Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH FARMAKOTERAPI

TERAPI OBAT PADA BAYI DAN ANAK

(KASUS SEPSIS)

Dosen : refdanita, Dr.Dra.M.Si

Penyusun :
Fita susanti 14334113

PROGRAM STUDI FARMASI


INSTITUS SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA 2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas rahmat-
Nya lah kami dapat menyelesaikan Tugas Makalah Mata Kuliah Farmakoterapi ini. Makalah
ini berjudul TERAPI OBAT PADA BAYI DAN ANAK, disusun untuk memenuhi tugas
mata kuliah Farmakoekonomi yang diberikan kepada kami oleh Ibu Ref,danita Dr.Dra.
M.Si
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak
kekurangan dalam penulisan makalah ini, karena itu kami memohon maaf dan mengharapkan
saran dan kritik untuk menyempurnakan makalah ini.

Jakarta, September 2017

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii


DAFTAR ISI........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 3
A. ............................................................................................. 3
A. ....................................................................................................... 3
B. ....................................................................................................... 5
C. ....................................................................................................... 5
BAB III KASUS
A. ....................................................................................................... 8
B. ....................................................................................................... 11
BAB IV KESIMPULAN ..................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 15
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seorang praktisi medik dalam praktek sehari-hari sering dihadapkan pada


berbagai permasalahan pengobatan yang kadang memerlukan pertimbangan-
pertimbangan khusus, seperti misalnya pengobatan pada kelompok umur tertentu
(anak dan usia lanjut), serta pada kehamilan. Meskipun prinsip dasar dan tujuan terapi
pada kelompok-kelompok tersebut tidak banyak berbeda, tetapi mengingat masing-
masing memiliki keistimewaan khusus dalam penatalaksanaannya, maka diperlukan
pendekatan-pendekatan yang sedikit berbeda dengan kelompok dewasa. Pertimbangan
pengobatan pada anak, tidak saja diambil berdasarkan ketentuan dewasa, tetapi perlu
beberapa penyesuaian seperti dosis dan perhatian lebih besar pada kemungkinan efek
samping, karena adanya imaturitas fungsi organ-organ tubuh, sehingga mungkin
diperlukan penyesuaian dosis serta pemilihan obat yang benar-benar tepat. Selain itu,
pengobatan pada anak juga memerlukan pertimbangan lebih kompleks, antara lain
karena berbagai masalah cara pemberian obat, pemilihan bentuk sediaan, dan masalah
ketaatan (patient's compliance).
Sejauh ini prinsip pemakaian obat pada anak dalam praktek sehari hari lebih
banyak didasarkan atas prinsip pengobatan pada dewasa. Hal ini dapat dipahami
mengingat hingga kini informasi praktis mengenai obat dan terapetika pada anak
masih sangat terbatas. Sebagai contoh adalah penentuan dosis. Sebagian besar
penentuan dosis obat pada anak didasarkan pada berat badan, umur, atau luas
permukaan tubuh terhadap dosis dewasa. Hal ini tidak selalu benar, mengingat
berbagai perbedaan baik fisik maupun respons fisiologis yang berbeda antara anak
dan dewasa. Sementara itu meskipun berbagai formulasi penghitungan dosis sudah
banyak dikembangkan, tetapi praktis tidak begitu saja bisa diberlakukan secara umum
untuk semua anak, dengan ras yang berbeda. Masalah pemakaian obat pada anak tidak
saja terbatas pada penentuan jenis obat dan penghitungan dosis tetapi juga meliputi
frekuensi, lama dan cara pemberian. Meskipun sebagian besar obat untuk anak
tersedia dalam bentuk sediaan oral (biasanya cairan) tetapi dosis yang adekuat kadang
sulit dicapai karena berbagai sebab misalnya muntah, atau reaksi penolakan lain yang
menyebabkan obat yang diminum menjadi kurang dari takaran yang seharusnya
diberikan. Untuk obat-obat simtomatik, keadaan ini tentu mempengaruhi
khasiat/kemanfaatan obat.
Sedang untuk antibiotika, dengan tidak tercapainya efek terapi, akan
mempengaruhi proses penyembuhan di samping meningkatkan kemungkinan
terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotika. Adanya kandungan zat lain atau
pemanis pada obat perlu juga diwaspadai, meskipun tujuannya adalah kenyamanan
penggunaan pasien. Pada penggunaan jangka panjang, obat-obat dengan pemanis
(sukrosa) dapat menyebabkan karies gigi. Meskipun obat-obat yang diberikan untuk
anak umumnya mempunyai lingkup terapi yang lebar (wide therapeutic margin),
tetapi ini tidak berarti bahwa setiap pemberian obat pada anak terjamin keamanannya.
Pertimbangan yang seksama perlu diambil, lebih-lebih jika digunakan obat-
obat yang lingkup terapinya sempit (narrow therapeutic margin), di mana perbedaan
antara dosis yang memberi efek terapetik dan efek toksik sangat kecil, seperti
misalnyateofilin. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa anak bukanlah miniatur
dewasa. Mereka masih dalam proses tumbuh kembang, sehingga fungsi organ dan
keadaan fisiologis lainnya juga masih berkembang. Dengan demikian respons anak
terhadap pemberian obat juga sangat dipengaruhi oleh hal-hal tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pertimbangan Pemakaian Obat pada Anak


