saraf motor dengan sel
saraf sensori atau berhubungan dengan sel saraf lainnya yang ada di dalam sistem
saraf pusat. Sel saraf intermediet menerima impuls dari reseptor sensori atau sel saraf
asosiasi lainnya. Kelompok-kelompok serabut saraf, akson dan dendrit bergabung
dalam satu selubung dan membentuk urat saraf. Sedangkan badan sel saraf berkumpul
membentuk ganglion atau simpul saraf.

Sel Neuroglia
Biasanya disebut glia, sel neuroglial adalah sel penunjang tarnbahan pada SSP yang
berfungsi sebagai jaringan ikat. Tidak seperti neuron, sel glial dapat menjalani mitosis selama
rentang kehidupannya dan bertanggung jawab atas terjadinya tumor sistem saraf (Gambar 9-
3).

1. Astrosit adalah sel berbentuk bintang yang memiliki sejumlah prosesus panjang,
sebagian besar melekat pada dinding kapilar darah melalui pedikel atau "kaki
vaskular."
a. Sel ini memberikan penopang struktural dan mengatur transpor materi di an tara
darah dan neuron.
b. Kaki vaskular dipercaya berkontribusi terhadap barier darah-otak, atau tingkat
kesulitan makromolekul tertentu pada plasma darah untuk masuk ke jaringan otak.
c. Astrosit fibrosa terletak di substansi putih otak dan medulla spinalis; astrosit
protoplasma ditemukan pada substansi abu-abu.

2. Oligodendroglia (oligodendrosit) menyerupai astrosit, tetapi badan selnya kecil dan


jumlah prosesusnya lebih sedikit dan lebih pendek.
a. Oligodendrosit dalam SSP analog dengan sel Schwann pada saraf perifer.
b. Bagian ini membentuk lapisan mielin untuk melapisi akson dalam SSP.
3. Mikroglia ditemukan dekat neuron dan pembuluh darah, dan dipercaya memi!iki peran
fagositik. Sel glia berukuran kecil dan prosesusnya lebih sedikit dari jenis sel glial
lain.
.
4. Sel ependimal membentuk membran epitelial yang melapisi rongga serebral (otak) dan
rongga medulla spinalis.
Reseptor Sensorik
Klasifikasi reseptor sebagai berikut :
Berdasarkan tipe stimulus:
1. Chemoreceptor : respon terhadap zat kimia
2. Thermoreceptor : respon terhadap suhu (panas dan dingin)
3. Nociceptor : reseptor rasa sakit, misalnya adanya respon terhadap trauma.
4. Mechanoreceptor : respon terhadap perubahan posisi fisik.
5. Photoreceptor : respon terhadap cahaya

Berdasarkan asal stimulus :


1. Interoceptor : deteksi stimulus pada bagian internal organ
2. Proprioceptor : deteksi stimulus dari posisi dan pergerakan tubuh atau bagiannya.
3. Exteroceptor : deteksi stimulus dari luar tubuh.

Berdasarkan distribusi reseptor di tubuh :


1. General (somesthetic) sense : yaitu reseptor yang terdistribusi luas pada kulit, otot,
tenson, joint capsule, dan viscera.
2. Special sense : merupakan reseptor yang terbatas pada kepala dan bagian yang
diinervasi oleh nervus cranialis. Yang termasuk spesial sense yaitu penglihatan,
pendengaran, pengecapan, dan penghiduan.

Sinaps
Sinaps berasal dari bahasa Yunani synapsis yang artinya penyatuan adalah tempat
neuron-neuron saling berkontak atau antara neuron dan sel efektor lainnya (otot dan sel
kelenjar). Sinaps sangat berperan pada penghantaran satu arah dari implus saraf. Hampir
semua sinaps menghantarkan implus lewat pelepasan neurotransmitter pada terminal akson,
berupa substansi kimiawi yang menginduksi perpindahan implus saraf ke neuron lainnya atau
ke sebelah sel efektor. Sinaps dibentuk oleh suatu terminal akson (terminal prasinaps) yang
menghantarkan implus, bagian lain tempat impuls baru dibentuk (terminal pascasinaps) dan
suatu celah sempit intraseluler yang disebut celah sinaps (gambar).
Sinaps berdasarkan perhubungannya dapat dibedakan menjadi:
a. sinaps aksosomatik, bila akson membentuk sinaps dengan sel tubuh;
b. aksodendritik, bila akson membentuk sinaps dengan dendrite;
c. aksoaksonik, bila akson membentuk sinaps dengan sesama akson.
Anatomi Fisiologi Sinaps
Sinaps akan membentuk celah sinaps melalui kontak antara akson dari satu neuron
dengan dendrit (akso-dendritik) atau perikarion (akso-somatik) dari neuron lain, kadang-
kadang antar dendrit (dendro-dendritik) atau antar akson (akson-aksonik).
Pada ujung neuron presinaps terdapat knop kecil (knob sinaps) yang bentuknya
menyerupai tombol bulat atau bujur telur.
Ujung presinaps ini dipisahkan dari membran sel neuron postsinaps oleh suatu celah
sinaps (synaptic cleft) yang mempunyai lebar 200-300 amstrong.
Ujung presinaps mempunyai 2 struktur interna , yang berfungsi untuk penerusan
rangsang ( excitatory) atau penghambatan sinaps, yaitu :
1. Kantong transmitter (synaptic vesicle) mengandung bahan transmitter yang bila
dilepaskan ke celah sinaps, dapat merangsang atau menghambat neuron
postsinaps.
2. Mitokondria menyediakan adenosin trifosfat, yang mensuplai energi untuk
mensintesis bahan transmiter baru
Membran presinaps : membran sel yang menutupi ujung presinaps, mengandung
banyak sekali saluran kalsium (Ca2+) yang berpintu gerbang voltase (voltage-gated
calsium channel)

Sinaps Listrik
Sinaps listrik memungkinkan potensial aksi merambat secara langsung dari sel
presinaps ke sel pascasinaps. Sel-sel itu dihubungkan oleh persambungan longgar, yaitu
saluran antar sel yang mengalirkan ion potensial aksi lokal agar mengalir antar neuron. Hal ini
memungkinkan implus merambat dari satu neuron ke neuron lain tanpa penundaan dan tanpa
kehilangan kekuatan sinyal. Senapsis listrik dalam SSP vertebrata menyelaraskan aktivitas
neuron yang bertanggung jawab atas semua pergerakan yang cepat dan luas.
Sinaps Kimiawi
Pada sinaps kimiawi, sebuah celah sempit, celah sinaptik (synaptic cleft), memisahkan
sel prasinaptik dari sel pascasinaptik. Adanya celah tersebut menyebabkan sel-sel tidak dapat
dikopel secara elektrik, dan potensial aksi yang terjadi pada sel prasinaptik tidak dapat
dirambatkan secara langsung ke membran sel pascasinaptk. Karnanya, maka terjadilah suatu
rangkaian kejadian yang mengubah sinyal listrik potensial aksi yang tiba di terminal sinaptik
menjadi sinyak kimiawi yang mengalir melewati sinapsis, kemudian sinyal kimiawi tersebut
diubah kembali menjadi sinyal listrik pada sel pascasinaptik.
Hampir semua sinaps merupakan sinaps kimiawi dan menghantarkan implus saraf melalui
neurotransmitter. Sangat sedikit sinaps menghantarkan implus melalui hubungan celah (gap
junction) yang melewati membrane pre- dan pasca sinaps, sinaps listrik, ion-ion melewati
hubungan celah dengan bebas dan menghantarkan implus saraf secara langsung.
Sinaps memiliki struktur yang kaku, hal ini disebabkan karena membran plasma pada daerah
pre- dan pasca sinaps diperkuat dan tmpak lebih tebal dari membrane yang berdekatan dengan
sinaps. Pada beberapa keadaan membrane pre- dan pasca sinaps diikat oleh jembatan pada
tempat sinaps. Terminal prasinaps selalu mengandung vesikel-vesikel sinaps dan banyak
mitokondria. Mitokondria berfungsi menyediakan energi untuk aktivitas sinaps. Vesikel
mengandung neurotransmitter.

II.2. NEUROTOKSIK
Neurotoksisitas adalah suatu agen kimia, biok=logi, atau fisik yang dapat menimbulkan
efek merugikan bagi sistem saraf. Toksisikan dapat langsung bekerja di sistem saraf, namun
sistem saraf juga sagat rentan terhadap sutu perubahan terutama yang terjadi di sistem
sirkulasi darah.
Ada beberapa toksikan yang spesifik bagi neuron(neurotoksikan) atau ada beberapa
bagian neuron yang dapat mengakibatkan cedera atau kematian neuron(neursis) dan hilangnya
neuron tidak dapat digantikan lagi. Efek neurotoksiskan dapat digolongkan berdasarkan
tempat kerjanya, yakni badan sel dan bagian lain neuron, terutama akson, sel glia, dan sistem
pembuluh darah. Tetapi sutu toksikan dapat mempengaruhi lebih dari satu tempat.
Fungsi dari saraf utama adalah men-transmisikan impuls lewat sel-sel saraf. Sel saraf
yang tersambung dengan yang lain atau tersambung dengan sel organ seperti otot melalui
suatu sinap/junction. Dengan demikian ada dua mekanisme racun saraf, yakni :
1. Gangguan pada transmitter,
2. Gangguan pada aktivitas keluar masuknya ion Na dan K sepanjang akson saraf,
sehingga impuls elektrik terganggu.

