Anda di halaman 1dari 4

Kebebasan berpendapat di muka umum baik lisan dan tulisan serta kebebasan untuk

berorganisasi merupakan hak setiap warga negara yang harus diakui, dijamin dan dipenuhi oleh
negara. Indonesia sebagai sebuah negara hukum telah mengatur adanya jaminan terhadap
kebebasan untuk berserikat dan berkumpul serta kebebasan untuk menyampaikan pendapat baik
lisan maupun tulisan dalam UUD 1945 dan UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang kemerdekaan
menyampaikan pendapat di muka umum.

Ada banyak kejadian lainnya yang juga tercapai karena demonstrasi. Dengan demikian dalam hal
ini demonstrasi merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mencapai tujuan. Hanya saja
yang membedakan adalah pada dataran demonstrasi demi tujuan politik praktis atau jangka
panjang. Untuk kepentingan masing-masing kelompok atau demi kemaslahatan orang banyak.

Jika kita kaji secara konstitusional, demonstrasi merupakan hak yang harus dilindungi oleh
Pemerintah. Namun di sisi lain, orang yang melakukan demonstrasi juga harus mentaati
peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku.

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, dasar hukum demonstrasi adalah pasal 28 UUD 1945
dan UU No.9 Tahun 1998. Sehingga para peserta demonstrans memiliki legalitas dalam aksinya.
Namun di sisi yang lain, hak menyampaikan pendapat di muka umum menjadi terkendala ketika
pelaksananya dapat dijerat pidana pasal 160-161 tentang penghasutan.
Maka dalam undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat
diatur mengenai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi bagi setiap masyarakat yang ingim
menyampaikan pendapatnnya dan bagi pemerintah agar dapa memberikan perlindungan hukum
kepada setiap masyarakat, agar terjaminnya hak menyampaikan pendapat.
Agar Para demonstran tidak mendapat sanksi hukum dalam menyampaikan pendapat di muka
umum, hendaknya mmengikuti tata cara demonstrasi menurut undang-undnag Nomor 9 Tahun
1998 tentang Kemerdekaan Menyampaiakan Pendapat di Muka Umum

Tata Cara
1) Menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Polri yang dilakukan oleh yang
bersangkutan, pemimpin, atau penanggung jawab kelompok.
Catatan: Banyak orang memiliki pemahaman yang salah mengenai pemberitahuan ini.
Rencana menyatakan pendapat disampaikan dengan pemberitahuan bukan izin. Sifatnya
hanya memberitahukan saja dan Kepolisian tidak berwenang menolak kecuali dalam hal
dilarang dalam undang-undang. Hal yang sangat berbeda jika rencana menyatakan pendapat
diharuskan dengan izin karena kepolisian menjadi berwenang untuk mengizinkan atau tidak
mengizinkan rencana menyatakan pendapat tersebut.

2) Pemberitahuan diberikan selambat-lambatnya 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam


sebelum kegiatan dimulai.

3) Pemberitahuan memuat: maksud dan tujuan, tempat, lokasi, dan rute, waktu dan lama,
bentuk, penanggung jawab, nama dan alamat organisasi, kelompok atau perorangan, alat
peraga yang dipergunakan; dan atau jumlah peserta.

4) Setiap sampai 100 (seratus) orang pelaku atau peserta unjuk rasa atau demonstrasi dan
pawai harus ada seorang sampai dengan 5 (lima) orang penanggung jawab.

5) Setelah menerima surat pemberitahuan, Polri wajib :


a. segera memberikan surat tanda terima pemberitahuan;
b. berkoordinasi dengan penanggung jawab penyampaian pendapat di muka umum;
c. berkoordinasi dengan pimpinan instansi/lembaga yang akan menjadi tujuan penyampaian
pendapat;
d. mempersiapkan pengamanan tempat, lokasi, dan rute.

6) Pembatalan pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum disampaikan secara tertulis


dan langsung oleh penanggung jawab kepada Polri selambat-lambatnya 24 (dua puluh
empat) jam sebelum waktu pelaksanaan.

Sanksi :

Berdasarkan Pasal 15 UU No. 9 Tahun 1998, sanksi terhadap pelanggaran tata cara di atas
adalah pembubaran.
Berdasarkan Pasal 16 UU No. 9 Tahun 1998, pelaku atau peserta pelaksanaan penyampaian
pendapat di muka umum yang melakukan perbuatan melanggar hukum, dapat dikenakan
sanksi hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini
dikenakan jika misalkan terjadi perbuatan melanggar hukum seperti penganiayaan,
pengeroyokan, perusakan barang, dan bahkan kematian.
Berdasarkan Pasal 17 UU No. 9 Tahun 1998 Penanggung jawab pelaksanaan penyampaian
pendapat di muka umum yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku
ditambah dengan 1/3 (satu per tiga) dari pidana pokok. Terdapat pemberatan hukuman
terhadap penanggungjawab yang melakukan tindak pidana.
Berdasarkan Pasal 18 UU No. 9 Tahun 1998, setiap orang dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka
umum yang telah memenuhi ketentuan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun.

