077
Ind
p
ISBN 978-602-416-253-5
1. Judul I. HEALTH STATISTICS
ii
TIM PENYUSUN
Pengarah
dr. Untung Suseno Sutarjo, M.Kes
Sekretaris Jenderal Kemenkes RI
Ketua
Dr. drh. Didik Budijanto, M.Kes
Kepala Pusat Data dan Informasi
Editor
drg. Rudy Kurniawan, M.Kes
Yudianto, SKM, M.Si
Boga Hardhana, S.Si, MM
drg. Titi Aryati Soenardi, M.Kes
Anggota
Cecep Slamet Budiono, SKM, MSc.PH; Nuning Kurniasih, S.Si.Apt, Msi;
Evida V. Manullang, S.Si, MKM; Wardah, SKM, MKM; dr. Fetty Ismandari, M.Epid;
Marlina Indah Susanti, SKM, M.Epid; Supriyono Pangribowo, SKM, MKM;
Annisa Harpini, SKM, MKM; Khairani SKM, MKM; Ratri Aprianda, SKM, MKM;
Eka Satriani Sakti, SKM; dr. Yoeyoen Aryantin Indrayani; Reno Mardina, SKM;
Erwin Susetyoaji, SKM, M.Kes; Hira Ahmad Habibi, S.Sn; Dian Mulya Sari, S.Ds;
B. B. Sigit; Sinin; Hellena Maslinda
Kontributor
Kementerian Dalam Negeri; Badan Pusat Statistik; Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional; Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan;
Biro Perencanaan dan Anggaran; Biro Keuangan dan BMN; Biro Kepegawaian; Pusat Pembiayaan
dan Jaminan Kesehatan; Pusat Krisis Kesehatan; Pusat Kesehatan Haji; Setditjen. Kesehatan
Masyarakat; Dit. Kesehatan Keluarga; Dit. Kesehatan Lingkungan; Dit. Kesehatan Kerja dan
Olahraga; Dit. Gizi Masyarakat; Setditjen. Pencegahan dan Pengendalian Penyakit; Dit.
Surveilans dan Karantina Kesehatan; Dit. Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular
Langsung; Dit. Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik; Setditjen.
Pelayanan Kesehatan; Dit. Pelayanan Kesehatan Primer; Dit. Pelayanan Kesehatan Rujukan; Dit.
Pelayanan Kesehatan Tradisional; Setditjen. Kefarmasian dan Alat Kesehatan; Set. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; Set Badan Pengembangan dan Pemberdayaan
Sumber Daya Manusia Kesehatan; Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan Sumber Daya
Manusia kesehatan; Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan; Konsil Kedokteran
Indonesia; Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia
iii
KATA PENGANTAR
SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN KESEHATAN RI
Profil Kesehatan Indonesia 2016 ini menyajikan data dan informasi tentang Demografi,
Sarana Kesehatan, Tenaga Kesehatan, Pembiayaan Kesehatan, Kesehatan Keluarga, serta
Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan. Data dan informasi yang ditampilkan
pada Profil Kesehatan Indonesia dapat membantu dalam membandingkan capaian
pembangunan kesehatan antara satu provinsi dengan provinsi lainnya, mengukur capaian
pembangunan kesehatan di Indonesia, serta sebagai dasar untuk perencanaan program
pembangunan kesehatan selanjutnya.
Selain dalam bentuk cetakan, Buku Profil Kesehatan ini tersedia dalam bentuk soft copy
yang dapat diunduh melalui website www.kemkes.go.id. Semoga publikasi ini dapat berguna
bagi semua pihak, baik pemerintah, organisasi profesi, akademisi, sektor swasta, dan
masyarakat serta berkontribusi secara positif bagi pembangunan kesehatan di Indonesia.
Kritik dan saran kami harapkan sebagai penyempurnaan profil yang akan datang.
iv
KATA SAMBUTAN
MENTERI KESEHATAN RI
Saya menyambut gembira atas terbitnya Profil Kesehatan Indonesia 2016 sebagai publikasi
data dan informasi kesehatan yang komprehensif. Publikasi seperti ini diharapkan dapat
digunakan sebagai landasan dalam pengambilan keputusan dalam setiap proses manajemen
kesehatan. Profil Kesehatan ini juga merupakan pemenuhan hak terhadap akses informasi
dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab. Saya berharap
upaya peningkatan kualitas Profil Kesehatan Indonesia terus dilakukan, baik ketepatan
waktu, validitas, kelengkapan, dan konsistensi data, serta kecepatan penerbitan Profil
Kesehatan Indonesia ini sehingga pemanfaatannya akan lebih optimal. Pada kesempatan ini
pula saya mengajak kepada semua pihak untuk saling bersinergi dalam menyelenggarakan
pembangunan kesehatan guna tercapainya sasaran pembangunan kesehatan yang berbasis
data.
v
iv
Akhir kata saya sampaikan penghargaan dan terima kasih kepada semua pihak yang
berkontribusi, khususnya pengelola data di pusat, daerah, dan lintas sektor dalam
penyusunan Profil Kesehatan 2016 ini.
vi
DAFTAR GAMBAR
BAB I. DEMOGRAFI
GAMBAR 1.1 JUMLAH PENDUDUK INDONESIA (DALAM JUTAAN) MENURUT JENIS
KELAMIN TAHUN 2012 2016 .................................................................................... 2
GAMBAR 1.8 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN MENURUT PROVINSI TAHUN 2016 ....... 9
GAMBAR 1.12 ANGKA MELEK HURUF (DALAM PERSEN) MENURUT PROVINSI TAHUN
2016 ....................................................................................................................................... 15
GAMBAR 1.13 PERSENTASE ANGKA PARTISIPASI SEKOLAH TAHUN 2013 - 2016 ................ 16
vii
BAB II. SARANA KESEHATAN
GAMBAR 2.1 JUMLAH PUSKESMAS TAHUN 2012 2016 ........................................................... 26
GAMBAR 2.2 RASIO PUSKESMAS PER KECAMATAN DI INDONESIA TAHUN 2012 2016
................................................................................................................................................... 27
GAMBAR 2.4 JUMLAH PUSKESMAS RAWAT INAP DAN NON RAWAT INAP TAHUN
2012 2016 ........................................................................................................................ 29
GAMBAR 2.18 JUMLAH PESERTA DIDIK DIPLOMA III DAN IV POLTEKKES DI INDONESIA
TAHUN 2016 ....................................................................................................................... 46
viii
BAB III. SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN
GAMBAR 3.1 REKAPITULASI SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN DI INDONESIA
TAHUN 2016 ....................................................................................................................... 50
GAMBAR 3.10 JUMLAH DOKTER SPESIALIS DAN DOKTER GIGI SPESIALIS DI RUMAH
SAKIT DI INDONESIA TAHUN 2016 ............................................................................. 59
ix
GAMBAR 3.17 RASIO BIDAN TERHADAP 100.000 PENDUDUK DI INDONESIA TAHUN
2016 ....................................................................................................................................... 66
GAMBAR 3.18 JUMLAH DOKTER UMUM, DOKTER GIGI, DOKTER SPESIALIS, DAN
DOKTER GIGI SPESIALIS YANG MEMILIKI STR PER 31 DESEMBER 2016 ..... 67
GAMBAR 3.22 JUMLAH DOKTER SPESIALIS, DOKTER GIGI SPESIALIS, DOKTER UMUM,
DOKTER GIGI, DAN BIDAN SEBAGAI PEGAWAI TIDAK TETAP AKTIF
MENURUT KRITERIA WILAYAH DI INDONESIAPER 31 DESEMBER TAHUN
2016 ....................................................................................................................................... 72
x
GAMBAR 4.7 GAMBARAN JUMLAH PESERTA BPJS KESEHATAN MENURUT JENIS DAN
PERSENTASE PENAMBAHANNYA TAHUN 205 - 2016 ........................................ 89
GAMBAR 4.8 JUMLAH KEPESERTAAN BPJS KESEHATAN MENURUT PROVINSI PER 31
DESEMBER 2016 (DALAM RIBUAN) ........................................................................... 89
GAMBAR 4.9 PERKEMBANGAN JUMLAH FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
(FKTP) YANG BEKERJA SAMA DENGAN BPJS KESEHATAN TAHUN 2014 -
2016 ....................................................................................................................................... 90
GAMBAR 4.10 PROPORSI JENIS FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA (FKTP) YANG
BEKERJA SAMA DENGAN BPJS KESEHATAN PER 31 DESEMBER 2016 ......... 91
GAMBAR 4.11 GAMBARAN JUMLAH FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA (FKTP)
YANG BEKERJA SAMA DENGAN BPJS KESEHATAN DAN PERSENTASE
PENAMBAHANNYA MENURUT JENIS TAHUN 2014 - TAHUN 2016 .............. 91
GAMBAR 4.12 JUMLAH FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA (FKTP) YANG
BEKERJA SAMA DENGAN BPJS KESEHATAN MENURUT PROVINSI PER 31
DESEMBER 2016 ................................................................................................................ 92
GAMBAR 4.13 SEBARAN JUMLAH FKTP YANG BEKERJA SAMA DENGAN BPJS
KESEHATAN TAHUN 201 ................................................................................................ 93
GAMBAR 4.14 PERKEMBANGAN JUMLAH FASILITAS KESEHATAN RUJUKAN TINGKAT
LANJUTAN (FKRTL) YANG BEKERJA SAMA DENGAN BPJS KESEHATAN
TAHUN 2014 - 2016 ......................................................................................................... 93
GAMBAR 4.15 PROPORSI JENIS FASILITAS KESEHATAN RUJUKAN TINGKAT LANJUTAN
(FKRTL) YANG BEKERJA SAMA DENGAN BPJS KESEHATAN PER 31
DESEMBER 2016 ................................................................................................................ 94
GAMBAR 4.16 GAMBARAN JUMLAH FASILITAS KESEHATAN RUJUKAN TINGKAT LANJUT
(FKRTL) YANG BEKERJA SAMA DENGAN BPJS KESEHATAN DAN
PERSENTASE PENAMBAHANNYA MENURUT JENIS TAHUN 2014 - 2016 ... 94
GAMBAR 4.17 JUMLAH FASILITAS KESEHATAN RUJUKAN TINGKAT LANJUTAN (FKRTL)
YANG BEKERJASAMA DENGAN BPJS KESEHATAN PER 31 DESEMBER
2016 ....................................................................................................................................... 95
GAMBAR 4.18 SEBARAN JUMLAH FKRTL YANG BEKERJA SAMA DENGAN BPJS
KESEHATAN TAHUN 2016 ............................................................................................. 96
GAMBAR 4.19 ALOKASI ANGGARAN DAN REALISASI PENERIMA BANTUAN IURAN (PBI)
BPJS TAHUN 2014 2016 .............................................................................................. 96
xi
GAMBAR 5.4 CAKUPAN IMUNISASI TT5 PADA WANITA USIA SUBUR DI INDONESIA
TAHUN 2016 ....................................................................................................................... 108
GAMBAR 5.5 CAKUPAN IMUNISASI TT2+ PADA IBU HAMIL DI INDONESIA TAHUN 2016
................................................................................................................................................... 109
GAMBAR 5.7 CAKUPAN KUNJUNGAN NIFAS (KF3) DI INDONESIA TAHUN 2008 - 2016 .. 112
GAMBAR 5.12 CAKUPAN PESERTA KB AKTIF DI INDONESIA TAHUN 2016 .............................. 118
GAMBAR 5.13 PERSENTASE TEMPAT PELAYANAN KB DI INDONESIA TAHUN 2016 ........... 119
GAMBAR 5.15 TREN ANGKA KEMATIAN NEONATAL, BAYI, DAN BALITA TAHUN 1991
2015 ....................................................................................................................................... 124
GAMBAR 5.16 CAKUPAN KUNJUNGAN NEONATAL PERTAMA (KN1) MENURUT
PROVINSI TAHUN 2016 .................................................................................................. 126
GAMBAR 5.17 PERSENTASE CAKUPAN IMUNISASI CAMPAK PADA BAYI DI INDONESIA
TAHUN 2007 - 2016 ......................................................................................................... 128
GAMBAR 5.18 PERSENTASE CAKUPAN IMUNISASI CAMPAK PADA BAYI MENURUT
PROVINSI TAHUN 2016 .................................................................................................. 129
GAMBAR 5.19 CAKUPAN IMUNISASI DASAR LENGKAP PADA BAYI MENURUT PROVINSI
TAHUN 2016 ....................................................................................................................... 130
GAMBAR 5.20 ANGKA DROP OUT IMUNISASI DPT/HB1-CAMPAK PADA BAYI TAHUN
2007 - 2016 ......................................................................................................................... 131
GAMBAR 5.21 CAKUPAN DESA/KELURAHAN UCI MENURUT PROVINSI TAHUN 2016 ...... 132
xii
GAMBAR 5.23 CAKUPAN PUSKESMAS YANG MELAKSANAKAN PENJARINGAN
KESEHATAN PESERTA DIDIK KELAS VII DAN X MENURUT PROVINSI
TAHUN 2016 ....................................................................................................................... 135
GAMBAR 5.24 PERSENTASE PUSKESMAS YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN
KESEHATAN REMAJA MENURUT PROVINSI TAHUN 2016 ............................. 137
GAMBAR 5.25 CAKUPAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF PADA BAYI UMUR 0 5 BULAN
MENURUT PROVINSI TAHUN 2016 ........................................................................... 139
GAMBAR 5.26 CAKUPAN PEMBERIAN KAPSUL VITAMIN A PADA BALITA (6 59 BULAN)
MENURUT PROVINSI TAHUN 2016 ........................................................................... 140
GAMBAR 5.27 PERSENTASE GIZI BURUK DAN KURANG PADA BALITA 0 59 BULAN
MENURUT PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2016 .............................................. 142
GAMBAR 5.28 PERSENTASE GIZI BURUK DAN KURANG PADA BALITA 0 23 BULAN
MENURUT PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2016 .............................................. 143
GAMBAR 5.29 PERSENTASE PENDEK PADA BALITA 0 59 BULAN MENURUT PROVINSI
DI INDONESIA TAHUN 2016 ......................................................................................... 144
GAMBAR 5.30 PERSENTASE BALITA PENDEK DAN SANGAT PENDEK BERUMUR 0 23
BULAN MENURUT PROVINSIDI INDONESIA TAHUN 2016 ............................... 145
GAMBAR 5.31 PERSENTASE BALITA KURUS DAN SANGAT KURUS BERUMUR 0 59
BULAN MENURUT PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2016 .............................. 146
GAMBAR 5.32 PERSENTASE BALITA KURUS DAN SANGAT KURUS BERUMUR 0 23
BULAN MENURUT PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2016 .............................. 147
GAMBAR 6.6 JUMLAH KASUS HIV POSITIF DAN AIDS YANG DILAPORKAN DI
INDONESIA SAMPAI TAHUN 2016 ............................................................................ 159
GAMBAR 6.7 PROPORSI KASUS BARU HIV POSITIF DAN AIDS MENURUT JENIS
KELAMIN DI INDONESIA TAHUN 2016 ..................................................................... 160
xiii
GAMBAR 6.8 PERSENTASE KASUS BARU HIV POSITIF DAN AIDS MENURUT KELOMPOK
UMUR TAHUN 2016 ........................................................................................................ 161
GAMBAR 6.9 PERSENTASE KASUS BARU HIV POSITIF DAN AIDS MENURUT FAKTOR
RISIKO DI INDONESIA TAHUN 2016 ........................................................................... 161
GAMBAR 6.10 JUMLAH KASUS AIDS MENURUT PEKERJAAN DI INDONESIA TAHUN 2016
................................................................................................................................................... 162
GAMBAR 6.11 ANGKA KEMATIAN AKIBAT AIDS YANG DILAPORKAN TAHUN 2004 -
2015 ....................................................................................................................................... 163
GAMBAR 6.13 ANGKA PREVALENSI DAN ANGKA PENEMUAN KASUS BARU KUSTA
(NCDR) TAHUN 2011 - 2016 ........................................................................................ 166
GAMBAR 6.14 PETA ELIMINASI KUSTA PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2005 DAN 2016
................................................................................................................................................... 167
GAMBAR 6.15 ANGKA CACAT TINGKAT 2 PENDERITA KUSTA BARU PER 1.000.000
PENDUDUK TAHUN 2012-2016 ................................................................................. 168
GAMBAR 6.16 ANGKA CACAT TINGKAT 2 KUSTA PER 1.000.000 PENDUDUK PER
PROVINSI TAHUN 2016 ................................................................................................. 168
GAMBAR 6.17 PROPORSI KUSTA MB DAN PROPORSI KUSTA PADA ANAK TAHUN 2012 -
2016 ....................................................................................................................................... 169
GAMBAR 6.22 SEBARAN KASUS DIFTERI MENURUT PROVINSI TAHUN 2016 ........................ 175
GAMBAR 6.23 PROPORSI KASUS DIFTERI MENURUT KELOMPOK UMUR DI INDONESIA
TAHUN 2016 ....................................................................................................................... 175
GAMBAR 6.24 PENCAPAIAN NON POLIO AFP RATE PER 100.000 ANAK USIA < 15
TAHUN MENURUT PROVINSI TAHUN 2016 ........................................................... 176
GAMBAR 6.25 NON POLIO AFP RATE PER 100.000 ANAK < 15 TAHUN DI INDONESIA
TAHUN 2016 ....................................................................................................................... 177
GAMBAR 6.26 PENCAPAIAN SPESIMEN ADEKUAT MENURUT PROVINSI TAHUN 2016 ... 178
xiv
GAMBAR 6.27 PERSENTASE SPESIMEN ADEKUAT AFP MENURUT PROVINSI TAHUN
2016 ....................................................................................................................................... 178
GAMBAR 6.30 CASE FATALITY RATE DEMAM BERDARAH DENGUE MENURUT PROVINSI
TAHUN 2016 ....................................................................................................................... 181
GAMBAR 6.32 ANGKA BEBAS JENTIK DI INDONESIA TAHUN 2010-2015 ................................ 182
GAMBAR 6.33 JUMLAH KASUS CHIKUNGUNYA DI INDONESIA TAHUN 2010-2016 ............ 183
GAMBAR 6.34 JUMLAH KASUS KRONIS FILARIASIS DI INDONESIA TAHUN 2010 2016 ... 184
GAMBAR 6.35 CAKUPAN POPM FILARIASIS TAHUN 2010 2016 .............................................. 186
GAMBAR 6.37 ANGKA KESAKITAN MALARIA (ANNUAL PARACITE INCIDENCE /API) PER
1.000 PENDUDUK BERISIKO TAHUN 2009-2016 .................................................. 187
GAMBAR 6.41 SITUASI RABIES DI INDONESIA TAHUN 2009 2016 .......................................... 191
GAMBAR 6.42 SITUASI LEPTOSPIROSIS DI INDONESIA TAHUN 2009 2016 ......................... 193
GAMBAR 6.43 JUMLAH KASUS DAN KEMATIAN ANTRAKS DI INDONESIA TAHUN 2009-
2015 ....................................................................................................................................... 194
GAMBAR 6.44 JUMLAH KASUS, KEMATIAN, DAN CASE FATALITY RATE (CFR) FLU
BURUNG DI INDONESIA TAHUN 2005-2016 .......................................................... 195
xv
GAMBAR 6.47 PERSENTASE DESA/KELURAHAN YANG MELAKSANAKAN POSBINDU PTM
MENURUT PROVINSI S.D. TAHUN 2016 .................................................................. 201
GAMBAR 6.50 PERSENTASE PEMERIKSAAN IVA MENURUT PROVINSI S.D. TAHUN 2016
................................................................................................................................................... 204
GAMBAR 6.53 PERSENTASE KEJADIAN BENCANA ALAM DI INDONESIA TAHUN 2016 ...... 206
GAMBAR 6.55 PERSENTASE KEJADIAN BENCANA SOSIAL DI INDONESIA TAHUN 2016 .... 207
GAMBAR 6.56 JUMLAH KEJADIAN BENCANA MENURUT PROVINSI TAHUN 2016 .............. 208
GAMBAR 6.59 JEMAAH HAJI INDONESIA MENURUT KELOMPOK UMUR TAHUN 2016 .... 214
GAMBAR 7.4 PERSENTASE RUMAH TANGGA DENGAN AKSES AIR MINUM LAYAK
TAHUN 2016 ....................................................................................................................... 228
xvi
GAMBAR 7.5 PERSENTASE SARANA AIR MINUM YANG DILAKUKAN PENGAWASAN
TAHUN 2016 ....................................................................................................................... 229
GAMBAR 7.10 PERSENTASE RUMAH TANGGA YANG MENEMPATI RUMAH LAYAK HUNI
MENURUT PROVINSI TAHUN 2016 ........................................................................... 240
xvii
DAFTAR TABEL
TABEL 1.3 PENDUDUK USIA 15 TAHUN KEATAS MENURUT JENIS KEGIATAN UTAMA
2013 2016 (JUTA ORANG) ......................................................................................... 12
****
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I. DEMOGRAFI
Lampiran 1.1 Pembagian Wilayah Administrasi Pemerintahan Menurut Provinsi
Tahun 2015 .........................................................................................................................
Lampiran 1.2 Estimasi Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Rasio Jenis
Kelamin Menurut Provinsi Tahun 2016 ...................................................................
Lampiran 1.3 Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia Menurut Kelompok Umur dan
Jenis Kelamin Tahun 2016 ............................................................................................
Lampiran 1.4 Estimasi Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Luas Wilayah dan
Kepadatan Penduduk Menurut Provinsi Tahun 2016 ........................................
Lampiran 1.5 Estimasi Jumlah Lahir Hidup, Jumlah Bayi (0 Tahun), Jumlah Batita (0 - 2
Tahun), Jumlah Anak Balita (1 - 4 Tahun), dan Jumlah Balita (0 - 4 Tahun)
Menurut Provinsi Tahun 2016 .....................................................................................
Lampiran 1.6 Estimasi Jumlah Penduduk Menurut Penduduk Usia Muda, Usia
Produktif dan Usia Non Produktif Menurut Jenis Kelamin Provinsi Tahun
2016 .......................................................................................................................................
Lampiran 1.7 Estimasi Jumlah Wanita Usia Subur (15 - 49 Tahun), WUS Imunisasi (15 -
39 Tahun), Ibu Hamil, Ibu Bersalin Dan Ibu Nifas Menurut Provinsi
Tahun 2016 .........................................................................................................................
Lampiran 1.8 Estimasi Jumlah Anak Pra Sekolah, Jumlah Anak Usia Kelas 1
SD/Setingkat, dan Jumlah Anak Usia SD/Setingkat Menurut Provinsi
Tahun 2016 .........................................................................................................................
Lampiran 1.9 Jumlah Penduduk Miskin, Persentase Penduduk Miskin dan Garis
Kemiskinan Tahun 2000 2016 ...................................................................................
Lampiran 1.10 Garis Kemiskinan, Jumlah, dan Persentase Penduduk Miskin Menurut
Provinsi dan Tipe Daerah Tahun 2016 .....................................................................
Lampiran 1.11 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan
(P2) Menurut Provinsi Tahun 2016 ...........................................................................
Lampiran 1.12 Indeks Gini Menurut Provinsi Tahun 2012 2016 ..............................................
Lampiran 1.13 Persentase Rata-Rata Pengeluaran Perkapita Sebulan Menurut
Kelompok Barang dan daerah Tempat Tinggal Tahun 2016 ...........................
Lampiran 1.14 Persentase Rata-Rata Pengeluaran Bukan Makanan Perkapita Perbulan
Tahun 2016 .........................................................................................................................
Lampiran 1.15 Jumlah Pengangguran dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
Penduduk Usia 15 Tahun Keatas Menurut Provinsi Tahun 2016 ..................
xix
Lampiran 1.16 Rata-Rata Lama Sekolah Penduduk Berumur 15 tahun Keatas Menurut
Provinsi dan Jenis Kelamin Tahun 2016 ..................................................................
Lampiran 1.17 Angka Melek Huruf (Persentase Penduduk Umur 15 tahun Keatas Yang
Melek Huruf) Menurut Provinsi dan Jenis Kelamin Tahun 2012 2016 ....
Lampiran 1.18 Angka Partisipasi Sekolah (APS) Menurut Provinsi Tahun 2013 2016 ....
Lampiran 1.19 Angka Partisipasi Sekolah (APS) Menurut Provinsi dan Jenis Kelamin
Tahun 2016 .........................................................................................................................
Lampiran 1.20 Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan Menurut Provinsi Tahun 2013
2016 ....................................................................................................................................
Lampiran 1.21 Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan Menurut Provinsi dan Jenis
Kelamin Tahun 2016 ........................................................................................................
Lampiran 1.22 Angka Partisipasi Murni (APM) Pendidikan Menurut Provinsi Tahun
2013 2016 ........................................................................................................................
Lampiran 1.23 Indeks Pembangunan manusia dan Peringkat Tahun 2012 2016 .............
Lampiran 1.24 Indeks Pembangunan Manusia dan Komponen Menurut Provinsi Tahun
2015 2016 ........................................................................................................................
xx
Lampiran 2.11 Jumlah Tempat Tidur Di Rmah Sakit Menurut Kelas Perawatan Dan
Provinsi Tahun 2016 ........................................................................................................
Lampiran 2.12 Akreditasi Rumah Sakit Di Indonesia Tahun 2016 ...............................................
Lampiran 2.13 Jumlah Program Studi Diploma IV Institusi Politeknik Kesehatan
(POLTEKES) Sampai Dengan Desember Tahun 2016 ..........................................
Lampiran 2.14 Jumlah Peserta Didik Program Diploma IV Poltekkes Berdasarkan Jenis
Tenaga Kesehatan Tahun 2016 ...................................................................................
Lampiran 2.15 Jumlah Jurusan/Program Studi Diploma III Institusi Politeknik Kesehatan
(POLTEKKES) Menurut Jurusan Dan Provinsi Tahun 2016 ...............................
Lampiran 2.16 Jumlah Peserta Didik Program Diploma III Poltekkes Berdasarkan Jenis
Tenaga Kesehatan Tahun 2016 ...................................................................................
Lampiran 2.17 Jumlah Peserta Didik Diploma III Pltekkes Menurut Jenis Tenaga
Kesehatan Tahun Ajaran 2014/2015 Sampai Dengan 2016/2017 ...............
Lampiran 2.18 Jumlah Sarana Produksi Bidang Kefarmasian Dan Alat Kesehatan
Menurut Provinsi Tahun 2015 ....................................................................................
Lampiran 2.19 Jumlah Sarana Distribusi Bidang Kefarmasian Dan Alat Kesehatan
Menurut Provinsi Tahun 2015 Tahun 2015 ...........................................................
Lampiran 2.20 Persentase Puskesmas Yang Menyediakan Obat Dan Vaksin Menurut
Item Obat Triwulan IV Tahun 2016 ...........................................................................
Lampiran 2.21 Persentase Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota (IFK) Yang Melakukan
Manajemen Pengelolaan Obat Dan Vaksin Sesuai Standar Triwulan IV
Tahun 2016 .........................................................................................................................
xxi
Lampiran 3.7 Persentase Rumah Sakit Kabupaten/Kota Kelas C yang Memiliki 4
Dokter spesialis Dasar dan 3 Dokter Spesialis Penunjang Menurut
Provinsi Tahun 2016 ........................................................................................................
Lampiran 3.8 Jumlah Sumber Daya Manusia Kesehatan di daerah Tertinggal, dan
Tertular Menurut Jenis Tenaga dan Provinsi Tahun 2016 ...............................
Lampiran 3.9 Jumlah Dokter Umum, Dokter Spesialis, Dokter Gigi, dan Dokter Gigi
Spesialis yang Memiliki Surat Tanda Registrasi Menurut Provinsi Sampai
dengan 31 Desember Tahun 2016 ............................................................................
Lampiran 3.10 Jumlah Penerbitan Surat Tanda Registrasi Tenaga Kesehatan Menurut
Provinsi Tahun 2016 ........................................................................................................
Lampiran 3.11 Jumlah Penerbitan Surat Tanda Registrasi Baru Tenaga Kesehatan
Menurut Provinsi Tahun 2016 .....................................................................................
Lampiran 3.12 Jumlah Dokter Umum Sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT) Aktif Menurut
Kriteria Wilayah dan Provinsi Per 31 Desember 2016 .......................................
Lampiran 3.13 Jumlah Dokter Gigi Sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT) Aktif Menurut
Kriteria Wilayah dan Provinsi Per 31 Desember 2016 .......................................
Lampiran 3.14 Jumlah Dokter Spesialis dan Dokter Gigi Spesalis Sebagai Pegawai tidak
Tetap (PTT) Aktif Menurut Kriteria Wilayah dan Provinsi Per 31
Desember 2016 .................................................................................................................
Lampiran 3.15 Jumlah Bidan Sebagai Pegawai tidak Tetap (PTT) Aktif Menurut Kriteria
Wilayah dan Provinsi Per Desember 2016 .............................................................
Lampiran 3.16 Jumlah Peserta Penugasan Khusus ResidenDokter Spesialis Menurut
Provinsi Tahun 2016 ........................................................................................................
Lampiran 3.17 Jumlah Lulusan Program Studi Diploma III Poltekes Menurut Jenis
Jenis Tenaga Kesehatan Tahun 2014 2016 .........................................................
Lampiran 3.18 Jumlah Lulusan Program Studi Diploma III Poltekkes Menurut Jenis
Program Studi Tahun 2016 ...........................................................................................
Lampiran 3.19 Jumlah Lulusan Program Diploma IV Poltekkes Menurut Jenis tenaga
Kesehatan Tahun 2016 ...................................................................................................
Lampiran 3.20 Jumlah Dokter Peserta Internship Menurut Bulan Pemberangkatan dan
Provinsi Tahun 2016 ........................................................................................................
Lampiran 3.21 Jumlah Kabupaten/Kota dan Puskesmas Penempatan Nusantara sehat
Menurut Periode Sampai Dengan Tahun 2016 ....................................................
Lampiran 3.22 Penempatan Nusantara Sehat Menurut Kabupaten/Kota dan Puskesmas
Tahun 2016 .........................................................................................................................
Lampiran 3.23 Jumlah Penempatan Tenaga Kerja Kesehatan Pada Tim Nusantara Sehat
(Periode I Sampai Dengan Periode V) Menurut Provinsi Hingga Tahun
2016 .......................................................................................................................................
xxii
Lampiran 3.24 Permohonan Rekomendasi Pangajuan/Perpanjangan RPTKA dan Imta
Bagi SDMK WNA Tahun 2014 2016 .......................................................................
xxiii
Lampiran 5.9 Jumlah dan Persentase PUS Bukan Peserta KB (UNMET NEED) Tahun
2016 .......................................................................................................................................
Lampiran 5.10 Cakupan Imunisasi TT Pada Wanita Usia Subur Menurut Provinsi Tahun
2016 .......................................................................................................................................
Lampiran 5.11 Cakupan Imunisasi TT Pada Ibu Hamil Menurut Provinsi Tahun 2016 .......
Lampiran 5.12 Persentase Puskesmas Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan Santun
Lansia Menurut Provinsi Tahun 2016 .......................................................................
Lampiran 5.13 Cakupan Kunjungan Neonatal Menurut Provinsi Tahun 2016 .......................
Lampiran 5.14 Cakupan Imunisasi Dasar Pada Bayi Menurut Provinsi Tahun 2016 ...........
Lampiran 5.15 Drop Out Rate Cakupan Imunisasi DPT/HB (1)- Campak dan Cakupan
Imunisasi DPT/HB (1)- DPT/HB (3) Pada Bayi Menurut Provinsi Tahun
2014 2016 ........................................................................................................................
Lampiran 5.16 Cakupan Desa/Kelurahan Universal Child Imunization (UCI) Menurut
Provinsi Tahun 2014 2016 .........................................................................................
Lampiran 5.17 Cakupan Imunisasi Anak Sekolah Menurut Provinsi Tahun 2016 .................
Lampiran 5.18 Cakupan Puskesmas Yang Melaksanakan Penjaringan Kesehatan Peserta
Didik Kelas I Menurut Provinsi Tahun 2016 ...........................................................
Lampiran 5.19 Cakupan Puskesmas Yang Melaksanakan Penjaringan Kesehatan Peserta
Didik Kelas VII dan X Menurut Provinsi Tahun 2016 ..........................................
Lampiran 5.20 Persentase Puskesmas Menyelenggarakan Kegiatan Kesehatan Remaja
Menurut Provinsi Tahun 2016 ....................................................................................
Lampiran 5.21 Persentase Bayi Baru lahir Mendapat Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dan
Bayi Mendapat ASI Eksklusif Menurut Provinsi Tahun 2016 ..........................
