Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Obat-obatan stimulan sistem saraf pusat adalah obat-obatan yang dapat bereaksi

secara langsung ataupun secara tidak langsung pada SSP. Salah satu obat yang

termasuk obat stimulan SSP adalah amphetamine. Amfetamin dan Metamfetamin

merupakan dua simpatomimetik amin yang memiliki hubungan yang erat dan

keduanya juga banyak disalahgunakan. Metamfetamin yang dikenal sebagai shabu-

shabu berbentuk kristal bening seperti butiran gula, tetapi ukurannya sedikit lebih

besar sehingga ada yang menyebutnya crystal meth.

Metamfetamin lebih banyak dipilih oleh para penyalahguna karena norepinefrin

yang dibebaskan lebih sedikit dibandingkan Amfetamin. Selain itu, Metamfetamin

lebih mudah dibakar dan dihirup. Efek yang dihasilkan dengan cara menghirup shabu-

shabu lebih besar dibandingkan efek yang dihasilkan dengan cara mengonsumsi

secara oral. Hal ini mungkin dikarenakan oleh cepatnya peningkatan kadar dopamin

di dalam otak. Amfetamin dikonsumsi melalui oral, dihisap, supositoria dan dapat

melalui injeksi. Pengaruh amfetamin tergantung pada jenis, jumlah dan cara

menggunakannya. Dosis rendah sampai dosis sedang amfetamin adalah 5 50 mg dan

dikonsumsi oral.

Dosis tinggi obat adalah lebih dari 100 mg biasanya intra vena. Stimulan yang

diberikan short term ( 1 sampai 2 minggu) menyebabkan euphoria, optimism,

perasaan senang secara umum dan meningkatkan perhatian. Efek lain yang

mungkin muncul adalah anoreksia, insomnia, ansietas, iritabilitas, mengurangi

kelelahan, meningkatkan tekanan darah, menurunkan depresi. Pada penggunaan

jangka panjang, amfetamin dapat menyebabkan waham, halusinasi, gangguan afek,


aktivitas motorik berulang, dan nafsu makan berkurang. Sedangkan pemberian obat

dosis tinggi secara berulang dapat menyebabkan pasien mengalami paranoid,

peningkatan temperatur tubuh dan irama jantung irreguler bahkan dapat

mengalami gagal jantung atau serangan yang mematikan. Pemberian amfetamin

berulang dalam jangka waktu lama menyebabkan berkurangnya cadangan

katekolamin (prekursor norepinefrin, dopamin dan serotonin. Metamfetamin juga

dapat menyebabkan terjadi pengurangan kepadatan dan jumlah neuron dilobus

frontalis dan ganglia basalis. Pada makalah ini akan dibahas tentang penyalah gunaan

Amfetamin dan Metamfetamin.


BAB II

PEMBAHASAN

Penyalahgunaan zat adalah suatu perilaku mengonsumsi atau menggunakan

zat-zat tertentu yang dapat mengakibatkan bahaya pada diri sendiri maupun orang

lain. Menurut DSM, peyalahgunaan zat melibatkan pola penggunaan berulang yang

menghasilkan konsekuensi yang merusak. Konsekuensi yang merusak bisa termasuk

kegagalan untuk memenuhi tanggung jawab utama seseorang (misalnya: sebagai

pelajar, sebagai pekerja, atau sebagai orang tua), menempatkan diri dalam situasi di

mana penggunaan zat secara fisik berbahaya (contoh mencampur minuman dan

penggunaan obat), berhadapan dengan masalah hukum berulang kali yang meningkat

karena penggunaan obat. Memiliki masalah spasienial atau interpersonal yang kerap

muncul karena pengunaan zat (contoh: berkelahi karena mabuk).2

Dalam DSM-IV-TR ketergantungan dan penyalahgunaan merupakan

manifestasi fisik dan psikologis dari penyakit akibat penggunaan obat-obatan yang

menyebabkan ketergantungan atau disalahgunakan. Kedua hal tersebut merupakan

masalah perilaku. Dengan kata lain, masalahnya bukan terletak pada obat-obatan

tersebut, tapi pada cara orang yang memakai obat-obatan tersebut.2

Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan NAPZA dapat

digolongkan menjadi tiga golongan :

