Anda di halaman 1dari 5

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Daging ayam adalah bahan pangan yang bernilai gizi tinggi karena kaya akan

protein, lemak, mineral serta zat lainnya yang sangat dibutuhkan tubuh. Usaha

untuk meningkatkan kualitas daging ayam dilakukan melalui pengolahan atau

penanganan yang lebih baik sehingga dapat mengurangi kerusakan atau

kebusukan selama penyimpanan dan pemasaran.

Proses keamanan dan kelayakan daging ayam ini harus dilakukan sedini

mungkin yakni mulai dari peternakan hingga daging ayam dikonsumsi. Salah satu

permasalahan yang paling penting dalam proses panjang ini adalah permasalahan

kelayakan Rumah Pemotongan Ayam (RPA). Peranan RPA sebagai penyedia

daging ayam yang akan dikonsumsi manusia sangat besar. Bahkan RPA

merupakan penentu dari proses panjang perjalanan peternakan ayam. Meskipun

ayam tersebut dinyatakan sehat dari peternakan (farm), jika ditingkat RPA (hilir)

pemotongannya tidak memenuhi kriteria pemotongan yang baik maka

kecenderungan menimbulkan penyakit akan semakin besar.

Dalam perkembangannya kategori RPA saling berkompetisi, RPA modern

mampu menyediakan daging ayam yang memenuhi persyaratan teknis higiene dan

sanitasi. RPA modern terdiri dari beberapa kompartemen, yaitu: kompartemen

satu, yakni kompartemen sangat kotor (super dirty area) dalam bagian ini

berlangsung pemotongan, meliputi penyembelihan ayam, pencelupan ayam

kedalam drum atau panci air panas dan pencabutan bulu. Kompartemen dua, yakni
kompartemen kotor (dirty area) dalam bagian ini berlangsung proses pemotongan

seperti proses pemotongan kepala dan leher dari tubuh ayam, pemotongan kaki,

penyobekan perut, dan pengeluaran isi rongga perut, pembersihan bulu-bulu yang

masih tersisa, penanganan sampingan dan pencucian karkas. Kompartemen tiga,

yakni kompartemen bersih (clean area) dalam bagian ini berlangsung proses

pemotongan seperti proses pendinginan ayam dalam bak, penyiapan karkas sesuai

pesanan, pembungkusan atau pengemasan, pemotongan ayam menjadi beberapa

bagian (parting), proses pengambilan tulang (boneless), dan penyimpanan karkas

kedalam gudang berpendingin (cold storage) setelah itu disuplai ke pasar-pasar

modern.

RPA tradisional dalam pelaksanaannya relatif kurang memperhatikan

persyaratan teknis higiene dan sanitasi. RPA tradisional relatif tidak mempunyai

pembagian daerah kerja sehingga proses pengolahan dilakukan dalam suatu

ruangan yang menyatu, RPA tersebut terletak di pasar-pasar tradisional seperti

yang ada di pasar-pasar tradisional yang ada di Kota Kendari.

Selain itu permasalahan lain RPA di pasar tradisional adalah sebagai tempat

penjual daging ayam broiler diketahui bahwa peralatan untuk pelayanan penjualan

daging seperti meja tempat daging, pisau, talenan, timbangan dan peralatan lain

yang digunakan masih jauh dari kategori bersih. Pengawasan terhadap penyediaan

dan keamanan daging ayam oleh pihak berwenang masih sangat lemah. Rumah

Pemotongan Ayam (RPA) yang ada di pasar tradisional pada umumnya masih

belum memenuhi persyaratan dan dalam operasionalnya masih banyak yang

belum memenuhi persyaratan terutama dalam hal higien dan sanitasi.


Indonesia sendiri telah mempunyai standar nasional yang berkaitan dengan

keamanan pangan, yaitu Standar Nasional Indonesia (SNI). Standar ini

diantaranya memuat tentang memproduksi bahan pangan yang benar, mengukur

cemaran, dan menyajikan batas maksimum cemaran yang diperkenankan. Standar

ini diharapkan dapat memberikan jaminan keamanan produk pangan Indonesia.

Mengkonsumsi produk pangan bermutu lebih menjamin keamanan pangan.

