Anda di halaman 1dari 26

TUGAS THT

DISFAGIA

Disusun Oleh:
Resti Nurfadillah
G99161079

Pembimbing:
dr. Antonius Christanto, M. Kes, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN-KEPALA
LEHER
RSUD PANDANARANG
BOYOLALI
2017
I. KELUHAN UTAMA YANG DIRASAKAN PASIEN SAAT DATANG

KE POLI THT :
A. Telinga
1. Gangguan pendengaran/pekak (tuli)
2. Suara berdenging/berdengung (tinitus)
3. Rasa nyeri dalam telinga (otalgia)
4. Keluar cairan dari telinga (otorrhea)
5. Telinga gatal (itching)
6. Rasa pusing berputar (vertigo)
7. Benda asing dalam telinga (corpus alienum)
B. Hidung
1. Pilek (rhinorhoe)
2. Mimisan (epistaksis)
3. Bersin-bersin (sneezing)
4. Gangguan pembau/penciuman (anosmia/hiposmia)
5. Benda asing dalam hidung (corpus alienum)
6. Hidung tersumbat (obstruksi nasal)
7. Hidung berbau (foetor ex nasal)
C. Tenggorok
1. Batuk
2. Sakit tenggorok
3. Benjolan di leher
4. Sakit menelan (odinofagi)
5. Sulit menelan (disfagia)
6. Suara sengau (rhinolalia)
7. Suara serak (hoarsness)
8. Amandel (tonsil)
9. Benda asing di tenggorok (corpus alienum)
10. Bau mulut (halitosis)
11. Tenggorok berlendir
12. Tenggorok kering

D. Kepala Leher
1. Pembesaran kelenjar leher
2. Pusing berputar
3. Gangguan Keseimbangan

II. DISFAGIA
A. Jelaskan Mekanisme Patofisiologi Keluhan Disfagia
1. Anatomi
a. Rongga Mulut
Bibir dan pipi terutama disusun oleh sebagian besar otot orbikularis
oris yang dipersarafi oleh saraf fasialis. Ruangan di antara mukosa pipi
bagian dalam dan gigi adalah vestibulum oris. Palatum dibentuk oleh
tulang dari palatum durum di bagian depan dan sebagian besar dari otot
palatum mole di bagian belakang. Dasar mulut di antara lidah dan gigi
terdapat kelenjar sublingual dan bagian dari kelenjar submandibula.
Muara duktus sub mandibularis terletak di depan dari frenulum lidah.
Lidah merupakan organ muskular yang aktif. Dua pertiga depan dapat
digerakkan, sedangkan pangkalnya terfiksasi. Korda timpani
mempersarafi cita rasa lidah duapertiga bagian depan dan n.
glossofaringeus pada sepertiga lidah bagian belakang.
b. Faring

Faring merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut dengan


kerongkongan (esofagus), panjangnya 12 cm. Letaknya setinggi
vertebra servikalis IV ke bawah setinggi tulang rawan krikoidea. Faring
di bentuk oleh jaringan yang kuat dan jaringan otot melingkar, kantung
fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas
dan sempit di bagian bawah. Di dalam faring terdapat tonsil (amandel)
yaitu kumpulan kelenjar limfe yang banyak mengandung limfosit untuk
mempertahankan tubuh terhadap infeksi, menyaring dan mematikan
bakteri / mikroorganisme yang masuk melalui jalan pencernaan dan
pernafasan. Faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke
depan berhubungan dengan rongga mulut melalui isthmus faucium,
sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus
pharyngeus, dan ke bawah berhubungan esofagus. Faring berlanjut ke
oesofagus untuk pencernaan makanan.

Faring terdiri atas:


Gambar 1. Anatomi faring
c. Esofagus
Esofagus merupakan saluran yang menghubungkan tekak dengan
lambung, panjangnya sekitar 9 sampai dengan 25 cm dengan diameter
sekitar 2,54 cm, mulai dari faring sampai pintu masuk kardiak di bawah
lambung. Esofagus berawal pada area laringofaring, melewati
diafragma dan diatus esofagus. Esofagus terletak dibelakang trakea dan
didepan tulang punggung setelah melalui toraks menembus diafragma
masuk ke dalam abdomen menyambung dengan lambung.
Lapisan terdiri dari 4 lapis yaitu mucosa, submucosa, otot
(longitudinal dan sirkuler), dan jaringan ikat renggang. Makanan atau
bolus berjalan dalam oesofagus karena gerakan peristaltik, yang
berlangsung hanya beberapa detik saja.
Fungsi esofagus adalah menggerakkan makanan dari faring ke
lambung melalui gerak peristaltis. Mukosa esofagus memproduksi
sejumlah besar mucus untuk melumasi dan melindungi esofagus tetapi
esofagus tidak memproduksi enzim pencernaan.
Gambar 2. Anatomi esofagus

d. Laring
Larynx (laring) atau tenggorokan merupakan salah satu saluran
pernafasan (tractus respiratorius). Laring membentang dari
laryngoesophageal junction dan menghubungkan faring dengan trachea.
Laring terletak setinggi Vertebrae Cervical IV VI.