1. Golongan Depresan (Downer) Adalah jenis NAPZA yang berfungsi mengurangi

aktifitas fungsional tubuh. Jenis ini menbuat pemakaiannya merasa tenang, pendiam

dan bahkan membuatnya tertidur dan tidak sadarkan diri. Golongan ini termasuk

Opioida (morfin, heroin/putauw, kodein), Sedatif (penenang), hipnotik (otot tidur),

dan tranquilizer (anti cemas) dan lain-lain.


2. Golongan Stimulan (Upper) Adalah jenis NAPZA yang dapat merangsang fungsi

tubuh dan meningkatkan kegairahan kerja. Jenis ini membuat pemakainya menjadi

aktif, segar dan bersemangat. Zat yang termasuk golongan ini adalah : Amfetamin

(shabu, esktasi), Kafein, Kokain

3. Golongan Halusinogen Adalah jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek

halusinasi yang bersifat merubah perasaan dan pikiran dan seringkali menciptakan

daya pandang yang berbeda sehingga seluruh perasaan dapat terganggu. Golongan ini

tidak digunakan dalam terapi medis. Golongan ini termasuk : Kanabis (ganja), LSD,

Mescalin.3

TINGKAT PEMAKAIAN NAPZA.

Pemakaian coba-coba (experimental use), yaitu pemakaian NAPZA yang

tujuannya ingin mencoba,untuk memenuhi rasa ingin tahu. Sebagian pemakai berhenti

pada tahap ini, dan sebagian lain berlanjut pada tahap lebih berat.

Pemakaian spasienial/rekreasi (social/recreational use) : yaitu pemakaian

NAPZA dengan tujuan bersenang-senang,pada saat rekreasi atau santai. Sebagian

pemakai tetap bertahan pada tahap ini,namun sebagian lagi meningkat pada tahap

yang lebih berat

Pemakaian Situasional (situasional use) : yaitu pemakaian pada saat

mengalami keadaan tertentu seperti ketegangan, kesedihan, kekecewaaqn, dan

sebagainnya, dengan maksud menghilangkan perasaan-perasaan tersebut.

Penyalahgunaan (abuse): yaitu pemakaian sebagai suatu pola penggunaan

yang bersifat patologik/klinis (menyimpang) yang ditandai oleh intoksikasi sepanjang

hari, tak mapu mengurangi atau menghentikan, berusaha berulang kali

mengendalikan, terus menggunakan walaupun sakit fisiknya kambuh. Keadaan ini

akan menimbulkan gangguan fungsional atau okupasional yang ditandai oleh : tugas
dan relasi dalam keluarga tak terpenuhi dengan baik,perilaku agresif dan tak wajar,

hubungan dengan kawan terganggu, sering bolpasien sekolah atau kerja, melanggar

hukum atau kriminal dan tak mampu berfungsi secara efektif.

Ketergantungan (dependence use) : yaitu telah terjadi toleransi dan gejala

putus zat, bila pemakaian NAPZA dihentikan atau dikurangi dpasienisnya.3

2.1 Struktur Kimiawi Amfetamin

Amfetamin memiliki struktur molekul kimiawi yang sangat sederhana namun

menghasilkan sejumlah efek yang sangat menarik. Ahli kimia dalam bidang obat-

obatan telah berusaha mencari tahu cara kerja dari obat ini, dengan mengutamakan

efek obat dan mengabaikan yang lain dengan cara modifikasi struktur molekul

Amfetamin (Cadwell, 1980).