Lampiran 5.22 Persentase Balita Umur 6 59 Bulan Mendapat Vitamin A dan Balita
Ditimbang 4 Kali Dalam Enam Bulan Terakhir Menurut Provinsi Tahun
2016 .......................................................................................................................................
Lampiran 5.23 Persentase Balita Usia 0 23 Bulan Menurut Status Gizi Dengan Indeks
BB/U Menurut Provinsi Tahun 2015 2016 ..........................................................
Lampiran 5.24 Persentase Balita Usia 0 59 Bulan Menurut Status Gizi Dengan Indeks
BB/U Menurut Provinsi Tahun 2015 2016 ..........................................................
Lampiran 5.25 Persentase Balita Usia 0 23 Bulan Menueur Status Gizi Dengan Indeks
TB/U Menurut Provinsi Tahun 2015 2016 ..........................................................
Lampiran 5.26 Persentase Balita Usia 0 59 Bulan Menurut Status Gizi Dengan Indeks
TB/U Menurut Provinsi Tahun 2015 2016 ..........................................................
Lampiran 5.27 Persentase Balita Usia 0 23 Bulan Menurut Status Gizi Dengan Indeks
BB/TB Menurut Provinsi Tahun 2015 2016 ........................................................
Lampiran 5.28 Persentase Balita Usia 0 59 Bulan Menurut Status Gizi Dengan Indeks
BB/TB Menurut Provinsi Tahun 2015 2016 ........................................................
xxiv
Lampiran 5.29 Persentase Balita Kurus dan Ibu Hamil Risiko KEK Mendapat Makanan
Tambahan Menurut Provinsi Tahun 2016 ..............................................................
Lampiran 5.30 Persentase Remaja Putri dan Ibu Hamil Mendapat Tablet Tambah Darah
(TTD) Menurut Provinsi Tahun 2016 ........................................................................
Lampiran 5.31 Persentase Ibu Hamil Menurut Konsumsi Energi, Protein, Karbohidrat,
dan Protein Terhadap Standar Kecukupan Gizi Tahun 2016 ..........................
Lampiran 5.32 Persentase Ibu Hamil Dengan Kecukupan Energi dan Protein Menurut
Provinsi Tahun 2016 ........................................................................................................
xxv
Lampiran 6.15 Jumlah Kasus Baru Kusta dan Case Detection Rate (CDR) Per 100.000
Penduduk Menurut Provinsi dan Jenis Kelamin Tahun 2016 .........................
Lampiran 6.16 Proporsi Kecacatan Kusta dan Kasus Kusta Pada Anak 0 14 Tahun
menurut Provinsi Tahun 2016 .....................................................................................
Lampiran 6.17 Jumlah Kasus Kusta Yang Tercatat dan Angka Prevalensi Per 10.000
Penduduk Menurut Provinsi dan Jenis Kelamin Tahun 2016 .........................
Lampiran 6.18 Jumlah Kasus Tetanus Neonatorium dan Faktor Risiko Menurut Provinsi
Tahun 2016 .........................................................................................................................
Lampiran 6.19 Jumlah Kasus, Meninggal, dan Incidence Rate (IR) Campak menurut
Provinsi Tahun 2016 ........................................................................................................
Lampiran 6.20 Jumlah Kasus Campak dan Kasus Campak Yang Divaksinasi Menurut
Kelompok Umur Dan Provinsi Tahun 2016 ............................................................
Lampiran 6.21 Frekuensi KLB dan Jumlah Kasus Pada KLB Campak Menurut Provinsi
Tahun 2016 .........................................................................................................................
Lampiran 6.22 KLB Campak Berdasarkan Konfirmasi Laboratorium Menurut Provinsi
Tahun 2016 .........................................................................................................................
Lampiran 6.23 Jumlah Kasus Difteri Menurut Kelompok Umur dan Provinsi Tahun 2016
...................................................................................................................................................
Lampiran 6.24 Non Polio AFP Rate Per 100.000 Penduduk Usia < 15 Tahun dan
Persentase Spesimen Adekuat Menurut Provinsi Tahun 2016 ......................
Lampiran 6.25 Jumlah Kasus, Angka Kesakitan Malaria Per 1.000 Penduduk, Jumlah
Kab/Kota Yang Mencapai Eliminasi Malaria dan API <1 Menurut Provinsi
Tahun 2016 .........................................................................................................................
Lampiran 6.26 Annual Parasite Insidence (API) Malaria Menurut Provinsi Tahun 2013
2016 .......................................................................................................................................
Lampiran 6.27 Jumlah Penderita, Incidence Rate Per 100.000 Penduduk, Kasus
Meninggal, dan Case Fatality Rate (%) Demam Berdarah Dengue
(DBD/DHF) Menurut Provinsi Tahun 2016 .............................................................
Lampiran 6.28 Jumlah Kabupaten/Kota Yang Terjangkit Demam Berdarah Dengue
Menurut Provinsi Tahun 2014 2016 .....................................................................
Lampiran 6.29 Situasi Rabies Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2014 2016 ..............
Lampiran 6.30 Jumlah Kasus, Meninggal, dan Case Fatality Rate (CFR) Leptospirosis
Menurut Provinsi Tahun 2014 2016 .....................................................................
Lampiran 6.31 Jumlah Kabupaten/Kota Yang Melakukan Pengendalian Vektor Terpadu
Menurut Provinsi Tahun 2016 ....................................................................................
Lampiran 6.32 Jumlah Puskesmas Yang Melaksanakan Pengendalian Terpadu (PANDU)
PTM Menurut Provinsi Sampai Dengan Tahun 2016 .........................................
Lampiran 6.33 Jumlah Desa Yang Melaksanakan Pos Pembinaan Terpadu (POSBINDU)
Menurut Provinsi Sampai Dengan Tahun 2016 ...................................................
xxvi
Lampiran 6.34 Jumlah Kabupaten/Kota Yang Mempunyai Peraturan Kawasan Tanpa
Rokok (KTR) dan Melaksanakannya Menurut Provinsi Sampai Dengan
Tahun 2016 ..........................................................................................................................
Lampiran 6.35 Rekapitulasi Deteksi Dini Kanker Serviks dan Payudara Menurut Provinsi
Sampai Dengan Tahun 2016 ........................................................................................
Lampiran 6.36 Jumlah Kejadian Bencana Menurut Jenis Bencana dan Bulan Kejadian
Tahun 2016 .........................................................................................................................
Lampiran 6.37 Jumlah dan Korban Bencana Menurut Jenis Bencana Tahun 2016 .............
Lampiran 6.38 Jumlah dan Korban Bencana Menurut Provinsi Tahun 2016 .........................
Lampiran 6.39 Capaian Pemeriksaan Pertama Jamaah haji Menurut Provinsi Tempat
Pemeriksaan Tahun 2016 ..............................................................................................
Lampiran 6.40 Penyakit Terbanyak Rawat Jalan Kloter Haji Tahun 2016 ................................
Lampiran 6.41 Jumlah Jemaah Haji Wafat di Arab Saudi Berdasarkan Penyebab
Penyakit Tahun 2016 ......................................................................................................
***
xxvii
DAFTAR ISI
BAB I DEMOGRAFI
A. KEADAAN PENDUDUK ................................................................................................................................... 1
B. KEADAAN EKONOMI ...................................................................................................................................... 7
C. KEADAAN PENDIDIKAN ................................................................................................................................ 13
D. INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) ............................................................................................ 18
xxviii
D. JUMLAH LULUSAN POLITEKNIK KESEHATAN ....................................................................................... 69
E. PENDAYAGUNAAN TENAGA KESEHATAN ............................................................................................ 71
1. Tenaga Kesehatan dengan Status Pegawai Tidak Tetap (PTT) ............................................ 71
2. Tenaga Kesehatan dengan Status Penugasan Khusus ............................................................ 72
3. Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing (TK-WNA) ................................................................. 77
xxix
2. Campak ...................................................................................................................................................... 171
3. Difteri ......................................................................................................................................................... 174
4. Polio dan AFP (Acute Flaccid Paralysis/Lumpuh Layu Akut) ................................................ 176
C. PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN ZOONOSIS .......................................................................................... 179
1. Demam Berdarah Dengue (DBD) .................................................................................................... 179
2. Chikungunya ............................................................................................................................................ 183
3. Filariasis ..................................................................................................................................................... 184
4. Malaria........................................................................................................................................................ 186
5. Rabies ......................................................................................................................................................... 190
6. Leptospirosis ........................................................................................................................................... 192
7. Antraks ...................................................................................................................................................... 193
8. Flu Burung ................................................................................................................................................. 194
9. Pengendalian Vektor Terpadu ......................................................................................................... 196
D. PENYAKIT TIDAK MENULAR ........................................................................................................................ 198
1. Meningkatkan Upaya Pengendalian PTM di Puskesmas ....................................................... 199
2. Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular (Posbindu PTM) ................................. 200
3. Pengendaliam Konsumsi Hasil Tembakau ................................................................................... 202
4. Deteksi Dini Kanker Serviks dan Payudara .................................................................................. 204
E. DAMPAK KESEHATAN AKIBAT BENCANA .............................................................................................. 205
F. PELAYANAN KESEHATAN HAJI ................................................................................................................... 211
1. Pemeriksaan Kesehatan Jemaah Haji ........................................................................................... 212
2. Kondisi Jemaah Haji Indonesia ........................................................................................................ 213
3. Rawat Jalan, Rujukan, dan Jemaah Wafat .................................................................................. 215
xxx
BAB I DEMOGRAFI
Secara geografis Indonesia terletak di antara dua benua, Benua Asia dan Australia, di
antara dua samudera, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Secara astronomis Indonesia
terletak antara 6o Lintang Utara sampai 11o Lintang Selatan dan 95o sampai 141o Bujur Timur
yang meliputi rangkaian pulau antara Sabang sampai Merauke. Data yang bersumber dari
Badan Informasi Geospasial, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia
dengan jumlah pulau sebanyak 13.466, luas daratan sebesar 1.922.570 km2 dan luas perairan
sebesar 3.257.483 km2.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 56 Tahun 2015 tentang Kode
dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan, secara administratif wilayah Indonesia terbagi
atas 34 provinsi, 514 kabupaten/kota (416 kabupaten dan 98 kota), 7.160 kecamatan, 8.430
kelurahan dan 74.754 desa. Jumlah provinsi bertambah satu dari tahun 2013, yaitu Provinsi
Kalimantan Utara. Provinsi Kalimantan Utara merupakan pemekaran dari Provinsi
Kalimantan Timur, dengan 5 kabupaten/kota yaitu Kabupaten Malinau, Bulungan, Tana
Tidung, Nunukan dan Kota Tarakan. Pembagian wilayah administrasi pemerintahan menurut
provinsi pada tahun 2016 dapat dilihat pada Lampiran 1.1.
Pada bab ini akan diulas mengenai keadaan penduduk, ekonomi, pendidikan dan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
A. KEADAAN PENDUDUK
Hasil estimasi jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2016 sebesar 258.704.986
jiwa, yang terdiri atas 129.988.690 jiwa penduduk laki-laki dan 128.716.296 jiwa penduduk
perempuan. Angka tersebut merupakan hasil perhitungan yang dilakukan oleh Pusat Data
dan Informasi Kementerian Kesehatan dengan bimbingan dari Badan Pusat Statistik (BPS)
dengan menggunakan metode geometrik. Metode ini menggunakan prinsip bahwa
parameter dasar demografi yaitu parameter fertilitas, mortalitas, dan migrasi per tahun
tumbuh konstan.
Gambar 1.1 memperlihatkan peningkatan jumlah penduduk di Indonesia tahun 2012
hingga 2016. Dari tahun 2012-2014 pertumbuhan penduduk per tahun terus meningkat, dari
3,59 juta per tahun menjadi 3,70 juta per tahun. Tahun 2016 pertumbuhan penduduk sedikit
Bab I DEMOGRAFI 1
menurun dari tahun 2015 menjadi 3,24 juta per tahun. Rasio jenis kelamin pada tahun 2016
adalah 101, yang artinya terdapat 101 laki-laki diantara 100 perempuan.
GAMBAR 1.1
JUMLAH PENDUDUK INDONESIA (DALAM JUTAAN) MENURUT JENIS KELAMIN
TAHUN 2012 2016
300,00 4,00
3,65 3,70
3,59
3,34 3,24 3,50
250,00
( Pertumbuhan Penduduk )
200,00
( Jumlah Penduduk )
2,50
150,00 2,00
125,06 126,92 128,37 129,99
123,22
1,50
100,00 121,55 123,36 125,20 127,09 128,72
1,00
50,00
0,50
- -
2012 2013 2014 2015 2016
Pada Gambar 1.2, berdasarkan hasil estimasi, jumlah penduduk paling banyak di
Indonesia terdapat di Provinsi Jawa Barat dengan jumlah penduduk sebesar 47.379.389 jiwa,
sedangkan jumlah penduduk paling sedikit terdapat di Kalimantan Utara dengan jumlah
penduduk sebesar 666.333 jiwa.
Sumber: Pusat Data dan Informasi, Kemenkes RI, 2016, Hasil Estimasi Data Penduduk Sasaran Program
Pembangunan Kesehatan Tahun 2015-2019
Dari gambar berikut ini tampak pulau Jawa merupakan wilayah yang memiliki
populasi penduduk Indonesia paling banyak. Penduduk yang paling sedikit berada di wilayah
timur Indonesia yakni Maluku dan Papua.
GAMBAR 1.3
PERSENTASE PERSEBARAN PENDUDUK INDONESIA TAHUN 2016
Lainnya 5,53
Papua 1,59
Maluku 1,12
Sulawesi 7,33 Jawa
Kalimantan
Sumatera
Sulawesi
Sumatera 21,69
Jawa 56,70 Maluku
Papua
Lainnya
Kalimantan 6,04
Sumber: Pusat Data dan Informasi, Kemenkes RI, 2016, Hasil Estimasi Data Penduduk Sasaran
Program Pembangunan Kesehatan Tahun 2015-2019
Bab I DEMOGRAFI 3
Struktur umur penduduk menurut jenis kelamin dapat digambarkan dalam bentuk
piramida penduduk. Berdasarkan estimasi jumlah penduduk, dapat disusun sebuah piramida
penduduk tahun 2016. Dasar piramida menunjukkan jumlah penduduk, badan piramida
bagian kiri menunjukkan banyaknya penduduk laki-laki dan badan piramida bagian kanan
menunjukkan jumlah penduduk perempuan. Piramida tersebut merupakan gambaran
struktur penduduk yang terdiri dari struktur penduduk muda, dewasa, dan tua. Struktur
penduduk ini menjadi dasar bagi kebijakan kependudukan, sosial, budaya, dan ekonomi.
GAMBAR 1.4
PIRAMIDA PENDUDUK INDONESIA TAHUN 2016
75+
70-74
65-69
60-64
55-59
50-54
45-49
40-44
35-39
30-34
25-29
20-24
15-19
10-14
5-9
0-4
15.000.000 10.000.000 5.000.000 0 5.000.000 10.000.000 15.000.000
Perempuan Laki-laki
Sumber: Pusat Data dan Informasi, Kemenkes RI, 2016, Hasil Estimasi Data Penduduk Sasaran
Program Pembangunan Kesehatan Tahun 2015-2019
Sumber: Pusat Data dan Informasi, Kemenkes RI, 2016, Hasil Estimasi Data Penduduk Sasaran
Program Pembangunan Kesehatan Tahun 2015-2019
Pada Gambar 1.5 terlihat bahwa kepadatan penduduk di Indonesia belum merata.
Kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Pulau Jawa yaitu Provinsi DKI Jakarta sebesar
15.478,12 jiwa per km2. Kepadatan penduduk terendah terdapat di Provinsi Kalimantan
Utara sebesar 8,83 jiwa per km2. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan kondisi tahun
sebelumnya. Dalam rangka pemerataan penduduk pemerintah melaksanakan beberapa cara,
antara lain: (1) transmigrasi atau program memindahkan penduduk dari tempat yang padat
ke tempat yang jarang penduduknya; (2) pemerataan lapangan kerja dengan
mengembangkan industri, terutama untuk provinsi yang berada di luar Pulau Jawa; (3)
pengendalian jumlah penduduk dengan menurunkan jumlah kelahiran melalui program
keluarga berencana atau penundaan umur pernikahan pertama.
Indikator penting terkait distribusi penduduk menurut umur yang sering digunakan
untuk mengetahui produktivitas penduduk yaitu Angka Beban Tanggungan (ABT) atau
Dependency Ratio. Angka Beban Tanggungan (ABT) adalah angka yang menyatakan
perbandingan antara banyaknya orang berumur tidak produktif (belum produktif/umur di
bawah 15 tahun dan tidak produktif lagi/umur 65 tahun ke atas) dengan yang berumur
produktif (umur 1564 tahun). Angka ini dapat digunakan sebagai indikator yang secara
kasar dapat menunjukkan keadaan ekonomi suatu negara. Semakin tinggi persentase
dependency ratio menunjukkan semakin tinggi beban yang harus ditanggung penduduk yang
produktif untuk membiayai hidup penduduk yang belum produktif dan tidak produktif lagi.
Sedangkan persentase dependency ratio yang semakin rendah menunjukkan semakin
rendahnya beban yang ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai penduduk
yang belum produktif dan tidak produktif lagi.
Bab I DEMOGRAFI 5
Angka Beban Tanggungan penduduk Indonesia pada tahun 2016 sebesar 48,36. Hal ini
berarti bahwa 100 penduduk Indonesia yang produktif, di samping menanggung dirinya
sendiri, juga menanggung 48 orang yang tidak produktif.
Penduduk sebagai determinan pembangunan perlu mendapat perhatian yang serius.
Program pembangunan, termasuk pembangunan di bidang kesehatan, harus didasarkan
pada dinamika kependudukan. Upaya pembangunan di bidang kesehatan tercermin dalam
program kesehatan melalui upaya promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif.
Pembangunan kesehatan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat. Pencapaian derajat kesehatan yang optimal bukan hanya menjadi
tanggung jawab dari sektor kesehatan saja, namun sektor terkait lainnya seperti sektor
pendidikan, ekonomi, sosial dan pemerintahan juga memiliki peranan yang cukup besar.
Kesehatan merupakan hak semua penduduk, sehingga ditetapkan target dan sasaran
pembangunan kesehatan. Tabel 1.1 memperlihatkan data penduduk sasaran program
pembangunan kesehatan tahun 2016 menurut jenis kelamin.
Data penduduk sasaran program pembangunan kesehatan diperlukan bagi pengelola
program terutama untuk menyusun perencanaan serta evaluasi hasil pencapaian upaya
kesehatan yang telah dilaksanakan. Data penduduk sasaran program pembangunan
kesehatan tahun 2016 menurut provinsi terdapat pada Lampiran 1.5, 1.6, 1.7 dan 1.8.
TABEL 1.1
PENDUDUK SASARAN PROGRAM PEMBANGUNAN KESEHATAN
DI INDONESIA TAHUN 2016
Kelompok Jenis Kelamin
No Sasaran Program Jumlah
Umur/Formula Laki-Laki Perempuan
1 Lahir Hidup - - - 4.867.813
2 Bayi 0 Tahun 2.435.848 2.334.596 4.770.444
3 Batita (di Bawah Tiga Tahun) 0 2 Tahun 7.314.055 7.019.460 14.333.515
4 Anak Balita 1 4 Tahun 9.785.782 9.404.084 19.189.866
5 Balita (di Bawah Lima Tahun) 0 4 Tahun 12.221.630 11.738.680 23.960.310
6 Pra Sekolah 5 6 Tahun 4.911.455 4.691.718 9.603.173
7 Anak Usia Kelas 1 SD/Setingkat 7 Tahun 2.397.183 2.279.486 4.676.669
8 Anak Usia SD/Setingkat 7 12 Tahun 14.141.268 13.433.460 27.574.728
9 Penduduk Usia Muda < 15 Tahun 35.863.014 34.233.847 70.096.861
10 Penduduk Usia Produktif 15 64 Tahun 87.650.697 86.724.311 174.375.008
11 Penduduk Usia Non Produktif 65 Tahun 6.474.979 7.758.138 14.233.117
12 Penduduk Usia Lanjut 60 Tahun 10.722.224 11.908.658 22.630.882
13 Penduduk Usia Lanjut Risiko Tinggi 70 Tahun 3.694.220 4.796.136 8.490.356
14 Wanita Usia Subur (WUS) 15 49 Tahun - 69.739.202 69.739.202
15 Wanita Usia Subur Imunisasi 15 39 Tahun - 52.172.843 52.172.843
16 Ibu Hamil 1,1 X lahir hidup - 5.354.594 5.354.594
17 Ibu Bersalin/Nifas 1,05 X lahir hidup - 5.111.204 5.111.204
Sumber: Pusat Data dan Informasi, Kemenkes RI, 2016, Hasil Estimasi Data Penduduk Sasaran
Program Pembangunan Kesehatan Tahun 2015-2019
GAMBAR 1.6
PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TAHUN 2013 2016
(DALAM PERSEN)
6
5 5,56
5,01 4,88 5,02
4
0
2013 2014 2015 2016
Bab I DEMOGRAFI 7
dipahami sebagai ketidakmampuan ekonomi penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasar
makanan maupun non makanan yang diukur dari pengeluaran. Distribusi pendapatan
merupakan ukuran kemiskinan relatif. Namun karena data pendapatan sulit diperoleh,
pengukuran distribusi pendapatan menggunakan pendekatan data pengeluaran.
Pengukuran kemiskinan dilakukan dengan cara menetapkan nilai standar kebutuhan
minimum, baik untuk makanan maupun untuk non makanan yang harus dipenuhi seseorang
untuk hidup secara layak. Nilai standar kebutuhan minimum tersebut digunakan sebagai
garis pembatas untuk memisahkan antara penduduk miskin dan tidak miskin. Garis
pembatas tersebut yang sering disebut dengan garis kemiskinan. Penduduk dengan tingkat
pengeluaran per kapita per bulan kurang dari atau di bawah garis kemiskinan dikategorikan
miskin. Gambar 1.7 menunjukkan peningkatan garis kemiskinan di Indonesia tahun 2012-
2016. Batas kemiskinan atau tingkat pengeluaran per kapita per bulan tahun 2016 sebesar
Rp 361.990,-
GAMBAR 1.7
GARIS KEMISKINAN DI INDONESIA
TAHUN 2012 2016
400.000 361.990
344.809
350.000 312.328
292.951
300.000 259.520
Rp/kapita/bulan
250.000
200.000
150.000
100.000
50.000
-
2012 2013 2014 2015 2016
BPS mengukur kemiskinan pada bulan Maret dan September. Kondisi September
2016 jumlah penduduk miskin di Indonesia sebesar 27,76 juta orang (10,70%) berkurang 0,24
juta orang dibandingkan kondisi Maret 2016 yang sebesar 28 juta orang (10,86%). Beberapa
faktor yang mempengaruhi kondisi Maret-September 2016 yaitu laju inflasi umum
cenderung rendah, perbaikan penghasilan petani, dan harga eceran beberapa komoditas
bahan pokok mengalami penurunan.
Jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan mengalami peningkatan sedangkan
jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan mengalami penurunan. Selama periode Maret
2016-September 2016, penduduk miskin di daerah perkotaan meningkat sekitar 0,15 juta
orang, sementara di daerah perdesaan menurun sekitar 0,39 juta orang.
GAMBAR 1.8
PERSENTASE PENDUDUK MISKIN MENURUT PROVINSI TAHUN 2016
Indonesia 10,70
Papua 28,40
Papua Barat 24,88
Nusa Tenggara Timur 22,01
Maluku 19,26
Gorontalo 17,63
Bengkulu 17,03
Aceh 16,43
Nusa Tenggara Barat 16,02
Sulawesi Tengah 14,09
Lampung 13,86
Sumatera Selatan 13,39
Jawa Tengah 13,19
DI Yogyakarta 13,10
Sulawesi Tenggara 12,77
Jawa Timur 11,85
Sulawesi Barat 11,19
Sumatera Utara 10,27
Sulawesi Selatan 9,24
Jawa Barat 8,77
Jambi 8,37
Sulawesi Utara 8,20
Kalimantan Barat 8,00
Riau 7,67
Sumatera Barat 7,14
Kalimantan Utara 6,99
Maluku Utara 6,41
Kalimantan Timur 6,00
Kep. Riau 5,84
Kalimantan Tengah 5,36
Banten 5,36
Kep. Bangka Belitung 5,04
Kalimantan Selatan 4,52
Bali 4,15
DKI Jakarta 3,75
0 5 10 15 20 25 30
Persebaran jumlah dan proporsi penduduk miskin berdasarkan kelompok pulau tahun
2013-2016 pada tabel di bawah ini memperlihatkan persentase penduduk miskin terbesar di
Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Permasalahan kemiskinan merupakan permasalahan yang
kompleks dan bersifat multi dimensional, oleh karena itu, upaya pengentasan kemiskinan
harus dilakukan secara komprehensif, mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat, dan
dilaksanakan secara terpadu.
Bab I DEMOGRAFI 9
TABEL 1.2
PERSEBARAN JUMLAH DAN PROPORSI PENDUDUK MISKIN
MENURUT KELOMPOK BESAR PULAU DI INDONESIA TAHUN 2013 2016
2013 2014 2015 2016
No Kelompok Pulau Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
% % % %
(ribu) (ribu) (ribu) (ribu)
1 Sumatera 6.190,1 21,7 6.070,4 21,9 6.309,1 22,1 6.214,9 22,4
Maluku dan
6 1.700,5 6,0 1.481,4 5,3 1.524,2 5,3 1.546,7 5,6
Papua
Indonesia 28.553,9 100,0 27.727,8 100,0 28.513,6 100,0 27.764,3 100,0
GAMBAR 1.9
PERSENTASE RATA-RATA PENGELUARAN PER KAPITA PER BULAN
MENURUT KELOMPOK BARANG
TAHUN 2016
Makanan
Makanan dan Minuman Jadi 14,14
Padi-padian 6,82
Rokok 6,72
Sayur-sayuran 3,65
Ikan/udang/cumi/kerang 3,55
Telur dan Susu 2,96
Daging 2,17
Buah-buahan 2,04
Bahan minuman 1,69
Minyak dan kelapa 1,34
Kacang-kacangan 1,09
Konsumsi lainnya 1,00
Bumbu-bumbuan 0,97
Umbi-umbian 0,53
Bukan Makanan
Perumahan dan fasilitas rumah tangga 26,60
Aneka Barang dan jasa 12,91
Barang tahan lama 4,75
Pakaian, alas kaki dan tutup kepala 3,05
Pajak, pungutan dan asuransi 2,28
Keperluan pesta dan upacara/kenduri 1,72
0 5 10 15 20 25 30
Sumber: Pengeluaran Untuk konsumsi Penduduk Indonesia, Badan Pusat Statistik, 2016
Susenas Maret, 2016
Bab I DEMOGRAFI 11
pekerjaan/putus asa). Sedangkan kelompok bukan angkatan kerja terdiri dari penduduk
sedang bersekolah, mengurus rumah tangga dan lainnya.
Pada Tabel 1.3 menunjukkan keadaan ketenagakerjaan di Indonesia pada tahun
2013-2016. Pada periode Agustus 2013 hingga Agustus 2016 terjadi peningkatan jumlah
angkatan kerja dan penduduk yang bekerja. Sedangkan jumlah pengangguran terbuka
berfluktuasi yang dapat dilihat pada Tabel 1.3. Jumlah angkatan kerja di Indonesia pada
Agustus 2013 sebesar 120,17 juta orang, meningkat menjadi 125,44 juta orang pada Agustus
2016. Namun terjadi penurunan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dari 66,77% pada
Agustus 2013 menjadi 66,34% pada Agustus 2016. TPAK merupakan persentase jumlah
angkatan kerja terhadap jumlah penduduk usia kerja. Indikator ini mengindikasikan besarnya
penduduk usia kerja yang aktif secara ekonomi di suatu wilayah dan menunjukkan besaran
relatif suplai tenaga kerja yang tersedia untuk produksi barang dan jasa dalam suatu
perekonomian.
TABEL 1.3
PENDUDUK USIA 15 TAHUN KE ATAS MENURUT JENIS KEGIATAN UTAMA 2013-2016
(JUTA ORANG)
2013 2014 2015 2016
Angkatan Kerja
Februari Agustus Februari Agustus Februari Agustus Februari Agustus
Jumlah Angkatan
123,17 120,17 125,32 121,87 128,30 122,38 127,67 125,44
Kerja
Tingkat
Partisipasi
69,15 66,77 69,17 66,6 69,50 65,76 68,06 66,34
Angkatan Kerja
(%)
Jumlah penduduk
115,93 112,76 118,17 114,63 120,85 114,82 120,65 118,41
yang bekerja
Jumlah
pengangguran 7,25 7,41 7,15 7,24 7,45 7,56 7,02 7,03
terbuka
Tingkat
Pengangguran 5,88 6,17 5,7 5,94 5,81 6,18 5,50 5,61
Terbuka (%)
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2016
Indonesia 5,61
Banten 8,92
Jawa Barat 8,89
Kalimantan Timur 7,95
Kepulauan Riau 7,69
Aceh 7,57
Papua Barat 7,46
Riau 7,43
Maluku 7,05
Sulawesi Utara 6,18
DKI Jakarta 6,12
Sumatera Utara 5,84
Kalimantan Selatan 5,45
Kalimantan Utara 5,23
Sumatera Barat 5,09
Kalimantan Tengah 4,82
Sulawesi Selatan 4,80
Jawa Tengah 4,63
Lampung 4,62
Sumatera Selatan 4,31
Kalimantan Barat 4,23
Jawa Timur 4,21
Maluku Utara 4,01
Jambi 4,00
Nusa Tenggara Barat 3,94
Papua 3,35
Sulawesi Barat 3,33
Bengkulu 3,30
Sulawesi Tengah 3,29
Nusa Tenggara Timur 3,25
Gorontalo 2,76
Sulawesi Tenggara 2,72
DI Yogyakarta 2,72
Kepulauan Bangka Belitung 2,60
Bali 1,89
0 2 4 6 8 10
C. KEADAAN PENDIDIKAN
Komponen pengukuran tingkat pembangunan manusia suatu negara yang cukup
berpengaruh yaitu komponen pendidikan. Perubahan yang terjadi secara terus menerus
Bab I DEMOGRAFI 13
pada perilaku masyarakat disebabkan oleh semakin meningkatnya tingkat pendidikan.
Pendidikan juga merupakan salah satu syarat mutlak pencapaian tujuan pembangunan
manusia, dan merupakan target pembangunan sekaligus sarana pembangunan nasional.
Pendidikan masyarakat dapat diukur dengan berbagai indikator, salah satu indikator yang
secara sensitif dapat mengukur tingkat pendidikan masyarakat yaitu rata-rata lama sekolah.
GAMBAR 1.11
RATA-RATA LAMA SEKOLAH PENDUDUK BERUMUR 15 TAHUN KE ATAS (DALAM TAHUN)
TAHUN 2012 - 2016
9
8
8,25 8,32 8,42
8,03 8,09
7
0
2012 2013 2014 2015 2016
GAMBAR 1.12
ANGKA MELEK HURUF (DALAM PERSEN) MENURUT PROVINSI TAHUN 2016
Indonesia 95,38
Pada Gambar 1.12, AMH secara nasional tahun 2016 sebesar 95,38%. Provinsi
Sulawesi Utara memiliki AMH tertinggi (99,79%) dan terendah di Provinsi Papua (71,02%).
Secara umum di 34 provinsi, AMH laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Disparitas AMH
antara laki-laki dan perempuan berkisar antara 0,10% sampai dengan 12,12%, terendah di
Bab I DEMOGRAFI 15
Provinsi Gorontalo dan tertinggi di Provinsi Papua. Rincian AMH (persentase penduduk
berumur 15 tahun ke atas yang melek huruf) menurut provinsi dan jenis kelamin dapat
dilihat pada Lampiran 1.17.
Indikator angka partisipasi merupakan indikator pendidikan yang mengukur tingkat
partisipasi sekolah penduduk menurut kelompok umur sekolah atau jenjang pendidikan
tertentu. Ada tiga jenis indikator yang memberikan gambaran mengenai partisipasi sekolah
yaitu Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Kasar (APK), dan Angka Partisipasi
Murni (APM).
APS merupakan persentase jumlah murid kelompok usia sekolah tertentu yang
bersekolah pada berbagai jenjang pendidikan dibagi dengan penduduk kelompok usia
sekolah yang sesuai. Indikator ini digunakan untuk mengetahui banyaknya anak usia sekolah
yang masih bersekolah di semua jenjang pendidikan. APS secara umum dikategorikan
menjadi 3 kelompok umur, yaitu 7-12 tahun mewakili umur setingkat SD, 13-15 tahun
mewakili umur setingkat SMP/MTs, 16-18 tahun mewakili umur setingkat SMA/SMK dan 19-
24 tahun mewakili umur setingkat perguruan tinggi. Semakin tinggi APS berarti semakin
banyak anak usia sekolah yang bersekolah.
