Makalah IT
Makalah IT
DIABETES MELITUS
DOSEN PEMBIMBING : AGUS WIWIT S,S.Kep.Ns
DI SUSUN OLEH :
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan judul Makalah Konstipasi. Makalah ini disusun dalam
rangka memenuhi tugas Individu dalam mata kuliahIlmuTeknologi
1. Dosen mata kuliah Ilmu Teknlogi yakni Bapak Agus WiwitS, S.Kep Ns,
M.Kep yang telah banyak meluangkan waktu guna memberikan
bimbingan kepada kami dalam penyusunan makalah ini.
2. Kedua orang tua kami yang senantiasa memberi dukungan baik secara
moril maupun materil selama proses pembuatan makalah ini.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Diabetes melitus merupakan suatu sindrom klnik yang khas ditandai oleh adanya
hiperglikemia yang disebabkan oleh deiensi atauu penurunan efektivitas insulin.
Gangguan metabolik ini mempengaruhi metabolisme dari karbohidrat,protein,lemak,air
dan elektrolit.
Gangguan metabolisme tergantung pada adanya kehilangan aktivitas insulin dalam
tubuh dan pada banyak kasus, akhirnya menmbulkan kerusakan seluler,khususnya sel
endotelialvaskular pada mata, ginjal, dan susunan saraf. Diabetes melitus bukan
merupakan penyakit yang tinggal tetapi merupakan sekelompok penyakit.
(BRUDENELL & DODDRIDGE, 1996)
2.2 Epidemiologi
Sebagian besar lansia pengidap diabetes melitus berada pada kelompok umur 60 _ 74
tahun (83,3%),berjenis kelamin perempuan (52,9%), berstatus menikah (67%), berasal
dari sosial ekonomi rendah (53,6%), berpendidikan rendah (73,4%) dan berstatus gizi
baik (52,8%). Jika ditinjau dari faktor perilaku, sebagian besar lansia pengidap diabetes
melitus mempunyai konsumsi sayur dan buah yang kurang (99,4%), aktivitas fisik yang
kurang (97,5%), tidak sering mengonsumsi makanan berlemak (92,2%), dan bukan
perokok (63,2%). Selain itu, diperoleh pula informasi bahwa sebagian besar lansia
pengidap diabetes melitus yang mempunyai akses atau pemanfaatan yang baik terhadap
pelayanan kesehatan (57,8%). (Estri, Fatimah, & Prawesti, Desember 2016)
2.3 Etiologi
Diabetes melitus tipe 1
Dedruksi sel umumnya mengarah ke pada defisiensi insulin absolut
Diabetes melitus tipe 2
Dari predominan resistensi insulin dengan defisiesi insulin relative hinggapredominan
defek sekresi dengan resistensi insulin
Diabetes melitus tipe 3 :
DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik fungsi sel beta,
defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit metabolik endokrin
8
lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan genetik lain. Atau bisa
juga akibat dari :
Defek genetik dari fungsi sel beta
Defek genetik dari kerja insulin.
Penyakit eksokrin pankreas
Endokrinopati
Imbas obat atau zat kimia
Infeksi
Jenis tidak umum dari diabetes yang diperantai imun.
Sindrom genetik lainnya yang kadang berhubungan dengan DM
Diabetes melitus tipe4 (Diabetes melitus Gestasional)
DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa didapati
pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan ketiga. DM
gestasional berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal. Penderita DM
gestasional memiliki risiko lebih besar untuk menderita DM yang menetap dalam
jangka waktu 5 -10 tahun setelah melahirkan. (Ndraha, 2014)
2.4 Patofisiologis
Diabetes mellitus dibagi menjadi 2 kategori utama berdasarkan sekresi insulin
endogen untuk mencegah munculnya ketoasidosis, yaitu (1) Diabetes mellitus tergantung
insulin (IDDM = insulin dependent diabetes mellitus) atau tipe I, dan (2) Diabetes mellitus
tidak tergantung insulin (NIDDM = non-insulin dependent diabetes mellitus) atau tipe II
(Rowland dan Bellush, 1989; Kahn, 1995).