Gambar 3. Anatomi laring

2. Histologi
a. Rongga Mulut

Rongga mulut (pipi) dibatasi oleh epitel gepeng berlapis tanpa tanduk.
Atap mulut tersusun atas palatum keras (durum) dan lunak (molle),
keduanya diliputi oleh epitel gepeng berlapis. Uvula palatina merupakan
tonjolan konis yang menuju ke bawah dari batas tengah palatum lunak.
1. Lidah
Lidah merupakan suatu massa otot lurik yang diliputi oleh
membran mukosa. Serabut-serabut otot satu sama lain saling
bersilangan dalam 3 bidang, berkelompok dalam berkas-berkas,
biasanya dipisahkan oleh jaringan penyambung. Pada permukaan
bawah lidah, membran mukosanya halus, sedangkan permukaan
dorsalnya ireguler, diliputi oleh banyak tonjolan-tonjolan kecil
yang dinamakan papilae. Papilae lidah merupakan tonjolan-tonjolan
epitel mulut dan lamina propria yang diduga bentuk dan fungsinya
berbeda. Terdapat 4 jenis papilae.
a. Papilae filiformis: mepunyai bentuk penonjolan langsing dan
konis, sangat banyak, dan terdapat di seluruh permukaan lidah.
Epitelnya tidak mengandung puting kecap (reseptor).
b. Papilae fungiformis menyerupai bentuk jamur karena mereka
mempunyai tangkai sempit dan permukaan atasnya melebar.
Papilae ini, mengandung puting pengecap yang tersebar pada
permukaan atas, secara tidak teratur terdapat di sela-sela antara
papilae filoformis yang banyak jumlahnya.
c. Papilae foliatae, tersusun sebagai tonjolan-tonjolan yang sangat
padat sepanjang pinggir lateral belakang lidah, papila ini
mengandung banyak puting kecap.
d. Papilae circumfalatae merupakan papilae yang sangat besar
yang permukaannya pipih meluas di atas papilae lain. Papilae
circumvalate tersebar pada daerah V pada bagian posterior
lidah. Banyak kelenjar mukosa dan serosa (von Ebner)
mengalirkan isinya ke dalam alur dalam yang mengelilingi pinggir
masing-masing papila. Susunan yang menyerupai parit ini
memungkinkan aliran cairan yang kontinyu di atas banyak
puting kecap yang terdapat sepanjang sisi papila ini. Aliran
sekresi ini penting untuk menyingkirkan partikel-partikel dari
sekitar puting kecap sehingga mereka dapat menerima dan
memproses rangsangan pengencapan yang baru. Selain kelenjar-
kelenjar serosa yang berkaitan dengan jenis papila ini, terdapat
kelenjar mukosa dan serosa kecil yang tersebar di seluruh
dinding rongga mulut lain-epiglotis, pharynx, palatum, dan
sebagainya-untuk memberi respon terhadap rangsangan kecap.
b. Faring

Faring merupakan peralihan ruang antara rongga mulut dan


sistem pernapasan dan pencernaan. Ia membentuk hubungan antara
daerah hidung dan laring. Faring dibatasi oleh epitel berlapis gepeng
jenis mukosa, kecuali pada daerah-daerah bagian pernapasan yang
tidak mengalami abrasi. Pada daerah-daerah yang terakhir ini, epitelnya
toraks bertingkat bersilia dan bersel goblet. Faring mempunyai
tonsila yang merupakan sistem pertahanan tubuh. Mukosa faring juga
mempunyai banyak kelenjar-kelenjar mukosa kecil dalam lapisan
jaringan penyambung padatnya.
c. Esofagus
Bagian saluran pencernaan ini merupakan tabung otot yang
berfungsi menyalurkan makanan dari mulut ke lambung. Oesofagus
diselaputi oleh epitel berlapis gepeng tanpa tanduk. Pada lapisan
submukosa terdapat kelompokan kelenjar-kelenjar oesofagea yang
mensekresikan mukus. Pada bagian ujung distal oesofagus, lapisan
otot hanya terdiri sel-sel otot polos, pada bagian tengah, campuran
sel-sel otot lurik dan polos, dan pada ujung proksimal, hanya sel-sel otot
lurik.
3. Fisiologi Proses Menelan
Proses menelan merupakan proses yang kompleks, dimana setiap

unsur yang berperan dalam proses menelan harus bekerja secara

terintegrasi dan berkesinambungan. Proses menelan dapat dibagi dalam 3

fase:

a. Fase Oral
1) Terjadi secara sadar dari mulut ke faring
2) Terdiri dari dua fase:
a) Fase preparasi (persiapan)
Pembentukan bolus dari makanan yang dilakukan oleh gigi geligi,
lidah, palatum mole, otot-otot pipi dan saliva agar dapat mudah
ditelan.
b) Fase propulsif (mendorong)
Proses pendorongan makanan dari rongga mulut ke orofaring,
yaitu:
Bolus bergerak dari rongga mulut dorsum lidah di tengah
lidah (akibat kontraksi otot intrinsik lidah) kontraksi m. levator
veli palatini palatum mole terangkat bagian atas dinding
posterior faring terangkat bolus terdorong ke posterior karena
lidah terangkat ke atas dan terjadi penutupan nasofaring (kontraksi
m. levator veli palatini) kontraksi m. palatoglosus isthmus
faucium tertutup kontraksi m. palatofaring, sehingga bolus
makanan tidak akan berbalik ke rongga mulut.

b. Fase Faringeal
1) Terjadi secara involunter (tidak sadar) melalui faring
2) Proses fase faringeal terjadi secara refleks pada akhir fase oral, yaitu
perpindahan bolus makanan dari faring ke esofagus:
Faring dan laring bergerak keatas (kontraksi m. stilofaringeus, m.
salpingofaringeus, m. tirohioideus dan m. palatofaringeus) aditus
laring tertutup oleh epiglotis makanan tidak akan masuk ke saluran
nafas masuk esofagus.