Beberapa pertimbangan yang perlu diambil sehubungan dengan pemakaian obat pada
anak adalah:
a. Faktor-faktor farmakokinetik obat, meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi.
b. Pertimbangan dosis terapetik dan toksik, yakni termasuk pemakaian obat dengan
lingkup terapi lebar atau sempit (wide or narrow therapeutic margin), dan interaksi
antar obat berdasar perjalanan penyakit.
c. Penghitungan dosis
d. Segi praktis pemakaian obat, mencakup cara pemberian, kebiasaan, dan ketaatan
pasien untuk minum obat.

B. Pertimbangan Farmakokinetik
a. Absorpsi
Secara umum, kecepatan absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik tergantung
pada cara pemberian dan sifat fisikokimiawi obat, seperti misalnya berat molekul,
dan sifat lipofilik obat. Sifat fisikokimiawi obat terutama menentukan kecepatan
dan luasnya transfer molekul obat melalui membran. Hal ini berlaku pada semua
golongan usia. Pada neonatus, sekresi asam lambung relatif rendah, tetapi apakah
ini mempengaruhi absorpsi dan kemanfaatan terapi oral, belum banyak diselidiki.
Umumnya absorpsi oral pada bayi dan anak tidak jauh berbeda dengan dewasa
Hal-hal berikut perlu dipertimbangkan sehubungan dengan absorpsi obat pada
anak,
1. Beberapa saat setelah lahir akan terjadi perubahan-perubahan biokimiawi dan
fisiologis pada traktus gastrointestinal. Pada 24 jam pertama
kelahiran/kehidupan, terjadi peningkatan keasaman lambung secara menyolok.
Oleh sebab itu obat-obat yang terutama dirusak oleh asam lambung (pH
rendah) sejauh mungkin dihindari.
2. Pengosongan lambung pada hari I dan II kehidupan relatif lambat (6-8 jam).
Keadaan ini berlangsung selama + 6 bulan untuk akhirnya mencapai nilai
normal seperti pada dewasa. Pada tahap ini obat yang absorpsi utamanya di
lambung akan diabsorpsi secara lengkap dan sempurna, sebaliknya untuk obat-
obat yang diabsorpsi di intestinum efeknya menjadi sangat lambat/tertunda.
3. Absorpsi obat setelah pemberian secara injeksi i.m. atau subkutan tergantung
pada kecepatan aliran darah ke otot atau area subkutan tempat injeksi.
Keadaan fisiologis yang bisa menurunkan aliran darah antara lain syok
kardiovaskuler, vasokonstriksi oleh karena pemberian obat simpatomimetik,
dan kegagalan jantung. Absorpsi obat yang diberikan perkutan meningkat
pada neonatus, bayi dan anak, terutama jika terdapat ekskoriasi kulit atau luka
bakar. Dengan meningkatnya absorpsi ini kadar obat dalam darah akan
meningkat pula secara menyolok, yang kadang mencapai dosis toksik obat.
Keadaan ini sering dijumpai pada penggunaan kortikosteroid secara
berlebihan, asam borat (yang menimbulkan efek samping diare, muntah,
kejang hingga kematian), serta aminoglikosida/polimiksin spray pada luka
bakar yang dapat menyebabkan tuli.
4. Pada keadaan tertentu di mana injeksi diperlukan, sementara oleh karena
malnutrisi, anak menjadi sangat kurus dan volume otot menjadi kecil,
pemberian injeksi harus sangat hati-hati. Pada keadaan ini absorpsi obat
menjadi sangat tidak teratur dan sulit diduga oleh karena obat mungkin masih
tetap berada di otot dan diabsorpsi secara lambat. Pada keadaan ini otot
berlaku sebagai reservoir. Tetapi bila perfusi tiba-tiba membaik, maka jumlah
obat yang masuk sirkulasi meningkat secara mendadak dan menyebabkan
