Anda di halaman 1dari 86

KAJIAN PENGARUH PENAMBAHAN DIETILEN GLIKOL SEBAGAI

PEMLASTIS PADA KARAKTERISTIK BIOPLASTIK


DARI POLI--HIDROKSIALKANOAT (PHA) YANG DIHASILKAN
Ralstronia eutropha PADA SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU

Oleh
VICO DELVIA
F34102030

2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Vico Delvia. F34102030. Kajian Pengaruh Penambahan Dietilen Glikol Sebagai
Pemlastis pada Karakteristik Bioplastik dari Poli--hidroksialkanoat (PHA) yang
Dihasilkan Ralstronia Eutropha Pada Substrat Hidrolisat Pati Sagu. Dibawah
bimbingan Khaswar Syamsu. 2006

RINGKASAN

Plastik merupakan salah satu produk yang banyak dimanfaatkan oleh


masyarakat secara besar-besaran. Plastik yang biasa digunakan saat ini adalah
plastik sintetis berbasis petrokimia yang sangat sulit diuraikan secara hayati ketika
dibuang ke lingkungan. Limbah plastik tergolong sampah yang tidak mudah
didegradasi (dihancurkan) oleh mikroorganisme sehingga berpeluang abadi
mengendap di tanah. Limbah sampah plastik menjadi masalah serius yang
dihadapi dunia, tidak hanya pada negara-negara maju tetapi juga negara
berkembang seperti Indonesia. Penggunaan Poli--hidroksialkanoat (PHA)
sebagai bahan baku bioplastik menjadi salah satu solusi yang dapat dilakukan
untuk mengatasi permasalahan yang ditimbulkan plastik sintetis ini karena PHA
mampu didegradasi oleh lingkungan dan sumber bahan bakunya bersifat dapat
diperbaharui (renewable).
Salah satu bakteri yang dapat memproduksi PHA di dalam sel adalah
Ralstonia eutropha. Proses kultivasi R. eutropha dengan substrat hidrolisat pati
sagu mampu menghasilkan PHA berupa Poli--hidroksibutirate (PHB) yang
memiliki sifat yang mirip dengan polipropilen (PP). Proses kultivasi yang
dilakukan secara fed batch mampu menghasilkan biomassa sebesar 4,04 g/l dan
PHA 25-40% dari bobot biomassa. PHA yang dihasilkan memiliki sifat yang kaku
dan rapuh sehingga perlu ditambahkan pemlastis untuk memperbaiki sifat ini.
Pemlastis yang digunakan pada penelitian ini adalah dietilen glikol (DEG).
Pembuatan lembaran bioplastik dilakukan dengan melarutkan PHA pada
kloroform dan menambahkannya dengan pemlastis DEG dengan konsentrasi 0%
(kontrol), 10%, 20%, 30% dan 40%. Lembaran bioplastik dengan konsentrasi
DEG 0%, 10%, 20% dan 30% mampu membentuk lembaran bioplastik sedangkan
pada konsentrasi diatas 40% tidak mampu membentuk lembaran bioplastik. Untuk
melihat pengaruh penambahan DEG, dilakukan uji karakteristik lembaran
bioplastik seperti kuat tarik, perpanjangan putus, sifat termal, derajat kristalinitas,
gugus fungsi dan densitas.
Pengujian kuat tarik dari lembaran bioplastik 0%, 10%, 20% dan 30%
DEG adalah 0,12 0,09 MPa; 0,11 0,09 MPa; 0,07 0,02 MPa; 0,03 0,03
MPa yang menunjukkan bahwa penambahan DEG akan menyebabkan kuat tarik
lembaran bioplastik menurun. Persen perpanjangan putus dari lembaran bioplastik
0%, 10%, 20% dan 30% DEG adalah 7,00 3,44%; 6,46 2,96%; 7,01 0,59%
dan 3,41 3,30%. Persen perpanjangan putus terbaik dimiliki oleh lembaran
bioplastik 20% DEG karena memiliki nilai perpanjangan putus tertinggi dan
bersifat lebih plastis. Dengan sifat mekanis ini, dinyatakan bahwa bioplastik 20%
DEG merupakan bioplastik terbaik.
Dari uji sifat termal dengan DSC diketahui bahwa titik leleh lembaran
bioplastik 0% DEG adalah 168,72oC sedangkan lembaran bioplastik 20% DEG
adalah 167,51oC. Penambahan pemlastis menyebabkan penurunan titik leleh
lembaran bioplastik. Begitu juga untuk derajat kristalinitas yang mengalami
penurunan ketika dilakukan penambahan DEG. Derajat kristalinitas bioplastik 0%
DEG adalah 50,52% sedangkan 20% DEG 31,45%.
PHA memiliki gugus fungsi dominan karbonil ester C=O, ikatan polimerik
-C-O-C- , -OH, -CH-, -CH2 dan hal tersebut dibuktikan dengan hasil FTIR untuk
penentuan gugus fungsi. Gugus fungsi CH3 juga ditemukan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa PHA yang dihasilkan adalah PHB. Pada hasil FTIR 20%
DEG ditemukan adanya gugus fungsi O-H yang merupakan ikatan hidrogen dan
gugus eter yang merupakan gugus fungsi DEG. Densitas bioplastik dengan
penambahan DEG 0%, 10%, 20%, dan 30% adalah 0,97 g/cm3; 0,88 g/cm3; 0,67
g/cm3; 0,67 g/cm3.
Vico Delvia. F34102030. Study on The Addition of Diethylene Glycol (DEG) as
Plasticizer on Bioplastic Characteristics of Poly--Hydroxyalkanoates (PHA)
Produced by Ralstronia eutropha on Hydrolysed Sago Starch. Supervised by
Khaswar Syamsu. 2006

SUMMARY

Plastic is a product which is used by society in many fields. Recently,


plastic that is usually used is synthetic plastic which is based on petrochemical.
Plastic waste is rubbish which is not easily degraded by microorganisms. Plastic
waste becomes a serious problem that world faces today, not only in a developed
country but also in developing country like Indonesia. One of raw material
resources of bioplastic is polyhydroxyalkanoates (PHA). PHA which is produced
by specific microorganism is a natural plastic seed (biopolymer). This biopolymer
is one of solutions that can solve the problems of synthetic plastic because PHA is
easy to degrade and its raw material is renewable.
One of bacteria which can produce PHA in its cells is Ralstonia eutropha.
Cultivation process of R. eutropha with sago starch hydrolysate as substrate can
produce PHA especially polyhidroxybutyrate (PHB) which has the characteristic
like polypropylene (PP). Biomass of R. eutropha can be produced up to 4.04 g/l
with PHA content of PHA 25-40% from the biomass. PHA is rigid and brittle.
Plasticizer is added to improve this characteristic. Plasticizer which is used is
diethylene glycol (DEG). Bioplastic was made by dissolving PHA in chloroform
and then added with DEG at concentration 0% (control), 10%, 20%, 30% and
40%. Bioplastic with concentration DEG 0%, 10%, 20% and 30% can form a
sheet of bioplastic, but concentration of more than 40% can not. Effect of DEG
which is added can be evaluated by tensile strength test, elongation test, thermal
characterization, degree of crystalinity, functional group and density.
Tensile strength of 0%, 10%, 20%, and 30% DEG are 0.12 0.09 MPa;
0.11 0.09 MPa; 0.07 0.02 MPa; 0.03 0.03 MPa, respectively. It shows that
the addition of DEG decreases the tensile strength of bioplastic sheet. Elongation
of 0%, 10%, 20%, and 30% DEG are 7.00 3.44%; 6.46 2.96%; 7.01 0.59%
dan 3.41 3.30%, respectively. Bioplastic sheet with 20% DEG has the best
elongation because it has the highest point and more plastic. With this mechanical
characteristic, it is decided that bioplastic with 20% DEG is the best bioplastic
sheet in this research. Bioplastic were then characterized for melting point, degree
of crystalinity, and functional group.
Melting point of control is 168.72oC and bioplastic sheet 20% DEG is
o
167.51 C. The addition of plasticizer decreases the melting point of bioplastic
sheet. Degree of crystalinity also decreases when bioplastic sheet is added with
DEG. Crystalline degree of control is 50.52% and bioplastic 20% DEG is 31.45%.
FTIR analysis result shows that the dominant functional group of PHA are
carbon-ester C=O, and polymeric bond -C-O-C-, -OH, -CH-, -CH2. CH3
functional group is also found in this result and it indicates that the kind of the
PHA is PHB. Density of bioplastic when it is added with DEG 0%, 10%, 20%,
and 30% are 0.97 g/cm3; 0.88 g/cm3; 0.67 g/cm3; 0.67 g/cm3, respectively.
KAJIAN PENGARUH PENAMBAHAN DIETILEN GLIKOL SEBAGAI
PEMLASTIS PADA KARAKTERISTIK BIOPLASTIK
DARI POLI--HIDROKSIALKANOAT (PHA) YANG DIHASILKAN
Ralstronia eutropha PADA SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh
Vico Delvia
F34102030

2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

KAJIAN PENGARUH PENAMBAHAN DIETILEN GLIKOL SEBAGAI


PEMLASTIS PADA KARAKTERISTIK BIOPLASTIK
DARI POLI--HIDROKSIALKANOAT (PHA) YANG DIHASILKAN
Ralstronia eutropha PADA SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh
Vico Delvia
F34102030

Dilahirkan pada tanggal 30 Maret 1985


Di Jambi
Tanggal Lulus: 18 Oktober 2006

Menyetujui,
Bogor, 31 Oktober 2006

Dr. Ir. Khaswar Syamsu, MSc.


Dosen Pembimbing
RIWAYAT HIDUP

Vico Delvia dilahirkan di Jambi, 30 Maret 1985. Penulis


merupakan anak pertama dari dua bersaudara, putri dari
pasangan Abdul Manan dan Nursiah. Penulis menyelesaikan
sekolah dasar di SD Negeri 95/IV pada tahun 1996 dan
melanjutkan ke SLTP Negeri 17 Jambi pada tahun yang sama.
Tahun 1999, Penulis menyelesaikan masa belajarnya di SLTP
dan melanjutkan ke SMU Negeri 1 Jambi (1999-2002). Pada tahun 2002, Penulis
diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Penulis masuk di
Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Selama masa kuliah, Penulis aktif dalam berbagai organisasi dan kegiatan
di Universitas. Penulis bergabung dalam kepengurusan Himpunan Mahasiswa
Teknologi Industri (HIMALOGIN) sejak tahun 2003 dan memprioritaskan diri
pada bidang Public Relations HIMALOGIN. Pada tahun yang sama, Penulis
bergabung sebagai anggota Paduan Suara FATETA serta menjadi Asisten
Praktikum di Departemen TIN. Penulis menyelesaikan masa kuliah di IPB pada
tahun 2006 dengan menyelesaikan tugas akhir berupa skripsi berjudul Kajian
Pengaruh Penambahan Dietilen Glikol Sebagai Pemlastis pada Karakteristik
Bioplastik dari Poli--Hidroksialkanoat (PHA) yang Dihasilkan Ralstronia
eutropha Pada Substrat Hidrolisat Pati Sagu.
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... v
DAFTAR TABEL............................................................................................ vii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... ix
I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG ........................................................................ 1
B. TUJUAN .............................................................................................. 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 4
A. POLIHIDROKSIALKANOAT............................................................ 4
B. Ralstronia eutropha ............................................................................. 6
C. HIDROLISAT PATI SAGU ............................................................... 9
D. PELARUT KLOROFORM ................................................................. 10
E. PEMLASTIS DIETILEN GLIKOL..................................................... 12
F. PROSES KULTIVASI PHA ............................................................... 13
G. PROSES HILIR PHA ......................................................................... 16
H. PEMBUATAN LEMBARAN BIOPLASTIK .................................... 17
I. KARAKTERISTIK BIOPLASTIK .................................................... 18
III. BAHAN DAN METODE ......................................................................... 22
A. BAHAN DAN ALAT ......................................................................... 22
1. Bahan ............................................................................................ 22
2. Alat ................................................................................................ 22
B. TAHAPAN PENELITIAN ................................................................. 23
1. Persiapan Bahan Baku Bioplastik ................................................. 23
a. Persiapan Substrat ................................................................... 23
b. Produksi PHA secara Fed Batch ............................................. 25
c. Proses Hilir PHA ..................................................................... 26
2. Pembuatan Lembaran Bioplastik .................................................. 27
3. Karakterisasi Lembaran Bioplastik ............................................... 28
C. ANALISIS DATA ............................................................................... 28
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 29
A. PERSIAPAN BAHAN BAKU BIOPLASTIK ................................... 29
1. Persiapan Substrat ......................................................................... 29
2. Produksi PHA secara Fed Batch .................................................... 29
3. Proses Hilir PHA ........................................................................... 30
B. PEMBUATAN LEMBARAN BIOPLASTIK .................................... 33
C. KARAKTERISASI BIOPLASTIK...................................................... 36
1. Kuat Tarik dan Perpanjangan Putus .............................................. 37
2. Sifat Termal ................................................................................... 41
3. Derajat Kristalinitas ...................................................................... 44
4. Gugus Fungsi ................................................................................ 45
5. Densitas ......................................................................................... 48
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 50
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 52
LAMPIRAN .................................................................................................... 59
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Kelarutan PHB pada berbagai pelarut............................................. 11
Tabel 2. Komposisi media propagasi dan media fermentasi......................... 24
Tabel 3. Formulasi bahan dalam pembuatan lembaran bioplastik ............... 34
Tabel 4. Perbandingan sifat fisik dan kimia PP, PHB, PHA dan lembaran
bioplastik (DEG 20%) .................................................................... 37
Tabel 5. Hasil identifikasi spektrum FTIR lembaran bioplastik .................. 47
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Struktur molekul PHA................................................................. 5
Gambar 2. Struktur molekul dietilen glikol .................................................. 13
Gambar 3. Bioreaktor kapasitas 15 liter........................................................ 26
Gambar 4. PHA kering hasil ekstraksi dengan NaOCl ................................ 31
Gambar 5. PHA hasil ekstraksi dengan kloroform ...................................... 33
Gambar 6. Reaksi polimer-pelarut dan reaksi penambahan pemlastis ......... 34
Gambar 7. Lembaran bioplastik dengan konsentrasi DEG 10-40% ............. 35
Gambar 8. Ilustrasi struktur kimia polimer PHA dengan penambahan
pemlastis DEG............................................................................. 36
Gambar 9. Grafik hubungan konsentrasi DEG dan kuat tarik .................... 39
Gambar 10. Grafik hubungan konsentrasi DEG dan perpanjangan putus ..... 39
Gambar 11. Ilustrasi proses uji kuat tarik dan perpanjangan putus ............... 41
Gambar 12. Spectra DSC ............................................................................... 42
Gambar 13. Spectra FTIR .............................................................................. 46
Gambar 14. Grafik hasil pengukuran densitas lembaran bioplastik .............. 49
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Diagram alir pembuatan hidrolisat pati sagu secara
enzimatis................................................................................... 60
Lampiran 2. Diagram alir kultivasi PHA ...................................................... 61
Lampiran 3. Diagram alir proses hilir .......................................................... 62
Lampiran 4. Diagram alir proses pembuatan lembaran bioplastik ............... 64
Lampiran 5. Prosedur analisis karakter lembaran bioplastik ....................... 65
Lampiran 6. Prosedur analisis total gula dengan metode fenol-sulfat .......... 68
Lampiran 7. Contoh penghitungan selama proses penelitian........................ 69
Lampiran 8. Hasil pengujian kuat tarik dan perpanjangan putus ................. 71
Lampiran 9. Hasil pengujian densitas lembaran bioplastik ......................... 73
I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Plastik merupakan salah satu produk yang banyak dimanfaatkan oleh


masyarakat. Penggunaan plastik dilakukan secara besar-besaran sebagai bahan
kemasan, produk rumah tangga hingga peralatan kantor dan fasilitas umum.
Plastik yang biasa digunakan saat ini adalah plastik sintetis berbasis
petrokimia yang sangat sulit diuraikan secara hayati ketika dibuang ke
lingkungan.
Limbah plastik tergolong sampah yang tidak mudah didegradasi
(dihancurkan) oleh mikroorganisme sehingga berpeluang abadi mengendap
di tanah. Limbah sampah plastik menjadi masalah serius yang dihadapi dunia,
tidak hanya pada negara-negara maju tetapi juga negara berkembang seperti
Indonesia. Menurut Indonesia Plastic Industries, kebutuhan plastik dari 220
juta penduduk Indonesia pada tahun 2003 mencapai sekitar 1,35 juta ton
sedangkan kemampuan pengolahan sampah oleh pemerintah hanya sekitar 20-
30% saja (Anonima, 2006). Proses pengolahan yang dilakukan pemerintah pun
hanya sebatas penimbunan di area landfill. Peningkatan kesadaran masyarakat
akan pentingnya kelestarian lingkungan, peranan dan kebijakan pemerintah
yang mendukung penggunaan bioplastik serta sumber substrat yang mudah
diperoleh di Indonesia akan mendukung pemanfaatan bioplastik yang
merupakan alternatif untuk memecahkan masalah penanganan limbah sampah
plastik. Selain itu, berdasarkan Laporan Biro Pusat Statistik (Badan Pusat
Statistik, 1999) mengenai proyeksi kebutuhan bioplastik diketahui bahwa
perkembangan industri bioplastik dimasa datang akan mampu menjadi industri
besar.
Salah satu sumber bahan baku bioplastik yang sudah banyak diteliti
adalah Polihidroksialkanoat (PHA). PHA yang terkandung didalam sel
mikroorganisme jenis tertentu merupakan bijih plastik alami (biopolimer).
Biopolimer ini adalah cadangan makanan bagi mikroorganisme yang apabila
tidak dikonsumsi akan menumpuk di dalam sel. PHA yang diproduksi dari
sumber yang terbaharui digunakan sebagai bahan baku bioplastik karena dapat
didegradasi secara sempurna ketika dibuang ke lingkungan. PHA dapat
berfungsi sebagai plastik karena memiliki sifat-sifat seperti termoplastik atau
elastomer yang tergantung dari monomer penyusunnya. PHA memiliki
kekuatan dan kekerasan yang baik, resisten terhadap kelembaban dan
memiliki permeabilitas O2 yang sangat rendah (Van Wegen et al., 1998).
Poli--hidroksibutirat (PHB) adalah homopolimer dari -
hidroksibutirat yang merupakan anggota dari PHA. Polimer PHB memiliki
struktur yang mirip poli propilena (Lee, 1996). Bakteri yang dapat
memproduksi PHB di dalam sel adalah Burkholderia cepacia (Pseudomonas
cepacia), Ralstonia eutropa (Alcaligenes eutrophus), Azotobacter beijerinckii,
Bradyrhizobium japonicum dan beberapa spesies Rhizobium (Anderson dan
Dawes, 1990).
Bidang aplikasi PHA sangat luas, namun produksi PHA masih terbatas
karena harganya yang mahal. Setiap kilogramnya dibutuhkan dana sekitar US
$16-17, sementara plastik konvensional hanya membutuhkan dana sebesar US
$1 sehingga perlu dilakukan berbagai upaya penelitian untuk menurunkan
biaya produksi PHA, salah satunya dengan penggunaan hidrolisat pati sagu
(Anonima, 2006). Potensi sagu di Indonesia sangat besar, Papua dan Maluku
memiliki hutan sagu seluas 1,25 juta hektar (ha), 148 ribu ha lahan sagu
semibudidaya di kepulauan Riau, Mentawai, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
Maluku, dan Papua. Lahan sagu ini terbesar di dunia. Berdasarkan catatan
BPPT, produksi sagu saat ini mencapai 200 ribu ton per tahun, namun baru
56% saja yang dimanfaatkan dengan baik (Humas, 2006). Melihat peluang
tersebut, maka penggunaan hidrolisat pati sagu diharapkan mampu menjadi
substrat yang murah dan terbaharukan.
Untuk menghasilkan lembaran bioplastik, PHA murni perlu
ditambahkan dengan bahan-bahan tambahan seperti pemlastis, penstabil,
pewarna, anti shock dan antistatik untuk mendapatkan hasil akhir bioplastik
yang diinginkan. Saat pembuatan lembaran bioplastik, dibutuhkan suatu
pelarut untuk melarutkan PHA sehingga mempermudah proses pembuatannya.
Salah satu pelarut yang dapat digunakan adalah kloroform (CHCl3) yang
memiliki kemampuan yang sangat baik untuk melarutkan PHA (Atkinson dan
Mavituna, 1991). Sifat rapuh dan kaku dari PHA dapat diperbaiki dengan
penambahan pemlastis dietilen glikol (DEG) yang merupakan salah satu
pemlastis yang banyak digunakan oleh industri.
Zahra (2003) telah melakukan penelitian mengenai pengaruh
penambahan dietilen glikol (DEG) terhadap karakteristik bioplastik dari PHA
dengan menggunakan substrat kultivasi berupa hidrolisat minyak sawit. PHA
yang dihasilkan memiliki derajat kristalinitas yang rendah yaitu 2,88%. Hal ini
disebabkan oleh metode pembuatan bioplastik yang dilakukan tanpa
pemanasan.
Proses pembuatan bioplastik pada penelitian ini dilakukan dengan cara
pencampuran PHA dan pelarut kloroform. Kloroform berfungsi untuk
melarutkan bahan polimer padat sehingga memudahkan pengolahan dalam
proses selanjutnya. Larutan PHA-kloroform kemudian dicampurkan dengan
pemlastis dietilen glikol agar dihasilkan suatu lembaran bioplastik yang
plastis. Proses pencampuran yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan
suhu dan perbandingan tertentu.

B. TUJUAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk merancang proses pembuatan


lembaran bioplastik dan mendapatkan informasi mengenai pengaruh
konsentrasi pemlastis dietilen glikol (DEG) terhadap karakteristik lembaran
bioplastik yang dihasilkan serta mengetahui konsentrasi DEG terbaik dalam
pembuatan lembaran bioplastik berbahan dasar Poli--hidroksialkanoat
(PHA).
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. POLIHIDROKSIALKANOAT (PHA)

Poli--hidroksialkanoat (PHA) merupakan salah satu famili poliester


termoplastis bermolekul besar yang terbentuk secara alami atau melalui cara
bioteknologi khusus (Utz et al, 1991). Menurut Choi dan Lee (1999),
polyhydroxyalkanoates (PHA) merupakan cadangan karbon intraseluler dan
energi yang terakumulasi dalam sel bakteri serta terbentuk pada kondisi
pertumbuhan yang tidak seimbang. Kelompok poliester PHA terdiri dari poly-
-hydroxybutyrate (PHB), poly--hydroxyvalerate (PHV), poly--
hydroxycaproate (PHC), poly--hydroxyheptanoate (PHH), poly--
hydroxyoctanoate (PHO), poly--hydroxynonanoat (PHN), poly--
hydroxydecanoate (PHD), poly--hydroxyundecanoate (PHUD), dan poly--
hydroxydodecanoate (PHDD) (Atkinson dan Mavituna, 1991).
PHB adalah homopolimer dari -hidroksibutirat yang merupakan
anggota dari polihidroksialkanoat (PHA) dan digunakan sebagai sumber
energi dan cadangan karbon yang disintesis dan diakumulasikan secara
intraseluler oleh beberapa mikroorganisme pada saat nutrisi esensial seperti
nitrogen, fosfor, oksigen, sulfur terbatas namun dilain pihak sumber karbon
berlebih (Anderson dan Dawes, 1990; Lee, 1996). PHB yang merupakan
cadangan makanan bagi bakteri terbentuk sebagai granular-granular di dalam
sel. Pasokan yang tidak memadai akan membuat sel-sel mendepolimerisasi
cadangan makanan menghasilkan asam -hidroksibutirat yang bersifat dapat
larut dan mudah dicerna (Bailey dan Ollis, 1991).
Ukuran diameter granula PHB berkisar antara 100 nm sampai 800 nm,
dan biasanya berbentuk seperti bola. PHB yang telah diisolasi memiliki
komposisi kira-kira 98% PHB dan 2% protein. PHB memiliki densitas 1,171-
1,260 g/cm3, melting point antara 157-188oC, dekomposisi secara cepat dapat
terjadi diatas suhu 283oC. Densitas yang lebih rendah menunjukkan densitas
amorf, sedangkan densitas yang lebih tinggi menunjukkan densitas kristalin
(Lafferty et al. di dalam Rehm dan Reid, 1988). Berikut adalah gambar
struktur molekul PHA menurut Randall et al. (2001):

--------- OC (CH2)n-- C -------------

R O 100-30000

n = 1 R = methyl: polymer = poly(3-hydroxybutyrate)


R = ethyl: polymer = poly(3-hydroxyvalerate)
n = 2 R = hydrogen: polymer = poly(4-hydroxybutyrate)
n = 3 R = hydrogen: polymer = poly(5-hydroxybutyrate)

Gambar 1. Struktur Molekul PHA (Randall et al, 2001)

Sifat dan kelebihan dari PHB adalah berbentuk kristalin, tahan panas,
dapat diproduksi dari sumber yang dapat diperbaharui, tidak beracun, tingkat
polimerisasinya tinggi dan tidak larut dalam air (Herawati, 2001). Menurut
Lee (1996), polimer PHB dapat diuraikan secara hayati sehingga dapat
dimanfaatkan sebagai pembawa bahan aktif pada obat-obatan, bahan sekali
pakai, benang bedah dan pembalut luka.
Menurut Poirer et al. (1995), PHB sering dibandingkan dengan
polipropilen (PP) karena sifat fisiknya yang sama, namun PHB lebih rapuh
dengan rasio elastisitas PHB hampir dua kali lebih rendah dibandingkan
dengan PP. Meskipun PHB bersifat rapuh dan lebih sensitif terhadap pelarut
dibandingkan poliester komersial, tetapi PHB memiliki daya tahan yang lebih
besar terhadap radiasi sinar UV dan bersifat dapat didegradasi (Crueger dan
Crueger, 1984).
Aplikasi PHA difokuskan pada 3 hal yaitu kesehatan dan farmasi,
pertanian, dan kemasan produk (Lafferty et al. di dalam Rehm dan Reid, 1988;
Lee, 1996). PHB dapat dikembangkan dalam berbagai bidang seperti bidang
medis sebagai benang jahit pada operasi bedah, pembalut luka, pemasangan
pembuluh darah, pemasangan tulang dan lempeng tulang, stimulasi
pertumbuhan tulang (karena PHA mempunyai sifat piezoelektrik) serta
pembawa bahan aktif pada obat-obatan. Bidang industri, PHB dapat
digunakan sebagai pembawa bahan aktif pada herbisida, fungisida, insektisida
atau pupuk, kemasan kontainer, botol, pembungkus, kantong, dan film serta
bahan-bahan sekali pakai seperti popok bayi dan pembalut wanita (Brandl et
al. di dalam Babel dan Steinbuchel, 2001).

B. Ralstonia eutropha

Mikroorganisme dapat mensintesa PHA sekitar 30-80% dari bobot


kering selnya. Jenis mikroba yang mampu mensintesa PHA ini berjumlah
sekitar 300 jenis, namun hanya sejumlah bakteri termasuk Ralstonia eutropha,
Alcaligenes latus, Azotobacter venelandii, Chromobacterium violaceum,
metilotrof, pseudomonad, dan rekombinan E. Coli yang prospektif digunakan
dalam komersialisasi produksi PHA karena produktifitasnya lebih besar dari 2
g/l/jam (Lee, 1996; Lee dan Choi di dalam Babel dan Steinbuchel, 2001).
Klem di dalam Robinson et al. (1999) menyatakan berdasarkan kajian
sekuens dan hibridisasi 16S RNA, Alcaligenes eutrophus sekarang
dikelompokkan ke dalam genus Ralstonia dengan nama baru Ralstonia
eutropha. Ralstonia eutropha merupakan bakteri kemoautotrof fakultatif yang
dapat mengakumulasi poli--hidroksialkanoat (PHA) sebagai cadangan energi
dalam kondisi kultur yang mengandung sedikit mineral atau oksigen. Genus
Ralstonia eutropha berbentuk batang, batang bulat atau bulat dengan diameter
0,5-1,0 mikrometer dan panjang 0,5-2,6 mikrometer. Ralstonia eutropha
memiliki flagel berbentuk peritrichous dan bersifat aerob obligat (Ishizaki dan
Tanaka, 1991). Bakteri ini dapat tumbuh di air dan tanah, bersifat saprofit,
inhibitor pada usus vertebrata, serta dapat diisolasi dari bahan klinis seperti
darah, urin, kotoran, cairan suntikan, luka, dan kadang-kadang menyebabkan
infeksi pada manusia (Breed et al., 1974).
Menurut Byrom (1992) setelah berdiskusi dengan industri penghasil
PHA yaitu ICI, diketahui bahwa pemilihan Ralstonia sp. oleh ICI dikarenakan
Ralstonia sp. mampu memproduksi PHA yang mudah diekstrak dengan bobot
molekul yang tinggi. Galur bakteri dan sumber karbon yang digunakan sangat
berpengaruh terhadap PHA yang dihasilkan, misalnya Alcaligenes eutrophus
(Ralstonia eutropha) dapat memproduksi PHB (poli--hidroksibutirat)
menggunakan glukosa dan memproduksi PHV (poli--hidroksivalerat) dengan
menggunakan glukosa dan asam propionat (Ayorinde et al.,1998).
Pertumbuhan pada bakteri dan mikroorganisme lain biasanya mengacu
pada perubahan di dalam hasil panen sel dan bukan perubahan individu
organisme. Penentuan populasi bakteri terhadap waktu tertentu dapat
dilakukan dengan cara memetakan logaritma jumlah sel terhadap waktu yang
kemudian biasa disebut daur pertumbuhan normal atau kurva pertumbuhan
(Pelczar dan Chan, 2005). Pada awal pertumbuhannya, bakteri Ralstonia
eutropha berada pada kondisi yang kaya glukosa sebagai sumber karbon dan
mengkonsumsinya hingga gemuk (Fiechter, 1990). Sumber karbon yang
dapat digunakan untuk pertumbuhannya adalah D-glukosa, D-fruktosa, D-
glukonat, asetat, adipat, dan itakonat (John et al., 1994). Bakteri tersebut
tumbuh menggunakan sumber nitrogen sebagai nutrisi esensialnya secara
terbatas dan perlahan, sebagian besar sumber nitrogen digunakan untuk
memproduksi kopolimer PHB-HV (Fiechter, 1990).
R. eutropha memiliki operon tunggal yang mengandung 3 jenis gen
yang diperlukan untuk sintesa PHB, yaitu phbA, phbB, dan phbC. PhbA (yaitu
ketothiolase) bergabung dengan 2 molekul asetil-KoA untuk menghasilkan
asetoasetil-KoA yang kemudian direduksi menjadi R--hidroksibutiril-KoA
oleh phbB (yaitu suatu reduktase asetosetil-CoA yang membutuhkan
NADPH). Molekul R--hidroksibutiril-KoA membentuk unit monomer PHB,
kemudian dipolimerisasi melalui ikatan ester oleh phbC (yaitu suatu PHB
sintetase). Pada lingkungan yang kaya, PHB secara enzimatis didegradasi
menjadi asetil-KoA yang masuk ke jalur primer metabolisme dan
dimineralisasi menjadi karbondioksida. Degradasi dimulai oleh depolimerase
yang dikode sebagai gen phbZ (Klem, 1999).
R. eutropha menghasilkan PHB pada kondisi terbatasnya nitrogen,
oksigen, dan fosfor (Klem di dalam Robinson et al, 1999). Secara umum,
suplai nutrien yang tidak seimbang, misalnya nitrogen atau oksigen, akan
menurunkan kompleksitas dan menyalurkan rangkaian karbon ke satu arah
jalur, misalnya PHB. Babel dan Steinbuchel, (2001) menyatakan jika nitrogen
(dalam bentuk ammonia) merupakan pembatas pertumbuhan maka potensi
penggunaan asetil-KoA dan NAD(P)H menjadi terbatas. NAD(P)H yang
dilepaskan tidak dapat dikonsumsi untuk sintesa reduktif, misalnya pada asam
amino, sehingga dapat menghambat enzim sitrat sintetase (yaitu enzim yang
mengkatalisis sumber karbon menjadi asetil-KoA). Hal ini menyebabkan
terhambatnya siklus TCA sehingga asetil-KoA menjadi tersedia untuk -
ketothiolase dan dapat memasuki jalur sintesa PHB. Pembatasan oksigen
menyebabkan peningkatan rasio NADH2/NAD intraseluler sehingga
menghambat siklus TCA dan meningkatkan ketersediaan asetil-KoA
intraseluler. Hal ini kemudian akan meningkatkan laju sintesa PHB (Atkinson
dan Mavituna, 1991). Babel dan Steinbuchel, (2001) menyatakan bahwa fosfat
juga merupakan faktor pembatas, bakteri tidak dapat menghasilkan ATP
(dengan cara memfosforilasi ADP) sehingga 2/H/ tidak dapat mengalir dan
terakumulasi sedangkan asetil-KoA menjadi tersedia. Kedua substrat tersebut
kemudian diasimilasi dan dikumpulkan secara intraseluler sebagai PHB.
Ralstonia eutropha mampu mengakumulasi PHB selama fase stationer.
Dalam keadaan ini NADH/NADPH yang diakumulasikan di dalam sel dapat
mengakibatkan hambatan arus balik (feed back repression) terhadap enzim
siklus asam tri karboksilat (TCA) yaitu sitran sintase yang mengkatalisis
kondensasi asetil CoA dengan oksaloasetat, sehingga asetil CoA terakumulasi.
Akumulasi asetil CoA menginduksi asetil CoA asetil transferase untuk
memulai sintesis PHB (Page, 1989). Polimer PHB akan diuraikan kembali
menjadi asetil CoA apabila mikroba membutuhkan cadangan karbon. Reaksi
yang terjadi di dalam sel adalah reaksi dapat balik. Apabila PHB dibutuhkan
maka polimer ini akan dengan cepat terurai dengan bantuan enzim
depolimerase membantu membentuk asetil CoA yang selanjutnya akan
digunakan sebagai sumber karbon pada siklus TCA.
C. HIDROLISAT PATI SAGU

Sagu merupakan tumbuhan monokotil dari keluarga Palmae, genus


Metroxylon dari ordo Spadiciflorae dan pati sagu merupakan hasil ekstraksi
pati dari batang empulur tanaman sagu. Di Indonesia tanaman utama
penghasil pati sagu adalah Metroxylon yang tumbuh di lahan basah dan
Arenga microcarpha (sagu baruk) yang tumbuh di lahan kering (Abner dan
Miftahorrahman, 2002). Setiap batang sagu mengandung sekitar 200 kg sagu
sehingga setiap hektar tanaman sagu mampu memproduksi 20-25 ton per
hektar. Menurut Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT) Bidang Agroindustri dan Bioteknologi Wahono Sumaryono di dalam
Humas (2006), kadar pati kering dalam sagu mampu mencapai 25 ton per
hektar (ha) yakni jauh diatas kandungan pati beras yang hanya 6 ton per ha
dan pati jagung yang hanya 5,5 ton. Berdasarkan data Perhimpunan
Pendayagunaan Sagu Indonesia (PPSI), produksi sagu nasional saat ini (2006)
mencapai 200.000 ton per tahun atau baru mencapai sekitar 5 persen dari
potensi sagu nasional.
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan -glikosidik yang
terdiri dari dua fraksi yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa mempunyai
struktur rantai lurus dengan ikatan -(1,4)-D-glukosa sedangkan amilopektin
selain mempunyai rantai lurus juga mempunyai cabang dengan ikatan -(1,6)-
D-glukosa sebanyak 4-5% dari bobot total (Winarno, 1989).
Sirup glukosa (hidrolisat pati) adalah cairan jernih dan kental dengan
komponen utama glukosa dan diperoleh dari proses hidrolisa pati dengan cara
kimia atau enzimatik (Badan Standarisasi Nasional, 1992). Suspensi pati
dalam aquades untuk hidrolisis pati sagu secara enzimatis adalah 30%
(Akyuni, 2003). Menurut Hebeda dalam Nagodawithana dan Reed (1993),
konsentrasi pati yang terlalu tinggi dapat menyebabkan proses gelatinisasi
berlangsung tidak sempurna. Konsentrasi pati yang tinggi juga dapat
mempersulit proses difusi enzim dalam substrat dan pengadukan.
Penepatan pH suspensi pati sebelum proses likuifikasi dilakukan
berdasarkan kestabilan enzim -amilase yang menurut Olsen dalam Kearsley
dan Dziedzig (1995) memiliki kestabilan yang baik pada pH 6,5 dibandingkan
6,0. Namun pH yang tinggi akan menghasilkan produk sampingan berupa
maltulosa dan hidrolisat pati sagu yang dihasilkan akan berwarna lebih gelap
(coklat).
Konversi pati secara enzimatis terdiri dari dua tahap, yaitu likuifikasi
dan sakarifikasi. Likuifikasi terjadi setelah gelatinisasi dengan adanya aktifitas
enzim -amilase yang memecah ikatan -1,4 di bagian dalam rantai
polisakarida secara acak menghasilkan glukosa, maltosa, maltodekstrin, dan -
limit dekstrin dalam waktu sekitar 60 menit. Sakarifikasi dengan enzim
amiloglukosidase (AMG) akan mengubah maltodekstrin menjadi glukosa dan
memakan waktu yang lebih lama yaitu 24-96 jam (Fullbrook di dalam
Dzieldzic dan Kearsley, 1984).
Menurut Akyuni (2003) enzim -amilase ini bekerja optimum pada
suhu 90oC dan masih bekerja aktif sampai suhu 110oC. Waktu proses
likuifikasi adalah selama 210 menit karena pada waktu tersebut mulai
dihasilkan nilai gula pereduksi yang konstan. PH hasil proses likuifikasi
ditepatkan menjadi 4-4,5 sebelum dilanjutkan ke proses sakarifikasi
menggunakan enzim amiloglukosodase (AMG). Proses sakarifikasi dilakukan
pada suhu 60oC selama 48 jam karena pada waktu tersebut nilai ekuivalen
dekstrosa sudah mencapai nilai tertinggi.