GAMBAR 1.13
PERSENTASE ANGKA PARTISIPASI SEKOLAH TAHUN 2013 2016
120
80
70,31 70,61 70,83 7-12 tahun
63,84
60 13-15 tahun
16-18 tahun
40 19-24 tahun
22,82 22,95 23,93
20,14
20
0
2013 2014 2015 2016
Gambar 1.13 memperlihatkan APS tahun 2013 sampai dengan tahun 2016 untuk tiap
kelompok umur sekolah cenderung meningkat. Semakin tinggi kelompok umur maka tingkat
partisipasi sekolahnya semakin kecil, hal ini dimungkinkan pada kelompok umur 16-18 tahun
dan 19-24 tahun telah masuk dalam angkatan kerja dan bekerja. Peningkatan terbesar
terjadi pada kelompok umur 16-18 tahun atau kelompok umur SMA/sederajat, hal ini sejalan
dengan program wajib belajar 12 tahun. Peningkatan APS pada kelompok umur 7-12 tahun
dan 13-15 tahun juga terjadi dan sejalan dengan program wajib belajar 9 tahun yang
mendahului program wajib belajar 12 tahun. Rincian APS menurut provinsi dan kelompok
GAMBAR 1.14
PERSENTASE ANGKA PARTISIPASI KASAR PENDIDIKAN TAHUN 2013 2016
120 108,87 110,50 109,31
107,71
40
20
0
2013 2014 2015 2016
Bab I DEMOGRAFI 17
Indikator pendidikan lainnya yaitu Angka Partisipasi Murni (APM). APM merupakan
perbandingan antara jumlah siswa kelompok usia sekolah pada jenjang pendidikan tertentu
dengan penduduk usia sekolah yang sesuai dengan usianya, dinyatakan dalam persen.
Berbeda dengan APK, APM menggunakan batasan kelompok umur. Indikator APM ini
digunakan untuk mengetahui banyaknya anak usia sekolah yang bersekolah pada suatu
jenjang pendidikan yang sesuai dengan usianya. Semakin tinggi APM menandakan semakin
banyak anak usia sekolah yang bersekolah di suatu daerah. Jika dibandingkan APK, APM
merupakan indikator pendidikan yang lebih baik karena memperhitungkan juga partisipasi
penduduk kelompok usia standar di jenjang pendidikan yang sesuai dengan standar tersebut.
Pada Gambar 1.15, tahun 2016 nilai APM untuk SD/sederajat sebesar 96,82%,
SMP/sederajat sebesar 77,95% dan SMA/sederajat sebesar 59,95%. Kondisi ini terus
meningkat pada semua jenjang pendidikan dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Nilai
APM lebih mencerminkan kondisi partisipasi sekolah dibandingkan nilai APK. Rincian APM
menurut provinsi tahun 2013-2016 terdapat pada Lampiran 1.22.
GAMBAR 1.15
PERSENTASE ANGKA PARTISIPASI MURNI PENDIDIKAN TAHUN 2013 2016
120
40
20
0
2013 2014 2015 2016
GAMBAR 1.16
INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) INDONESIA TAHUN 1996 - 2016
80 73,81
71,17 71,76 72,27 72,77 73,29
67,7 68,69 69,57 70,08 70,59
70 64,3 65,8
68,9 69,55 70,18
60 66,53 67,09 67,7 68,31
Target
50 APBN: 70,1
69,40
40
30
20
10
0
1996 1999 2002 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Pertumbuhan IPM yang tinggi pada tahun 2016 didorong oleh peningkatan semua
indeks komponen pembentuknya. Indeks pendidikan merupakan komponen IPM yang
mengalami akselerasi paling tinggi. Pada tahun 2016, indeks pendidikan mencapai 61,83 atau
meningkat 0,83 poin dari tahun sebelumnya. Demikian halnya dengan indeks standar hidup
Bab I DEMOGRAFI 19
layak yang mengalami peningkatan 0,80 poin. Sementara itu indeks kesehatan yang diwakili
oleh angka harapan hidup saat lahir peningkatannya yang tidak terlalu signifikan.
GAMBAR 1.17
KOMPONEN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA INDONESIA TAHUN 2015 - 2016
90
78,12 78,31
80
70,59 71,39
70
61,00 61,83
60
50
40
30
20
10
0
2015 2016 2015 2016 2015 2016
Indeks Kesehatan Indeks Pendidikan Indeks Standar Hidup Layak
Sumber: Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi Juli 2017, Badan Pusat Statistik, 2017
GAMBAR 1.18
INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA MENURUT PROVINSI TAHUN 2016
Indonesia 70,18
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
***
Bab I DEMOGRAFI 21
BAB II SARANA KESEHATAN
GAMBAR 2.1
JUMLAH PUSKESMAS TAHUN 2012 2016
10.000
7.000
6.000
5.000
4.000
3.000
2.000
1.000
0
2012 2013 2014 2015 2016
Sejak tahun 2012 jumlah Puskesmas semakin meningkat, dari 9.510 unit menjadi
9.767 unit pada tahun 2016. Namun demikian, peningkatan jumlah Puskesmas tidak secara
langsung menggambarkan pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan primer di suatu
wilayah. Pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan primer dapat dilihat secara umum dari
rasio Puskesmas terhadap kecamatan. Rasio Puskesmas terhadap kecamatan pada tahun
2016 sebesar 1,36. Hal ini menggambarkan bahwa rasio ideal Puskesmas terhadap
kecamatan yaitu minimal 1 Puskesmas di 1 kecamatan, secara nasional sudah terpenuhi,
tetapi perlu diperhatikan distribusi dari Puskesmas tersebut di seluruh kecamatan.
Indonesia 1,36
Provinsi dengan rasio Puskesmas terhadap kecamatan tertinggi adalah Provinsi DKI
Jakarta sebesar 7,73 Puskesmas per kecamatan, sedangkan Papua Barat memiliki rasio
terendah sebesar 0,69 Puskesmas per kecamatan. Rasio Puskesmas per kecamatan tersebut
dapat menggambarkan kondisi aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan
primer. Aksesibilitas masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya kondisi
geografis, luas wilayah, ketersediaan sarana dan prasarana dasar, dan kemajuan suatu
daerah. Sebagai contoh, dua provinsi dengan rasio terendah seluruhnya berada di wilayah
timur yaitu Papua Barat dan Papua. Hal ini dapat disebabkan karena wilayah kerja yang luas
dengan medan yang sulit serta keterbatasan sistem transportasi untuk menjangkau
pelayanan kesehatan.
GAMBAR 2.3
JUMLAH PUSKESMAS YANG MEMBERIKAN PELAYANAN SESUAI STANDAR DI INDONESIA
TAHUN 2016
Indonesia 2692
Berikut disajikan perkembangan jumlah Puskesmas rawat inap dan non rawat inap
dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2016.
7000
6.358 6.338 6.353 6.358 6.356
6000
5000
Jumlah Puskesmas
4000
3.317 3.378 3.396 3.411
3.152
3000
2000
1000
0
2012 2013 2014 2015 2016
Puskesmas Rawat Inap Puskesmas Non Rawat Inap
Jumlah Puskesmas rawat inap selama lima tahun terakhir terus meningkat, yaitu
sebanyak 3.152 unit pada tahun 2012, lalu meningkat menjadi 3.411 unit pada tahun 2016.
Jumlah Puskesmas non rawat inap cenderung berfluktuasi. Hal ini dapat dilihat dari jumlah
Puskesmas non rawat inap pada tahun 2012 sebanyak 6.358 menurun menjadi 6.338 pada
tahun 2013 dan pada tahun 2016 meningkat menjadi 6.356. Gambaran lebih rinci tentang
jumlah dan jenis Puskesmas menurut provinsi terdapat pada Lampiran 2.1 dan Lampiran 2.4.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai penyelenggara Upaya Kesehatan Masyarakat
(UKM), Puskesmas harus menyelenggarakan UKM esensial dalam rangka mendukung
pencapaian standar pelayanan minimal (SPM) kabupaten/kota bidang kesehatan. UKM
esensial meliputi pelayanan promosi kesehatan, pelayanan kesehatan lingkungan, pelayanan
kesehatan ibu, anak, keluarga berencana, pelayanan gizi, dan pelayanan pencegahan dan
pengendalian penyakit. Selain melaksanakan UKM esensial, Puskesmas juga melaksanakan
UKM pengembangan yang disesuaikan dengan prioritas masalah kesehatan, kekhususan
wilayah kerja dan potensi sumber daya yang tersedia di masing-masing Puskesmas. Sebagai
contoh UKM pengembangan yaitu Pelayanan Kesehatan Kerja, Pelayanan Kesehatan
Olahraga, dan Pelayanan Kesehatan Tradisional.
Pada indikator Renstra Kementerian Kesehatan Tahun 2015 - 2019, kesehatan kerja
memiliki target persentase Puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan kerja dasar yaitu
Puskesmas yang telah melaksanakan program pelayanan kesehatan kerja di Puskesmas baik
pelayanan promotif atau preventif atau kuratif bagi pekerja di wilayah kerjanya. Target
tersebut dihitung berdasarkan Laporan Bulanan Kesehatan Pekerja (LBKP) di Puskesmas.
Puskesmas yang telah melaksanakan kesehatan kerja dasar pada tahun 2016 mencapai 3.511
Puskesmas. Target Puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan kerja tahun 2016
sebanyak 50% yaitu sebanyak 4.884 Puskesmas. Dari hasil Laporan Bulanan Kesehatan
Pekerja (LBKP) dapat dilihat bahwa Puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan kerja
dasar pada tahun 2016 tidak dapat tercapai (35,95%). Provinsi dengan jumlah Puskesmas
terbanyak yang telah menyelenggarakan kesehatan kerja dasar yaitu provinsi Jawa Timur
dan Jawa Tengah dengan jumlah masing-masing 661 dan 454 Puskesmas.
GAMBAR 2.6
JUMLAH PUSKESMAS YANG MELAKSANAKAN PELAYANAN KESEHATAN OLAHRAGA
DI INDONESIA TAHUN 2016
GAMBAR 2.8
PUSKESMAS YANG MENYELENGGARAKAN PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL
DI INDONESIA TAHUN 2016
Lampung 351
Sulawesi Selatan 220
NTB 215
Aceh 198
DKI Jakarta 184
Jawa Tengah 176
Sumatera Selatan 173
Bali 168
Kalimantan Selatan 165
Maluku 159
Banten 147
Jawa Timur 135
Jawa Barat 132
Sulawesi Utara 117
Sumatera Utara 114
Bengkulu 100
Bangka Belitung 96
Kepri 96
Riau 90
Kalimantan Timur 89
Sulawesi Tenggara 87
Kalimantan Tengah 67
Sulawesi Tengah 64
Jambi 64
Sumatera Barat 64
Kalimantan Barat 61
DIY 54
Sulawesi Barat 32
Maluku Utara 28
Papua 22
Papua Barat 20
Gorontalo 19
NTT 17
Kalimantan Utara 0
0 100 200 300 400
Sumber: Ditjen Pelayanan Kesehatan, Kemenkes RI, 2017
TABEL 2.1
PERKEMBANGAN JUMLAH RUMAH SAKIT BERDASARKAN PENYELENGGARAAN
DI INDONESIA TAHUN 2013 2016
Pemerintah
1 Kementerian Kesehatan 33 33 33 33
2 Kepolisian 41 42 42 42
3 Tentara Nasional Indonesia 118 127 125 125
4 Kementerian Lain 3 7 8 13
Total 195 209 208 213
Perkembangan jumlah rumah sakit umum dan rumah sakit khusus dalam lima tahun
terakhir dapat dilihat pada gambar berikut.
GAMBAR 2.9
PERKEMBANGAN JUMLAH RUMAH SAKIT UMUM DAN RUMAH SAKIT KHUSUS
DI INDONESIA TAHUN 2013 2016
3.000
2.500
555
Jumlah Rumah Sakit
551 539
2.000 503
1.500
0
2013 2014 2015 2016
Tahun
Sumber: Ditjen Pelayanan Kesehatan, Kemenkes RI, 2017
Terdapat 19 (sembilan belas) jenis rumah sakit khusus yang dapat dilihat pada
Lampiran 2.9. Rumah Sakit Ibu dan Anak merupakan RSK terbanyak di Indonesia, yaitu
sebesar 66,67% dari 556 RSK. Setelah itu, Rumah Sakit Jiwa yang memiliki proporsi yaitu
7,93%.
GAMBAR 2.10
PERSENTASE RUMAH SAKIT MENURUT KELAS DI INDONESIA
TAHUN 2016
2,42
14,11
21,15
21,07
41,25
GAMBAR 2.11
RASIO JUMLAH TEMPAT TIDUR RUMAH SAKIT PER 1.000 PENDUDUK
DI INDONESIA TAHUN 2012 2016
1,4
1,12 1,21
1,2 1,12
1,07
Rasio Tempat Tidur RS
0,95
1,0
0,8
0,6
0,4
0,2
0,0
2012 2013 2014 2015 2016
Tahun
Sumber: Ditjen Pelayanan Kesehatan, Kemenkes RI, 2017
GAMBAR 2.12
RASIO TEMPAT TIDUR RUMAH SAKIT PER 1.000 PENDUDUK DI INDONESIA
TAHUN 2016
Indonesia 1,12
Rasio tempat tidur rumah sakit tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta sebesar 2,23,
Sulawesi Utara sebesar 2,05, dan DI Yogyakarta sebesar 1,80. Informasi lebih rinci tentang
rumah sakit menurut provinsi terdapat pada Lampiran 2.7, 2.8, 2.9, 2.10, 2.11 dan Lampiran
2.12.
Indonesia 33,12
Bali 69,09
DKI Jakarta 53,30
Lampung 52,94
Banten 47,09
Jawa Timur 45,95
Sumatera Selatan 41,18
Nusa Tenggara Timur 38,64
Sulawesi Tenggara 37,65
Kalimantan Timur 35,00
Kepulauan Bangka Belitung 35,00
DI Yogyakarta 34,40
Jawa Tengah 33,71
Bengkulu 32,31
Kepulauan Riau 32,26
Kalimantan Tengah 31,91
Maluku 29,63
Jambi 26,92
Gorontalo 26,19
Kalimantan Selatan 25,71
Kalimantan Barat 25,00
Nusa Tenggara Barat 25,00
Jawa Barat 24,20
Sumatera Utara 21,74
Sulawesi Tengah 19,35
Aceh 18,18
Riau 17,65
Sumatera Barat 15,38
Sulawesi Selatan 13,79
Papua Barat 12,50
Maluku Utara 10,53
Sulawesi Utara 10,00
Sulawesi Barat 8,33
Papua 2,50
Kalimantan Utara 0,00
0 10 20 30 40 50 60 70
Sumber: Ditjen Pelayanan Kesehatan, Kemenkes RI, 2017
500
400 454
300
200
210
100 165 158
112
0
UKOT Industri Industri PKRT Produksi IOT
Kosmetika Farmasi Alkes
Sarana Produksi
Sumber : Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kemenkes RI, 2017
Sarana distribusi kefarmasian dan alat kesehatan yang dipantau jumlahnya oleh
Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan antara lain Pedagang Besar Farmasi
(PBF), Apotek, Toko Obat, dan Penyalur Alat Kesehatan (PAK). Jumlah sarana distribusi
kefarmasian dan alat kesehatan pada tahun 2015 sebesar 38.727 sarana. Jumlah tersebut
meningkat dibandingkan tahun 2014 yaitu sebesar 35.566 sarana. Gambar berikut
menyajikan jumlah sarana distribusi kefarmasian pada tahun 2015.
GAMBAR 2.15
JUMLAH SARANA DISTRIBUSI KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN DI INDONESIA
TAHUN 2015
30.000
25.000
25.339
20.000
Jumlah
15.000
10.000
5.000 8.599
2.742 2.047
0
Apotek Toko Obat Penyalur Alat Pedagang Besar
Kesehatan Farmasi
Sarana Produksi
Sumber : Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kemenkes RI, 2017
GAMBAR 2.16
PERSENTASE INSTALASI FARMASI KABUPATEN/KOTA YANG MELAKUKAN
MANAJEMEN PENGELOLAAN OBAT DAN VAKSIN SESUAI STANDAR DI INDONESIA
TAHUN 2016
Indonesia 63,88
Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar provinsi telah memenuhi
target 60% yaitu 24 provinsi (70,59%). Terdapat 10 provinsi yang belum mencapai target
Renstra 2016. Data dan informasi lebih rinci mengenai instalasi farmasi kabupaten/kota yang
telah melakukan manajemen pengelolaan obat dan vaksin sesuai standar menurut provinsi
terdapat pada Lampiran 2.21.
140 149
120
Jumlah Program Studi
100
80
79 DIII
60
DIV
40
32 34
20
25
14 1 15 19 15
5 6
0
Keperawatan Kefarmasian Kesehatan Gizi Keterapian Keteknisian
Masyarakat Fisik Medis
Program Studi
Sumber : Badan PPSDM Kesehatan, Kemenkes RI, 2017
2. Peserta Didik
Peserta didik jenjang Diploma III pada seluruh Poltekkes di Indonesia sampai dengan
Desember 2016 berjumlah 55.741 orang, sementara peserta didik jenjang Diploma IV
berjumlah 25.335 orang. Jumlah peserta didik terbesar berasal dari program studi
keperawatan, sebanyak 35.506 mahasiswa untuk jenjang Diploma III dan sebanyak 14.333
mahasiswa untuk jenjang Diploma IV.
40.000
35.506
35.000
30.000
25.000
Jumlah Peserta Didik
20.000
14.333
15.000
10.000 DIII
5.519 6.388
4.445 3.956 DIV
5.000 2.900 3.068
274 2.248 983 1.456
0
Program Studi
Sumber : Badan PPSDM Kesehatan, Kemenkes RI, 2017
Data dan informasi lebih rinci mengenai jumlah peserta didik di institusi Poltekkes
terdapat pada Lampiran 2.14 dan Lampiran 2.16.
***
Sumber Daya Manusia Kesehatan (SDMK) merupakan salah satu subsistem dalam
Sistem Kesehatan Nasional yang mempunyai peranan penting dalam mencapai tujuan
pembangunan kesehatan sebagai pelaksana upaya dan pelayanan kesehatan. Berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional, sumber daya
manusia kesehatan adalah tenaga kesehatan (termasuk tenaga kesehatan strategis) dan
tenaga pendukung/penunjang kesehatan yang terlibat dan bekerja serta mengabdikan
dirinya dalam upaya dan manajemen kesehatan. Penyelenggaraan subsistem sumber daya
manusia kesehatan terdiri dari perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan
pengawasan mutu sumber daya manusia kesehatan.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/MENKES/52/2015 tentang
Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2015 2019, program kesehatan terdiri dari lima
program teknis dan empat program generik. Pengembangan dan pemberdayaan SDMK
merupakan salah satu program teknis sehingga memerlukan perhatian yang sama dengan
program program kesehatan lainnya.
Pada bab ini, akan dibahas mengenai SDMK terutama fokus kepada jumlah, rasio,
registrasi, jumlah lulusan, dan pendayagunaan tenaga kesehatan.
GAMBAR 3.1
REKAPITULASI SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN DI INDONESIA TAHUN 2016
Tenaga Psikologi
Tenaga Kesehatan
Klinis; 1.333
Tradisional; 513
Tenaga Keterapian
Fisik; 6.044 Tenaga Keperawatan;
Tenaga Kesehatan 296.876
lain; 14.126
Tenaga Kesehatan
Lingkungan; 14.509
Tenaga Gizi; 18.232
Tenaga Penunjang
Tenaga Kesehatan Kesehatan; 264.703
Masyarakat; 22.949
Tenaga Keteknisian
Medis; 22.978
Tenaga Teknik
Biomedika; 32.447 Tenaga Medis;
103.700 Tenaga Kebidanan;
Tenaga Kefarmasian;
38.829 163.541
Sumber: Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Kemenkes RI, 2017
(http://bppsdmk.kemkes.go.id)
GAMBAR 3.2
JUMLAH TENAGA MEDIS DI INDONESIA TAHUN 2016
Dokter Umum;
41.898
Dokter Spesialis;
48.367
Sumber : Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Kemenkes RI, 2017
(http://bppsdmk.kemkes.go.id)
GAMBAR 3.3
JUMLAH SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN DI PUSKESMAS DI INDONESIA
TAHUN 2016
Ahli Teknologi
Dokter Gigi; 6.618 Laboratorium Medik;
6.481
Tenaga Kesehatan
Lingkungan; 9.246
Tenaga Penunjang
Kesehatan; 52.071
Perawat; 98.864
Sumber : Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Kemenkes RI, 2017
(http://bppsdmk.kemkes.go.id)
Total SDMK di puskesmas di Indonesia tahun 2016 adalah 341.536 orang yang terdiri
dari 289.465 orang tenaga kesehatan (84,75%) dan 52.071 orang tenaga penunjang
kesehatan (15,25%). Proporsi tenaga kesehatan di puskesmas terbanyak yaitu bidan
sebanyak 35,2% (120.091 orang), sedangkan proporsi tenaga kesehatan di puskesmas yang
paling sedikit yaitu ahli teknologi laboratorium klinik sebesar 1,9% (6.481 orang).
Jumlah dan jenis tenaga kesehatan puskesmas dihitung berdasarkan analisis beban
kerja dengan mempertimbangkan beberapa hal, yaitu jumlah pelayanan yang
diselenggarakan, jumlah penduduk dan persebarannya, karakteristik wilayah kerja, luas
wilayah kerja, ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama lainnya di wilayah
kerjanya, dan pembagian waktu kerja.
Lebih
SUMATERA 42,63 31,06 21,01
Cukup
Kurang
KALIMANTAN 35,25 32,88 26,01
Sumber : Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Kemenkes RI, 2017
(http://bppsdmk.kemkes.go.id) dan diolah oleh Pusat Data dan Informasi
GAMBAR 3.5
PERSENTASE PUSKESMAS DENGAN KECUKUPAN DOKTER GIGI DI INDONESIA
TAHUN 2016
Lebih
SUMATERA 11,09 41,14 42,47
Cukup
Kurang
KALIMANTAN 9,01 34,68 50,45
Sumber : Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Kemenkes RI, 2017
(http://bppsdmk.kemkes.go.id) dan diolah oleh Pusat Data dan Informasi
Lebih
KALIMANTAN 66,44 5,63 22,07
Cukup
Kurang
SULAWESI 59,61 7,27 26,72
Sumber : Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Kemenkes RI, 2017
(http://bppsdmk.kemkes.go.id) dan diolah oleh Pusat Data dan Informasi
Lebih
SUMATERA 83,17 2,53
9,00
Cukup
Kurang
KALIMANTAN 57,66 6,19 30,29
Sumber : Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Kemenkes RI, 2017
(http://bppsdmk.kemkes.go.id) dan diolah oleh Pusat Data dan Informasi
e. Jumlah Puskesmas yang Memiliki Lima Jenis Tenaga Kesehatan Promotif dan Preventif
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat
Kesehatan Masyarakat, bahwa tenaga kesehatan di puskesmas tidak hanya tenaga medis
tetapi juga tenaga promotif dan preventif untuk mendukung tugas puskesmas dalam
melaksanakan upaya kesehatan masyarakat. Dalam Rencana Strategis (Renstra)
Kementerian Kesehatan tahun 2015-2019, salah satu indikator dalam meningkatkan
ketersedian dan mutu SDMK sesuai dengan standar pelayanan kesehatan yaitu jumlah
puskesmas yang memiliki lima jenis tenaga kesehatan promotif dan preventif. Tenaga
kesehatan yang dimaksud adalah tenaga kesehatan lingkungan, tenaga kefarmasian, tenaga
gizi, tenaga kesehatan masyarakat, dan analis kesehatan.
GAMBAR 3.8
PERSENTASE PUSKESMAS YANG MEMILIKI LIMA JENIS TENAGA KESEHATAN PROMOTIF
DAN PREVENTIF MENURUT PROVINSI TAHUN 2016
Sumber : Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Kemenkes RI, 2017
(http://bppsdmk.kemkes.go.id)
Tenaga Kesehatan
Tradisional; 47
Psikologi Klinis; 1.256 Perawat; 195.503
Kesehatan
Lingkungan; 3.792
Kesehatan
Masyarakat; 5.117
Keterapian Fisik;
5.465
Gizi; 8.068
Keteknisian Medis; Tenaga Penunjang
13.947 Kesehatan; 179.964
Teknik Biomedika;
24.535
Bidan;
Farmasi; 27.196 42.217
Tanaga Medis;
79.415
Sumber : Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Kemenkes RI, 2017
(http://bppsdmk.kemkes.go.id)
Spesialis Dasar;
21.204
Spesialis Penunjang;
8.441
Sumber : Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Kemenkes RI, 2017
(http://bppsdmk.kemkes.go.id)
Gorontalo 100,00
Kalimantan Utara 100,00
Bali 100,00
Kepulauan Bangka Belitung 100,00
Jawa Tengah 76,00
Kalimantan Timur 75,00
Papua 71,43
DI Yogyakarta 66,67
Jawa Timur 60,71
Banten 60,00
Jawa Barat 58,82
Sulawesi Barat 50,00
Sulawesi Selatan 50,00
Sulawesi Tengah 50,00
Lampung 50,00
Sumatera Utara 50,00
Nusa Tenggara Barat 44,44
Kalimantan Tengah 42,86
Riau 41,67
Papua Barat 40,00
Kepulauan Riau 40,00
Jambi 33,33
Kalimantan Barat 30,00
Aceh 28,57
Sulawesi Tenggara 25,00
Kalimantan Selatan 20,00
Sumatera Barat 20,00
Sumatera Selatan 18,18
Maluku Utara 0,00
Maluku 0,00
Sulawesi Utara 0,00
Nusa Tenggara Timur 0,00
Bengkulu 0,00
0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00
Sumber : Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Kemenkes RI, 2017
(http://bppsdmk.kemkes.go.id)
GAMBAR 3.12
KABUPATEN/KOTA DAERAH TERTINGGAL, TERDEPAN, DAN TERLUAR (3T)
Daerah 3T
Sumber: Peraturan Presiden Nomor 131 Tahun 2015 dan Surat Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah
Tertinggal, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS no 2421/Dt.7.2/04/2015
296.876
300.000
250.000
200.000
163.541 3T
150.000 Nasional
100.000
Sumber : Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Kemenkes RI, 2017
(http://bppsdmk.kemkes.go.id)
INDONESIA 16,20
0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 45,00
Sumber : Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Kemenkes RI, 2017
(http://bppsdmk.kemkes.go.id) dan diolah oleh Pusat Data dan Informasi
Pada Gambar 3.16, diketahui bahwa rasio dokter terhadap 100.000 penduduk baik
secara nasional maupun provinsi masih jauh dari target rasio dokter pada tahun 2019 yaitu
45 per 100.000 penduduk. Secara nasional, rasio dokter di Indonesia sebesar 16,02 per
100.000 penduduk. Provinsi dengan rasio tertinggi yaitu DKI Jakarta (38,27 per 100.000
penduduk) dan provinsi dengan rasio terendah yaitu Lampung (10,44 per 100.000
penduduk).
INDONESIA 4,53
Sumber : Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Kemenkes RI, 2017
(http://bppsdmk.kemkes.go.id) dan diolah oleh Pusat Data dan Informasi
Rasio dokter gigi di Indonesia pada tahun 2016 adalah 4,53 per 100.000 penduduk.
Angka ini masih jauh dari target rasio dokter gigi tahun 2019 yaitu 13 per 100.000
penduduk. Provinsi dengan rasio tertinggi yaitu DKI Jakarta sebesar 10,11 per 100.000
penduduk dan provinsi dengan rasio terendah yaitu Maluku sebesar 1,87 per 100.000
penduduk.
INDONESIA 114,75
Secara nasional, rasio perawat pada tahun 2016 adalah 114,75 per 100.000
penduduk. Hal ini masih jauh dari target tahun 2019 yaitu 180 per 100.000 penduduk.
Namun ada delapan provinsi dengan rasio perawat yang sudah memenuhi target tahun
2019 yaitu DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Kepulauan Bangka Belitung, Aceh, Maluku,
Sulawesi Utara, Bengkulu, dan Jambi. Provinsi dengan rasio perawat terendah yaitu
Lampung sebesar 49,44 per 100.000 penduduk.
INDONESIA 63,22
Aceh 172,44
Bengkulu 162,27
Maluku Utara 144,02
Jambi 130,76
Sulawesi Tenggara 117,05
Sumatera Utara 108,76
Sumatera Barat 107,25
Sumatera Selatan 107,03
Sulawesi Barat 102,18
Riau 96,14
Gorontalo 90,20
Sulawesi Tengah 89,95
Bali 85,64
Kalimantan Timur 82,20
Kepulauan Bangka Belitung 81,68
Nusa Tenggara Timur 76,70
Kalimantan Tengah 73,13
Maluku 68,02
Sulawesi Selatan 67,10
Papua Barat 61,79
Nusa Tenggara Barat Target Tahun 2019:
60,58
Kepulauan Riau 57,64 120 bidan per 100.000
Papua 55,93 penduduk
Kalimantan Barat 55,58
Kalimantan Utara 54,63
Jawa Tengah 51,94
Kalimantan Selatan 51,46
Sulawesi Utara 48,59
Jawa Timur 46,39
Banten 44,28
DKI Jakarta 43,38
Lampung 42,03
DI Yogyakarta 40,53
Jawa Barat 37,21
0,00 40,00 80,00 120,00 160,00 200,00
Sumber : Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Kemenkes RI, 2017
(http://bppsdmk.kemkes.go.id) dan diolah oleh Pusat Data dan Informasi
Rasio bidan di Indonesia pada tahun 2016 adalah sebesar 63,22 per 100.000
penduduk. Angka ini masih jauh dari target 2019 yaitu 120 per 100.000 penduduk. Ada
empat provinsi yang telah memenuhi target tahun 2019 yaitu Aceh, Bengkulu, Maluku
Utara, dan Jambi. Provinsi dengan rasio terendah yaitu Jawa Barat sebesar 37,21 per
100.000 penduduk.
GAMBAR 3.18
JUMLAH DOKTER UMUM, DOKTER GIGI, DOKTER SPESIALIS, DAN DOKTER GIGI SPESIALIS
YANG MEMILIKI STR PER 31 DESEMBER 2016
140.000
116.834
120.000
100.000
80.000
60.000
20.000
3.064
0
Dokter Umum Dokter Gigi Dokter Spesialis Dokter Gigi Spesialis
Jumlah tenaga dokter/dokter gigi yang telah memiliki STR per 31 Desember 2016
adalah 180.481 orang dengan jumlah terbanyak yaitu dokter umum (116.834 orang) dan
jumlah paling sedikit dokter gigi spesialis (3.064 orang). Dari jumlah dokter umum yang
memiliki STR ini, tidak semua bekerja sesuai fungsinya, yaitu di pelayanan medis. Hal ini
merupakan salah satu penyebab persebaran dokter yang kurang merata dan adanya
kekurangan dokter di fasilitas pelayanan kesehatan di beberapa provinsi. Rincian lengkap
Teknik Biomedika;
12.194
Kesehatan
Masyarakat; 17.294 Bidan; 78.788
GAMBAR 3.20
JUMLAH PENERBITAN STR BARU MENURUT RUMPUN TENAGA KESEHATAN TAHUN 2016
Tenaga Kesehatan
Tradisional; 0
Psikologi Klinis; 1.027
Keterapian Fisik;
2.017
Kesehatan
Lingkungan; 3.225
Gizi; 4.018 Perawat; 84.706
Keteknisian Medis;
6.953
Teknik Biomedika;
10.390
Kesehatan
Masyarakat; 16.139 Bidan; 74.326
Selain tenaga kesehatan di atas, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46 Tahun 2013
tentang Registrasi Tenaga Kesehatan Pasal 8 menyatakan bahwa tenaga kesehatan warga
negara asing atau tenaga kesehatan warga negara indonesia lulusan luar negeri yang akan
melakukan profesi atau vokasinya di Indonesia harus memiliki Sertifikat Kompetensi atau
pengakuan kompetensi dari institusi pendidikannya yang dilegalisasi oleh pejabat yang
berwenang dari negara asal. Tenaga kesehatan ini harus mengikuti evaluasi kompetensi dan
memiliki STR sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
10.000
8.000
Diploma III
6.000 Diploma IV
4.000
2.118
1.762
2.000 1.456
908
610 347 333 92
312 205
0
0
Keperawatan Kefarmasian Kesehatan Gizi Keterapian Keteknisian
Masyarakat Fisik Medis
Sumber : Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Kemenkes RI, 2017
Pada tahun 2016, total jumlah lulusan Poltekkes sebanyak 20.315 orang yang terdiri
dari 18.749 orang lulusan Diploma III dan 1.566 orang lulusan Diploma IV. Proporsi lulusan
terbanyak adalah program studi keperawatan (62,9%) yang terdiri dari 12.172 orang lulusan
Diploma III dan 610 orang lulusan Diploma IV. Proporsi lulusan paling sedikit yaitu program
studi keterapian fisik (2,1%) dengan jumlah 333 orang lulusan Diploma III dan 92 orang
lulusan Diploma IV. Rincian lebih lengkap mengenai jumlah lulusan program Diploma III dan
Diploma IV Poltekkes dapat dilihat pada Lampiran 3.18 dan 3.19. Selain lulusan Poltekkes
yang dikelola oleh Kementerian Kesehatan, kebutuhan tenaga kesehatan juga dipenuhi oleh
lulusan sekolah tinggi ilmu kesehatan swasta. Data tersebut tidak termasuk data yang
disajikan dalam profil ini.
