Anda di halaman 1dari 25

BAB II

DASAR TEORI

Longsoran merupakan pergerakan massa batuan atau tanah menuruni lereng


karena pengaruh secara langsung dari gaya gravitasi (West, 2010). Pada umumnya
longsoran atau luncuran terjadi pada suatu material yang rapuh. Gerakan ini bisa
berupa rotasi atau translasi yang tergantung pada keadaan material serta
strukturnya.
Kemantapan (stabilitas) lereng merupakan suatu faktor yang sangat penting
dalam pekerjaan yang berhubungan dengan penggalian dan penimbunan tanah dan
batuan, karena menyangkut persoalan keselamatan manusia (pekerja), keamanan
peralatan serta kelancaran produksi.
Dilihat dari jenis material penyusunanya, terdapat dua macam lereng, yaitu
lereng tanah dan lereng batuan, walaupun kenyataan yang di jumpai pada lereng
tambang selalu merupakan gabungan dari material tanah dan batuan. Dalam
analisis dan penentuan jenis tindakan pengamanannya, lereng tanah tidak dapat
disamakan dengan lereng batuan karena parameter material dan jenis penyebab
longsor di kedua material pembentuk lereng sangat jauh berbeda (Romana, 1993).
Dalam keadaan alamiah, tanah dan batuan umumnya berada dalam keadaan
seimbang terhadap gaya-gaya yang bekerja padanya, baik gaya dari dalam
maupun dari luar. Jika tanah dan batuan mengalami perubahan keseimbangan
akibat pengangkatan, penurunan, penggalian, penimbunan, erosi, atau aktivitas
lain, maka tanah dan batuan tersebuat secara alamiah akan berusaha untuk
mencapai keseimbangan yang baru. Proses ini biasanya berupa degradasi atau
pengurangan beban, terutama dalam bentuk perpindahan dengan besaran tertentu
sampai tercapai keseimbangan.
2.1. Prinsip Dasar Kestabilan Lereng
Untuk menganalisis kemantapan lereng terlebih dahulu perlu diketahui
sistem tegangan yang bekerja pada tanah atau batuan serta sifat fisik dan
mekaniknya. Secara prinsip, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya yaitu
gaya penahan dan gaya penggerak yang bertanggung jawab terhadap kestabilan
atau kemantapan lereng tersebut. Pada kondisi gaya penahan lebih besar dari gaya
penggerak lereng tersubut akan stabil (aman). Namun, apabila gaya penahan
menjadi lebih kecil dari gaya penggeraknya, lereng tersubut menjadi tidak stabil
dan akan terjadi longsoran. Sebenarnya, longsoran merupakan suatu proses alami
yang akan terjadi untuk mendapatkan kondisi kestabilan lereng yang baru
(keseimbangan baru), dimana gaya penahan lebih besar dari gaya penggeraknya.
Dalam menentukan kestabilan atau kemantapan lereng dikenal istilah
Faktor Keamanan (Safety Factor). Faktor keamanan diperlukan untuk
mengetahui kemantapan suatu lereng dalam mencegah bahaya longsoran di
waktu-waktu yang akan datang. Secarah matematis nilai faktor keamanan ini
dirumuskan sebagai berikut :

Faktor Keamanan (FK) = ...(2.1)

Keterangan :
FK > 1,0 : lereng dalam keadaan mantap.
FK = 1,0 : lereng dalam keadaan.
FK < 1,0 : lereng tidak mantap atau stabil.
Berdasarkan penelitian dan studi yang telah dilakukan secara menyeluruh
mengenai keruntuhan lereng, maka dalam tulisan (Zakaria) terdapat tiga
kelompok rentang factor keamanan (safety factor) ditinjau dari intensitas
kelongsorannya (Bowles, 1989), seperti ditunjukan pada (Tabel 2.1).
Tabel 2.1. Hubungan Nilai Faktor Keamanan Lereng dan Intensitas Longsor
Nilai Faktor Keamanan Kejadian atau Intensitas Longsor