D. PELARUT KLOROFORM

Penggunaan pelarut (solvent) pada saat proses pembuatan plastik


dimaksudkan untuk melarutkan bahan polimer padat sehingga memudahkan
pengolahan dalam proses selanjutnya. Pengklasifikasian jenis pelarut
didasarkan pada tingkat penguapan, struktur kimia, dan kekuatan pelarut
(Frados, 1959).
Poli--hidroksialkanoat (PHA) dapat larut pada berbagai pelarut
seperti kloroform, metilen klorida, etilen klorida, piridin atau campuran
diklorometan/etanol (Atkinson dan Mavituna, 1991). Van Wegen et al. (1998)
menyatakan bahwa dengan metode pelarutan PHA seperti ekstraksi
menggunakan kloroform dapat diperoleh kemurnian yang tinggi, namun
metode tersebut memerlukan sejumlah besar pelarut yang mudah menguap,
bersifat toksik terhadap lingkungan dan meningkatkan total biaya produksi.
Kloroform (CHCl3) memiliki sifat tidak mudah terbakar, sangat mudah
menguap, memiliki rasa yang manis dan bau yang khas. Kloroform dapat
digunakan sebagai pelarut untuk lemak, minyak, karet, alkaloid, lilin, gutta
percha, resin dan sebagai cleansing agent. Kloroform berbahaya bila dihirup
pada dosis tinggi karena dapat menyebabkan hipotensi, gangguan pernafasan
dan miokardial dan bahkan kematian (Merck, 1999).
Kloroform mendidih pada suhu 61,7oC. Kloroform larut dengan mudah
pada etanol dan eter tetapi tidak dapat bercampur dengan air. Kloroform
dihasilkan dengan mereaksikan klorin dengan etanol dan dengan mereduksi
karbon tetraklorida (CCl4). Kloroform dahulu dimanfaatkan sebagai obat bius
saat proses pembedahan namun saat ini sudah digantikan dengan bahan yang
lebih tidak beracun, obat bius yang lebih aman yaitu eter. Secara kimia,
kloroform digunakan sebagai pelarut lemak, alkaloid, iodin dan bahan lainnya.
Ketika kloroform terbuka di udara dan terkena sinar matahari maka kloroform
akan berubah menjadi gas yang beracun (Anonimb, 2006).

Tabel 1. Kelarutan PHB pada berbagai pelarut* (Bogensberger, 1985 di dalam


Lafferty et al.,1988)
Kelarutan Tinggi
Kloroform Etilenkarbonat Dimetilformamid
Diklorometan Propilenkarbonat Ethilaseto asetat
Di-, tri-, tetra-kloroetan Trifluoroetanol Triolein
Dikloroasetat Asetik anhidrid Asam asetik
1 N sodium hidroksida Alkohol (> 3 atom C)
Kelarutan Sedang
Dioksan Toluene
Oktanol Piridin
Tidak Larut
H2O Alkaline hidriklorit Etil asetat
Metanol Dietilether Etilmetilketon
Etanol Benzen Butil asetat
1-propanol Heksan Tributil sitrat
2-propanol Sikloheksanon
Sikloheksanol
Karbontetraklorida
*= Kelarutan tergantung pada suhu
Menurut Lee (1996), 20 bagian pelarut digunakan untuk melarutkan 1
bagian polimer karena kekentalan larutan PHA tinggi sehingga diperlukan
jumlah pelarut yang besar. Pengaruh kelarutan pada PHB dapat diamati secara
efektif pada lapisan endapan yang terbentuk dari gel hasil pelarutan dengan
temperatur yang semakin menurun. Suhu ekstraksi yang tinggi memungkinkan
terdegradasinya molekul PHB tersebut. Penelitian degradasi akibat panas telah
dilakukan (Grassie et al. di dalam Rehm dan Reid, 1984), yaitu pada suhu
lebih dari 338oC dan kondisi vakum, PHB akan mengalami degradasi menjadi
dimer, trimer, tetramer, iso-clotonic acid dan clotonic acid.

E. PEMLASTIS DIETILEN GLIKOL

Cuq et al. (1997) mendefinisikan pemlastis sebagai molekul kecil yang


tidak mudah menguap serupa dengan polimer pembentuk film. Penambahan
pemlastis pada saat proses pembuatan lembaran plastik dimaksudkan untuk
memperbaiki sifat plastik. Penambahan pemlastis pada bahan polimer
mengakibatkan terjadinya modifikasi pada susunan tiga dimensi molekul,
menurunkan gaya tarik intramolekul, meningkatkan mobilitas rantai dan
menurunkan Tg (glass transition temperature) bahan amorf. Ditambahkan
oleh Cowd (1991), bahwa penurunan Tg tersebut dikarenakan pengurangan
gaya antar-rantai sehingga gerakan bagian rantai lebih mudah.
Perbedaan utama antara pemlastis dengan pelarut adalah kemampuan
penguapan kedua bahan tersebut. Pelarut lebih mudah menguap sedangkan
pemlastis tidak mudah menguap. Persyaratan ideal yang harus dimiliki suatu
pemlastis meliputi kecocokan (compatibilitas), permanen atau tidaknya
pemlastis tersebut berada dalam polimer, dan efisiensi penggunaannya.
Pemlastis umumnya memiliki sifat-sifat tidak berbau, tidak berasa, tidak
beracun dan tidak mudah terbakar (Beeler dan Finney di dalam Modern
Plastics Encyclopedia, 1958).
Menurut Frados (1959) terdapat beberapa metode penambahan
pemlastis pada resin, yaitu pencampuran kering (dry blending), pencampuran
dengan panas (hot mixing), metode plastisol dan organosol, serta metode
pencampuran tanpa pemanasan. Pada penelitian ini, metoda penambahan
pemlastis dilakukan dengan cara hot mixing.
Dietilen glikol (HO-CH2-CH2-O-CH2-CH2-OH) merupakan senyawa
yang tidak berwarna, hampir tidak berbau, dan higroskopis dengan titik didih
244-245oC. Dietilen glikol dapat bercampur dengan air, alkohol, eter, aseton,
etilen glikol dan tidak dapat bercampur dengan karbon tetraklorida, benzene
dan toluen (Merck, 1999). Struktur molekul dietilen glikol dapat dilihat pada
Gambar 2.
Menurut Bandrup et al. (1999), kelarutan pemlastis dalam polimer
diperkirakan dari perbandingan nilai polimer dan yang ditambahkan. Nilai
merupakan nilai yang menunjukkan kuat tarik antar molekul suatu bahan.
Perbedaan parameter kelarutan yang kecil ( polimer pemlastis/pelarut)
menunjukkan kelarutan yang baik.

OH CH2 CH2 OH

CH2 O CH2

Gambar 2. Struktur Molekul Dietilen Glikol (Merck, 1999).

F. PROSES KULTIVASI PHA

Dua macam media yang secara umum digunakan pada bioreaktor


adalah media buatan yang mengandung sumber karbon seperti glukosa,
fruktosa dan karbohidrat lainnya, serta CO2.(NH4)2SO4 atau amonia sebagai
sumber nitrogen. Beberapa komposisi lain seperti phospor, magnesium,
kalsium juga dibutuhkan oleh mikroorganisme (Anonim, 1999). Media
propagasi dan fermentasi mengandung berbagai komposisi yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan R. eutropha, salah satunya adalah hidrolisat pati sagu yang
merupakan sumber karbon (C) bagi R. eutropha. Kebutuhan hidrolisat pati
sagu pada media adalah 30 gram per liter (Atifah, 2006).
Rasio C:N dalam biosintesis PHB sangat berpengaruh. Rasio C:N yang
tinggi akan meningkatkan sintesis PHB di dalam sel (Lafferty et al. di dalam
Rehm dan Reid, 1988). Menurut Suryani et al. (2001) perbandingan sumber
karbon (C) dan sumber nitrogen (N) 10 : 1 mampu menghasilkan rendemen
PHA oleh R. eutropha yang tertinggi. Chakroborty et al. (2004) juga
melaporkan bahwa pada rasio C : N adalah 10 : 1, R. eutropha menunjukkan
laju pertumbuhan spesifik dan pertumbuhan sel yang optimum bila
dibandingkan dengan rasio 5 : 1 atau 15 : 1.
Pada bioreaktor, mikroorganisme tumbuh pada kondisi yang
terkendali. Sistem biologis sangat sensitif terhadap perubahan kondisi
lingkungan, suhu, pH, konsentrasi oksigen terlarut pada proses aerob dan
parameter-parameter lain yang harus dikontrol secara hati-hati dan tepat
(Anonim, 1999).
Menurut Anonim (1999), proses produksi PHA baik secara batch,
semi-batch maupun continue diketahui mampu bekerja memproduksi PHA.
Namun menurut Atifah (2006), perlakuan pengumpanan pada fermentasi fed-
batch berpengaruh signifikan terhadap peningkatan konsentrasi PHA dan
rendemen PHA dalam sel, tetapi tidak berpengaruh terhadap peningkatan
konsentrasi sel dibandingkan dengan fermentasi secara batch. Menurut Atifah
(2006), bahan yang diumpankan pada proses kultivasi adalah hidrolisat pati
sagu karena pengumpanan dengan hidrolisat pati sagu pada awal fase stationer
merupakan perlakuan terbaik untuk menghasilkan konsentrasi sel dan
konsentrasi PHA tertinggi.
Disampaikan juga oleh Atifah (2006) bahwa pertumbuhan R. eutropha
pada hidrolisat pati sagu mengalami fase pertumbuhan secara logaritmik
sampai jam ke-24 kemudian melambat dan memasuki fase stationer mulai jam
ke-48. Pada jam ke-48 dilakukan pengumpanan hidrolisat pati sagu karena
diperkirakan bahwa sumber karbon yang terdapat di dalam cairan kultivasi
mulai habis sedangkan kondisi bakteri untuk dapat memproduksi PHA adalah
pada keadaan sumber karbon yang tersedia berlebih sedangkan sumber lain
seperti nitrogen sangat terbatas.
Proses pengumpanan dilakukan untuk menjaga konsentrasi sumber
karbon tetap berada pada rentang yang optimal bagi akumulasi PHA (Lee dan
Choi dalam Babel dan Steinbuchel, 2001). Menurut Atifah (2006), secara
umum sumber karbon yang diumpankan pada awal fase stasioner tidak banyak
digunakan untuk memperbanyak sel. Substrat dikonsumsi tidak hanya untuk
memenuhi kebutuhan karbon, energi dan komponen struktural untuk
pertumbuhan sel, namun juga digunakan untuk pemeliharaan viabilitas sel
seperti mekanisme perbaikan sel, proses transpor substrat, pemeliharaan
membran, dan pembentukan produk PHA. Dengan perlakuan pengumpanan,
sel mengalami fase stasioner yang panjang. Sampai akhir fermentasi, sel
belum masuk pada fase penurunan yaitu laju kematian lebih besar
dibandingkan laju pertumbuhan. Sel cenderung survive dengan adanya PHA di
dalam sel yang berfungsi sebagai cadangan karbon/energi.
Menurut Zahra (2003), terjadi kecenderungan penurunan pH selama
kultivasi R. eutropha akibat terjadinya pembentukan asam sebagai hasil
metabolisme R. eutropha. Mekanisme penurunan pH akibat penambahan
amoniak (Wang et al., 1978) yaitu amoniak yang dalam keadaan terdisosiasi
(NH4+) akan mengalami penggabungan dengan mikroorganisme membentuk
R-NH3 dan selanjutnya melepaskan ion H+ ke dalam kultur. PH optimum
untuk pertumbuhan bakteri umumnya adalah 6,5-7,5 sehingga jika pH
dibawah 5,0 atau diatas 8,5 akan menyebabkan pertumbuhan bakteri menjadi
tidak baik (Fardiaz, 1987).
Kim et al. (1994) menyatakan bahwa biomassa yang dihasilkan dari
kultivasi R. eutropha yang dihasilkannya adalah 164 g/l dan PHB yang
dihasilkan 121 g/l atau produktivitas polimer mencapai 2,42 g/l/jam. Nilai ini
merupakan nilai yang paling tinggi yang pernah dilaporkan untuk produksi
PHA dengan cara fermentasi. Sugiarti (2003) telah menghasilkan total
biomassa sebesar 4,45 g/l sedangkan Ayorinde et al. (1998) hanya
menghasilkan biomassa sebesar 0,15-0,28 g/l. Menurut Lafferty et al. dalam
Rehm dan Reed (1988), akumulasi PHA dapat ditingkatkan dengan membuat
kondisi pertumbuhan yang tidak seimbang misalnya ketika nutrisi seperti
nitrogen phospor atau sulfat dibatasi, ketika konsentrasi oksigen rendah atau
ketika perbandingan C:N pada substrat yang diumpankan tinggi.
G. PROSES HILIR PHA

Menurut Doi (1990) dan Lee (1996), ada beberapa metode yang telah
banyak digunakan untuk memperoleh PHA. Metode itu antara lain ekstraksi
pelarut, proses digest dengan sodium hipoklorit dan proses digest secara
enzimatis. Menurut Lafferty et al. dalam Rehm dan Reed (1988), proses
pemisahan biomassa yang mengandung PHA biasa dilakukan dengan cara
sentrifugasi atau flokulasi dan sentrifugasi, kemudian tahap selanjutnya adalah
pemisahan PHB/PHAs dari biomassa.
Metoda ekstraksi pelarut dapat diaplikasikan pada berbagai
mikroorganisme penghasil PHA, walaupun jumlah pelarut yang dibutuhkan
besar karena larutan PHA memiliki kekentalan yang sangat tinggi (Randall et
al, 2001). Menurut Lee (1996), PHA dapat larut kedalam pelarut seperti
kloroform, metil klorida atau 1,2-dikloroetana. Ketiga pelarut ini dapat
digunakan untuk mengekstrak PHA dari biomassa bakteri. PHA memiliki
kelarutan yang tinggi dalam kloroform (Laffarty et al. dalam Rehm dan Reed,
1988). Doi (1990) menjelaskan metoda ekstraksi dengan kloroform. PHA di
ekstrak dengan kloroform panas dalam sebuah soxhlet apparatus selama 1
jam. Kemudian, PHA yang telah diekstrak dipisahkan dari lemak dengan
menggunakan dietil eter, heksan, methanol atau etanol. Tahap terakhir, PHA
dilarutkan kembali ke dalam kloroform dan kemudian dimurnikan dengan
heksan. Lain halnya dengan Randall et al. (2001) yang melakukan ekstraksi
PHA dengan cara menambahkan 50 ml kloroform kedalam biomassa kering
dan diaduk dengan menggunakan stirer pada suhu 50oC selama 24 jam. Senior
et al. (1982) menyatakan bahwa sel kering diekstraksi dengan pelarut pada
suhu diatas 40oC dan bobot pelarut saat proses ekstraksi adalah 10-100 kali
dari bobot kering sel.
Metoda digest menggunakan hipoklorit mampu memisahkan sebagian
besar materi sel non-PHA selama proses. Hal ini mengakibatkan terpisahnya
PHA dari sel. Namun konsentrasi hipoklorit yang tinggi mampu mendegradasi
PHA. Proses degradasi PHA oleh hipoklorit akan meningkat seiring dengan
meningkatnya konsentasi hipoklorit yang digunakan (Hahn et al. 1994).
H. PEMBUATAN LEMBARAN BIOPLASTIK

Menurut Ramsay et al. (1993), terdapat dua macam cara pembuatan


film PHB. Solvent-cast film dibuat dengan cara menuangkan larutan
kloroform-PHB 5% (b/v) pada sebuah plat kaca atau teflon. Pelarut kemudian
dievaporasi dan film yang terbentuk dibiarkan selama dua minggu pada suhu
ruang untuk mencapai keseimbangan kristalinitas. Lafferty et al. di dalam
Rehm dan Reid, (1998) menjelaskan bahwa derajat kristalisasi PHB sangat
dipengaruhi oleh penyiapan bahan PHB tersebut. Jika lelehan sampel PHB
(dipanaskan sampai 160oC) didinginkan secara lambat (24 jam) sampai
suhunya mencapai suhu ruang, kristalinitas PHB yang terbentuk dapat
mencapai 86%. Sampel amorf PHB dapat diperoleh dengan cara melakukan
pendinginan lelehan PHB secara cepat ke suhu ruang. Heat-pressed film
dibuat dengan cara menuangkan larutan 25% PHB (b/v) pada plat kaca, lalu
dikeringkan semalam pada suhu ruang dan kemudian ditempatkan diantara
dua lembar lempeng cetakan yang dibungkus aluminium foil. PHB dalam
cetakan lalu di-press pada suhu 155-160oC pada tekanan 5000 lb/in2 selama
satu menit.
Menurut Latief (2001), kemampuan suatu bahan dasar dalam
pembentukan film dapat diterangkan melalui fenomena fase transisi kaca.
Pada fase tertentu diantara fasa cair dengan padat, massa dapat dicetak atau
dibentuk menjadi suatu bentuk tertentu pada suhu dan kondisi lingkungan
yang tertentu. Fase transisi kaca biasanya terjadi pada bahan berupa polimer.
Suhu saat fase transisi kaca terjadi disebut sebagai titik fase kaca (glassy
point). Pada suhu tersebut bahan padat dapat dicetak menjadi suatu bentuk
yang dikehendaki, misalnya bentuk lembaran tipis (film) kemasan.
Spink dan Waychoff di dalam Modern Plastic Encyclopedia (1958)
menjelaskan teori mengenai reaksi yang terjadi antara pemlastis dan suatu
polimer. Pemlastis yang ditambahkan pada suatu bahan polimer resin akan
tersisip secara fisika di antara rantai-rantai polimer tersebut. Penambahan
pemlastis dapat mengakibatkan terbentuknya ikatan yang hilang. Ikatan baru
yang terbentuk biasanya ikatan jembatan hidrogen antara polimer resin dan
pemlastis tersebut (Spink dan Waychoff di dalam Modern Plastic
Encyclopedia, 1958). Ikatan hidrogen merupakan sejenis interaksi elektrostatis
diantara molekul yang hidrogennya terikat pada atom elektronegatif (F, N, O).
Ikatan tersebut terjadi akibat adanya gaya tarik-menarik elektron dari atom
elektronegatif. Kekuatan ikatan hidrogen kira-kira sepersepuluh ikatan
kovalen normal. Meskipun demikian, ikatan hidrogen mempengaruhi sifat
fisik (Sukardjo, 1985).