tingginya konsentrasi obat dalam darah yang dapat mencapai kadar toksik.
Obat-obat yang perlu diwaspadai penggunaannya antara lain: glikosida
jantung, aminoglikosida, dan anti kejang
5. Gerakan peristaltik usus bayi baru lahir relatif belum teratur, tetapi umumnya
lambat. Sehingga jumlah obatobat yang diabsorpsi di intestinum tenue sulit
diperkirakan. Jika peristaltik lemah maka jumlah obat yang diabsorpsi menjadi
lebih besar, yang ini memberi konsekuensi berupa efek toksik obat. Sebaliknya
jika terjadi peningkatan peristaltik, misalnya pada diare, absorpsi obat
cenderung menurun oleh karena lama kontak obat pada tempat-tempat yang
mempunyai permukaan absorpsi luas menjadi sangat singkat
b. Distribusi
Proses distribusi obat dalam tubuh sangat dipengaruhi oleh massa jaringan,
kandungan lemak, aliran darah, permeabilitas membran dan ikatan protein. Obat
didistribusikan secara berbeda berdasar sifat-sifat fisikokimiawinya. Perbedaan
ini dapat ditunjukkan oleh obat-obat yang mempunyai sifat lipofilik kecil,
misalnya sulfonamida, di mana volume distribusinya meningkat sampai 2 kali
pada neonatus.
1. Barier darah otak pada bayi baru lahir relatif lebih permeabel. Hal ini
memungkinkan beberapa obat melintasi aliran darah otak secara mudah.
Keadaan ini menguntungkan, misalnya pada pengobatan meningitis dengan
antibiotika.
2. Ikatan protein plasma obat sangat kecil pada bayi (neonatus) dan baru
mencapai nilai normal pada umur 1 tahun. Hal ini oleh karena rendahnya
konsentrasi albumin dalam plasma dan rendahnya kapasitas albumin untuk
mengikat molekul obat. Keadaan ini menjadi penting pada bayi malnutrisi dan
hipoalbuminemia.
3. Interaksi antara obat dengan bilirubin pada ikatannya dengan protein plasma
sangat penting diperhatikan. Bilirubin bebas dapat menembus barier darah otak
pada neonatus dan menyebabkan kern-ikterus. Obat-obat sulfonamida,
novobiosin, diazoksida dan analog vitamin K dapat menggeser bilirubin dari
ikatannya pada albumin plasma. Bila mekanisme konjugasi hepatal belum
sempurna, bilirubin bebas dalam darah akan meningkat dan dapat
menyebabkan kern-ikterus.
c. Metabolisme
Hepar merupakan organ terpenting untuk metabolisme obat. Perbandingan relatif
volume hepar terhadap berat badan menurun dengan bertambahnya umur. Dengan
perbandingan relatif ini, volume hepar pada bayi baru lahir + 2 kali dibandingkan
anak usia 10 tahun. Itulah sebabnya, menjelaskan, mengapa kecepatan
metabolisme obat paling besar pada masa bayi hingga awal masa kanak-kanak, dan
kemudian menurun mulai anak sampai dewasa.
d. Ekskresi
Pada neonatus, kecepatan filtrasi glomeruler dan fungsi tubulus masih imatur.
Diperlukan waktu sekitar 6 bulan untuk mencapai nilai normal. Umumnya GFR
pada anak adalah sekitar 30-40% dewasa. Oleh karena itu, pada anak obat dan
metabolit aktif yang diekskresi lewat urin cenderung terakumulasi. Sebagai
konsekuensinya, obat-obat yang diekskresi dengan filtrasi glomerulus, seperti
misalnya digoksin dan gentamisin, dan obat-obat yang sangat terpengaruh sekresi
tubuler, misalnya penisilin, paling lambat diekskresi pada bayi baru lahir. Dengan
demikian, seiring dengan bertambahnya usia, diperlukan evaluasi ulang terhadap
dosis yang digunakan.

