Anda di halaman 1dari 12

KARAKTERISTIK FILSAFAT, ILMU MANAJEMEN DAN PENDIDIKAN SERTA JALINAN

FUNGSIONAL ANTARA ILMU, FILSAFAT DAN AGAMA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah


Filsafat Ilmu
Oleh:
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk pencari kebenaran. Ada tiga jalan untuk mencari, menghampiri
dan menemukan kebenaran, yaitu : ilmu, filsafat dan agama. Ketiga cara ini mempunyai cara-
cara tersendiri dalam mencari, menghampiri dan menemukan kebenaran. Filsafat dan ilmu
adalah dua kata yang salin terkait, baik secara substansial maupun historis karena kelahiran
ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat
keberadaan filsafat. Dalam dunia filsafat pun melahirkan berbagai pemikiran-pemikiran
tentang hal-hal yang metafisik, seperti berfilsafat tentang tuhan. Dimana tuhan dijadikan
objek berpikir filsafat. Hubungan antara filsafat dan agama dalam sejarah kadang-kadang
dekat dan baik, dan kadang-kadang jauh dan buruk. Ada kalanya para agamawan merintis
perkembangan filsafat. Ada kalanya pula orang beragama merasa terancam oleh pemikiran
para filosof yang kritis dan tajam. Para filosof sendiri kadang-kadang memberi kesan
sombong, sok tahu, meremehkan wahyu dan iman sederhana umat.
Filsafat makin menyadari bahwa pertanyaan-pertanyaan manusia paling dasar tentang
asal-usul yang sebenarnya, tentang makna kebahagiaan, tentang jalan kebahagiaan, tentang
tanggungjawab dasar manusia, tentang makna kehidupan, tentang apakah hidup ini
berdasarkan sebuah harapan fundamental atau sebenarnya tanpa arti paling-paling dapat
dirumuskan serta dibersihkan dari kerancuan-kerancuan, tetapi tidak dapat dijawab.
Keterbukaan filsafat, termasuk banyak filosof Marxis, terhadap agama belum pernah sebesar
dewasa ini.
Sebaliknya agama, meskipun dengan lambat, mulai memahami bahwa sekularisasi yang
dirasakan sebagai ancaman malah membuka kesempatan juga. Kalau sekularisasi berarti
bahwa apa yang duniawi dibersihkan dari segala kabut adiduniawi, jadi bahwa dunia adalah
dunia dan Allah adalah Allah, dan dua-duanya tidak tercampur, maka sekularisasi itu
sebenarnya hanya menegaskan apa yang selalu menjadi keyakinan dasar monotheisme.
Sekularisasi lantas hanya berarti bahwa agama tidak lagi dapat mengandalkan kekuasaan
duniawi dalam membawa pesannya, dan hal itu justru membantu membersihkan agama dari
kecurigaan bahwa agama sebenarnya hanyalah suatu legitimasi bagi sekelompok orang untuk
mencari kekuasaan di dunia. Agama dibebaskan kepada hakekatnya yang rohani dan
adiduniawi (agama, baru menjadi saksi kekuasaan Allah yang ada duniawi apabila dalam
mengamalkan tugasnya tidak memakai sarana-sarana kekuasaan, paksaan dan tekanan
duniawi.
Berangkat dari pemikiran di atas, maka penulis akan mencoba mengeksplorasikan lebih
jauh tentang Ilmu, Filsafat, dan agama beserta kemungkinan hubungan-hubungan atau
keterkaitan yang ada padanya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan kajian teoritis, empiris, nalar dan permasalahan pada bagian pendahuluan, maka
dirumuskan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu :
1. Bagaimana karakteristik filsafat, ilmu manajemen dan pendidikan bila di tinjau dari
filosofi keilmuannya?
2. Bagaimana Jalinan fungsional ilmu, filsafat dan agama?
C. Tujuan
1. Menjelaskan karakteristik filsafat ilmu, manajemen dan pendidikan yang di tinjuan
dari filosofi keilmuannya.
2. Menjelaskan jalinan fungsional ilmu, filsafat dan agama.

D. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Menambah wawasan berfikir ilmiah pada tataran teoritis bagi penulis tentang konsep
manajemen dalam perspektif filsafat ilmu, pendidikan dan agama serta jalinan fungsional
antara ilmu, filsafat dan agama. Disamping itu diharapkan dapat memberikan sumbangsih
pemikiran bagi khasanah keilmuan manajemen dan filsafat.
2. Manfaat Praktik
a. Memberikan masukan bagi organisasi baik baik bisnis atau publik terhadap pilihan-
pilihan nilai dalam organisasi yang mesti dipertahankan demi keberlangsungan
organisasi
b. Memberikan masukan bagi pemimpin organisasi akan pentingnya pemahaman
filosofi manajemen dalam kaitan pendidikan dan agama yang memberikan ruh
pada organisasi dan orang-orang didalamnya.

E. Sistematika Metode Penulisan


Empat masalah yang telah dikemukakan di atas akan dipecahkan dan dikaji secara mendalam
dengan menggunakan kajian pustaka baik melalui buku, jurnal, referensi internet, makalah,
sehingga ramuan dari seluruh kajian pustaka itu disajikan dalam uraian-uraian yang disertai
dengan pemikiran dan analisis penulis sendiri sehingga akan tersaji dalam uraian yang
komprehensif.
Sistematika uraian dalam penulisan makalah ini berangkat dari empat persoalan atau masalah
yang telah dikemukakan di atas adalah:
1. Karakteristik filsafat ilmu, manajemen dan pendidikan di dalam tinjauaan filsafat
keilmuannya.
a. Tinjauan umum
b. Evolusi manajemen
c. Tokoh-tokoh manajemen dan nilai-nilai yang dibawa
2. Jalinan fungsional ilmu, Filsafat dan agama
a. Tinjauan umum
b. Filsafat dan dan ilmu
c. Filsafat dan agama

BAB II LANDASAN TEORI

A. karakteristik filsafat, ilmu manajemen dan pendidikan yang di tinjuan dari filosofi
keilmuannya
B. Jalinan Fungsional Ilmu, Filsafat Dan Agama
Ilmu
Ilmu berasal dari bahasa Arab: Alima-ya;lamu, ilman dengan wazan faila-yafulu, yang
berarti: mengerti, memahami benar-benar. Dalam bahasa inggris disebut science; dari bahasa
latin scientia (pengetahuan)_scire (mengetahui). Sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia
ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut
metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang
(pengetahuan) itu (Bahtiar, 2004: 12). Menurut Jujun S. Suriasumantri, 1985:19), ilmu
merupakan pengetahuan yang kita gumuli sejak bangku sekolah dasar sampai pendidikan
lanjutan dan perguruan tinggi.
Kemudian Anshari (1981: 47-49) telah menghimpun beberapa pengertian ilmu menurut
beberapa ahli sebagai berikut:
1. Mohammad Hatta mendifinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang
pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun
menurut kdudukannya tampak dari luar, maupun menurut hubungannya dari dalam.
2. Ralp Ross dan Ernest Van Den Haag, mengatakan ilmu adalah yang empiris, rasional,
umum dan sistematik, dan keempatnya serentak
3. Karl Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif
dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah sederhana
4. Ashely Montagu, Guru Besar Antropolo di Rutgers University menyimpulkan bahwa
ilmu adalah pengetahuan yang disususn dalam satu sistem yang berasal dari
pengamatan, studi dan percobaan untuk menetukan hakikat prinsip tentang hal yang
sedang dikaji.
5. Harsojo, Guru Besar antropolog di Universitas Pajajaran, menerangkan bahwa ilmu:
Merupakan akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan, Suatu pendekatan atau
metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris yaitu dunia yang terikat oleh
factor ruang dan waktu yang pada prinsipnya dapat diamati panca indera manusia,
Suatu cara menganlisis yang mengizinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan
suatu proposisi dalam bentuk: jika,.maka
6. Afanasyef, seorang pemikir Marxist bangsa Rusia mendefinisikan ilmu adalah
pengetahuan manusia tentang alam, masyarakat, dan pikiran. Ia mencerminkan alam
dan konsep-konsep, kategori dan hukum-hukum, yang ketetapnnya dan
kebenarannya diuji dengan pengalaman praktis.