c. Fase Esofageal
1) Fase perpindahan bolus makanan dari esofagus ke lambung oleh
gerakan peristaltik kontraksi involunter dari otot otot skeletal
esofagus.
2) Dalam keadaan istirahat introitus esofagus selalu tertutup rangsang
bolus makanan pada akhir fase faringeal relaksasi m.
cricofaringeus introitus esofagus terbuka bolus makanan masuk
ke dalam esofagus setelah bolus makanan lewat sfingter akan
berkontraksi lebih kuat, melebihi tonus introitus esofagus pada waktu
istirahat sehingga makanan tidak akan kembali ke faring dan refluks
dapat dihindari.
Gambar 4. Fisiologi proses menelan
4. Patofisiologi Terjadinya Disfagia
Proses menelan merupakan proses yang kompleks. Setiap unsur

yang berperan dalam proses menelan harus bekerja secara terintegrasi dan

berkesinambungan. Keberhasilan mekanisme menelan ini tergantung dari

beberapa faktor, yaitu:


a. Ukuran bolus makanan
b. Diameter lumen esofagus yang dilalui bolus
c. Kontraksi peristaltik esofagus
d. Fungsi sfingter esofagus bagian atas dan bagian bawah
e. Kerja otot-otot rongga mulut dan lidah
Integrasi fungsional yang sempurna akan terjadi bila sistem

neuromuskuler mulai dari susunan saraf pusat, batang otak, persarafan

sensorik dinding faring dan uvula, persarafan ekstrinsik esofagus serta

persarafan intrinsik otot-otot esofagus bekerja dengan baik, sehingga

aktivitas motorik berjalan lancar. Kerusakan pusat menelan dapat

menyebabkan kegagalan aktivitas komponen orofaring, otot lurik esofagus

dan sfingter esofagus bagian atas. Oleh karena otot lurik esofagus dan

sfingter esofagus bagian atas juga mendapat persarafan dari inti motor n.

vagus, maka aktivitas peristaltik esofagus masih tampak pada kelainan di

otak. Relaksasi sfingter esofagus bagian bawah terjadi akibat peregangan

langsung dinding esofagus.


Gangguan pada proses menelan dapat digolongkan tergantung dari

fase menelan yang dipengaruhinya.


a. Fase Oral
Gangguan pada fase oral mempengaruhi persiapan dalam mulut dan
fase pendorongan oral biasanya disebabkan oleh gangguan
pengendalian lidah. Pasien mungkin memiliki kesulitan dalam
mengunyah makanan padat dan permulaan menelan. Ketika meminum
cairan, pasien mungkin kesulitan dalam menampung cairan dalam
rongga mulut sebelum menelan. Sebagai akibatnya, cairan tumpah
terlalu cepat kedalam faring yang belum siap, seringkali menyebabkan
aspirasi.
Logemann's Manual for the Videofluorographic Study of
Swallowing mencantumkan tanda dan gejala gangguan menelan fase
oral sebagai berikut :
- Tidak mampu menampung makanan di bagian depan mulut karena
tidak rapatnya pengatupan bibir.
- Tidak dapat mengumpulkan bolus atau residu di bagian dasar mulut
karena berkurangnya pergerakan atau koordinasi lidah.
- Tidak dapat menampung bolus karena berkurangnya pembentukan
oleh lidah dan koordinasinya.
- Tidak mampu mengatupkan gigi untuk mengurangi pergerakan
mandibula.
- Bahan makanan jatuh ke sulcus anterior atau terkumpul pada sulcus
anterior karena berkurangnya tonus otot bibir.
- Posisi penampungan abnormal atau material jatuh ke dasar mulut
karena dorongan lidah atau pengurangan pengendalian lidah.
- Penundaan onset oral untuk menelan oleh karena apraxia menelan
atau berkurangnya sensibilitas mulut.
- Pencarian gerakan atau ketidakmampuan untuk mengatur gerakan
lidah karena apraxia untuk menelan.
- Lidah bergerak ke depan untuk mulai menelan karena lidah kaku.
- Sisa-sisa makanan pada lidah karena berkurangnya gerakan dan
kekuatan lidah.
- Gangguan kontraksi (peristalsis) lidah karena diskoordinasi lidah.
- Kontak lidah-palatum yang tidak sempurna karena berkurangnya
pengangkatan lidah.
- Tidak mampu meremas material karena berkurangnya pergerakan
lidah ke atas.
- Melekatnya makanan pada palatum durum karena berkurangnya
elevasi dan kekuatan lidah.
- Bergulirnya lidah berulang pada Parkinson disease.
- Bolus tak terkendali atau mengalirnya cairan secara prematur atau
melekat pada faring karena berkurangnya kontrol lidah atau
penutupan linguavelar.
- Piecemeal deglutition.
- Waktu transit oral tertunda
b. Fase Faringeal
Jika pembersihan faringeal terganggu cukup parah, pasien mungkin
tidak akan mampu menelan makanan dan minuman yang cukup untuk
mempertahankan hidup. Pada orang tanpa dysphasia, sejumlah kecil
makanan biasanya tertahan pada valleculae atau sinus pyriform setelah
menelan. Dalam kasus kelemahan atau kurangnya koordinasi dari otot-
otot faringeal, atau pembukaan yang buruk dari sphincter esofageal
atas, pasien mungkin menahan sejumlah besar makanan pada faring dan
mengalami aspirasi aliran berlebih setelah menelan.
Logemann's Manual for the Videofluorographic Study of
Swallowing mencantumkan tanda dan gejala gangguan menelan fase
faringeal sebagai berikut :
- Penundaan menelan faringeal.
- Penetrasi Nasal pada saat menelan karena berkurangnya penutupan
velofaringeal.
- Pseudoepiglottis (setelah total laryngectomy) lipata mukosa pada
dasar lidah.
- Osteofit Cervical.
- Perlengketan pada dinding faringeal setelah menelan karena
pengurangan kontraksi bilateral faringeal.
- Sisa makanan pada vallecular karena berkurangnya pergerakan
posterior dari dasar lidah.
- Perlengketan pada depresi di dinding faring karena jaringan parut
atau lipatan faringeal.
- Sisa makanan pada puncak jalan napas karena berkurangnya elevasi
laring.
- Penetrasi dan aspirasi laringeal karena berkurangnya penutupan jalan
napas.
- Aspirasi pada saat menelan karena berkurangnya penutupan laring.
- Stasis atau residu pada sinus pyriformis karena berkurangnya
tekanan laringeal anterior.
c. Fase Esophageal
Gangguan fungsi esophageal dapat menyebabkan retensi makanan
dan minuman di dalam esofagus setelah menelan. Retensi ini dapat
disebabkan oleh obstruksi mekanis, gangguan motilitas, atau gangguan
pembukaan Sphincter esophageal bawah.
Logemann's Manual for the Videofluorographic Study of
Swallowing mencantumkan tanda dan gejala gangguan menelan pada
fase esophageal sebagai berikut :
- Aliran balik Esophageal-ke-faringeal karena kelainan esophageal.
- Tracheoesophageal fistula.
- Zenker diverticulum.
- Reflux
d. Aspirasi
Aspirasi adalah masuknya makanan atau cairan melalui pita suara.
Seseorang yang mengalami aspirasi beresiko tinggi terkena pneumonia.
Beberapa faktor mempengaruhi efek dari aspirasi : banyaknya,
kedalaman, keadaan fisik benda yang teraspirasi, dan mekanisme
pembersihan paru. Mekanisme pembersihan paru antara lain kerja silia
dan reflek batuk. Aspirasi normalnya memicu refleks batuk yang kuat.
Jika ada gangguan sensoris, aspirasi dapat terjadi tanpa gejala.