C. Pertimbangan Efek Terapetik dan Efek Toksik Obat


Penilaian segi manfaat dan risiko perlu selalu dipertimbangkan sebelum
memutuskan memberikan suatu obat. Sebagaimana disebutkan di muka, kemungkinan
respons anak terhadap obat akan sangat bervariasi. Untuk itu, jika diagnosis kerja
telah ditegakkan dan keputusan pemberian obat telah diambil, perlu pula dipikirkan
dampak apa yang sekiranya terjadi pada pemberian obat. Sebagai contoh adalah
pemberian amfetamin. Oleh sebagian besar praktisi medik, obat ini dipercaya dapat
meningkatkan konsentrasi anak, sehingga mudah dikendalikan dan tertarik pada hal
hal yang bermanfaat (misalnya pelajaran di sekolah). Namun demikian perlu diingat
bahwa penggunaan obat ini tidak lepas dari risiko efek samping. Efek samping
amfetamin antara lain halusinasi, hiperaktivitas (yang sering mendorong ke arah
kenakalan anak) hingga sampai kejang. Sayangnya efek samping ini sering luput dari
perhatian praktisi medik maupun orang tua pasien. Demikian pula pemberian terapi
steroid sistemik pada anak perlu dipertimbangkan secara seksama mengingat dalam
jangka panjang dapat mengganggu atau menghambat pertumbuhan anak.
Tetapi jika terpaksa harus diberikan, sebaiknya dalam bentuk kombinasi,
yakni misalnya pada anak dengan asma, pemberian kombinasi kortikosteroid aerosol
dengan disodium kromoglikat dapat mengurangi efek samping dari penggunaan obat
tunggal. Segi lain yang perlu diperhatikan adalah obat-obat dengan lingkup terapi
sempit (narrow therapeutic margin), seperti misalnya teofilin. Efek terapetik yang
optimal dari teofilin tercapai jika konsentrasinya dalam darah antara 7,5-15 ug/ml.
Jika konsentrasi dalam darah melebihi dosis terapetik, akan menyebabkan timbulnya
efek toksik. Dengan demikian penentuan dosis secara individual perlu dilakukan. Lagi
pula pada pemberian teofilin dalam jangka panjang, perlu dilakukan pemeriksaan
kadar obat dalam darah.