A. Neuropati
Suatu neuron sangat rentan terhadap keadaan anoksia dan hipoglikemia. Badan sel
neuron dapat dipengaruhi oleh toksikan secara langsung. Toksikan-toksikan yang dapat
merusak neuron diantaranya :
Barbiturat : menginduksi aoksia dalam otak, terutama pada daerah tertentu
dikorteks otak, hipokampus, dan otak kecil.
Karbon monoksida : dapat menginduks efek yang menetap dalam otak yang
muncul akibat berkembangnya sklerosis difus disubstansia alba
(leukoensefalopati).
Sianida dan azid : mengkhambat sitokrom oksidase, sehingga mengakibatkan
anoksia sitotoksik.
Metil mercury : menyebabkan hilangnya ribosom setempat, kemudian
disintegrasi dan hilangnya zat-zat nissl, terutama dalam sel kecil. Proses ini
diikuti oleh perubaha inti dan sekitarnya dan akhirnya diikuti oleh hilangnya
seluruh neuron termasuk aksonnya. Metil mercury juga dapat menembus sawar
darah-otak sehingga dapat merusak neuron dalam ganglia radiks dorsal.
Doksorubisin (Adriamisin): mempengaruhi neuron dengan menyisipkan di
tengah DNA, sehingga menyebabkan kerusakan unsure Heliks. Kerusakan ini
dapat menghambat sintesis RNA dan protein neuron. Dan dapat mempengaruhi
neuron dalam ganglia radiks dorsal tetapi tidak mempengaruhi neuron SSP.
Vinkristin : Dapat menyebabkan akumulasi neurofibril dalam perikarion dan
akson, mengacaukan neurotubulus dan neuronfilamen akson dan mengambat
transport aksoplasma ultrastruktur.
Alumunium : menembus sawar darah otak dan menginduksi ensefalopati
dengan degenerasi neurofibril terhadap penyakit al-zheimer.
Glutamat, Alanosin, dan zat lain : dalam dosis sangat besar akan
mempengaruhi SSP yang tidak memiliki sawar darah otak sehingga dianggap
mempunyai efek neuroeksitatori dan neurotoksik.
Asam kainat : dihasilkan dari ganggang laut khusus dan telah digunakan pada
askariasis; asam kainat mirip dengan glutamate tetapi jauh lebih kuat.
B. Aksonopati
Unsur-unsur dalam akson misalnya neufibril, tidak disintetis secara local tetapi pada
dalam badan sel dan diangkut sepanjang akson.
Aksonopati proksimal
-iminodiproprionitril (IDPN) digunakan untuk mempelajari pnyakit neuron sensorik
misalnya sklerosis amiotrofik lateral. Efek IDPN adalah perusakan transport akson
lambat pada neurofilamen sedangkan sintetisnya terus berlanjut dalam badan sel.

Aksonopati distal
Suatu jenis aksonopati distal yang penting disebabkan oleh senyawa organophosphate
tertentu misalnya TOCP (tri-o-kresil phosphat), EPN, dan leptofos. Senyawa ini
menghambat kolinestrase dan juga menyebabkan neuropati lambat. Aksonopati distal
diperkirakan merupakan akibat rusaknya aktivitas enzim glikolisis dalam akson.
Rusaknya enzim ini akan mempengaruhi bagian distal akson.

C. Gangguan Pada Konduksi impuls


Beberapa toksikan bekerja pada membrane saraf. Membrane ini biasanya
mempertahankan suatu potensial istirahat negative. Bila dirangsang potensial kerja akan
bangkit. Potensial istirahat dan potensial kerja merupakan akibat perbedaan kadar Na+
dan K+ lintas membrane; kadar ion-ion oleh pompa Na+ dan K+.

D. Gangguan pada transmisi sinaps


Agen yang menghentikan transmisi l :
o Toksin Botulinum yang diproduksikan Clostridium botulium,menghambat
keluarnya asetilkolin, sehingga transmis sistem saraf pada sambungan
(junction) dan pada saraf parasimpatik tidak dapat berjalan menyebabkan
paralisis otot dengan mengganggu pelepasan asetilkolin dari ujung-ujung saraf
motorik.
o Tetanoplasmin, dari kuman Clostridium tetani, menyebabkan tetanus melalui
efeknya pada SSP. Tetanoplasmin melepaskan hambatan motoneuron dalam
medulla spinalis dengan pengikatan pada reseptor neuron.
o Tetrodoksin dari ikan dan saksitoksin dari dinoflagelata yang memblokir
masuknya ion Na ke dalam sel, merupaka fase awal transmisi.
Agen yang menyebabkan depolarisasi. Sel-sel terpolarisasi sehingga gradient
elektrokimia yang biasanya ada menjadi hilang. Racun-racun tersebut diantaranya :
o Batrakhotoksin dari katak yang meningkatkan permeabilitas terhadap ion Na,
merusak gradient Na yang potensial elektrik.
o DDT yang mendepolariasi ujung saraf presinaptik berulang-ulang dengan
meningkatkab permeabilitas terhadap Na. Setiap impuls yang dating menadi
diperbesar dan impuls awal terjadi berulang-ulang sehingga tampak penderita
kejang-kejang.
o Piretrin yang mempunyai mekanisme yang sama dengan DDT.

Agen yang tergolong stimulant. Stimulant akan meningkatkan eksitabilitas neuron


atau sel saraf. Yaitu :
o Strikne yang meningkatkan eksitabilitas SSP dengan mencegah terjadinya
aktivitas sel-sel inhibitor transmisi (glisin) pada ujung post sinaptik saraf.
o Picrotoksin dari biji Anamariti cocculus, yang memblokir ujung saraf neuron
inhibitor pada bagian presinaptik dan postsinaptik dengan berfungsi sebagai
antagonis terhadap inhibitor transmitor, asam -aminobutirik atau terkenal
sebagai inhibitor transmitter GABA, dan
o Xantine, seperti kafein, teofilin, da teobrumin yang mencegah Camp. Siklik
AMP bertindak sebagi kurir (messenger) dalam sel saraf untuk mengubah
sistem transport aktif yang memelihara differensial Na/K.

Agen yang tergolong depresan (kebalikan dari stimulan)


o Zat organic yang mudah menguap seperti halotan, metil klorida, karbon
tetraklorida, butan, dll. Mekanisme kerjaya belum jelas, mungkin berhubunga
dengan koefisien partisi, lipofilisitas, dan mengurangii infuls dari ion Na, K,
dan Ca.
o Alcohol memblokir konduksi impuls denga mengurangi infulks dari ion Na,
dan K.
o Barbiturat yang mendepresi metabolism, respirasi, dan konsumsi oksigen, dan
mengurangi keluarnya neurotransmitter pada sinap.
Agen yang tergolong antagonis reseptor mengikat reseptor postsinaptik tanpa
menimbulkan aktivitas, sehingga mencegah neurotransmitter untuk mengaktivasi
reseptor dan memulai impuls. Diantaranya adalah :
o Zat antikolinergik seperti atropine skopolamin, dll alkaloid belladonna. Zat ini
secara kompetitif mengikat reseptor saraf kolinergik, yakni saraf yang
mempunyai asetilkolin sebagai neurotransmitter.
o Senyawa antiadrenergik seperti fenoksibenzamin, fentolamin, tolazolin,
propanolol,dll. Zat ini mengikat reseptor saraf adrenergic dan mencegah kerja
neurotransmitter epinefrin/adrenalin, dan norepinefrin.

Agen antikolinestrase. Zat ini secara spesifik bekerja menghambat saraf kolinergik,
sehingga stimulasi terhadap saraf menjadi semakin besar karena enzim
asetilkolinestrase tidak dapat menghentikan asetilkolin dengan menghidrolisanya
menjadi zat yang tidak aktif.

Agen yang memblokir sinaps neuromuskuler dengan kerja secara antagonis, antara
lain:
o Curare yang merupakan antagonis bagi asetilkolin pada membrane post
junctional otot, sehingga asetilkolin tidak dapat berfungsi sebagai transmitter.
o Suksinil kolin menyebabkan depolarisasi yang persisten pada membrane sel
otot.

Neurosisitas merupakan tentang kerusakan saraf akibat zat kimia pada struktur,
biokimiawi, dan integritas fungsi sistem saraf. Seperti jumlah zat kimia yang
pernah disurvei di Amerika serikat (UAEPA) dinyatakan sebagai neurotoksik.

Toksikan lain yang mempengaruhi neurotransmisi antara lain Boron hidrid (mengurangi
norepinefrin dan serotonin), karbon disulfide (menurunkan dan meningkatkan dopamin),
klorodimeform (meningkatkan serotonin dan norepinefrin), DDT (Menurunkan asetilkolin
dan norepinefrin), mangan (menurunkan serotonin,norepinefrin,dan dopamin).