FK < 1.07 Longsor terjadi biasa/sering (lereng labil)


1.07 < FK < 1.25 Longsor pernah terjadi (lereng kritis)
FK > 1.25 Longsor jarang terjadi (lereng relative stabil)
(sumber : Bowles,1989)

2.2. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Kemantapan Lereng


Faktor yang perlu diperhatikan dalam mengalisis kemantapan lereng adalah
sebagai berikut :
a. Penyebaran Batuan
Aspek yang perlu diketahui untuk mempelajari penyebaran batuan adalah
macam batuan atau tanah yang terdapat di daerah penyelidikan, penyebaran
dan hubungan antar batuan. Sifat-sifat fisik dan mekanik suatu batuan berbeda
dengan batuan yang lain sehingga kekuatan menahan beban berbeda pula.
b. Relief Permukaan Bumi
Faktor ini mempengaruhi laju erosi, pengendapan dan menentukan arah
aliran air permukaan tanah. Untuk daerah curam, kecepatan aliran air
permukaan tinggi dan menyebabkan pengikisan lebih intensif dibandingkan
pada daerah landai. Erosi yang intensif menyebabkan, banyak dijumpai
singkapan batuan dan proses pelapukan menjadi lebih cepat. Batuan lapuk
mempunyai kekuatan yang rendah sehingga kemantapan lereng menjadi
berkurang.
c. Sifat Fisik Dan Sifat Mekanik Material
Sifat fisik dan sifat mekanik tanah atau batuan merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi kestabilan dari lereng karena berhubungan dengan besar
kecilnya nilai kuat geser. Kelongsoran yang terjadi pada lereng merupakan
peristiwa keruntuhan geser. Sehingga analisis kestabilan lereng tanah atau
batuan perlu mengetahui sifat fisik dan mekanik tanah atau batuan karena
berpengaruh terhadap kuat geser. Adapun sifat fisik dan sifat mekanik tanah
dan batuan yang diperlukan dalam melakukan analisis kestabilan lereng
adalah sebagai berikut:
1. Sifat Fisik :
1 ) Bobot Isi ()
Bobot isi merupakan perbandingan antara berat material dengan
volume material yang dinyatakan dalam satuan berat per volume. Semakin
besar bobot isi batuan, maka gaya penggerak yang akan menyebabkan
kelongsoran juga semakin besar. Adanya berat dirinya sendiri yang
semakin besar, menyebabkan kemantapan lereng berkurang.
1 ) Porositas
Porositas merupakan perbandingan antara volume pori dengan volume
butiran seluruhnya. Batuan yang mempunyai porositas tinggi akan lebih
banyak menyerap air dan akan mengisi pori-pori batuan. Adanya air dalam
batuan akan menyebabkan tekanan air pori sebesar (u) atau gaya angkat air
sebesar (U), dimana U = u.A, dengan A adalah luas dasar batuan.
1 ) Derajat Kejenuhan
Derajat kejenuhan merupakan perbandingan antara volume air pori
dengan dengan volume isi pori seluruhnya. Semakin jenuh suatu batuan,
maka semakin banyak air yang dikandungnya, keberadaan air dalam
batuan ini akan menimbulkan gaya angkat air dan gaya dorong air yang
dapat menyebabkan terjadinya kelongsoran.
2. Sifat Mekanik :
1 ) Sudut geser dalam ()
Sudut geser dalam merupakan sudut yang terbentuk dari hubungan
tegangan normal dan tegangan geser didalam material batuan. Sudut geser
dalam adalah sudut rekahan yang terbentuk jika suatu batuan dikenakan
tegangan yang melebihi tegangan gesernya. Semakin besar sudut geser
dalam suatu material, maka material tersebut akan lebih tahan menerima
tegangan luar yang dikenakan. Untuk mengetahui besar sudut geser dalam
harus dilakukan pengujian Triaxial dan uji geser langsung, satuannya
dinyatakan dalam derajat ().
2 ) Kohesi (c)
Kohesi adalah kekuatan tarik menarik antara butiran batuan yang
dinyatakan dalam satuan berat per satuan luas. Bila kekuatan geser
semakin besar, maka semakin besar pula harga kohesi dari material
batuan. Batuan dengan kohesi yang besar dapat dibuat lereng dengan
kemiringan yang besar pada nilai keamanan yang sama. Harga kohesi
didapat dari hasil analisis di laboratorium yaitu dengan uji kuat geser
langsung. Harga kohesi merupakan titik perpotongan sumbu kuat geser
dengan selubung kekuatan material (diameter Lingkaran Mohr) atau titik
perpotongan sumbu kuat geser dengan garis kekuatan geser Coulomb yang
lebih dikenal dengan keruntuhan Mohr-Coulomb.
d. Geometri Lereng
Geometri lereng mencakup tinggi lereng (H) dan sudut kemiringan lereng.
Perubahan tinggi akan mengakibatkan perubahan kestabilan dari lereng yang
bersangkutan karena berat material lereng yang harus ditahan oleh kuat geser
batuan atau tanah semakin besar. Sudut kemiringan lereng yang besar akan
memberikan volume material yang besar, sehingga beban material pada lereng
juga akan semakin besar. Lereng yang terlalu tinggi akan menyebabkan
menjadi tidak mantap dan cenderung mudah longsor dibandingkan lereng
yang tidak terlalu tinggi bila susunan batuannya sama. Demikian juga sudut
kemiringan lereng, lereng akanmenjadi kurang mantap jika kemiringannya
besar. Oleh karena itu apabila terjadi penambahan tinggi lereng maka harus
diikuti dengan pengurangan kemiringan lereng, demikian juga apabila terjadi
penambahan sudut kemiringan lereng harus disertai dengan pengurangan
tinggi lereng. Semakin besar tinggi lereng dan juga sudut kemiringan lereng
akan mengakibatkan berkurangnya kemantapan lereng tersebut sehingga
mudah mengalami kelongsoran.
e. Kondisi Geologi
Kondisi geologi yang dapat mempengaruhi kemantapan lereng meliputi :
Struktur material penyusun lereng.
Orientasi mineral dan stratigrafi.
Bidang-bidang diskontinuitas seperti sesar, kekar, dan lipatan.