I. KARAKTERISTIK BIOPLASTIK

Keberhasilan suatu proses pembuatan film kemasan plastik


biodegradabel dapat dilihat dari karakteristik film yang dihasilkan.
Karakteristik film yang dapat diuji adalah karakteristik mekanik,
permeabilitas dan nilai biodegradabilitasnya (Latief, 2001).
Kuat tarik adalah tegangan regangan maksimum yang dapat diterima
sampel (Surdia dan Saito, 1995). Kuat tarik dapat dipengaruhi oleh bahan
pemlastis yang ditambahkan dalam proses pembuatan film, sedangkan
perpanjangan putus adalah perubahan panjang maksimum yang dialami
plastik pada saat pengujian kuat tarik (Datsko, 1996).
Elastisitas akan menurun seiring dengan meningkatnya jumlah bahan
pemlastis dalam film. Elastisitas adalah sifat benda yang mengalami
perubahan bentuk atau deformasi secara tidak permanen (Dede, 2006). Benda
dapat dikatakan elastis sempurna artinya jika gaya penyebab perubahan
bentuk hilang maka benda akan kembali ke bentuk semula. Banyak benda
yang bersifat elastis sempurna yaitu mempunyai batas-batas deformasi yang
disebut limit elastis sehingga jika melebihi dari limit elastik maka benda tidak
akan kembali ke bentuk semula. Sifat yang lain adalah sifat plastis atau sifat
tidak elastis dan perubahan cenderung tidak kembali ke bentuk semula,
misalnya lilin. Perbedaan antara sifat elastis dan plastis adalah pada tingkatan
dalam besar atau kecilnya deformasi yang terjadi (Dede, 2006).
Permeabilitas suatu film kemasan adalah kemampuan film melewatkan
partikel gas dan uap air pada suatu unit luasan bahan pada suatu kondisi
tertentu. Nilai permeabilitas sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sifat kimia
polimer, struktur dasar polimer, dan sifat komponen permeant (Latief, 2001).
Titik leleh (Tm) adalah suhu pada saat rantai polimer berada dalam
daerah berkristal polimer terpisah, sehingga memungkinkan polimer untuk
mengalir (meleleh). Penentuan titik leleh dilakukan dengan menggunakan
DSC (Differential Scanning Calorymetry) (Cowd, 1991). Pada DSC terdapat
dua wadah kecil berbahan logam, satu diisikan sampel polimer dan yang
lainnya dengan bahan kontrol. Masing-masing wadah berisi sampel dan bahan
kontrol dipanaskan dan suhu tiap wadah dimonitor oleh sensor panas. Jika
sampel secara tiba-tiba menyerap panas selama proses transisi, perubahan
akan dideteksi oleh sensor. Perubahan ini akan menyebabkan mulai
dialirkannya arus panas yang lebih besar untuk mengganti kehilangan panas
yang terjadi. Jika perubahan ini dimonitor secara teliti, maka akan
menghasilkan ukuran suhu transisi (Allcock dan Lampe, 1981).
Aplikasi spektroskopi infra merah sangat luas baik untuk analisis
kualitatif maupun kuantitatif. Kegunaan yang paling penting adalah untuk
identifikasi senyawa organik karena spektrumnya sangat kompleks terdiri dari
banyak puncak-puncak. Spektrum infra merah dari senyawa organik
mempunyai sifat fisik yang khas, artinya kemungkinan dua senyawa
mempunyai spektrum sama adalah kecil sekali (Nur, 1989).
FTIR (Fourier Transform Infra Red Spectroscopy) digunakan untuk
menganalisis gugus-gugus fungsi penyusun bioplastik. Dengan spektrum infra
merah tersebut akan dapat diketahui beberapa sifat dari suatu senyawa.
Menurut Nur (1989), teori spektoskopi absorpsi infra merah yakni senyawa
organik menyerap radiasi elektromagnetik pada daerah inframerah. Radiasi
inframerah tidak mempunyai energi yang cukup untuk mengeksitasi elektron
tapi dapat menyebabkan senyawa organik mengalami rotasi dan vibrasi.
Radiasi inframerah dengan frekuensi kurang dari 100 cm-1 atau dengan
panjang gelombang lebih dari 100 m diserap oleh molekul organik dan
dikonversi ke dalam energi rotasi molekul. Bila radiasi inframerah dengan
frekuensi dalam kisaran 10000 sampai 100 cm-1 atau dengan panjang
gelombang 1-100 m diserap oleh molekul organik dan dikonversi ke dalam
energi vibrasi molekul.
Semua molekul terdiri dari atom yang dihubungkan melalui ikatan
kimia. Atom-atom di dalam suatu molekul tidak diam melainkan bervibrasi
(bergetar) dengan frekuensi tertentu. Pergerakan internal pada sistem
meningkat jika ada energi (infra merah) melewatinya. Infra merah yang
dipancarkan pada suatu bahan akan mengakibatkan molekul-molekul bahan
menyerap energi pada bagian ikatannya sehingga sinar yang berhasil melewati
bagian tersebut akan berkurang intensitasnya. Persentase intensitas infra
merah yang diserap diplotkan dengan frekuensi sehingga diperoleh spektrum
infra merah (Kemp, 1979). Ditambahkan oleh Nur (1989), bahwa detektor
pada spektrofotometer infra merah merupakan alat yang dapat mengukur atau
mendeteksi energi radiasi akibat pengaruh panas. Signal yang dihasilkan dari
detektor kemudian direkam sebagai spektrum infra merah yang berbentuk
puncak-puncak absorpsi. Spektrum infra merah ini menunjukkan hubungan
antara absorbsi dan frekuensi atau bilangan gelombang atau panjang
gelombang. Sebagai absis adalah frekuensi (cm-1) atau bilangan gelombang
(cm-1) atau panjang gelombang (m) dan sebagai ordinat adalah transmitant
atau absorbans.
Pengukuran derajat kristalinitas dilakukan dengan pendekatan hasil uji
DSC berdasarkan perubahan entalpi yang terjadi saat tercapai suhu pelelehan.
Menurut Hahn et al. (1995), PHA dengan derajat kristalinitas 100% akan
mempunyai perubahan entalphi sebesar 146 J/g. Menurut Knapczyk dan
Simon di dalam Kent (1996), struktur molekul yang susunan keteraturannya
tinggi disebut kristalin. Daerah kristalin disebut kristalit yang berada pada
daerah matriks polimer. Struktur molekul yang susunannya tidak teratur
disebut amorf. Secara umum termoplastik yang kristalinnya tinggi, lebih
resistan terhadap pelarut dan meleleh lebih tajam pada suhu tinggi daripada
polimer amorf atau polimer yang kristalinnya rendah. Disisi lain, polimer
dengan kristalin tinggi mempunyai kekakuan yang tinggi, lebih banyak yang
rapuh atau ketahanan guncang yang rendah daripada polimer amorf.
Menurut Anonimc (2006), massa jenis (densitas) adalah pengukuran
massa setiap satuan volume benda. Semakin tinggi massa jenis suatu benda,
maka semakin besar pula massa setiap volumenya. Satuan SI massa jenis
adalah kg/m3, sedangkan satuan lainnya adalah g/cm3. Rumus untuk
menentukan massa jenis adalah:

Keterangan: adalah massa jenis,


m adalah massa,
v adalah volume
III. BAHAN DAN METODE

A. BAHAN DAN ALAT

1. Bahan

Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan lembaran bioplastik


adalah poli--hidroksialkanoat terutama poli--hidroksibutirat (PHB) yang
merupakan hasil kultivasi aerob bakteri Ralstonia eutropha dengan
substrat hidrolisat pati sagu. Proses kultivasi tersebut menggunakan strain
bakteri Ralstonia eutropha IAM 12368 yang diperoleh dari IAM Culture
Collection, Institute of Molecular and Celular Bioscience, The University
of Tokyo. Sumber karbon yang digunakan dalam substrat kultivasi adalah
hidrolisat pati sagu (Metroxylon sp) yang dipersiapkan melalui hidrolisis
enzimatis pati sagu dengan enzim -amilase dan amiloglukosidase.
Bahan-bahan untuk kultivasi bakteri dan isolasi PHA adalah
nutrient broth, hidrolisat pati sagu, (NH4)2HPO4, K2HPO4, KH2PO4,
MgSO4 0,1 M, larutan mikro elemen (FeSO4.7H2O, MnCl2.4H2O,
CoSO4.7H20, CaCl2.7H2O, CuCl2.2H2O, ZnSO4.7H2O), NaOH 0,2 M dan
4 M, H3PO4 1,33 M, antifoam, NaOCl dan methanol untuk proses hilir
PHA serta kloroform yang berguna dalam pemurnian PHA. Pembuatan
lembaran bioplastik dilakukan dengan menggunakan pelarut kloroform
untuk melarutkan PHA dan dietilen glikol sebagai pemlastis.

2. Alat

Alat-alat yang digunakan untuk kultivasi PHA dan pembuatan


lembaran bioplastik adalah bioreaktor dengan volume kerja 10 liter,
sentrifuse, clean bench, hot plate, pendingin tegak, penyaring vakum,
oven, waterbath shaker, termometer, neraca analitik, rotary shaking
inkubator, autoklaf, pH meter, freezer, desikator, pipet mikro dan alat-alat
gelas. Cetakan kaca digunakan pada saat pembuatan lembaran bioplastik.
Peralatan yang digunakan untuk karakterisasi lembaran bioplastik
adalah FTIR (Fourier Transform Infra-Red Spectrofotometer) untuk
mengetahui gugus fungsi PHA dan lembaran bioplastik, DSC (Differential
Scanning Calorimetry) untuk mengetahui Tm (melting point) dan derajat
kristalinitas PHA maupun lembaran bioplastik, dan Universal Testing
Machine (UTM) untuk mengetahui kuat tarik dan perpanjangan putus
lembaran bioplastik.

B. TAHAPAN PENELITIAN

1. Persiapan Bahan Baku Bioplastik

Persiapan bahan baku bioplastik terdiri dari tiga tahap, yaitu


persiapan substrat, kultivasi Ralstonia eutropha, dan proses hilir PHA.

a. Persiapan Substrat

Tahap persiapan substrat meliputi proses pembuatan hidrolisat


pati sagu secara enzimatis serta persiapan kultur dan media fermentasi.
Proses pembuatan hidrolisat pati sagu dilakukan berdasarkan
penelitian dari Akyuni (2003) yang dimodifikasi dari Maiden (1970),
Fullbrook (1984) dan Subarna (1984). Proses pembuatan tersebut
dilakukan secara enzimatis yang terdiri dari dua tahap yaitu likuifikasi
dan sakarifikasi. Proses likuifikasi menggunakan enzim -amilase dan
dilakukan pada suhu 90-95oC sedangkan proses sakarifikasi
menggunakan enzim amiliglikosidase. Diagram proses pembuatan
hidrolisat pati sagu dapat dilihat pada Lampiran 1.
Media propagasi dan fermentasi mengandung berbagai
komposisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan R. eutropha, salah
satunya adalah hidrolisat pati sagu yang merupakan sumber karbon (C)
bagi R. eutropha. Kebutuhan hidrolisat pati sagu pada media adalah 30
gram per liter (Atifah, 2006) atau sekitar 9,608 ml untuk media
propagasi II setelah dikonversi dengan perhitungan yang dapat dilihat
pada Lampiran 7.
Pemeliharaan kultur R. eutropha dilakukan dengan cara
menyimpan kultur dalam bentuk kering-beku, selain itu juga dipelihara
dalam media cair nutrient broth pada suhu 4oC dan disegarkan setiap 2
minggu dengan kondisi inkubasi 34oC selama 24 jam untuk
pertumbuhan R. eutropha. Persiapan kultur dilakukan dengan
menumbuhkan R. eutropha sebanyak 10% v/v ke dalam media
propagasi I yang berupa nutrient broth (NB) steril (1 ml kultur
kedalam 9 ml NB). Nutrient broth adalah media pertumbuhan yang
baik bagi bakteri sehingga R. eutropha yang merupakan bakteri gram
negatif (Fardiaz, 1992) diharapkan dapat tumbuh dengan baik pula
pada media NB. Setelah propagasi I, kultur NB dikocok dalam
waterbath shaker dengan kondisi suhu 34oC dan agitasi 150 rpm
selama 24 jam. Kondisi ini berdasarkan penelitian yang dilakukan
Atifah (2006).
Media fermentasi yang digunakan merupakan media E
(Ayorinde et al., 1998) yang dimodifikasi sehingga rasio C/N adalah
10 : 1 (Wicaksono, 2003), konsentrasi awal fosfat (K2HPO4) 5,8 g/l
(Atifah, 2006) dengan hidrolisat pati sagu sebagai sumber karbon,
(NH4)2HPO4 sebagai sumber nitrogen serta (NH4)2HPO4 dan KH2PO4
sebagai sumber fosfat. Sumber nitrogen (N) yang digunakan pada
kultivasi RE adalah (NH4)2HPO4. Perhitungan jumlah (NH4)2HPO4
yang dibutuhkan dapat dilihat pada lampiran 7.
Komposisi media propagasi dan media fermentasi (Atifah,
2006) dapat dilihat pada Tabel 2 berikut:
Media
Propagasi II Propagasi III Fermentasi
Bahan
(90 ml) (900 ml) (9000 ml)
Sirup 9,608 ml 96,085 ml 960,854 ml
(NH4)2HPO4 0.566 gr 5.658 gr 56.577 gr
K2HPO4 0.522 gr 5.22 gr 52.2 gr
KH2PO4 0.342 gr 3.42 gr 34.2 gr
MgSO4 0.1 M 0.9 ml 9.0 ml 90 ml
Mikro Elemen 0.009 ml 0.9 ml 9 ml
Larutan mikroelemen (dalam g/l HCl 1 N) terdiri dari 2,78 g
FeSO4.7H2O, 1,98 g MnCl2.4H2O, 2,81 g CoSO4.7H20, 1,67 g
CaCl2.2H2O, 0,17 g CuCl2.2H2O, dan 0,29 g ZnSO4.7H2O. Hidrolisat
pati sagu ditepatkan pH-nya menjadi 7 dengan NaOH 4 M sedangkan
media E modifikasi diset pH-nya menjadi 7 dengan H3PO4 1,33 M.
Komposisi media fermentasi dapat dilihat pada Tabel 2. Pelarutan
masing-masing garam dalam aquades secara terpisah akan lebih mudah
terjadi bila dibandingkan dengan melarutkan seluruh garam secara
bersama-sama. Semua bahan untuk media fermentasi kecuali gula
kemudian dicampurkan secara merata. Penepatan volume media
dilakukan dengan penambahan aquades. PH campuran garam dan gula
kemudian ditepatkan menjadi 7 dengan menggunakan NaOH 4 M dan
H3PO4 1,33 M. Hidrolisat pati sagu dan media E modifikasi kemudian
disterilisasi pada wadah terpisah dengan suhu 121oC selama 15 menit
untuk menghindari reaksi pencoklatan. Selanjutnya media didinginkan
(30oC) dan siap digunakan sebagai media propagasi maupun media
fermentasi.

b. Produksi PHA secara Fed Batch

Produksi PHA dengan cara kultivasi secara fed batch dengan


R. eutropha dilakukan pada bioreaktor skala 15 liter, volume kerja 10
liter (Gambar 3). Kultivasi dilakukan pada suhu 34oC, agitasi 150 rpm,
pH 7 dan aerasi 0,2 vvm. Proses kultivasi dilakukan selama 96 jam
dengan pengumpanan pada jam ke-48. Umpan berupa hidrolisat pati
sagu yang setara dengan 20 gram gula per liter kultur atau sekitar
640,57 ml dengan kecepatan pengumpanan konstan 16,6 ml/menit.
Diagram alir kultivasi PHA dapat dilihat pada Lampiran 2.
Gambar 3. Bioreaktor kapasitas 15 liter

c. Proses hilir PHA (modifikasi Van Wegen et al., 1998, Williamson,


D. H. dan J. F. Wilkinson, 1958 di dalam Lafferty et al.,1988).

Proses hilir PHA diawali dengan proses ektraksi menggunakan


NaOCl dan dilanjutkan dengan proses pemurnian dengan cara
ekstraksi pelarut. Proses ekstraksi menggunakan NaOCl dilakukan
melalui sentrifugasi lima tahap dengan kecepatan 13000 rpm. Waktu
sentrifugasi pada masing-masing tahap adalah sepuluh menit.
Sentrifugasi tahap pertama bertujuan untuk memisahkan biomassa
dengan fase cair. Endapan yang diperoleh pada sentrifugasi pertama
dicuci dengan aquades. Sentrifugasi tahap kedua dilakukan untuk
mengambil biomassa sel yang telah dicuci. Biomassa yang telah dicuci
kemudian ditambah NaOCl 0,2% dan kemudian dilakukan proses
digest selama satu jam untuk mengeluarkan PHA dari biomassa sel.
Proses sentrifugasi ketiga dilakukan untuk memisahkan hasil digest
dengan fase cairnya (NaOCl). Presipitat dari hasil sentrifugasi ketiga
dibilas dengan aquades, kemudian dilakukan sentrifugasi tahap
keempat. Presipitat dari hasil sentrifugasi keempat diambil dan
ditambahkan dengan methanol, kemudian dilakukan sentrifugasi
kelima. Hasil sentrifugasi kelima berupa presipitat dipindahkan ke
cawan petri dan dioven pada suhu 50oC selama 24 jam sehingga
diperoleh PHA kering.
PHA kering yang telah dihasilkan kemudian direfluks dengan
menggunakan kloroform sebagai pelarut. Proses refluks dilakukan
dengan cara melarutkan PHA dalam kloroform. Perbandingan PHA :
kloroform adalah 1 : 50 (b/v) dan proses refluks dilakukan dengan
pengadukan selama 24 jam pada suhu 50oC. Pada akhir proses
refluks, larutan disaring dengan sistem penyaringan vakum
menggunakan kertas saring whatman 42. Filtrat hasil penyaringan
diuapkan pada suhu ruang sehingga diperoleh PHA yang siap
digunakan untuk membuat lembaran bioplastik. Diagram alir proses
hilir dapat dilihat pada Lampiran 3.

2. Pembuatan Lembaran Bioplastik

Proses pembuatan lembaran bioplastik dilakukan dengan cara


pencampuran (blending) antara PHA-pelarut kloroform-pemlastis dietilen
glikol. Pencampuran dilakukan dengan menggunakan stirer diatas hot
plate yang memberikan pemanasan (50oC) selama pengadukan dan
pendingin tegak pada bagian penutup wadah untuk menghindari proses
penguapan pelarut dengan adanya proses kondensasi pada pendingin
tegak.
Pencampuran dilakukan dengan melarutkan 0,260 g PHA ke dalam
pelarut kloroform. Perbandingan antara PHA dengan pelarut kloroform-
pemlastis adalah 1 : 35. Konsentrasi pelarut kloroform dan pemlastis
dietilen glikol yang digunakan tergantung dari persentase pemlastis yang
ingin diuji.
Pembuatan lembaran bioplastik dilakukan dengan penambahan
pemlastis DEG pada berbagai konsentrasi. Konsentrasi yang digunakan
adalah 0% sebagai kontrol (PHA), 10%, 20%, 30% dan 40% (b/b) dari
bobot campuran PHA-DEG. Tahap pertama yang dilakukan yaitu
melarutkan PHA ke dalam kloroform (50oC) selama satu jam. Campuran
PHA yang telah larut sempurna kemudian ditambahkan dengan pemlastis
DEG sesuai dengan konsentrasi yang telah direncanakan pada penelitian
ini selama 0,5 jam pada suhu 50oC hingga homogen.
Larutan homogen yang diperoleh kemudian dicetak pada cetakan
kaca dan diuapkan pada suhu ruang. Setelah seluruh pelarut kloroform
menguap, lembaran bioplastik yang terbentuk dikeluarkan dari cetakan
dan siap untuk diuji karakteristiknya. Diagram alir proses pembuatan
bioplastik dapat dilihat pada Lampiran 4.