Dari keterangan para ahli tentang ilmu di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa ilmu
adalah sebagian pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda, syarat tertentu, yaitu sistematik,
rasional, empiris, universal, objektif, dapat diukur, terbuka, dan kumulatif (bersusun timbun).

Filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia, philo yang berarti cinta dalam arti yang luas,
yaitu ingin dan karena itu lalu berusaha mencapai yang diinginkan itu; sophia artinya
kebijakan dalam arti pandai, pengertian yang mendalam, cinta pada kebijakan (Ahmad Tafsir,
2001: 9).
Filsafat memang dimulai dari rasa ingin tahu. Keingintahuan manusia ini kemudian
melahirkan pemikiran. Manusia memikirkan apa yang ingin diketahuinya. Pemikiran inilah
yang kemudian disebut sebagai filsafat. Dengan berfilsafat manusia kemudian jadi pandai.
Pandai artinya juga tahu atau mengetahui Dengan kepandaiannya manusia harusnya menjadi
bijaksana. Bijaksana adalah tujuan dari mempelajari filsafat itu sendiri. Menurut Endang
Saifuddin Anshari, MA (1979:157), filsafat sebagai hasil daya upaya manusia dengan akal
budinya untuk memahami (mendalami dan menyelami) secara radikal dan integral hakikat
sarwa yang ada: (a) Hakekat Tuhan; (b) hakekat alam semesta; (c) hakekat manusia; serta
sikap manusia termasuk sebagai konsekwensi daripada faham (pemahamnnya) tersebut.
Filsafat adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang
ada, sebab asal dan hukumnya (Jujun S. Suriasumantri,1985:21). filsafat berarti alam pikiran
atau alam berpikir. Berfilsafat artinya berpikir (Hasyimsyah, 1998: 1). Namun tidak semua
berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-
sungguh. Seperti yang dikatakan Sudarsono, (2008:12), bahwa filsafat adalah pengetahuan
yang menyelidiki dan memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan sungguh-sungguh,
radikal sehingga mencapai hakikat segala situasi tersebut.
Dari beberapa pendapat di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa filsafat adalah ilmu yang
mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu secara sistematis,
radikal, dan universal.
Cabang-cabang filsafat tersebut antara lain mencakup:
1) Epistemologi (Filsafat pengetahuan)
2) Etika (filsafat moral)
3) Estetika (filsafat seni)
4) Metafisika
5) Politik
6) Filsafat Agama
7) Filsafat Ilmu
8) Filsafat Pendidikan
9) Filsafat Hukum
10) Filsafat Sejarah
11) Filsafat Matematika
(Jujun S. Suriasumantri, 1985:32)
Filsafat Ilmu merupakan bagian epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik
mengkaji hakikat ilmu.