E. Gangguan pada sel glia dan myelin


Neurotoksin jenis ini antara lain adalah timbale yang mempengaruhi sel Schwann
dengan mengganggu transport Ca2+nya.Zat penyebab hipokolesterolemia misalnya
triparanol, yang merusak sarung myelin karena tingginya kandungan lipid pada
myelin.Toksin difteria menyebabkan disemilasi.

F. Gangguan pada sarung myelin


Dimielinasi dapat juga merupakan akibat pengaruh sarung myelin. Jenis efek ini
biasanya melibatkan gangguan pada struktur membrane. Cara kerjanya antara lain ialah
sebagai berikut ;
1. Menghambat karbonik anhidrase atau enzim lain yang terlibatdalam transport ion
dan air
2. Penghambatan enzim yang terlibat dalam fosforilasi oksidatif,
3. Kelasi logam.
Neurotoksikan yang bekerja langsung pada sarung myelin antara lain trietilin,
lisolesitin, isoniazid, sianat, heksaklorofen, dan timbale. Sebagian besar toksikan
mempengaruhi SSP.
Zat-zat perusak lapisan myelin diantaranya adalah sianat, toksin difteri, Pb, Cn
(Kronis), heksaklorofen, isoniazid(obat TBC), lyolecitin, pyntamin, salisilanilinda,
tellurium, tallium, triietitin,dll. Kerusakan myelin diotak menimbulkan neuritis,
kelumpuhan atau kelemahan otot, rambut rontok, da kelainan rasa.

G. Gangguan akibat anoksia sel saraf


Kekurangan oksiken akan mematikan sel saraf dalam bebrapa menit Karena sifat
sel saraf yang meiliki proses metabolism tinggi. Ada tiga tipe kekurangan
oksigen/anoksia yaitu ;
Anoksia akibat asfiksia, disebabkan karena suplai oksigen berkurang atau tidak
ada, sekalipun peredaran berjalan normal. Hal itu terjadi karena kelumpuhan otot
respirasi oleh curare, barbiturate, narkotik, dll. Suplai oksigen juga berkurang
apabila terjadi pencemar udara dengan CO, H2S, atau hemoglobin tidak dapat
mentransfer ksigen akibat adanya CO, nitrit, dan metilenklorida.
Anoksia iskemik akibat kekurangan darah sedangkan konsentrasi oksigen masih
sama. Hal ini terjadi pada keadaan pendarahan, hipotensi, gagl jantung, dan
trombsis.
Anoksia sitotoksik, disebabkan akibat interferensi metabolism seluler, sekalipun
aliran darah suplai oksigen normal, tapi akibat enggunaan oksigenlah yang tidak
normal. Zat itu adalah H2S,azida, dinitrofenol, malonitril, metionin sulfoksm, dan
kelebihan insulin.

H. Agen perusak saraf motorik perifer.


Acrylamida,arsen,azida,bromofenilasetiluria,karbondisulfida,klorodinitrobenzen
e, etilenglikol,heksan ,dan 2,5-hexanedione, iodoform, methanol, metil-merkuri, fosfor,
tetraetil lead (TEL), triortokresilfosfat,vincristin.

I. Neurotoksin penyebab kerusakan otak permanen.


DDT, Hg, Mn, asetilpiridin, dengan memberikan gejala menyerupai penyakit Parkinson.

II.3. UJI TOKSISITAS SUBKRONIK DAN KRONIK


A. Profil Fosfatase Di Manihot Escculenta Diinduksi Neurotoksisitas; Peran
Dalam Degenerasi Neuron Di Otak Tikus Wistar Dewasa
ABSTRAK
Sebagai kecenderungan umum, perubahan aktivitas sel dan morfologi biasanya
digambarkan sebagai diferensiasi biokimia terjadi diferensiasi struktural, migrasi sel
dan bahkan kematian sel. Dalam singkong diinduksi neurotoksisitas, beberapa
substansi telah diidentifikasi menjadi alami di singkong dan cyanogenic glikosida atau
fitotoksin lainnya yang telah ditemukan memiliki efek neurotoksik; Skopoletin,
afflatoxin dan CYANIDE seperti yang dijelaskan oleh Osuntokun (1981) dan Ernesto
et al. (2002). Zat-zat ini menimbulkan toksisitas oleh akumulasi selama periode waktu,
atau paparan konsentrasi tinggi dari kontaminasi lingkungan air, zat makanan dan
paparan kadang-kadang pekerjaan.
Singkong telah ditemukan untuk menjadi neurotoksik sebagai komponen
sianida adalah mampu merangsang stres oksidatif dengan menghalangi sitokrom c
oksidase (CcOX) dan penghambatan metalloenzymes lainnya. Dalam penelitian ini
kami menyelidiki profil fosfat asam (ACP) dan alkali fosfatase (ALP) dalam jaringan
otak tikus wistar dewasa diobati dengan berbagai dosis diet singkong untuk jangka
waktu 60 hari. ACP berfungsi sebagai penanda biokimia untuk kegiatan lisosom
sementara ALP menunjukkan transport membran dan integritas dalam arsitektur saraf.
Jaringan otak yang dipotong dan homogen dalam 0,25 M sukrosa (Sigma: -
DFructofuranosyl - D-Glycopyranoside) dan disentrifugasi di Multifuge 3SR + oleh
ThermoScientific. Supernatan yang diperoleh dan diuji untuk ACP dan ALP
perubahan densitas optik per menit.

PENGANTAR
Singkong (Manihot escculenta) merupakan tanaman pangan utama di daerah
tropis dan sub-tropis karena berfungsi sebagai sumber murah kalori makanan
(Osuntokun, 1981; Oke, 1979;. De la cruz et al, 2009;. Ernesto et al, 2002). Dalam
singkong daerah endemik Uganda, Tanzania dan Niger, berbagai gangguan saraf telah
dilaporkan untuk menyertakan Tropical Ataxic Neuropati (TAN), spastic paraparesis
endemik (Konzo), hilangnya bertahap visi dan gejala-gejala lainnya yang menyerupai
yang diamati dalam parkinsonisme (Osuntokun, 1981;. El-Ghawabi et al, 2005; Soler-
Martin et al, 2010).. Singkong namun berisi beberapa glikosida sianogen (Mathangi et
al, 2000;. Lee et al, 2009.); Dalam sistem hewan, pertahanan utama tubuh terhadap
sianida adalah enzim rodanese (Tor-Agbidye et al., 1999) yang mampu mengkonversi
sianida (CN-) ke tiosianat (SCN), bentuk utama di mana sianida adalah yang
dikeluarkan. Reaksi ini akan terjadi di hadapan hadir S-kelompok dalam tiosulfat dan
S-mengandung asam amino (SAA) seperti sistein dan tirosin, sistein telah ditemukan
untuk bereaksi dengan sianida bebas untuk menghasilkan asam 2Iminothiazoldine-4-
karboksilat yang dapat ditemukan di air liur hewan mabuk sianida (Mathangi dan
Namasivayam, 2000).
Dengan demikian, hewan yang diberi diet protein rendah akan menimbulkan
efek yang lebih toksik dibandingkan dengan mereka yang diberi diet protein terutama
yang mengandung SAA (Mathangi et al., 2000). Sianida dalam singkong dilepaskan
baik sebagai sianida bebas atau HCN, bentuk yang paling reaktif dari sianida adalah
CN tapi tergantung pada pH, salinitas dan suhu. Pada pH 7,0, 99% dari sianida akan
ada sebagai HCN, pada pH 11 sekitar 99% dari sianida akan ada sebagai CN
sementara kesetimbangan telah diamati untuk kisaran pH 9,0-9,3 (Li et al, 2000.).
Efek neurotoksik singkong tidak dapat dikaitkan dengan zat tunggal karena
mengandung beberapa zat yang mampu menghasilkan neurotoksisitas (Ernesto et al,
2002;. Denison et al, 2009;. Dorea, 2003). Sianida dirilis untuk singkong
menghasilkan stres oksidatif dengan menghambat sitokrom c oksidase (CcOX) enzim
terminal dalam rantai transpor elektron, Sianida juga menghambat produksi energi
dengan mengikat tiga negara bagian binuklir pusat heme a3-CUB dibentuk oleh
kombinasi CcOX untuk molekul oksigen dirilis bentuk air, ini sehingga akan
mencegah produksi ATP di IV kompleks (Bonfoco et al, 1995;. Bathachanya dan
Tulsawani, 2008). Mekanisme seluler inhibisi ini dikaitkan dengan generasi panas,
kebocoran proton ke dalam kemudian (spesies oksigen reaktif) mitokondria matriks
dan konversi 20% dari molekul oksigen ke ROS ini termasuk ion superoksida dan
diukur dalam sebagai sitoplasma superoksida dismutase ( SOD) (Bove et al, 2005;.
Nelson, 2006). ROS bereaksi dengan akumulasi NO di kompleks I dan III untuk
menghasilkan RNS, NO secara alami modulator endogen aktivitas selular tetapi jika
hadir dalam kadar tinggi bisa memicu jalur beracun atau kematian sel, modus
kematian sel diamati dalam neuron untuk percobaan toksikologi yang berbeda telah
telah ditemukan sesuai dengan tingkat akumulasi NO dan ROS (Gruetter et al, 2001;..
Lee et al, 2009).
Beberapa model telah digunakan untuk menggambarkan modus kematian sel
dalam neuron, Isom dan Way (1984) melaporkan bahwa peningkatan kadar kalsium
cerebral memulai sistem caspase kematian sel sementara tubuh autophagic sekunder
dari lisosom telah ditemukan dalam penelitian lain oleh Osuntokun ( 1981), Li et al.
(2000) dan Dorea et al. (2003). Meskipun mereka mengukur aktivitas lisosom
menggunakan -glucoronidase sebagai indikator, hasil ini telah ditemukan tidak
menjadi berat (Gunasekar et al., 1996) tergantung dan juga variasi telah ditemukan di
daerah otak yang berbeda ini namun menjelaskan model yang melibatkan wilayah
tertentu jalur sitotoksik di otak Isom et al., 1999; Bathachanya dan Tulsawani, 2008).
Studi ini menjelaskan peran asam dan alkali fosfatase dalam berbagai perubahan
seluler yang diamati dalam sel untuk berbagai dosis pengobatan dan modus

METODE
ALP assay kit (Sigma, Jerman) dan ACP Assay kit (Sigma, Jerman), Sukrosa
(sigma Aldrich, Jerman).