Struktur geologi yang mempengaruhi kemantapan lereng adalah adanya


bidang - bidang diskontinu atau bidang - bidang lemah seperti sesar dan kekar.
Hal yang terpenting dalam bidang diskontinu adalah adanya pengaruh tekanan
air yang berada pada rekahan tarik. Selain adanya rembesan air bidang
diskontinu tersebut, rekahan tarik juga akan terisi oleh material pengisi yang
dapat memisahkan dua sisi batuan, batuan tersebut akan mempunyai kuat
geser yang kecil untuk menahan potensi longsoran. Kondisi bidang lemah dan
penyebarannya perlu diketahui untuk menentukan arah dan jenis longsoran
yang terjadi pada massa batuan tersebut, bila jenis longsoran diketahui maka
lebih mudah untuk menentukan geometri dan orientasi lereng yang mantap
dengan melakukan analisis kestabilan lereng.
f. Kondisi air tanah.
Air tanah merupakan salah satu faktor yang penting dalam kemantapan
lereng. Air tanah dapat mempengaruhi kemantapan lereng dengan cara :
Mengurangi kekuatan batuan atau tanah.
Mengubah unsur mineral dalam batuan melalui reaksi kimia dan
pelarutan.
Mengubah densitas batuan atau tanah.
Menyebabkan terjadinya erosi.
Kehadiran air tanah dalam tubuh lereng biasanya menjadi masalah bagi
kestabilan lereng. Kondisi ini tidak lepas dari pengaruh luar, yaitu iklim
(diwakili oleh curah hujan) yang dapat meningatkan kadar air tanah, derajat
kejenuhan, atau muka air tanah. Kehadiran air tanah akan menurunkan sifat
fisik dan sifat mekanik tanah. Kenaikan muka air tanah meningkatkan tekanan
air pori, yang berarti memperkecil ketahanan geser dari massa lereng,
terutama pada material tanah (soil). Kenaikan muka air tanah juga
memperbesar debit air tanah dan meningkatkan erosi di bawah permukaan.
Akibatnya lebih banyak fraksi halus dari massa tanah yang dihanyutkan, lebih
jauh ketahanan massa tanah akan menurun.
g. Gaya Luar
Gaya luar sedikit banyak dapat mempengaruhi kemantapan suatu lereng.
Gaya ini berupa getaran - getaran yang berasal dari sumber yang berada di
dekat lereng tersebut. Getaran ini misalnya ditimbulkan oleh peledakan, lalu
lintas kendaraan, gempa bumi dan lain-lain.