3. Karakterisasi Lembaran Bioplastik

Karakterisasi lembaran bioplastik dilakukan dengan pengujian sifat


mekanis, sifat termal, derajat kristalinitas, gugus fungsi dan densitas
lembaran bioplastik. Pengujian sifat mekanis, pengukuran titik leleh dan
derajat kristalinitas dilakukan di Sentra Teknologi Polimer (STP),
Puspiptek-Serpong sedangkan pengukuran gugus fungsi dilakukan di
Laboratorium Rekayasa Reaksi Kimia dan Konversi Gas Alam, Fakultas
Teknik-Universitas Indonesia. Prosedur analisa karakteristik bioplastik
dapat dilihat pada Lampiran 5.

C. ANALISA DATA

Analisa data yang digunakan adalah statistika deskriptif. Statistika


deskriptif adalah metode-metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan
penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna
(Walpole, 1995).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PERSIAPAN BAHAN BAKU BIOPLASTIK

1. Persiapan Substrat

Substrat yang digunakan pada kultivasi R. eutropha adalah


hidrolisat pati sagu yang merupakan sumber karbon bagi R. eutropha dan
diperoleh dengan cara menghidrolisis pati sagu secara enzimatis. Proses
hidrolisis secara enzimatis terdiri dari dua tahap yaitu likuifikasi dan
sakarifikasi. Likuifikasi dengan enzim -amilase berfungsi untuk
memecah ikatan -(1,4) di bagian dalam rantai polisakarida secara acak
menghasilkan glukosa, maltosa, maltodekstrin, dan -limit dekstrin
sedangkan sakarifikasi dengan enzim amiloglikosidase (AMG) mengubah
maltodekstrin menjadi glukosa.
Hidrolisat pati sagu yang dihasilkan pada persiapan substrat ini
berwarna coklat. Pemucatan dengan menggunakan arang aktif tidak
dilakukan karena parameter penting hidrolisat pati sagu yang digunakan
sebagai substrat kultivasi adalah nilai total gulanya. Selain itu, hidrolisat
pati sagu yang dihasilkan ternyata masih banyak mengandung kotoran-
kotoran seperti serat kasar sehingga dilakukan penyaringan dengan sistem
vakum.
Hasil hidrolisis dari 270 g pati sagu adalah 900 ml hidrolisat pati
sagu. Perhitungan nilai total gula dari hidrolisat pati sagu dilakukan
dengan menggunakan metode fenol-sulfat. Nilai total gula yang diperoleh
adalah 281 g/l. Prosedur analisa metode fenol-sulfat dapat dilihat pada
Lampiran 6.

2. Produksi PHA secara Fed Batch

Proses kultivasi dilakukan secara fed-batch (semi-sinambung).


Kultivasi sistem fed-batch mampu meningkatkan konsentrasi PHA dan
rendemen PHA di dalam sel sebesar lebih dari dua kali lipat apabila
dibandingkan dengan kultivasi sistem curah. Bahan yang diumpankan
pada proses kultivasi adalah hidrolisat pati sagu karena pengumpanan
dengan hidrolisat pati sagu pada awal fase stationer menghasilkan
konsentrasi sel dan konsentrasi PHA yang tinggi (Atifah, 2006).
Pada awal kultivasi, warna cairan kultivasi berwarna mendekati
warna hidrolisat pati sagunya. Hal ini dikarenakan hidrolisat pati sagu
yang dihasilkan pada saat hidrolisis pati sagu berwarna coklat karena tidak
dilakukan pemucatan saat proses hidrolisis. Pada jam ke-24, cairan
kultivasi mulai mengalami perubahan yakni warna yang semakin memucat
dan tidak jernih serta viskositas cairan kultivasi meningkat. Hal ini
menunjukkan adanya aktivitas pertumbuhan R. eutropha.
Aktivitas pertumbuhan R. Eutropha saat kultivasi juga dapat
diketahui dengan penurunan pH cairan kultivasi. Hal ini disebabkan
terjadinya pembentukan asam sebagai hasil samping dari proses
metabolisme dan adanya penambahan amonia yang merupakan sumber
nitrogen bagi bakteri. Namun kondisi pH optimum untuk pertumbuhan R.
eutropha adalah 7,0 sehingga saat terjadi perubahan pH saat kultivasi,
dilakukan penambahan NaOH 4 M atau H3PO4 1,33 M hingga pH 7,0
kembali tercapai.

3. Proses Hilir PHA

Proses hilir dilakukan setelah proses kultivasi selama 96 jam.


Proses hilir bertujuan untuk memisahkan PHA dari komponen pengotor
seperti asam nukleat, protein, lemak maupun sisa media yang masih ada.
Proses hilir PHA diawali dengan proses ekstraksi melalui digest
menggunakan NaOCl dan dilanjutkan dengan proses pemurnian melalui
ekstraksi menggunakan kloroform.
Proses ekstraksi biomassa dari cairan kultivasi dilakukan dengan
cara sentrifugasi lima tahap. Sentrifugasi tahap pertama bertujuan
memisahkan biomassa sel dalam cairan kultivasi. Biomassa sel yang
diperoleh dicuci dengan menggunakan akuades. Pencucian ini
dimaksudkan untuk memperoleh biomassa yang lebih bersih sehingga
nantinya dapat meningkatkan kemurnian PHA yang dihasilkan. PHA
merupakan produk intraseluler sehingga harus dikeluarkan dari biomassa
sel dengan cara digest menggunakan NaOCl. Proses digest dilakukan
dengan menambahkan larutan NaOCl ke dalam biomassa sel yang telah
dicuci, kemudian larutan biomassa dalam NaOCl diaduk dengan
menggunakan shaker. Selama proses digest, dinding sel dan komponen
non-PHA akan terlarut dalam NaOCl sementara PHA tidak larut. PHA
yang tidak larut tersebut dapat dipisahkan dari larutan NaOCl melalui
sentrifugasi. Penambahan methanol pada PHA yang diperoleh akan
melarutkan pengotor yang mungkin masih terkandung dalam PHA, seperti
lemak dan pigmen yang berasal dari biomassa sel. Selain itu diketahui
bahwa methanol tidak dapat melarutkan PHA sehingga pada proses
penambahan methanol tidak berpeluang terjadi degradasi molekul PHA.
Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Senior et al. (1982) yang
menyatakan bahwa methanol tidak dapat melarutkan PHA yang terdapat di
dalam sel bakteri tetapi dapat melarutkan lemak dan pigmen yang terdapat
di dalam sel. Cairan yang tidak dapat melarutkan PHB adalah aseton dan
methanol. Pada akhir proses ekstraksi diperoleh PHA kering hasil
pengovenan seperti yang terlihat pada Gambar 4. Rendemen dari proses
ekstraksi dengan NaOCl sebesar 4,04 g/l cairan kultivasi.

Gambar 4. PHA kering hasil ekstraksi dengan NaOCl


PHA kering hasil ekstraksi dengan NaOCl tidak dapat membentuk
lembaran bioplastik sehingga perlu dilakukan pemurnian PHA lebih lanjut.
Pemurnian PHA selanjutnya dilakukan dengan ekstraksi menggunakan
kloroform. Kloroform yang digunakan mampu melarutkan PHA
sedangkan komponen non-PHA tidak dapat larut pada kloroform.
Komponen non-PHA dapat dipisahkan dari larutan kloroform dengan cara
penyaringan vakum sehingga filtrat hasil penyaringan merupakan PHA
yang terlarut dalam kloroform. Kloroform diuapkan sehingga dihasilkan
PHA yang lebih murni. Gambar 5 merupakan PHA hasil ekstraksi dengan
kloroform. Proses ekstraksi dengan kloroform menghasilkan PHA
sebanyak 25-40% dari PHA kering hasil ekstraksi dengan NaOCl atau
sekitar 1,01-1,62 g/l cairan kultivasi.
Rendemen PHA hasil proses hilir ini lebih rendah dibandingkan
dengan Randall et al. (2001) yang menghasilkan 45% dari bobot kering sel
dan Lee (1996) yang menyampaikan bahwa Ralstronia eutropha adalah
strain bakteri yang mampu menghasilkan PHA lebih dari 80% berat
keringnya. Perbedaan rendemen dapat terjadi karena strain bakteri yang
digunakan, substrat yang digunakan, waktu pemanenan, kondisi
pertumbuhan saat kultivasi, faktor pembatas pertumbuhan dan metode
ekstraksi (isolasi) yang berbeda. Strain bakteri yang tidak segar akan
menyebabkan kualitas strain bakteri tersebut menurun sehingga
kemampuan pertumbuhan dan kemampuan mensintesa PHA semakin
menurun. Pertumbuhan dan kemampuan mensintesa PHA dari strain bakteri
dipengaruhi oleh kondisi pertumbuhan bakteri saat kultivasi. Kurang
optimalnya kondisi pertumbuhan seperti pH, suhu, aerasi, agitasi, nutrien,
lama kultivasi dan waktu pengumpanan menyebabkan pertumbuhan bakteri
tidak maksimal dan proses sintesa PHA dalam bakteri menjadi terhambat.
Metoda isolasi dan proses ekstraksi PHA yang kurang optimal juga dapat
menyebabkan rendahnya rendemen PHA yang dihasilkan. Selain itu,
menurut Anonim (1999), faktor lain yang dapat menyebabkan rendahnya
konsentrasi produk yang dihasilkan dalam bioreaktor adalah adanya media
yang merupakan campuran kompleks antara bahan dengan kelarutan yang
berbeda dan adanya bahan yang tidak larut dalam media sehingga
pembentukan produk (PHA) menjadi sulit.

Gambar 5. PHA hasil ekstraksi dengan kloroform

B. PEMBUATAN LEMBARAN BIOPLASTIK

Proses pembuatan lembaran bioplastik dilakukan melalui metode


pelarutan dengan pemanasan (hot mixing). PHA murni hasil ekstraksi dengan
kloroform dilarutkan dengan kloroform selama satu jam pada suhu 50oC.
Pelarutan PHA dalam kloroform tidak menyebabkan adanya proses reaksi
ataupun pembentukan produk baru karena penambahan pelarut hanya
bertujuan untuk melarutkan PHA sehingga dapat dicetak membentuk
lembaran bioplastik. Pemilihan kloroform sebagai pelarut disebabkan
kelarutan PHA yang tinggi didalam kloroform sedangkan pemilihan
pemanasan suhu 50oC dimaksudkan untuk mempercepat kelarutan PHA dalam
kloroform serta menurunkan viskositas larutan.
Jumlah kloroform sebagai pelarut didasarkan pada perbandingan
jumlah PHA dan pemlastis DEG yang akan ditambahkan. Perbandingan antara
PHA dan pelarut-pemlastis adalah 1 : 35. Tingginya perbandingan ini
dilakukan karena jumlah PHA yang digunakan untuk pembuatan bioplastis
hanya 0,260 gram sehingga bila menggunakan perbandingan yang lebih kecil
akan mengakibatkan sulitnya proses pengadukan dan saat pemanasan, pelarut
akan semakin mudah untuk menguap sehingga larutan menjadi sangat kental
dan akan sulit untuk dikeluarkan dari wadah pengadukan untuk dicetak.
Formulasi bahan dalam pembuatan lembaran bioplastik dibuat sedemikian
hingga total komposisi bahan dari tiap konsentrasi adalah sama.
Formulasi bahan dalam pembuatan lembaran bioplastik dengan
berbagai konsentrasi DEG dapat dilihat pada Tabel 3 dan cara perhitungan
dapat dilihat pada Lampiran 7.

No. Konsentrasi DEG yang PHA Kloroform DEG Total


diinginkan (%) (g) (g) (g) (g)
1. 0 0,26 9,10 0,00 9,36
2. 10 0,26 9,07 0,03 9,36
3. 20 0,26 9,03 0,07 9,36
4. 30 0,26 8,99 0,11 9,36
5. 40 0,26 8,93 0,17 9,36

Hasil pencampuran PHA, kloroform dan DEG kemudian dicetak ke


dalam cetakan kaca. Saat dicetak, kloroform diuapkan pada suhu ruang hingga
semua kloroform teruapkan. Penguapan kloroform dimaksudkan agar
dihasilkan lembaran bioplastik. Proses pembentukan lembaran bioplastik
terjadi karena DEG yang ditambahkan pada larutan PHA tersisip secara fisika
di antara rantai-rantai polimer PHA. Proses ini diilustrasikan seperti pada
Gambar 6.

Polimer

Polimer + Pelarut

Gambar 6. (a). Reaksi antara polimer dan pelarut (b) Reaksi penambahan
pemlastis pada polimer (Spink dan Waychoff di dalam Modern
Plastic Encyclopedia, 1958)

Lembaran bioplastik yang baik dihasilkan pada lembaran bioplastik


dengan penambahan DEG 0%, 10%, 20%, dan 30% sedangkan dengan
penambahan 40% DEG tidak dapat dihasilkan lembaran bioplastik.
Penampakan yang terjadi dari penambahan DEG 40% yakni adanya cairan
yang tidak mengering pada wadah pencetak dan diduga merupakan pemlastis
DEG yang berlebih sehingga lembaran bioplastik tidak dapat terbentuk. DEG
yang berlebih tersebut terjadi karena tidak adanya lagi PHA yang dapat
berikatan dengan DEG. Oleh karena DEG yang ditambahkan bersifat tidak
mudah menguap, DEG yang berlebih akan tetap berada pada cetakan dan
menyebabkan timbulnya cairan serta penampakan basah pada hasil
pencetakan. Hasil pembuatan lembaran bioplastik dapat dilihat pada Gambar 7
berikut:

(a)

(b)

(c)

(d)
Gambar 7. Lembaran bioplastik dengan konsentrasi DEG
10% (a), 20% (b), 30% (c) dan 40% (d)
Pada saat pembuatan lembaran bioplastik, penambahan pemlastis
mengakibatkan terbentuknya ikatan yang hilang. Ikatan baru yang terbentuk
tersebut adalah ikatan jembatan hidrogen antara PHA dan DEG yang terjadi
akibat adanya gaya tarik-menarik elektron dari atom elektronegatif. Ikatan
yang terbentuk antara PHA dan DEG tersebut dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Ilustrasi struktur kimia polimer PHA dengan penambahan


pemlastis DEG (Ikatan hidrogen ditandai dengan garis putus-
putus) (Zahra, 2003)

C. KARAKTERISASI LEMBARAN BIOPLASTIK

Karakterisasi lembaran bioplastik dilakukan setelah proses


pembentukan lembaran bioplastik. Pada karakterisasi lembaran bioplastik,
akan diketahui sifat-sifat fisik dan kimia dari PHA murni dan lembaran
bioplastik. Lembaran bioplastik dibuat dengan penambahan DEG sebagai
pemlastis kedalam PHA murni yang dihasilkan. Hasil karakteristik tersebut
kemudian dibandingkan dengan PP dan PHB menurut Brandl et al. (1990)
(Tabel 4). Uji karakteristik yang dilakukan pada lembaran bioplastik yang
dihasilkan adalah kuat tarik, perpanjangan putus, sifat termal, derajat
kristalinitas, gugus fungsi dan densitas.
Tabel 4. Perbandingan sifat fisik dan kimia polipropilen (PP), poli--
hidroksibutirat (PHB), PHA dan lembaran bioplastik (DEG 20%):
PARAMETER PP* PHB* PHA** Lembaran
bioplastik
(DEG 20%)**
Titik Leleh Tm (oC) 171-186 171-182 168,72 167,51
Kristalinitas (%) 65-70 65-80 50,52 31,45
Densitas (gcm-1) 0,905-0,94 1,23-1,5 0,97 0,67
Kekuatan Tarik(Mpa) 39 40 0,12 0,07
Perpanjangan Putus 400 6-8 7,00 7,01
(%)
Sumber: *Brandl et al (1990) didalam Atkinson dan Mavituna (1991)
**Hasil karakterisasi PHA dan lembaran bioplastik dari kultivasi R.. eutropha
dengan substrat hidrolisat pati sagu

1. Kuat Tarik dan Perpanjangan Putus

Karakteristik mekanik lembaran bioplastik perlu diuji untuk


mengetahui dan menentukan kualitas lembaran bioplastik yang dihasilkan.
Karakteristik mekanik yang biasa diujikan adalah kuat tarik dan
perpanjangan putus. Pengukuran kuat tarik dan perpanjangan putus
dilakukan di Sentra Teknologi Polimer dengan menggunakan alat
Universal Testing Machine (UTM) dengan merek Simadzu AGS-10KNG.
Pengujian dilakukan dengan menggunakan standar ASTM D 882-92
tentang pengukuran kuat tarik film plastik yang sangat tipis (thin plastic
sheeting) dengan ketebalan kurang dari 0,1 mm.
Nilai kuat tarik menunjukkan kemampuan tarik maksimum bahan
dalam menahan beban dan hal tersebut menjadi kemampuan maksimum
bahan menahan gaya yang diberikan. Kuat tarik dari lembaran bioplastik
0% DEG, 10% DEG, 20% DEG, dan 30% DEG masing-masing adalah
0,12 0,09 MPa; 0,11 0,09 MPa; 0,07 0,02 MPa; 0,03 0,03 MPa.
Besarnya faktor koreksi kuat tarik disebabkan oleh ketebalan tiap
lembaran bioplastik yang dianggap sama. Menurut standar pengujian kuat
tarik ASTM D 882-92, ketebalan sampel uji yang kurang dari 1 mm akan
dianggap bahwa sampel yang diuji memiliki ketebalan 1 mm. Pada
kenyataannya, ketebalan sampel lembaran bioplastik yang diuji memiliki
ketebalan yang bervariasi. Ketebalan sampel lembaran bioplastik yang
diuji berkisar 0,2-0,8 mm.
Hasil uji kuat tarik yang dihasilkan pada lembaran bioplastik jauh
lebih rendah bila dibandingkan dengan PHB dalam literatur yakni sebesar
40 MPa (Tabel 4). Hal ini dapat disebabkan oleh bentuk molekul dari
lembaran bioplastik tersebut. Nilai kuat tarik dibawah 40 MPa
menunjukkan bahwa struktur molekul lembaran bioplastik adalah amorf.
Pada struktur molekul yang amorf, rantai-rantai bercabang namun tidak
tersusun secara rapat (tidak kompak) sehingga jarak antar molekul menjadi
lebih jauh dan kekuatan ikatan molekul menjadi melemah. Lemahnya
kekuatan ikatan molekul dalam lembaran bioplastik menyebabkan
semakin rendahnya gaya yang dibutuhkan untuk memutuskan lembaran
bioplastik tersebut.
Gaya yang dibutuhkan untuk memutuskan lembaran bioplastik
ditunjukkan dengan hasil pengujian kuat tarik terhadap lembaran
bioplastik. Hasil pengujian kuat tarik lembaran bioplastik menunjukkan
adanya hubungan antara penambahan konsentrasi DEG dengan kekuatan
tarik lembaran bioplastik. Penambahan konsentrasi DEG mulai dari 0%
hingga 40% memperlihatkan adanya penurunan nilai kuat tarik dari
lembaran bioplastik. Hal ini dapat disebabkan oleh jumlah pemlastis yang
ditambahkan kedalam lembaran bioplastik. DEG yang ditambahkan
tersebut akan mengisi struktur lembaran bioplastik dengan ikatan
hidrogen. Ikatan hidrogen tersebut terjadi antara PHA dan DEG dengan
kekuatan sebesar sepersepuluh ikatan kovalen normal. Walaupun kekuatan
yang dimiliki kecil namun dapat mempengaruhi sifat fisiknya seperti sifat
kuat tarik. Semakin tinggi konsentrasi DEG yang ditambahkan maka
makin banyak ikatan hidrogen yang terbentuk menyebabkan struktur
molekul menjadi tidak teratur (acak) dan lembaran bioplastik yang
dihasilkan cenderung amorf. Bentuk molekul yang amorf cenderung
kurang kompak dibandingkan bentuk molekul kristalin sehingga kekuatan
ikatan yang terdapat di dalam lembaran bioplastik menjadi rendah dan
gaya yang dibutuhkan untuk memutuskan lembaran bioplastik menjadi
semakin kecil (Allcock dan Lampe, 1981).
0,14

