TINJAUAN PUSTAKA
A. PENGERTIAN
Menurut Brunner dan Suddarth (2001), cedera kepala adalah cedera yang terjadi pada
kulit kepala, tengkorak dan otak, sedangkan Doenges, (1999) cedera kepala adalah cedera
kepala terbuka dan tertutup yang terjadi karena, fraktur tengkorak, kombusio gegar serebri,
kontusio memar, leserasi dan perdarahan serebral subarakhnoid, subdural,
epidural,intraserebral, batang otak. Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma
langsung atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak
(Pierce & Neil. 2006).
Brain Injury Assosiation of America (2009), cedera kepala adalah suatu kerusakan
pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan
atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
cedera kepala adalah cedera kepala terbuka dan tertutup yang terjadi karena, fraktur
tengkorak, kombusio gegar serebri, kontusio memar, leserasi dan perdarahan serebral
subarakhnoid, subdural, epidural,intraserebral, batang otak. Cedera kepala merupakan
proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan
kerusakan tengkorak dan otak (Pierce & Neil. 2006).
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai kulit kepala, tulang tengkorak
atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan
disertai atau tanpa disertai perdarahan yang mengakibatkan gangguan fungsi otak. Menurut
Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala,
bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan
fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois et al. 2006).
Pada saat ini klasifikasi cedera kepala secara luas berdasarkan Glasgow coma scale
(GCS) karena kriterianya bisa dielavuasi dan mudah diterima dalam berbagai kondisi, cukup
obyektif, sederhana dan dapat dipercaya. Klasifikasi ini diperkenalkan oleh Easdale dan
Jennet di tahun 1974 dengan menilai tingkatan kesadaran berdasarkan tiga komponen klinis
yaitu respon membuka mata, motorik, dan verbal.
Nilai GCS adalah nilai total dari ketiga komponen yaitu antara 3-15. Nilai 3 berarti
penderita tidak memberikan respon terhadap rangsangan apapun sedangkan nilai 15 berarti
penderita sadar penuh. Penilain GCS dilakukan pasca resusitasi setelah trauma.
Beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa cedera kepala adalah trauma
pada kulit kepala, tengkorak, dan otak yang terjadi baik secara langsung ataupun tidak
langsung pada kepala yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran bahkan
dapat menyebabkan kematiaan.
1. Macam-macam cedera kepala
Menurut, Brunner dan Suddarth, (2001) cedera kepala ada 2 macam yaitu:
a) Cedera kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak atau luka penetrasi,
besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh massa dan bentuk dari benturan,
kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk kedalam
jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam/
tembakan, cedera kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen memiliki abses
langsung ke otak.
b) Cedera kepala tertutup
Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan yang mendadak.
Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat, kemudian serentak berhenti dan
bila ada cairan akan tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi: kombusio gagar otak,
kontusio memar, dan laserasi.
2. Klasifikasi cedera kepala
Rosjidi (2007), trauma kepala diklasifikasikan menjadi derajat berdasarkannilai dari
Glasgow Coma Scale ( GCS ) nya, yaitu;
a) Ringan
1) GCS = 13 15
2) Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit
3) Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral dan hematoma.
b) Sedang
1) GCS = 9 12
2) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari30 menit tetapi kurang dari 24
jam.
3) Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c) Berat
1) GCS = 3 8
2) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesialebih dari 24 jam.
3) Juga meliputi kontusio serebral, laserasi atauhematoma intrakranial.
Gambar 1.
1. Tengkorak
Tulang tengkorak menurut, Evelyn C Pearce (2008) merupakan struktur tulang yang
menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan tulang muka. Tulang kranium
terdiri dari 3 lapisan :lapisan luar, etmoid dan lapisan dalam. Lapisan luar dan dalam
merupakan struktur yang kuat sedangkan etmoid merupakan struktur yang menyerupai busa.
Lapisan dalam membentuk rongga/fosa; fosa anterior didalamnya terdapat lobus frontalis,
fosa tengah berisi lobus temporalis, parientalis,oksipitalis, fosa posterior berisi otak tengah
dan sereblum.
Gambar 2. Lapisan cranium
2. Meningen
Pearce, Evelyn C. (2008) otak dan sumsum tulang belakangdiselimuti meningia yang
melindungi syruktur saraf yang halus itu, membawa pembulu darah dan dengan sekresi
sejenis cairan, yaitu: cairanserebrospinal yang memperkecil benturan atau goncangan.