Agama
Istilah agama memiliki pengertian yang sama dengan istilah religion dalam bahasa Inggris.
Bozman (Anshari, 1979) mengemukakan bahwa agama dalam arti luas merupakan suatu
penerimaan terhadap aturan-aturan dari suatu kekuatan yang lebih tinggi, dengan jalan
melakukan hubungan yang harmonis dengan realitas yang lebih agung dari dirinya sendiri,
yang memerintahkan untuk mengadakan kebaktian, pengabdian, dan pelayanan yang setia.
Agama adalah usaha kuno umat manusia untuk menjadi benar-benar jelas dan sadar nilai-
nilai dan tujuan dan terus-menerus untuk memperkuat dan memperluas pengaruh mereka
(Albert Einstein, 1941).
Religi mempunyai pengertian sebagai keyakinan akan adanya kekuatan gaib yang suci,
menentukan jalan hidup dan mempengaruhi kehidupan manusia yang dihadapi secara hati-
hati dan diikuti jalan dan aturan serta norma-normanya dengan ketat agar tidak sampai
menyimpang atau lepas dari kehendak jalan yang telah ditetapkan oleh kekuatan gaib suci
tersebut. Secara terminologi dalam ensiklopedi Nasional Indonesia, agama diartikan aturan
atau tata cara hidup manusia dengan hubungannya dengan tuhan dan sesamanya.
Di dalam setiap agama, paling tidak ditemukan empat ciri khas. Pertama, aspek kredial, yaitu
ajaran tentang doktrin-doktrin ketuhanan yang harus diyakini. Kedua, aspek ritual, yaitu
ajaran tentang tata-cara berhubungan dengan Tuhan, untuk meminta perlindungan dan
pertolongan-Nya atau untuk menunjukkan kesetiaan dan penghambaan. Ketiga, aspek moral,
yaitu ajaran tentang aturan berperilaku dan bertindak yang benar dan baik bagi inidividu
dalam kehidupan. Keempat, aspek sosial, yaitu ajaran tentang aturan hidup bermasyarakat.
(TIM Dosen PAI MKDU UPI, 2008: 12)
Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Agama adalah suatu system
credo (tata keimanan dan tata keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak diluar manusia.

Persamaan dan Perbedaan Filsafat, Ilmu, dan Agama


Filsafat, ilmu, dan agama memiliki sisi persamaan dan perbedaan, yaitu sebagai
berikut:
Persamaan
1. Ketiganya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki obyek selengkap-
lengkapnya sampai ke-akar-akarnya.
2. Ketiganya memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada antara
kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan sebab-akibatnya.
3. Ketiganya hendak memberikan sistesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan.
4. Ketiganya mempunyai metode dan sistem.
5. Ketiganya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari
hasrat manusia (obyektivitas), akan pengetahuan yang lebih mendasar.
Perbedaan
1. Obyek material (lapangan) filsafat itu bersifat universal (umum), yaitu segala sesuatu
yang ada (realita). Sedangkan obyek material ilmu (pengetahuan ilmiah) itu bersifat
khusus dan empiris. Artinya, ilmu hanya terfokus pada disiplin bidang masing-masing
secra kaku dan terkotak-kotak, sedangkan kajian filsafat tidak terkotak-kotak dalam
disiplin tertentu.
2. Obyek formal (sudut pandangan) filsafat itu bersifat non fragmentaris, karena mencari
pengertian dari segala sesuatu yang ada itu secara luas, mendalam dan mendasar.
Sedangkan ilmu bersifat fragmentaris, spesifik, dan intensif. Di samping itu, obyek
formal itu bersifat teknik, yang berarti bahwa cara ide-ide manusia itu mengadakan
penyatuan diri dengan realita.
3. Filsafat dilaksanakan dalam suasana pengetahuan yang menonjolkan daya spekulasi,
kritis, dan pengawasan, sedangkan ilmu haruslah diadakan riset lewat pendekatan
trial and error. Oleh karena itu, nilai ilmu terletak pada kegunaan pragmatis,
sedangkan kegunaan filsafat timbul dari nilainnya.
4. Filsafat memuat pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam berdasarkan pada
pengalaman realitas sehari-hari, sedangkan ilmu bersifat diskursif, yaitu menguraikan
secara logis, yang dimulai dari tidak tahu menjadi tahu.
5. Filsafat memberikan penjelasan yang terakhar, yang mutlak, dan mendalam sampai
mendasar (primary cause) sedangkan ilmu menunjukkan sebab-sebab yang tidak
begitu mendalam, yang lebih dekat, yang sekunder (secondary cause).
6. Filsafat dan ilmu bersumber pada kekuatan akal, sedangkan agama bersumber pada
wahyu.
7. Filsafat didahului oleh keraguan, ilmu didahului oleh keingintahuan, sedangkan agama
diawali oleh keyakinan.