Struktur dasar molekul Amfetamin (gambar 2.1.) memiliki sejumlah ciri-ciri

penting pada efek farmakologi antara lain pada cincin aromatik yang tidak dapat

diubah, dua rantai karbon, grup - metal, dan grup amino. Modifikasi dari salah satu

ciri-ciri diatas akan mengakibatkan terjadinya perubahan pada cara kerja molekul

tersebut. Perubahan pada cincin aromatik mengubah efek obat yang bekerja pada

sistem saraf pusat; grup - hidroksil menurunkan efek anoretik dan efek pada sistem

saraf pusat; grup - metil yang kedua menurunkan stumulasi pada sistem saraf

pusat; substitusi alkil pada grup amino meningkatkan efek anoretik (Costa, 1970).

Gambar 2.1. Struktur dasar molekul Amfetamin

(Cadwell, 1980)

2.2 Bentuk Sediaan Obat Amfetamin


2.3 Cara Penggunaan

Penggunaan Amfetamin dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain :

1. Oral : administrasi Amfetamin secara oral merupakan satu-satunya cara yang

dipakai untuk kepentingan terapeutik, namun metode ini juga banyak digunakan

untuk kepentingan rekreasional (Uitermark, 2006). Efek Amfetamin dengan

administrasi oral muncul dalam jangka waktu sekitar 15-60 menit, mencapai puncak

dalam waktu 2-3 jam, dan mulai menurun setelahnya (Angrist, 1987).

2. Dihirup : administrasi Amfetamin secara intranasal dengan cara menggerus tablet

hingga menjadi bubuk halus kemudian dihirup. Cara ini tidak digunakan untuk

kepentingan terapeutik. Tetapi, inhalasi Amfetamin menjadi rute kedua terbanyak

yang digunakan untuk kepentingan rekreasional. Inhalasi Amfetamin ke dalam rongga

hidung, dimana terjadi absorpsi yang cepat melalui selaput lendir. Efek Amfetamin

muncul dalam hitungan menit dan memiliki durasi efek yang singkat (Uitermark,

2006).

3. Injeksi : injeksi Amfetamin juga tidak digunakan untuk kepentingan terapeutik,

tetapi untuk kepentingan rekreasional atau dalam keadaan tertentu seperti percobaan

pada hewan coba. Injeksi Amfetamin biasanya dilakukan secara intravena atau

subkutan, dan disirkulasi secara cepat melalui aliran darah. Injeksi Amfetamin

memiliki bioavailability tertinggi dan menghasilkan efek yang cepat dan hebat. Ketika

diinjeksi, efek Amfetamin akan muncul dengan segera namun memiliki durasi efek

yang singkat (Kramer, 1967)

2.4 Farmakologi Amfetamin


Amfetamin merupakan campuran dari isomer d-amfetamin dan lamfetamin (Usdin,

1979). D-amfetamin bekerja dengan cara membebaskan dopamin ke celah sinaptik

sedangkan isomer l-amfetamin bekerja dengan cara membebaskan norepinefrin. Oleh

karena itu, Amfetamin dikatakan sebagai obat simpatomimetik yang bekerja secara

tidak langsung dengan menekankan pada pembebasan neurotransmitter simpatetik

daripada bekerja secara aktif pada reseptor - maupun - adrenergik (Katzung, 2009).

2.5 Derivat Amfetamin

Berikut ini merupakan derivat dari Amfetamin :

1. Metamfetamin

Amfetamin dan Metamfetamin merupakan dua simpatomimetik amin yang memiliki

hubungan yang erat dan keduanya juga banyak disalahgunakan. Metamfetamin yang

dikenal sebagai shabu-shabu berbentuk kristal bening seperti butiran gula, tetapi

ukurannya sedikit lebih besar sehingga ada yang menyebutnya crystal meth.