21.324
20.000
15.000
Biasa
11.362
9.443 Terpencil
10.000
Sangat Terpencil
5.000
730
6 17 0 54 564 20 370 304
0
Dokter Spesialis & Dokter Umum Dokter Gigi Bidan
Dokter Gigi Spesialis
Total tenaga kesehatan dengan status PTT pada tahun 2016 adalah 42.129 orang
dengan proporsi terbanyak yaitu bidan (95,3%). Dokter spesialis dan dokter gigi spesialis PTT
ditempatkan di daerah biasa dan terpencil. Dokter umum PTT dan dokter gigi PTT lebih
banyak ditempatkan di daerah terpencil dan sangat terpencil. Sedangkan bidan PTT
mayoritas ditempatkan di daerah dengan kriteria biasa. Rincian lebih lengkap mengenai
jumlah tenaga kesehatan dengan status PTT dapat dilihat pada Lampiran 3.12, 3.13, 3.14,
dan 3.15.
GAMBAR 3.23
JUMLAH RESIDEN DOKTER SPESIALIS BERDASARKAN REGIONAL WILAYAH
PADA TAHUN 2016
KALIMANTAN; 85
SUMATERA; 223
JAWA-BALI; 87
SULAWESI; 139
NUSA
TENGGARA-
MALUKU-PAPUA;
144
GAMBAR 3.24
JUMLAH DOKTER PESERTA INTERNSIP TAHUN 2016
NUSA
TENGGARA-
MALUKU-PAPUA;
823
KALIMANTAN;
833
SUMATERA; 2551
Pemberangkatan dokter peserta internsip dilakukan sebanyak empat kali dalam satu
tahun. Pada tahun 2016, jumlah dokter peserta internsip yang diberangkatkan pada bulan
Februari sebanyak 2.356 orang, bulan Mei sebanyak 2.289 orang, bulan September-Oktober
sebanyak 1.225 orang, dan bulan November sebanyak 3.518 orang. Secara regional,
Tenaga kesehatan dalam penugasan khusus berbasis tim dalam mendukung program
Nusantara Sehat minimal terdiri dari lima jenis tenaga kesehatan, yaitu dokter, perawat,
bidan, dan dua tenaga kesehatan lainnya (dokter gigi, tenaga gizi, tenaga kesehatan
lingkungan, ahli teknologi laboratorium medik, tenaga kefarmasian dan tenaga kesehatan
masyarakat). Masa penugasan khusus berbasis tim adalah dua tahun. Tim akan ditempatkan
di puskesmas terutama dengan kriteria sangat terpencil di wilayah DTPK dan/atau DBK.
Pemerintah daerah dapat memberdayakan tenaga kesehatan pasca penugasan khusus ini
berdasarkan kompetensi, standar ketenagaan, dan kebutuhan daerah sehingga tercapai
kemandirian pemenuhan tenaga kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Nusantara Sehat
Sumber : Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Kemenkes RI, 2017
Sampai dengan tahun 2016, telah dilaksanakan penugasan khusus berbasis tim
dengan lima periode keberangkatan. Periode pertama dan kedua dilaksanakan pada tahun
2015 dengan penempatan di 120 puskesmas. Periode ketiga sampai dengan kelima
dilaksanakan pada tahun 2016 dengan penempatan di 131 puskesmas. Total penempatan
sampai dengan tahun 2016 adalah 28 provinsi, 91 kabupaten/kota, dan 251 puskesmas.
Rincian lengkap mengenai penempatan Nusantara Sehat dapat dilihat di Lampiran 3.21 dan
3.22.
GAMBAR 3.26
JUMLAH PENEMPATAN TENAGA KESEHATAN PADA TIM NUSANTARA SEHAT TAHUN 2016
Dokter Umum; 44
Dokter Gigi; 45
Ahli Teknologi
Laboratorium
Medik; 139
Bidan; 252
Farmasi; 140
Perawat; 213
Kesehatan
Lingkungan; 191
Sumber : Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Kemenkes RI, 2017
120
107
100
82
80
61
60
40
19
20 14
10 10
4 1 3
0 0 0 0 0
0
2014 2015 2016
Sumber : Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Kemenkes RI, 2017
Tren permohonan rekomendasi pengajuan atau perpanjangan RPTKA dan IMTA bagi
SDMK WNA yang akan bekerja di Indonesia dalam lima jenis kegiatan mengalami penurunan
di tahun 2016. Pada tahun 2015 sejumlah 131 orang dengan rincian kegiatan
pendayagunaan meliputi bakti sosial kesehatan sebesar 10 orang dan manajerial sebesar
107 orang sedangkan di tahun 2016 sejumlah 86 orang dengan rincian kegiatan
pendayagunaan meliputi pelayanan kesehatan sebesar 1 orang dan manajerial sebesar 82
orang. Jika melihat rincian kegiatan tersebut dapat disimpulkan bahwa walaupun tren
pendayagunan SDMK WNA mengalami penurunan, akan tetapi permohonan
pendayagunaan SDMK WNA dalam kegiatan manajerial kesehatan masih dalam jumlah yang
besar.
Pendayagunaan SDMK WNA dalam kegiatan manajerial kesehatan banyak yang tidak
sesuai perijinannya yaitu dengan melakukan kegiatan pelayanan kesehatan. Sehubungan
dengan hal tersebut dipandang perlu dan penting sekali dilakukan kegiatan sosialisasi
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pendayagunaan SDMK WNA serta sinergitas
sektor kesehatan dan lintas sektor lainnya dalam perijinan maupun
pemantauan/pengawasan SDMK WNA di Indonesia. Rincian lengkap mengenai jumlah
permohonan rekomendasi pengajuan atau perpanjangan RPTKA dan IMTA bagi SDMK WNA
dapat dilihat di Lampiran 3.24.
***
Salah satu sub sistem dalam kesehatan nasional adalah sub sistem pembiayaan
kesehatan. Pembiayaan kesehatan sendiri merupakan besarnya dana yang harus disediakan
untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai upaya kesehatan yang
diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok, dan masyarakarat. Undang-Undang
Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 menyebutkan bahwa pembiayaan kesehatan bertujuan
untuk penyediaan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah yang
mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan. Secara umum, sumber biaya
kesehatan dapat dibedakan menjadi pembiayaan yang bersumber dari anggaran pemerintah
dan pembiayaan yang bersumber dari anggaran masyarakat.
Di dalam bab ini akan dibahas mengenai alokasi dan realisasi anggaran kesehatan
baik di pusat maupun di daerah. Anggaran kesehatan adalah anggaran kesehatan yang
pembiayaannya bersumber dari anggaran pemerintah. Selain itu, juga dijelaskan lebih lanjut
mengenai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
87,20 90
86,82
60.000.000
54.337.519,43
57.011.203 80
50.355.789,26
50.000.000 48.852.631
47.583.671
70
38.636.738,59 60
Persentase
40.000.000
35.415.569
33.293.456,48 50
30.919.269,94 30.656.595
30.000.000 26.962.235
25.274.803,99 40
22.496.458
20.000.000 30
20
10.000.000
10
0 0
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
alokasi anggaran realisasi anggaran persentase realisasi
Gambar 4.1 menunjukkan bahwa terdapat peningkatan alokasi dan realisasi anggaran
Kementerian Kesehatan dalam tujuh tahun terakhir. Pada tahun 2010 Kementerian
Kesehatan RI memiliki alokasi anggaran sebesar 25,27 trilyun rupiah dengan realisasi 22,49
trilyun rupiah dan persentase realisasi sebesar 89,01%, jumlah tersebut meningkat dari
tahun ke tahun, dan pada pada tahun 2016 menjadi 65,66 trilyun rupiah dengan realisasi
sebesar 57,01 trilyun rupiah dan persentase realisasi sebesar 86,82%. Akan tetapi untuk
persentase realisasi terus menurun dari 94,49% pada tahun 2014 menjadi 86,62% pada
tahun 2016.
GAMBAR 4.2
ALOKASI DAN REALISASI ANGGARAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI
MENURUT UNIT ESELON I TAHUN 2016
96,20
35.000.000 100
90,62 85,40
29.614.670 90
83,73
30.000.000 28.489.864
Anggaran (dalam jutaan rupiah)
75,90
80
69,94
25.000.000 68,36
62,23 70
Persentase
18.511.935 60
20.000.000
15.809.750 50
15.000.000
40
10.000.000 30
5.911.059
4.580.563 4.041.080 20
3.251.823
5.000.000 105.000 3.476.545 1.048.692 2.638.851
2.722.837
1.642.252
10
95.148 733.493
0 0
Setjen Itjen Ditjen Dirjen Ditjen P2P Balitbangkes Badan Ditjen
Yankes Farmalkes PPSDMKes Kesmas
GAMBAR 4.3
PERSENTASE ANGGARAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI
BERDASARKAN JENIS BELANJA
TAHUN 2016
BELANJA
BELANJA BARANG
BANSOS 41%
39%
BELANJA BELANJA
PEGAWAI MODAL
11% 9%
GAMBAR 4.4
REALISASI DANA DEKONSENTRASI KESEHATAN
MENURUT PROVINSI DI INDONESIA
TAHUN 2016
140.000 100
90
120.000
80
100.000 70
(dalam jutaan rupiah)
60
80.000
50
60.000
Persentase
40
40.000 30
20
20.000
10
0 0
GAMBAR 4.5
PERKEMBANGAN JUMLAH PESERTA BPJS KESEHATAN
TAHUN 2014 -2016
200.000.000
171.939.254
156.790.287
160.000.000
133.423.653
120.000.000
80.000.000
40.000.000
0
Tahun 2014 Tahun 2015 Tahun 2016
Jumlah Peserta (Jiwa)
Sumber : BPJS Kesehatan, 2017
GAMBAR 4.6
PROPORSI JUMLAH PESERTA BPJS KESEHATAN
PER 31 DESEMBER 2016
Bukan Pekerja
2,94%
Pekerja Bukan
Penerima
Upah
11,25%
Pekerja
Penerima
PBI APBN
Upah
52,98%
23,86%
PBI APBD
8,97%
Namun jika dilihat dari persentase penambahan dari tahun sebelumnya, jumlah
peserta BPJS Kesehatan yang persentase penambahannya terbesar yaitu pada segmen PBI
APBD sebesar 38,00% dan kemudian segmen peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU)
sebesar 29,24%. Jumlah peserta BPJS Kesehatan dan persentase penambahannya tahun
2015 - 2016 menurut segmen peserta dapat dilihat pada Gambar 4.7.
87.828.613 91.099.279
38,00
% Penambahan
80.000.000 40,00
29,24
30,00
60.000.000
41.027.229 20,00
40.000.000 37.862.522
3,72 10,00
1,90 15.415.288 19.336.531
20.000.000 11.170.615 8,36 14.961.768 0,00
4.966.769 5.060.927
- -10,00
PBI APBN Bukan Pekerja PBI APBD Pekerja Pekerja Bukan
Penerima Upah Penerima Upah
2015 2016 % Penambahan
Jumlah peserta BPJS Kesehatan per 31 Desember 2016 adalah sebesar 66,46% dari
seluruh jumlah penduduk. Provinsi dengan jumlah kepesertaan tertinggi adalah Jawa Barat
sebanyak 28.842.790.000 orang. Sedangkan provinsi dengan jumlah kepesertaan terendah
adalah Kalimantan Utara sebanyak 47.154.000 orang. Data dan informasi lebih rinci
mengenai jumlah peserta BPJS Kesehatan menurut provinsi pada tahun 2016 disajikan pada
Lampiran 4.6.
GAMBAR 4.8
JUMLAH KEPESERTAAN BPJS KESEHATAN MENURUT PROVINSI
PER 31 DESEMBER 2016 (dalam ribuan)
Jawa Barat 28.842,79
Jawa Timur 23.101,49
Jawa Tengah 22.659,15
DKI Jakarta 13.305,33
Sumatera Utara 8.794,71
Banten 7.324,21
Sulawesi Selatan 6.617,88
Aceh 5.128,34
Lampung 5.084,49
Sumatera Selatan 4.220,22
Nusa Tenggara Timur 3.828,64
Sumatera Barat 3.622,56
Papua 3.449,78
Riau 3.395,63
Nusa Tenggara Barat 3.288,72
D I Yogyakarta 2.710,28
Kalimantan Barat 2.702,11
Kalimantan Timur 2.700,17
Bali 2.209,79
Sulawesi Tengah 1.892,61
Jambi 1.858,95
Kalimantan Selatan 1.757,25
Sulawesi Utara 1.726,93
Sulawesi Tenggara 1.582,28
Kalimantan Tengah 1.382,05
Bengkulu 1.277,29
Kepulauan Riau 1.277,10
Maluku 1.114,78
Gorontalo 1.101,90
Papua Barat 1.069,36
Sulawesi Barat 994,29
Kepulauan Bangka Belitung 815,03
Maluku Utara 631,62
Kalimantan Utara 471,54
0 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000 35.000
GAMBAR 4.9
PERKEMBANGAN JUMLAH FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA (FKTP)
YANG BEKERJA SAMA DENGAN BPJS KESEHATAN
TAHUN 2014-2016
25.000
20.708
18.437 19.969
20.000
15.000
10.000
5.000
0
Tahun 2014 Tahun 2015 Tahun 2016
Proporsi jumlah FKTP tertinggi yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan pada tahun
2016 yaitu Puskesmas sebesar 47,39%, disusul kemudian oleh Dokter Praktik Perorangan
(DPP) sebesar 22,11 %, dan Klinik Pratama sebesar 18,74%. Sedangkan proporsi jumlah FKTP
terendah yaitu RS Tipe D Pratama sebesar 0,07%. Proporsi jumlah FKTP yang bekerjasama
dengan BPJS Kesehatan per 31 Desember 2016 menurut jenis FKTP dapat dilihat pada
Gambar 4.12.
DPP
22,11%
Jenis FKTP yang paling banyak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan per 31 Desember
2016 adalah Puskesmas sebanyak 9.813, kemudian diikuti oleh Dokter Praktik Perorangan
(DPP) sebanyak 4.578, Klinik Pratama sejumlah 3.880, dan yang terendah adalah RS Tipe D
Pratama sebanyak 15. Jumlah FKTP tersebut ditambah dengan jumlah FKTP Gigi yaitu Dokter
Gigi Praktek Perorangan sebanyak 1.150. Namun jika dilihat dari persentase penambahan
dari tahun sebelumnya, FKTP yang persentase penambahannya terbesar ialah RS Tipe D
Pratama sebesar 50,00% dan kemudian Klinik Pratama sebesar 18,29%.
GAMBAR 4.11
GAMBARAN JUMLAH FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA (FKTP)
YANG BEKERJA SAMA DENGAN BPJS KESEHATAN DAN PERSENTASE PENAMBAHANNYA
MENURUT JENIS TAHUN 2014 2016
12.000 50,00 60
9.813
9.799 50
10.000
40
8.000
Jumlah FKTP
% Penambahan
30
18,29
6.000 20
4.441 4.578 3.880
0,14 0,17 10
4.000 -0,53 3.280
-2,22 0
3,08
2.000 720 704 1.148 1.150
571 568 -10
10 15
- -20
KLINIK TNI KLINIK POLRI PUSKESMAS PRAKTIK DOKTER KLINIK RS TIPE D
DOKTER GIGI PRAKTIK PRATAMA Pratama
PERORANGAN
GAMBAR 4.12
JUMLAH FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA (FKTP)
YANG BEKERJA SAMA DENGAN BPJS KESEHATAN MENURUT PROVINSI
PER 31 DESEMBER 2016
Gambar 4.13 memberikan gambaran mengenai sebaran jumlah FKTP yang bekerja
sama dengan BPJS Kesehatan pada tahun 2016. Gambaran distribusi jumlah FKTP ini dibagi
menjadi tiga kelompok. Ketiga kelompok tersebut yaitu (1) yang berwarna kuning ialah
provinsi yang jumlah FKTP yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatannya berkisar di antara
GAMBAR 4.13
SEBARAN JUMLAH FKTP YANG BEKERJA SAMA DENGAN BPJS KESEHATAN
TAHUN 2016
106-986
986,1-1.867
1.867,1-2.749
Jumlah Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) yang bekerja sama
dengan BPJS Kesehatan per 31 Desember 2016 yaitu sebanyak 2.069 FKRTL. Bila
dibandingkan dengan tahun 2014, jumlah FKRTL yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan
meningkat sebesar 18.75% yaitu dari 1.681 FKRTL pada tahun 2014 menjadi 2.068 FKRTL
pada tahun 2016. FKRTL penerima rujukan wajib merujuk kembali peserta JKN disertai
jawaban dan tindak lanjut yang harus dilakukan jika secara medis peserta sudah dapat
dilayani di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang merujuk.
GAMBAR 4.14
PERKEMBANGAN JUMLAH FASILITAS KESEHATAN RUJUKAN TINGKAT LANJUTAN (FKRTL)
YANG BEKERJA SAMA DENGAN BPJS KESEHATAN
TAHUN 2014 -2016
2.500
2.068
2.000 1.847
1.681
1.500
Jumlah
1.000
500
0
Tahun 2014 Tahun 2015 Tahun 2016
RS KHUSUS
RS TNI/POLRI; JIWA; 1,72%
KLINIK
7,15%
UTAMA;
7,39% RS SWASTA;
43,17%
RS KHUSUS;
9,47%
RS
PEMERINTAH;
32,87%
Jenis FKRTL yang paling banyak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan per 31
Desember 2016 adalah RS Swasta yaitu sebanyak 876 (43,17%), kemudian diikuti oleh RS
Pemerintah sebanyak 667 (32,87%), RS Khusus sejumlah 196 (9,47%), dan yang terendah
adalah RS Khusus Jiwa sebanyak 35 (1,72%). Namun jika dilihat dari persentase penambahan
dari tahun sebelumnya, FKRTL yang persentase penambahannya terbesar ialah Klinik Utama
sebesar 39,71%, kemudian RS Swasta sebesar 16,26%. Penambahan jumlah rumah sakit
swasta terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur, masing-masing sebanyak
27 dan 16 rumah sakit. Sedangkan penambahan klinik utama terbanyak ada di Jawa Barat,
Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan.
GAMBAR 4.16
GAMBARAN JUMLAH FASILITAS KESEHATAN RUJUKAN TINGKAT LANJUT (FKRTL)
YANG BEKERJA SAMA DENGAN BPJS KESEHATAN DAN PERSENTASE PENAMBAHANNYA
MENURUT JENIS TAHUN 2014 2016
1.000 45
39,71
900 876 40
800 758 35
667
700 649 30
% Penambahan
Jumlah FKRTL
600
25
500
16,26 20
400
15
300
150 196 10
200 166 3,84 145 145
95
100 4,40 1,40
5
34 35
- 0,00 0
KLINIK UTAMA RS SWASTA RS KHUSUS RS PEMERINTAH RS TNI/POLRI RS KHUSUS JIWA
2015 2016 % Penambahan
Sumber : BPJS Kesehatan, 2017
GAMBAR 4.17
JUMLAH FASILITAS KESEHATAN RUJUKAN TINGKAT LANJUTAN (FKRTL)
YANG BEKERJA SAMA DENGAN BPJS KESEHATAN
PER 31 DESEMBER 2016
Secara umum, terjadi peningkatan jumlah FKRTL yang bekerja sama dengan BPJS
Kesehatan sejak tahun 2014 hingga tahun 2016, yaitu meningkat sebanyak 22,04%. Pada
tahun 2014, terdapat 1.613 FKRTL dan jumlah ini meningkat menjadi 2.069 FKRTL pada
tahun 2016. Jika dilihat dari jenisnya, peningkatan jumlah terbanyak terdapat pada klinik
utama. Selain itu, pada tahun 2014 tidak terdapat klinik utama yang bekerja sama dengan
BPJS Kesehatan, namun pada tahun 2015 telah terdapat 95 klinik utama yang bekerja sama
GAMBAR 4.18
SEBARAN JUMLAH FKRTL YANG BEKERJA SAMA DENGAN BPJS KESEHATAN
TAHUN 2016
GAMBAR 4.19
ALOKASI ANGGARAN DAN REALISASI PENERIMA BANTUAN IURAN (PBI) BPJS
TAHUN 2014-2016
30
25,5 24,81
25
19,93 19,93 20,35 19,88
20
15
10
0
2014 2015 2016
Alokasi Realisasi
Keterangan : dalam trilyun rupiah
Sumber : BPJS Kesehatan, 2017
TABEL 4.1
SEPULUH KODE CBG'S TERBANYAK PADA TINGKAT LAYANAN RAWAT JALAN TINGKAT
LANJUT (RJTL) SAMPAI DENGAN 31 DESEMBER 2016
Tabel 4.1 menampilkan bahwa prosedur terapi fisik dan prosedur kecil muskulosketal
jumlah kasusnya menduduki peringkat kedua tertinggi namun pembiayaannya hanya
mencapai 531 milyar rupiah, sedangkan jumlah kasus prosedur dialisis memiliki peringkat
ketiga namun mempunyai jumlah pembiayaan terbesar yaitu sebesar 2,955 trilyun rupiah. Di
TABEL 4.2
SEPULUH KODE CBG'S TERBANYAK PADA TINGKAT LAYANAN RAWAT INAP TINGKAT
LANJUT (RITL) SAMPAI DENGAN 31 DESEMBER 2016
Tabel 4.2 menampilkan bahwa pada tahun 2016 operasi pembedahan caesar ringan
jumlah kasusnya menduduki peringkat tertinggi dengan pembiayaan mencapai 2,247 trilyun
rupiah, kemudian infeksi bakteri ringan menduduki peringkat jumlah kasus kedua dengan
pembiayaan sebesar 1,019 trilyun rupiah. Pada peringkat kesepuluh terdapat prosedur pada
kulit, jaringan bawah kulit, dan payudara ringan dengan 110.000 kasus dan pembiayaan
sebesar 435,81 milyar rupiah.
***
GAMBAR 5.1
ANGKA KEMATIAN IBU DI INDONESIA
TAHUN 1991 2015
400
350 390
359
300 334 305
307
250
200 228
150
100
50
0
1991 1997 2002 2007 2012 2015
Tahun
Sumber: BPS, SDKI 1991-2012
Selain elemen tindakan yang harus dipenuhi, pelayanan kesehatan ibu hamil juga
harus memenuhi frekuensi minimal di tiap trimester, yaitu satu kali pada trimester pertama
(usia kehamilan 0-12 minggu), satu kali pada trimester kedua (usia kehamilan 12-24 minggu),
dan dua kali pada trimester ketiga (usia kehamilan 24 minggu sampai persalinan). Standar
waktu pelayanan tersebut dianjurkan untuk menjamin perlindungan terhadap ibu hamil dan
atau janin berupa deteksi dini faktor risiko, pencegahan, dan penanganan dini komplikasi
kehamilan.
Penilaian terhadap pelaksanaan pelayanan kesehatan ibu hamil dapat dilakukan
dengan melihat cakupan K1 dan K4. Cakupan K1 adalah jumlah ibu hamil yang telah
memperoleh pelayanan antenatal pertama kali oleh tenaga kesehatan dibandingkan jumlah
sasaran ibu hamil di satu wilayah kerja pada kurun waktu satu tahun. Sedangkan cakupan K4
adalah jumlah ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan antenatal sesuai dengan standar
paling sedikit empat kali sesuai jadwal yang dianjurkan di tiap trimester dibandingkan jumlah
sasaran ibu hamil di satu wilayah kerja pada kurun waktu satu tahun. Indikator tersebut
memperlihatkan akses pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil dan tingkat kepatuhan ibu
hamil dalam memeriksakan kehamilannya ke tenaga kesehatan.
Capaian K4 dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2016 disajikan pada gambar
berikut ini.
88,27 90,18
80 86,04
84,54 85,56 86,85 86,70 87,48 85,35
79,63 80,26
60
(%)
40
20
0
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Gambar di atas menunjukkan terjadi penurunan cakupan K4, yaitu dari 86,85% pada
tahun 2013 menjadi 85,35%. Penurunan tersebut disebabkan karena beberapa faktor
sebagai berikut.
1. Pemeriksaan antenatal sudah berdasarkan kualitas pelayanan 10T.
2. Mobilitas di daerah perkotaan yang tinggi.
3. Penetapan sasaran ibu hamil yang terlalu tinggi di beberapa kab/kota.
4. Ada budaya masyarakat pada saat menjelang persalinan pulang ke kampung
halaman.
5. Pencatatan dan pelaporan masih belum optimal.
Meskipun terjadi penurunan pada tahun 2016, cakupan pelayanan kesehatan ibu
hamil K4 pada tahun 2016 telah memenuhi target Rencana Strategis (Renstra) Kementerian
Kesehatan sebesar 74%. Namun demikian, terdapat 9 provinsi yang belum mencapai target
tersebut yaitu Maluku Utara, Papua, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Jambi, Maluku,
Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, dan DI Yogyakarta.
Gambaran capaian kunjungan ibu hamil K4 pada tahun 2016 di 34 provinsi disajikan
pada gambar berikut ini.
Indonesia 85,35
Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan ibu hamil tidak
hanya dari sisi akses. Kualitas pelayanan yang diberikan juga harus ditingkatkan, di antaranya
pemenuhan semua komponen pelayanan kesehatan ibu hamil harus diberikan saat
kunjungan. Dalam hal ketersediaan sarana kesehatan, hingga bulan Desember 2016,
terdapat 9.767 puskesmas. Keberadaan puskesmas secara ideal harus didukung dengan
aksesibilitas yang baik. Hal ini tentu saja sangat berkaitan dengan aspek geografis dan
kemudahan sarana dan prasarana transportasi. Dalam mendukung penjangkauan terhadap
masyarakat di wilayah kerjanya, puskesmas juga sudah menerapkan konsep satelit dengan
menyediakan puskesmas pembantu. Data dan informasi lebih rinci menurut provinsi
mengenai pelayanan kesehatan ibu hamil K1 dan K4 terdapat pada Lampiran 5.1.
Indonesia 4,79
Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa Provinsi Jawa Timur, Kepulauan Bangka
Belitung, dan Bali, memiliki capaian imunisasi TT5 pada WUS tertinggi di Indonesia sebesar
23,97%, 4,23%, dan 3,69%. Sedangkan provinsi dengan capaian terendah yaitu Sulawesi
Utara dan Sumatera Utara sebesar 0,25%, dan Kalimantan Tengah sebesar 0,44%.
Indonesia 65,28
(%)
Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa Provinsi Jawa Barat, Jambi, dan
Kepulauan Bangka Belitung memiliki capaian imunisasi TT2+ pada ibu hamil tertinggi di
Indonesia masing-masing sebesar 102,14%, 94,44%, dan 91,03%. Sedangkan provinsi dengan
capaian terendah yaitu Sumatera Utara sebesar 13,43%, Kalimantan Utara sebesar 15,03%
dan Papua sebesar 19,55%. Informasi lebih rinci mengenai imunisasi TT pada wanita usia
subur dan ibu hamil dapat dilihat pada Lampiran 5.12 dan Lampiran 5.13.
GAMBAR 5.6
CAKUPAN PERSALINAN DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN
MENURUT PROVINSI TAHUN 2016
Indonesia 80,61
GAMBAR 5.7
CAKUPAN KUNJUNGAN NIFAS (KF3) DI INDONESIA
TAHUN 2008 2016
100,00
85,16 86,64 86,41
90,00 87,06
84,41
80,00
76,96
70,00 73,61
60,00
55,58
(%)
50,00
40,00
30,00
20,00
17,90
10,00
0,00
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Indonesia 84,41
0 20 40 60 80 100
(%)
Sumber: Ditjen Kesehatan Masyarakat, Kemenkes RI, 2016
Indonesia 90,73
Gorontalo 100,00
Sulawesi Tenggara 100,00
Sulawesi Selatan 100,00
Kalimantan Utara 100,00
Kalimantan Timur 100,00
Kalimantan Selatan 100,00
Nusa Tenggara Barat 100,00
Bali 100,00
Banten 100,00
Jawa Timur 100,00
DI Yogyakarta 100,00
Jawa Tengah 100,00
Jawa Barat 100,00
DKI Jakarta 100,00
Kepulauan Riau 100,00
Kep. Bangka Belitung 100,00
Lampung 100,00
Jambi 100,00
Sumatera Barat 100,00
Sumatera Selatan 98,76
Sulawesi Tengah 98,41
Sulawesi Utara 96,79
Kalimantan Barat 96,22
Kalimantan Tengah 93,85
Bengkulu 93,33
Aceh 84,96
Sumatera Utara 82,31
Riau 79,84
Maluku 72,36
Nusa Tenggara Timur 60,65
Sulawesi Barat 51,06
Maluku Utara 48,03
Papua Barat 39,07
Papua 35,11
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110
(%)
GAMBAR 5.10
PUSKESMAS MELAKSANAKAN PROGRAM PERENCANAAN PERSALINAN DAN PENCEGAHAN
KOMPLIKASI (P4K) MENURUT PROVINSI TAHUN 2016
Indonesia 89,75
6. Pelayanan Kontrasepsi
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Keluarga Berencana,
dan Sistem Informasi Keluarga menyebutkan bahwa program keluarga berencana (KB)
adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur
kehamilan, melalui promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk
mewujudkan keluarga yang berkualitas.
Dalam pelaksanaannya, sasaran pelaksanaan program KB yaitu Pasangan Usia Subur
(PUS). Pasangan Usia Subur (PUS) adalah pasangan suami-istri yang terikat dalam
perkawinan yang sah, yang istrinya berumur antara 15 sampai dengan 49 tahun.
KB merupakan salah satu strategi untuk mengurangi kematian ibu khususnya ibu
dengan kondisi 4T yaitu Terlalu muda melahirkan (di bawah usia 20 tahun), Terlalu sering
melahirkan, Terlalu dekat jarak melahirkan, dan Terlalu tua melahirkan (di atas usia 35
tahun). Selain itu, program KB juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas keluarga agar
dapat timbul rasa aman, tentram, dan harapan masa depan yang lebih baik dalam
mewujudkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin.
KB juga merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk meningkatkan
ketahanan keluarga, kesehatan, dan keselamatan ibu, anak, serta perempuan. Pelayanan KB
meliputi penyediaan informasi, pendidikan, dan cara-cara bagi keluarga untuk dapat
merencanakan kapan akan mempunyai anak, berapa jumlah anak, berapa tahun jarak usia
antara anak, serta kapan akan berhenti mempunyai anak.
Melalui tahapan konseling pelayanan KB, Pasangan Usia Subur (PUS) dapat
menentukan pilihan kontrasepsi sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya berdasarkan
informasi yang telah mereka pahami, termasuk keuntungan dan kerugian, serta risiko
metode kontrasepsi dari petugas kesehatan. Untuk selanjutnya, diharapkan Pasangan Usia
Subur (PUS) menggunakan alat kontrasepsi tersebut dengan benar.
Pengertian Pasangan Usia Subur (PUS) Peserta KB dibagi menjadi dua yaitu Peserta
KB Aktif dan Peserta KB Baru. Peserta KB Aktif adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang saat
ini menggunakan salah satu alat kontrasepsi tanpa diselingi kehamilan. Peserta KB Baru
adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang baru pertama kali menggunakan alat/cara
kontrasepsi dan atau pasangan usia subur yang kembali menggunakan metode kontrasepsi
setelah melahirkan/keguguran.