BAB III PEMBAHASAN

A. karakteristik filsafat ilmu, manajemen dan pendidikan yang di tinjuan dari filosofi
keilmuannya
D. Jalinan Fungsional Ilmu, Filsafat Dan Agama
Berdasarkan uraian teoritis di atas terkait filsafat, ilmu dan agama memiliki jalinan fungsional
yang erat. Seperti yang diuraikan di atas, Poedjawijatna, (1980) menyatakan bahwa filsafat
dan ilmu bertemu pada objek materia dan yang membedakan adalah objek formalnya.
Batasnya jadi terang, akan tetapi dalam praktek sering juga ada kekacauan. Hal ini tidak
mengherankan sebab yang diselidiki objeknya sama, sedang yang menyelidiki juga sama yaitu
manusia. Manusia yang ingin tau tidak selalu sadar akan batas tugas dan batas bidang ilmu
yang menjadi wilayahnya masing-masing. Memang sebaliknya harus diakui, bahwa batas ini
dalam teoripun tidak selalu jelas, atau harus ada kesediaan dari pihak ilmu maupun filsafat
untuk tidak mencampurkan tugas dan wilayahnya masing-masing.
Albert Einstein seorang ilmuwan Yahudi pernah mengatakan bahwa ilmu tanpa agama buta,
agama tanpa ilmu lumpuh Ada dua entry point disini pertama tentang pentingnya agama
untuk melambari ilmu pengetahuan dan yang kedua perlunya ilmu dalam pengamalan agama.
Ilmu dan agama merupakan dua instrumen penting bagi manusia untuk menata diri,
berperilaku, bermasyarakat, berbangsa, bernegara serta bagaimana manusia memaknai
hidup dan kehidupan. Keduanya diperlukan dalam mendorong manusia untuk hidup secara
benar. Sebagai makhluk berakal, manusia sangat menyadari kebutuhannya untuk
memperoleh kepastian, baik pada tataran ilmiah maupun ideologi. Melalui sains, manusia
berhubungan dengan realitas dalam memahami keberadaan diri dan lingkungannya.
Sedangkan agama menyadarkan manusia akan hubungan keragaman realitas tersebut, untuk
memperoleh derajat kepastian mutlak, yakni kesadaran akan kehadiran Tuhan. Keduanya
sama-sama penjelajahan realitas.
Ilmu, dan agama bertujuan sekurang-kurangnya berurusan dalam hal yang sama yaitu
kebenaran. sifat dari agama memberikan kebenaran secara komprehenshif, adapun ilmu
menuntut dan mendeskripsikan kebenaran berdasarkan hasil kajian empiris dengan
menggunakan metode ilmiah, ilmu pun dapat terlahir sebagai produk dari filsafat dan agama.
Ilmu dengan metodenya sendiri mencari kebenaran tentang alam (termasuk di dalamnya
manusia), adapun agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala
persoalan asasi yang dipertanyakan manusia, baik tentang alam maupun tentang manusia,
sementara seni berada pada wilayah rasa yang dapat dihasilkan dari pemikiran agama, ilmu
maupun filsafat.
Zainal Abidin Bagir, dkk (2005:45-46) mengemukakan bahwa ilmu mampu membantu agama
merevitalisasi diri dengan beberapa cara. Pertama, kesadaran kritis dan sikap realistis yang
dibentuk oleh ilmu sangat berguna untuk mengelupaskan sisisisi ilusoris agama, bukan untuk
menghancurkan agama, melainkan untuk menemukan hal-hal yang lebih esensial dari agama.
Dalam praksisnya, banyak hal dalam kehidupan beragama yang mungkin saja bersifat ilusoris,
yang membuat agama-agama bersifat oversensitive sehingga mudah menimbulkan konflik
yang akhirnya justru menggerogoti martabat agama sendiri tanpa disadari. Kedua,
kemampuan logis dan kehati-hatian mengambil kesimpulan yang dipupuk dalam dunia ilmiah
menjadikan kita mampu menilai secara kritis segala bentuk tafsir baru yang kini makin hiruk
pikuk dan membingungkan. Ketiga, lewat temuan-temuan barunya, ilmu dapat merangsang
agama untuk senantiasa tanggap memikirkan ulang keyakinan-keyakinannya secara baru