B. Jika Pasien dengan Keluhan Disfagia Datang ke Tempat Praktik, Apa

yang Akan Kalian Lakukan (Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan

Pemeriksaan Penunjang), serta Jika Memungkinkan gambarkan

Diagram nya
1. Anamnesis
a. Untuk menegakkan diagnosis, diperlukan anamnesis yang cermat untuk

menentukan diagnosis kelainan atau penyakit yang menyebabkan

timbulnya disfagia.
b. Jenis makanan yang menyebabkan disfagia dapat memberikan

informasi kelainan yang terjadi. Pada disfagia mekanik mula-mula

kesulitan menelan hanya terjadi pada waktu menelan makanan padat.

Bolus makanan tersebut kadang-kadang perlu didorong dengan air, dan

pada sumbatan yang lebih lanjut, cairanpun akan sulit ditelan. Bila

sumbatan ini terjadi secara progressive dalam beberapa bulan, maka

harus dicurigai adanya proses keganasan dalam esophagus. Sebaliknya

pada disfagia motoric, yaitu pada pasien akalasia dan spasme difus

esophagus, keluhan sulit menelan makanan padat dan cairan terjadi

dalam waktu bersamaan.


c. Waktu dan perjalanan keluhan disfagia dapat memberikan gambaran

yang lebih jelas untuk diagnostic. Disfagia yang hilang dalam beberapa

hari dapat disebabkan oleh peradangan. Disfagia yang terjadi dalam

beberapa bulan dengan penurunan berat badan yang cepat dicurigai

adanya keganasan di esophagus. Bila disfagia ini berlangsung bertahun-

tahun untuk makanan padat perlu dipikirkan adanya kelainan yang

bersifat jinak atau di esophageal bagian distal (lower esophageal

muscular ring).
d. Lokasi rasa sumbatan di daerah dada dapat menunjukkan kelainan

esophagus bagian torakal, tetapi bila sumbatan terasa dileher, maka

kelainannya dapat di faring, atau esophagus bagian servikal. Gejala lain

yang menyertai disfagia, seperti masuknya cairan ke dalam hidung

waktu minum menandakan adanya kelumpuhan otot-otot faring.


2. Pemeriksaan Fisik
a. Pada Pemeriksaan fisik, periksa mekanisme motoris oral dan

laryngeal.
b. Pemeriksaan nervus V dan VII-XII penting dalam menentukan bukti

fisik dari disfagia orofaringeal.


c. Pengamatan langsung penutupan bibir, rahang, mengunyah, pergerakan

dan kekuatan lidah, elevasi palatal dan laryngeal, salivasi, dan

sensitifitas oral.
d. Perabaan daerah leher
e. Periksa kesadaran dan status kognitif pasien karena dapat

mempengaruhi keamanan menelan dan kemampuan kompensasinya.


f. Dysphonia dan dysarthria adalah tanda disfungsi motoris struktur-

struktur yang terlibat pada menelan.


g. Periksa mukosa dan gigi geligi mulut
h. Periksa reflek muntah.
i. Periksa fungsi pernapasan
j. Tahap terakhir adalah pengamatan langsung aktivitas menelan. Setelah

menelan, amati pasien selama 1 menit atau lebih jika ada batuk tertunda
k. Periksa pembesaran jantung, elongasi aorta
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan foto polos esophagus dan yang memakai zat kontras, dapat

membantu menegakkan diagnosis esophagus. Pemeriksaan ini tidak

invasive. Dengan pemeriksaan fluoroskopi, dapat dilihat kelenturan

dinding esophagus dari luar, isi lumen esophagus dan kadang-kadang

kelainan mukosa esophagus. Pemeriksaan kontras ganda dapat

memperlihatkan karsinoma stadium dini. Akhir-akhir ini pemeriksaan

radiologic esophagus lebih maju lagi. Untuk memperlihatkan adanya

gangguan motilitas esophagus dibuat cine-film atau video tape.