40
(%) 23,17 22,81
20 11,37 11,20 10,61
7,23 4,78
1,73 0,18 3,23 3,54 0,64
0
KB Baru KB Aktif
Suntikan Pil Implan IUD Kondom MOW MOP
Sumber : Statistik Rutin Desember 2016, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2017
Peserta KB Baru dan KB Aktif menunjukkan pola yang sama dalam pemilihan jenis alat
kontrasepsi seperti yang disajikan pada gambar di atas. Sebagian besar Peserta KB Baru
maupun Peserta KB Aktif memilih suntikan dan pil sebagai alat kontrasepsi. Namun demikian
perlu diperhatikan tingkat efektifitas suntikan dan pil dalam pengendalian kehamilan
dibandingkan jenis kontrasepsi lainnya.
GAMBAR 5.12
CAKUPAN PESERTA KB AKTIF DI INDONESIA TAHUN 2016
Indonesia 74,80
Maluku Utara 87,03
Kep. Bangka Belitung 83,92
Sulawesi Utara 83,84
Papua Barat 81,01
Bali 80,98
Kepulauan Riau 79,83
Bengkulu 79,64
Gorontalo 79,28
Jawa Tengah 78,64
DI Yogyakarta 78,58
Sulawesi Tengah 78,24
Kalimantan Tengah 78,14
Jambi 78,09
Sumatera Selatan 77,65
Kalimantan Selatan 76,99
Jawa Timur 76,83
Aceh 76,26
Jawa Barat 74,88
Sulawesi Barat 74,77
Nusa Tenggara Barat 74,75
Banten 72,82
Sulawesi Selatan 72,30
Lampung 71,93
Sumatera Utara 71,63
Riau 71,62
Sulawesi Tenggara 71,55
Kalimantan Barat 70,86
Maluku 69,19
Kalimantan Timur 69,07
DKI Jakarta 67,46
Sumatera Barat 63,73
Nusa Tenggara Timur 63,24
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110
(%)
Sumber: Statistik Rutin Desember 2016, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2017
GAMBAR 5.13
PERSENTASE TEMPAT PELAYANAN KB DI INDONESIA
TAHUN 2016
Jejaring
Lainnya; 12,15
Faskes KB
Pemerintah;
Faskes KB
16,66
Swasta; 5,77
Praktek
Praktek Bidan Dokter; 12,99
Mandiri;
52,43
Sumber : Statistik Rutin Desember 2016, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional, 2017
Dari sisi ketersediaan jenis tempat pelayanan KB menunjukkan bahwa sebagian besar
adalah praktek bidan mandiri. Fasilitas KB ini memiliki proporsi yang sangat besar (52,43%).
Sedangkan fasilitas KB milik pemerintah memiliki persentase sebesar 16,66%. Pemerintah
melalui BKKBN dan Kementerian Kesehatan bertanggungjawab terhadap semua jenis fasilitas
KB tersebut, tidak hanya kepada fasilitas KB milik pemerintah saja. Hal ini merupakan salah
satu tantangan yang dihadapi dalam implementasi program KB.
GAMBAR 5.14
PERSENTASE PUS BUKAN PESERTA KB (UNMET NEED) DI INDONESIA TAHUN 2016
Indonesia 12,77
Papua 31,09
Nusa Tenggara Timur 20,16
Sumatera Barat 18,54
Maluku 18,45
Kalimantan Timur 18,43
Sulawesi Tenggara 18,39
Riau 17,86
DKI Jakarta 16,93
Lampung 15,54
Kalimantan Barat 15,17
Sumatera Utara 14,86
Banten 14,48
Aceh 14,08
Sulawesi Selatan 13,66
Kalimantan Selatan 13,17
Jawa Barat 12,93
Nusa Tenggara Barat 12,78
Sulawesi Barat 12,46
Sulawesi Tengah 12,41
Kalimantan Tengah 11,92
Sumatera Selatan 11,78
Kepulauan Riau 11,67
Jambi 11,67
Bengkulu 11,59
Jawa Tengah 9,96
Gorontalo 9,77
Papua Barat 9,69
Jawa Timur 9,60
Sulawesi Utara 9,02
Kep. Bangka Belitung 8,71
DI Yogyakarta 8,01
Maluku Utara 7,90
Bali 5,69
0 5 10 15 20 25 30 35
(%)
Sumber: Statistik Rutin Desember 2016, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2017
B. KESEHATAN ANAK
Upaya pemeliharaan kesehatan anak ditujukan untuk mempersiapkan generasi akan
datang yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta untuk menurunkan angka kematian anak.
Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak janin masih dalam kandungan,
dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai berusia 18 tahun.
Dengan upaya kesehatan anak antara lain diharapkan mampu menurunkan angka
kematian anak. Indikator angka kematian yang berhubungan dengan anak yakni Angka
Kematian Neonatal (AKN), Angka Kematian Bayi (AKB), dan Angka Kematian Balita (AKABA).
Perhatian terhadap upaya penurunan angka kematian neonatal (0-28 hari) menjadi penting
karena kematian neonatal memberi kontribusi terhadap 59% kematian bayi. Berdasarkan
hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, angka Kematian
Neonatus (AKN) pada tahun 2012 sebesar 19 per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini sama
dengan AKN berdasarkan SDKI tahun 2007 dan hanya menurun 1 poin dibanding SDKI tahun
2002-2003 yaitu 20 per 1.000 kelahiran hidup.
GAMBAR 5.15
TREN ANGKA KEMATIAN NEONATAL, BAYI, DAN BALITA
TAHUN 1991 2015
INDONESIA 91,14
2. Imunisasi
Dalam Undang - Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 dinyatakan bahwa setiap
anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai dengan ketentuan untuk mencegah
terjadinya penyakit yang dapat dihindari melalui imunisasi dan pemerintah wajib
memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan anak. Penyelenggaraan imunisasi
tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 42 Tahun 2013.
GAMBAR 5.17
PERSENTASE CAKUPAN IMUNISASI CAMPAK PADA BAYI DI INDONESIA
TAHUN 2007-2016
99,3
100 96,6 95,8 94,6
92,09 93,61 92,3 93,0
89,8 90,5
81,6 82,1
80
74,4
60
%
40
20
0
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Cakupan Im. Campak Program Cakupan Im. campak Riskesdas Target WHO (90%)
Indonesia memiliki cakupan imunisasi campak program di atas 90% sejak tahun 2008.
Tahun 2016 sedikit meningkat dari tahun 2015, yaitu sebesar 93,0%. Menurut provinsi,
terdapat sebelas provinsi yang telah berhasil mencapai target 95%. Pada gambar di bawah
dapat diketahui bahwa seluruh bayi di Provinsi Sumatera Selatan, Jambi, Nusa Tenggara
Barat, dan Jawa Tengah telah mendapatkan imunisasi campak. Sedangkan provinsi dengan
cakupan terendah yaitu Kalimantan Utara sebesar 57,8%, Papua 63,5% dan Aceh 73,5%.
INDONESIA 93,0
INDONESIA 91,58
Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa seluruh bayi di Provinsi Sumatera
Selatan, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jambi, dan Nusa Tenggara Barat telah mendapatkan
imunisasi dasar lengkap. Sedangkan provinsi dengan capaian terendah yaitu Kalimantan
Utara (56,08%), Papua (59,99%), dan Maluku (67,56%). Data dan informasi terkait imunisasi
dasar pada bayi yang dirinci menurut provinsi tahun 2016 terdapat pada Lampiran 5.14.
GAMBAR 5.20
ANGKA DROP OUT IMUNISASI DPT/HB1-CAMPAK PADA BAYI
TAHUN 2007-2016
10,0
9,0
8,0
7,0
6,0 6,0
5,3 5,2
5,0 4,6
4,4
4,0 3,6
3,3 2,9 2,9
3,0 2,4
2,0
1,0
0,0
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
GAMBAR 5.21
CAKUPAN DESA/KELURAHAN UCI MENURUT PROVINSI
TAHUN 2016
Indonesia 81,82
Bali 100,00
DI Yogyakarta 100,00
Jawa Tengah 99,93
DKI Jakarta 99,65
Lampung 96,49
Kepulauan Bangka Belitung 95,87
Sulawesi Selatan 94,26
Jambi 93,75
Kepulauan Riau 92,05
Jawa Barat 91,82
Nusa Tenggara Barat 90,68
Sumatera Selatan 90,45
Bengkulu 89,69
Gorontalo 89,48
Kalimantan Selatan 87,76
Jawa Timur 87,64
Sulawesi Tengah 83,26
Sulawesi Tenggara 82,74
Kalimantan Timur 80,62
Maluku Utara 80,18
Sulawesi Barat 79,08
Sumatera Utara 73,44
Sulawesi Utara 73,2
Sumatera Barat 72,28
Kalimantan Barat 69,89
Banten 68,41
Nusa Tenggara Timur 68,02
Kalimantan Tengah 65,59
Aceh 65,26
Riau 64,13
Maluku 61,83
Papua 61,59
Papua Barat 56,77
Kalimantan Utara 30,69
0 20 40 60 80 100 120
INDONESIA 73,54
Gorontalo 100,00
Sulawesi Tenggara 100,00
Bali 100,00
Jawa Timur 100,00
DI Yogyakarta 100,00
Jawa Tengah 100,00
Kepulauan Bangka Belitung 100,00
Lampung 100,00
Sumatera Barat 96,97
Sumatera Selatan 96,89
Kalimantan Selatan 96,09
Kalimantan Timur 95,98
Jawa Barat 95,90
Kepulauan Riau 95,89
Jambi 89,94
Kalimantan Utara 89,80
Aceh 84,37
Bengkulu 82,78
Kalimantan Tengah 81,54
Sulawesi Barat 72,34
Nusa Tenggara Barat 72,15
Riau 63,37
Sulawesi Tengah 58,20
Sumatera Utara 53,59
Sulawesi Utara 53,48
Banten 52,36
Sulawesi Selatan 47,77
Maluku 44,72 Target
Papua Barat 40,40 Renstra 2016:
Papua 32,06
55%
Kalimantan Barat 21,01
DKI Jakarta 12,94
Nusa Tenggara Timur 4,58
Maluku Utara
0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00
GAMBAR 5.23
CAKUPAN PUSKESMAS YANG MELAKSANAKAN PENJARINGAN KESEHATAN PESERTA DIDIK
KELAS VII DAN X MENURUT PROVINSI TAHUN 2016
Indonesia 65,14
Gorontalo 100,00
Sulawesi Tenggara 100,00
Jawa Timur 100,00
DI Yogyakarta 100,00
Jawa Tengah 100,00
DKI Jakarta 100,00
100,00
Bali 95,83
Sumatera Selatan 91,61
Sumatera Barat 89,39
Kepulauan Riau 80,82
Kalimantan Utara 79,59
Kalimantan Timur 75,86
Jambi 75,42
Sulawesi Barat 74,47
Lampung 70,89
Jawa Barat 65,43
Nusa Tenggara Barat 63,29
Kalimantan Tengah 60,51
Riau 56,79
Aceh 49,85
Kalimantan Selatan 48,26
Banten 45,49
Maluku 44,22
Sulawesi Tengah 43,92
Bengkulu 42,78
Sulawesi Utara 42,25
Sulawesi Selatan 41,29
Sumatera Utara 40,46
Papua Barat 25,17
Papua 23,41 Target
Kalimantan Barat 21,01 Renstra 2016 :
Nusa Tenggara Timur 4,58 40%
Maluku Utara
0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00
Dari Gambar 5.23 diketahui bahwa sebagian besar provinsi sudah memenuhi target
Renstra 2016 yang sebesar 40%, hanya empat provinsi yang belum mencapai target.
Terdapat tujuh provinsi dengan capaian 100%, yakni Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Jawa
Timur, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, DKI Jakarta dan Kepulauan Bangka Belitung. Capaian
terendah terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Papua dan Papua
Barat. Sedangkan Provinsi Maluku Utara belum mengirimkan data.
Sulitnya memenuhi target Puskesmas yang melakukan penjaringan kesehatan peserta
didik kelas I, VII, dan X dapat disebabkan oleh beberapa masalah. Masalah utama yang sering
ditemukan di daerah yaitu kurangnya tenaga di Puskesmas dibandingkan dengan jumlah
GAMBAR 5.24
PERSENTASE PUSKESMAS MELAKSANAKAN KEGIATAN KESEHATAN REMAJA
MENURUT PROVINSI TAHUN 2016
Indonesia 45,57
Bali 100,00
DI Yogyakarta 100,00
Jawa Tengah 100,00
DKI Jakarta 100,00
Kepulauan Bangka Belitung 88,71
Lampung 76,71
Kepulauan Riau 73,97
Kalimantan Barat 59,66
Kalimantan Selatan 57,83
Maluku 56,78
Kalimantan Timur 56,32
Nusa Tenggara Barat 52,53
Sumatera Selatan 49,07
Bengkulu 48,33
Aceh 45,13
Sumatera Barat 42,42
Jawa Barat 41,05
Jambi 40,78
Jawa Timur 39,69
Kalimantan Utara 38,78
Banten 36,91
Riau 31,28
Sulawesi Tengah 25,93
Gorontalo 25,81
Sumatera Utara 23,47
Sulawesi Selatan 22,54
Sulawesi Utara 19,25 Target
Sulawesi Tenggara 18,22 Renstra 2016 :
Sulawesi Barat 18,09
30%
Papua 13,49
Kalimantan Tengah 12,31
Nusa Tenggara Timur 9,16
Papua Barat 3,97
Maluku Utara
C. Gizi
Pada subbab gizi ini akan dibahas upaya peningkatan gizi balita yaitu : pemberian ASI
eksklusif, cakupan pemberian kapsul vitamin A pada balita 6-59 bulan, penimbangan dan
status gizi balita serta gizi ibu hamil.
INDONESIA 54,0
Mengacu pada target renstra tahun 2016 yang sebesar 42%, maka secara nasional
cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi usia kurang dari enam bulan sebesar 54,0% telah
mencapai target. Menurut provinsi, cakupan ASI eksklusif pada bayi umur 0-5 bulan berkisar
antara 32,3% (Gorontalo) sampai 79,9% (Nusa Tenggara Timur). Dari 34 provinsi hanya tiga
provinsi yang belum mencapai target yaitu Gorontalo, Riau dan Kalimantan Tengah.
GAMBAR 5.26
CAKUPAN PEMBERIAN KAPSUL VITAMIN A PADA BALITA (6-59 BULAN)
MENURUT PROVINSI TAHUN 2016
INDONESIA 90,1
Gorontalo 95,0
DI Yogyakarta 94,5
Jawa Barat 94,4
Sumatera Barat 93,9
Aceh 93,5
Bengkulu 93,4
Kepulauan Riau 93,3
Kalimantan Utara 93,1
Jawa Tengah 92,9
Kalimantan Selatan 92,7
Sulawesi Tenggara 92,4
Bali 92,4
Sumatera Selatan 92,2
Nusa Tenggara Barat 91,9
Jawa Timur 91,9
Lampung 91,8
Kepulauan Bangka Belitung 91,6
Sulawesi Selatan 91,2
Riau 90,9
Kalimantan Timur 90,8
Jambi 90,3
Banten 90,2
DKI Jakarta 89,9
Nusa Tenggara Timur 89,7
Sulawesi Barat 89,4
Sumatera Utara 89,4
Sulawesi Tengah 89,0
Maluku Utara 88,9
Kalimantan Barat 88,6
Maluku 86,5
Sulawesi Utara 85,3
Kalimantan Tengah 84,5
Papua Barat 83,4
Papua 75,3
0 20 40 60 80 100
%
Sumber: Pemantauan Status Gizi 2016, Kemenkes RI
Hasil pengukuran status gizi PSG 2016 dengan indeks BB/U pada balita 0-23 bulan
mendapatkan persentase gizi buruk sebesar 3,1%, gizi kurang sebesar 11,8% dan gizi lebih
sebesar 1,5%. Dibandingkah hasil PSG 2015 juga relatif sama yaitu gizi buruk sebesar 3,2%,
gizi kurang sebesar 11,9% dan gizi lebih sebesar 1,6%. Provinsi dengan gizi buruk dan kurang
tertinggi tahun 2016 adalah Kalimantan Barat (24,5%) dan terendah Sulawesi Utara (5,7%).
Status gizi balita 0-59 bulan dengan indeks TB/U menunjukkan persentase balita
pendek dan sangat pendek. Hasil PSG 2016 mendapatkan persentase balita sangat pendek
sebesar 8,6% dan pendek sebesar 19,0%. Target persentase balita pendek dan sangat
pendek adalah kurang dari 20%. Provinsi dengan persentase balita pendek dan sangat
pendek terbesar adalah Sulawesi Barat (39,7%) dan terendah adalah Sumatera Selatan
(19,2%). Hanya Provinsi Sumatera Selatan dan Bali yang kurang dari 20%.
Sedangkan pada balita 0-23 bulan persentase sangat pendek sebesar 7,1% dan
pendek sebesar 14,6%. Provinsi dengan persentase balita pendek dan sangat pendek
terbesar adalah Kalimantan Barat (32,5%) dan terendah adalah Sumatera Selatan (14,2%).
Status gizi balita 0-59 bulan dengan indeks TB/BB menunjukkan persentase kurus dan
sangat kurus. Hasil PSG 2016 mendapatkan persentase balita 0-23 bulan yang sangat kurus
sebesar 3,1%, kurus sebesar 8,0% dan gemuk sebesar 4,3%. Provinsi dengan persentase
balita kurus dan sangat kurus terbesar adalah Maluku (22,2%) dan terendah adalah Bali
(5,5%).
Sedangkan pada balita 0-23 bulan persentase sangat kurus sebesar 3,7%, kurus
sebesar 8,9% dan gemuk sebesar 4,3%. Provinsi dengan persentase balita kurus dan sangat
kurus terbesar adalah Papua (16,5%) dan terendah adalah Aceh (14,4%).
Data mengenai status gizi balita dapat dilihat pada lampiran 5.23-5.28
Salah satu upaya untuk meningkatkan status gizi balita adalah kegiatan pemberian
makanan tambahan untuk balita kurus. Pemberian makanan tambahan diberikan pada balita
usia 6 bulan 0 hari sampai dengan 23 bulan 29 hari dengan status gizi kurus, diukur
berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan sebesar minus 3 standar deviasi
***
60%
65 tahun
17,22 17,30 17,36 17,18 16,81
50% 55-64 tahun
25-34 tahun
20%
15,80 15,80 16,19 15,89 15,99
15-24 tahun
10%
8,21 7,92 7,10 8,59 9,04 0-14 tahun
0%
2012 2013 2014 2015 2016
Gambar 6.1. menunjukan proporsi kasus TB menurut kelompok umur. Pada Tahun
2016 kasus tuberkulosis terbanyak ditemukan pada kelompok umur 25-34 tahun yaitu
sebesar 18,07% diikuti kelompok umur 45-54 tahun sebesar 17,25% dan pada kelompok
umur 35-44 tahun sebesar 16,81%. Pada gambar diatas terlihat bahwa perbedaan proporsi
kasus tuberkulosis berdasarkan golongan umur dari tahun 2012 sampai dengan 2016 tidak
terjadi perubahan signifikan.
0
50
100
150
200
250
300
Bali 73
20
40
60
80
0
100
120
140
DI Yogyakarta 83
Riau 95
Jambi 96
Bengkulu 98
131
2008
Jawa Tengah 105
Kalimantan Barat 107
Lampung 110
127
2009
Kep. Bangka Belitung 110
Sumatera Selatan 114
Kalimantan Tengah
2011
Jawa Timur
CNR 2015
125
Sulawesi Barat 128
Kalimantan Timur 134 Tahun
138
Sulawesi Tengah
2012
137
GAMBAR 6.3
GAMBAR 6.2
CNR 2016
Sumatera Barat 140
Gorontalo
135
145
2013
2014
ANGKA NOTIFIKASI KASUS TUBERKULOSIS
Sulawesi Selatan
PER 100.000 PENDUDUK TAHUN 2008-2016
154
Sumatera Utara 161
Kepulauan Riau 175
Kalimantan Utara
129
183
2015
2016
Papua 260
ANGKA NOTIFIKASI SEMUA KASUS TUBERKULOSIS PER 100.000 PENDUDUK
INDONESIA 136
Gambar 6.5 berikut memperlihatkan besarnya angka notifikasi atau Case Notification
Provinsi dengan CNR semua kasus tuberkulosis tertinggi yaitu DKI Jakarta (269),
Papua (260) dan Maluku (209), dan Papua (223). Sedangkan CNR semua kasus tuberkulosis
terendah yaitu Provinsi Bali (73), DI Yogyakarta (83) dan Riau (95). Bila dibandingkan dengan
CNR semua kasus TB tahun 2015 terdapat 24 provinsi (71%) yang mengalami kenaikan CNR
dan 10 provinsi (29%) yang mengalami penurunan CNR.
GAMBAR 6.4
ANGKA KEBERHASILAN PENGOBATAN PASIEN TUBERKULOSIS
DI INDONESIA TAHUN 2008-2016
100
90
80 90 90 89 88 88 87 85
83 84
70
60
% 50
40
30
20
10
0
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Pada Gambar 6.4 terlihat penurunan angka keberhasilan pengobatan semua kasus
tuberkulosis pada tahun 2013 dan 2015 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun
2016 angka keberhasilan pengobatan semua kasus tuberkulosis sebesar 85%. Angka
kesembuhan semua kasus yang harus dicapai minimal 85% sedangkan angka keberhasilan
pengobatan semua kasus minimal 90%.
INDONESIA 85,1
2. HIV/AIDS
HIV/AIDS merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human
Immunodeficiency Virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Infeksi tersebut
GAMBAR 6.6
JUMLAH KASUS HIV POSITIF DAN AIDS YANG DILAPORKAN DI INDONESIA
SAMPAI TAHUN 2016
45.000
41.250
40.000
35.000 32.711
30.935
29.037
30.000
(Jumlah kasus)
Jumlah kasus baru HIV positif yang dilaporkan dari tahun ke tahun cenderung
meningkat dan pada tahun 2016 dilaporkan sebanyak 41.250 kasus.
GAMBAR 6.7
PROPORSI KASUS BARU HIV POSITIF DAN AIDS MENURUT JENIS KELAMIN
DI INDONESIA TAHUN 2016
Laki-laki
63,3% Laki-laki
67,9%
Penderita HIV positif pada laki-laki sebesar 63,3% dan pada perempuan sebesar
36,7%. Sedangkan penderita AIDS pada laki-laki sebesar 67,9% dan pada perempuan sebesar
31,5%.
Menurut kelompok umur, persentase kasus baru HIV positif dan AIDS tahun 2016
seperti digambarkan di bawah ini.
Penemuan Kasus HIV dan AIDS pada usia di bawah 4 tahun menandakan masih ada
penularan HIV dari ibu ke anak yang diharapkan akan terus menurun di tahun selanjutnya
sebagai upaya mencapai tujuan nasional dan global dalam rangka triple elimination (eliminasi
HIV, hepatitis B, dan sifilis) pada bayi. Proporsi terbesar kasus HIV dan AIDS masih pada
penduduk usia produktif (15-49 tahun), dimana kemungkinan penularan terjadi pada usia
remaja.
HIV dapat ditularkan melalui hubungan seks, tranfusi darah, penggunaan jarum
suntik bergantian dan penularan dari ibu ke anak (perinatal). Berikut ini disajikan persentase
kasus HIV positif dan AIDS menurut faktor risiko penularan yang dilaporkan pada tahun 2016.
GAMBAR 6.9
PERSENTASE KASUS HIV POSITIF DAN AIDS MENURUT FAKTOR RISIKO DI INDONESIA
TAHUN 2016
IDU Lain-lain Tak
Transfusi
Penasun Perinatal 2,6% 0,5%
0,2% diketahui
1,9% 3,8% 2,0%
Biseksual Homosek
Tak sual
Hetero 1,1%
diketahui 15,8%
25,6% seksual
35,5%
Hetero
Lain-lain
seksual
11,0%
74,0%
LSL
26,1%
GAMBAR 6.10
JUMLAH KASUS AIDS MENURUT PEKERJAAN
DI INDONESIA TAHUN 2016
Pada tahun 2016 AIDS dilaporkan bersamaan dengan penyakit penyerta terbanyak
adalah kandidiasis (280 kasus), tuberkulosis (194 kasus) dan diare (173 kasus).
10
9 8,22
8
7 6,13
6 6,78
(%) 5 4,12
5,20
4 4,86
2,95
3
2 1,16 1,11
1 1,66
0
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
3. Pneumonia
Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) yang dapat
disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti virus, jamur dan bakteri. Gejala penyakit
TABEL 6.1
PERKIRAAN PERSENTASE KASUS PNEUMONIA PADA BALITA MENURUT PROVINSI
DI INDONESIA TAHUN 2016
Perkiraan Perkiraan
No Provinsi No Provinsi
Kasus (%) Kasus (%)
1 Aceh 4,46 18 Nusa Tenggara Barat 6,38
2 Sumatera Utara 2,99 19 Nusa Tenggara Timur 4,28
3 Sumatera Barat 3,91 20 Kalimantan Barat 2,12
4 Riau 2,67 21 Kalimantan Tengah 4,37
5 Jambi 3,15 22 Kalimantan Selatan 5,53
6 Sumatera Selatan 3,61 23 Kalimantan Timur 2,86
7 Bengkulu 2,00 24 Sulawesi Utara 2,68
8 Lampung 2,23 25 Sulawesi Tengah 5,19
9 Kep. Bangka Belitung 6,05 26 Sulawesi Selatan 3,79
10 Kepulauan Riau 3,98 27 Sulawesi Tenggara 3,84
11 DKI Jakarta 4,24 28 Gorontalo 4,84
12 Jawa Barat 4,62 29 Sulawesi Barat 4,88
13 Jawa Tengah 3,61 30 Maluku 3,74
14 DI Yogyakarta 4,32 31 Maluku Utara 2,29
15 Jawa Timur 4,45 32 Papua Barat 2,88
16 Banten 4,12 33 Papua 2,80
17 Bali 2,05 INDONESIA 3,55
Sumber: Ditjen P2P, Kemenkes RI
Cakupan penemuan kasus pneumonia pada balita di Indonesia dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.
100
90
80
70 63,45 65,27
60
(%) 50
40
29,47
26,26 25,91 23,98 24,46
30 23,00 23,42
20
10
0
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Sampai dengan tahun 2014, angka cakupan penemuan pneumonia balita tidak
mengalami perkembangan berarti yaitu berkisar antara 20%-30%. Pada tahun 2015 terjadi
peningkatan menjadi 63,45% dan menjadi 65,27% pada tahun 2016. Peningkatan cakupan
pada tahun 2015 karena perubahan angka perkiraan kasus dari 10% menjadi 3,55%, selain
itu ada peningkatan dalam kelengkapan pelaporan dari 83,08% pada tahun 2014 menjadi
91,91% pada tahun 2015 dan 94,12% pada tahun 2016.
Sejak tahun 2015 indikator Renstra yang digunakan adalah persentase
kabupaten/kota yang 50% puskesmasnya melakukan pemeriksaan dan tatalaksana
pneumonia melalui program MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit). Pada tahun 2015
tercapai 14,62% dari 513 kab/kota yang dilaporkan, sedangkan target sebesar 20%. Pada
tahun 2016 tercapai 28,07% dari target 30%. Belum tercapainya target disebabkan antara
lain belum tersosialisasinya penambahan variabel untuk mengukur indikator Renstra sampai
di tingkat puskesmas, sehingga banyak puskesmas tidakmelaporkan variabel tersebut. Selain
itu sosialisasi tata laksana standar juga belum merata ke seluruh puskesmas.
Angka kematian akibat pneumonia pada balita tahun 2016 sebesar 0,11% sedangkan
tahun 2015 sebesar 0,16%. Pada tahun 2016 Angka kematian akibat pneumonia pada
kelompok umur 1-4 sedikit lebih tinggi yaitu sebesar 0,13% dibandingkan pada kelompok
bayi yang sebesar 0,06%. Cakupan penemuan pneumonia dan kematiannya menurut provinsi
dan kelompok umur pada tahun 2016 dapat dilihat pada Lampiran 6.12 dan 6.13.
8
8,30
7,76
6 6,79 6,75 6,73 6,50
4
0
2011 2012 2013 2014 2015 2016
Angka prevalensi kusta per 10.000 penduduk
Angka penemuan kasus baru kusta per 100.000 penduduk
Sumber: Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2017
GAMBAR 6.14
PETA ELIMINASI KUSTA PROVINSI DI INDONESIA
TAHUN 2015 DAN 2016
Di tahun 2016, terdapat penambahan provinsi yang mencapai eliminasi yaitu Provinsi
Aceh dan Provinsi Kalimantan Utara. Adapun 11 provinsi yang belum mencapai eliminasi
adalah Jawa Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, Papua, serta Papua Barat.
8
8,40 8,71
6
6,82 6,60
6,33
5,27
%
0
2011 2012 2013 2014 2015 2016
Sumber: Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2017
Provinsi dengan angka cacat tingkat 2 tertinggi pada tahun 2016 adalah Maluku Utara
(13,49 per 1.000.000 penduduk), Sulawesi Selatan (13,25 per 1.000.000 penduduk) dan
Papua (11,85 per 1.000.000 penduduk). Tingginya angka cacat tingkat 2 menunjukkan
keterlambatan dalam penemuan kasus di lapangan.
GAMBAR 6.16
ANGKA CACAT TINGKAT 2 KUSTA PER 1.000.000 PENDUDUK
PER PROVINSI TAHUN 2016
INDONESIA 5,27
DI YOGYA 0,00
LAMPUNG 0,00
NUSA TENGGARA TIMUR 0,38
KEPULAUAN RIAU 0,49
KALIMANTAN TIMUR 0,57
BALI 0,71
SUMATERA BARAT 0,76
KALIMANTAN TENGAH 0,78
RIAU 1,08
BANGKA BELITUNG 1,43
DKI JAKARTA 1,46
KALIMANTAN BARAT 1,65
SUMATERA UTARA 2,20
NUSA TENGGARA BARAT 2,25
JAMBI 2,31
BENGKULU 2,62
KALIMANTAN UTARA 3,00
SUMATERA SELATAN 3,19
KALIMANTAN SELATAN 4,44
JAWA BARAT 4,50
SULAWESI BARAT 4,59
JAWA TENGAH 4,64
SULAWESI TENGAH 4,79
PAPUA BARAT 5,60
SULAWESI UTARA 6,16
SULAWESI TENGGARA 6,27
ACEH 7,26
BANTEN 9,01
GORONTALO 9,56
MALUKU 10,49
JAWA TIMUR 11,39
PAPUA 11,85
SULAWESI SELATAN 13,25
MALUKU UTARA 13,49
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Angka cacat tingkat II kusta per 1.000.000 penduduk
GAMBAR 6.17
PROPORSI KUSTA MB DAN PROPORSI KUSTA PADA ANAK
TAHUN 2012-2016
100
90
80
82,69 83,44 83,48 84,55 84,19
70
60
(%) 50
40
30
20 10,78 11,88 11,12 11,22 11,43
10
0
2012 2013 2014 2015 2016
5. Diare
Penyakit diare merupakan penyakit endemis di Indonesia dan juga merupakan
penyakit potensial Kejadian Luar Biasa (KLB) yang sering disertai dengan kematian. Pada
tahun 2016 terjadi 3 kali KLB diare yang tersebar di 3 provinsi, 3 kabupaten, dengan jumlah
penderita 198 orang dan kematian 6 orang (CFR 3,04%).
Angka kematian (CFR) saat KLB diare diharapkan <1%. Pada tabel berikut dapat dilihat
rekapitulasi KLB diare dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2016. Terlihat bahwa CFR saat
KLB masih cukup tinggi (>1%) kecuali pada tahun 2011 CFR pada saat KLB sebesar 0,40%,
sedangkan tahun 2016 CFR diare saat KLB meningkat menjadi 3,04%.
TABEL 6.3
REKAPITULASI KLB DIARE DI INDONESIA
TAHUN 2008 2016
Target cakupan pelayanan penderita diare yang datang ke sarana kesehatan dan
kader kesehatan adalah 10% dari perkiraan jumlah penderita diare (insidens diare dikali
jumlah penduduk di satu wilayah kerja dalam waktu satu tahun). Insidensi diare nasional
hasil Survei Morbiditas Diare tahun 2014 yaitu sebesar 270/1.000 penduduk, maka
diperkirakan jumlah penderita diare di fasilitas kesehatan pada tahun 2016 sebanyak
6.897.463 orang, sedangkan jumlah penderita diare yang dilaporkan ditangani di fasilitas
kesehatan adalah sebanyak 3.198.411 orang atau 46,4% dari target. Rincian menurut
provinsi dapat dilihat pada Lampiran 6.11.