dengan begitu menghindarkan agama itu sendiri dari bahaya stagnasi dan pengaratan.
Keempat, temuan-temuan ilmu pengetahuan dan teknologi pun dapat memberi peluang-
peluang
baru bagi agama untuk makin mewujudkan idealism-idealismenya secara konkret, terutama
yang menyangkut kemanusiaan umum.
Agama pun sebetulnya dapat membantu ilmu agar tetap manusiawi dan selalu menyadari
persoalan-persoalan konkret yang harus dihadapinya. Pertama, agama dapat selalu
mengingatkan bahwa ilmu bukanlah satu-satunya jalan menuju kebenaran dan makna
terdalam kehidupan manusia. Dalam dunia manusia, terdapat relitas pengalaman batin yang
membentuk makna dan nilai. Hal itu merupakan wilayah yang tidak banyak disentuh oleh
ilmu, wilayah yang ambigu tetap riil. Kedua, agama dapat juga selalu mengingatkan ilmu dan
teknologi untuk senantiasa membela nilai kehidupan dan kemanusiaan bahkan di atas
kemajuan pengetahuan itu sendiri. Ketiga, agama dapat membantu ilmu memperdalam
penjelajahan di wilayah kemungkinankemungkinan adikodrati atau supranatural. Apalagi jika
wilayah-wilayah itu memang merupakan ujung tak terelakkan dari aneka pencarian ilmiah
yang serius saat ini. Keempat, agama pun dapat selalu menjaga sikap mental manusia gar
tidak mudah terjerumus kedalam mentalitas pragmatis instrumental, yang menganggap
bahwa sesuatu dianggap bernilai sejauh jelas manfaatnya dan dapat diperalat untuk
kepentingan kita.
Dalam hal hubungan filsafat dan agama, filsafat sekurang-kurangnya dapat menyumbangkan
empat pelayanan pada agama :
Pertama. Salah satu masalah yang dihadapi oleh setiap agama wahyu adalah masalah
interpretasi. Maksudnya, teks wahyu yang merupakan Sabda Allah selalu dan dengan
sendirinya terumus dalam bahasa dari dunia. Akan tetapi segenap makna dan arti bahasa
manusia tidak pernah seratus persen pasti. Itulah sebabnya kita begitu sering mengalami apa
yang disebut salah paham. Oleh sebab itu, setiap agama wahyu mempunyai cara untuk
menangani masalah itu. Agama Islam, misalnya, mengenai ijma' dan qias. Nah, dalam usaha
manusia seperti itu, untuk memahami wahyu Allah secara tepat, untuk mencapai kata
sepakat tentang arti salah satu bagian wahyu, filsafat dapat saja membantu. Karena jelas
bahwa jawaban atas pertanyaan itu harus diberikan dengan memakai nalar (pertanyaan
tentang arti wahyu tidak dapat dipecahkan dengan mencari jawabannya dalam wahyu saja,
karena dengan demikian pertanyaan yang sama akan muncul kembali, dan seterusnya).
Karena filsafat adalah seni pemakaian nalar secara tepat dan bertanggungjawab, filsafat
dapat membantu agama dalam memastikan arti wahyunya.
Kedua, secara spesifik, filsafat selalu dan sudah memberikan pelayanan itu kepada ilmu yang
mencoba mensistematisasikan, membetulkan dan memastikan ajaran agama yang
berdasarkan wahyu, yaitu ilmu teologi. Teologi dengan sendirinya memerlukan paham-
paham dan metode-metode tertentu, dan paham-paham serta metode-metode itu dengan
sendirinya diambil dari filsafat. Misalnya, masalah penentuan Allah dan kebebasan manusia
(masalah kehendak bebas) hanya dapat dibahas dengan memakai cara berpikir filsafat. Hal
yang sama juga berlaku dalam masalah "theodicea", pertanyaan tentang bagaimana Allah
yang sekaligus Mahabaik dan Mahakuasa, dapat membiarkan penderitaan dan dosa
berlangsung (padahal ia tentu dapat mencegahnya).
Ketiga, filsafat dapat membantu agama dalam menghadapi masalah-masalah baru, artinya
masalah-masalah yang pada waktu wahyu diturunkan belum ada dan tidak dibicarakan secara