2.3. Jenis - Jenis Longsoran


Menurut Terzaghi dan Pech (1967) menyatakan bahwa longsoran dapat
terjadi pada hampir setiap kemungkinan, perlahan - lahan ataupun secara tiba -
tiba dan dengan atau tanpa adanya peringatan nyata.
Ada beberapa jenis longsoran yang umum dijumpai pada massa batuan di
tambang terbuka (Hoek and Bray, 1981) yaitu :
1. Longsoran bidang (plane failure).
2. Longsoran baji (wedge failure).
3. Longsoran busur (circular failure).
4. Longsoran guling (toppling failure).

2.3.1. Longsoran Bidang (Plane Failure)


Longsoran bidang (Gambar 2.1) relatif jarang terjadi. Namun, jika ada
kondisi yang menunjang terjadinya longsoran bidang, longsoran yang terjadi
mungkin akan lebih besar (secara volume) daripada longsoran lain. Longsoran
ini disebabkan oleh adanya struktur geologi yang berkembang, seperti kekar
(joint) ataupun patahan yang dapat menjadi bidang luncur.
Gambar 2.1 Skema longsoran bidang (Hoek dan Bray, 1981)

2.3.1.1. Kondisi Umum Terjadinya Longsoran Bidang


Longsoran bidang merupakan suatu longsoran batuan yang terjadi
disepanjang bidang runtuh yang dianggap rata. Bidang luncur tersebut dapat
berupa rekahan, sesar maupun bidang perlapisan batuan. Longsoran jenis ini
akan terjadi bila kondisi berikut ini terpenuhi (Wyllie dan Mah, 2004) :
Bidang gelincir mempunyai strike sejajar atau hampir sejajar
(maksimal 20) dengan strike lereng.
Jejak bagian bawah bidang lemah yang menjadi bidang gelincir harus
muncul di muka lereng. Dengan kata lain kemiringan bidang gelincir
lebih kecil daripada kemiringan lereng ( < f).
Kemiringan bidang gelincir lebih besar daripada sudat geser dalamnya
( > ).
Harus ada bidang bebas (release) yang menjadi pembatas di kanan dan
kiri blok yang mengelincir.

2.3.2. Longsoran Baji


Longsoran baji merupakan jenis longsoran yang sering terjadi di lapangan.
Sama halnya dengan longsoran bidang, longsoran baji juga diakibatkan
adanya struktur geologi yang berkembang. Perbedanya pada longsoran baji
adalah dua struktur geologi yang berkembang dan saling berpotongan. Contoh
skema longsoran baji pada (Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Skema Longsoran baji (Hoek dan Bray, 1981)

2.3.2.1. Kondisi Umum Terjadinya Longsoran Baji


Longsoran baji terjadi apabila terdapat dua bidang lemah yang saling
berpotongan sedemikian rupa sehingga membentuk bidang baji terhadap
lereng (Gambar 2.2). Persyaratan lain yang harus terpenuhi untuk terjadinya
longsoran baji adalah :
1. Kemiringan lereng lebih besar daripada kemiringan garis potong kedua
bidang lemah (f < i).
2. Sudut garis potong kedua bidang lemah lebih besar daripada sudut
gesek dalam (i > ).