D. Segi praktis pemakaian obat pada anak


Berikut akan dibahas segi praktis pemakaian obat berdasarkan tahap perkembangan
umur anak,
1. Periode awal kelahiran
Pada periode ini, pemberian obat per oral dapat mengakibatkan aspirasi, lagi
pula beberapa obat tidak diabsorpsi secara baik. Jika diberikan secara
intramuskuler, sebaiknya dilakukan di tungkai atas, sebelah anterior atau lateral.
Penyuntikan pada pantat tidak dianjurkan mengingat masa otot yang masih relatif
kecil dan kemungkinan rusaknya saraf skiatik. Obat-obat yang dapat menggeser
bilirubin dari ikatannya pada albumin (seperti sulfonamida, diazoksida, novobiosin
dan analog vitamin K) hendaknya dihindari untuk mencegah terjadinya kern
ikterus. Pemakaian kloramfenikol pada bulan pertama kelahiran sangat tidak
dianjurkan karena dapat menyebabkan 'grey baby syndrome' akibat tertimbunnya
kloramfenikol tak terkonjugasi (unconjugated chloramphenicol) di dalam darah.
Mekanismenya adalah sebagai berikut.
Secara normal kloramfenikol terkonjugasi dengan glukuronat oleh enzim
glukuronil transferase. Pada bulan-bulan pertama kelahiran, enzim ini belum
bekerja sempurna, sementara ekskresi kloramfenikol yang tak terkonjugasi belum
adekuat. Akibatnya obat akan terakumulasi dan menyebabkan timbulnya gejala-
gejala muntah, sulit makan dan minum, pernafasan cepat dan tidak teratur, sianosis
hingga flaksid (kaku) dan hipotermia yang dapat berakhir dengan kematian.
2. Periode kanak-kanak dan prasekolah (umur 1-10 tahun)
Pada kelompok umur ini, yang perlu diperhatikan adalah pemberian obat-obat yang
metabolismenya dengan cara oksidasi dan hidroksilasi (Fase I), seperti misalnya
fenitoin, fenobarbital dan teofilin. Banyak bukti klinik menunjukkan bahwa
penggunaan obat-obat tersebut pada kelompok umur 1-10 tahun memerlukan dosis
terapetik yang relatif lebih besar dari dosis dewasa. Hal ini didasarkan pada
kenyataan bahwa pada periode ini darah dibersihkan dari obat lebih cepat dan
metabolisme obatpun berlangsung cepat. Oleh sebab itu waktu paruh obat juga
lebih pendek.
BAB III
KASUS SEPSIS

IDENTITAS
Seorang bayi laki-laki, umur 1 jam, berat badan 2800 gram, panjang badan 51 cm, masuk
rumah sakit tanggal 4 November 2012 jam 17.00 WITA dengan keluhan utama bayi tidak
menangis saat dilahirkan dan tampak sesak napas.

ANAMNESIS
Dari anamnesis didapatkan bahwa bayi lahir di rumah, spontan dengan latar belakang
kepala, dibantu oleh seorang dukun. Ketuban pecah dini (-) dan ketuban berwarna hijau
(+). Riwayat penyakit yang diderita ibu : ISK (-), demam intrapartum (-) dan riwayat
konsumsi obat-obatan atau jamu (-). Ibu hamil yang pertama kalinya, ANC di Puskesmas
Kawatuna dan satu kali pemeriksaan ke dokter praktek. Saat dilahirkan, bayi tidak
menangis dan tampak sesak napas sehingga segera dibawa ke rumah sakit.

PEMERIKSAAN FISIK
4 November 2012
Berat Badan : 2800 gram Ling. Kepala : 32 cm Ling. Perut : 29 cm
Panjang Badan : 51 cm Ling. Dada : 31 cm Ling. Lengan : 10 cm

TTV
Denyut Jantung : 148 x/menit Suhu : 36 C
Frekuensi Napas : 82 x/menit CRT : < 2 detik

Sistem Pernapasan.
Sianosis (+), merintih (+), apnea (-), retraksi dinding dada (+), pergerakan dinding dada
simetris (+), Skor DOWN : 5.

Sistem Kardiovaskuler.
Bunyi jantung reguler (+), murmur (-).
Sitem Hematologi.
Pucat (-), ikterus (-).

Sistem Gastrointestinal.
Kelainan dinding abdomen (-), massa/organomegali (-).

Sistem Saraf.
Aktivitas bayi diam, tingkat kesadaran letargi, fontanela datar, kejang (+).

Sistem Genitalia.
Hipospadia (-), hidrokel (-), hernia (-), testis belum turun ke skrotum.

Pemeriksaan Lain.
Ektremitas : akral dingin, turgor normal, kelainan kongengital (-), trauma lahir : kaput
suksadaneum. Skor BALLARD : 33 (37 minggu).

Pemeriksaan Penunjang.
GDS : 57 (N : 70-100)

DIAGNOSIS :
Aterm + SMK + gangguan napas + kejang + hipoglikemik + curiga sepsis.