PERSIAPAN JARINGAN
Daerah oksipital, colliculus superior dan tubuh geniculate lateral tikus Wistar
dewasa diberi makan dengan 2,5, 10, 20 dan 30 g singkong per hewan / hari secara
oral selama 60 hari bersama kelompok kontrol diobati dengan0,25 M sukrosa.
Jaringan dihomogenasi dalam 0,25 M sukrosa pada 4 C dan kemudian
disentrifugasi pada 10.000 rpm selama 20 menit menggunakan multifuge 3SR +;
supernatan dikumpulkan dan diuji menggunakan teknik substrat menggunakan
spektrofotometer (Jenway, 5550) (Enulat et al., 2010). Data dianalisis di SPSS 15.0
perangkat lunak untuk menentukan analisis varians

Alkali Fosfatase.
Reagen bekerja terdiri dari magnesium klorida 0,625 mMol / L, alkali fosfat 2 ml,
p-nitrofenil fosfat 50 mMol / L pH7.8. reagen itu linier hingga 700 ml. Sebuah reagen
kerja kosong digunakan dalam couvette dan dibuang sejak absorbansi telah melampaui
405 nm. 1000 ml larutan bekerja dicampur dengan 20 ml sampel, larutan diinkubasi
pada 37 C selama 30 menit dan absorbansi diukur pada 60, 120 dan 180 s masing-
masing, setelah masing-masing 60 s solusi dicampur untuk memeriksa untuk
perubahan densitas optik (OD / min) menggunakan faktor pengenceran 1:50, aktivitas
ALP kemudian dinyatakan sebagai OD / MinX2750 (Fishman dan Baker, 1998;
Wintola et al, 2010.).

Asam Fosfatase
Kegiatan ACP ditentukan dengan menggunakan metode substrat dijelaskan untuk
ALP, pewarna tambahan. Reagen bekerja baru siap dan yang terdiri dari Asam
phosphate10 mMol / L, cepat merah 6 mMol / L, reagen itu linier hingga 150 ml. satu
tablet asam fosfat dilarutkan dalam serves sitrat penyangga pH 5,2, reagen ini
ditemukan stabil selama 2 hari pada 2 - 8 C; 100 ml larutan kerja ditambahkan ke
10l dari solusi titrasi (merah cepat) (Nachilas et al., 1989) kemudian 100 ml sampel
ditambahkan, campuran itu kemudian vortex dan diinkubasi pada 37 C selama 6
menit. Perubahan OD diukur pada interval 60 s untuk 180 s. Kegiatan diukur sebagai
faktor OD / MinX750 (Baker, 1998;. Enulat et al, 2010;. Volbracht et al, 2009).

PARAMETER HEMATOLOGI
Sampel darah diambil dengan teknik tusuk jantung di bawah natrium pentobarbital
anestesi (40 mg kg-1) dengan anti-koagulan EDTA untuk analisis hematologi, termasuk
sel darah merah (RBC) jumlah, hemoglobin, hematokrit, berarti hemoglobin corpuscular
(MCH), berarti corpuscular volume (MCV), berarti konsentrasi corpuscular hemoglobin
(MCHC) dan sel darah putih (WBC) menggunakan hematologi analyzer.

HASIL
Di Grup 1 yang merupakan kelompok perlakuan dosis tinggi, aktivitas ALP
mengikuti pola sinusoidal dengan kegiatan di 60 s menjadi 0,862, meningkatkan pada
120 s 0,891 dan kemudian jatuh pada 180 s, Grup 4 menunjukkan kenaikan ALP pada
60 s penurunan dari nilai awal ini diamati pada 120 dan 180 s ALP aktivitas
meningkat tetapi tidak mendapatkan nilai yang diamati pada 60 s
Kelompok 2 menunjukkan penurunan ALP (0,636, 0,576, 0,519). Kelompok 3
menunjukkan aktivitas ALP di bawah tingkat yang diamati dalam kontrol (60 s.
Kelompok 3 (0,016) dan kelompok 5 / kontrol (0,238). Kelompok perlakuan dosis
tinggi (kelompok 1, 2 dan 3) menunjukkan pola yang tidak teratur dalam kegiatan
ALP . Membandingkan faktor untuk masing-masing kelompok, hanya grup 3 yang
menerima dosis moderat menunjukkan aktivitas ALP di bawah kontrol, juga aktivitas
yang diamati di grup 4, kelompok dosis rendah lebih tinggi dari faktor di grup 2, yang
menunjukkan bahwa aktivitas ALP dalam sistem model dosis tergantung sedemikian
rupa bahwa dosis yang ekstrim memicu peningkatan aktivitas membran dan sintesis
daripada moderat tidak yang menghasilkan efek yang sama tetapi di bawah yang
ditimbulkan oleh dosis yang ekstrim (Tabel 1: Kelompok 1 dan 5).

Kegiatan ACP di Grup 1 mirip dengan aktivitas ALP ditandai dengan kenaikan
kemudian jatuh di 180 s, Grup 2 dan 3 (Tabel 2) menunjukkan penurunan 60-180 s
sementara Grup 4 memiliki pola yang sama dengan Grup 1 lagi re lanjut ini -affirms
hipotesis bahwa aktivitas fosfatase yang ditimbulkan oleh ekstrem dosis daripada
dosis moderat seperti yang dijelaskan dalam penelitian ini untuk ALP. Semua
kelompok memberi faktor di bawah nilai kontrol (368,25) dan tingkat aktivitas di
Grup 1 dan 4 hampir sama (272,75 dan 272,15), masing-masing. Kami bisa,
bagaimanapun, menyimpulkan dari hasil ini bahwa; 1. paparan ekstrim untuk
singkong menyebabkan neurotoksisitas dengan mengubah aktivitas menemukan dan
sintesis membran (kenaikan ALP) dan menekan aktivitas lisosomal seperti yang
terlihat dalam penurunan faktor ACP; 2. paparan Moderat memulai degenerasi dengan
meningkatkan tingkat ALP ke titik 25% kurang bahwa pengobatan dosis ekstrim dan
memiliki efek kurang penekan pada aktivitas ACP dibandingkan dengan kelompok
dosis ekstrim yang ditemukan memiliki aktivitas yang lebih besar ACP menekan,
dengan demikian, ditandai dengan kontinum apoptosisnecrosis.
Kenaikan ALP menunjukkan adanya aktivitas nekrotik sementara penekanan
parsial aktivitas lisosomal; peningkatan aktivitas dibandingkan dengan kelompok
dosis yang ekstrim (302,25) menunjukkan kecenderungan kematian sel fisiologis
daripada kematian sel terprogram. dua model ini menunjukkan bahwa dosis yang
ekstrim (tinggi atau rendah) memiliki kecenderungan yang lebih besar dari
menginduksi kematian sel oleh nekrosis sementara dosis sedang menginduksi
kematian sel oleh apoptosis parsial dan Necrosis (Angka 1 - 3).