Metamfetamin lebih banyak dipilih oleh para penyalahguna karena norepinefrin yang

dibebaskan lebih sedikit dibandingkan Amfetamin. Selain itu, Metamfetamin lebih

mudah dibakar dan dihirup. Efek yang dihasilkan dengan cara menghirup shabu-

shabu lebih besar dibandingkan efek yang dihasilkan dengan cara mengonsumsi

secara oral. Hal ini mungkin dikarenakan oleh cepatnya peningkatan kadar dopamin

di dalam otak (Kelly, 2001)

Gambar 2.2 Sabu-Sabu (Sulistyo, 2012)


2. 3,4- methyldioxymethamphetamine (MDMA)

MDMA merupakan obat sintetik, psikoaktif yang struktur kimiawinya sama seperti

Metamfetamin. MDMA atau yang lebih dikenal dengan nama ekstasi, menghasilkan

efek psikostimulan dan psikomimetik dengan cara meningkatkan kadar dopamin dan

serotonin di dalam otak. MDMA dikonsumsi secara oral, biasanya dalam bentuk

tablet. MDMA bersifat neurotoksik pada neuron serotonergik, terlihat degenerasi jalur

serotonergik dengan jelas pada hewan percobaan. Penggunaan MDMA pada manusia

akan menghancurkan neuron serotonergik di dalam otak yang berkontribusi pada

beberapa komplikasi psikiatri seperti reaksi panik, psikosis, depresi dan bunuh diri

(Ricaurte, 2001).
Gambar 2.3 Ekstasi ( Kabar Banten,2012)

2.6 Penggunaan Klinis Amfetamin dan Derivatnya

Amfetamin dan Metamfetamin dilegalkan untuk beberapa kondisi medis antara lain :

1. Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)

ADHD adalah suatu kelainan neurobehaviour yang terjadi sekitar 5% pada anak-anak.

Tiga bentuk dasar ADHD menurut Diagnostic and Statistical Manual IV (DSM-IV) of

the American Psychiatric Association (APA) adalah mereka yang :

1. Tidak memberikan perhatian

2. Hiperaktif atau impulsive

3. Kombinasi dari (1) dan (2), yang dimana paling banyak ditemukan. Pengobatan

yang paling umum untuk mengobati ADHD adalah dengan menggunakan obat

stimulan. Meskipun penggunaan obat stimulan untuk mengobati ADHD terlihat tidak

biasa, tetapi sebenarnya obat stimulan juga memiliki efek penenang pada anak yang

menderita ADHD (Brenner, 2010).

Beberapa opsi pengobatan pada ADHD antara lain adalah campuran Amfetamin,

Metamfetamin, Dextroamfetamin, Metilfedinat, Lisdexamfetamin, atau Atomoxetin

(The MTA Coorperative Group, 1999).

2. Narkolepsi

Narkolepsi adalah gangguan pola tidur yang ditandai dengan kebanyakan tidur pada

siang hari (excessive daytime sleepiness) bahkan setelah tidur malam yang cukup.

Penyebab pasti terjadinya narkolepsi belum sepenuhnya diketahuinya, namun

beberapa studi menyatakan bahwa kelainan genetik memegang peranan penting

(National Health Service, 2010).

Katapleksi, kebanyakan tidur pada siang hari, serangan tidur, halusinasi, paralisis otot

sementara dan automatic behavior merupakan gejala dari narkolepsi. Pada saat ini,
masih belum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan narkolepsi, namun ada

beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengurangi defek dari narkolepsi yaitu

dengan melatih kebiasaan tidur, mengubah gaya hidup, dan menggunakan obat

stimulan yang bekerja dengan cara merangsang sistem saraf pusat sehingga menjaga

penderita narkolepsi tetap terbangun pada saat melakukan aktivitasnya (National

Health Service,2010). Campuran Amfetamin, Dextroamfetamin, Metilfenidat,

Modafinil, dan Armodanifil adalah obat stimulan yang diindikasikan untuk

pengobatan narkolepsi (Brenner, 2010).