Selaput meningen menutupi terdiri dari 3 lapisan yaitu:
a. Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan
lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yangkeras, terdiri atas jaringan ikat
fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada
selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial ruangsubdural yang
terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluhpembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju
sinussagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami
robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinussagitalis superior mengalirkan
darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat
mengakibatkan perdarahan hebat . Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan
gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk
dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
1. Sakit kepala yang menetap.
2. Rasa mengantuk yang hilang-timbul.
3. Linglung.
4. Perubahan ingatan.
5. Kelumpuhan ringan pada sisi tubuhyang berlawanan.
Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium
ruang epidural. Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-
arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera
adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa media fosa temporalis. Hematoma
epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam tulang tengkorak untuk
mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian dan penyumbatan sumber
perdarahan.
b. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid
terletak antara pia mater sebelah dalam dan duramater sebelah luar yang meliputi otak.
Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari
piamater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquorserebrospinalis . Perdarahan sub
arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
c. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia materadalah membrana
vaskular yang dengan erat membungkus otak,meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang
paling dalam. Membranaini membungkus saraf otak dan menyatu dengan
epineuriumnya.Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
3. Otak
Menurut Ganong, (2002); price, (2005), otak terdiri dari 3 bagian, antaralain yaitu:
a. Cerebrum
D. MANIFESTASI KLINIK
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusicedera otak.
E. PATOFISIOLOGI
Cedera memang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya
konsekuensi patofisiologis dari suatu kepala. Cedera percepatan aselerasi terjadi jika benda
yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda
tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan deselerasi adalah bila
kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah.
Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba
tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat.
Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang
menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak, yaitu cedera otak
primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer adalah cedera yang terjadi saat atau
bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya
menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa kita lakukan kecuali membuat fungsi
stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang optimal.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan
otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi karena terjatuh, dipukul,
kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh
sistem dalam tubuh. Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang
berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena
metabolik sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi
serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Cidera kepala terjadi karena beberapa hal
diantanya, bila trauma ekstra kranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit
kepala selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan
yang terjadi terus- menerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan volume
darah pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasiarterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial
(TIK), adapun, hipotensi (Soetomo, 2002).
Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan dan terjadi
perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan dan
kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial tertama motorik
yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas (Brain, 2009).
F. KOMPLIKASI
Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan hematoma
intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak, komplikasi dari cedera kepala adalah;
1) Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin berasal dari
gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan dewasa. Edema paru terjadi
akibat refleks cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi dalam
keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan darah sistematik meningkat
untuk memcoba mempertahankan aliran darah keotak, bila keadaan semakin kritis, denyut
nadi menurun bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah semakin
meningkat. Hipotensi akan memburuk keadan, harus dipertahankan tekanan perfusi paling
sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg, pada penderita kepala.
Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan lebihm banyak darah dialirkan
ke paru, perubahan permiabilitas pembulu darah paru berperan pada proses berpindahnya
cairan ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan
menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.
2) Peningkatan TIK
Tekana intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg, dan herniasi
dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah yang mengalir dalam otak disebut
sebagai tekan perfusi rerebral. Yang merupakan komplikasi serius dengan akibat herniasi
dengan gagal pernafasan dan gagal jantung serta kematian.
3) Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut. Perawat harus
membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan menyediakan spatel lidah yang
diberi bantalan atau jalan nafas oral disamping tempat tidur klien, juga peralatan penghisap.
Selama kejang, perawat harus memfokuskan pada upaya mempertahankan, jalan nafas paten
dan mencegah cedera lanjut. Salah satunya tindakan medis untuk mengatasi kejang adalah
pemberian obat, diazepam merupakan obat yang paling banyak digunakan dan diberikan
secara perlahan secara intavena. Hati-hati terhadap efek pada system pernafasan, pantau
selama pemberian diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.
4) Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari\ fraktur tengkorak
basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek meninges, sehingga CSS akan
keluar. Area drainase tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan
steril di bawah hidung atau telinga. Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi hidung
atau telinga.
5) Infeksi
G. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Dexamethason/kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai
dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20% glukosa 40%
atau gliserol.
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untukinfeksi anaerob
diberikan metronidazole.
6. Makanan atau cairan infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam pertama dari
terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makananlunak.
7. Pembedahan.
H. NURSING PATHWAY