langsung dalam wahyu. Itu terutama relevan dalam bidang moralitas. Misalnya masalah bayi
tabung atau pencangkokan ginjal. Bagaimana orang mengambil sikap terhadap dua
kemungkinan itu: Boleh atau tidak? Bagaimana dalam hal ini ia mendasarkan diri pada
agamanya, padahal dalam Kitab Suci agamanya, dua masalah itu tak pernah dibahas?
Jawabannya hanya dapat ditemukan dengan cara menerapkan prinsip-prinsip etika yang
termuat dalam konteks lain dalam Kitab Suci pada masalah baru itu. Nah, dalam proses itu
diperlukan pertimbangan filsafat moral.
Keempat, fungsi kritisnya. Salah satu tugas filsafat adalah kritik ideologi. Maksudnya adalah
sebagai berikut. Masyarakat terutama masyarakat pasca tradisional, berada di bawah
semburan segala macam pandangan, kepercayaan, agama, aliran, ideologi, dan keyakinan.
Semua pandangan itu memiliki satu kesamaan : Mereka mengatakan kepada masyarakat
bagaimana ia harus hidup, bersikap dan bertindak. Fiisafat menganalisa claim-claim ideologi
itu secara kritis, mempertanyakan dasarnya, memperlihatkan implikasinya, membuka kedok
kepentingan yang barangkali ada di belakangnya.
Kritik ideologi itu dibutuhkan agama dalam dua arah. Pertama terhadap pandangan-
pandangan saingan, terutama pandangan-pandang- an yang mau merusak sikap jujur, takwa
dan bertanggungjawab. Fisafat tidak sekedar mengutuk apa yang tidak sesuai dengan
pandangan kita sendiri, melainkan mempergunakan argumentasi rasional. Agama sebaiknya
menghadapi ideologi-ideologi saingan tidak secara dogmatis belaka, jadi hanya karena
berpendapat lain, melainkan berdasarkan argumentasi yang obyektif dan juga dapat
dimengerti orang luar.
Arah kedua menyangkut agamanya sendiri. Filsafat dapat mempertanyakan, apakah sesuatu
yang oleh penganut agama dikatakan sebagai termuat dalam wahyu Allah, memang termasuk
wahyu itu. Jadi, filsafat dapat menjadi alat untuk membebaskan ajaran agama dari unsur-
unsur ideologis yang menuntut sesuatu yang sebenarnya tidak termuat dalam wahyu,
melainkan hanya berdasarkan sebuah interpretasi subyektif. Maka filsafat membantu
pembaharuan agama. Berhadapan dengan tantangan-tantangan zaman, agama tidak sekedar
menyesuaikan dirinya, melainkan menggali jawabannya dengan berpaling kembali kepada
apa yang sebenarnya diwahyukan oleh Allah.
Dari pendapat di atas, maka kita dapat mengetahui bahwa filsafat adalah mencari kebenaran.
Kebenaran ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif (berlaku sampai dengan saat ini),
kebenaran filsafat adalah kebenaran spekulatif (dugaan yang tidak dapat dibuktikan secara
empiri, riset dan eksperimental). Baik kebenaran ilmu maupun kebenaran filsafat kedua-
duanya nisbi (relatif). Sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak (absolut) karena agama
adalah wahyu yang diturunkan Allah. Baik ilmu maupun filsafat dimulai dengan sikap sanksi
dan tidak percaya. Sedangkan agama dimulai dengan sikap percaya atau iman (Annshari,
1996:158-160).
Dengan cara menyadari keadaan serta kedudukan masing-masing, maka antara ilmu dan
filsafat serta agama dapat terjalin hubungan yang harmonis dan saling mendukung. Karena,
semakin jelas pula bahwa seringkali pertanyaan, fakta atau realita yang dihadapi seseorang
adalah hal yang sama, namun dapat dijawab secara berbeda sesuai dengan proporsi yang
dimiliki masing-masing bidang kajian, baik itu ilmu, filsafat maupun agama. Ketiganya dapat
saling menunjang dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam kehidupan.