GAMBAR 6.18
DISTRIBUSI KASUS TETANUS NEONATORUM PER PROVINSI
TAHUN 2016
Gambaran kasus menurut faktor risiko penolong persalinan, 25 atau 75,8% kasus
ditolong oleh penolong persalinan tradisional, misalnya dukun. Menurut cara perawatan tali
pusat terdapat 3 bayi yang dirawat menggunakan alkohol/iodium yang terkena penyakit ini.
Menurut alat yang digunakan untuk pemotongan tali pusat, terdapat 11 kasus (33,3%)
menggunakan gunting, 16 kasus (48,5%) menggunakan bambu, dan sisanya menggunakan
alat lain atau tidak diketahui. Menurut status imunisasi sebanyak 23 kasus (69,7%) terjadi
pada kelompok yang tidak diimunisasi. Rincian kasus tetanus neonatorum beserta
persentase kasus menurut faktor risiko dan provinsi dapat dilihat pada Lampiran 6.18.
2. Campak
Penyakit campak disebabkan oleh virus campak golongan Paramyxovirus. Penularan
dapat terjadi melalui udara yang telah terkontaminasi oleh droplet (ludah) orang yang telah
GAMBAR 6.19
DISTRIBUSI KASUS CAMPAK RUTIN DI INDONESIA
TAHUN 2016
Incidence Rate (IR) campak pada tahun 2016 sebesar 5,0 per 100.000 penduduk,
meningkat dibandingkan tahun 2015 yang sebesar 3,20 per 100.000 penduduk. Gambar 6.20
menyajikan IR campak menurut provinsi. Sebanyak 12 provinsi melaporkan tidak terjadi
kasus campak di daerahnya. Adapun Nusa Tenggara Barat, Bali, dan dan Sulawesi Selatan
merupakan provinsi dengan IR campak terendah. Sedangkan Jambi, Kepulauan Riau dan
Aceh merupakan provinsi dengan IR campak tertinggi.
Indonesia 5,0
Papua Barat 0,0
Maluku Utara 0,0
Maluku 0,0
Sulawesi Barat 0,0
Kalimantan Utara 0,0
Kalimantan Timur 0,0
Kalimantan Selatan 0,0
Nusa Tenggara Timur 0,0
Banten 0,0
DI Yogyakarta 0,0
Kep. Bangka Belitung 0,0
Riau 0,0
Nusa Tenggara Barat 0,1
Bali 0,1
Sulawesi Selatan 0,8
Jawa Barat 1,3
Sumatera Utara 1,3
Kalimantan Barat 1,4
Papua 2,1
DKI Jakarta 2,7
Sulawesi Tenggara 3,8
Bengkulu 5,1
Lampung 5,4
Jawa Tengah 6,0
Gorontalo 7,5
Jawa Timur 7,6
Sumatera Barat 9,1
Sumatera Selatan 9,8
Sulawesi Utara 9,9
Kalimantan Tengah 12,2
Sulawesi Tengah 23,8
Aceh 29,0
Kepulauan Riau 31,7
Jambi 34,0
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Menurut kelompok umur, proporsi kasus campak terbesar terdapat pada kelompok
umur 5-9 tahun dan kelompok umur 1-4 tahun dengan proporsi masing-masing sebesar
31,6% dan 25,4%. Adapun dari 12.681 kasus campak ternyata hanya 4.466 (35,2%) yang
divaksinasi. Gambar 6.21 berikut memperlihatkan proporsi kasus campak per kelompok
umur. Rincian kasus campak per provinsi dapat dilihat pada Lampiran 6.19 dan 6.20.
<1 Tahun
7%
15 Tahun
19%
1-4 Tahun
25%
10-14 Tahun
17%
5-9 Tahun
32%
Campak dinyatakan sebagai KLB apabila terdapat 5 atau lebih kasus klinis dalam
waktu 4 minggu berturut-turut yang terjadi secara mengelompok dan dibuktikan adanya
hubungan epidemiologis. Pada tahun 2016, jumlah KLB campak yang terjadi sebanyak 129
KLB dengan jumlah kasus sebanyak 1.511 kasus. Angka tersebut lebih tinggi bila
dibandingkan dengan tahun 2015 dengan 68 KLB dan jumlah kasus sebanyak 831 kasus.
Frekuensi KLB campak tertinggi terjadi di Sumatera Barat sebanyak 33 kejadian KLB
dengan 495 kasus dan 1 orang meninggal. Frekuensi KLB campak tertinggi selanjutnya terjadi
di Provinsi Jambi sebanyak 27 KLB dengan jumlah 256 kasus campak dan Sumatera Selatan
14 KLB dengan 125 kasus campak. Tidak ada penderita yang meninggal dari kejadian KLB di
dua provinsi tersebut. Frekuensi dan jumlah kasus pada KLB campak menurut provinsi dapat
dilihat pada Lampiran 6.21.
3. Difteri
Penyakit difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae yang
menyerang sistem pernapasan bagian atas. Penyakit difteri pada umumnya menyerang anak-
anak usia 1-10 tahun.
Jumlah kasus difteri pada tahun 2016 sebanyak 415 kasus dengan jumlah kasus
meninggal sebanyak 24 kasus sehingga CFR difteri yaitu sebesar 5,8%. Dari jumlah tersebut,
kasus tertinggi terjadi di Jawa Timur dengan 209 kasus dan Jawa Barat yaitu sebanyak 133
kasus. Dari seluruh kasus difteri, sebesar 51 % diantaranya tidak mendapatkan vaksinasi.
Gambaran kasus menurut kelompok umur pada tahun 2016 menunjukkan bahwa
59% kasus difteri terjadi pada kelompok umur 5-9 tahun dan 1-4 Tahun. Kelompok umur 15
tahun memiliki rentang usia yang lebih panjang dibanding kelompok umur lainnya sehingga
meskipun proporsinya besar, jika dihitung per umur tunggal, kelompok ini memiliki jumlah
kasus yang rendah. Rincian kasus difteri per provinsi dapat dilihat pada Lampiran 6. 23.
GAMBAR 6.23
PROPORSI KASUS DIFTERI MENURUT KELOMPOK UMUR
DI INDONESIA TAHUN 2016
<1 Tahun
2%
15 Tahun1-4 Tahun
28% 23%
10-14 Tahun
11%
5-9 Tahun
36%
GAMBAR 6.24
PENCAPAIAN NON POLIO AFP RATE PER 100.000 ANAK USIA < 15 TAHUN
MENURUT PROVINSI TAHUN 2016
No case/report
NP AFP rate < 1
NP AFP rate 1-1,99
NP AFP rate >=2
GAMBAR 6.25
NON POLIO AFP RATE PER 100.000 ANAK < 15 TAHUN
DI INDONESIA TAHUN 2016
Indonesia 1,96
Papua Barat
Gorontalo 5,43
Bali 3,24
DKI Jakarta 2,88
Lampung 2,74
Sulawesi Tengah 2,35
Sulawesi Utara 2,31
Jambi 2,20
Nusa Tenggara Timur 2,16
Kalimantan Tengah 2,13
Nusa Tenggara Barat 2,13
DI Yogyakarta 2,12
Banten 2,11
Sumatera Utara 2,11
Jawa Tengah 2,08
Jawa Timur 2,03
Jawa Barat 2,02
Sumatera Barat 2,00
Aceh 2,00
Kalimantan Barat 1,93
Sulawesi Tenggara 1,89
Sumatera Selatan 1,70
Kalimantan Selatan 1,67
Sulawesi Selatan 1,60
Kalimantan Timur 1,40
Bengkulu 1,27
Papua 0,90
Kepulauan Riau 0,77
Kep. Bangka Belitung 0,50
Kalimantan Utara 0,40
Riau 0,39
Maluku Utara 0,25
Sulawesi Barat 0,22
Maluku 0,17
Setiap kasus AFP yang ditemukan dalam kegiatan intensifikasi surveilans, akan
dilakukan pemeriksaan spesimen tinja untuk mengetahui ada tidaknya virus polio liar. Untuk
itu diperlukan spesimen adekuat yang sesuai dengan persyaratan yaitu diambil 14 hari
setelah kelumpuhan dan suhu spesimen 0C - 8C sampai di laboratorium.
No case/report
Adeq. Spec <60%
GAMBAR 6.27
PERSENTASE SPESIMEN ADEKUAT AFP
MENURUT PROVINSI TAHUN 2016
Indonesia 83,1
Papua Barat
Sumatera Utara 100,0
Kep. Bangka Belitung 100,0
Kalimantan Utara 100,0
Riau 100,0
Sulawesi Barat 100,0
Kalimantan Barat 96,4
Jawa Tengah 94,7
Sumatera Barat 93,7
Sulawesi Selatan 92,5
Banten 89,4
Jawa Barat 86,8
Kalimantan Timur 86,6
Lampung 85,7
Bengkulu 85,7
Jawa Timur 84,6
DI Yogyakarta 83,3
Sumatera Selatan 80,9
Sulawesi Utara 80,0
Kepulauan Riau 80,0
Gorontalo 78,9
Jambi 77,2
Sulawesi Tengah 75,0
Nusa Tenggara Timur 75,0
Kalimantan Tengah 75,0
Bali 74,2
Aceh 71,8
Sulawesi Tenggara 70,5
Kalimantan Selatan 65,0 Standar Spesimen Adekuat
Nusa Tenggara Barat 59,3
80%
Maluku 50,0
DKI Jakarta 40,0
Papua 33,3
Maluku Utara
- 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0 120,0
GAMBAR 6.28
ANGKA KESAKITAN DEMAM BERDARAH DENGUE
PER 100.000 PENDUDUK TAHUN 2010-2016
100
90 78,85
80
65,70
70
60 50,75
45,85
IR DBD
50 37,27 39,80
40 27,67
30
20
10
0
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Tahun
Sumber: Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2017
INDONESIA 78,85
Bali 515,90
Kalimantan Timur 305,95
DKI Jakarta 198,71
DI Yogyakarta 167,89
Kalimantan Utara 158,33
Sulawesi Tenggara 123,34
Kalimantan Selatan 101,05
Kepulauan Riau 97,77
Bengkulu 91,66
Sulawesi Selatan 89,29
Sulawesi Utara 81,04
Sulawesi Tengah 79,20
Jawa Barat 77,31
Sumatera Barat 75,75
Sulawesi Barat 66,82
Kalimantan Tengah 65,05
Gorontalo 64,83
Riau 64,14
Jawa Timur 62,65
Sumatera Utara 61,11
Lampung 55,04
Nusa Tenggara Barat 52,80
Aceh 52,02
Banten 50,31
Sumatera Selatan 47,19
Jambi 44,90
Jawa Tengah 42,26
Papua 35,23
Kepulauan Bangka Belitung 34,95
Maluku Utara 25,04
Maluku 21,16
Nusa Tenggara Timur 19,51
Kalimantan Barat 12,09
Papua Barat 11,75
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550
IR DBD
Sumber: Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2017
INDONESIA 0,78
Maluku 5,79
Maluku Utara 2,69
Gorontalo 2,68
Jawa Tengah 1,48
Kalimantan Tengah 1,45
Jawa Timur 1,40
Kalimantan Barat 1,36
Bengkulu 1,26
Banten 1,16
Kalimantan Utara 1,04
Kepulauan Riau 1,01
Kalimantan Timur 0,96
Sulawesi Tenggara 0,96
Sulawesi Tengah 0,95
Riau 0,94
Nusa Tenggara Barat 0,93
Sulawesi Barat 0,92
Jambi 0,90
Sulawesi Utara 0,86
Aceh 0,79
Jawa Barat 0,74
Kalimantan Selatan 0,68
Sumatera Selatan 0,65
Kepulauan Bangka Belitung 0,61
Sumatera Utara 0,53
Sulawesi Selatan 0,53
Papua 0,53
Sumatera Barat 0,45
DI Yogyakarta 0,42
Lampung 0,33
Bali 0,29
Nusa Tenggara Timur 0,20
DKI Jakarta 0,07
Papua Barat 0,00
0 1 2 3 4 5 6
% CFR
Sumber: Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2017
GAMBAR 6.31
JUMLAH KABUPATEN/KOTA TERJANGKIT DBD
DI INDONESIA TAHUN 2010-2016
600
300
200
100
0
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Tahun
Sumber: Ditjen P2P Kemenkes RI, 2017
GAMBAR 6.32
ANGKA BEBAS JENTIK
DI INDONESIA TAHUN 2010-2015
100
90 80,2 80,1
79,3
76,2
80
67,6
70
60 54,2
% ABJ
50
40
24,1
30
20
10
0
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Tahun
Sumber: Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2017
2. Chikungunya
Demam chikungunya (demam chik) adalah suatu penyakit menular dengan gejala
utama demam mendadak, nyeri pada persendian, terutama pada sendi lutut, pergelangan,
jari kaki dan tangan serta tulang belakang, serta ruam pada kulit. Demam chik ditularkan
oleh nyamuk Aedes albopictus dan Aedes aegypty yang juga merupakan nyamuk penular
penyakit DBD.
Demam chik dijumpai terutama di daerah tropis/subtropis dan sering menimbulkan
epidemi. Beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya demam chik yaitu rendahnya
status kekebalan kelompok masyarakat dan kepadatan populasi nyamuk penular karena
banyaknya tempat perindukan nyamuk yang biasanya terjadi pada musim penghujan.
Selama tahun 2016 terjadi demam chikungunya sebanyak 1.702 kasus di 20
kabupaten/kota dari 4 provinsi yaitu Jawa Barat (1 kabupaten/kota), Jawa Timur (13
kabupaten/kota), Sulawesi Tengah (5 kabupaten/kota), dan Bali (1 kabupaten/kota). Jumlah
kasus demam chikungunya terbanyak terjadi di Jawa Timur sebanyak 1.489 kasus.
GAMBAR 6.33
JUMLAH KASUS CHIKUNGUNYA DI INDONESIA
TAHUN 2010-2016
60.000
52.703
50.000
40.000
Jumlah Kasus
30.000
20.000 15.324
7.341
10.000
2.998 1.831 2.282 1.702
0
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Tahun
Sumber: Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2017
3. Filariasis
Filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh parasit berupa
cacing filaria, yang terdiri dari tiga spesies yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan
Brugia timori. Penyakit ini menginfeksi jaringan limfe (getah bening). Filariasis menular
melalui gigitan nyamuk yang mengandung cacing filaria dalam tubuhnya. Dalam tubuh
manusia, cacing tersebut tumbuh menjadi cacing dewasa dan menetap di jaringan limfe
sehingga menyebabkan pembengkakan di kaki, tungkai, payudara, lengan dan organ genital.
Sebagai upaya untuk mengeliminasi filariasis pada tahun 2020 WHO menetapkan
kesepakatan global (The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health
problem by The Year 2020). Di dunia terdapat 1,3 miliar penduduk yang berisiko tertular
penyakit filariasis atau yang dikenal juga dengan penyakit kaki gajah yang berada pada lebih
dari 83 negara dan 60% kasus berada di Asia Tenggara. Di Indonesia, pada tahun 2016
terdapat 13.009 kasus filariasis. Grafik berikut menggambarkan peningkatan kasus filariasis
di Indonesia sejak tahun 2010.
GAMBAR 6.34
JUMLAH KASUS KRONIS FILARIASIS
DI INDONESIA TAHUN 2010 2016
16.000
14.000
14.932
8.000
6.000
4.000
2.000
0
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Tahun
Sumber: Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2017
50
39,4 37,7
40
30
20
10
0
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Tahun
Sumber: Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2017
4. Malaria
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium yang hidup
dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia, ditularkan oleh nyamuk malaria
(Anopheles) betina, dapat menyerang semua orang baik laki-laki ataupun perempuan pada
semua golongan umur dari bayi, anak-anak dan orang dewasa.
Gambar 6.36 menunjukkan bahwa menurut tingkat endemisitas malaria tahun 2016,
sebanyak 48,1% kabupaten/kota sudah tersertifikasi bebas malaria, 32,2% kabupaten/kota
memiliki status endemis rendah (API<1), 11,7% kabupaten/kota memiliki status endemis
sedang (API 1-5), dan 8,0% kabupaten/kota memiliki status endemis tinggi (API>5).
GAMBAR 6.36
PROPORSI KABUPATEN/KOTA MENURUT TINGKAT ENDEMISITAS MALARIA TAHUN 2016
Endemis
Tinggi; 8,0
Endemis
Sedang; 11,7
Eliminasi;
48,1
Endemis
Rendah; 32,3
GAMBAR 6.37
ANGKA KESAKITAN MALARIA (ANNUAL PARACITE INCIDENCE /API)
PER 1.000 PENDUDUK BERISIKO TAHUN 2009-2016
3,0
2,5
1,96
2,0 1,8
API per 1.000 penduduk
1,75 1,69
1,38
1,5
0,99
1,0 0,85
0.84
0,5
0,0
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Tahun
Papua merupakan provinsi dengan API tertinggi, yaitu 45,85 per 1.000 penduduk.
Angka ini sangat tinggi jika dibandingkan dengan provinsi lainnya. Empat provinsi dengan API
per 1.000 penduduk tertinggi lainnya, yaitu Papua Barat (10,20), Nusa Tenggara Timur (5,17),
Maluku (3,83), dan Maluku Utara (2,44). Sebanyak 83% kasus berasal dari Papua, Papua
Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Angka kesakitan malaria menurut provinsi dapat dilihat
pada Gambar 6.38.
Secara nasional, sebesar 95% suspek malaria diperiksa secara laboratorium (Rapid
Diagnostic Test dan Mikroskop). Informasi lengkap mengenai jumlah kasus malaria dan jenis
tes sediaan darah menurut provinsi dapat dilihat pada Lampiran 6.25.
INDONESIA 0,84
Papua 45,85
Papua Barat 6,79
Nusa Tenggara Timur 5,41
Maluku 3,95
Maluku Utara 2,44
Bengkulu 1,45
Sulawesi Utara 0,72
Kalimantan Selatan 0,52
Sulawesi Tengah 0,49
Sulawesi Tenggara 0,44
Lampung 0,40
Kepulauan Riau 0,36
Kalimantan Timur 0,35
Sumatera Selatan 0,28
Sumatera Utara 0,27
Nusa Tenggara Barat 0,24
Kalimantan Tengah 0,19
Gorontalo 0,15
Jambi 0,14
Sumatera Barat 0,12
Sulawesi Selatan 0,12
Kep. Bangka Belitung 0,11
Sulawesi Barat 0,09
Kalimantan Barat 0,06
Aceh 0,05
Kalimantan Utara 0,03
Jawa Tengah 0,03
Riau 0,03
DI Yogyakarta 0,03
Jawa Timur 0,01
Jawa Barat 0,01
DKI Jakarta 0,01
Banten
Bali
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Pada tahun 2016 terdapat 413 kabupaten/kota dengan API<1 per 1.000 penduduk,
sementara target Rencana Strategi Kementerian Kesehatan untuk angka kesakitan malaria
atau Annual Parasite Incidence (API) tahun 2016 adalah jumlah kabupaten/kota dengan
API<1 per 1.000 penduduk sebanyak 360 kabupaten/kota. Dengan demikian cakupan API
2016 mencapai target Renstra. Jumlah kabupaten/kota dengan API<1 per 1.000 penduduk
menurut provinsi dapat dilihat pada Gambar 6.39.
Jawa Timur 38
Jawa Tengah 35
Sumatera Utara 29
Jawa Barat 27
Sulawesi Selatan 24
Aceh 23
Sumatera Barat 18
Sulawesi Tenggara 16
Kalimantan Tengah 14
Kalimantan Barat 14
Sumatera Selatan 14
Sulawesi Utara 12
Lampung 12
Riau 12
Kalimantan Selatan 11
Jambi 11
Nusa Tenggara Barat 10
Sulawesi Tengah 9
Bali 9
Kalimantan Timur 8
Banten 8
Kep. Bangka Belitung 7
Sulawesi Barat 6
Gorontalo 6
Nusa Tenggara Timur 6
DKI Jakarta 6
Kepulauan Riau 6
Kalimantan Utara 5
DI Yogyakarta 5
Bengkulu 5
Maluku 3
Maluku Utara 2
Papua 1
Papua Barat 1
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Jumlah Kab/kota dengan API<1
b. Pengobatan Malaria
Pengobatan malaria harus dilakukan secara efektif. Pemberian jenis obat harus benar
dan cara meminumnya harus tepat waktu yang sesuai dengan acuan program pengendalian
malaria. Pengobatan efektif adalah pemberian ACT (Artemicin-based Combination Therapy)
pada 24 jam pertama pasien panas dan obat harus diminum habis. Persentase ACT menurut
provinsi tahun 2016 dapat dilihat pada Gambar 6.40.
% ACT
Sumber: Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2017
5. Rabies
Rabies merupakan penyakit mematikan baik pada manusia maupun hewan yang
disebabkan oleh infeksi virus (golongan Rhabdovirus) yang ditularkan melalui gigitan hewan
seperti anjing, kucing, kelelawar, kera, musang dan serigala yang di dalam tubuhnya
mengandung virus.
Tahun 2016 terdapat 24 provinsi tertular rabies dari 34 provinsi di Indonesia.
Sebanyak sepuluh provinsi lainnya dinyatakan bebas Rabies, lima diantaranya provinsi bebas
90.000 250
84.010 84.750
78.574 80.433
80.000
206 74.331
69.136 200
70.000
(Jumlah GHPR dan PET)
(kematian/Lyssa)
60.000 184 57.929
54.059 54.059
150
50.000
45.466
137 42.958 42.533
40.000
35.316 119 34.095 118 100
30.000
86
81
20.000
50
10.000
0 0
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Kasus GHPR tahun 2016 paling banyak terjadi di Bali yaitu sebanyak 33.103 kasus,
diikuti oleh Sulawesi Utara sebanyak 4.135 kasus, dan NTT sebanyak 4.003 kasus. Jumlah
kasus tersebut menurun cukup jauh dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan untuk
kematian akibat rabies (Lyssa) paling banyak terjadi di Sulawesi Utara sebanyak 21 kasus,
diikuti oleh Kalimantan Barat sebanyak 12 kasus, dan Sumatera Utara sebanyak 9 kasus.
Provinsi Sulawesi Utara merupakan provinsi dengan kematian akibat rabies tertinggi selama
tiga tahun terakhir, sedangkan provinsi Bali dengan kematian tertinggi kedua tahun 2015
dengan 15 kematian menurun drastis menjadi 5 kematian tahun 2016. Jumlah kasus GHPR,
kasus digigit yang diberi Vaksin Anti Rabies (VAR) dan kematian akibat rabies lebih lanjut
dapat dilihat pada tabel Lampiran 6.29.
TABEL 6.4
DISTRIBUSI KASUS LEPTOSPIROSIS DI 7 PROVINSI
DI INDONESIA TAHUN 2014 2016
Tahun
Provinsi
2014 2015 2016
DKI Jakarta 106 37 39
Jawa Barat 26 2 16
Jawa Tengah 198 149 164
DI Yogyakarta 154 144 114
Jawa Timur 61 3 468
Banten 0 31 32
Kalimantan Selatan 5 0 0
Total 550 366 833
Sumber: Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2017
Angka kematian akibat leptospirosis tertinggi tahun 2016 terjadi di Banten dengan
CFR sebesar 21,88%. Walaupun jumlah kasus leptospirosis di Banten berjumlah 32 kasus,
namun 7 kasus diantaranya meninggal dunia. Sebaliknya, walaupun kasus leptospirosis di
Jawa Timur sangat tinggi (468 kasus), namun angka kematian akibat leptospirosis pada
provinsi tersebut rendah yaitu 2,56%. Gambaran jumlah kasus dan jumlah kematian akibat
leptospirosis selama delapan tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar 6.42.
900 857 20
833
800 18
700 16
17,76
640
14
600
(Jumlah Kasus)
550
12
500 12,13
(CFR)
11,27 10
400 366
335 9,57 9,38 8
300 7,44
6,87 239 6
200 4
100 2
0 0
2009 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Sejak tahun 2009 sampai dengan tahun 2016 terjadi fluktuasi jumlah kasus
leptospirosis. Jumlah kasus tertinggi terjadi pada tahun tahun 2011 lalu menurun sampai
dengan tahun 2015, kemudian meningkat drastis pada tahun 2016. Sementara itu, jumlah
kematian akibat leptospirosis bervariasi, namun cenderung tetap pada tahun 2013-2016.
Upaya yang telah dilaksanakan dalam pengendalian leptospirosis antara lain surat
edaran kewaspadaan leptospirosis setiap tahunnya; pengadaan Rapid Test Diagnostic (RDT)
sebagai buffer stock; mendistribusikan media KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi) seperti
buku petunjuk teknis, leaflet, poster, roll banner, dan lain-lain.
7. Antraks
Penyakit antraks disebabkan oleh kuman antraks (Bacillus anthracis). Kuman ini dapat
membentuk spora yang tahan terhadap perubahan lingkungan dan dapat bertahan hidup
dalam waktu yang lama didalam tanah, sehingga sulit dimusnahkan. Sumber penularan
antraks yaitu hewan peliharaan seperti sapi, kerbau, kambing dan domba yang terinfeksi
Bacillus anthracis.
Pada tahun 2016 dilaporkan terjadi sebanyak 52 kasus antraks dari 4 provinsi di
Indonesia dengan tidak ada kasus kematian (CFR=0%). Jumlah kasus ini melonjak drastis dari
kasus tahun 2015 yang berjumlah 3 kasus. Gambar 6.43 memperlihatkan kasus antraks
selama delapan tahun terakhir.
70
60
52
50 48
Jumlah Kasus
41
40
31
30
22
20 17
11
10
2 3 3
1 0 0 1 0
0 0
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
kasus meninggal
8. Flu Burung
Pengendalian flu burung (H5N1) yang dilakukan secara terpadu secara signifikan telah
berhasil menurunkan jumlah kasus konfirmasi flu burung di Indonesia pada tahun 2016.
Sejak munculnya penyakit flu burung pertama kali pada tahun 2005, jumlah kasus terus
menurun pada periode tahun 2006-2015 dari 55 kasus pada tahun 2006 menjadi 2 kasus
pada tahun 2015 dan tidak ditemukan kasus pada tahun 2016. Gambaran penurunan jumlah
kasus konfirmasi flu burung dapat dilihat pada Gambar 6.44 berikut ini.
60 100
100,00
55 100,00 100,00 100,00 100,00
90
81,82
50 88,10
45 80
83,33 83,33
65,00 42 77,78
70
40
37
Jumlah Kasus
60
%CFR
30 50
24
40
20 20
20
30
13 12
10 20
10 9 9 9
7
3 3 3 3 10
2 2 2 2
0 - 0
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Sejak dilaporkan kasus pertama pada tahun 2005, penyebaran kasus flu burung
(H5N1) pada manusia telah terjadi secara sporadis di 15 provinsi di Indonesia, yaitu
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta,
Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Banten, Bali, NTB, dan Sulawesi Selatan. Secara
kumulatif, jumlah kasus tertinggi ditemukan di Provinsi DKI Jakarta sebesar 53 kasus, Jawa
Barat sebesar 51 kasus, dan Banten sebesar 34 kasus.
Berdasarkan hasil penyelidikan epidemiologi yang dilakukan oleh tim terpadu (Ditjen
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan serta Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan) terdapat beberapa hal yang mempengaruhi tingginya CFR pada
tahun 2014 yaitu:
1. Keterlambatan deteksi dini ;
2. Keterlambatan pemberian Oseltamivir;
3. Sifat virus yang mudah bermutasi;
4. Kurangnya kewaspadaan di masyarakat terhadap bahaya flu burung.
Sulawesi Selatan 22
Aceh 22
Jawa Tengah 21
Sumatera Utara 18
Sulawesi Tengah 10
Kalimantan Selatan 10
Kalimantan Tengah 10
Nusa Tenggara Timur 10
Lampung 9
Bengkulu 9
Sulawesi Tenggara 8
Kalimantan Timur 8
Nusa Tenggara Barat 8
Bali 8
Jawa Barat 8
Maluku Utara 7
Sumatera Selatan 7
Sulawesi Utara 6
Jawa Timur 6
DKI Jakarta 6
Kepulauan Bangka Belitung 6
Jambi 5
Gorontalo 4
Kepulauan Riau 4
Papua 3
Papua Barat 3
Sulawesi Barat 3
Kalimantan Barat 3
Banten 3
DI Yogyakarta 3
Sumatera Barat 3
Maluku 2
Kalimantan Utara 1
Riau 1
0 5 10 15 20 25
INDONESIA 48,87
INDONESIA 14,85
Bali 100,0
DKI Jakarta 100,0
Kep. Bangka Belitung 100,0
Kalimantan Timur 90,0
Lampung 86,7
DI Yogyakarta 80,0
Sulawesi Selatan 79,2
Sulawesi Utara 66,7
Nusa Tenggara Barat 60,0
Jawa Barat 59,3
Kalimantan Tengah 57,1
Kepulauan Riau 57,1
Aceh 52,2
Maluku Utara 50,0
Gorontalo 50,0
Banten 50,0
Bengkulu 50,0
Riau 50,0
Sulawesi Tengah 46,2
Kalimantan Selatan 46,2
Jambi 45,5
Sumatera Barat 42,1
Sumatera Selatan 41,2
Kalimantan Utara 40,0
Jawa Tengah 37,1
Sulawesi Barat 33,3
Papua Barat 30,8
Nusa Tenggara Timur 27,3
Sumatera Utara 21,2
Jawa Timur 18,4
Maluku 18,2
Kalimantan Barat 14,3
Sulawesi Tenggara 11,8
Papua 3,4
0 20 40 60 80 100
% Kab/Kota yang Mempunyai Peraturan KTR
Sumber: Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2017
GAMBAR 6.49
PERSENTASE KABUPATEN/KOTA YANG MELAKSANAKAN KEBIJAKAN KTR
MINIMAL PADA 50% SEKOLAH
MENURUT PROVINSI S.D. TAHUN 2016
INDONESIA 21,2
Bali 100,0
DI Yogyakarta 100,0
DKI Jakarta 100,0
Sumatera Barat 42,1
Kalimantan Utara 40,0
Jambi 36,4
Sulawesi Barat 33,3
Gorontalo 33,3
Kalimantan Timur 30,0
Nusa Tenggara Barat 30,0
Jawa Barat 29,6
Kepulauan Riau 28,6
Kep. Bangka Belitung 28,6
Lampung 26,7
Banten 25,0
Sumatera Selatan 23,5
Kalimantan Selatan 23,1
Kalimantan Tengah 21,4
Kalimantan Barat 21,4
Maluku Utara 20,0
Sulawesi Utara 20,0
Bengkulu 20,0
Maluku 18,2
Sulawesi Selatan 16,7
Riau 16,7
Papua Barat 15,4
Sulawesi Tengah 15,4
Sulawesi Tenggara 11,8
Nusa Tenggara Timur 9,1
Aceh 8,7
Jawa Tengah 8,6
Papua 6,9
Sumatera Utara 6,1
Jawa Timur 5,3
0 20 40 60 80 100
% Kab/Kota Implementasi KTR min. pada 50% Sekolah
GAMBAR 6.50
PERSENTASE PEMERIKSAAN IVA
MENURUT PROVINSI S.D. TAHUN 2016
INDONESIA 5,15
Bali 19,57
DKI Jakarta 12,09
Nusa Tenggara Barat 11,42
DI Yogyakarta 7,71
Kalimantan Selatan 7,68
Sumatera Utara 7,58
Sulawesi Utara 7,54
Sumatera Barat 7,16
Jawa Timur 6,75
Kep. Bangka Belitung 6,65
Jawa Tengah 5,66
Kalimantan Timur 5,02
Lampung 4,68
Sulawesi Tengah 4,56
Kalimantan Utara 4,13
Jawa Barat 3,49
Kalimantan Barat 3,14
Kepulauan Riau 2,91
Kalimantan Tengah 2,84
Papua Barat 2,64
Sulawesi Selatan 2,60
Bengkulu 2,24
Riau 2,21
Aceh 1,78
Sulawesi Barat 1,49
Jambi 1,46
Maluku Utara 1,39
Sulawesi Tenggara 1,25
Maluku 1,22
Nusa Tenggara Timur 1,16
Sumatera Selatan 0,98
Banten 0,89
Gorontalo 0,68
Papua 0,68
0 5 10 15 20 25
% Pemeriksaan IVA
Sumber: Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2017
Sejak tahun 2007-2016 sudah dilakukan 5,15% pemeriksaan IVA pada perempuan di
Indonesia. Cakupan pemeriksaan IVA tertinggi terdapat di Bali yaitu sebesar 19,57%, diikuti
oleh DKI Jakarta sebesar 12,09%, dan Nusa Tenggara Barat sebesar 11,42%. Pemeriksaan IVA
menurut provinsi sampai dengan tahun 2016 lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 6.50.
