Infeksi merupakan interaksi antara mikroorganisme dengan pejamu rentan yang terjadi melalui
kode transmisi kuman yang tertentu (Pusat Informasi Penyakit Infeksi dan Penyakit Menular
Indonesia, 2005). Organisme yang paling umum yang menginvasi kulit ialah Streptococci,
Staphylococcus aureus, dan methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Infeksi kulit
memiliki dampak negatif pada kualitas hidup pasien. Pasien dengan diabetes dan
immunodefisiensi lebih rentan terhadap infeksi kulit yang disebabkan oleh bakteri gram negatif.
Infeksi kulit meningkat menjadi kondisi yang paling umum di antara anak-anak di rumah sakit
pada tahun 2009. Jumlah pasien yang dirawat inap disebabkan infeksi secara keseluruhan telah
meningkat 29% dari tahun 2000 sampai 2004(Napierkowski.D, 2013). Di United Kingdom (UK),
insidensi infeksi kulit pada anak-anak pada tahun 2005 adalah sekitar 75 per 100 000 (Spurling,
et al.2009). Pioderma ialah penyakit kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus, Streptococcus,
atau kedua-duanya (Djunda, 2007).
. Etiologi
Penyebabnya yang utama ialah Staphylococcus aureus dan Streptococcus Beta hemolyticus,
sedangkan Staphylococcus epidermidis merupakan penghuni normal di kulit dan jarang
menyebabkan infeksi (Djunda, 2007).
2.3.2. Faktor Predisposisi
1. Higiene yang kurang
2. Menurunnya daya tahan. Misalnya: kekurangan gizi, anemia, penyakit kronik, neoplasma
ganas dan diabetes melitus.
3. Telah ada penyakit lain di kulit, karena terjadi kerusakan di epidermis, maka fungsi kulit
sebagai pelindung akan terganggu sehingga memudahkan terjadinya infeksi (Djunda,2007).
Klasifikasi
1. Pioderma primer.
Infeksi terjadi pada kulit yang normal. Gambaran klinisnya tertentu, penyebabnyabiasanya satu
macam mikroorganisme.
2. Pioderma sekunder
Pada kulit yang telah ada penyakit kulit yang lain. Gambaran klinisnya tidak khas dan mengikuti
penyakit kulit yang telah ada. Jika penyakit kulit disertai pioderma sekunder disebut
impetigenisata. Contohnya: Dermatitis impetigenisata dan skabies impetigenisata. Tanda
impetigenisata ialah jika terdapat pus, pustul, bula purulen, krusta berwarna kuning kehijauan,
pembesaran kelenjar getah bening regional, leukositosis dan demam (Djunda, 2007).
Impetigo Bulosa
Impetigo Bulosa disebabkan oleh Staphylococcus aureus galur grup II tipe faga 71. Tiga lesi
kulit kulit yang disebabkan oleh stafilokok grup II ini adalah: a. impetigo bulosa, b. penyakit
eksfolatif Staphylococcal Scalded Skin syndrome (SSSS), dan c. erupsi non streptokokal
skarlatiniforme. Impetigo Bulosa terutama terdapat pada neonati dan anak yang lebih besar dan
ditandai oleh pembentukan vesikula yang cepat berubah menjadi bula yang lunak. Bula ini
terdapat pada kulit normal. Pada permulaaan bula berisi cairan kuning yang kemudian berubah
menjadi kuning pekat dan keruh. Bula tidak dikelilingi eriterm dan berbatas tegas. Kemudian
bula pecah dan mengempis serta membentuk krusta coklat tipis. Bula yang utuh mengandung
stafilokok. Gejala klinisnya tidak dipengaruhi keadaan umum. Tempat predileksi di ketiak, dada,
punggung. Sering bersama-sama miliaria. Terdapat pada anak dan orang dewasa. Kelainan kulit
berupa eritema, bula, dan bula hupapion. Kadang-kadang waktu penderita datang berobat,
vesikel/bula telah memecah sehingga yang tampak hanya koleret dan dasarnya masih
eritematosa. Pengobatan diberi salap antibiotik atau cairan antiseptik jika terdapat hanya
beberapa vesikel/bula yang dipecahkan (Djuanda, 2008).