Tomogram dan CT-Scan dapat mengevaluasi bentuk esophagus dan


jaringan disekitarnya. MRI dapat membantu melihat kelainan di otak

yang menyebabkan disfagia motorik.


b. Esofagoskopi
Tujuan tindakan esofagoskopi adalah untuk melihat langsung isi lumen

esophagus dan keadaan mukosanya. Diperlukan alat esofagoskop yang

kaku atau yang lentur. Karena pemeriksaan ini bersifat invasive, maka

perlu persiapan yang baik. Dapat dilakukan dengan analgesic. Untuk

menghindari komplikasi yang mungkin timbul perlu diperhatikan

indikasi dan kontraindikasi tindakan. Persiapan pasien, operator,

peralatan dan ruang pemeriksaan perlu dilakukan. Risiko dari tindakan,

seperti perdarahan dan perforasi pasca biopsy harus dipertimbangkan.


c. Pemeriksaan Manometrik
Pemeriksaan manometrik bertujuan untuk menilai fungsi motoric

esophagus. Dengan mengukur tekanan dalam lumen esophagus dan

tekanan sfingter esophagus dapat dinilai gerakan peristaltic secara

kualitatif dan kuantitatif.


Untuk diagnosis selain anamnesis dan pemeriksaan fisik yang

dapat dilakukan pemeriksaan penunjang untuk diagnosis kelainan

disfagia fase oral dan fase faring antara lain: Video fluoroscopic

Swallow Study (=Modified Barium Swallow(MBS)), Fiberoptic

Endoscopic Examination of Swallowing (FEES)), Fiberoptic

Endoscopic Examination of Swallowing with sensory Testing

(FEESST), Scintigraphy.
1) Video Fluroskopi Swallow Assessment (VFSS)
Pemeriksaan ini dikenal sebagai modified barium swallow (MBS)
adalah pemeriksaan yang sering dilakukan dalam mengevaluasi
disfagia dan aspirasi. Pemeriksaan ini menggambarkan struktur dan
fisiologi menelan pada rongga mulut, faring, laring dan esophagus
bagian atas. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan bolus
kecil dengan berbagai konsistensi yang dicampur dengan barium.
VFSS dapat untuk panduan dalam terapi menelan dengan
memberikan bermacam bentuk makanan pada berbagai posisi
kepala dan melakukan beberapa maneuver untuk mencegah aspirasi
untuk memperoleh kondisi optimal dan proses menelan.
2) FEES (Fleksible Endoscopi Evaluation of Swallowing)
FEES sekarang menjadi pilihan pertama untuk evaluasi pasien
dengan disfagia di eropa karena mudah, dapat dilakukan berpindah
tempat dan lebih murah dibandingkan MBS. Prosedur ini dapat
dilakukan oleh dokter spesialis THT-KL bersama dokter spesialis
Rehabilitasi Medik dan dapat menilai anatomi dan fisiologi
menelan, perlindungan jalan napas dan hubungannya dengan fungsi
menelan makanan padat atau cair, diagnostic, rencana terapi
selanjutnya serta evaluasi keberhasilan setelah terapi.
FEES adalah pemeriksaan fase faringal pada proses menelan
yang dilakukan secara endoskopi. FEES sudah digunakan sebagai
alat evaluasi pada kasus gangguan menelan sejak di deskripsikan
oleh Susan E.Langmore pada tahun 1998. Beberapa penelitian
menyebutkan FEES dapat mendeteksi dengan baik adanya aspirasi,
penetrasi dan residu faringeal apabila dibandingkan dengan
videofluroskopi. Namun demikian FEES bukan merupakan
pengganti pemeriksaan lainnya seperti videofluroskopi.
Indikasi untuk dilakukan FEES antara lain penanganan
sekresi/cairan, penilaian pasien yang beresiko tinggi terjadi
aspirasi, melihat struktur laring dan faring, penilaian kemampuan
menelan jenis makanan padat atau cair, penilaian fungsi menelan
pasien yang tidak dapat dilakukan videofluoroskopi (karena tidak
dapat mobilisasi, ketiadaan peralatan atau keadaan umum yang
kurang stabil), dan penilaian berulang.
Pemeriksaan evaluasi fungsi menelan dengan menggunakan
nasofaringoskop serat optic lentur. Pasien diberikan berbagai jenis
konsistensi makanan dari jenis makanan cair sampai padat dan
dinilai kemampuan pasien dalam proses menelan. tahap
pemeriksaan dibagi dalam 3 tahap:
a) Pemeriksaan sebleum pasien menelan (Reswallowing
Assessment) untuk menilai fungsi muscular dari oromotor dan
mengtahui kelinan fase oral.
b) Pemeriksaan langsung dengan memebrikan berbagai konsistensi
makanan, dinilai kemampuan pasien dan diketahui konsistensi
apa yang paling aman untuk pasien.
c) Pemeriksaan terapi dengan mengaplikasikan berbagai maneuver
dan posisi kepala untuk menilai pakah terdapat peningkatan
kemampuan menelan.
Dengan pemeriksaan FESS diniliai 5 proses fisiologis
seperti:
a) Sensitivitas pada daerah orofaring dan hipofaring yang sangat
berperan dalam terjadinya spirasi.
b) Spilage (reswalling Leakage): masuknya makanan ke dalam
hipofaring sebelum reflex menelan dimulai sehingga mudah
terjadi aspirasi.
c) Residu: menumpuknya sisa amkanan pada daerah valecula sinus
piriformis kanan dan kiri, poskrikoid dan dinding faring
posterior sehingga makanan tersebut akan mudah masuk ke
jalan napas pada saat proses menelan terjadi ataupun sesudah
proses menelan.
d) Penetrasi: masuknya makanan ke vestibulum laring tetapi belum
melewati pita suara. Sehingga menyebabkan mudah masuknya
makanan ke jalan napas saat inhalasi.
e) Aspirasi: masukknya makanan ke jalan napas melewati pita
suara yang sangat berperan dalam terjadi komplikasi paru.
Gambar 6. Skema Diagnosis pada Disfagia