Diabetes mellitus (DM) tipe I diperantarai oleh degenerasi sel Langerhans pankreas
akibat infeksi virus, pemberian senyawa toksin, diabetogenik (streptozotosin, aloksan), atau
secara genetik (wolfram sindrome) yang mengakibatkan produksi insulin sangat rendah atau
berhenti sama sekali. Hal tersebut mengakibatkan penurunan pemasukan glukosa dalam otot
dan jaringan adiposa. Secara patofisiologi, penyakit ini terjadi lambat dan membutuhkan
waktu yang bertahun-tahun, biasanya terjadi sejak anak-anak atau awal remaja. Penurunan
berat badanmerupakan ciri khas dari penderita DM I yang tidak terkontrol. Gejala yang sering
mengiringi DM I yaitu poliuria, polidipsia, dan polifagia. Peningkatan volume urin terjadi
disebabkan oleh diuresis osmotik (akibat peningkatan kadar glukosa darah atau
hiperglikemik) dan benda-benda keton dalam urin. Lebih lanjut, diuresis osmotik tersebut
8
akan mengakibatkan kondisi dehidrasi, kelaparan dan shock. Gejala haus dan lapar
merupakan akibat dari kehilangan cairan dan ketidakmampuan tubuh menggunakan nutrisi
(Lawrence, 1994; Karam et al., 1996).
Pada DM I, kadar glukosa darah sangat tinggi, tetapi tubuh tidak dapat
memanfaatkannya secara optimal untuk membentuk energi. Oleh karena itu, energi diperoleh
melalui peningkatan katabolisme protein dan lemak. Seiring dengan kondisi tersebut, terjadi
perangsangan lipolisis serta peningkatan kadar asam lemak bebas dan gliserol darah. Dalam
hal ini terjadi peningkatan produksi asetil-KoA oleh hati, yang pada gilirannya diubah
menjadi asamaseto asetat dan pada akhirnya direduksi menjadi asam hidroksibutirat atau
mengalami dekarboksilasi menjadi aseton. Pada kondisi normal, konsentrasi benda-benda
keton relatif rendah karena insulin dapat menstimulasi sintesis asam lemak dan menghambat
lipolisis. Hanya dibutuhkan kadar insulin yang kecil untuk menghambat lipolisis (Unger dan
Foster, 1992; Lawrence, 1994).
Pada kondisi DM II, insulin masih cukup untuk mencegah terjadinya benda-benda
keton sehingga jarang dijumpai ketosis. Namun demikian, koma hiperosmolar nonketotik
dapat terjadi. DM II tersebut cenderung terjadi pada individu usia lanjut dan biasanya
didahului oleh keadaan sakit atau stres yang membutuhkan kadar insulin tinggi. Pada DM II,
kehadiran insulin tidak cukup untuk mencegah glukosuria. Seiring dengan itu, terjadi
kehilangan cairan dan elektrolit tubuh yang diikuti dengan dehidrasi berat. Lebih lanjut,
terjadi penurunan ekskresi glukosa dan pada akhirnya menghasilkan peningkatan osmolaritas
serum (hiperosmolaritas) dan glukosa darah (hiperglikemik) (Unger dan Foster, 1992;
Lawrence, 1994; Kahn, 1995).
Secara patofisiologi, DM tipe II disebabkan karena dua hal yaitu :
(1) penurunan respon jaringan perifer terhadap insulin, peristiwa tersebut dinamakan
resistensi insulin, dan
(2) Penurunan kemampuan sel pankreas untuk mensekresi insulin sebagai respon
terhadap beban glukosa.
Sebagian besar DM tipe II diawali dengan
kegemukan karena kelebihan makan. Sebagai kompensasi,sel pankreas merespon dengan
mensekresi insulin lebih banyak sehingga kadar insulin meningkat (hiperinsulinemia).
Konsentrasi insulin yang tinggi mengakibatkan reseptor insulin berupaya melakukan
pengaturan sendiri (self regulation) dengan menurunkan jumlah reseptor atau down
regulation. Hal ini membawa dampak pada penurunan respon reseptornya dan lebih lanjut
mengakibatkan terjadinya resistensi insulin. Di lain pihak, kondisi hiperinsulinemia juga
8
dapat mengakibatkan desensitisasi reseptor insulin pada tahap postreseptor, yaitu penurunan
aktivasi kinase reseptor, translokasi glucose transporter dan aktivasi glycogen synthase.