Ektima
Ektima adalah suatu infeksi piogenik kulit yang ditandai pembentukan krusta yang menutupi
tukak (ulkus) dibawahnya. Ektima lebih sering terjadi pada anak-anak. Orang dewasa dapat juga
terkena. Faktor predisposisi untuk terjadinya ektima adalah trauma, malnutrisi, dan hygiene yang
jelek. Ektima sering timbul sebagai komplikasi penyakit kulit lain, seperti skabies dan ekzema.
Lesi ektima sangat infeksius. Oleh karena itu penderita merupakan reservoir infeksi untuk orang
lain. Penyebab ektima adalah streptokok beta hemolitik. Kadang-kadang pada lesi, ditemui juga
stafilokok koagulase positip yang merupakan bakteri sekunder. Manifestasi klinik: ektima mulai
sebagai pustule atau bula yang cepat membesar dan menjadi ulkus. Lesi berbentuk bulat atau
oval dengan diameter 1-3 cm, dikelilingi oleh haloeritem dan edema. Ektima ditutupi krusta tebal
yang melekat dan berwarna coklat tua. Jika krusta di angkat terdapat ulkus purulen, seperti
cangkir dengan pinggir menimbul. Biasanya hanya ada satu atau beberapa lesi. Penderita merasa
sedikit sakit dan pada perabaan terasa nyeri. Bila tidak diobati penyakit menjadi kronik dan lesi
bertambah banyak akibat autoinokulasi. Limfangitis dan limfadenitis dapat terjadi. Jika sembuh,
timbul jaringan parut. Pengobatan yang dilakukan jika terdapat ektima sedikit, krusta diangkat
lalu diolesi dengan salap antibiotik. Kalau banyak, juga diobati dengan antibiotik sistemik
(Djuanda, 2008).
Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas
tipe lambat terhadap bahan-bahan kimia yang kontak dengan kulit dan dapat mengaktivasi reaksi
alergi (National Occupational Health and Safety Commision, 2006).
2.1.2.2. Epidemiologi
Bila dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah penderita dermatitis kontak alergik
lebih sedikit, karena hanya mengenai orang yang kulitnya sangat peka (hipersensitif). Namun
sedikit sekali informasi mengenai prevalensi dermatitis ini di masyarakat (Djuanda, 2003).
Angka kejadian dermatitis kontak alergik yang terjadi akibat kontak dengan bahan-bahan
di tempat pekerjaan mencapai 25% dari seluruh dermatitis kontak akibat kerja (DKAK)
(Trihapsoro, 2003). Angka kejadian ini sebenarnya 20-50 kali lebih tinggi dari angka kejadian
yang dilaporkan (National Institute of Occupational Safety Hazards, 2006).
2.1.2.3. Etiologi
Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan kimia
dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan kimia sederhana.
Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya
penetrasi di kulit (Djuanda, 2003).
Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari tumbuh-tumbuhan. Sembilan
puluh persen dari populasi mengalami sensitisasi terhadap tanaman dari genus Toxicodendron,
misalnya poison ivy, poison oak dan poison sumac. Toxicodendron mengandung urushiol yaitu
suatu campuran dari highly antigenic 3- enta decyl cathecols. Bahan lainnya adalah nikel sulfat
(bahan-bahan logam), potassium dichromat (semen, pembersih alat -alat rumah tangga),
formaldehid, etilendiamin (cat rambut, obat-obatan), mercaptobenzotiazol (karet), tiuram
(fungisida) dan parafenilendiamin (cat rambut, bahan kimia fotografi) (Trihapsoro, 2003).