2.3.3. Longsoran Guling (Toppling Failure)


2.3.3.1. Kondisi Umum Terjadinya Longsoran Guling
Lonsoran guling (Gambar 2.3) umumnya terjadi pada lereng yang terjal
dan pada batuan yang keras di mana struktur bidang lemahnya berbentuk
kolom. Longsoran guling ini terjadi apabila bidang-bidang lemah yang
terdapat pada lereng mempunyai kemiringan yang berlawanan dengan
kemiringan lereng.
Gambar 2.3 Skema longsoran guling (Hoek dan Bray, 1981)

2.3.4. Longsoran Busur (Circular Failure)


2.3.4.1. Kondisi Umum Terjadinya Longsoran Busur
Longsoran busur (Gambar 2.4) banyak terjadi pada lereng batuan lapuk
atau sangat terkekarkan dan di lereng-lereng timbunan. Bentuk bidang
gelincir pada longsoran busur, sesuai namanya akan menyerupai busur bila
digambarkan pada penampang melintang. Longsoran jenis ini juga sering
terjadi jika ukuran fragmen tanah atau massa batuan sangat kecil
dibandingkan dengan ukuran lereng. Oleh karena itu, lereng yang tersusun
dari material pasir, lanau, atau partikel lain yang ukuranya kecil memiliki
kemungkinan besar untuk mengalami longsoran busur.

Gambar 2.4 Skema longsoran busur (Hoek dan Bray, 1981)


3.4. Metode Kesetimbangan Batas (Limit Equilibrium Method)
3.4.1. Mekanisme Longsoran
Metode kesetimbangan batas menggunakan asumsi lereng dibagi ke
dalam beberapa irisan dan menganalisis kestabilannya agar dihasilkan
faktor keamanan untuk lereng yang paling kritis. Dalam menentukan
faktor keamanan dengan menggunakan metode kesetimbangan batas,
terdapat beberapa persamaan statis yang digunakan dalam menentukan
faktor keamanan, meliputi :
1. Penjumlahan gaya pada arah vertikal untuk setiap irisan yang
digunakan untuk menghitung gaya normal pada bagian dasar irisan.
2. Penjumlahan gaya pada arah horizontal untuk setiap irisan yang
digunakan untuk menghitung gaya normal antar irisan.
3. Penjumlahan momen untuk keseluruhan irisan yang bertumpu pada
satu titik.
4. Penjumlahan gaya pada arah horizontal untuk seluruh irisan.

Sifat-sifat material yang relevan dengan masalah kemantapan lereng


adalah sudut geser dalam (), kohesi (c), dan berat satuan () batuan.
(Grafik 2.2) menjelaskan secara sederhana tentang suatu spasi batuan yang
mengandung bidang diskontinu, di mana bekerja tegangan normal dan
tegangan geser, sehingga batuan retak pada bidang diskontinu dan
mengalami pergeseran. Tegangan geser yang dibutuhkan untuk
meretakkan dan menggeser batuan batuan tersebut akan bertambah sesuai
dengan pertambahan tegangan normal. Hubungan ini dapat dilihat pada grafik
tersebut dimana secara linier membentuk garis dengan sudut kemiringan
sebesar () terhadap horizontal. Sudut ini disebut sudut geser dalam.
Bila tegangan normal dibuat nol dan kemudian batuan diberikan tegangan
geser sampai batuan mulai retak, maka harga tegangan geser yang
dibutuhkan pada saat batuan mulai retak merupakan harga kohesi (c) dari
batuan tersebut. Hubungan antara kuat geser () dan tegangan normal
() dapat dinyatakan oleh persamaan berikut :
= c + .tan .............................................................................(2.2)