B. KESIMPULAN

BAB IV KESIMPULAN

A. Simpulan
1. Umum
2. Khusus
B. Implikasi
C. Rekomendasi
1. Personal
2. Lembaga

Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan:
1. Ilmu adalah sebagian pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda, syarat tertentu,
yaitu sistematik, rasional, empiris, universal, objektif, dapat diukur, terbuka, dan
kumulatif (bersusun timbun).
2. Filsafat adalah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami atau
mendalami secara radikal dan integral serta sistematis hakikat sarwa yang ada, yaitu:
hakikat Tuhan, hakikat alam semesta, dan hakikat manusia, serta sikap manusia
sebagai konsekuensi dari paham tersebut.
3. Agama adalah suatu system credo (tata keimanan dan tata keyakinan) atas adanya
sesuatu yang mutlak diluar manusia.
4. Bahwa meskipun antara filsafat, ilmu, dan agama memiliki perbedaan, tetapi ada
titik persamaanya yaitu ketiganya mencari sebuah kebenaran dan memberikan
sebuah jawaban bagi permasalahan-permasalahan kehidupan. Sehingga antara
filsafat, ilmu dan agama memiliki relevansi sebagai berikut:
a. Filsafat, ilmu, dan agama sama-sama mencari kebenaran. Sebagai contoh
pengetahuan tentang manusia.
b. Filsafat dan ilmu dapat membantu menyampaikan lebih lanjut ajaran agama
kepada manusia. Filsafat membantu agama dalam mengartikan
(menginterpretasikan) teks-teks sucinya. Contoh tentang bayi tabung.
c. Sebaliknya, agama dapat membantu memberi jawaban terhadap problem
yang tidak dapat dijangkau dan dijawab oleh ilmu dan filsafat.
Dengan demikian antara filsafat, ilmu dan agama tidak ada pertentangan jika didudukkan
dalam proporsi dan bidangnya masing-masing.

B. Rekomendasi
Berdasarkan hal di atas penulis mengajak pembaca untuk bisa lebih mendalami lagi ketiga
bidang kajian ini, filsafat, ilmu, dan agama. Sehingga, mampu menjawab setiap
permasalahan dengan bijak dan benar.

DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2004.
LR. Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan. Jakarta: PT Rineka Cipta,1991.
Praja, Juhaya. S, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Fajar Interpratama Offset,2003.
Soemargono, Soejono, pengantar filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,1996.
Anshari, Endang Saifuddin. (1979I) lmu, Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu
Bahtiar, Amsal. (2007) Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Einstein, Albert. (1941). The Conference On Science, Philosophy and Religion in Their
Relation to the Democratic Way of Life, Inc. Newyork. Article Science, Philosophy and
Religion.
Ismaun. (2001). Filsafat Ilmu, (Diktat Kuliah), Bandung:UPI Bandung.
Jujun S. Suriasumantri, (1982), Filsafah Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar
Nasution, Harun. (1979). Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang,
Nasution, Hasyimsyah. (1998). Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.
Poedjawijatna. (1980). Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat. Jakarta, PT Pembangunan.
Sumarna, Cecep. (2004). Filsafat Ilmu dari Hakikat Menuju Nilai. Bandung. Pustaka Bani
Quraisy
Tafsir 2000 Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Rosdakarya, , Bandung Harapan.
Zainal Abidin Bagir, dkk. 2005. Integrasi Ilmu dan Agama, Interpretasi dan Aksi, Bandung:
Mizan Pustaka
anwaruben.blogspot.co.id/2013/11/ilmu-filsafat-dan-agama-dalam.html

Anda mungkin juga menyukai