GAMBAR 6.51
JUMLAH KEJADIAN BENCANA MENURUT JENIS PER BULAN DI INDONESIA
TAHUN 2016
80
75
70 67
65
62 62
60 57
56
53 54
50 46
45 46
43 41
40
36 34 37 36 34
33
30 27 30 30
30
27 21 19
20 17 21 20
11 14 15
9 13 12
10
3 2 3 3 2 4 3
0 0 1 1 1 1
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des
Pada grafik di atas dapat dilihat bahwa jumlah bencana alam terendah terjadi pada
bulan Agustus dan tertinggi di bulan Februari. Sedangkan jumlah bencana non alam terendah
Bencana
Non Alam Bencana
36% Alam
60%
Bencana alam merupakan bencana yang paling sering terjadi di Indonesia pada tahun
2016 dengan persentase 60%. Sisanya, sebanyak 36% merupakan bencana non alam, dan 4%
dari kejadian bencana termasuk kedalam bencana sosial.
GAMBAR 6.53
PERSENTASE KEJADIAN BENCANA ALAM DI INDONESIA
TAHUN 2016
Banjir dan
Gelombang Tanah
Pasang/ Longsor
Badai 3,5%
2,5%
Angin Puting
Beliung
15,0% Banjir
36,3%
Banjir
Bandang
9,5%
Tanah
Longsor Letusan
29,8% Gunung Api
0,5%
Gempa Bumi
3,0%
Bencana alam yang paling sering terjadi di Indonesia yaitu bencana banjir (36,3%),
diikuti oleh tanah longsor (29,8%), dan angin puting beliung (15%). Sedangkan bencana
gempa bumi dan tsunami, dan kekeringan, tidak terjadi pada tahun 2016.
Gagal Teknologi
9%
Kebakaran
20% Kebakaran
Hutan dan
Lahan
1%
KLB Keracunan
41% Kecelakaan
Transpor tasi
26%
Kecelakaan
KLB Penyakit Industri
1% 2%
Bencana non alam yang paling sering terjadi di Indonesia yaitu bencana KLB-
Keracunan (41%), diikuti oleh kecelakaan transportasi (26%), dan kebakaran (20%). Bencana
wabah penyakit (epidemi - pandemi) tidak terjadi pada tahun 2016.
GAMBAR 6.55
PERSENTASE KEJADIAN BENCANA SOSIAL DI INDONESIA
TAHUN 2016
Aksi Teror
dan Sabotase
33%
Konflik Sosial
atau
Kerusuhan
Sosial
67%
Konflik sosial atau kerusuhan sosial merupakan bencana sosial yang paling sering
terjadi di Indonesia tahun 2016, yaitu sebesar 67%. Sedangkan 33% bencana sosial terjadi
akibat aksi teror dan sabotase di masyarakat.
Jawa Barat merupakan provinsi yang terbanyak mengalami kejadian bencana di tahun
2016, yakni sebanyak 130 kejadian. Provinsi berikutnya yang mengalami kejadian bencana
terbanyak yaitu Provinsi Jawa Timur dengan 95 kejadian dan Provinsi Jawa Tengah dengan
85 kejadian bencana. Sedangkan provinsi yang paling sedikit mengalami bencana yaitu
Provinsi Kalimantan Tengah dan Sulawesi Barat (1 bencana) dan Kalimantan Selatan (2
bencana).
Banjir 26
Tanah Longsor 21
Banjir Bandang 18
Angin Puting Beliung 14
Banjir dan Tanah Longsor 11
Gelombang Pasang/Badai 8
Gempa Bumi 8
Letusan Gunung Api 2
Kecelakaan Transportasi 24
KLB - Keracunan 17
Kebakaran 11
Gagal Teknologi 9
Kecelakaan Industri 3 Bencana Alam
KLB - Penyakit 1 Bencana Non Alam
Kebakaran Hutan dan Lahan 1
Konflik Sosial/Kerusuhan Sosial 10 Bencana Sosial
Aksi Teror dan Sabotase 5
0 5 10 15 20 25 30
Bencana alam dengan jumlah provinsi terkena terbanyak yaitu bencana banjir,
dengan 26 provinsi terkena, kemudian bencana non alam kecelakaan transportasi dengan 24
provinsi, dan bencana alam tanah longsor dengan 21 provinsi.
TABEL 6.5
JUMLAH KEJADIAN BENCANA ALAM DAN JUMLAH KORBAN YANG DITIMBULKAN
TAHUN 2016
Jumlah
Jumlah
Jumlah Jumlah Korban Jumlah
Korban Jumlah
Bencana Alam Kejadian Korban Luka Korban
Luka Berat/ Pengungsi
Bencana Meninggal Ringan/ Hilang
Rawat Inap
Rawat Jalan
Banjir 145 42 566 4.435 3 143.805
Letusan Gunung Api 2 9 2 0 0 1.840
Gempa Bumi 12 107 456 755 0 92.699
Gempa Bumi dan Tsunami 0 0 0 0 0 0
Tanah Longsor 119 168 76 1.356 24 11.906
Banjir Bandang 38 81 480 44.854 27 16.704
Kekeringan 0 0 0 0 0 0
Angin Puting Beliung 60 20 50 97 0 1.150
Gelombang Pasang/Badai 10 4 6 3.230 2 1.737
Banjir dan Tanah Longsor 14 11 28 851 1 7.541
Jumlah 400 442 1.664 55.578 57 277.382
Sumber: Pusat Krisis Kesehatan, Kemenkes 2017
TABEL 6.6
JUMLAH KEJADIAN BENCANA NON ALAM DAN JUMLAH KORBAN YANG DITIMBULKAN
TAHUN 2016
Jumlah Jumlah
Korban Korban
Jumlah Jumlah Jumlah
Luka Luka Jumlah
Bencana Non Alam Kejadian Korban Korban
Berat/ Ringan/ Pengungsi
Bencana Meninggal Hilang
Rawat Rawat
Inap Jalan
Kecelakaan Industri 4 1 10 5 0 0
KLB - Penyakit 2 0 4 77 0 0
Gagal Teknologi 21 20 67 55 0 0
TABEL 6.7
JUMLAH KEJADIAN BENCANA SOSIAL DAN JUMLAH KORBAN YANG DITIMBULKAN
TAHUN 2016
Jumlah Jumlah
Korban Korban
Jumlah Jumlah Jumlah
Luka Luka Jumlah
Bencana Sosial Kejadian Korban Korban
Berat/ Ringan/ Pengungsi
Bencana Meninggal Hilang
Rawat Rawat
Inap Jalan
Konflik Sosial/Kerusuhan
16 13 91 1.808 0 5.391
Sosial
Jenis bencana sosial yang menimbulkan paling banyak korban luka berat/rawat inap,
korban luka ringan/rawat jalan, dan korban pengungsi, yaitu konflik sosial/kerusuhan sosial,
yakni sebanyak 91, 1.808, dan 5.391 orang. Sedangkan kedua jenis bencana sosial
mengakibatkan jumlah korban meninggal yang sama banyak, yaitu 13 orang. Selain itu,
kedua jenis bencana sosial baik konflik sosial/kerusuhan sosial maupun aksi teror dan
sabotase tidak menimbulkan korban hilang.
INDONESIA 65,68
0 20 40 60 80 100 120
%
GAMBAR 6.59
JEMAAH HAJI INDONESIA MENURUT KELOMPOK UMUR
TAHUN 2016
40 tahun
12%
61 tahun
28%
41-50 tahun
26%
51-60 tahun
34%
Hasil pemeriksaan kesehatan didapatkan jemaah haji dengan risiko tinggi cukup besar
yaitu sebanyak 104.030 orang (67,9%), terdiri dari umur >60 tahun sebanyak 8.530 orang
(8,2%), umur <60 tahun dengan penyakit sebanyak 50.231 orang (48,3%) dan usia >60 tahun
dengan penyakit sebanyak 45.269 orang (43,5%).
Hasil pemeriksaan kesehatan haji, selain menghasilkan informasi status kesehatan
(risiko tinggi/ non risiko tinggi) juga menghasilkan informasi status istithaah (kemampuan)
kesehatan haji. Status istithaah kesehatan haji dikelompokkan menjadi 4 kategori. Jemaah
haji tahun 2016 yang memenuhi syarat istithaah kesehatan jemaah haji sebesar 71,45%,
memenuhi syarat dengan pendampingan sebesar 28,5%, tidak memenuhi syarat sementara
sebesar 0,03%, dan tidak memenuhi syarat sebesar 0,006%. Status tersebut membantu
untuk menyusun pendekatan pembinaan dan kebutuhan sumber daya yang tepat.
Penetapan status istithaah kesehatan jemaah haji merupakan tahap penting sebagai dasar
pemberian/pengawasan intervensi yang diberikan mulai masa tunggu sampai dengan
pelaksanaan ibadah haji.
Memenuhi
syarat dengan
pendampingan
28,50%
Memenuhi
syarat
71,46%
TABEL 6.8
PELAYANAN KESEHATAN RUJUKAN JEMAAH HAJI INDONESIA DI ARAB SAUDI
TAHUN 2016
Daerah Kerja
Tempat Rujukan Total
Madinah Makkah Airport
***
Pelaku utama STBM adalah masyarakat yang didukung oleh pemerintah dan
berbagai pihak seperti LSM, swasta, perguruan tinggi, media dan organisasi sosial lainnya.
Dukungan yang diberikan meliputi pengembangan kapasitas, pengembangan pilihan
teknologi, memfasilitasi pengembangan mekanisme jejaring pemasaran, pengembangan
media, fasilitasi pemicuan, dan pertemuan-pertemuan pembelajaran antar pihak. Berbagai
dukungan tersebut telah terbukti mampu meningkatkan kemandirian masyarakat dalam
membangun sarana sanitasi sesuai kemampuan. STBM digunakan sebagai sarana
pemerintah dalam pencapaian akses sanitasi menuju universal access pada akhir tahun
2019.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014, strategi penyelenggaraan
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) meliputi 3 (tiga) komponen yang saling
mendukung satu dengan yang lain yang disebut dengan 3 Komponen Sanitasi Total yaitu:
1. penciptaan lingkungan yang kondusif (enabling environment);
2. peningkatan kebutuhan sanitasi (demand creation);
3. peningkatan penyediaan akses sanitasi (supply improvement);
Data dari Profil Nasional STBM sampai dengan awal tahun 2017, dari seluruh total
9.767 puskesmas di Indonesia tahun 2016, sebanyak 8.669 desa/kelurahan (88%) sudah
menjalankan program STBM, dan memiliki sumber daya manusia kesehatan khususnya
sanitarian sebanyak 8.594 orang, 1.621 orang (18,86%) diantaranya merupakan sanitarian
terlatih, dengan 69,20% fasilitator STBM aktif.
40000
35000
30000
25000
20000
15000
10000
5000
0
2012 2013 2014 2015 2016
Target Renstra 11000 16000 20000 25000 30000
Realisasi 11339 16228 20420 25262 33927
Pada tahun 2016 dari seluruh desa/kelurahan 80.314 yang ada di Indonesia,
sebanyak 76.073 desa/kelurahan yang telah mengentri datanya, jumlah desa/kelurahan
yang telah melaksanakan STBM adalah 42% atau mencapai 33.927 desa/kelurahan, angka
ini telah melebihi target Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan tahun 2016
yaitu 30.000 desa/kelurahan. Tren capaian total desa/kelurahan yang melaksanakan STBM
periode tahun 2012 sampai dengan tahun 2016 selalu melebih target Renstra yang
ditetapkan setiap tahunnya, secara rinci dapat dilihat pada Gambar 7.1.
Sedangkan untuk desa dengan SBS (Stop Buang Air Besar Sembarangan) atau ODF
(Open Defecation Free) yang sudah terverifikasi, mencapai 8.814 desa/kelurahan atau 26%
dari 33.927 desa/kelurahan dengan STBM. Dalam rangka mendukung pencapaian target
RPJMN termasuk Universal Access 2019, pada akhir tahun 2019 harus tercapai 100%
desa/kelurahan melaksanakan STBM, dan 50% desa/kelurahan STBM harus mencapai SBS/
ODF yang terverifikasi. SBS Terverifikasi adalah kondisi ketika setiap individu dalam suatu
komunitas tidak lagi melakukan perilaku buang air besar sembarangan yang berpotensi
menyebarkan penyakit dan sudah dipastikan melalui proses verifikasi.
Indonesia 42,24
DI Yogyakarta 96,35
Nusa Tenggara Barat 95,07
Kep. Bangka Belitung 80,62
Nusa Tenggara Timur 68,28
Jawa Timur 68,21
Sulawesi Barat 65,02
Riau 61,36
Jawa Tengah 60,88
Bali 55,59
Banten 54,22
Kalimantan Selatan 52,04
Sulawesi Selatan 51,94
Kalimantan Tengah 47,16
Sumatera Barat 45,65
Gorontalo 45,07
Sumatera Selatan 42,81
Lampung 41,17
Jawa Barat 40,45
Kepulauan Riau 36,23
Jambi 35,10
Bengkulu 35,00
Sulawesi Tengah 34,81
Sulawesi Tenggara 29,24
Kalimantan Barat 27,13
Aceh 22,62
Papua Barat 20,80
Kalimantan Timur 20,29
Maluku Utara 19,68
Sumatera Utara 18,45
Maluku 13,38
Kalimantan Utara * 13,36
DKI Jakarta 9,74
Sulawesi Utara 7,88
Papua 7,05
0 20 40 60 80 100
Sumber: Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kemenkes RI, 2017
Gambar 7.2 menjelaskan rata-rata capaian nasional tahun 2016 adalah 42,24%
meningkat dari rata-rata capaian tahun 2015 yaitu 32,91%. Provinsi dengan persentase
desa/kelurahan yang melaksanakan STBM tertinggi adalah DI Yogyakarta (96,35%), Nusa
Tenggara Barat (95,07%), dan Kep. Bangka Belitung (80,62%). Sedangkan provinsi dengan
persentase desa/kelurahan yang melaksanakan STBM terendah adalah Papua (7,05%),
Sulawesi Utara (7,88%) dan DKI Jakarta (9,74%). Dilihat dari jumlah, 5 (lima) provinsi dengan
realisasi desa/kelurahan yang melaksanakan STBM tertinggi yaitu Jawa Timur (5.797
desa/kelurahan), Jawa Tengah (5.222 desa/kelurahan), Jawa Barat (2.401 desa/kelurahan),
Nusa Tenggara Timur (2.230 desa/kelurahan), dan Sulawesi Selatan (1.570 desa/kelurahan).
Rincian lengkap tentang jumlah persentase desa yang melaksanakan STBM tahun 2014-2016
dapat dilihat pada Lampiran 7.1.
GAMBAR 7.3
PERSENTASE KABUPATEN/KOTA PENYELENGGARA TATANAN KAWASAN SEHAT
TAHUN 2016
Indonesia 68,09
Gorontalo 100,00
Sulawesi Selatan 100,00
Nusa Tenggara Barat 100,00
Bali 100,00
Jawa Timur 100,00
DI Yogyakarta 100,00
Jawa Tengah 100,00
Jawa Barat 100,00
DKI Jakarta 100,00
Kep. Bangka Belitung 100,00
Jambi 100,00
Sumatera Barat 100,00
Riau 91,67
Kalimantan Timur 90,00
Sumatera Selatan 82,35
Sulawesi Utara 80,00
Kalimantan Utara 80,00
Bengkulu 80,00
Kalimantan Selatan 76,92
Banten 75,00
Kepulauan Riau 71,43
Sulawesi Barat 66,67
Lampung 60,00
Kalimantan Barat 57,14
Sulawesi Tenggara 52,94
Sumatera Utara 51,52
Sulawesi Tengah 46,15
Nusa Tenggara Timur 31,82
Maluku 27,27
Aceh 26,09
Maluku Utara 20,00
Kalimantan Tengah 14,29
Papua 3,45
Papua Barat 0,00
0 20 40 60 80 100
Pada tahun 2016, dari total 514 jumlah kabupaten/kota yang menyelenggarakan
program TKS sebanyak 350 kabupaten/kota, angka ini belum mencapai target Rentra tahun
2016 sebanyak 356 kabupaten/kota. Gambar 7.3 menunjukkan provinsi yang seluruh
kabupaten/kotanya telah mencapai TKS 100% sebanyak 12 (dua belas) provinsi. Terdapat
satu provinsi yang kabupaten/kotanya belum menyelenggarakan Tatanan Kawasan Sehat
yaitu Papua Barat. Rincian lengkap tentang jumlah kabupaten/kota penyelenggara Tatanan
Kawasan Sehat tahun 2016 dapat dilihat pada Lampiran 7.2.
C. Air Minum
Salah satu target dalam tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable
Development Goals/SDGs) pada sektor lingkungan hidup adalah memastikan masyarakat
mencapai akses universal air bersih dan sanitasi yang layak. Universal akses dalam sektor air
minum dan sanitasi diharapkan dapat tercapai pada tahun 2030. Air bersih adalah salah satu
jenis sumber daya berbasis air yang bermutu baik dan biasa dimanfaatkan oleh manusia
untuk dikonsumsi atau dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Air minum merupakan air
yang dikonsumsi manusia dalam memenuhi kebutuhan cairan tubuh. Menurut Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 492/MENKES/PER/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air
Minum, air minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses
pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Pada
Permenkes tersebut juga disebutkan bahwa penyelenggara air minum wajib menjamin air
minum yang diproduksinya aman bagi kesehatan. Dalam hal ini penyelenggara air minum
diantaranya adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD),
koperasi, badan usaha swasta, usaha perorangan, kelompok masyarakat, dan/atau
individual yang menyelenggarakan penyediaan air minum.
Air minum yang aman (layak) bagi kesehatan adalah air minum yang memenuhi
persyaratan secara fisik, mikrobiologis, kimia, dan radioaktif. Secara fisik, air minum yang
sehat adalah tidak berbau, tidak berasa, tidak berwarna serta memiliki total zat padat
terlarut, kekeruhan, dan suhu sesuai ambang batas yang ditetapkan. Secara mikrobiologis,
air minum yang sehat harus bebas dari bakteri E.Coli dan total bakteri koliform. Secara
kimiawi, zat kimia yang terkandung dalam air minum seperti besi, aluminium, klor, arsen,
dan lainnya harus di bawah ambang batas yang ditentukan. Secara radioaktif, kadar gross
alpha activity tidak boleh melebihi 0,1 becquerel per liter (Bq/l) dan kadar gross beta
activity tidak boleh melebihi 1 Bq/l.
Kebutuhan air minum, tidak hanya dilihat dari kuantitasnya tetapi juga dari kualitas
air minum. Pemenuhan kebutuhan air minum di rumah tangga dapat diukur dari akses air
minum layak, beberapa faktor yang berpengaruh terhadap akses air minum layak
diantaranya adalah:
1. jenis sumber air utama yang digunakan untuk diminum;
2. jenis sumber air utama yang digunakan untuk memasak, mandi, dan mencuci;
3. jarak sumber air ke penampungan limbah/kotoran/tinja terdekat 10 meter.
Data dari Statistik Kesejahteraan Rakyat tahun 2016, Badan Pusat Statistik secara
nasional menunjukkan sumber air utama yang paling banyak digunakan rumah tangga untuk
minum adalah air kemasan (31,30%) dan sumur terlindung (21%), untuk memasak sumber
air utama yang digunakan yaitu sumur terlindung/tak terlindung (32,50%) dan sumur
bor/pompa (23,74%), sedangkan sumber air utama yang digunakan rumah tangga untuk
mandi, mencuci, dll, adalah air dari sumur terlindung/tak terlindung dan sumur bor/pompa
sebesar (28,85%).
Indonesia 16,02
Gorontalo 42,38
Sumatera Barat 41,00
Sulawesi Barat 39,33
Bengkulu 35,86
Maluku Utara 33,03
DI Yogyakarta 31,54
Kep. Bangka Belitung 30,79
Kalimantan Utara * 25,93
Sulawesi Utara 24,52
Jambi 21,64
Riau 20,74
Sulawesi Tengah 20,04
Kalimantan Tengah 18,37
Nusa Tenggara Barat 18,07
Kalimantan Selatan 17,39
Jawa Tengah 15,05
Kalimantan Timur 14,21
Sulawesi Tenggara 13,67
Jawa Barat 13,48
Kalimantan Barat 13,22
Nusa Tenggara Timur 12,81
Sulawesi Selatan 11,46
Kepulauan Riau 10,71
Banten 10,09
Jawa Timur 8,59 Target Renstra
Papua Barat 7,79 2016: 35%
Lampung 6,96
Sumatera Utara 6,14
Sumatera Selatan 6,04
DKI Jakarta 6,00
Aceh 5,83
Bali 2,79
0 20 40 60 80 100
Sumber: Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kemenkes RI, 2017
Pengawasan kualitas air minum diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
736/MENKES/PER/VI/2010 tentang Tata Laksana dan Pengawasan Kualitas Air Minum,
dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa pengawasan internal dilakukan oleh
penyelenggara air minum komersial dan pengawasan eksternal dilakukan oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota. Pengawas kualitas air minum internal adalah penyelenggara air
minum yang diawasi kualitas hasil produksinya secara eksternal oleh Dinas Kesehatan
Provinsi/Kabupaten/Kota dan KKP yang dibuktikan dengan jumlah sampel pengujian kualitas
GAMBAR 7.6
PERSENTASE RUMAH TANGGA YANG MEMILIKI AKSES TERHADAP SANITASI LAYAK
TAHUN 2016
INDONESIA 67,80
DKI Jakarta 91,13
Bali 89,33
DI Yogyakarta 85,78
Kep. Bangka Belitung 83,16
Kepulauan Riau 79,55
Kalimantan Timur 76,76
Sulawesi Selatan 76,51
Sulawesi Utara 75,27
Banten 73,42
Sumatera Utara 72,86
Riau 71,36
Jawa Tengah 70,66
Nusa Tenggara Barat 70,31
Sulawesi Tenggara 68,26
Jawa Timur 68,15
Maluku 66,81
Jambi 65,65
Sumatera Selatan 65,05
Maluku Utara 64,71
Kalimantan Utara 64,68
Papua Barat 64,55
Jawa Barat 63,79
Aceh 62,68
Kalimantan Selatan 60,89
Sulawesi Tengah 59,94
Gorontalo 59,85
Sulawesi Barat 59,81
Lampung 58,58
Sumatera Barat 53,24
Kalimantan Barat 52,06
Kalimantan Tengah 50,97
Bengkulu 49,75
Nusa Tenggara Timur 40,46
Papua 31,43
0 20 40 60 80 100
Sumber: Badan Pusat Statistik, Susenas Kor 2016
Pada Gambar 7.7 menunjukkan secara nasional persentase TTU yang telah
memenuhi syarat kesehatan pada tahun 2016 adalah mencapai 52,64%, pencapaian ini
telah melebihi target Renstra Kementerian Kesehatan 2016 yaitu 52%. Namun capaian
tersebut cenderung menurun dibandingkan capaian tahun 2015 (61,44%). Provinsi dengan
persentase tertinggi adalah Kalimantan Utara (89,47%), Kep. Bangka Belitung (88,53%), dan
Bengkulu (86,76%). Terdapat 8 (delapan) provinsi yang belum mencapai target 2016
diantaranya Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Sulawesi Barat, Papua Barat, Jawa Timur,
Maluku Utara, Jawa Tengah, dan provinsi dengan persentase terendah adalah Lampung
(1,41%). Rincian lengkap tentang persentase TTU yang memenuhi syarat kesehatan tahun
2016 dapat dilihat pada Lampiran 7.6.
Indonesia 52,64
0,00
Kalimantan Utara 89,47
Kep. Bangka Belitung 88,53
Bengkulu 86,76
Sumatera Selatan 84,46
Nusa Tenggara Barat 83,68
Sulawesi Tengah 83,03
Sulawesi Selatan 82,65
DKI Jakarta 82,62
Sulawesi Tenggara 81,17
Banten 80,01
Kalimantan Timur 77,33
Sulawesi Utara 75,97
Bali 75,79
Kalimantan Tengah 75,47
DI. Yogyakarta 74,25
Jawa Barat 71,81
Riau 69,70
Kalimantan Selatan 69,14
Nusa Tenggara Timur 67,79
Gorontalo 67,39
Aceh 66,67
Papua 66,23
Jambi 64,46
Kalimantan Barat 62,50
Sumatera Barat 61,09
Maluku 58,93
Sumatera Utara 49,65 Target Renstra 2016
Kepulauan Riau 45,85 52%
Sulawesi Barat 41,79
Papua Barat 32,56
Jawa Timur 21,47
Maluku Utara 7,90
Jawa Tengah 2,98
Lampung 1,41
0 20 40 60 80 100
Masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan upaya peningkatan jumlah TTU yang
memenuhi syarat diantaranya adalah anggaran daerah untuk program kesehatan lingkungan
masih rendah, belum semua daerah (kabupaten/kota termasuk puskesmas) memiliki
peralatan pengukuran parameter kualitas lingkungan yang sesuai, pendataan ulang di
daerah untuk akurasi data yang tercatat, tumpang tindih regulasi antar
kementerian/lembaga yang belum bersinergi, dan masih belum optimalnya koordinasi baik
Pelaksanaan kegiatan higiene sanitasi pangan merupakan salah satu aspek dalam
menjaga keamanan pangan yang harus dilaksanakan secara terstruktur dan terukur dengan
kegiatan, sasaran dan ukuran kinerja yang jelas, salah satunya dengan mewujudkan Tempat
Pengelolaan Makanan yang memenuhi syarat kesehatan. TPM siap saji yang terdiri dari
Rumah Makan/Restoran, Jasa Boga, Depot Air Minum, Sentra Makanan Jajanan, Kantin
Sekolah yang memenuhi syarat kesehatan adalah TPM yang memenuhi persyaratan higiene
sanitasi yang dibuktikan dengan sertifikat layak higiene sanitasi.
Indonesia 13,66
Gambar 7.8 menunjukkan bahwa persentase TPM yang memenuhi syarat kesehatan
secara nasional pada tahun 2016 adalah 13,66%, capaian ini meningkat dari sebelumnya
tahun 2015 (10,39%). Persentase ini belum memenuhi target Renstra Kementerian
Kesehatan 2016 untuk TPM memenuhi syarat kesehatan yaitu sebesar 14%. Provinsi dengan
persentase TPM yang memenuhi syarat kesehatan tertinggi adalah Kalimantan Utara
(33,68%), Sumatera Barat (33,05%), dan Maluku Utara (27,73%). Sedangkan provinsi dengan
Indonesia 17,36
Lampung 74,67
DI Yogyakarta 62,67
Kalimantan Utara 57,14
Bali 50,88
Sumatera Barat 50,00
Banten 47,42
Gorontalo 46,15
Kalimantan Timur 28,26
Riau 27,78
Kalimantan Tengah 23,81
Jambi 23,68
DKI Jakarta 21,47
Nusa Tenggara Barat 20,69
Sulawesi Selatan 19,28
Jawa Barat 16,62
Kalimantan Selatan 16,22
Kep. Bangka Belitung 15,38
Maluku Utara 15,00
Sulawesi Tenggara 12,90
Kepulauan Riau 10,71
Aceh 9,09
Maluku 7,41
Jawa Tengah 6,83
Sumatera Utara 4,84
Sumatera Selatan Target Renstra
2,99
2016: 15%
Sulawesi Utara 2,70
Kalimantan Barat 2,22
Jawa Timur 1,34
0 20 40 60 80 100
Cakupan Rumah Sakit yang melakukan pengelolaan limbah sesuai standar pada
tahun 2015 adalah sebesar 15,29%, pada Gambar 7.9 menunjukkan persentase rumah sakit
yang melakukan pengelolaan limbah medis sesuai standar pada tahun 2016 meningkat
menjadi 17,36% pada tahun 2016. Capaian ini telah melampaui Renstra 2016 yaitu sebesar
15%. Provinsi dengan presentase tertinggi adalah Provinsi Lampung (74,67%), DI Yogyakarta
(62,67%), dan Kalimantan Utara (57,14%). Sedangkan Provinsi dengan persentase terendah
adalah Jawa timur (1,34%), Kalimantan Barat (2,22%), dan Sulawesi Utara (2,70%). Ada 6
(enam) provinsi yaitu Papua, Papua Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, NTT, dan
Bengkulu yang belum melakukan pengelolaan limbah medis rumah sakit sesuai standar.
H. Perumahan
Rumah merupakan sebuah bangunan, tempat manusia tinggal dan melangsungkan
kehidupannya. Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Pemukiman, perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat
tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan.
Dalam pengertian yang luas, rumah bukan hanya sebuah bangunan (struktural), melainkan
juga tempat kediaman yang memenuhi syarat-syarat kehidupan yang layak dan sehat,
dipandang dari berbagai segi kehidupan masyarakat. Rumah dapat dimengerti sebagai
tempat perlindungan, untuk menikmati kehidupan, beristirahat bersama keluarga. Rumah
yang layak harus menjamin kepentingan keluarga salah satunya menjamin kesehatan
keluarga.
Definisi perumahan (housing) menurut WHO (World Health Organitation) adalah
suatu struktur fisik di mana orang menggunakannya untuk tempat berlindung, di mana
lingkungan dari struktur tersebut termasuk juga semua fasilitas dan pelayanan yang
diperlukan, perlengkapan yang berguna untuk kesehatan jasmani, rohani, dan keadaan
sosial yang baik untuk keluarga dan individu. Rumah sehat merupakan salah satu sarana
untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.
Persyaratan rumah sehat yang tercantum dalam Residential Environment dari WHO
(1974) antara lain:
Salah satu Instrumen Penilaian Rumah Sehat mengacu pada Pedoman Teknis
Penilaian Rumah Sehat Departemen Kesehatan RI Tahun 2007, dengan pembagian bobot
penilaian meliputi bobot komponen rumah, bobot sarana sanitasi, serta bobot pada perilaku
penghuni. Sesuai dengan pedoman ini, secara umum rumah dikatakan sehat apabila
memenuhi kriteria sebagai berikut (1) memenuhi kebutuhan psikologis antara lain privasi
yang cukup, komunikasi yang sehat antar anggota keluarga dan penghuni rumah, adanya
ruangan khusus untuk istirahat (ruang tidur), bagi masing-masing penghuni, (2) memenuhi
persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni rumah dengan penyediaan air
bersih, pengelolaan tinja dan limbah rumah tangga, bebas vektor penyakit dan tikus,
kepadatan hunian yang tidak berlebihan, cukup sinar matahari pagi, terlindungnya
makanan dan minuman dari pencemaran, disamping pencahayaan dan penghawaan yang
cukup, dan (3) memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang timbul
karena pengaruh luar dan dalam rumah, antara lain persyaratan garis sempadan jalan,
konstruksi bangunan rumah, bahaya kebakaran dan kecelakaan di dalam rumah.
Rumah layak huni mendukung terciptanya rumah yang sehat. Definisi rumah layak
huni menurut Badan Pusat Statistik 2015, adalah rumah yang memenuhi persyaratan
keselamatan, bangunan dan kecukupan minimum luas bangunan serta kesehatan
penghuninya. Penilaian rumah layak huni diperoleh melalui indikator komposit dari tujuh
indikator terkait yaitu;
1. Akses Air Layak.
2. Akses Sanitasi Layak.
3. Sufficient Living Area (Luas lantai per kapita > 7,2 m2).
4. Jenis Lantai.
5. Jenis Dinding.
6. Jenis Atap.
7. Penerangan Listrik.
Rumah yang dikategorikan layak huni, adalah rumah yang maksimum hanya
memiliki dua indikator pembentuk yang kurang baik dari tujuh indikator rumah layak huni.