C. Differential Diagnosis jika pasien datang dengan keluhan disfagia


Berdasarkan penyebabnya, disfagia dibagi atas: (1) disfagia mekanik, (2)

disfagia motorik, (3), disfagia oleh gangguan emosi. Penyebab utama

disfagia mekanik adalah penyempitan lumen esophagus dengan sebab baik

ekstralumen maupun didalam lumen esophagus sendiri. Pada keadaan

normal lumen esophagus orang dewasa dapat meregang sampai 4cm, dan

mulai timbul keluhan bila dilatasi esophagus kurang dari 2,5 cm. Penyebab
penyempitan dari esophagus adalah karena ; 1) peradangan mukosa

esophagus, 2) striktur lumen esophagus,3) massa pada esophagus dan

adanya benda asing di dalam esophagus. Sementara penyebab penyempitan

esophagus ekstra lumen adalah penekanan lumen esophagus dari luar

( pembesaran kelenjar tiroid, kelenjar timus, kelenjar getah bening di

mediastinum, pembesaran jantung dan elongasi aorta.


Disfagia motorik disebabkan oleh kelainan neuromuskuler yang berperan

dalam proses menelan. Lesi di pusat menelan di batang otak, kelainan saraf

otak n.V, n.VII, n.IX, n.X dan n.XII, kelumpuhan otot faring dan lidah serta

gangguan peristaltic esophagus dapat menyebabkan disfagia. Kelainan otot

polos esophagus yang dipersarafioleh komponen parasimpatik n.vagus dan

neuron non kolinergik pasca ganglion di dalam ganglion ienterik akan

menyebabkan gangguan kontraksi dinding esophagus dan relaksasi sfingter

esophagus bagian bawah sehingga dapat menyebabkan keluhan disfagia.

Penyebab utama dari disfagia mototik adalah akalasia, spasme difus

esophagus, kelumpuhan otot faring dan scleroderma esophagus.


Keluhan disfagia juga dapat timbul bila terdapat gangguan emosi atau

tekanan jiwa yang berat. Kelainan ini dikenal sebagai globus histerikus.
Macam kelainan di daerah orofaring yang ditunjukan dengan gejala

disfagia:
1. Xerostomia: atau dikenal pula dengan mulut kering. Ditandai dengan
adanya rasa kering di mulut, perubahan indra pengecapan
2. Tonsillitis: Peradangan pada tonsil dapat menimbulkan disfagia, terutama
pada tonsillitis kronis. Pada kasus-kasus seperti ini umumnya ditemukan
adanya demam, nyeri, dan edema faringotonsile. Pada pemeriksaan fisik
dapat ditemukan adanya pelebaran pada kripte tonsil
3. Hipertrofi adenotonsiler: ditandai dengan hidung terasa mampet, adanya
rhinorhea, suara bindeng dan disfagia. Pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan adalah endoskopi flexible untuk melihat adanya
pembesaran adenoid.
4. Faringitis: gejala khas faringitis berbeda-beda tergantung dari
etiologinya.
Macam kelainan pada esophagus yang ditunjukan dengan gejala berupa