DISKUSI
Peran fosfatase benar-benar berlawanan dengan yang kinase dan fosforilasa, yang
menambah gugus fosfat pada protein dengan bantuan molekul-penyediaan energi ATP
(adenosin trifosfat) (Baker, 1998). Penambahan gugus fosfat dapat memicu interaksi
protein-protein. Ini juga dapat mengaktifkan atau menonaktifkan fungsi enzim. Fosfatase
merupakan konstituen penting dari banyak proses biologi yang melibatkan transduksi
genetik karena dapat mengatur protein yang mereka melekat (Fishman dan Baker, 1998;
Bathacharya dan Tulsawani, 2008; Wintola et al, 2010.). Alkalin fosfatase ditentukan oleh
setidaknya tiga lokus gen, yang dapat menjadi salah satu tajam dibedakan dari yang lain
dengan sensitivitas mereka untuk penghambatan dengan berbagai asam amino dan peptida
dan oleh thermostability (Becker et al., 2000). Alkali fosfatase hadir dalam otak kelinci
percobaan, tikus, tikus, hamster, tupai, kelinci, kucing, domba, sapi, tamarin, babon, dan
manusia.
Gen lokus coding untuk alkaline phosphatase dalam semua otak ini adalah lokus hati
/ tulang / ginjal, seperti yang ditunjukkan oleh studi thermostability dan oleh studi inhibisi
dengan Lphenylalanine, L-homoarginine, dan L-phenylalanylglycylglycine. Aktivitas
Phosphatase basa otak rata-rata sekitar 35% dari rata-rata untuk hati dan hanya 7,2 dan
4,4% dari ginjal dan plasenta kegiatan rata-rata, masing-masing (Ven-Watson dan
Ridgway, 2007). Selama pertumbuhan dan perkembangan, otak aktivitas Phosphatase
alkali menurun dalam mamalia yang dipelajari. Jumlah perubahan adalah tissue- dan
spesies-dependent. Fosfatase adalah enzim-enzim yang bertindak sebagai katalis dalam
hidrolisis asam fosfat organik. Beberapa kelas enzim fosfatase ditemukan untuk terlibat
dengan banyak gangguan fisiologis umum (Van-Watson dan Ridgway, 2007; Soler-
Martin et al, 2009;. El-Ghawabi dan De Filipo, 2005).

Fakta ini menunjukkan bahwa fosfatase mengendalikan banyak proses fundamental


dalam fisiologi selular. Fosfatase juga dapat mencegah perubahan genetik. Mereka
merosot dalam menanggapi kerusakan DNA, sehingga mencegah kelainan kromosom.
Fosfatase juga meningkatkan perkembangan siklus sel, di otak, Phosphatase ditemukan di
beberapa kompartemen neuralgia dan neuronal dan memainkan peran penting dalam
berbagai fungsi saraf (yaitu, pra-dan-posting sinapsis dan ekspresi gen). Fungsi-fungsi ini
juga penting untuk menjaga aksi terkoordinasi sinyal kaskade (Beckner et al., 2000).
Sebagai peningkatan pengamatan umum di ukuran ruang vacuolar dalam jaringan sesuai
dengan peningkatan aktivitas dari ACP (Gambar 3) sehingga berbagai wilayah otak
bereaksi berbeda pada dosis perlakuan yang sama (Gambar 3), di 3A (korteks primer )
menunjukkan adanya ruang di sekitar sel sementara lapisan fibrosa telah menjadi dominan
di 3B (badan lateral geniculate), sementara di 3C, kehadiran berkurang metachromasia
dalam sel digabungkan dengan diameter sel meningkat. Setelah pewarnaan dengan cresyl
.Ini cepat violet Namun, menjelaskan variasi dalam jalur sitotoksik diadopsi oleh daerah
otak yang berbeda. Ini juga mirip dengan temuan Solomonson et al. (1981) meskipun
mereka pergi lebih lanjut untuk memeriksa parameter ini pada dosis yang lebih tinggi dari
diet singkong selama 6 bulan tetapi menemukan bahwa efek terlalu merusak dan
ireversibel secara jangka panjang.
Namun, Osuntokun (1981) melaporkan kenaikan tingkat -Glucoronidase pada
perlakuan dosis rendah sebagai indikator aktivitas lisosomal yang juga ditemukan
sebanding dengan ekskresi sulfur. Pola perubahan dalam aktivitas enzim fosfatase adalah
dengan cara zigzag (Gambar 1: ALP) dan (Gambar 2: ACP) (. Isom et al, 1999) karena
menjelaskan mekanisme umpan balik yang terlibat dalam jalur sitotoksik, lebih tinggi
dosis menyebabkan kematian sel dan penurunan aktivitas enzim sedangkan dosis yang
lebih rendah akan menghambat ALP yang menyebabkan kerusakan membran dan
masuknya ion kalsium (di Filipo et al., 2008), internal yang membangun dari ROS dan
NO akan mengaktifkan kaskade caspase yang mempengaruhi jalur apoptosis pada dosis
sedang atau merangsang nekrosis pada dosis yang lebih tinggi (Phrabakharan et al., 2007).
laporan yang tersedia dari studi toksikologi kekurangan informasi pada tingkat asupan
glikosida sianogen atau pada jumlah hidrogen sianida berpotensi dirilis. Tidak ada
toksisitas atau karsinogenisitas studi jangka panjang yang tersedia. Namun, in vitro dan in
vivo genotoxicity negatif. efek reproduksi teratogenik dan merugikan disebabkan
linamarin (singkong) dan hidrogen sianida terlihat hanya pada dosis yang juga
menyebabkan toksisitas (Ernesto et al., 2002).
Efek racun sianida pada tiroid (melalui tiosianat metabolitnya) tergantung pada status
yodium dari hewan uji, seperti yang ditunjukkan sebelumnya. Atas dasar pengamatan
epidemiologi, asosiasi telah dilakukan antara paparan kronis glikosida sianogen dan
penyakit seperti paraparesis spastik, neuropati ataxic tropis, dan gondok. Namun,
pengamatan tersebut dikacaukan oleh kekurangan gizi, dan hubungan kausal belum pasti
didirikan (Osuntokun, 1981; Oke, 1979; Mathangi dan Namasivayam, 2000). pengguna
tradisional makanan yang mengandung glikosida sianogen biasanya memiliki pemahaman
dasar tentang pengobatan yang diperlukan untuk membuat mereka aman untuk
dikonsumsi. Namun, beberapa produk yang dijual secara komersial dan dikonsumsi oleh
orang-orang yang mungkin tidak akrab dengan prosedur tersebut. EPA (Badan
Perlindungan Lingkungan, USA) merekomendasikan bahwa pedoman dikembangkan
untuk menyediakan metode yang handal dan sensitif untuk analisis bahan makanan ini
untuk hidrogen sianida releasable dari glikosida cyanogenic, untuk memastikan bahwa
jumlah dalam makanan seperti yang dikonsumsi tidak menimbulkan bahaya. Karena
kurangnya toksikologi kuantitatif dan informasi epidemiologi, level yang aman dari
asupan glikosida sianogen tidak dapat diperkirakan. Namun, disimpulkan bahwa tingkat
hingga 10 mg / kg hidrogen sianida dalam Standar Codex untuk Cassava Flour (Varone et
al., 2008) tidak terkait dengan toksisitas akut (Tabel 3).

KESIMPULAN
Toksisitas singkong telah ditemukan untuk diinisiasi sebagai fungsi kerusakan
membran dan aktivitas lisosom sehingga menyebabkan degenerasi neuron otak, meskipun
efeknya dosis tergantung sebagai soal efek umum seperti bahwa dosis yang ekstrim
menyebabkan kematian sel oleh nekrosis dan moderat dosis menyebabkan kematian sel
oleh apoptosis-nekrosis kontinum bukan semata-mata apoptosis atau nekrosis, efeknya
adalah bagaimana pernah non-spesifik dan pola yang tidak teratur. Pola yang diterapkan di
masing-masing jalur sitotoksik akan menentukan modus dari kematian sel diadopsi oleh
neuron.

B. Potensi Beracun Sodium Sianida Pada Tikus Setelah Terpapar Subchronic


ABSTRAK
Studi ini dilakukan untuk menilai efek buruk dari sodium sianida (NaCN) pada
hematologi, biokimia serum dan histologi hati dan ginjal pada tikus Wistar jantan. Dua
puluh delapan tikus dibagi menjadi empat kelompok (n = 7) dan diperlakukan dengan 0,
0,64, 1,2 dan 3,2 mg kg-1 berat badan (BB) dari NaCN selama 90 hari. perbedaan non
signifikan di semua parameter diselidiki yang diamati antara kontrol dan 0,64 mg kg-1
BW memperlakukan kelompok. Kelompok ini diperlakukan 1,2 mg kg-1 BW perubahan
signifikan dalam beberapa parameter hematologis, tes fungsi hati dan kreatinin tetapi
menyebabkan perubahan non signifikan dalam urea, asam urat dan kadar protein total
serum dibandingkan dengan kontrol. Pemeriksaan mikroskopis cahaya kelompok yang
sama menunjukkan perubahan histologis dalam hati tetapi lebih atau kurang normal pada
histoarchitecture ginjal kecuali tubular pelebaran. Tikus-tikus diobati dengan 3,2 mg kg-1
BW menunjukkan perubahan signifikan di semua parameter diselidiki dibandingkan
dengan kontrol dan yang dibuktikan dengan perubahan histopatologi pada hati dan ginjal.
Dengan penelitian ini kami menyimpulkan, dosis yang lebih tinggi dari NaCN penyebab
heamato, hepato dan toksisitas ginjal. Oleh karena itu efek toksik mereka harus diingat
selama penggunaan kronis.

METODE YANG DIGUNAKAN


Bahan-bahan dan metode-metode
1. Bahan kimia
Sodium sianida kemurnian 95% itu diperoleh dari Loba Chemie Pvt. Ltd, Mumbai,
India. Dosis yang disiapkan baru dengan melarutkan NaCN dalam air suling ganda.