Indikator rumah layak huni dapat mengetahui tingkat kesejahteraan masyarakat. Semakin
GAMBAR 7.10
PERSENTASE RUMAH TANGGA YANG MENEMPATI RUMAH LAYAK HUNI
MENURUT PROVINSI TAHUN 2016
Indonesia 93,93
0,00
DKI Jakarta 99,51
Bali 98,99
DI Yogyakarta 98,42
Kepulauan Riau 98,18
Kalimantan Utara 97,41
Kalimantan Timur 97,36
Kep. Bangka Belitung 97,31
Nusa Tenggara Barat 96,52
Jawa Barat 96,37
Riau 96,27
Jawa Timur 95,97
Jawa Tengah 95,94
Banten 95,33
Sulawesi Utara 94,81
Jambi 94,68
Kalimantan Selatan 94,33
Sulawesi Selatan 94,02
Sumatera Barat 93,10
Lampung 93,07
Sumatera Utara 92,87
Sumatera Selatan 92,23
Sulawesi Tenggara 91,90
Kalimantan Tengah 91,31
Gorontalo 91,16
Aceh 90,84
Bengkulu 90,65
Papua Barat 88,40
Kalimantan Barat 87,83
Maluku Utara 87,15
Sulawesi Tengah 86,67
Maluku 86,51
0 20 40 60 80 100
Gambar 7.10 menunjukan bahwa pada tahun 2016 capaian rumah tangga di
Indonesia yang telah menempati rumah layak huni 93,93%, meningkat dari tahun
sebelumnya tahun 2015 sebesar 92,80% rumah tangga. Provinsi dengan rumah layak huni
Indonesia 6,07
0,00
DI Yogyakarta 1,67
Jawa Tengah 1,86
Bali 1,90
Kepulauan Riau 2,02
Kep. Bangka Belitung 2,72
Jawa Timur 2,76
Lampung 3,07
Kalimantan Timur 4,21
Banten 4,44
Sulawesi Selatan 4,57
Riau 4,70
Jambi 5,36
Kalimantan Selatan 5,54
DKI Jakarta 5,74
Jawa Barat 6,36
Kalimantan Tengah 7,12
Sulawesi Tenggara 7,34
Kalimantan Barat 7,55
Kalimantan Utara 7,74
Nusa Tenggara Barat 7,83
Sulawesi Utara 8,34
Bengkulu 8,78
Sumatera Barat 8,84
Sumatera Utara 8,90
Maluku Utara 9,45
Sumatera Selatan 9,99
Aceh 10,25
Sulawesi Tengah 10,42
Gorontalo 11,69
Papua Barat 12,03
Sulawesi Barat 12,21
Maluku 12,62
Nusa Tenggara Timur 29,37
Papua 44,87
0 20 40 60 80 100
***
Badan Pusat Statistik. 2015. Indikator Perumahan dan Kesehatan Lingkungan Tahun 2015.
Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik.2016. Buku 1 Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia,
Susenas Maret 2016, Jakarta: Badan Pusat Statistik RI.
Badan Pusat Statistik. 2016. Indikator Kesejahteraan Rakyat Tahun 2016. Jakarta: Badan
Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik. 2017. Produk Domestik Bruto Indonesia Menurut Pengeluaran 2012-
2017, Jakarta: Badan Pusat Statistik RI
Badan Pusat Statistik.2017. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi, Juli 2017, Jakarta: Badan
Pusat Statistik RI
Direktorat Kesehatan Lingkungan, 2016. Roadmap STBM 2015-2019. Jakarta: Direktorat
Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Dalam Negeri RI. 2015. Peraturan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 56 Tahun
2015 Tentang Kode Dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan. Jakarta: Kementerian
Dalam Negeri RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2003. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1098/MENKES/SK/VII/2003 tentang Persyaratan Higiene Sanitasi Rumah Makan dan
Restoran. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2004. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1204/MENKES/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2006. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1429/MENKES/SK/XII/2006 tentang Penyelenggaraan Kesehatan Lingkungan Sekolah.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 374 Tahun 2010
tentang Pengendalian Vektor. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 299 Tahun 2010
tentang Penyelenggaraan Program Internsip dan Penempatan Dokter Pasca Internsip.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
736/MENKES/PER/VI/2010 tentang Tata Laksana dan Pengawasan Kualitas Air Minum.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
243
Kementerian Kesehatan RI. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492 Tahun 2010
tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
889/MENKES/PER/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik Dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2012. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
33/MENKES/PER/2012 tentang ASI. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 7 Tahun 2013
tentang Pedoman Pengangkatan dan Penempatan Dokter dan Bidan Sebagai Pegawai Tidak
Tetap. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2013
tentang Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46 Tahun 2013
tentang Registrasi Tenaga Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 67 Tahun 2013
tentang Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun 2014
tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014
tentang Puskesmas. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS di Indonesia Tahun 2011-
2016. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014
tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2015. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-
2019. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2015. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
HK.02.02/MENKES/52/2015 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2015 2019.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2015. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 23 Tahun 2015
tentang Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan Berbasis Tim (Team Based) dalam Mendukung
Program Nusantara Sehat. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
244
Kementerian Kesehatan RI. 2015. Survei Prevalensi Tuberkulosis 2013-2014. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2015. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2015
tentang Standar Kapsul Vitamin A bagi Bayi, Anak Balita dan Ibu Nifas. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2016
tentang Istithaah Kesehatan Jemaah Haji. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2017. Buku Saku Pemantauan Status Gizi Tahun 2016. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. 2013. Keputusan Menteri
Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor 54 Tahun 2013 tentang Rencana
Pengembangan Tenaga Kesehatan Tahun 2011 2025. Jakarta: Kementerian Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat.
Konsil Kedokteran Indonesia. 2011. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 6 tahun
2011 tentang Registrasi Dokter dan Dokter Gigi. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia.
Konsil Kedokteran Indonesia. 2014. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 21 Tahun
2014 Tentang Registrasi Dokter dan Dokter Gigi Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis
dan Dokter Gigi Spesialis. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia.
Republik Indonesia. 2009. Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009, Nomor 144. Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. 2012. Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem
Kesehatan Nasional. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012, Nomor 193. Jakarta:
Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. 2014. Undang Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014, Nomor 298. Jakarta:
Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. 2014. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Lingkungan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014, Nomor 184. Jakarta:
Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. 2015. Peraturan Presiden Nomor 131 Tahun 2015 tentang Penetapan
Daerah Tertinggal Tahun 2015 2019. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015,
Nomor 259. Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. 2015. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019. Jakarta:
Sekretariat Negara.
World Health Organization. 2016. Global Tuberculosis Report 2016. Jenewa: WHO.
***
245
Lampiran 1.1
PEMBAGIAN WILAYAH ADMINISTRASI PEMERINTAHAN MENURUT PROVINSI TAHUN 2015
Pembagian Wilayah
No Provinsi
Kabupaten Kota Kabupaten + Kota Kecamatan Kelurahan Desa
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1 Aceh 18 5 23 289 0 6.474
2 Sumatera Utara 25 8 33 436 692 5.418
3 Sumatera Barat 12 7 19 179 245 880
4 Riau 10 2 12 163 243 1.592
5 Jambi 9 2 11 141 163 1.399
6 Sumatera Selatan 13 4 17 231 377 2.859
7 Bengkulu 9 1 10 128 172 1.341
8 Lampung 13 2 15 227 205 2.435
9 Kepulauan Bangka Belitung 6 1 7 47 78 309
10 Kepulauan Riau 5 2 7 70 141 275
11 DKI Jakarta 1 5 6 44 267 0
12 Jawa Barat 18 9 27 626 643 5.319
13 Jawa Tengah 29 6 35 573 750 7.809
14 DI Yogyakarta 4 1 5 78 46 392
15 Jawa Timur 29 9 38 664 777 7.724
16 Banten 4 4 8 155 313 1.238
17 Bali 8 1 9 57 80 636
18 Nusa Tenggara Barat 8 2 10 116 142 995
19 Nusa Tenggara Timur 21 1 22 306 318 2.995
20 Kalimantan Barat 12 2 14 174 99 1.977
21 Kalimantan Tengah 13 1 14 136 138 1.434
22 Kalimantan Selatan 11 2 13 152 143 1.866
23 Kalimantan Timur 7 3 10 103 196 836
24 Kalimantan Utara 4 1 5 50 35 447
25 Sulawesi Utara 11 4 15 167 332 1.505
26 Sulawesi Tengah 12 1 13 175 175 1.842
27 Sulawesi Selatan 21 3 24 306 785 2.253
28 Sulawesi Tenggara 15 2 17 212 377 1.846
29 Gorontalo 5 1 6 77 72 657
30 Sulawesi Barat 6 0 6 69 71 576
31 Maluku 9 2 11 118 33 1.198
32 Maluku Utara 8 2 10 115 117 1.064
33 Papua Barat 12 1 13 218 95 1.744
34 Papua 28 1 29 558 110 5.419
Indonesia 416 98 514 7.160 8.430 74.754
Sumber: Kementerian Dalam Negeri, 2015
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 56 Tahun 2015
Lampiran 1.2
ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK MENURUT JENIS KELAMIN DAN RASIO JENIS KELAMIN MENURUT PROVINSI TAHUN 2016
Kepadatan Penduduk
No Provinsi Laki-Laki Perempuan Total Luas Wilayah (Km2)*
(Jiwa per Km2)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Jumlah Lahir Jumlah Bayi (0 tahun) Jumlah Batita (0-2 tahun) Jumlah Anak Balita (1 - 4 tahun) Jumlah Balita (0 - 4 tahun)
No Provinsi
Hidup Laki-laki Perempuan Total Laki-laki Perempuan Total Laki-laki Perempuan Total Laki-laki Perempuan Total
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15)
1 Aceh 116.816 58.715 56.342 115.057 174.918 168.115 343.033 230.697 222.026 452.723 289.412 278.368 567.780
2 Sumatera Utara 312.707 155.852 149.925 305.777 469.829 452.959 922.788 632.869 611.387 1.244.256 788.721 761.312 1.550.033
3 Sumatera Barat 111.511 55.696 53.492 109.188 166.712 160.447 327.159 222.054 214.117 436.171 277.750 267.609 545.359
4 Riau 153.055 76.077 72.957 149.034 225.333 216.392 441.725 294.698 283.397 578.095 370.775 356.354 727.129
5 Jambi 66.758 33.104 31.716 64.820 99.117 95.085 194.202 131.962 126.753 258.715 165.066 158.469 323.535
6 Sumatera Selatan 164.623 81.749 78.555 160.304 245.676 236.535 482.211 328.672 317.025 645.697 410.421 395.580 806.001
7 Bengkulu 37.544 18.614 17.886 36.500 55.790 53.717 109.507 74.402 71.773 146.175 93.016 89.659 182.675
8 Lampung 157.908 78.529 75.429 153.958 238.127 229.137 467.264 322.961 311.336 634.297 401.490 386.765 788.255
9 Kep. Bangka Belitung 27.153 13.553 13.000 26.553 40.449 38.864 79.313 53.527 51.515 105.042 67.080 64.515 131.595
10 Kep. Riau 42.660 21.790 20.965 42.755 66.225 63.857 130.082 89.674 86.667 176.341 111.464 107.632 219.096
11 DKI Jakarta 176.609 91.252 87.622 178.874 279.717 268.960 548.677 384.881 370.667 755.548 476.133 458.289 934.422
12 Jawa Barat 887.073 447.014 427.526 874.540 1.340.096 1.282.910 2.623.006 1.785.777 1.711.490 3.497.267 2.232.791 2.139.016 4.371.807
13 Jawa Tengah 542.475 273.998 260.525 534.523 827.332 785.616 1.612.948 1.117.556 1.060.174 2.177.730 1.391.554 1.320.699 2.712.253
14 DI Yogyakarta 54.113 27.816 26.593 54.409 83.976 80.337 164.313 112.903 108.098 221.001 140.719 134.691 275.410
15 Jawa Timur 580.153 292.305 280.329 572.634 880.957 846.073 1.727.030 1.186.078 1.140.708 2.326.786 1.478.383 1.421.037 2.899.420
16 Banten 245.678 123.256 118.448 241.704 372.169 358.350 730.519 501.449 483.756 985.205 624.705 602.204 1.226.909
17 Bali 65.200 32.852 31.516 64.368 98.943 95.056 193.999 132.898 127.885 260.783 165.750 159.401 325.151
18 Nusa Tenggara Barat 105.728 51.647 49.620 101.267 153.952 148.378 302.330 204.748 197.845 402.593 256.395 247.465 503.860
19 Nusa Tenggara Timur 135.048 65.866 63.338 129.204 193.950 187.058 381.008 253.333 244.934 498.267 319.199 308.272 627.471
20 Kalimantan Barat 102.436 50.753 48.674 99.427 152.182 146.183 298.365 203.016 195.327 398.343 253.769 244.001 497.770
21 Kalimantan Tengah 53.595 26.181 25.234 51.415 77.637 75.008 152.645 101.934 98.686 200.620 128.115 123.920 252.035
22 Kalimantan Selatan 83.009 40.888 39.271 80.159 123.257 118.663 241.920 166.194 160.342 326.536 207.082 199.613 406.695
23 Kalimantan Timur 74.749 36.159 34.590 70.749 107.734 103.128 210.862 142.123 136.166 278.289 178.282 170.756 349.038
24 Kalimantan Utara 12.125 7.469 7.112 14.581 22.251 21.202 43.453 29.353 27.993 57.346 36.822 35.105 71.927
25 Sulawesi Utara 41.765 20.941 20.073 41.014 63.282 60.744 124.026 85.502 82.185 167.687 106.443 102.258 208.701
26 Sulawesi Tengah 63.226 30.992 29.726 60.718 92.098 88.545 180.643 121.707 117.253 238.960 152.699 146.979 299.678
27 Sulawesi Selatan 170.951 84.911 81.405 166.316 254.760 244.642 499.402 340.675 327.655 668.330 425.586 409.060 834.646
28 Sulawesi Tenggara 61.945 30.577 29.262 59.839 90.938 87.146 178.084 119.916 115.065 234.981 150.493 144.327 294.820
29 Gorontalo 23.644 11.586 11.101 22.687 34.270 32.911 67.181 44.993 43.285 88.278 56.579 54.386 110.965
30 Sulawesi Barat 32.215 15.520 14.936 30.456 45.493 43.952 89.445 59.051 57.230 116.281 74.571 72.166 146.737
31 Maluku 43.933 21.214 20.399 41.613 62.463 60.253 122.716 81.565 78.870 160.435 102.779 99.269 202.048
32 Maluku Utara 29.038 14.274 13.707 27.981 42.427 40.841 83.268 56.040 54.050 110.090 70.314 67.757 138.071
33 Papua Barat 21.318 10.312 9.955 20.267 30.240 29.291 59.531 39.122 38.005 77.127 49.434 47.960 97.394
34 Papua 71.052 34.386 33.367 67.753 101.755 99.105 200.860 133.452 130.419 263.871 167.838 163.786 331.624
Indonesia 4.867.813 2.435.848 2.334.596 4.770.444 7.314.055 7.019.460 14.333.515 9.785.782 9.404.084 19.189.866 12.221.630 11.738.680 23.960.310
Sumber: Pusat Data dan Informasi, Kemenkes RI, 2016
Lampiran 1.6
ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK MENURUT PENDUDUK USIA MUDA, USIA PRODUKTIF DAN USIA NON PRODUKTIF,
JENIS KELAMIN, DAN PROVINSI TAHUN 2016
Jumlah Penduduk Usia Muda (<15 Tahun) Jumlah Penduduk Usia Produktif (15-64 Tahun) Jumlah Penduduk Usia Non Produktif (65+ Tahun) Angka
No Provinsi Beban Tanggungan
Laki-laki Perempuan Total Laki-laki Perempuan Total Laki-laki Perempuan Total (ABT)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12)
1 Aceh 814.226 780.890 1.595.116 1.642.610 1.656.746 3.299.356 88.277 113.499 201.776 54,46
2 Sumatera Utara 2.290.502 2.195.106 4.485.608 4.494.280 4.539.617 9.033.897 252.544 330.862 583.406 56,11
3 Sumatera Barat 806.562 774.753 1.581.315 1.684.864 1.701.138 3.386.002 125.847 166.364 292.211 55,33
4 Riau 1.029.602 982.034 2.011.636 2.215.418 2.086.041 4.301.459 91.854 96.022 187.876 51,13
5 Jambi 488.349 473.177 961.526 1.208.938 1.149.480 2.358.418 67.648 71.334 138.982 46,66
6 Sumatera Selatan 1.197.130 1.142.445 2.339.575 2.783.725 2.681.212 5.464.937 166.285 190.104 356.389 49,33
7 Bengkulu 274.716 261.632 536.348 659.684 632.161 1.291.845 36.886 39.714 76.600 47,45
8 Lampung 1.176.505 1.121.198 2.297.703 2.826.542 2.668.030 5.494.572 202.647 210.219 412.866 49,33
9 Kep. Bangka Belitung 195.757 187.039 382.796 505.457 456.399 961.856 27.366 29.809 57.175 45,74
10 Kep. Riau 318.284 304.085 622.369 693.819 664.229 1.358.048 23.408 24.344 47.752 49,34
11 DKI Jakarta 1.306.745 1.247.190 2.553.935 3.664.443 3.659.948 7.324.391 188.495 210.807 399.302 40,32
12 Jawa Barat 6.522.018 6.210.095 12.732.113 16.329.470 15.835.946 32.165.416 1.159.773 1.322.087 2.481.860 47,30
13 Jawa Tengah 4.249.536 4.032.863 8.282.399 11.398.138 11.609.441 23.007.579 1.223.520 1.505.597 2.729.117 47,86
14 DI Yogyakarta 415.136 395.050 810.186 1.274.454 1.291.311 2.565.765 150.361 194.600 344.961 45,02
15 Jawa Timur 4.573.298 4.379.248 8.952.546 13.407.248 13.733.047 27.140.295 1.307.460 1.674.851 2.982.311 43,97
16 Banten 1.770.680 1.690.050 3.460.730 4.266.685 4.083.523 8.350.208 184.275 207.935 392.210 46,14
17 Bali 523.119 495.787 1.018.906 1.459.689 1.432.450 2.892.139 132.134 156.890 289.024 45,22
18 Nusa Tenggara Barat 746.262 715.539 1.461.801 1.517.829 1.674.396 3.192.225 111.659 130.477 242.136 53,38
19 Nusa Tenggara Timur 921.064 892.135 1.813.199 1.538.356 1.596.518 3.134.874 118.533 136.908 255.441 65,99
20 Kalimantan Barat 728.653 697.145 1.425.798 1.645.296 1.582.916 3.228.212 101.717 106.011 207.728 50,60
21 Kalimantan Tengah 367.381 351.202 718.583 925.300 827.293 1.752.593 39.593 39.423 79.016 45,51
22 Kalimantan Selatan 593.913 566.907 1.160.820 1.389.930 1.341.196 2.731.126 72.235 91.298 163.533 48,49
23 Kalimantan Timur 502.230 475.071 977.301 1.279.077 1.138.432 2.417.509 54.986 51.436 106.422 44,83
24 Kalimantan Utara 104.511 99.223 203.734 237.677 203.978 441.655 11.341 9.603 20.944 50,87
25 Sulawesi Utara 319.198 303.748 622.946 856.022 808.313 1.664.335 68.223 81.417 149.640 46,42
26 Sulawesi Tengah 430.370 409.566 839.936 995.545 950.157 1.945.702 66.237 69.840 136.077 50,16
27 Sulawesi Selatan 1.252.938 1.199.445 2.452.383 2.736.192 2.907.770 5.643.962 214.980 295.050 510.030 52,49
28 Sulawesi Tenggara 436.345 415.002 851.347 798.224 797.016 1.595.240 47.755 56.666 104.421 59,91
29 Gorontalo 165.394 157.958 323.352 388.378 388.217 776.595 22.710 28.108 50.818 48,18
30 Sulawesi Barat 210.682 201.154 411.836 420.326 420.885 841.211 24.444 28.987 53.431 55,31
31 Maluku 290.877 276.633 567.510 540.723 536.154 1.076.877 33.568 37.593 71.161 59,31
32 Maluku Utara 202.304 194.172 396.476 383.223 366.678 749.901 19.541 19.994 39.535 58,14
33 Papua Barat 141.106 134.411 275.517 318.900 279.538 598.438 10.562 8.845 19.407 49,28
34 Papua 497.621 471.894 969.515 1.164.235 1.024.135 2.188.370 28.115 21.444 49.559 46,57
Indonesia 35.863.014 34.233.847 70.096.861 87.650.697 86.724.311 174.375.008 6.474.979 7.758.138 14.233.117 48,36
Sumber: Pusat Data dan Informasi, Kemenkes RI, 2016
Lampiran 1.7
ESTIMASI JUMLAH WANITA USIA SUBUR (15 - 49 TAHUN), WUS IMUNISASI (15 - 39 TAHUN),
IBU HAMIL, IBU BERSALIN, DAN IBU NIFAS MENURUT PROVINSI TAHUN 2016
Jumlah Anak Prasekolah (5 - 6 tahun) Jumlah Anak Usia Kelas 1 SD/Setingkat (7 Tahun) Jumlah Anak Usia SD/Setingkat (7 - 12 Tahun)
No Provinsi
Laki-laki Perempuan Total Laki-laki Perempuan Total Laki-laki Perempuan Total
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
1 Aceh 114.218 110.055 224.273 55.413 52.764 108.177 313.747 299.429 613.176
2 Sumatera Utara 321.192 309.929 631.121 155.304 148.871 304.175 899.003 855.039 1.754.042
3 Sumatera Barat 111.134 106.865 217.999 54.147 51.939 106.086 316.850 303.554 620.404
4 Riau 142.516 136.403 278.919 67.088 63.140 130.228 392.167 370.939 763.106
5 Jambi 65.089 63.011 128.100 31.655 30.975 62.630 194.663 189.546 384.209
6 Sumatera Selatan 164.594 157.148 321.742 79.960 75.661 155.621 470.470 445.458 915.928
7 Bengkulu 37.097 35.360 72.457 18.334 17.283 35.617 109.381 103.162 212.543
8 Lampung 164.851 156.895 321.746 80.146 75.798 155.944 462.789 438.183 900.972
9 Kep. Bangka Belitung 26.315 25.155 51.470 12.962 12.343 25.305 77.288 73.509 150.797
10 Kep. Riau 45.162 43.441 88.603 21.775 20.684 42.459 124.825 118.066 242.891
11 DKI Jakarta 193.367 186.986 380.353 88.694 84.453 173.147 490.126 460.701 950.827
12 Jawa Barat 887.330 843.267 1.730.597 430.818 407.335 838.153 2.556.237 2.421.673 4.977.910
13 Jawa Tengah 572.536 538.859 1.111.395 284.647 269.265 553.912 1.712.967 1.628.318 3.341.285
14 DI Yogyakarta 57.008 54.333 111.341 27.473 26.071 53.544 163.203 154.449 317.652
15 Jawa Timur 610.066 584.015 1.194.081 307.849 293.755 601.604 1.862.783 1.778.266 3.641.049
16 Banten 251.522 240.141 491.663 120.198 113.709 233.907 681.298 645.399 1.326.697
17 Bali 68.704 65.043 133.747 35.562 33.344 68.906 217.630 204.499 422.129
18 Nusa Tenggara Barat 102.906 98.888 201.794 50.802 48.420 99.222 294.103 280.409 574.512
19 Nusa Tenggara Timur 123.679 120.145 243.824 60.827 60.579 121.406 362.597 353.377 715.974
20 Kalimantan Barat 100.254 95.928 196.182 48.287 45.955 94.242 283.280 269.737 553.017
21 Kalimantan Tengah 48.829 46.622 95.451 24.464 23.112 47.576 144.272 136.340 280.612
22 Kalimantan Selatan 84.326 81.289 165.615 39.874 37.668 77.542 230.415 217.702 448.117
23 Kalimantan Timur 68.586 64.845 133.431 32.882 30.821 63.703 193.173 180.990 374.163
24 Kalimantan Utara 14.413 13.691 28.104 6.910 6.507 13.417 40.361 38.132 78.493
25 Sulawesi Utara 43.042 40.548 83.590 20.751 20.039 40.790 127.272 121.168 248.440
26 Sulawesi Tengah 60.214 58.041 118.255 27.558 25.861 53.419 163.824 153.883 317.707
27 Sulawesi Selatan 169.931 162.995 332.926 82.525 79.377 161.902 493.775 471.627 965.402
28 Sulawesi Tenggara 60.928 57.997 118.925 30.559 28.870 59.429 172.590 163.019 335.609
29 Gorontalo 22.077 21.131 43.208 10.917 10.363 21.280 65.066 61.679 126.745
30 Sulawesi Barat 28.349 27.183 55.532 14.006 13.205 27.211 81.394 76.766 158.160
31 Maluku 39.472 37.526 76.998 19.276 18.020 37.296 111.877 105.095 216.972
32 Maluku Utara 27.449 26.500 53.949 13.547 12.947 26.494 79.799 76.272 156.071
33 Papua Barat 18.624 17.754 36.378 9.248 8.649 17.897 55.221 51.878 107.099
34 Papua 65.675 63.729 129.404 32.725 31.703 64.428 196.822 185.196 382.018
Indonesia 4.911.455 4.691.718 9.603.173 2.397.183 2.279.486 4.676.669 14.141.268 13.433.460 27.574.728
Sumber: Pusat Data dan Informasi, Kemenkes RI, 2016
Lampiran 1.9
JUMLAH PENDUDUK MISKIN, PERSENTASE PENDUDUK MISKIN DAN GARIS KEMISKINAN
TAHUN 2000 - 2016
Jumlah Penduduk Miskin (dalam Juta Orang) Persentase Penduduk Miskin Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bulan)
No Tahun
Perkotaan Perdesaan Total Perkotaan Perdesaan Total Perkotaan Perdesaan
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
1 2000 12,31 26,43 38,74 14,6 22,38 19,14 91.632,00 73.648,00
2 2001 8,60 29,27 37,87 9,79 24,84 18,41 100.011,00 80.382,00
3 2002 13,32 25,08 38,39 14,46 21,1 18,2 130.499,00 96.512,00
4 2003 12,26 25,08 37,34 13,57 20,23 17,42 138.803,00 105.888,00
5 2004 11,37 24,78 36,15 12,13 20,11 16,66 143.455,00 108.725,00
6 2005 12,40 22,7 35,1 11,68 19,98 15,97 165.565,00 117.365,00
7 2006 14,49 24,81 39,3 13,47 21,81 17,75 174.290,00 130.584,00
8 2007 13,56 23,61 37,17 12,52 20,37 16,58 187.942,00 146.837,00
9 2008 12,77 22,19 34,96 11,65 18,93 15,42 204.895,99 161.830,79
10 2009 11,91 20,62 32,53 10,72 17,35 14,15 222.123,10 179.834,57
11 2010 11,10 19,93 31,02 9,87 16,56 13,33 232.989,00 192.353,83
12 Maret 2011 11,05 18,97 30,02 9,23 15,72 12,49 253.015,51 213.394,51
13 September 2011 10,95 18,94 29,89 9,09 15,59 12,36 263.593,84 223.180,69
14 Maret 2012 10,65 18,49 29,13 8,78 15,12 11,96 267.407,53 229.225,78
15 September 2012 10,51 18,09 28,59 8,6 14,7 11,66 277.381,99 240.441,35
16 Maret 2013 10,33 17,74 28,07 8,39 14,32 11,37 289.042,00 253.273,00
17 September 2013 10,63 17,92 28,55 8,52 14,42 11,47 308.626,00 275.779,00
18 Maret 2014 10,51 17,77 28,28 8,34 14,17 11,25 318.514,00 286.097,00
19 September 2014 10,36 17,37 27,73 8,16 13,76 10,96 326.853,00 296.681,00
20 Maret 2015 10,65 17,94 28,59 8,29 14,21 11,22 342.541,00 317.881,00
21 September 2015 10,62 17,89 28,51 8,22 14,09 11,13 356.378,00 333.034,00
22 Maret 2016 10,34 17,67 28,01 7,79 14,11 10,86 364.527,00 343.647,00
23 September 2016 10,49 17,28 27,76 7,73 13,96 10,70 372.114,00 350.420,00
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2017
Lampiran 1.10
GARIS KEMISKINAN, JUMLAH DAN PERSENTASE PENDUDUK MISKIN MENURUT PROVINSI DAN TIPE DAERAH TAHUN 2016
Maret September
Perkotaan Perdesaan Total Perkotaan Perdesaan Total
Maret September
No Provinsi Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) * Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)** Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) * Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)**
Perkotaan Perdesaan Total Perkotaan Perdesaan Total Perkotaan Perdesaan Total Perkotaan Perdesaan Total
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14)
1 Aceh 2,30 3,96 3,48 0,70 1,12 1,00 1,45 3,74 3,06 0,28 1,11 0,87
2 Sumatera Utara 1,75 1,79 1,77 0,47 0,52 0,50 1,62 2,30 1,96 0,42 0,70 0,56
3 Sumatera Barat 0,75 1,33 1,10 0,15 0,30 0,24 1,04 1,18 1,12 0,25 0,30 0,28
4 Riau 0,93 1,63 1,36 0,20 0,42 0,34 1,33 1,37 1,36 0,45 0,36 0,40
5 Jambi 2,10 1,19 1,47 0,55 0,29 0,37 2,41 0,97 1,42 0,71 0,21 0,36
6 Sumatera Selatan 1,79 2,14 2,02 0,37 0,46 0,43 1,89 2,00 1,96 0,47 0,49 0,48
7 Bengkulu 2,83 3,29 3,14 0,70 0,81 0,77 2,89 2,74 2,79 0,65 0,64 0,64
8 Lampung 1,86 2,91 2,63 0,48 0,79 0,70 1,29 2,16 1,92 0,27 0,46 0,41
9 Kep. Bangka Belitung 0,38 0,98 0,67 0,08 0,22 0,15 0,29 1,25 0,75 0,04 0,28 0,16
10 Kep. Riau 0,77 1,53 0,89 0,18 0,31 0,20 0,62 1,23 0,71 0,13 0,25 0,15
11 DKI Jakarta 0,46 *** 0,46 0,08 *** 0,08 0,43 *** 0,43 0,08 *** 0,08
12 Jawa Barat 1,17 2,20 1,49 0,26 0,62 0,37 1,08 1,77 1,28 0,24 0,37 0,28
13 Jawa Tengah 1,78 2,90 2,37 0,40 0,83 0,63 1,94 2,30 2,12 0,49 0,59 0,54
14 DI Yogyakarta 1,78 3,41 2,30 0,38 1,05 0,59 1,27 2,83 1,75 0,22 0,67 0,36
15 Jawa Timur 1,10 2,83 1,99 0,23 0,71 0,47 1,33 2,57 1,95 0,34 0,61 0,47
16 Banten 0,61 1,21 0,80 0,13 0,25 0,17 0,69 0,93 0,76 0,16 0,17 0,17
17 Bali 0,45 0,62 0,51 0,08 0,12 0,09 0,40 0,76 0,53 0,06 0,18 0,11
18 Nusa Tenggara Barat 3,14 2,90 3,00 0,78 0,77 0,77 3,03 2,31 2,63 0,78 0,55 0,65
19 Nusa Tenggara Timur 1,75 5,44 4,69 0,46 1,51 1,30 1,70 4,40 3,83 0,46 1,09 0,96
20 Kalimantan Barat 0,66 1,59 1,30 0,13 0,40 0,32 0,67 1,35 1,13 0,12 0,30 0,24
21 Kalimantan Tengah 0,54 1,03 0,86 0,10 0,25 0,20 0,68 0,63 0,65 0,17 0,14 0,15
22 Kalimantan Selatan 0,58 0,81 0,71 0,14 0,19 0,16 0,72 0,67 0,69 0,19 0,15 0,16
23 Kalimantan Timur 0,55 1,94 1,04 0,12 0,56 0,28 0,59 1,23 0,81 0,13 0,25 0,17
24 Kalimantan Utara 0,59 1,04 0,78 0,16 0,19 0,17 0,74 1,06 0,88 0,23 0,20 0,21
25 Sulawesi Utara 0,78 2,19 1,53 0,17 0,71 0,46 0,79 1,89 1,38 0,19 0,46 0,34
26 Sulawesi Tengah 1,89 3,01 2,72 0,53 0,79 0,73 1,93 2,40 2,28 0,56 0,56 0,56
27 Sulawesi Selatan 0,65 2,56 1,83 0,16 0,79 0,55 0,92 1,93 1,53 0,29 0,45 0,38
28 Sulawesi Tenggara 1,33 3,37 2,76 0,44 1,09 0,90 1,14 2,35 1,98 0,29 0,53 0,46
29 Gorontalo 0,90 5,93 4,12 0,20 2,18 1,47 0,72 3,95 2,79 0,14 0,94 0,65
30 Sulawesi Barat 0,90 2,22 1,95 0,14 0,57 0,48 1,69 1,90 1,85 0,40 0,45 0,44
31 Maluku 1,47 5,06 3,63 0,37 1,40 0,99 1,25 5,44 3,76 0,37 1,65 1,13
32 Maluku Utara 0,37 0,86 0,73 0,06 0,22 0,18 0,25 1,18 0,92 0,02 0,28 0,21
33 Papua Barat 0,86 11,19 7,21 0,19 4,46 2,82 1,30 9,51 6,28 0,36 3,44 2,23
34 Papua 0,88 12,39 9,37 0,22 5,60 4,19 0,79 9,82 7,44 0,20 3,53 2,65
Indonesia 1,19 2,74 1,94 0,27 0,79 0,53 1,21 2,32 1,74 0,29 0,59 0,44
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2017
Catatan :
*) Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing - masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan, Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan.
**) Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin, semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.
***) DKI Jakarta tidak memiliki desa
Lampiran 1.12
INDEKS GINI MENURUT PROVINSI TAHUN 2012 - 2016