Kuat Tarik (MPa)


0,12 0,12
0,10 0,11
0,08
0,07
0,06
0,04 0,03
0,02
0 0
0 10 20 30 40
Konsentrasi DEG (%)
Gambar 9. Grafik hubungan antara konsentrasi DEG (%) dan nilai kuat
tarik (MPa)
Perpanjangan Putus (%)

8
7 7,00 7,01
6,5
6
5
4
3 3,41
2
1
0 0
0 10 20 30 40
Konsentrasi DEG (%)

Gambar 10. Grafik hubungan antara konsentrasi DEG (%) dan nilai
perpanjangan putus (%)

Penambahan pemlastis dapat mengakibatkan terbentuknya ikatan


yang hilang. Ikatan baru yang terbentuk biasanya berupa ikatan jembatan
hidrogen antara polimer resin dan pemlastis. Ikatan tersebut mampu
memperlemah sebagian gaya Van Der Waals melalui penyisipan fisika
pemlastis terhadap polimer-polimer yang menyebabkan bahan resin
tersebut bersifat lebih elastis (Spink dan Waychoff di dalam Modern
Plastic Encyclopedia, 1958).
Perpanjangan putus dari lembaran bioplastik 0% DEG (kontrol),
10% DEG, 20% DEG, dan 30% DEG masing-masing adalah 7,00
3,44%; 6,46 2,96%; 7,01 0,59% dan 3,41 3,30%. Perpanjangan
putus lembaran bioplastik dengan penambahan 10% cenderung stabil
walau memperlihatkan penurunan nilai perpanjangan putus sebesar 0,54%.
Hal ini dikarenakan tingginya faktor koreksi perpanjangan putus lembaran
bioplastik tersebut dan dapat juga disebabkan oleh jumlah DEG yang
ditambahkan tidak cukup banyak untuk membentuk ikatan hidrogen pada
setiap molekul PHA sehingga gaya Van der Waals pada lembaran
bioplastik tersebut masih cukup banyak. Selain itu, faktor sumber PHA
yang digunakan pada pembuatan lembaran bioplastikpun mempengaruhi
sifat fisik. Sumber PHA yang berbeda-beda dapat menghasilkan sifat PHA
yang berbeda pula karena bobot molekul PHA dari proses dapat berbeda-
beda tergantung pada strain mikroorganisme, kondisi pertumbuhan dan
kemurnian PHA itu sendiri. Faktor yang paling berpengaruh untuk
menghasilkan sifat PHA yang baik pada penelitian ini adalah kondisi
pertumbuhan saat kultivasi sehingga kondisi pertumbuhan saat kultivasi
menjadi faktor kritis yang perlu diperhatikan untuk menghasilkan PHA.
Nilai perpanjangan putus tertinggi 7,01% dimiliki oleh lembaran
bioplastik dengan penambahan DEG 20%. Penambahan pemlastis (DEG)
akan membentuk interaksi molekuler rantai polimer untuk meningkatkan
kecepatan respon viskoelastis pada polimer sehingga meningkatkan
mobilitas molekuler rantai polimer (Hammer, 1978). Meningkatnya
mobilitas molekuler rantai polimer menunjukkan bahan semakin plastis
sehingga perpanjangan putus akan semakin meningkat. Peningkatan
perpanjangan putus ini akan terus terjadi selama masih terbentuk interaksi
molekuler rantai polimer (PHA) dengan pemlastis (DEG).
Penambahan pemlastis DEG yang melebihi 20% menyebabkan
penurunan nilai perpanjangan putus lembaran bioplastik. Hal ini dapat
disebabkan oleh jumlah DEG yang ditambahkan pada formulasi
pembuatan lembaran bioplastik tersebut berlebih. DEG yang berlebih ini
terjadi akibat tidak adanya lagi gugus OH dari PHA yang tersedia untuk
berinteraksi dengan DEG sehingga DEG dalam formula menjadi berlebih.
Umumnya suatu bahan yang sama akan saling berkumpul satu sama lain.
Begitu juga halnya dengan DEG yang berlebih pada lembaran bioplastik
ini. DEG berlebih akan berkumpul pada suatu tempat tertentu terutama
pada bagian yang paling lama mengering saat proses penguapan.
Pengumpulan pemlastis ini menyebabkan nilai perpanjangan putus
menjadi menurun hingga bernilai nol pada lembaran bioplastik 40% DEG
karena lembaran bioplastik dengan DEG 40% tidak dapat terbentuk.
Bila dibandingkan dengan PP, nilai perpanjangan putus lembaran
bioplastik yang dihasilkan pada penelitian ini sangat rendah. Hal ini
disebabkan oleh struktur molekul yang sangat berbeda. Pada PP, struktur
molekul berupa rantai lurus sehingga pada saat diregangkan, PP yang
awalnya merupakan gulungan rantai lurus akan mulai teregang secara
terarah (diilustrasikan seperti pada Gambar 11). Berbeda halnya dengan
lembaran bioplastik yang memiliki ikatan hidrogen antara DEG dan PHA
yang membentuk struktur amorf. Struktur amorf tersusun tidak teratur dan
kurang kompak sehingga lembaran bioplastik tidak dapat dimulurkan
hingga 400%.

Tegang
an

Gulungan rantai Terarah


makro-molekul

Tegang
an
Gambar 11. Ilustrasi proses uji kuat tarik dan perpanjangan putus (Allcock
dan Lampe, 1981)

Berdasarkan uji perpanjangan putus, lembaran bioplastik dengan


penambahan DEG sebesar 20% menghasilkan sifat fisik yang terbaik
karena lebih plastis. Oleh karena itu sampel lembaran bioplastik 0% dan
20% DEG digunakan untuk pengujian DSC dan FTIR guna mengetahui
sifat kristalinitas, titik leleh dan gugus fungsi. Hasil uji kuat tarik dan
perpanjangan putus dapat dilihat pada Lampiran 8.

2. Sifat Termal

Sifat termal lembaran bioplastik berupa suhu leleh (melting point,


Tm) dan suhu transisi kaca (glass transition temperature, Tg) yang dapat
diketahui dengan menggunakan Differential Scanning Calorimetry (DSC).
Pengujian sifat termal dilakukan untuk mengetahui karakteristik suatu
bahan berdasarkan fungsi suhu dan waktu. Sampel dipanaskan atau
didinginkan pada laju konstan. Saat sampel dipanaskan, didinginkan atau
didiamkan pada suhu konstan, DSC akan mengukur energi (panas) yang
diserap atau dilepaskan oleh sampel lembaran bioplastik. Hasil analisa
sifat termal dapat dilihat pada Gambar 12.

73,76 J/g

Tm: 168,72oC

(a)

46,67 J/g
46,67 J/g

Tm: 167,51oC
Tm: 167,51oC

(b)
Gambar 12. Spektra DSC lembaran bioplastik 0% DEG (a), 20% DEG (b)
Hasil uji DSC menghasilkan peak yang mengarah kebawah. Hal ini
menandakan bahwa sampel menyerap energi kalor sehingga entalpi akan
berubah. Oleh karena sampel menyerap energi maka proses yang terjadi
adalah proses endoterm. Penyerapan energi menyebabkan terjadinya
pelelehan sampel. Pada suhu terjadinya pelelehan sampel, dicapai puncak
absorbsi energi kalor yang ditunjukkan dengan peak. Peak tersebut
merupakan suhu pelelehan sampel (Tm).
Dari hasil spektra DSC terhadap lembaran bioplastik 0% DEG dan
20% DEG yang merupakan hasil terbaik dari lembaran bioplastik dengan
konsentrasi lain menghasilkan jumlah peak yang berbeda. Bioplastik 0%
DEG memiliki dua buah peak yaitu pada 149,84oC dan 168,72oC. Peak
149,84oC berbentuk landai dan tidak terjal/tajam sedangkan peak 168,72
berbentuk sangat tajam. Berbeda halnya dengan lembaran bioplastik 20%
DEG. Lembaran bioplastik ini memiliki tiga buah peak yaitu pada suhu
32,71oC; 133,1oC dan 167,51oC. Peak 31,71oC dan 133,1oC berbentuk
landai seperti lembah sedangkan peak 167,51oC berbentuk tajam seperti
jurang.
Jumlah peak yang terbentuk dari tiap mengujian menandakan
banyaknya komponen yang terkandung didalam sampel. Pada bioplastik
0%, terdapat dua buah peak dan komponen dominan yang terkandung
dalam sampel akan ditunjukkan dengan bentuk peak yang lebih tajam.
Pada hasil uji ini, suhu 168,72oC merupakan titik leleh dari PHA karena
suhu 168,72oC memiliki peak yang lebih tajam dibandingkan peak pada
suhu 149,84 oC. Titik leleh 168,72oC juga mendekati titik leleh PHB yaitu
171oC (Brandl et al.,1990 dalam Atkinson dan Mavituna, 1991). Peak
149,84oC diduga merupakan titik leleh dari komponen lain yang
terkandung di dalam lembaran bioplastik dan merupakan pengotor pada
lembaran bioplastik.
Sama halnya dengan hasil DSC pada bioplastik 0% DEG, pada
lembaran bioplastik 20% DEG diperoleh adanya tiga buah peak yang
menandakan bahwa sampel lembaran bioplastik yang diuji terdiri dari tiga
komponen. Peak pada suhu 167,51oC diduga merupakan titik leleh
lembaran bioplastik karena pada suhu ini terbentuk peak yang paling tajam
bila dibandingkan dengan dua peak lainnya. Selain itu suhu ini juga dekat
dengan titik leleh PHB yang terdapat pada Brandl et al. (1990) dalam
Atkinson dan Mavituna (1991). Dua peak lainnya yang ditemukan pada uji
DSC ini dimungkinkan adalah titik leleh pengotor yang ada pada lembaran
bioplastik karena kemurnian yang dimiliki PHA dari hidrolisat pati sagu
hanya berkisar 70-80% (Atifah, 2006).
Bila dibandingkan titik leleh lembaran bioplastik 0% dan 20%,
dapat dilihat bahwa terjadi penurunan titik leleh setelah penambahan DEG.
Hal ini dikarenakan terbentuknya ikatan hidrogen yang menyebabkan
struktur molekul menjadi tidak teratur. Struktur yang semakin tidak teratur
menunjukkan peningkatan fraksi amorf dan penurunan fraksi kristalin
(Allcock dan Lampe, 1981). Penurunan fraksi kristalin menyebabkan
penurunan titik leleh bahan. Selain itu, jika suatu polimer semikristalin
mendapat tambahan pemlastis maka akan terjadi penurunan suhu
pelelehan (Tm) dan derajat kristalinitas, pemlastis akan lebih banyak
berinteraksi dengan fase amorf dan sangat sedikit yang berinteraksi
dengan fase kristalin (Billmeyer, 1994).
Tg dapat terdeteksi oleh adanya peak yang berbentuk seperti anak
tangga (tanpa puncak) yang menunjukkan terjadinya peralihan bentuk dari
kaca (glass) ke karet untuk struktur molekul amorf dan peralihan bentuk
dari berkristal/kaca ke termoplastik yang fleksibel untuk struktur molekul
kristalin (Allcock dan Lampe, 1981). Pada hasil DSC tidak terlihat adanya
peak seperti anak tangga ini baik untuk sampel lembaran bioplastik 0%
maupun 20%. Hal ini dapat terjadi karena Tg bahan tidak termasuk pada
rentang suhu yang diuji. Namun melihat luasnya rentang yang digunakan
(-90 sampai 200oC), tidak munculnya Tg mungkin dikarenakan faktor lain
seperti kemampuan sensor alat yang kurang baik.

3. Derajat Kristalinitas

Pengukuran derajat kristalinitas dilakukan dengan pendekatan hasil


uji DSC berdasarkan perubahan entalpi yang terjadi saat tercapai suhu
pelelehan. PHA dengan derajat kristalinitas 100% akan mempunyai
perubahan entalphi sebesar 146 J/g. Dari hasil pengujian DSC
sebelumnya, diketahui bahwa perubahan entalpi untuk lembaran bioplastik
0% DEG adalah 73,76 J/g dan lembaran bioplastik 20% DEG sebesar
46,67 J/g. Berdasarkan apa yang disampaikan Hahn et al. (1995) tersebut
maka dapat diketahui derajat kristalinitas dari tiap sampel yaitu 50,52%
untuk bioplastik 0% DEG dan 31,45% untuk lembaran bioplastik 20%
DEG. Penurunan derajat kristalinitas yang terjadi dari bioplastik 0% DEG
disebabkan oleh pemlastis DEG yang ditambahkan pada saat proses
pembuatan lembaran bioplastik 20% DEG. Hal ini sesuai dengan prinsip
kerja pemlastis yang meningkatkan fraksi amorf bahan dan menurunkan
fraksi kristalin sehingga terjadi penurunan suhu leleh dan derajat
kristalinitas bahan. Hal ini didukung pula oleh pernyataan Knapczyk dan
Simon dalam Kent (1992) bahwa polimer termoplastik yang
kristalinitasnya tinggi meleleh lebih tajam pada suhu tinggi dari pada
polimer amorf. Berdasarkan pernyataan ini dan hasil DSC yang
memperlihatkan tajamnya peak bioplastik 0% dibandingkan 20%, maka
terbukti bahwa terjadi penurunan derajat kristalinitas lembaran bioplastik
dengan adanya penambahan DEG.

4. Gugus Fungsi

Penggunaan Fourier Transform Infra-Red Spectroscopy (FTIR)


dengan merek ATI Mattson dimaksudkan untuk mengetahui gugus fungsi
apa saja yang terkandung oleh suatu bahan, dalam hal ini adalah lembaran
bioplastik. Hasil pengujian FTIR berupa peak-peak yang merupakan
interaksi antara bilangan gelombang dan absorbsi. Peak-peak yang timbul
terjadi akibat adanya radiasi inframerah yang menyebabkan senyawa
organik berotasi dan bervibrasi. Senyawa organik tersebut mempunyai
sifat fisik yang khas sehingga kemungkinan adanya senyawa yang
memiliki spektrum sama sangat kecil. Berikut adalah gambar hasil
pengujian lembaran bioplastik dengan menggunakan FTIR.
(a)

(b)

Gambar 13. Spektra FTIR lembaran bioplastik 0% DEG (a), 20% DEG (b)
Tabel 5. Hasil identifikasi spektrum FTIR lembaran bioplastik
Bioplastik 0% DEG Lembaran bioplastik 20% DEG
Bilangan Bilangan
No Inten- Inten-
Gelombang Identifikasi Gelombang Identifikasi
sitas sitas
(cm-1) (cm-1)
NH amida OH ikatan
1 3440,38 Sedang 3424,95*/** sedang
protein hidrogen
OH C-H
2 2974,79* Sedang 2925,24*/** sedang
karboksilat (stretching)
C-H
3 2931,13* Tajam 2854,13* lemah aldehida
CH
C=O Asam
4 2854,13* Sedang 1720,62* tajam karboksilat
5 1751,04* Tajam C=O ester 1457,92 ttd ttd
6 1455,57* Sedang CH2 1380,78* sedang -CH3
7 1380,61* Tajam CH3 1285,67** tajam C-O eter
8 1310,87 Tajam N=O 1226,72** Sedang C-O eter
1310,87- C-O-C
9 Tajam Sedang C-O eter
1064,10* polimer 1185,58**
979,65- 1132,91**
10 Sedang ttd Tajam C-O eter
462,83
11 1055,22** tajam C-O eter
Catatan: Identifikasi berdasarkan Nur (1985)
ttd = tidak diketahui
* Gugus fungsi PHA
** Gugus fungsi DEG

Dari hasil uji FTIR, diperoleh banyak peak yang mengindikasikan


banyaknya gugus fungsi yang terdapat didalam sampel. PHA memiliki
gugus fungsi dominan antara lain karbonil ester C=O, ikatan polimerik -C-
O-C-, -OH, -CH-, -CH2. Pada hasil uji bioplastik 0% DEG diketahui
bahwa semua gugus dominan dari PHA terkandung di dalam bioplastik
yang diuji, bahkan ditemukan gugus CH3 yang mengindikasikan bahwa
PHA yang terbentuk dari kultivasi R. eutropha adalah PHB.
Pada hasil uji lembaran bioplastik 20% DEG, gugus fungsi dari
PHA masih dimiliki namun tidak ditemukan gugus fungsi ester. Gugus
fungsi ester tidak ditemukan karena telah terbentuk ikatan hidrogen antara
ujung PHA dengan DEG. Hal ini terbukti dengan timbulnya gugus fungsi
OH yang merupakan ikatan hidrogen. Pada lembaran bioplastik 20% DEG
juga ditemukan gugus fungsi C=O dari asam karboksilat. Hal ini
mengindikasikan bahwa bagian yang terdeteksi adalah bagian ujung dari
polimer PHA yang tidak berinteraksi dengan pemlastis sehingga tidak
terbentuk ikatan hidrogen.
DEG memiliki gugus fungsi yang khas yakni gugus eter yang dari
hasil pengujian sangat banyak ditemukan. Hal ini terjadi karena gugus
fungsi eter bersifat stabil dan tidak bereaksi atau memberikan reaksi
kepada molekul lain sehingga setelah pencampuran dengan PHA, gugus
fungsi eter akan terus bertahan atau stabil. Banyaknya peak gugus fungsi
eter yang muncul menunjukkan ketepatan gugus fungsi yang
diidentifikasi. Menurut Nur (1989), gugus fungsional yang memberikan
banyak puncak absorbsi dapat diidentifikasi lebih tepat dari pada gugus
fungsional yang hanya mempunyai satu puncak.

5. Densitas

Densitas lembaran bioplastik dengan penambahan DEG 0%, 10%,


20%, 30% adalah 0,97 g/cm3; 0,88 g/cm3; 0,67 g/cm3; 0,67 g/cm3. Hasil
pengukuran densitas dapat dilihat pada Lampiran 9 dan grafik hasil
pengukuran densitas dapat dilihat pada Gambar 14. Penambahan DEG
sebagai pemlastis memberikan pengaruh pada penurunan densitas
lembaran bioplastik. Hal ini dikarenakan dengan penambahan pemlastis,
lembaran bioplastik semakin bersifat amorf sehingga terjadi penurunan
derajat kristalinitas. Struktur polimer yang kristalin memiliki densitas yang
lebih tinggi karena struktur yang kristalin memiliki susunan polimer yang
lebih teratur sehingga memiliki kerapatan yang lebih tinggi.
Pada hasil pengukuran densitas, diketahui bahwa penambahan
konsentrasi DEG menyebabkan penurunan densitas dari lembaran
bioplastik. Hal ini terjadi karena jika suatu polimer semikristalin mendapat
tambahan pemlastis maka akan terjadi penurunan suhu pelelehan (Tm) dan
derajat kristalinitas (Billmeyer, 1994). Pemlastis akan lebih banyak
berinteraksi dengan fase amorf dan sangat sedikit yang berinteraksi
dengan fase kristalin. Penurunan derajat kristalinitas berarti terjadi
peningkatan jumlah fraksi amorf. Peningkatan jumlah fraksi amorf
menyebabkan bobot polimer pada suatu volume yang sama semakin
rendah akibat struktur molekul yang tidak teratur dan tidak rapat sehingga
densitas bahan juga semakin berkurang.