disfagia:
1. Kelainan congenital esophagus berup atresia esophagus dan fistula
trakeo-esofagus. Kelainan ini biasanya dicirikan dengan adanya
pengumpulan secret di mulut bayi baru lahir dan bayi sering tersedak saat
diberi minum. Diagnosis ditegakkan dengan tindakan memasukan kateter
dari hidung sampai lambung. Bila kateter tidak dapat masuk lambung
maka harus dicurigai adanya kelainan. Hal ini dikonfirmasi dengan foto
rontgen antero-posterior kepala leher dan abdomen
2. Divertikulum esophagus: merupakan kelainan berupa kantong dalam
lumen esophagus. Gejala yang timbul bergantung dari tingkat
pembentukan divertikulum. Pada tingkat pertama dapat tanpa gejala atau
retensi makanan bersifat sementara. Pada tingkat kedua akan terjai
pengumpulan makanan, cairan serta mucus di dalam divertikel yang tidak
berhubungan dengan obstruksi esophagus. Pada tingkat ketiga dapa
ditemukan disfagia hebat, regurgitasi segera setelah makan dan minum
dan adanya aspirasi atau regurgitasi pada malam hari saat pasien tidur.
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan radiologic dan esofagoskopik.
Pemeriksaan radiologik dapat dilakukan dengan barium kontras yang
akan menunjukan adanya divertikulum pada rontgen lateral. Pada
esofagoskopi akan ditemukan adanya dua buah lumen, yakni esophagus
dan divertikulum
3. Akalasia: kelainan berupa ketidak mampuan bagian distal esophagus
untuk relaksai dan peristaltik esophagus berkurang karena inkoordinasi
neuromuskuler, menyebabkan bagian proksimal dari penyempitan akan
melebar. Gejala yang ditemukan selain disfaia adalah regurgitasi, nyeri
substernal dan penurunan berat badan. Disfagia terjadi tiba-tiba setelah
menelan atau bila ada gangguan emosi. Biasanya pasien lebih sulit
menelan cairan dibanding makanan padat. Diagnosis ditegakkan dari
pemeriksaan radiologis dan esofagoskopi. Gambaran radiologis
memperlihatkan gerakan peristaltic normal hanya terlihat pada sepertiga
proksimal dan adanya mouse tail appearance. Pada esofagoskopi tampak
pelebaran lumen dengan bagian distal menyempit.
4. Varises esophagus: adanya pelebaran venda dinding esophagus, dapat
disebabkan oleh hipertensi portal maupun tanpa hipertensi portal. Oleh
karena itu penting untuk menanyakan apakah ada gejala gejala dari
penyakit berikut: thrombosis vena heaptik, obstruksi vena azygos
maupun vena cava superior, sirosis hepatis, neoplasma, maupun
pembesaran kelenjar limfe pada pancreatitis. Gejala yang ditemukan
seringkali adlaah hematemesis dan melena. Bila varises menekan
esophagus dapat terjadi disfagia. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
gejala klinis, pemeriksaan lab, radiologi dan esofagoskopi.
5. Tumor esophagus jinak: tidak ada gejala khas dari tumor esophagus dan
kasus ini lebih jarang ditemukan daripada tumor ganas. Gejala sumbatan
terjadi jika seumbatan berukuran besar. Penegakan diagnosis terutama
dengan esofagoskopi untuk melihat lokasi dan besar tumor. Sementara
pemeriksaan radiologic dapat dilakukan foto tontgen dengan barium
kontras yang akan menunjukan filling defect.
6. Tumor ganas esophagus: gejala dapat berupa sumbatan yang progressif ,
regurgitasi disertai penurunan berat badan, tetapi harus dikonfirmasi
apakah penurunan berat badan ini disebabkan karena penurunan nafsu
makan atau karena efek dari keganasan. Bila tumor telah menyebar ke
mediastinum dapat ditemukan suara parau, nyeri di daerah retrosternal
dan nyeri didaerah punggung. Diagnosis pasti ditegakkan dengan
melakukan biopsy massa tumor dan pemeriksaan sitologik.
7. Corpal esophagus: kondisi klinis pasien bergantung dari benda asing
yang masuk dari segi ukuran, bentuk dan jenis. Selain itu lamanya benda
asing masuk, komplikasi dari benda asing dan lokasi tersangkutnya
benda asing. Gejala awal yang dapat dilihat bila benda aasing tersangkut
adalah nyeri. Disfagia dapat timbul bergantung dari ukuran benda.
Biasanya bila telah timbul edama gejala akan semakin berat. Umumnya
gejala disfagia karena benda asing juga disertai odinofagia, hipersalivasi,
regurgitasi dan muntah. Kadang dapat pula ditemukan spasme pada leher.

D. Obat Apa Sajakah yang Bisa Meringankan dan Mengurangi Keluhan

(Antibiotik)
Berikut beberapa obat yang dapat meringankan atau menghilangkan

keluhan disfagia.
a. Antibiotik
Antibiotika adalah senyawa yang dihasilkan oleh mikroorganisme (bakteri,
jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu
proses biokimia mikroorganisme lain.

Berdasarkan mekanisme kerjanya, ada lima kelompok antibiotika, yaitu:


1) Inhibisi sintesis dinding sel bakteri. Dinding sel bakteri terdiri dari
polipeptidoglikan yaitu suatu kompleks polimer mukopeptida
(glikopeptida). Obat ini dapat melibatkan otosilin bakteri (enzim
yang mendaur ulang diniding sel) yang ikut berperan terhadap lisis
sel. Antibiotika yang termasuk kelompok ini: penisilin, sefalosporin.
Pada umumnya bersifat bakterisidal.
2) Inhibisi sintesis protein bakteri. Sel bakteri mensintesis berbagai
protein yang berlangsung di ribosom dengan bantuan mRNA dan
tRNA. Penghambatan terjadi melalui interaksi dengan ribosom
bakteri. Antibiotika yang termasuk kelompok ini: aminoglikosida,
makrolida, linkomisin, tetrasiklin dan kloramfenikol. Selain
aminoglikosida, pada umumnya oabat ini bersifat bakteriostatik.
3) Inhibisi metabolisme bakteri: obat mempengaruhi sintesis asam
folat bakteri. Antibiotika yang termasuk kelompok ini: sulfonamida,
trimetoprim, asam p- aminosalisilat dan sulfon. Pada umumnya
bersifat bakteriostatik.

4) Inhibisi sintesis atau aktivasi asam nukleat bakteri. Antibiotika yang


termasuk kelompok ini: rifampisin dan golongan kuinolon.
5) Mempengaruhi permeabilitas membrane sel bakteri. Antibiotika
yang termasuk kelompok ini adalah polimiksin (Kasper, dkk, 2005;
Setiabudy, 2007).