Kejadian ini mengakibatkan terjadinya resistensi insulin. Dua kejadian tersebut terjadi
pada permulaan proses terjadinya DM tipe II. Secara patologis, pada permulaan DM tipe II
terjadi peningkatan kadar glukosa plasma dibanding normal, namun masih diiringi dengan
sekresi insulin yang berlebihan (hiperinsulinemia). Hal tersebut mengindikasikan telah terjadi
defek pada reseptor maupun postreseptor insulin. Pada resistensi insulin, terjadi peningkatan
produksi glukosa dan penurunan penggunaan glukosa sehingga mengakibatkan peningkatan
kadar gula darah (hiperglikemik). Seiring dengan kejadian tersebut, sel pankreas
mengalami adaptasi diri sehingga responnya untuk mensekresi insulin menjadi kurang
sensitif, dan pada akhirnya membawa akibat pada defisiensi insulin. Sedangkan pada DM tipe
II akhir telah terjadi penurunan kadar insulin plasma akibat penurunan kemampuan sel
pankreas untuk mensekresi insulin, dan diiringi denganpeningkatan kadar glukosa plasma
dibandingkan normal. Pada penderita DM II, pemberian obat-obat oral antidiabetes
sulfonilurea masih dapat merangsang kemampuan sel Langerhans pankreas untuk
mensekresi insulin. (NUGROHO, 2006)
Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik. Gejala akut diabetes
melitus yaitu : Poliphagia (banyak makan) polidipsia (banyak minum), Poliuria (banyak
kencing/sering kencing di malam hari), nafsu makan bertambah namu berat badan turun
dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), mudah lelah. Gejala kronik diabetes
melitus yaitu : Kesemutan, kulit terasa panas atau seperti tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di
kulit, kram, kelelahan, mudah mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan
mudah lepas, kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada ibu
hamil sering terjadi keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau dengan bayi berat
lahir lebih dari 4kg. (Fatimah, 2015)
8
2.5 Manajemen menurut DEPKES
Parameter Ideal
Puasa Glukosa Darah Tingkat 80-120 mg/dl
Puasa Plasma Glukosa Tingkat 90-130 mg/dl
Tingkat Glukosa Darah Saat Tidur (Glukosa 100-140 mg/dl
Darah Waktu Tidur)
Tingkat Insulin <7%
HbA1c <7 mg/dl
Tingkat Kolesterol HDL >45 mg/dl atau di pria 24
Trigliserida Tingkat <200 mg /dl
Pada dasarnya ada dua pendekatan untuk manajemen diabetes, Pendekatan pertama
tanpa obat-obatan dan yang kedua adalah pendekatannya dengan obat-obatan. Dalam
pengelolaan DM, langkah pertama yang harus dilakukan adalah pengelolaan tanpa obat
dalam bentuk diet dan regulasi olahraga Tubuh. Jika dengan langkah pertama ini tujuan
manajemen belum Tercapai, dapat dikombinasikan dengan langkah farmakologis berupa
terapi Insulin atau terapi obat hipoglikemik oral, atau kombinasi keduanya. Pada saat
bersamaan, tidak peduli langkah pengelolaan apa yang dilakukan, Salah satu faktor yang
tidak boleh ditinggalkan adalah konseling atau konseling penderita diabetes oleh praktisi
kesehatan, baik dokter, apoteker, ahli gizi maupun tenaga medis lainnya. Dari hal ini,
terutama kekhawatiran Pelayanan farmasi dan peran apoteker dalam pengelolaan DM, akan
diuraikan secara spesifik.
8
2.6 Peran keluarga terhadap keluarga yang sakit
Keluarga merupakan faktor penting bagi setiap orang, keluarga tempat kita berbagi
kebahagiaan dan kesedihan, begitu juga bagi pasien Diabetes mellitus. Mereka yang
menderita DM akan rendah diri, putus asa, dan tersinggung. Sehingga dalam pengendalian
diabetes mellitus dibutuhkan bantuan keluarga baik dukungan moril maupun spiritual.
(Wardani & Isfandiari, 2014)
Paradigma sehat untuk pasien DM merupakan suatu cara pandang tentang kesehatan
dimana penatalaksanaannya mementingkan peran serta dari keluarga untuk hidup sehat
terutama pada keluarga dengan risiko tinggi menderita DM sehingga mampu untuk
mandiri, memelihara dan meningkatkan serta waspada akan munculnya komplikasi DM
(Rifki, 2009).