Patogenesis
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi adalah mengikuti
respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immune respons) atau reaksi
hipersensitivitas tipe IV. Reaksi hipersensitivitas di kulit timbul secara lambat (delayed
hypersensitivity), umumnya dalam waktu 24 jam setelah terpajan dengan alergen. Patogenesis
hipersensitivitas tipe IV ini sendiri dibagi menjadi dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase
elisitasi (Trihapsoro, 2003).
Sebelum seorang pertama kali menderita dermatitis kontak alergik, terlebih dahulu mendapatkan
perubahan spesifik reaktivitas pada kulitnya (Djuanda, 2003). Perubahan ini terjadi karena
adanya kontak dengan bahan kimia sederhana yang disebut hapten (alergen yang memilik berat
molekul kecil yang dapat menimbulkan reaksi antibodi tubuh jika terikat dengan protein untuk
membentuk antigen lengkap). Antigen ini kemudian berpenetrasi ke epidermis dan ditangkap dan
diproses oleh antigen presenting cells (APC), yaitu makrofag, dendrosit, dan sel langerhans
(Hogan, 2009; Crowe, 2009). Selanjutnya antigen ini dipresentasikan oleh APC ke sel T. Setelah
kontak dengan antigen yang telah diproses ini, sel T menuju ke kelenjar getah bening regional
untuk berdeferensiasi dan berproliferasi membentuk sel T efektor yang tersensitisasi secara
spesifik dan sel memori. Sel-sel ini kemudian tersebar melalui sirkulasi ke seluruh tubuh, juga
sistem limfoid, sehingga menyebabkan keadaan sensitivitas yang sama di seluruh kulit tubuh.
Fase saat kontak pertama alergen sampai kulit menjadi sensitif disebut fase induksi atau fase
sensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu (Djuanda, 2003).
Penderita pada umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan
dermatitis. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritema berbatas jelas, kemudian diikuti
edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan
eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan
mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak
iritan kronis; mungkin penyebabnya juga campuran (Djuanda, 2003).
Sifat alergen dapat menentukan gambaran klinisnya. Bahan kimia karet tertentu (phenyl-
isopropyl-p-phenylenediamine) bisa menyebabkan dermatitis purpura, dan derivatnya dapat
megakibatkan dermatitis granulomatosa. Dermatitis pigmentosa dapat disebabkan oleh parfum
dan kosmetik (Fregert, 1998).
2.1.2.6. Diagnosis
Untuk menetapkan bahan alergen penyebab dermatitis kontak alergik diperlukan anamnesis yang
teliti, riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisik dan uji tempel (Trihapsoro, 2003).
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit yang ditemukan.
Misalnya, ada kelainan kulit berupa lesi numular di sekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi,
likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah penderita memakai kancing
celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal dari
anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat
sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit yang
pernah dialami, serta penyakit kulit pada keluarganya (misalnya dermatitis atopik) (Djuanda,
2003).
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokalisasi dan pola kelainan
kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Misalnya, di ketiak oleh deodoran,
di pergelangan tangan oleh jam tangan, dan di kedua kaki oleh sepatu. Pemeriksaan hendaknya
dilakukan pada seluruh permukaan kulit, untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena
sebab-sebab endogen (Djuanda, 2003).
Pada Pemeriksaan fisik didapatkan adanya eritema, edema dan papula disusul dengan
pembentukan vesikel yang jika pecah akan membentuk dermatitis yang membasah. Lesi pada
umumnya timbul pada tempat kontak, tidak berbatas tegas dan dapat meluas ke daerah
sekitarnya. Karena beberapa bagian tubuh sangat mudah tersensitisasi dibandingkan bagian
tubuh yang lain maka predileksi regional akan sangat membantu penegakan diagnosis
(Trihapsoro, 2003).