1,2

1 0,97

Densitas (g/cm3)
0,88
0,8
0,67 0,67
0,6

0,4

0,2

0 0
0 10 20 30 40
Konsentrasi DEG (%)

Gambar 14. Grafik hasil pengukuran densitas lembaran bioplastik

Densitas lembaran bioplastik yang diperoleh dari hasil penelitian


ini bila dibandingkan dengan literatur berdasarkan Brandl et al. (1990)
sangat rendah. Densitas PHB berdasarkan Brandl et al. (1990) adalah
1,23-1,5 g/ml. Secara umum, termoplastik yang memiliki kristalinitas yang
tinggi memiliki densitas yang tinggi pula (Knapczyik dan Simon, 1992).
Termoplastik tersebut bersifat lebih tahan (resistan) terhadap pelarut dan
meleleh pada suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan polimer yang
memiliki kristalinitas lebih rendah. Kristalinitas yang rendah menunjukkan
densitas yang rendah, dengan kata lain banyaknya struktur molekul yang
amorf menyebabkan nilai densitas suatu bahan menjadi rendah pula.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Proses kultivasi R. eutropha secara fed batch dengan substrat hidrolisat


pati sagu menghasilkan biopolimer berupa Polihidroksialkanoat (PHA) yang
memiliki sifat yang mirip dengan polipropilen. Pembuatan lembaran
bioplastik dari biopolimer PHA dilakukan dengan cara pelarutan PHA dalam
kloroform dan penambahan DEG sebagai pemlastis. Suhu proses yang
digunakan adalah 50oC dan perbandingan PHA : kloroform-DEG adalah 1 :
35. Lembaran bioplastik yang terbentuk adalah formulasi dengan penambahan
konsentrasi DEG 0% (kontrol), 10%, 20% dan 30% sedangkan penambahan
konsentrasi DEG sebesar 40% tidak membentuk lembaran bioplastik.
Nilai kuat tarik dari bioplastik 0% (kontrol), 10%, 20% dan 30% DEG
adalah 0,12 0,09 MPa; 0,11 0,09 MPa; 0,07 0,02 MPa; 0,03 0,03 MPa.
Penambahan konsentrasi DEG menyebabkan penurunan kuat tarik lembaran
bioplastik. Perpanjangan putus dari lembaran bioplastik 0% (kontrol), 10%,
20%, dan 30% DEG masing-masing adalah 7,00 3,44%; 6,46 2,96%; 7,01
0,59% dan 3,41 3,30%. Persen perpanjangan putus terbaik dimiliki oleh
bioplastik 20% DEG karena memiliki nilai perpanjangan putus terbesar dan
bersifat lebih plastis. Dengan sifat mekanis ini, dinyatakan bahwa 20% DEG
merupakan konsentrasi DEG terbaik yang dapat ditambahkan untuk
menghasilkan lembaran bioplastik berbahan baku PHA.
Penambahan DEG pada pembuatan lembaran bioplastik menyebabkan
penurunan titik leleh lembaran bioplastik yang dihasilkan. Titik leleh
lembaran bioplastik 0% DEG adalah 168,72oC sedangkan lembaran bioplastik
20% DEG adalah 167,51oC. Demikian halnya dengan derajat kristalinitas
yang mengalami penurunan ketika ditambahkan DEG. Derajat kristalinitas
lembaran bioplastik 0% DEG adalah 50,52% sedangkan 20% DEG adalah
31,45%.
Gugus fungsi dominan PHA yaitu karbonil ester C=O, ikatan
polimerik -C-O-C-, -OH, -CH-, -CH2 dapat ditemukan saat pengujian FTIR.
Gugus fungsi CH3 yang ditemukan menunjukkan bahwa PHA yang dihasilkan
adalah PHB. Pada hasil FTIR 20% DEG ditemukan adanya ikatan hidrogen
dan gugus eter yang merupakan gugus fungsi dominan DEG. Densitas
bioplastik dengan penambahan DEG 0%, 10%, 20%, 30% adalah 0,97 g/cm3;
0,88 g/cm3; 0,67 g/cm3; 0,67 g/cm3. Penambahan pemlastis menyebabkan
penurunan densitas pada sampel yang ditambahkan.

B. SARAN

1. Perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan formulasi


media kultivasi R. eutropha yang sesuai dengan kondisi optimum
pertumbuhan dan kondisi optimum produksi PHA dari R. eutropha.
2. Penelitian mengenai kondisi proses kultivasi yang optimal perlu dilakukan
agar diperoleh rendemen PHA yang jauh lebih tinggi dan kualitas PHA
yang lebih baik.
3. Kajian mengenai jumlah penggunaan kloroform dalam pembuatan
lembaran bioplastik serta waktu pelarutan PHA perlu dilakukan untuk
efisiensi penggunaan bahan kimia dan waktu proses.
4. Teknik pembuatan lembaran bioplastik berbahan baku PHA perlu terus
dikembangkan agar menghasilkan karakteristik lembaran bioplastik yang
lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Abner, L. dan Miftahorrahman. 2002. Keragaan industri sagu Indonesia. Warta


Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Vol 8 No 1. Juni 2002.

Akyuni, D. 2003. Pemanfaatan Pati Sagu (Metroxylon sp.) Untuk Pembuatan


Sirup Glukosa Menggunakan -Amilase dan Amiloglukosidase. Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertania Bogor. Bogor.

Anderson AJ dan Dawes EA. 1990. Occurrence, metabolism, metabolic role, and
industrial uses of bacterial polyhydroxyalkanoates. Microbiol. Rev.
54(4):450-472.

Allcock, H.R. dan F.W. Lampe. 1981. Contemporary Polymer Chemistry.


Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey 07632.

Anonim. 1999. Environmentally Degradable Plastics. Leonardo da Vinci


Program. DGXXII.B.I. - Leonardo da Vinci Section, 200 Rue de la Loi
(JECL 7/34), B-1049 Brussels. Italia. Dalam www.ics.trieste.it

Anonima. 2006. Bioplastik dari Bahan Sagu dan Sawit.


http://www.litbang.deptan.go.id/berita/one/288/. [30 Juni 2006].

Anonimb. 2006. Chloroform. www.encyclopedia.com. [27 September 2006].

Anonimc. 2006. Massa Jenis. http://www.wikipedia.org. [27 September 2006].

Apriyantono, A, D. Fardiaz, N. L. Puspitasari, Sedarnawati dan S. Budiyanto.


1989. Analisa Pangan. Bogor: IPB Press,.

Atifah, N. 2006. Pemanfaatan Hidrolisat Pati Sagu Sebagai Sumber Karbon


Dalam Produksi Bioplastik Poli-(-Hidroksialkanoat) Secara Fed-Batch
Oleh Ralstronia eutropha. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Atkinson, B dan F. Mavituna. 1991. Biochemical Engineering and Biotechnology


Handbook. Second edition. M Stockton Press, New York.

Ayorinde, F.O., K. A. Saeed, A. Price, W. E. Morrow, F. Collins., McInnis S. K


Pollack dan B. E. Eribo. 1998. Production of Poly-(-hydrixybutyrate)
from Saponified Vernonina galamensis oil by Alcaligenes eutrophus.
Journal of Industrial Microbiology ang Biotechnology (1998) 21.pp.46-50.

Babel, W. dan A. Steinbuchel. 2001. Biopolyester: Advances in Biochemical


Engineering/Biotechnology. Vol 71. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Badan Pusat Statistik. 1999. Proyeksi Produksi Plastik Biodegredabel. BPS,
Jakarta.

Badan Standarisasi Nasional. 1992. Sirop Glukosa; SNI 01-2978-1992. Badan


Standarisasi Nasional. Jakarta.

Bailey, J. E. dan D. F. Ollis. 1991. Biochemical engineering fundamental.


McGraw Hill Book Company. New York.

Bandrup, J., E. H. Immergut, dan E. A. Grulke (Eds). 1999. Polymer Handbook.


4th Edition, VII/675-711. John Wiley, New York. Di dalam
www.sigmaAldrich.com.

Beeler, A. D., dan D. C. Finney. 1958. Plasticizers. Di dalam Modern Plastics


Encyclopedia. Issue for 1959. 1958. Hildreth Press Inc., Bristol.

Billmeyer, F.W. 1994. Text of Polymer Science. John Wiley and Sons., Chapters
7, 12 and 17.

Bogensberger, B. 1985. Ph.D. Thesis, Technische Universitt Graz, Austria. Dalam


Lafferty, R. M., B. Korsatko dan W. Korsatko. 1988. Microbial
Production of Poly--hydroxybutyric Acid. Di dalam Rehm, H.J., dan G.
Reed (Eds). Biotechnology: A Comprehensive Treatise in 8 Volumes.
Vol.6b. VCH Weinheim, Germany.

Brandl, H., R.A. Gross, R.W. Lenz dan R.C. Fuller. 2001. Plastics from bacteria
and for bacteria: Poly--hydroxyalkanoates as natural, biocompatible,
and biodegradable polyesters. Di dalam Babel, W. dan A. Steinbuchel.
(Eds). Biopolyester: Advances in biochemical engineering /
biotechnology. Vol 71. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.

Brandl, H., R.A. Gross, R.W. Lenz dan R.C. Fuller. 1990. Pseudomonas
oleovarus as source of poly(hidroxyalkanoates) for potential application
as biodegradable polyester. Appl. Environ. Microbiol. 54: 1977-1982.

Breed, R.S, E.G.D. Murray, dan N. R. Smith. 1974. Bergeys manual


Determinitive of Bacteriology, 8thed. The Williams and Williams Co.,
London.

Byrom, D. 1992. Production of poly --hydroxybutyrate: Poly--hydroxyvalerate


copolymers. FEMS Microbiology Reviews. 103, 247-250.

Byrom, D. 1990. Industrial production of copolymer from Alcaligenes eutrophus.


Di dalam Novel Biodegradable Microbial Polymers, Dawes, E. A.
(ed.), Kluwer Academic Publishers, The Netherlands, 113-117.
Chakraborty P, Gibbons W, Muthukumarappan K, Javers J. 2004. Production of
polyhydroxyalkanoates from cellulosic feedstocks using Ralstonia
eutropha. Paper for presentation at the 2004 North Central ASAE/CSAE
Conference. Winnipeg, Manitoba, Canada. September 24-25, 2004.
Paper number MB04-302.

Choi, J dan S.Y. Lee. 1999. High-level production of poly(3-hydroxybutyrate-co-


3-hydrixyvalerate) by Fed-batch culture of recombinant Eschericia coli.
Applied and Environmental Microbiology. Vol. 65, No. 10. pp.4363-
4368.

Cowd, M.A. 1991. Kimia Polimer. Penerbit ITB, Bandung.

Crueger, W dan A. Crueger. 1984. Biotechnology: A Textbook of Industrial


Mycrobiology. Sinauer Associetes, Inc. Sunderland and Science Tech,
Inc. Medison.

Cuq, B., N. Gontard., J.L Cuq., dan S. Guilbert. 1997. Selected functional
properties of fish myofibrillar protein based films as affected by
hydrophilic plasticizers. J.Agric. Food Chem. 45:622-626.

Datsko, J. 1996. Material Properties and Manufacturing Processes. John Wiley


and Sons, New York.

Dede. 2006. Elastisitas dan modulus elastisitas.


http://djuhana.fisika.UI.edu/kuliah-elastisitas.pdf. [26 Oktober 2006)

Doi, Y. (1990). Microbial Polyesters. VCH Publishers, Inc. New York, USA.

Doi, Y., Segawa, A., Nakamura, S., and Kunioka, M. (1990). Production of
biodegradable copolymers by Alcaligenes eutrophus. Di dalam Novel
Biodegradable Microbial Polymers. Dawes, E. A. (ed.), Kluwer Academic
Publishers, The Netherlands, 37-48.

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Fardiaz, S. 1987. Fisiologi Fermentasi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Fiechter, A. 1990. Plastics from bacteria and for bacteria: Poly (-


hidroxyalkanoates) as natural, biocompatible, and biodegradable
polyesters, 77-93, Springer-Verleg, New York.

Fullbrook, P.D. 1984. The Enzyme Production of Glucose Syrups. Di dalam


Dzieldzic, S. Z. dan M. W. Kearsley (eds.). Glucose Syrups: Science and
Technology. Elsevier Applied Science Publisher, London.
Frados, J. 1959. Modern Plastics Encyclopedia. Issue for 1960. 1959. 575
Madison Avenue. New York.

Grassie, E. J. Murray and P. A. Holmes. 1984. Polym Degrad Stab. Di dalam


Rehm, H.J., dan G. Reed (Eds). Biotechnology: A Comprehensive
Treatise in 8 Volumes. Vol.6b. VCH Weinheim, Germany.

Hahn, S. K., Chang, Y. K., Kim, B. S., and Chang, H. N. (1994). Optimization
of microbial poly(3-hydroxybutyrate) r ecovery using dispersions of
sodium hypochlorite solution and chloroform. Biotechnology and
Bioengineering. 44, 250-262.

Hebeda, R.E. 1993. Starch, sugar, and syrups. Di dalam Nagodawithana, T dan G.
Reed (eds) Enzymes in Food Processing. Academic Press., New York.

Herawati, T. 2001. Kemampuan Kualitatif Hidrolisis Polihidroksibutirat (PHB) dari


Beberapa Galur Bradyrhizobium japonicum. Biologi. MTK dan IPA, IPB.
Bogor.

Hrabak, O. (1992). Industrial production of poly- -hydroxybutyrate. FEMS


Microbiology Reviews. 103, 251-256.

Humas. 2006. Sagu, Potensial Perkaya Keragaman Pangan. www.bppt.go.id. [30


Juni 2006].

Ishizaki, A. dan K. Tanaka, 1991. Production of poly-3-hydroxybutiric acid from


carbon dioxide by Alcaligenus eutropha ATTC 1769T. Journal of
Fermentation and Bioengeneering. 71 (4) : 254-257

Jandali, M.Z. dan G. Widmann. 1995. Thermoplastics : Collected Applications


Thermal Analysis. Mettler Toledo. Switzerland.

John, G.H., N.R. Kriegh, P. H. A. Sneath, J.T. Staley, S.T. Williams. 1994.
Bergeys Manual of Determinative Bacteriology. 9th ed. William and
Wilkins, Baltimore, Maryland, USA.

Kemp, W. 1979. Organic Spectroscopy. The Macmillan Press LTD., London.

Kim, B. S., Lee, S. C., Lee, S. Y., Chang, H. N., Chang, Y. K., and Woo,
S. I. (1994). Production of poly(3-hydroxybutyric acid) by R.
eutropha with glucose concentration control. Biotechnology and
Bioengineering, 43, 892-898.

Klem, J.K. 1999. Alcaligenes. Di dalam R.K. Robinson, C.A. Batt, P.P. Patel
(Eds). Encyclopedia of Food Microbiology. Vol 1. 2000. Academic Press,
London, UK.
Knapczyk, J. K. dan R. H. M. Simon. Synthetic resins and plastic. Di dalam. J. A.
Kent (ed). 1992. Riedels Handbook of Industrial Chemistry 9th Edition.
Van Nostrans Reinhold. New York.

Lafferty, R. M., B. Korsatko dan W. Korsatko. 1988. Microbial production of


poly--hydroxybutyric acid. Di dalam Rehm, H.J., dan G. Reed (Eds).
Biotechnology: A Comprehensive Treatise in 8 Volumes. Vol.6b. VCH
Weinheim, Germany.

Latief. 2001. Teknologi Kemasan Plastik Biodegradable. Makalah Falsafah Sains.


Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Lee, S.Y. 1996. Plastic bacteria?Progress and prospects for polyhidroxyalkanoate


production in bacteria. Trends in Biotechnol. 14: 431-437.

Lee, S.Y. dan J. Choi. 2001. Production of Microbial Polyester by Fermentation


of Recombinant Microorganism. Di dalam Babel, W dan A. Steinbuchel.
Biopolyester: Advances in Biochemical Engineering/Biotechnology. Vol
71. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.

Merck. 1999. Chemical Reagents. Merck and Co., Inc. USA.

Nur, M.A. 1989. Spektroskopi. Pusat Antar Universitas-Institut Pertanian Bogor


(PAU-IPB), Bogor.

Olsen, H.S. 1995. Enzymatic production of glucose syrup. Di dalam Kearsley,


M.W. dan S.Z. Dziedzic (Eds). 1995. Handbook of starch hydrolysis
products and their derivates. Blackie Academic and Proffesional,
London.

Page, S. D. 1989. Prinsip-Prinsip Biokimia. Terjemahan. Penerbit Erlangga.


Jakarta.

Pelczar, Michael J dan E.C.S. Chan. 2005. Elements of Microbiology.


Terjemahan. UI-Press, Jakarta.

Poirier, Y., Nawrath C., Somerville C. 1995. Production of


polyhydroxyalkanoates, a family of biodegradable plastics and
elastomers, in Bacterial and Plant. Biotechnol. 13: 142-150

Rabek JF. 1983. Experimental Methods in Polymer Chemistry, Physical


Principles and Applications. New York : A Wiley-Interscience
Publication.

Ramsay, B.A, V. Langbade, P.R. Carreau, J.A. Ramsay. 1993. Biodegradability


and mechanical properties of poly-(-hydroxybutyrate-co--
hydroxyvalerate)-starch blends. Applied and Environmental Microbiology.
59:1242-1246.
Randall, C.W, J. T. Novak, D. L. Gallagher, E. M. Gregory, A. A. Randall. 2001.
The Utilization of Activated Sludge Polyhydroxyalkanoates for the
Production of Biodegradable Plastics. Virginia Polytechnic Institute and
State University. Blacksburg, VA.

Robertson, L. G. 1993. Food Packging Principles and Practise. Marcel Dekker,


Inc. New York

Senior, P. J, L. F. Wright, dan B. Anderson. 1982. Extraction Process. U.S Patent


4.324.907.

Spink, W. P dan W.F. Waychoff 1958/1959. Plasticizers. Di dalam Modern


Plastic Encyclopedia Issue. Hildrent Press, Inc. New York.

Subarna. 1984. Mempelajari Pengaruh Dosis Enzim -amilase dan Glukoamilase


Serta Waktu Sakarifikasi Terhadap Mutu dan Rendemen Sirup Glukosa
dari Pati Sagu. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.

Sugiarti, R. 2003. Pengaruh Konsentrasi Tributil Fosfat Terhadap Karakteristik


Bioplastik dari Poli-3-Hidroksialkanoat (PHA) Yang Dihasilkan Oleh
Ralstronia eutropha Dengan Substrat Hidrolisat Minyak Sawit. Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sukardjo. 1985. Ikatan Kimia. Rinerka Cipta. Yogyakarta.