TERAPI :
Oksigen 1 L/menit.
IVFD Dextrosa 5 % 10 tetes/menit.
Inj. Sefotaksim 2 x 150 mg IV.
Inj. Gentamisin 2 x 8 mg IV.
Inj. Sibital 50 mg IV (kejang I).
Inj. Sibital 50 mg IV (kejang II).
Inj. Sibital 25 mg IV (kejang III).
Inj. sibital 2 x 6 mg IV (maintenance).
Bolus 6 cc Dextrosa 10 %.
FOLLOW UP
5 November 2012
TTV
Denyut Jantung : 147 x/menit Suhu : 36,5 C
Frekuensi Napas : 75 x/menit CRT : < 2 detik

Sistem Pernapasan.
Sianosis (-), merintih (+), apnea (-), retraksi dinding dada (+), pergerakan dinding dada
simetris (+), Skor DOWN : 4.

Sistem Kardiovaskuler.
Bunyi jantung reguler (+), murmur (-).

Sitem Hematologi.
Pucat (-), ikterus (-).

Sistem Gastrointestinal.
Kelainan dinding abdomen (-), massa/organomegali (-).

Sistem Saraf.
Aktivitas bayi gelisah, tingkat kesadaran letargi, fontanela datar, kejang (-).

Pemeriksaan Penunjang.
Pukul 10.00 WITA
GDS : 81 (N : 70-100)
DR : Normal.

Pukul 16.00 WITA


GDS : 52 (N : 70-100)
DR : Leukositosis.

DIAGNOSIS :
Aterm + SMK + gangguan napas + hipoglikemik + curiga sepsis.
TERAPI :
Oksigen 1-2 L/menit.
Infus Dextrosa 5 % 10 tetes/menit.
Inj. Sefotaksim 2 x 150 mg IV.
Inj. Gentamisin 2 x 8 mg IV.
Inj. Sibital 2 x 6 mg IV (maintenance).
Bolus 6 cc Dextrosa 10 %.

6 November 2012
TTV
Denyut Jantung : 154 x/menit Suhu : 36 C
Frekuensi Napas : 64 x/menit CRT : < 2 detik

Sistem Pernapasan.
Sianosis (-), merintih (+), apnea (+), retraksi dinding dada (+), pergerakan dinding dada
simetris (+), Skor DOWN : 4.

Sistem Kardiovaskuler.
Bunyi jantung reguler (+), murmur (-).

Sitem Hematologi.
Pucat (-), ikterus (+).

Sistem Gastrointestinal.
Kelainan dinding abdomen (-), massa/organomegali (-).

Sistem Saraf.
Aktivitas bayi tidur, fontanela datar, kejang (-).
DIAGNOSIS :
Aterm + SMK + gangguan napas + curiga sepsis.
TERAPI :
Oksigen 2-3 L/menit.
Infus Dextrosa 5 % 10 tetes/menit.
Inj. Meropenem 2 x 50 mg IV.
Inj. Sibital 2 x 6 mg IV (maintenance).
DISKUSI

Diagnosa pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.

Faktor-faktor yang mempengaruhi sepsis pada bayi baru lahir antara lain :(2)

1) Faktor ibu/maternal
Usia kehamilan kurang bulan.
Persalinan yang lama.
Ketuban pecah lebih dari 18-24 jam.
Chorioamnionitis.
Persalinan dengan tindakan.
Demam pada ibu (> 38,4 C).
Infeksi saluran kencing pada ibu.
Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu.

2) Faktor bayi
Asfiksia perinatal.
Berat lahir rendah.
Bayi kurang bulan.
Prosedur invasif.
Kelainan bawaan.

3) Faktor lingkungan
Pengaruh lingkungan yang dapat menjadi predisposisi bayi yang terkena sepsis antara lain
yaitu buruknya praktek cuci tangan dan teknik persalinan serta perawatan umbilikus dan
pemberian susu formula yang tidak higienis.

Pada kasus ini, dari anamnesis didapatkan bahwa bayi lahir di rumah dibantu oleh
seorang dukun dan ketuban berwarna hijau. Hal ini menunjukkan adanya faktor resiko
terjadinya sepsis, dimana persalinan yang ditolong oleh bukan tenaga kesehatan dapat
diragukan higienitasnya dan ditemukannya ketuban berwarna hijau.
Gejala gejala yang masuk dalam kelompok temuan yang berhubungan dengan
sepsis.