Standar mutu pangan yang dikeluarkan oleh SNI dapat membantu konsumen

untuk menentukan mutu produk pangan yang akan dibelinya. Standar mutu bahan

pangan merupakan pedoman yang dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan,

misalnya pemilihan bahan pangan atau menghasilkan bahan pangan berdaya saing

tinggi. Indonesia telah memiliki standar mutu, yaitu standar yang dikeluarkan oleh

Badan Sta Hasil pangan asal hewan yang terbesar di Indonesia adalah daging

ayam.

Total konsumsi daging ayam di Indonesia mencapai 65,5% dan 34,5% daging

lainnya dari total produksi daging nasional 2,07 juta ton. Konsumsi ayam ras

mengalami peningkatan dari tahun ketahun. Pada tahun 2012 konsumsi ayam

sebesar 1,9 miliar ekor, tahun 2013 konsumsi ayam 2,3 miliar ekor sedangkan

pada tahun 2014 naik 16% menjadi 2,4 miliar ekor. Daging ayam adalah bahan

pangan yang bernilai gizi tinggi karena kaya akan protein, lemak, mineral serta zat

lainnya yang sangat dibutuhkan tubuh. Daging ayam mudah tercemar oleh

berbagai mikroorganisme dari lingkungan sekitarnya yang akan menimbulkan

masalah kesehatan konsumen (Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan

Hewan, 2014).
Badan POM RI melalui Direktorat Surveilans dan Penyuluhan Keamanan

Pangan, secara rutin memonitor kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan di

Indonesia khususnya keracunan yang telah diketahui waktu paparannya (point

source). Selama tahun 2014, berdasarkan laporan Balai Besar/Balai POM

diseluruh Indonesia telah terjadi kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan

sebanyak 153 kasus di 25 propinsi yang terjadi pada kurun waktu dari bulan

Januari sampai Desember 2014. Kasus keracunan pangan yang dilaporkan

berjumlah 7347 kasus termasuk 45 orang meninggal dunia.

Bahan pangan yang berasal dari hewan merupakan sumber utama bakteri

penyebab infeksi seperti gastroenteritis. Berdasarkan hasil penelitian dari Winata

(2011) pada 12 kabupaten atau kota di Provinsi Jawa Barat terhadap 24 sampel

daging sapi dan 36 sampel daging ayam. Hasil pengujian laboratorium

menunjukkan cemaran Salmonella lebih banyak ditemukan pada daging ayam

(66,7%) dibandingkan dengan daging sapi (54,2%). Hasil penelitian oleh

Setiowati (2011) selama bulan April-Juni di wilayah DKI Jakarta terhadap 213

daging ayam dan hasil uji laboratorium menunjukkan 7,9% daging ayam tercemar

bakteri Salmonella. Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Restika (2012)

dari 24 sampel daging ayam yang berada di 3 pasar tradisional di Kota Tangerang

Selatan (Pasar Jombang, Pasar Bukit, Pasar Modern) ditemukan 16,7% daging

ayam yang telah tercemar bakteri Salmonella. Serta berdasarkan penelitian Aerita

(2014) pada Pasar Banjaran dan Pasar Trayeman Kabupaten Tegal, dari 30 sampel

daging ayam potong yang positif mengandung Salmonella sebanyak 16,7% dan

yang negatif tidak mengandung Salmonella sebanyak 83,3%.


Penanganan daging ayam yang kurang baik dan tidak higienis akan

berdampak terhadap kehalalan, mutu dan keamanan daging yang dihasilkan dan

akan berdampak pada kesehatan masyarakat. Higiene pedagang sangat

berpengaruh terhadap keamanan pangan, agar bahan pangan tidak tercemar.

Sedangkan sanitasi tempat penjualan dilakukan untuk pengendalian kondisi

lingkungan (Hariyadi dan Ratih, 2009).

Permasalahan yang terjadi ditempat pemotongan ayam di pasar tradisonal

adalah penanganan limbah dan kebersihan tempat. Limbah yang dihasilkan dari

proses pemotongan ayam langsung dibuang ke selokan tanpa dilakukan

penanganan terlebih dahulu, hal ini dapat menyebabkan pencemaran lingkungan.

Selain itu kebersihan tempat yang kurang baik dapat menyebabkan

mikroorganisme berkembang dan menjadi sumber penyakit.

Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

dengan judul

Anda mungkin juga menyukai