Pelaksanaan uji tempel dilakukan setelah dermatitisnya sembuh (tenang), bila mungkin
setelah 3 minggu. Tempat melakukan uji tempel biasanya di punggung, dapat pula di bagian luar
lengan atas. Bahan uji diletakkan pada sepotong kain atau kertas, ditempelkan pada kulit yang
utuh, ditutup dengan bahan impermeabel, kemudian direkat dengan plester. Setelah 48 jam
dibuka. Reaksi dibaca setelah 48 jam (pada waktu dibuka), 72 jam dan atau 96 jam. Untuk bahan
tertentu bahkan baru memberi reaksi setelah satu minggu. Hasil positif dapat berupa eritema
dengan urtikaria sampai vesikel atau bula. Penting dibedakan, apakah reaksi karena alergi kontak
atau karena iritasi, sehubungan dengan konsentrasi bahan uji terlalu tinggi. Bila oleh karena
iritasi, reaksi akan menurun setelah 48 jam (reaksi tipe decresendo), sedangkan reaksi alergi
kontak makin meningkat (reaksi tipe crescendo) (Djuanda, 2003).
2.1.2.7. Diagnosis Banding
Kelainan kulit dermatitis kontak alergik sering tidak menunjukkan gambaran morfologik
yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis, dermatitis seboroik, atau
psoriasis. Diagnosis banding yang terutama ialah dengan dermatitus kontak iritan. Dalam
keadaan ini pemeriksaan uji tempel perlu dipertimbangkan untuk menentukan, apakah dermatitis
tersebut karena kontak alergi (Djuanda, 2003).
2.1.2.8. Pengobatan
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah upaya pencegahan
terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan menekan kelainan kulit yang timbul
(Brown University Health Services, 2003; Djuanda, 2003; Health and Safety Executive, 2009).
Kortikosteoroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi peradangan pada
dermatitis kontak alergi akut yang ditandai dengan eritema, edema, bula atau vesikel, serta
eksudatif. Umumnya kelainan kulit akan mereda setelah beberapa hari. Kelainan kulitnya cukup
dikompres dengan larutan garam faal.Untuk dermatitis kontak alergik yang ringan, atau
dermatitis akut yang telah mereda (setelah mendapat pengobatan kortikosteroid sistemik), cukup
diberikan kortikosteroid topikal (Djuanda, 2003).
2.1.2.9. Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan kontaktannya dapat
disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis, bila bersamaan dengan dermatitis oleh
faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis, atau psoriasis), atau pajanan dengan
bahan iritan yang tidak mungkin dihindari (Djuanda, 2003).
2.1. Definisi
Skabies yang mempunyai sinonim berupa the itch, gudik, budukan, atau gatal agogo
merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap Sarcoptes
scabiei var hominis, dan produknya 1.
2.2. Etiologi
Penyebab penyakit skabies sudah dikenal lebih dari 100 tahun yang lalu sebagai akibat
infestasi tungau yang dinamakan Acarus scabiei dan Sarcoptes scabiei varian hominis 3.
Sarcoptes scabiei termasuk kedalam filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo Ackarima,
superfamili Sarcoptes. Pada manusia disebut Sarcoptes scabiei var. hominis 1. Kutu ini khusus
menyerang dan menjalani siklus hidupnya dalam lapisan tanduk kulit manusia. Selain itu
terdapat S. scabiei yang lain, yakni varian animalis. Sarcoptes scabiei varian animalis
menyerang hewan seperti anjing, kucing, lembu, kelinci, ayam, itik, kambing, macan, beruang,
dan monyet. Sarcoptes scabiei varian hewan ini dapat menyerang manusia yang pekerjaannya
berhubungan erat dengan hewan tersebut diatas, misalnya peternak, gembala, dll. Gejalanya
ringan, sementara, gatal kurang, tidak timbul terowongan-terowongan, tidak ada infestasi, besar
dan lama serta biasanya akan sembuh sendiri bila menjauhi hewan tersebut dan mandi yang
bersih.2
Secara morfologik merupakan tungau kecil, berbentuk oval, punggungnya cembung dan
bagian perutnya rata. Tungau ini translusen, bewarna putih kotor dan tidak bermata. Ukurannya,
betina berkisar 330-450 mikron x 250-350 mikron, sedangkan jantan lebih kecil, yakni 200-240
mikron x 150-200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki di depan
sebagai alat untuk melekat, dan 2 pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut,
sedangkan pada yang jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan keempat berakhir
dengan alat perekat yang dapat dilihat pada gambar berikut 1.