Surdia, T. dan S. Saito. 1995. Pengetahuan Bahan Teknik. PT Pradya Paramita,


Jakarta.

Suryani A, A. M. Fauzi, K. Syamsu dan B.W.D. Wicaksono. 2001. Kajian


penggunaan minyak sawit sebagai sebagai substrat fermentasi untuk
Menghasilkan Polyhydroxy-alkanoates (Biodegradable plastic) oleh
Ralstonia eutropha. Laporan Penelitian Project Grant QUE TIP-IPB.

Utz, H, M. Korn, D. Brune. 1991. Untersuchung zum bioabbaubarer kunststoffe


im verpackungsbereich. Bendesministerium fur Forschung und
Technologie Forschungsbericht Nr.01-ZR 8904.

Van Wegen, R. J., Y. Ling dan A. P. J. Middleberg. 1998. Industrial Production of


Polyhydroxyalkanoates Using Escherichia Coli: An Economic Analysis.
Trans Chem., Vol 76, Part A. pp. 417-426.

Walpole, R.E. 1995. Pengantar Statistik. Edisi ke -3. PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.

Wang, D. IC., C. L. Cooney, A. L. Demain, P. Dunnil, A. E. Humprey dan M. D.


Lilly. 1978. Fermentation and Enzyme Technology, John Willey and
Sons, Inc. New York.
Wicaksono, B.W.D. 2003. Optimasi Produksi dan Karakterisasi
Polihidroksialkanoat Hasil Kultivasi Ralstonia eutropha Menggunakan
Hidrolisat Minyak Sawit Sebagai Sumber Karbon. Program Pascasarjana
IPB, Bogor.

Winarno, F.G. 1989. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.

Zahra, N. 2003. Pengaruh Konsentrasi Dietil Glikol Terhadap Karakteristik


Bioplastik dari Poli-3-Hidroksialkanoat (PHA) Yang Dihasilkan Oleh
Ralstronia eutropha Dengan Substrat Hidrolisat Minyak Sawit. Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lampiran 1. Diagram Alir Pembuatan Hidrolisat Pati Sagu secara Enzimatis
(Modifikasi Fullbrook, 1984 dan Subarna,1984 oleh Akyuni, 2003)

Pati sagu
Air

Suspensi pati 30%


CaCO3
Set pH 6-6,5

Gelatinisasi
Alfa Amilase
1,75 u/g
Likuifikasi 90-95oC ~ 21 menit

positif Uji iod

HCl 0,2 N negatif

Set pH 4-4,5
AMG 0,3 u/g

Sakarifikasi 60oC, 48-60 jam, 150 rpm

Inaktivasi enzim 105oC ~ 5 menit


Arang aktif 1-2%
Pemanasan 80oC ~ 1 jam

Penyaringan vakum

Hidrolisat pati sagu


Lampiran 2. Diagram Alir Kultivasi PHA (Modifikasi Ayorinde et al., 1998 oleh
Atifah, 2006)

Kultur Ralstonia
Media Kultivasi
eutopha

Sterilisasi Propagasi kultur dalam


(121oC, 15) Nutrien broth steril

Inokulasi Ralstonia
eutopha pada media
kultivasi

Kultivasi (Suhu 34oC, agitasi 150 rpm,


pH 7, aerasi 0,2 vvm, 96 jam,
pengumpanan pada jam ke-48)

Cairan Kultivasi
Lampiran 3. Diagram Alir Proses Hilir (Modifikasi Van Wegen et al., 1998 dan
Williamson dan Wilkinson, 1958 di dalam Lafferty et al.,1988)

Cairan Kultivasi

Sentrifugasi (Tahap 1) Supernatan


(13000 rpm, 10)

Presipitat

Aquadest

Sentrifugasi (Tahap 2) Supernatan


(13000 rpm, 10)

Presipitat

Lar. NaOCl 2%

Digest
(60)

Sentrifugasi (Tahap 3) Supernatan


(13000 rpm, 10)

Presipitat

Aquadest

Sentrifugasi (Tahap 4) Supernatan


(13000 rpm, 10)

A
A

Presipitat

Methanol

Sentrifugasi (Tahap 5) Supernatan


(13000 rpm, 10)

Presipitat

Pengeringan dengan oven


(50oC, 24 jam)

Presipitat
Kering

Ekstraksi dengan kloroform


(Refluks, 24 jam, 50oC)

Penyaringan dengan Pompa Sel Debris dan


Vakum (Whatman no.42) Pengotor lainnya

PHA+Kloroform

Penguapan Kloroform Uap


(suhu ruang) Kloroform

PHA
Lampiran 4. Diagram Alir Proses Pembuatan Lembaran Bioplastik (Modifikasi
dari Ramsay et al., 1993)

Serbuk PHA Kloroform


(0,260 g)

Pencampuran dan
Pengadukan Dengan
Stirer (50oC, 1 jam)

Dietilen glikol Campuran


(10%, 20%, 30%)

Pencampuran dan
Pengadukan Dengan
Stirer (50oC; 0,5 jam)

Campuran

Pencetakan Pada Cetakan Kaca

Diuapkan pada Suhu Ruang Uap


Kloroform

Bioplastik
Lampiran 5. Prosedur Analisis Karakter Lembaran Bioplastik

1. Kuat tarik dan Perpanjangan Putus (ASTM D 882-97)

Pengukuran kuat tarik dan perpanjangan putus dilakukan di Sentra


Teknologi Polimer (STP) kawasan Puspitek Serpong. Alat yang digunakan
adalah Universal Testing Machine (UTM) dengan merk Simadzu AGS-
10KNG. Penggunaan ASTM D 882-92 karena sampel uji termasuk film
plastik yang sangat tipis (thin plastic sheeting) dengan ketebalan kurang dari
0,1 mm. Sampel yang berbentuk lembaran dipotong dengan panjang 130
mm dan lebar minimal 5 mm. Sebelum pengujian dilakukan, sampel
dikondisikan dalam climatic chamber pada suhu 23oC dan kelembaban 50%
selama 48 jam. Kondisi ruang uji: suhu 23,7oC dan kelembaban 60,0%.
Pengujian dilakukan berdasarkan standar ASTM D 882-97 dengan
kecepatan 500 mm/menit. Pengujian kuat tarik dan perpanjangan putus
dilakukan minimal 5 kali pengulangan. Kuat tarik plastik (tensile strength)
dapat dihitung dengan persamaan berikut :

= Fmax / A

Keterangan:
(MPa) = kuat tarik
Fmax (Kgf) = tegangan maksimum
A (mm2) = Tebal sampel (mm) x Lebar sample (mm)

2. Sifat Termal (ASTM D3418-99)

Analisa sifat termal meliputi suhu pelelehan (melting point, Tm) dan
suhu transisi kaca (glass transition temperature, Tg). Analisa dilakukan di
Sentra Teknologi Polimer (STP) kawasan Puspitek Serpong. Alat yang
digunakan adalah Differential Scanning Calorimetry (DSC) dengan merek
Mettler Toledo. Sampel ditimbang sekitar 20 mg dimasukkan dalam crucible
40 l. Pengujian dilakukan berdasarkan standar ASTM D 3418-99. Analisa
dilakukan dengan temperature program dimulai dengan pemanasan sampel
dari temperatur -90oC hingga 200oC. Kecepatan pemanasan adalah
10oC/menit. Sebagai purge gas digunakan gas nitrogen dengan kecepatan
aliran 50 ml/menit. Pada pengujian ini, sampel dipanaskan atau didinginkan
pada laju konstan. Dengan menggunakan sensor yang dimiliki, DSC akan
mengukur energi (panas) yang diserap atau dilepaskan oleh sampel saat
sampel tersebut dipanaskan, didinginkan atau didiamkan pada suhu konstan.

3. Derajat kristalinitas (Hahn et al., 1995)

Pengukuran derajat kristalinitas dilakukan dengan metode


pendekatan hasil uji DSC. Metode ini didasarkan pada perubahan entalpi
yang terjadi pada saat tercapainya suhu pelelehan yang terukur pada saat
pengukuran suhu pelelahan dengan DSC. Entalpi diketahui melalui output
yang dikeluarkan saat pengujian DSC. PHA dengan derajat kristalinitas
100% akan mempunyai perubahan entalpi sebesar 146 J/g. Perbandingan
perubahan entalpi sampel uji dan PHA dengan kristalinitas 100% dapat
menghasilkan nilai derajat kristalinitas sampel uji.

4. Gugus fungsi

Gugus fungsi PHB dapat dideteksi menggunakan alat FTIR (Fourier


Transform Infra-Red Spectrometer). FTIR adalah alat yang menggunakan
infra merah untuk mengidentifikasikan struktur senyawa organik. Analisa
gugus fungsi dilakukan di Departemen Teknik Gas dan Petrokimia Fakultas
Teknik Universitas Indonesia. Alat yang digunakan adalah Fourier
Transform Infra-Red Spectroscopy (FTIR) dengan merk ATI Mattson.
Sampel pengujian yang berbentuk lembaran dipotong melingkar dengan
diameter 10 mm. Sampel yang diuji dimasukkan kedalam alat FTIR yang
kemudian disinari dengan sinar infra-red. Penyerapan radiasi
elektromagnetik menyebabkan senyawa organik berotasi dan bervibrasi dan
kemudian dikonversi dalam bentuk bilangan gelombang dan absorbsi.
5. Densitas (Rabek, 1983)

Penentuan densitas dilakukan dengan cara menghitung massa dan


volume sampel. Nilai densitas diperoleh dengan cara membagi nilai massa
terhadap volume. Pengukuran massa dilakukan dengan menimbang sampel
pada timbangan analitik sedangkan volume dihitung dengan cara
mengalikan panjang, lebar dan tebal sampel.

Keterangan: = massa jenis,


m = massa,
v = volume
Lampiran 6. Prosedur Analisis Total Gula dengan Metode Fenol-Sulfat
(Apriyantono et al. 1989)

Prinsip metode ini adalah bahwa gula sederhana, oligosakarida,


polisakarida dan turunannya dapat bereaksi dengan fenol dalam asam sulfat pekat
menghasilkan warna orange-kekuningan yang stabil.

Penetapan sampel
Untuk menetapkan total gula, sampel harus berupa cairan yang jernih.
Sebanyak 2 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu ditambahkan 1 ml
larutan fenol 5% dan dikocok. Selanjutnya ditambahkan dengan cepat 5 ml
larutan asam sulfat pekat dan dibiarkan selama 10 menit, dikocok lalu dipanaskan
dalam penangas air selama 15 menit. Setelah dingin, absorbansinya diukur
dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm. Sampel sebelumnya
diencerkan dengan tingkat pengenceran yang sesuai sehingga dapat terbaca pada
kisaran 20-80% absorban. Nilai rata-rata absorbansi sampel hasil pengukuran
dimasukkan ke persamaan kurva standar sehingga didapatkan nilai konsentrasi
glukosa.
Kurva standar untuk penentuan kadar total gula hidrolisat pati sagu dengan
metode Fenol-Sulfat (Atifah, 2006).

Kurva Standar Glukosa


Konsentrasi Absorbansi
glukosa 490nm 1
Absorbansi 490 nm

(g/ml) 0,8 y = 0,0141x + 0,0616


10 0,235 0,043 0,6
R2 = 0,9931

20 0,309 0,052
0,4
30 0,475 0,069
40 0,627 0,071 0,2

50 0,762 0,040 0
60 0,917 0,048 0 10 20 30 40 50 60

Konsentrasi glukosa (mikrogram/ml)


Lampiran 7. Contoh Penghitungan Selama Proses Penelitian

1. Contoh penghitungan konsentrasi karbon dan nitrogen


Diketahui : Konsentrasi total gula stok hidrolisat sagu = 281 g/L
Persentase C pada sirup sagu = 40%
Persentase N pada (NH4)2HPO4 = 21,21%
Rasio C/N media yang diinginkan = 10:1

Pada basis media 9 liter {karena 1 liter (0,1 v/v) merupakan kultur}, untuk
mencapai konsentrasi gula 30 g/l maka:
hidrolisat sagu yang dibutuhkan = (30 g/l) / (281 g/l) x 9000 ml
= 960,854 ml
dimana [C] pada sirup sagu = 40% x 30 g/l
= 12 g/l
Agar C/N 10:1 maka [N] = 1,2 g/l
Jadi, (NH4)2HPO4 yang dibutuhkan = (100/21,21) x 1,2 g/l = 5,6577 g/l

2. Contoh penghitungan konsentrasi sirup glukosa untuk pengumpanan


Diketahui : Konsentrasi total gula stok hidrolisat sagu = 281 g/l
Persentase C pada sirup sagu = 40%
Pada basis media 9 liter (karena 1 liter diambil sebagai sempling sebelum
pengumpanan), untuk mencapai konsentrasi gula stok 20 g/l maka:
Gula stok yang dibutuhkan = (20 g/l) / (281 g/l) x 9000 ml = 640,5694 ml
Jadi, jumlah gula stok yang diumpankan ke dalam bioreaktor adalah sebesar
640,57 ml

3. Contoh perhitungan lama waktu pengumpanan


Diketahui : Laju pengumpanan = 16,6 ml/menit (Atifah, 2006)
Lama waktu pengumpanan = Jumlah gula stok yang diumpankan
Laju pengumpanan
= 640,57 ml : 16,6 ml/menit
= 38,59 menit ~ 39 menit
4. Contoh perhitungan komposisi pembuatan bioplastik
Diketahui : Perbandingan PHA dan kloroform+DEG = 1 : 35
= 0,26 g : 9,1 g
Bobot PHA = 0,260 g
Densitas DEG = 1120 g/l
Densitas Kloroform = 1470 g/l
Konsentrasi DEG yang diinginkan = 10%, 20%, 30% dan 40%
Untuk menghasilkan bioplastik dengan konsentrasi DEG 10%:
10% = DEG x 100%
PHA + DEG
0,1 DEG + 0,026 = DEG sehingga diperoleh bobot DEG = 0,029 g
Volume DEG yang ditambahkan saat proses = 0,029 g x 1000 /1120
= 0,026 ml
Bobot kloroform untuk melarutkan PHA = 9,1 g 0,029 g = 9,071 g
Volume kloroform yang digunakan = 9,071 g x 1000/1470
= 6,171 ml
Lampiran 8. Hasil Pengujian Kuat Tarik dan Perpanjangan Putus

1. Hasil Pengujian pada Lembaran Bioplastik dengan Konsentrasi DEG 0%:

Kode Sampel Tebal Lebar Kuat Tarik Perpanjangan Tegangan


(mm) (mm) (MPa) Putus (%) Maksimal
(Kgf)
BP0%DEG-A1 1,00 7,00 0,08 4,02 0,55
BP0%DEG-A2 1,00 7,00 0,06 3,56 0,45
BP0%DEG-A3 1,00 7,00 0,21 10,11 1,45
BP0%DEG-B4 1,00 7,00 0,05 6,29 0,38
BP0%DEG-B5 1,00 7,00 0,20 11,02 1,43
Rata-rata 1,00 7,00 0,12 7,00 0,85

2. Hasil Pengujian pada Lembaran Bioplastik dengan Konsentrasi DEG 10%:

Kode Sampel Tebal Lebar Kuat Tarik Perpanjangan Tegangan


(mm) (mm) (MPa) Putus (%) Maksimal
(Kgf)
BP10%DEG-A1 1,00 6,78 0,04 3,89 0,30
BP10%DEG-A2 1,00 6,78 0,09 5,15 0,58
BP10%DEG-A3 1,00 6,78 0,20 7,58 1,33
BP10%DEG-B4 1,00 8,90 0,08 6,27 0.73
BP10%DEG-B5 1,00 9,01 0,12 9,42 1,10
Rata-rata 1,00 7,65 0,11 6,46 0,81

3. Hasil Pengujian pada Lembaran Bioplastik dengan Konsentrasi DEG 20%:

Kode Sampel Tebal Lebar Kuat Tarik Perpanjangan Tegangan


(mm) (mm) (MPa) Putus (%) Maksimal
(Kgf)
BP20%DEG-A1 1,00 7,82 0,06 6,42 0,45
BP20%DEG-A2 1,00 6,90 0,07 6,67 0,48
BP20%DEG-B3 1,00 6,90 0,05 7,36 0,35
BP20%DEG-B4 1,00 7,00 0,09 7,57 0,65
BP20%DEG-B5 1,00 7,00 0,09 7,02 0,60
Rata-rata 1,00 7,12 0,07 7,01 0,51
4. Hasil Pengujian pada Lembaran Bioplastik dengan Konsentrasi DEG 30%:

Kode Sampel Tebal Lebar Kuat Tarik Perpanjangan Tegangan


(mm) (mm) (MPa) Putus (%) Maksimal
(Kgf)
BP30%DEG-A1 1,00 6,62 0,02 2,03 0,15
BP30%DEG-A2 1,00 7,11 0,03 3,13 0,18
BP30%DEG-A3 1,00 7,23 0,03 2,62 0,20
BP30%DEG-B4 1,00 6,85 0,06 6,71 0,43
BP30%DEG-B5 1,00 6,89 0,03 2,58 0,18
Rata-rata 1,00 6,94 0,03 3,41 0.23
Lampiran 9. Hasil Pengujian Densitas Lembaran Bioplastik

1. Hasil pengujian densitas lembaran bioplastik dengan konsentrasi DEG 0%:


Pengukuran Panjang (cm) Lebar (cm) Tebal (cm)
Hasil Pengukuran 2,70 2,70 0,007
2,70 2,70 0,007
0,006
0,003
0,002
Rata-Rata (cm) 2,70 2,70 0,005

Bobot = 0,0356 g
Volume = 0,0366 cm3
Densitas = 0,0356 g / 0,0366 cm3 = 0,97 g/ cm3

2. Hasil pengujian densitas lembaran bioplastik dengan konsentrasi DEG 10%:


Pengukuran Panjang (cm) Lebar (cm) Tebal (cm)
Hasil Pengukuran 3,13 0,62 0,005
3,12 0,62 0,007
0,007
0,007
0,007
Rata-Rata (cm) 3,13 0,62 0,007

Bobot = 0,012 g
Volume = 0,0136 cm3
Densitas = 0,012 g / 0,0136 cm3 = 0,88 g/ cm3

3. Hasil pengujian densitas lembaran bioplastik dengan konsentrasi DEG 20%:


Pengukuran Panjang (cm) Lebar (cm) Tebal (cm)
Hasil Pengukuran 1,53 0,61 0,003
1,51 0,58 0,004
0,005
0,002
0,003
Rata-Rata (cm) 1,52 0,60 0,003

Bobot = 0,002 g
Volume = 0,003 cm3
Densitas = 0,002 g / 0,003 cm3 = 0,67 g/ cm3
4. Hasil pengujian densitas lembaran bioplastik dengan konsentrasi DEG 30%:
Pengukuran Panjang (cm) Lebar (cm) Tebal (cm)
Hasil Pengukuran 1,73 1,22 0,007
1,72 1,24 0,008
0,008
0,010
0,010
Rata-Rata (cm) 1,73 1,23 0,009

Bobot = 0,013 g
Volume = 0,0192 cm3
Densitas = 0,013 g / 0,0192 cm3 = 0,67 g/cm3

Anda mungkin juga menyukai