3. Obesitas

Obesitas didefinisikan sebagai peningkatan berat badan melebihi batas kebutuhan

skeletal dan fisik sebagai akibat akumulasi lemak berlebihan dalam tubuh (Dorland,

2002). Obesitas merupakan masalah kesehatan yang penting pada negara yang sedang

berkembang dan Amfetamin merupakan obat pertama yang digunakan untuk

menurunkan kelebihan berat badan. Metamfetamin hanya diindikasikan pada

penggunaan jangka pendek untuk mengatasi obesitas akibat faktor eksogen.

Fenteramin dan Sibutramin merupakan derivat dari Amfetamin yang digunakan

sebagai penekan nafsu makan. Obat-obat tersebut juga bekerja dengan cara

merangsang pusat kenyang di hipotalamus melalui mekanisme simpatomimetik.

Dibandingkan dengan Amfetamin, Fenteramin dan Sibutramin menghasilkan lebih

sedikit rangsangan pada sistem saraf pusat dan potensi terjadinya ketergantungan zat

lebih rendah (Brenner, 2010).

2.7 Efek Amfetamin

Amfetamin merupakan obat simpatomimetik yang bekerja secara tidak langsung,

yang menyebabkan pelepasan amin endogen seperti dopamin dan noradrenalin


(Katzung, 2009). Pada susunan saraf pusat, Amfetamin menstimulasi korteks serebri,

striatum, sistem limbik, dan batang otak (Klawans, 1981).

Pada manusia, dengan dosis kecil atau sedang akan mempengaruhi susunan saraf

pusat dengan cara (Sadock, 2007) :

- Meningkatkan kewaspadaan

- Meningkatkan aktivitas lokomotor

- Meningkatkan mood

- Menurunkan nafsu makan

- Menimbulkan euforia

- Meningkatkan suhu tubuh (hipertermi)

Pada penggunaan dosis tinggi secara tunggal atau pemakaian yang terus menerus

dengan dosis kecil selama beberapa hari, Amfetamin dapat menginduksi gangguan

psikis toksik yang ditandai dengan (Sadock, 2007):

- Pemikiran delusional

- Halusinasi auditorik

2.7.1 Efek Sistemik

Efek sistemik yang ditimbulkan oleh Amfetamin yaitu (Japardi, 2012):

a. Gangguan kardiovaskular

Amfetamin dapat menyebabkan :

- Hipertensi

- Sinus takikardi

- Iskemik miokard

b. Kerusakan ginjal

Amfetamin mengakibatkan Myoglobinuric Tubular Necrosis, sedangkan

Metamfetamin dapat menyebabkan Proliferatif Glomerulonephritis akibat dari suatu


Systemic Necrotizing Vasculitis. Biasanya terjadi bila Amfetamin digunakan secara

intravena. Keadaan ini jarang terjadi dan timbul bila terjadi overdosis. Metamfetamin

merupakan golongan yang paling sering menyebabkan kerusakan ginjal.

c. Gangguan saluran pencernaan

Amfetamin dapat menyebabkan toksisitas pada kolon akibat iskemik.

d. Fungsi seksual

Amfetamin mempengaruhi fungsi seksual dengan beberapa cara yang berbeda. Pada

dosis rendah, Amfetamin meningkatkan performa seksual dengan cara menurunkan

ansietas atau meningkatkan mood yang bersifat sementara. Dengan penggunaan

Amfetamin yang berkepanjangan, fungsi ereksi, orgasme, dan fungsi ejakulasi

menjadi tergangu. Meskipun tidak ada bukti konkrit yang menyatakan bahwa

dorongan seksual meningkat, namun pengguna selalu memiliki perasaan bahwa

energinya meningkat dan dapat aktif secara seksual. Pada akhirnya, terjadi disfungsi.