Tungau skabies tidak dapat terbang namun dapat berpindah secara cepat saat kontak kulit
dengan penderita. Tungau ini dapat merayap dengan kecepatan 2,5 cm 1 inch per menit pada
permukaan kulit. Belum ada studi mengenai waktu kontak minimal untuk dapat terjangkit
penyakit skabies namun dikatakan jika ada riwayat kontak dengan penderita, maka terjadi
peningkatan resiko tertular penyakit skabies 5.
Yang menjadi penyebab utama gejala gejala pada skabies ini ialah Sarcoptes scabiei
betina. Bila tungau betina telah mengandung (hamil), ia membuat terowongan pada lapisan
tanduk kulit di mana ia meletakkan telurnya.2 Untuk lebih memahaminya, berikut siklus hidup
tungau ini. Setelah kopulasi (perkawinan) yang terjadi di atas kulit, yang jantan akan mati,
kadang-kadang masih dapat hidup beberapa hari dalam terowongan yang digali oleh yang betina.
Tungau betina yang telah dibuahi, menggali terowongan dalam stratum korneum, dengan
kecepatan 2-3 milimeter sehari dan sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai
mencapai jumlah 40 atau 50. Bentuk betina yang dibuahi ini dapat hidup sebulan lamanya. Telur
akan menetas, biasanya dalam waktu 3-5 hari dan menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki.
Larva ini dapat tinggal dalam terowongan tetapi dapat juga ke luar. Setelah 2-3 hari larva akan
menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina dengan 4 pasang kaki. Seluruh
siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8-12 hari tetapi
ada juga yang menyebutkan selama 8-17 hari 1. Studi lain menunjukkan bahwa lamanya siklus
hidup dari telur sampai dewasa untuk tungau jantan biasanya sekitar 10 hari dan untuk tungau
betina bisa sampai 30 hari 5. Berikut dipaparkan gambar siklus hidup skabies.
2.3. Patogenesis
Sarcoptes scabiei dapat menyebabkan reaksi kulit yang berbentuk eritem, papul atau
vesikel pada kulit dimana mereka berada. Timbulnya reaksi kulit disertai perasan gatal 3.
Masuknya S. scabiei ke dalam epidermis tidak segera memberikan gejala pruritus. Rasa
gatal timbul 1 bulan setelah infestasi primer serta adanya infestasi kedua sebagai manifestasi
respons imun terhadap tungau maupun sekret yang dihasilkan terowongan di bawah kulit.
Tungau skabies menginduksi antibodi IgE dan menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat.
Lesi-lesi di sekitar terowongan terinfiltrasi oleh sel-sel radang. Lesi biasanya berupa eksim atau
urtika, dengan pruritus yang intens, dan semua ini terkait dengan hipersensitivitas tipe cepat.
Pada kasus skabies yang lain, lesi dapat berupa urtikaria, nodul atau papul, dan ini dapat
berhubungan dengan respons imun kompleks berupa sensitisasi sel mast dengan antibodi IgE
dan respons seluler yang diinduksi oleh pelepasan sitokin dari sel Th2 dan/atau sel mast.5
Di samping lesi yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei secara langsung, dapat pula
3
terjadi lesi-lesi akibat garukan penderita sendiri . Dengan garukan dapat timbul erosi,
ekskoriasi, krusta, dan infeksi sekunder 1.