Dukungan keluarga sangat penting untuk memotivasi pasien dalam upaya menciptakan
lingkungan yang terhindar dari stres akibat dari pengobatan yang dijalani. Dukungan
sosial keluarga sebagai pelindung dalam faktor pencetus stres dan menciptakan lingkungan
yang nyaman sehingga dapat menjaga kontrol gula darah. Penyakit DM jika tidak dikelola
dengan baik akan mengakibatkan terjadinya berbagai penyakit menahun, seperti
penyakit serebro vaskuler, penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah tungkai,
penyakit pada mata, ginjal dan syaraf. Jika kadar glukosa darah dapat selalu dikendalikan
dengan baik, diharapkan semua penyakit menahun tersebut dapat dicegah, paling sedikit
dihambat (Waspadji, 2010).
Dukungan keluarga yang dapat diberikan keluarga kepada penderita DM dalam bentuk
dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan intrumental dan dukungan
informasi. Dukungan emosional berupa rasa perhatian atau empati, dukungan
penghargaanyaitu apresiasi positif terhadap anggota keluarga sehingga anggota keluarga
merasa dihargai, dukungan instrumental yaitu dukungan yang diberikan berupa peralatan
atau benda nyata seperti memberikan uang untuk penggobatan anggota keluarga yang
sakit, dan dukungan informasi yaitu dukungan yang diberikan berupa nasihat atau saran
untuk anggota keluarga, misalnya memberikan saran kepada anggota keluarga untuk
berobat secara rutin (Friedman, 2014 & Hensarling dalam Yusra, 2011).
8
Dukungan keluarga tidak dipengaruhi oleh faktor usia, hubungan dengan pasien, agama,
jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, keyakinan terhadap penyakit yang diderita
keluarga, perasaan saat menghadapi DM keluarga, pendapatan, tindakan yang dilakukan
saat anggota keluarga sakit, dan suku karena pada hasil analisis semua faktor tersebut
tidak berhubungan dengan dukungan keluarga. Menurut Retnowati (2012), dukungan
keluarga tinggi dapat dipengaruhi oleh faktor bentuk keluarga. Bentuk kelu arga kecil
lebih sedikit memberikan dukungan keluarga karena anggota keluarga yang sedikit serta
kesibukan masing-masing anggota keluarga sehingga dukungan keluarga yang diberikan
akan rendah, sebaliknya bentuk keluarga besar terdiri dari banyak anggota keluarga
sehingga dapat memberikan dukungan keluarga lebih tinggi. Praktik di keluarga juga
mempengaruhi dukungan keluarga karena keluarga yang memberikan dukungan positif
maka dukungan keluarganya akan tinggi, tetapi jika keluarga memberikan dukungan
negative maka dukungan keluarganya akan rendah (Amelia, Nurchayati & Elita, 2014).
Dukungan keluarga juga dapat dipengaruhi oleh latar belakang budaya. Menurut
Winkelman (2009), latar belakang budaya menentukan tingkat perilaku kesehatan dan
nilai-nilai kesehatan keluarga, sehingga dengan adanya suku dukungan keluarga akan
meningkat. Selain itu kesejahteraan spiritual juga mempengaruhi dukungan keluarga. Pada
penelitian Amelia, Nurchayati, Elita (2014), menyatakan bahwa kesejahteraan spiritual
dapat meningkatkan kemampuan keluarga atau individu untuk mengatasi stress dalam
menghadapi penyakit sehingga dukungan keluarga yang diberikan akan tinggi. Dukungan
keluarga yang tinggi akan memberikan kenyamanan dan ketenangan pada pederita DM
(Suardana, Rasdini, & Kusmarjathi, 2015). Pernyataan tersebut sejalan dengan Friedman
(2014) berpendapat bahwa, dukungan keluarga yang adekuat terbukti berhubungan
dengan menurunnya mortalitas sehingga lebih mudah sembuh dari sakit. (Chusmeywati,
2016)
8
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
9
DAFTAR PUSTAKA
Ain, N., Fatmaningrum, W., & Yusuf, A. (2011). UPAYA MENINGKATKAN PERILAKU
PASIEN DALAM TATALAKSANA. UPAYA MENINGKATKAN PERILAKU PASIEN
DALAM TATALAKSANA , 9.
Jurnalis, Y. D., Sarmen, S., & Sayoeti, Y. (2013). CDK-200/ vol. 40 no. 1. Padang, Sumatera
Barat: RS. Dr. M. Djamil.
Ndraha, S. (2014). Medicius. Diabetes Melitus Tipe 2 Dan Tatalaksana Terkini , 10.
Rosyada, A., & Trihandini, I. (2013). Determinan Komplikasi Kronik Diabetes Melitus pada.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional , 395.
http://binfar.kemkes.go.id/?wpdmact=process&did=MTc2LmhvdGxpbms=