2. Hewan
Penelitian ini dilakukan pada 28 tikus putih jantan (berusia 90 hari) dari berat badan
sekitar 170-180 g. Semua hewan-hewan itu ditempatkan di kandang plastik, di fasilitas
perawatan hewan di Departemen Zoologi, Karnatak University, Dharwad. Semua tikus diberi
makan ransum standar laboratorium dan ad libitum disiram. Hewan-hewan itu dipelihara
dalam kondisi terkontrol dari 12 jam cahaya / siklus gelap, dan suhu 23 2 C. Semua tikus
ditangani sesuai dengan pedoman CPCSEA untuk perawatan dan penggunaan hewan
laboratorium.

3. Berkenan Eksperimental
Setelah satu minggu aklimatisasi, 28 tikus dibagi menjadi empat kelompok (n = 7).
Kelompok I: hewan kontrol, menerima air suling Kelompok II: diobati dengan 1/10 dari
LD50 (0,64 mg kg-1 BW), kelompok III: diobati dengan 1/5 dari LD50 (1,2 mg kg-1 BW),
kelompok IV: diperlakukan dengan 1 / 2th dari LD50 (3,2 mg kg-1 BW) LD50 yang dipilih
(6.44 mg kg-1 BW) dari NaCN berdasarkan literatur yang tersedia [25]. The NaCN diberikan
di pagi hari (9:00-10:00 h) untuk tikus non-berpuasa dengan volume yang dosis 1 mL / 100
gm BW selama 90 hari. oral NaCN terpilih karena ini adalah rute utama paparan sianida bagi
manusia dan hewan.

4. Tubuh dan organ berat badan


Pada akhir percobaan, semua hewan yang dikorbankan di bawah anestesi ether ringan
dan berat badan akhir diukur pada keseimbangan listrik. Berat hati dan ginjal dari kelompok
masing tercatat setelah mengorbankan binatang.

PARAMETER HEMATOLOGI
Sampel darah diambil dengan teknik tusuk jantung di bawah natrium pentobarbital
anestesi (40 mg kg-1) dengan anti-koagulan EDTA untuk analisis hematologi, termasuk sel
darah merah (RBC) jumlah, hemoglobin, hematokrit, berarti hemoglobin corpuscular (MCH),
berarti corpuscular volume (MCV), berarti konsentrasi corpuscular hemoglobin (MCHC) dan
sel darah putih (WBC) menggunakan hematologi analyzer.

Serum Biokimia
Untuk biokimia serum, darah dikumpulkan dalam sebuah tabung centrifuge bersih
tanpa antikoagulan dan kemudian itu didiamkan selama beberapa menit pada suhu kamar
untuk membeku dan disentrifugasi pada 1500 g selama 5 menit pada 4 C. serum itu
kemudian dikumpulkan ke dalam botol terpisah dan kemudian mengalami untuk penilaian
urea, asam urat, kreatinin dan protein total menggunakan kit Erba khusus dengan analyzer
otomatis (Erba Chem-5, V2). Enzim fungsi hati termasuk aspartat aminotransferase, AST
(EC 2.6.1.1), alanine aminotransferase, ALT (EC 2.6.1.2), alkaline phosphatase, ALP (EC
3.1.3.1) dinilai dalam serum menggunakan kit spektrofotometer-enzimatik komersial. 2.7.
Histopatologi Untuk pemeriksaan histopatologi, hati dan ginjal yang dibedah dan sampel
jaringan yang tetap dalam cairan Bouin selama 24 jam, diproses dengan menggunakan
serangkaian alkohol dinilai, dan tertanam dalam parafin. Bagian parafin dipotong menjadi 5
pM tebal dengan menggunakan mikrotom semi-otomatis (LeicaRM 2255) dan bagian yang
bernoda dengan hematoxylin dan eosin (H & E) untuk pemeriksaan mikroskopis cahaya.
Bagian yang dilihat dan difoto dengan menggunakan Olympus fase kontras mikroskop
(Olympus BX51, Tokyo, Jepang) dengan kamera terpasang (ProgResC3, Jenoptic-Jerman).
Untuk mengevaluasi tingkat hati dan cedera ginjal, enam slide disiapkan dari setiap
hati tikus dan ginjal. Dari masing-masing slide diperiksa dan ditugaskan untuk tingkat
keparahan perubahan menggunakan skor pada skala none (-), ringan (+), sedang (++) dan
berat (+++) kerusakan (Tabel 4). 2.8. Statistik Data dianalisis dengan menggunakan SPSS
16.0 for Windows. Signifikansi perbedaan dihitung menggunakan ANOVA satu arah diikuti
dengan t-test Tukey atau Mahasiswa untuk beberapa perbandingan. P <0,05 dianggap
signifikan secara statistik dan nilai-nilai dinyatakan sebagai mean SE. 3.