b. Skabies Incognito
Seperti semua bentuk dermatitis yang meradang, skabies juga memberi respons terhadap
pengobatan steroid baik topikal maupun sistemik. Pada kebanyakan kasus, skabies menjadi lebih
parah dan diagnosis menjadi lebih mudah ditegakkan. Tetapi pada beberapa kasus, pengobatan
steroid membuat diagnosis menjadi kabur, dan perjalanan penyakit menjadi kronis dan meluas
yang sulit dibedakan dengan bentuk ekzema generalisata. Penderita ini tetap infeksius, sehingga
diagnosis dapat ditegakkan dengan adanya anggota keluarga lainnya 3,7.
d. Skabies Norwegia
Skabies jenis ini sering disebut juga skabies berkrusta (crusted scabies) yang memiliki
karakteristik lesi berskuama tebal yang penuh dengan infestasi tungau. Istilah skabies Norwegia
merujuk pada Negara yang pertama mendeskripsikan kelainan ini yang kemudian diganti dengan
istilah skabies berkrusta. Bentuk lesi jenis skabies ini ditandai dengan dermatosis berkrusta pada
tangan dan kaki, pada kuku dan kepala. Penyakit ini dikaitkan dengan penderita yang memiliki
defek imunologis misalnya usia tua, debilitas, disabilitas pertumbuhan, contohnya seperti
sindrom Down, juga pada penderita yang mendapat terapi imunosupresan. Tidak seperti skabies
pada umumnya, penyakit ini dapat menular melalui kontak biasa. Masih belum jelas apakah hal
ini disebabkan jumlah tungau yang sangat banyak atau karena galur tungau yang berbeda. Studi
lain menunjukkan pula bahwa transmisi tidak langsung seperti lewat handuk dan pakaian paling
sering menyebabkan skabies berkrusta. Terapi yang dapat diberikan selain skabisid adalah terapi
suportif dan antibiotik 7.
e. Skabies Pada Penderita HIV/AIDS
Gejala skabies pada umumnya tergantung pada respons imun, karena itu tidak
mengherankan bahwa spektrum klinis skabies penderita HIV berbeda dengan penderita yang
memiliki status imun yang normal. Meskipun data yang ada masih sedikit, tampaknya ada
kecenderungan bahwa penderita dengan AIDS biasanya menderita bentuk skabies berkrusta
(crusted scabies). Selain itu, skabies pada penderita AIDS biasanya juga menyerang wajah, kulit,
dan kuku dimana hal ini jarang didapatkan pada penderita status imunologi yang normal 7.
Gambaran klinis yang tidak khas ini kadang membingungkan dengan diagnosis penyakit
Darier White atau keratosis folikularis, yaitu suatu penyakit dengan lesi popular yang berskuama
pada area seboroik termasuk badan, wajah, kulit kepala dan daerah lipatan. Skabies juga harus
dipikirkan sebagai diagnosis banding penderita AIDS dengan lesi psoriasiform, yang terkadang
didiagnosis sebagai ekzema. Pada penderita dengan status imunologi yang normal, pruritus
merupakan tanda khas, sedangkan pada beberapa penderita AIDS, pruritus tidak terlalu
dirasakan. Hal ini mungkin disebabkan status imun yang berkurang dan kondisi berhubungan
dengan konversi penyakit menjadi bentuk lesi berkrusta 7.
Seperti pada penderita umumnya, lesi skabies berkrusta pada penderita AIDS
mengandung tungau dalam jumlah besar dan sangat menular. Beberapa kasus penularan
nosokomial kepada penderita lain dan juga petugas kesehatan pernah dilaporkan. Pada penderita
AIDS, skabies berkrusta juga berhubungan dengan bakteremia, yang biasanya disebabkan oleh
S. aureus, dan Streptococcus grup A, Streptococcus grup lain bakteri gram negatif seperti
Enterobacter cloacae dan Pseudomonas aeroginosa. Sebagian ahli menyarankan pemberian
antibiotika profilaksis pada penderita AIDS dengan skabies untuk mencegah sepsis sedangkan
sebagian lain menganjurkan tindakan yang tepat ada dengan pengawasan ketat 7.