Sepsis kategori A :

Kesulitan bernapas (apnea, takipnea, retraksi dinding dada, grunting, sianosis).


Kejang.
Tidak sadar.
Suhu tubuh tidak normal.
Persalinan di lingkungan yang kurang higienis.
Kondisis memburuk dengan cepat dan dramatis.

Sespsis kategori B :

Tremor
Letargi atau lunglai.
Mengantuk atau aktivitas berkurang.
Irritabel/rewel.
Muntah.
Perut kembung.
Air ketuban bercampur mekonium.
Malas minum, padahal sebelumnya minum dengan baik.
Tanda-tanda mulai muncul sesudah hari ke empat.

Pada kasus ini, dari pemeriksaan fisik ditemukan suhu tubuh yang relatif tidak normal
(hipotermia), adanya gangguan napas (sianosis, takipnea, grunting/merintih, retraksi dinding
dada, apnea), adanya kejang dan kondisi memburuk dengan cepat.

Diagnosa sepsis terbagi dua yaitu dugaan sepsis dan curiga sepsis. Dugaan sepsis jika
ditemukan 2 kategori A dan 1 atau lebih kategori B, sedangkan curiga sepsis jika ditemukan 3
ketagori A dan 2 atau lebih kategori B.

Pada kasus ini, pasien didiagnosa sebagai curiga sepsis, dimana ditemukan 4 kategori
A (kesulitan bernapas, kejang, suhu tubuh abnormal dan persalinan ditempat yang tidak
higienis) dan 2 kategori B (lethargi dan air ketuban bercampur mekonium).
Beberapa hasil pemeriksaan laboratorium pada sepsis antara lain :

Adanya leukositosis dan peningkatan jumlah neutrofil.


Peningkatan protein fase akut (C-reactive protein).
Adanya temuan bakteri pada kultur darah (Gold Standar).

Dari hasil pemeriksaan laboratorium pada kasus ini, ditemukan leukositosis dan
hitung jenis neutrofil yang tinggi. Hal ini menunjukkan adanya infeksi bakteri yang berat
dalam tubuh.

Terapi yang diberikan untuk sepsis neonatal yaitu dengan memberikan antibiotik
spektrum luas sambil menungggu biakan darah dan uji resitensi.

1) Antibiotika yang menjadi pilihan pertama ialah sefalosporin (sefotaksim) dengan dosis
200 mg/kgBB/hari intravena dibagi dalam 2 dosis, dikombinasikan dengan amikasin yang
diberikan dengan dosis awal 10 mg/kgBB/hari intravena, atau dengan gentamisin 6
mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis.
2) Pilihan kedua ialah ampisilin 300-400 mg/kgBB/hari intravena, dibagi dalam 4 dosis,
dikombinasikan dengan kloramfenikol 50 mg/kgBB/hari intravena dibagi dalam 4 dosis.
3) Pilihan selanjutnya ialah kotrimoksazol 10 mg/kgBB/hari intravena dibagi dalam 2 dosis.

Pada kasus ini, antibiotik yang diberikan untuk terapi sepsis adalah kombinasi
sefotaksim dan gentamisin.
BAB IV

KESIMPULAN

1. Diperlukan berbagai pertimbangan dalam memberikan terapi pengobatan pada bayi


dan anak
2. Pada kasus ini, antibiotik yang diberikan untuk terapi sepsis adalah kombinasi
sefotaksim dan gentamisin.
DAFTAR PUSTAKA

1. IDAI, 2005. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi pertama. pp: 286-90. Jakarta
: Badan Penerbit IDAI.
2. IDAI, 2008. Buku Ajar Neonatologi. Edisi pertama. pp: 170-85. Jakarta : Badan Penerbit
IDAI.
3. Sari Pediatri, Vol. 6, No. 2, September 2004: 81-84.
4. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid
3. pp: 1124-5. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI.

Anda mungkin juga menyukai