HASIL
31. Efek dari NaCN pada tubuh dan organ bobot
Tidak ada kematian yang terjadi selama periode percobaan. pertambahan bobot badan dan
berat hati dan ginjal dari 0,64 mg kg-1 BW kelompok perlakuan tidak alter statistik
dibandingkan dengan kontrol. Kelompok ini diobati dengan 1,2 mg kg-1 BW menunjukkan
non signifikan (P> 0,05) perubahan dalam bobot badan dan ginjal berat badan, tetapi
menunjukkan signifikan penurunan (P <0,05) oleh 11,01% berat hati dibandingkan dengan
kontrol. Sedangkan pada kelompok yang diobati dengan 3,2 mg kg-1 BW menunjukkan
signifikan (P <0,05) penurunan pertambahan berat badan dan hati dengan 14,05% dan ginjal
dengan 20,90% berat dibandingkan dengan kontrol (Tabel 1). 3.2.
Hematologi Hasil parameter hematologis disajikan pada Tabel 2. Kelompok diobati dengan
0,64 mg kg-1 BW tidak menunjukkan signifikan (P> 0,05) perbedaan dalam semua parameter
hematologi dibandingkan dengan kontrol. Sementara kelompok yang diobati dengan 1,2 mg
kg-1 BW menunjukkan non signifikan (P> 0,05) perubahan jumlah RBC (menurun 6,77%),
KIA dan jumlah WBC, namun signifikan (P <0,05) perubahan hemoglobin (menurun 6,25%),
hematokrit, MCV dan MCHC dibandingkan dengan kontrol. Kelompok ini diobati dengan 3,2
mg kg-1 BW menunjukkan perubahan signifikan dalam semua parameter hematologis kecuali
KIA dibandingkan dengan kontrol. 3.3. Serum Biokimia Tabel 3 menunjukkan beberapa
variabel yang mengindikasikan kerusakan hati dan ginjal pada tikus. Tikus diobati dengan
0,64 mg kg-1 BW tidak menunjukkan signifikan (P> 0,05) perubahan semua parameter
biokimia serum. Sedangkan, kelompok yang diobati dengan 1,2 mg kg-1 BW tidak
menunjukkan signifikan (P> 0,05) perubahan dalam urea, asam urat dan protein, namun
menurutnya signifikan peningkatan (P <0,05) di AST ALT, ALP dan kreatinin meningkat
5,41% , 15,43%, 9,88% dan 20,96% masing-masing dibandingkan dengan kontrol. Kelompok
ini diobati dengan 3,2 mg kg-1 BW itu menunjukkan perubahan signifikan semua parameter
serum biokimia dibandingkan dengan kontrol.
Tabel 4 rekap hasil yang diberikan dalam Tabel 1-3 dalam hal perubahan persen lebih kontrol
dalam parameter yang berbeda dari hewan diperlakukan. Data mengungkapkan bahwa
perubahan yang disebabkan oleh NaCN adalah tampaknya menjadi dosis tergantung
perubahan. Tapi perubahan persen dalam dosis tinggi lebih menonjol dibandingkan dengan
kelompok yang diobati dengan 0,64 mg kg-1 BW NaCN. 3.4. Histopatologi Gambar. 1
menunjukkan hati dan ginjal histologi kontrol dan NaCN diperlakukan kelompok. Pengaturan
yang normal hepatosit dengan ruang sinusoidal terlihat dan vena central diamati pada
kelompok kontrol (Gambar. 1A). Kelompok ini diobati dengan 0,64 mg kg-1 BW
menunjukkan histoarchitecture normal dalam hati seperti yang terlihat dalam kontrol (Gambar
1B). Kelompok ini diobati dengan 1,2 mg kg-1 BW menunjukkan dilatasi sinusoid, infiltrasi
sel mononuklear dan hepatosit binucleated diamati dalam jaringan hati (Gambar. 1C),
sementara, dalam kelompok dipamerkan degenerasi dan nekrosis (Gbr. 1D). Di ginjal
histoarchitecture ginjal normal yang diamati pada kelompok kontrol (Fig.1E).
Kelompok perlakuan dengan 0,64 dan 1,2 mg kg-1 BW menunjukkan histoarchitecture
normal seperti di kontrol kecuali beberapa dilations marjinal dalam tubulus 1,2 mg kg-1 BW
diperlakukan tikus (1F Gambar., G). Sementara kelompok yang diobati dengan 3,2 mg kg-1
BW menunjukkan degenerasi, vakuolisasi sitoplasma dan nekrosis dalam tubulus ginjal
(Fig.1H). Analisis setengah kuantitatif bersukaria; histoarchitecture normal dalam kontrol dan
0,64 mg kg-1 BW diperlakukan kelompok. Kelompok ini diobati dengan 1,2 mg kg-1 BW
menunjukkan cedera ringan di hati dan lebih atau kurang normal pada ginjal. Sementara
kelompok yang diobati dengan 3,2 mg kg-1 BW menunjukkan cedera moderat dalam hati dan
ringan pada ginjal (Tabel 5). 4. Diskusi Penelitian ini dilakukan untuk menyelidiki heamato,
hepato dan toksisitas ginjal pada tikus yang biasa digunakan NaCN oleh elektro plating dan
masyarakat tambang, berikut subchronic (90 hari) eksposur. heamatotoxicity yang dievaluasi
dengan parameter darah, hepato-toksisitas dan toksisitas ginjal dievaluasi dengan biokimia
(ALT, ALP, AST, urea, asam urat, kreatinin dan protein) dalam serum dan dibuktikan dengan
pengamatan histopatologi.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan signifikan pengurangan (P <0,01) dalam
bobot badan dan berat mutlak hati dan ginjal pada dosis tertinggi (3,2 mg kg-1 BW)
kelompok perlakuan (Tabel 1). Namun, selama periode eksperimental, kita amati non
signifikan (P> 0,05) perubahan dalam konsumsi diet (data tidak ditampilkan) dari kelompok
perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol berikut sianida keracunan. Studi telah
menunjukkan sianida dimetabolisme untuk tiosianat dengan menggunakan sulphurcontaining
asam amino, yang menyebabkan penipisan ketersediaan sulfur. SCN- yang dihasilkan
menghambat penyerapan intra-thyroidal yodium, dan menyebabkan penurunan tingkat
tiroksin, yang diperlukan untuk pertumbuhan. Beberapa penelitian lain telah menunjukkan
bahwa, sianida penyebab gangguan fungsi tiroid.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini, penurunan pertambahan berat badan mungkin hasil dari
fungsi tiroid gangguan yang merupakan akhirnya menyebabkan untuk berat organ berkurang.
Vargas et al., menunjukkan penurunan berat badan ginjal terkait erat dengan hipotiroidisme.
Selain itu, perubahan histopatologi pada hati dan ginjal juga dapat atribut dengan berat
berkurang. Sebaliknya penelitian ini menunjukkan perubahan (> 0,05 P) non signifikan dalam
tubuh berat badan dan berat organ dalam dosis yang lebih rendah (0,64 dan 1,2 mg kg-1 BW)
kelompok perlakuan. Hal ini mungkin disebabkan karena aksi katalitik enzim sianida
detoksifikasi, yang mengubah sianida untuk tiosianat dan setelah menyelesaikan
menghilangkan tiosianat melalui ekskresi ginjal. Bahkan tubuh mengalami mekanisme
detoksifikasi untuk detoksifikasi xenobiotik diserap.
Setelah penyerapan sianida dalam tubuh, dapat dihilangkan dengan enzimatik dan reaksi non-
enzimatik. Reaksi enzimatik melibatkan rodanese enzim, sulfurtransferase, sulfurtransferase
mercaptopyruvate dan reduktase tiosulfat dalam mitokondria, cystathionine lyase gamma
dalam sitoplasma. Namun, methemoglobin dalam darah melibatkan penghapusan non-
enzimatik sianida. Sianida awalnya terjebak dalam eritrosit darah, karena afinitas yang tinggi
terhadap methemoglobin yang memiliki atom besi di negara besi (F3 +), mengarah pada
pembentukan cyanmethaemoglobin. Sehingga, methemoglobin mampu menjaga sianida jauh
dari sitokrom c oksidase (EC 1.9.1.3), yang tidak akan menjadi diblokir. Karena ini, sebagian
besar sianida ditemukan dalam sel-sel darah merah dan telah diperkirakan menjadi 98,4% .
Tapi, sianida kombinasi dengan methemoglobin reversibel. Hal ini pada gilirannya, sianida
mendapat perlahan melepaskan, dan kemudian berdifusi keluar dari sel darah merah secara
bertahap, dan akhirnya mungkin akan detoksifikasi oleh rodanese hati dan sistem enzim
belerang detoksifikasi lainnya. Mekanisme enzim detoksifikasi rodanese bisa efisien untuk
mengkonversi sianida untuk tiosianat oleh catalysing reaksi antara sulfur dan sianida. Ansell
dan Lewis, telah diperkirakan bahwa sekitar 80% dari sianida diserap ditransformasikan ke
tiosianat, yang hampir sepenuhnya dihilangkan melalui ginjal. Akibatnya, mekanisme
detoksifikasi menyebabkan non signifikan (P> 0,05) perubahan biokimia serum, parameter
hematologi dan histologi hati dan ginjal setelah 0,64 mg kg-1 pengobatan BW. Dalam dosis
kontras yang lebih tinggi (1,2 dan 3,2 mg kg-1 BW) menginduksi signifikan perubahan (P
<0,05) di hematologis dan parameter biokimia (Tabel 2,3,4). Hal ini mungkin karena melebihi
sianida keracunan mengarah untuk meningkatkan persentase Cyanmethemoglobin dalam sel
darah merah dan sebagian besar hemoglobin dalam sel darah merah yang digunakan untuk
pembentukan Cyanmethemoglobin dan kapasitas oksigen peduli berkurang.
Sianida keracunan juga dapat menyebabkan penghambatan sitokrom c oksidase yang akhirnya
menghasilkan akumulasi oksihemoglobin dalam darah sebagai akibat dari penyumbatan
pemanfaatan oksigen dalam jaringan. The signifikan (P <0,05) penurunan sel darah merah
dalam dosis tertinggi (3,2 mg kg-1 BW) memperlakukan kelompok mungkin karena
kerusakan oksidatif pada jaringan erythropoietic juga. Selain itu, dosis tinggi sianida berada di
luar kapasitas detoxication sistem rodanese dalam hati. Hati adalah pertama organ utama yang
akan terkena racun tertelan karena pasokan darah portal dan membantu dalam setidaknya
pengangkatan sebagian racun, dari peredaran selama lulus pertama, memberikan perlindungan
ke organ lain.
Dalam hati, metabolisme mitokondria dan respirasi aerobik adalah pusat untuk fungsi
fisiologis hepatosit. Mitokondria hepatosit yang memainkan peran yang sangat penting dalam
homeostasis, reaksi biosintesis dan metabolisme asam amino. Sianida keracunan
menyebabkan penghambatan enzim mitokondria penting, sitokrom c oksidase, ditampilkan
penurunan tajam dalam aktivitas dan ekspresi yang mengarah untuk beralih pada respirasi
anaerob, hasil dalam terakumulasi laktat pertanda respirasi anaerobik. Ini menyiratkan bahwa
sianida mengganggu homeostasis energi dan menyebabkan stres oksidatif, menghasilkan
mengganggu proses metabolisme dalam hepatosit. Temuan ini konsisten dengan temuan
sebelumnya Okolie dan Osagie, Sousa et al, dan Soto-Blanco et al yang menunjukkan bahwa
sianida kronis keracunan penyebab efek merusak pada hati dan ginjal di kelinci, tikus dan
kambing. perubahan histopatologi sianida yang diinduksi serupa telah dilaporkan pada babi
dan trouts pelangi.
enzim serum, termasuk ALT dan AST terutama digunakan dalam evaluasi kerusakan hati.
Setiap perubahan dalam enzim ini menunjukkan disfungsi hati dan gangguan dalam
biosintesis enzim ini dengan perubahan dalam permeabilitas membran hati. Hasil dari
penelitian ini menunjukkan signifikan peningkatan (P <0,05) dalam serum ALT, ALP dan
AST tingkat di kelompok perlakuan dengan 1,2 dan 3,2 mg kg-1 BW. Mengalami
peningkatan tingkat enzim juga dibuktikan dengan perubahan histopatologi pada hati,
termasuk kerusakan hepatoseluler, vakuolisasi sitoplasma, nekrosis dan degenerasi dalam inti
(Gambar. 1CD). Ini perubahan histopatologi selanjutnya mengakibatkan kerusakan hepatosit
dan pada gilirannya laporan kebocoran enzim hati. scoring histologis terungkap perubahan
yang ringan di 1,2 mg kg-1 BW kelompok perlakuan dan sedang dalam mg kg-1 BW
kelompok 3,2 diperlakukan (Tabel 5).
Namun, pengamatan ini didukung oleh penelitian dari Ballantyne [4] dan Yamamoto et al.,
yang telah melaporkan konsentrasi jaringan tertinggi sianida dalam hati daripada diikuti oleh
paru-paru, darah, limpa, dan otak pada tikus dan kelinci . Sebaliknya, hasil dari penelitian ini
menunjukkan tidak ada yang signifikan (P> 0,05) perubahan dalam enzim penanda hati
dengan histoarchitecture normal dalam hati dari kelompok perlakuan dengan 0,64 mg kg-1
BW (Gambar. 1B). Hal ini mungkin disebabkan mekanisme detoksifikasi enzimatik dalam
hati. Studi menunjukkan rodanese yang didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh, dengan
konsentrasi tertinggi terletak di hati. Hal ini membantu untuk menyelesaikan transformasi
sianida untuk tiosianat yang akan cepat menghilangkan melalui ekskresi ginjal. Ginjal adalah
organ target penting untuk senyawa xenobiotik menghasilkan berbagai efek toksik ginjal yang
melibatkan sel-sel tubular dan glomerulus.
Dalam penelitian ini, hasil penelitian menunjukkan bahwa tertinggi dosis (1,2 dan 3,2 mg kg-
1 BW) dari NaCN menginduksi urea tinggi, asam urat dan kadar kreatinin dalam serum dan
penurunan yang signifikan dalam berat mutlak ginjal di tertinggi jangan memperlakukan
kelompok (Tabel 1 dan 3).
Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa sianida menyebabkan hipotiroidisme yang
akan mengarah ke kekurangan hormon tiroid. Iglesias dan Dez, melaporkan bahwa disfungsi
ginjal terkait erat dengan aktivitas tiroid pada manusia. Ini mungkin alasan yang mungkin
untuk berat ginjal menurun dan disfungsi sel ginjal dalam 3,2 mg kg-1 BW. Tertinggi
penyebab dosis perubahan histologis pada ginjal termasuk pelebaran di tubulus ginjal,
degenerasi dan nekrosis (Gbr. 1H). Perubahan histopatologi di penyebab ginjal meningkat
urea, asam urat dan kadar kreatinin dalam dosis tinggi (3,2 mg kg-1 BW) memperlakukan
kelompok. Namun, kadar kreatinin serum digunakan untuk mendiagnosa penyakit ginjal
seperti gagal ginjal akut, penyakit ginjal kronis, dan penyakit ginjal stadium akhir.
Peningkatan kadar asam urat serum mungkin berhubungan dengan degenerasi dan kegagalan
protein ekskresi dan urea tingkat ginjal mungkin gangguan ginjal tidak langsung. scoring
histopatologi bersukaria cedera ginjal yang lebih atau kurang normal pada 1,2 mg kg-1 BW
diperlakukan tikus dan ringan pada 3,2 mg kg-1 BW diperlakukan tikus (Tabel 5).
Sebaliknya, kelompok perlakuan dengan 0,64 dan 1,2 mg kg-1 BW, menunjukkan non
signifikan (P> 0,05) perubahan urea, asam urat dan tingkat total protein. Karena dosis yang
lebih rendah dari sianida dapat dihilangkan melalui tubuh tanpa membahayakan.
Kesimpulan