Laki-laki biasanya akan menjalani dua tahap yaitu dimulai dengan ereksi lama tanpa

ejakulasi, kemudia kehilangan fungsi ereksi secara perlahan-lahan.

e. Hipertermia

Mekanisme hipertermia yang ditimbulkan Amfetamin biasanya terjadi akibat

gangguan termoregulasi. Selain itu, Amfetamin dapat menimbulkan hipertermi sentral

karena hiperrefleksi otonom (meningkatkan produksi panas). Peningkatan suhu khas,

berkisar 39 -40. Biasanya suhu kembali normal dalam 48-72 jam setelah

pemakaian obat dihentikan, tetapi dapat menetap beberapa hari sampai minggu bila

disertai ruam akibat reaksi obat. Hipertermi biasanya berhubungan dengan

intoksikasi. Hipertermi merupakan gejala yang paling sering ditemukan dan keadaan

ini dapat

reversibel.
2.7.2 Efek Psikiatris

a. Gangguan mood

Menurut DSM IV TR, permulaan dari terjadinya gangguan mood yang diinduksi oleh

Amfetamin, dapat muncul pada saat penggunaan maupun penghentian zat. Pada

umumnya, penggunaan zat dihubungkan dengan gejala seperti agresif, sedangkan

penghentian zat dihuungkan dengan gejala seperti depresi (Sadock, 2007).

b. Gangguan ansietas

Amfetamin dapat menginduksi gejala yang sama seperti pada gangguan obsesif-

kompulsif, gangguan panik, dan gangguan phobia. Menurut DSM IV TR, gangguan

ansietas yang diinduksi oleh Amfetamin juga muncul pada saat penggunaan dan

penghentian zat (Sadock, 2007).

c. Gangguan tidur

Penggunaan Amfetamin dapat menyebabkan terjadinya insomnia dan gangguan tidur,

sedangkan penghentian Amfetamin dapat menyebabkan terjadinya hipersomnolen dan

mimpi buruk (Sadock, 2007).

2.7.3 Efek Neurologis

Amfetamin menimbulkan efek neurologis seperti (Japardi, 2012) :

a. Gangguan kesadaran

Gangguan kesadaran dapat terjadi pada penggunaan Amfetamin. Koma pada

Amfetamin biasanya terjadi setelah kejang. Koma yang terjadi pada pengguna

narkotika dapat dihubungkan dengan:

1. Overdosis, murni (jarang), campuran dengan sedative.

2. Hipoksia, edema paru, aspirasi pneumonia, pneumonia

3. Hipoglikemi

4. Postanoksik enselofati
5. Trauma

6. Kejang

7. Sepsis

Gejala fisik yang ditimbulkan antara lain :

1. Pireksia

2. Hipertensi

3. Takikardi

4. Aritmia

5. Dilatasi pupil

6. Tremor

7. Kejang

b. Gangguan pergerakkan

Chorea merupakan gangguan yang sering ditemukan. Hal ini dianggap sebagai reaksi

toksik setelah pemakaian kronis. Pada dosis kecil, Amfetamin dapat menimbulkan

chorea pada tungkai dan orofasial yang bersifat reversibel. Pada pengguna kronis,

dapat menimbulkan chorea generalisata.

c. Gangguan pertumbuhan

Pada anak-anak, Amfetamin dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan. Hal ini

terjadi pada pemakaian kronis. Anak-anak hanya dapat tumbuh sampai 60-75% dari

normal, tetapi bila obat dihentikan makan tampak pertumbuhan anak kembali normal.

d. Stroke

Vaskulitis sistemik ditemukan setelah pemakaian kronis intravena dan oral dari

Amfetamin. Pada usia muda, proses vaskulitis terbatas pada sirkulasi serebri sehingga

dapat menimbulkan sindroma stroke akut. Mekanisme terjadinya vaskulitis ini tidak

jelas.
e. Stroke perdarahan

Amfetamin dapat menyebabkan perdarahan intraserebral melalui mekanisme

vaskulopati ataupun hipertensi akut. Perdarahan otak dapat terjadi setelah pemakaian

Amfetamin secara injeksi. Perdarahan intraserebral ataupu subaraknoid dapat terjadi

pada pengguna Amfetamin.

f. Kejang

Pada pengguna Amfetamin, kejang dapat timbul baik pada pemakaian pertama kali

ataupun pada pemakaian kronis, biasanya akibat intoksikasi akut. Kejang dapat

berupa kejang fokal, umum, tonik klonik ataupun status epilepsi. Seluruh kasus

kejang pada pemakai Amfetamin terjadi pada pemakai secara intravena.