Dalam praktek, kepolisian sering mengkriminalisasikan para pengunjuk rasa yang menolak
membubarkan diri ketika berunjuk rasa dengan beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, yaitu:

Pasal 212 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang
sedang menjalankan tugas yang sah, atau orang yang menurut kewajiban undang-undang
atau atas permintaan pejabat memberi pertolongan kepadanya, diancam karena melawan
pejabat, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 214 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


(1) Paksaan dan perlawanan berdasarkan pasal 211 dan 212 jika dilakukan oleh dua orang atau
lebih dengan bersekutu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(2) Yang bersalah dikenakan:
a. pidana penjara paling lama delapan tahun enam bulan, jika kejahatan atau perbuatan lainnya
ketika itu mengakibatkan luka-luka;
b. pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika mengakibatkan luka berat;
c. pidana penjara paling lama lima helas tahun, jika mengakibatkan orang mati.

Pasal 218
Barang siapa pada waktu rakyat datang berkerumun dengan se- ngaja tidak segera pergi
setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam karena
ikut serta perkelompokan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau
pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.

Adapun aparatur yang berwenang untuk memberikan sanksi pembubaran terhadap orang
yang melakukan penyampaian pendapat di muka umum yang tidak memenuhi syarat adalah
Kepolisian Republik Indonesia. Instansi lain, keamanan gedung, satpam, petugas keamanan
internal, maupun pihak lain tidak berwenang untuk memberikan sanksi pembubaran.

Apakah Polisi Memiliki Kewenangan Memukul Demonstran?

Dalam pelaksanaannya, penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi) dapat


menimbulkan kericuhan dan diperlukan adanya pengamanan. Untuk itu, pemerintah
memberikan amanat kepada Polri dalam Pasal 13 ayat (3) UU 9/1998 yakni dalam
pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab :
a. melindungi hak asasi manusia;
b. menghargai asas legalitas;
c. menghargai prinsip praduga tidak bersalah; dan
d. menyelenggarakan pengamanan.
Sehingga, dalam menangani perkara penyampaian pendapat di muka umum harus selalu
diperhatikan tindakan petugas yang dapat membedakan antara pelaku yang anarkis dan
peserta penyampaian pendapat di muka umum lainnya yang tidak terlibat pelanggaran
hukum (Pasal 23 ayat [1] UU 9/2008);
a. terhadap peserta yang taat hukum harus tetap di berikan perlindungan hukum;
b. terhadap pelaku pelanggar hukum harus dilakukan tindakan tegas dan proporsional;
c. terhadap pelaku yang anarkis dilakukan tindakan tegas dan diupayakan menangkap pelaku
dan berupaya menghentikan tindakan anarkis dimaksud.

Dan perlu diperhatikan bahwa pelaku pelanggaran yang telah tertangkap harus diperlakukan
secara manusiawi (tidak boleh dianiaya, diseret, dilecehkan, dan sebagainya).

Melihat kondisi di lapangan pada saat terjadi demonstrasi, memang kadangkala diperlukan
adanya upaya paksa. Namun, ditentukan dalam Pasal 24 UU 9/2008 bahwa dalam
menerapkan upaya paksa harus dihindari terjadinya hal-hal yang kontra produktif, misalnya:
a. tindakan aparat yang spontanitas dan emosional, misalnya mengejar pelaku, membalas
melempar pelaku, menangkap dengan kasar dengan menganiaya atau memukul;
b. keluar dari ikatan satuan/formasi dan melakukan pengejaran massa secara perorangan;
c. tidak patuh dan taat kepada perintah kepala satuan lapangan yang bertanggung jawab sesuai
tingkatannya;
d. tindakan aparat yang melampaui kewenangannya;
e. tindakan aparat yang melakukan kekerasan, penganiayaan, pelecehan, melanggar HAM;
f. melakukan perbuatan lainnya yang melanggar peraturan perundang-undangan;

Di samping itu, ada peraturan lain yang terkait dengan pengamanan demonstrasi ini yaitu
Peraturan Kapolri No. 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa (Protap
Dalmas). Aturan yang lazim disebut Protap itu tidak mengenal ada kondisi khusus yang
bisa dijadikan dasar aparat polisi melakukan tindakan represif. Dalam kondisi apapun,
Protap justru menegaskan bahwa anggota satuan dalmas dilarang bersikap arogan dan
terpancing perilaku massa. Protap juga jelas-jelas melarang anggota satuan dalmas
melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai dengan prosedur. Bahkan hal rinci, seperti
mengucapkan kata-kata kotor, pelecehan seksual, atau memaki-maki pengunjuk rasa pun
dilarang.

Pasal 7 ayat (1) Protap Dalmas


Hal-hal yang dilarang dilakukan satuan dalmas:
1. bersikap arogan dan terpancing oleh perilaku massa
2. melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai dengan prosedur
3. membawa peralatan di luar peralatan dalmas
4. membawa senjata tajam dan peluru tajam
5. keluar dari ikatan satuan/formasi dan melakukan pengejaran massa secara perseorangan
6. mundur membelakangi massa pengunjuk rasa
7. mengucapkan kata-kata kotor, pelecehan seksual/perbuatan asusila, memaki-maki pengunjuk
rasa
8. melakukan perbuatan lainnya yang melanggar peraturan perundang-undangan

Anda mungkin juga menyukai