Golongan antibiotik yang dapat digunakan untuk mengurangi keluhan


disfagia diantaranya:
1) Golongan penisilin
Bersifat bakterisidal dengan mekanisme kerjanya ialah dengan
menghambat sintesa lengkap dari polimer untuk membentuk jaringan
peptidoglikan spesifik sehingga memecah dinding bakteri. Bekerja
terutama pada bakteri gram positif (beberapa pada gram negatif, dan
gonokokus)
Obat yang sering digunakan ialah:
a) Amoxicillin
Dosis dewasa: 250 sampai 500 mg diberikan tiga kali sehari
selama 3 sampai 7 hari.
b) Ampisilin
Dosis dewasa: 250 500 mg tiap 6 jam
Dosis anak: 50 mg/kg BB/hari

2) Golongan Sefalosporin
Mekanisme kerja antimikroba sefalosporin ialah dengan
menghambat sintesis dinding sel mikroba dimana yang dihambat adalah
reaksi transpeptidase tahap ketiga dalam rangkaian reaksi pembentukan
dinding sel. Sefalosporin terhadap kuman gram-positif maupun gram-
negatif, tetapi spektrum antimikroba masing-masing derivat bervariasi.
Sefalosporin dibagi menjadi 4 generasi berdasarkan aktivitas
antimikrobanya yang secara tidak langsung juga sesuai dengan urutan
masa pembuatannya.
a) Sefalosporin generasi pertama
Aktif terhadap cocci gram positif, tidak sensitif terhadap
gonococci, H.influenzae, Bacteriodes, dan Pesudomonas, tidak
tahan terhadap beta-laktamase. Obat yang termasuk ialah
Sefalotin dan sefazolin, sefradin, sefaleksin dan sefadroxil
b) Sefalosporin generasi kedua
Golongan ini kurang aktif terhadap bakteri gram positif
dibandingkan dengan generasi pertama, tetapi lebih aktif
terhadap gram negatif. Misalnya: H. Influenzae, Pr. mirabilis, E.
coli dan Klebsiella. Golongan ini tidak efektif terhadap Ps.
Aeruginosa dan enterokokus. Obat yang termasuk dalam
golongan ini ialah cefuroxim.
c) Sefalosporin generasi ketiga
Termasuk dalam golongan ini ialah ceftriaxone, cefixime.
Golongan ini umunya kurang efektif dibandingkan dengan
generasi pertama terhadap kokus gram positif, tetapi jauh lebih
aktif terhadap Enterobacteriaceae, termasuk strain penghasil
penisilinase. Di antara sediaan golongan ini ada yang aktif
terhadap P. aeruginosa.
d) Sefalosporin generasi keempat
Antibiotika golongan ini (misalnya sefepim, sefpirom)
mempunyai spektrum aktivitas lebih luas dari generasi ketiga
dan lebih stabil terhadap hidrolisis oleh beta laktamase.
Antibiotika tersebut dapat berguna untuk mengatasi infeksi
kuman yang resisten terhadap generasi ketiga.
Obat yang sering digunakan ialah:
a) Cefixim: 100 mg dan 200 mg
b) Cefadroxil
Dosis dewasa: 500 mg 2 gram/ hari dalam dosis terbagi 2
Dosis anak: 30 mg/kb BB/ hari dalam dosis terbagi 2

3) Golongan Makrolid
Bersifat bakteriostatis pada bakteri gram positif. Memiliki spektrum
kerja mirip penisilin-G. Mekanisme kerja, melalui pengikatan reversibel
pada ribosom kuman, sehingga menghambat sintesis protein.
Obat yang sering digunakan ialah:
a) Eritromisin (E- mycin) dosis dewasa: 250 -500 mg / 6 jam, dosis anak:
30-50 mg/kg BB/ hari dalam dosis terbagi tiap 6 jam.
b) Klaritromisin dosis dewasa: 250 mg 3-4 jam, 500 mg 5-7 jam.
c) Azitromisin dosis dewasa: 500 mg / hari, dosis anak: 10 mg/kg BB/
hari.

b. Anti Inflamasi Steroid


1) Dexamethasone
Dosis dewasa: 0,5 9 mg / hari, anak : 0,006 0,04 mg/kgBB/hari atau
0,2351,35mg/m2 luas permukaan tubuh
2) Metil Prednisolon
Dosis dewasa: 4 mg - 48 mg per hari. Anak : Oral 0,117 mg/kg bobot
tubuh atau 3,33 mg per m2 luas pemukaan tubuh sehari dalam dosis
terbagi tiga.

c. Anti inflamasi non-steroid


1) Natrium Diklofenak
Dosis dewasa: 100-150 mg sehari terbagi dua atau tiga dosis
Merk dagang: Natrium Diklofenak, Atranac, Diclomec, Difelin, Divoltar,
Klotaren, Neurofenac, Nilaren, Neurofenac, Proklaf, Prostanac, Reclofen,
Renadinac, Renvol, Scantaren, Tirmaclo, Valto, Voltadex, Voltaren
2) Paracetamol
Dosis anak-anak: 6-12 tahun 2-4 sendok teh atau 250-500mg tiap 4-6
jam, 1-5 tahun 1-2 sendok teh atau 120mg-250mg tiap 4-6 jam,
<1tahun -1 sendok the atau 60mg-120mg tiap 4-6 jam. Dosis
dewasa: -1 gram/kali, max 4 gram/hari.
3) Asam Mefenamat
Dosis: 2-3x 250-500mg/hari
4) Ibuprofen
Dosis anak: 30-40 mg/kgBB/hari
Dosis dewasa: 4-6X 200-400 mg/hari

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA. Disfagia. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Editor: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin
J, Restuti RD. Edisi ke 6. Jakarta: FKUI. 2007. h. 276-302.
2. Moore KL., 2002. Anatomi Klinik Dasar Jakarta: EGC
3. Adams L George, boies L, dkk. Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6.
Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta 1997
4. Soepardi, Efiaty Arsyad dkk, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher edisi 6.2007. FKUI
5. Malagelada JR et al (2007). Dysphagia. World gastroenterology
Organisation Practice Guidelines.
www.worldenganastroenterology.org/assets/downloads/en/pdf/guidelines/08
_dysphagia.pdf (diakses pada 2 Oktober 2017).

Anda mungkin juga menyukai