2.3. Intoksikasi Amfetamin

Gejala intoksikasi Amfetamin dan Kokain adalah sama. Kriteria diagnosa keracunan

Amfetamin dan Kokain menurut DSM IV TR juga hampir sama. Namun, pada kriteria

diagnosa intoksikasi Amfetamin menurut DSM IV TR menspesifikasikan gangguan

perseptual sebagai gejala dari intoksikasi Amfetamin

(Sadock, 2007).

Tabel 2.1 Kriteria Diagnosa Intoksikasi Amfetamin menurut DSM IV TR


2.8 Ketergantungan dan Penyalahgunaan Amfetamin (Amphetamine

Dependence and Amphetamine Abuse)

Ketergantungan Amfetamin dapat menyebabkan penurunan yang drastis pada

kemampuan seseorang dalam bekerja, mengabaikan kewajibannya dalam keluarga

dan meningkatkan stress. Seseorang yang menyalahgunakan Amfetamin

membutuhkan dosis yang semakin tinggi untuk mendapatkan efek lebih dan tanda-

tanda fisik pada penyalahgunaan Amfetamin (seperti penurunan berat badan dan

paranoid) hampir selalu berkembang dengan penyalahgunaan yang berkelanjutan

(Sadock, 2007).

Tabel 2.2 Kriteria Diagnosis Penyalahgunaan Zat Menurut DSM IV TR


Tebel 2.3 Kriteria Diagnosa Ketergantungan Zat menurut DSM IV TR

2.9 Efek Putus Obat Amfetamin

Gejala seperti ansietas, tremor, disforik, letargi, kelelahan, mimpi buruk, kepala

pusing, keringat berlebihan, tegang otot, tegang otot perut, dan rasa lapar yang tidak

puas, muncul setelah penghentian obat Amfetamin. Gejala putus obat Amfetamin pada

umumnya mencapai puncak dalam dua sampai empat hari dan sembuh dalam satu

minggu. Gejala putus obat yang paling serius adalah depresi, yang dapat menjadi

berat setelah penggunaan Amfetamin dengan dosis tinggi yang berkelanjutan dan

dapat dihubungkan dengan ide bunuh diri. Kriteria diagnosa putus obat Amfetamin
menurut DSM IV TR (tabel 2.4.) menekankan bahwa keadaan disforik dan perubahan

psikologi penting dalam penegakkan diagnose (Sadock, 2007).

Tabel 2.4 Kriteria Diagnosa Putus Obat Amfetamin Menurut DSM IV TR

2.10 Overdosis Amfetamin

Overdosis akut Amfetamin akan menimbulkan gejala seperti kejang, hipertensi,

takikardi, hipertermi, psikosis, halusinasi, stroke dan yang paling fatal adalah

kematian (Handley, 2012)


0

BAB III

PENUTUP

Amfetamin dan Metamfetamin merupakan dua simpatomimetik amin yang

memiliki hubungan yang erat dan keduanya juga banyak disalahgunakan.

Metamfetamin yang dikenal sebagai shabu-shabu berbentuk kristal bening seperti

butiran gula, tetapi ukurannya sedikit lebih besar sehingga ada yang menyebutnya
crystal meth. Cara penggunaan anfetamin bisa secara oral, dihirup dan injeksi.

Overdosis akut Amfetamin akan menimbulkan gejala seperti kejang, hipertensi,

takikardi, hipertermi, psikosis, halusinasi, stroke dan yang paling fatal adalah

kematian.

Anda mungkin juga menyukai