Pengobatan skabies berkrusta pada penderita AIDS memerlukan waktu yang lebih lama.
Pada beberapa aplikasi lindane selama 6 minggu dengan dosis seminggu sekali berhasil dengan
baik, seperti halnya aplikasi 2 atau 3 kali dengan interval 48 atau 72 jam. Permetrin juga pernah
dipakai pada beberapa kasus. Selain itu, secara bersamaan dianjurkan penggunaaan keratolitik
seperti asam salisilat 6%. Akibat tebalnya krusta, penetrasi topikal skabisid pada penderita AIDS
terkadang tidak begitu baik. Selain itu, jumlah tungau yang banyak juga membuat obat topikal
kurang efektif. Sehingga dianjurkan untuk penggunaan terapi skabisid orang yaitu ivermektin 7.
2.7. Terapi
Terapi skabies harus segera dilakukan setelah penegakan diagnosis. Penundaan terapi
dapat menyebabkan infestasi tungau yang semakin banyak dan kemungkinan peningkatan
keparahan gejala. Terapi skabies ini juga harus tuntas bagi penderita dan juga dilakukan bagi
keluarga penderita yang memiliki gejala yang sama karena skabies yang tidak terobati biasanya
memiliki hubungan dengan peningkatan kejadian pyoderma oleh Streptococcus pyogenes
Terdapat sejumlah terapi skabies yang efektif dan pemilihannya tergantung pada biaya dan
potensi toksiknya. Terkadang penderita menggunakan obat lebih lama dari waktu yang
dianjurkan, sehingga mengetahui kuantitas obat yang tepat untuk diresepkan akan dapat
mencegah timbulnya iritasi akibat pemakaian obat yang berlebihan, yang pada akhirnya
disalahartikan sebagai kegagalan terapi. Skabisid topikal sebaiknya dipakai di seluruh tubuh
kecuali wajah. Obat harus segera dibersihkan secara menyeluruh setelah periode waktu yang
dianjurkan. Pagi hari setelah terapi, pakaian, sprei, dan handuk dicuci menggunakan air panas.
Tungau akan mati pada suhu 130oC. Pasien dapat diberikan edukasi untuk meningkatkan
kebersihan lingkungan dan perorangan 7.
Penderita hendaknya diberikan pengertian bahwa meskipun penyakit telah diobati secara
adekuat, rasa gatal akan tetap ada sampai beberapa bulan. Seluruh anggota keluarga yang
memiliki gejala harus diterapi, termasuk pasangan seksual. Para ahli merekomendasikan terapi
untuk anggota keluarga bersifat simultan, karena angka kesembuhan setelah 10 minggu lebih
tinggi 7. Terapi topikal untuk skabies yang sering digunakan adalah sebagai berikut 1,10:
a. Sulfur presipitatum 2-5% dalam bentuk salep atau krim. Obat ini efektif jika dicampur dengan
asam salisilat 2%. Dioleskan di seluruh tubuh sesudah mandi dan dipakai 3-4 hari berturut-
turut.
b. Emulsi benzil benzoat 20-25% selama 24 jam.
c. Gama benzen heksaklorida (gameksan) 0,5 1% dalam salep atau krim dioleskan selama 24
jam.
d. Krotamiton 10% dalam bentuk salep atau krim dipakai selama 24 jam.
e. Krim permetrin 5% dapat memberikan hasil yang baik.
2.8. Prognosis
Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakaian obat, serta syarat pengobatan dan
menghilangkan faktor prediposisi (antara lain higiene), maka penyakit ini dapat diberantas dan
memberikan prognosis yang baik. Oleh karena manusia merupakan penjamu (hospes) definitif,
maka apabila tidak diobati dengan sempurna, Sarcoptes scabiei akan tetap hidup tumbuh pada
manusia 1,3.