Anda di halaman 1dari 3

Preeklampsia/eklampsia merupakan penyebab utama morbiditas dan

mortalitas ibu dan bayi di dunia khususnya negara-negara sedang berkembang.


Pada negara sedang berkembang frekuensi dilaporkan berkisar antara 0,3-0,7%,
sedang di negara-negara maju angka eklampsia lebih kecil, yaitu 0,05-0,1%. Oleh
karena itu diagnosis dini pre-eklampsia yang merupakan tingkat pendahuluan
eklampsia, serta penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan
angka kematian ibu (AKI) dan anak. Pemeriksaan antenatal yang teratur dan secara
rutin mencari tanda preeklampsia sangat penting dalam usaha pencegahan
preeklampsia berat dan eklampsia, di samping pengendalian terhadap faktor-faktor
predisposisi yang lain. 1,2
Insidensi preeklampsia di US berkisar 2-6% wanita sehat, nullipara.
Berdasarkan data semua kasus preeklampsia, 10% muncul pada kehamilan 34
minggu. Insidensi global preeklampsia diperkirakan sebesar 5-14% dari
keseluruhan kehamilan.1 Di Indonesia, preeklampsia berat dan eklampsia
merupakan penyebab kematian ibu berkisar 1,5-25%, sedangkan kematian bayi
antara 45-50%. Kematian preeklampsia dan eklampsia merupakan kematian
obsetrik langsung, yaitu kematian akibat langsung dari kehamilan, persalinan atau
akibat komplikasi tindakan pertolongan sampai 42 hari pasca persalinan.3
Preeklampsia ditandai dengan respon vaskular yang abnormal diikuti
plasentasi yang membawa perubahan fungsional seperti peningkatan resistensi
vaskular sistemik, pengaktifan agregasi platelet, aktivasi sistem koagulasi, dan
disfungsi sel endotel. Gejala yang mengikuti preeklampsia merupakan hasil
keseluruhan vasospasme, fibrin, dan deposisi trombosit dan oklusi perdarahan ke
organ-organ vital. Pada kasus berat dimana hepar juga terkait dan terjadi
pendarahan subkapsular, nekrosis, dan edema sel hepar menghasilkan kondisi
nyeri epigastrium dan gangguan fungsi hepar. Otak menjadi edema dan hal ini
berkesinambungan dengan hipertensi vasospasma dan disseminated intravascular
coagulation (DIC) dan dapat menghasilkan penurunan perfusi otak, iskemia, dan
nekrosis pembuluh darah yang menjadikan gejala sakit kepala, gangguan
penglihatan, dan dapat kejadian gangguan cerebrovascular. Hal inilah yang
menjadikan terjadinya HELLP syndrome dan impending eklampsia sebagai
komplikasi pada pasien dengan preeclampsia berat (PEB).2
Banyak faktor yang menyebabkan meningkatnya insiden preeklampsia pada
ibu hamil. Faktor risiko yang dapat meningkatkan insiden preeklampsia antara lain
molahidatidosa, nulipara, usia <20 tahun atau >35 tahun, janin lebih dari satu,
multipara, hipertensi kronis, diabetes mellitus atau penyakit ginjal.
Preeklampsia/eklampsia dipengaruhi juga oleh paritas, genetik dan faktor
lingkungan. Kehamilan dengan preklampsia lebih umum terjadi pada primigravida,
sedangkan pada multigravida berhubungan dengan penyakit hipertensi kronis,
diabetes melitus dan penyakit ginjal.3,4
Preeklampsia biasanya terjadi pada usia ibu yang ekstrim (<18 tahun dan >35
tahun). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa kasus preeklampsia/eklampsia
terbanyak pada usia 20-24 tahun yang terjadi pada kehamilan pertama.
Preeklampsia/eklampsia lebih sering terjadi pada usia muda dan nulipara diduga
karena adanya suatu mekanisme imunologi disamping endokrin dan genetik dan
pada kehamilan pertama pembentukan blocking antibodies terhadap antigen
plasenta belum sempurna, yang makin sempurna pada kehamilan berikutnya.
Preeklampsia juga terjadi pada usia 35 tahun, diduga akibat hipertensi yang
diperberat oleh kehamilan. Oleh karena itu, insiden hipertensi meningkat di atas
usia 35 tahun.4
Penyebab preeklampsia/eklampsia sampai sekarang belum diketahui secara
pasti. Banyak teori yang menerangkan namum belum dapat memberi jawaban yang
memuaskan. Teori yang dewasa ini banyak dikemukakan adalah iskemia plasenta.
Namun teori ini tidak dapat menerangkan semua hal yang berkaitan dengan
kondisi ini. Hal ini disebabkan karena banyaknya faktor yang menyebabkan
terjadinya preeklampsia/eklampsia. 5
Komplikasi yang didapatkan yang dapat mengancam ibu dan janin mendorong
kita untuk lebih dini lagi menegakkan diagnosis preeklampsia yang merupakan
awalan dari impending eklampsia, HELLP Syndrome, sampai eklampsia, serta
penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu
(AKI) dan anak. Pemeriksaan antenatal yang teratur dan secara rutin menyeleksi
resiko kehamilan seorang wanita dan mencari tanda preeklampsia sangat penting
dalam usaha pencegahan preeklampsia berat dan eklampsia, di samping
pengendalian terhadap faktor-faktor predisposisi yang lain.1,2
1. Schott, dkk. Buku Saku: Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: EGC; 2009.
2. Wiknjosastro H. Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
Jakarta; 2005
3. Djannah SN, Arianti IS. Gambaran Epidemiologi Kejadian Preeklampsia/Eklampsia di
RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta tahun 20072009; 2010 Diakses dari
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/hsr/article/view/2782/1506
4. Artikasari K. Hubungan antara Primigravida dengan Angka Kejadian
Preeklampsia/Eklampsia di RSUD Dr. Moewardi Surakarta Periode 1 Januari
31 Desember 2008; 2009 (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah
Surakarta).
5. Wibowo B, Rachimhadi T. Preeklampsia dan Eklampsia, dalam : Ilmu
Kebidanan. Edisi III. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, pp.
281-99; 2009
6. Bobak, dkk . Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC; 2005.

Anda mungkin juga menyukai