Hasil penelitian ini dibuktikan bahwa paparan subchronic sodium sianida diinduksi
heamato, hepato dan toksisitas ginjal pada tikus albino. Akibatnya, jika hewan-toman
ekstrapolasi diperbolehkan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa toksisitas sianida kronis
mungkin memiliki efek merusak pada jaringan manusia cair ikat (darah), hati dan ginjal dan
manusia lebih sensitif terhadap ion sianida. Oleh karena itu, temuan ini dianggap penting,
terutama dalam industri sianida di mana buruh terus mengekspos ke sianida.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... ...

DAFTAR ISI ........................................................................................................................ ...

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ....................................................................

1.2 Rumusan Masalah dan Tujuan ...................................................................................... ....

BAB II ISI

2.1Anatomi dan Fisiologi Neuron ......................................................................................... ....

2.2 Klasifikasi Neuron..........................................................................

2.3 Uji Efek Toksisitas Subkronik dan Kronis..............................

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan........................................................................................................................

Daftar Pustaka
Makalah Toksikologi

Neurotoksik dan Uji Efek Toksisitas Subkronik dan Kronis

OLEH :
Kelompok 11
Fitra Annisa (1501073)
Hessy Gusfiyarni (1501077)
Maria Rossi (
Nursinta Albasit (1501089)

Dosen Penanggungjawab :

Nofri Hendri Sandi, M.Farm,Apt.

PROGRAM STUDI S-1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASIRIAU

2016
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr wb.

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan karunia-Nya serta

dorongan dari semua pihak sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pada makalah ini

dengan baik dan seksama. kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Nofri Hendri

Sandi, M.Farm,Apt. yang telah membimbing kami sehingga kami dapat menyelesaikan

tugas makalah ini. Dan juga kepada semua pihak yang tidak dapat di sebutkan satu persatu

atas segala bantuan dan partisipasi nya baik secara langsung maupun tidak langsung dalam

menyelesaikan tugas pada makalah ini.

Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan Bapak, Serta Rekan-Rekan sekalian.

kami menyadari bahwa tulisan masih jauh dari sempurna, karena keterbatasan kemampuan

dan pengetahuan beserta kesempurnaan adalah milik Allah SWT. kami berharap semoga

tugas makalah ini dapat memberikan manfaat dan pencerahaan untuk rekan-rekan yang

membaca pada saat melakukan pengamatan lebih lanjut.

Wassalamualaikum. Wr.wb

Pekanbaru,24 November 2016

Penulis
1.2.Rumusan Masalah

1. Apa saja Anatomi Fisiologi Neuron ?

2. Jelaskan Jenis Toksikan dan Mekanisme Toksikan pada neuron ?

3. Sebutkan Uji Efek pada Neurotoksik Subkronik dan Kronis

3 Tujuan

1. Mengetahui Anatomi Fisiologi Neuron

2.Mengetahui Jenis Toksikan dan Mekanismenya pada Neurotoksik

3. Mengetahui Uji efek Subkronik dan Kronis pada Neurotoksik


DaftarPustaka
[1] C.Lu,Frank.1995.Toksikologi dasar asas,organ sasaran, dan penilaian
resiko.Jakarta : Universitas Indonesia (UI-Press)
[2] Wisaksono,Satmoko.2002.Efek Toksik dan Cara MenentukanToksisitas Bahan
Kimia. Jakarta : Direktorat Pengawasan Nazaba, Ditjen POM, Departemen
Kesehatan RI
[3] Effendy.2009.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3604/1/farmasi-
effendy.pdf. Diaksestanggal 24 November 2011.
[4] Hazardous chemicals in human and envirotment health (WHO/PCS/00.1).2002.
World Health Organisation
[5] E.J,Ariens,E.Mutschler,Am.Simonis.1985.Toksikologi Umum
pengantar.Yogyakarta: Gajah Mada University press
[6] Price,Sylvia Anderson.2005.Konsep klinis proses-proses Penyakit volume 2 Edisi
6. Jakarta: PenerbitbukuKedokteran EGC
[7] Syarifuddin.2006 AnatomiFisiologiuntukmahasiswakeperawatanedisi 3, Jakarta :
PenerbitbukuKedokteran EGC
Latar Belakang

Sistem saraf adalah serangkaian organ yang kompleks dan bersambungan serta
terdiri terutama dari jaringan saraf. Dalam mekanisme sistem saraf, lingkungan
internak dan stimulus eksternal dipantau dan diatur. Sistem saraf mengkoordinasi,
menafsirkan, dan mengontrol interaksi antara individu dan lingkungan sekitarnya.
Sistem tubuh yang penting ini juga mengatur kebanyakan aktivitas sistem-sistem
tubuh lainnya. Karena pengaturan saraf tersebut maka terjalin komunikasi antara
berbagai sistem tubuh hingga menyebabkan tubuh berfungsi sebagai unit yang
harmonis. Dalam sistem inilah berasal segala fenomena kesadaran, pikiran, ingatan,
bahasa, sensasi dan gerakan.

Sistem saraf juga berperan dalam iritabilitas atau kemampuan untuk menanggapi
rangsangan. Kemampuan khusus seperti iritabilitas, atau sensitivitas terhadap
stimulus, dan konduktivitas, atau kemampuan untuk mentransmisi suatu proses
terhadap stimulasi, diatur oleh sistem saraf dalam tiga cara utama. Pertama, input
sensorik yaitu sistem saraf menerima sensasi atau stimulus melalui reseptor yang
terletak di tubuh baik eksternal maupun internal. Kedua, aktivitas integratif yaitu
reseptor mengubah stimulus menjadi impuls listrik yang menjalar disepanjang saraf
sampai ke otak dan medula spinalis. Ketiga, outpur motorik yaitu impuls dari otak
dan medula spinalis memperoleh respon yang sesuai dari otot dan kelenjar tubuh,
yang disebut sebagai efektor.

Susunan saraf dibagi atas dua bagian penting yaitu susunan saraf pusat atau sistem
serebrospinal dan susunan saraf otonom yang mencakup susunan saraf simpatik dan
susunan saraf parasimpatik. Susunan saraf pusat terdiri atas otak, sumsum tulang
belakang dan urat-urat saraf atau sarf cabang yang tumbuh dari otak dan sumsum
tulang belakang yang disebut urat saraf perifer (urat saraf tepi).

Tubuh manusia terdiri atas berbagai organ tubuh yang memiliki fungsi-fungsi
tertentu yang berbeda. Pengaturan atau koordinasi sangat penting untuk mengatur
organ-organ tubuh tersbut agar dapat bekerja sama dengan baik, sehingga dalam
makalah ini akan dibahas tentang anatomi dan fisiologi sistem saraf.

Anda mungkin juga menyukai