Grafik 2.2 Hubungan antara Kuat () Geser dan Tegangan Normal ()

3.4.1.1. Longsoran Akibat Beban Gravitasi


Jika suatu massa seberat (W) berada di atas suatu bidang miring yang
membentuk sudut () terhadap horizontal dan berada dalam keadaan
setimbang, maka bekerja komponen gaya-gaya seperti tertera pada (Gambar
2.5)

Gambar 2.5 Longsoran akibat beban gravitasi

Tegangan normal dapat dinyatakan sebagai berikut :


.
= .(2.3)

di mana :
A = Luas permukaan dasar blok
Dengan mensubtitusikan persamaaan (2.2) dan persamaan (2.3) diperoleh :
.
=c+ tan (2.4)

Jika diketahui F = r.A, maka gaya penahan F adalah :
F = c.A + (W. cos)tan ....(2.5)

Berdasarkan hukum kesetimbangan batas, besar gaya penahan sebanding


dengan besar gaya penggerak, maka :
W sin = c.A + (W.cos)tan ..(2.6)

Jika tidak terdapat gaya kohesi (c = 0) yang bekerja pada dasar blok, maka
kondisi kesetimbangan dapat disederhanakan menjadi :
= .(2.7)

3.4.1.2. Pengaruh Tekanan Air pada Kuat Geser


Pengaruh tekanan air pada kuat geser dapat dianalogikan seperti
yang diterangkan oleh gambar di bawah ini. Sebuah bejana yang diisi
air dan diletakkan di atas bidang miring seperti yang terlihat pada
(Gambar 3.6)

Gambar 3.6 Pengaruh Tekanan Air pada Kuat Geser

Jika diketahui c = 0 dan = , dari persamaan (2.5) akan diperoleh :


F = W. cos.tan ..
F = (W.

3.4.1.3. Hukum Tegangan Efektif


Gaya normal n yang bekerja dengan arah tegak lurus permukaan bidang
lemah dikurangi oleh gaya akibat

3.4.1.4. Pengaruh Tekanan Air Pada Rekahan Tarik


3.5. Analisis Kemantapan Lereng
3.5.1. Analisis Longsoran Bidang
Posisi rekahan tarik perlu diperhatikan dalam analisis ini, apakah berada
di belakang crest lereng atau di muka lereng (Gambar 2.3). Asumsi-asumsi
yang digunakan dalam analisis ini sebagai berikut :
Bidang gelincir dan rekahan tarik memiliki strike yang sejajar dengan
bidang strike lereng.
Posisi rekahan pada bidang adalah vertikal dan terisi air sedalam ZW.
Air membasahi bidang gelincir lewat bagian bawah rekahan tarik dan
merembes sampai di jejaknya di permukaan lereng.
Gaya W (berat blok yang menggelincir) bekerja di titik pusat blok
sehingga diasumsikan tidak momen akibat rotasi.
Kuat geser () dari bidang gelincir adalah = c + .tan
Dengan c = kohesi, = sudut geser dalam, serta = tekanan normal.
Terdapat bidang bebas (release) di sisi kanan dan sisi kiri blok
sehingga tidak ada hambatan di bagian kanan dan kiri blok yang
menggelincir.

Gambar 2.3 Posisi rekahan tarik (tension crack) pada lereng batuan
(Hoek dan Bray, 1981)
Persamaan yang digunakan untuk menetukan factor keamanan sebagai
berikut :

. + (. .).
F= ...(2.1)
. + .

dengan :
A = (H + b .tans z )cosecp ........(2.2)
H = tinggi lereng
Z = kedalaman rekahan tarik
b = jarak antara kepala lereng (crest) dan rekahan tarik
s = kemiringan lereng yang berada di atas kepala lereng
1
U = 2. w. zw (H + b. tans - z) cosecp ..(2.3)
1
V = 2. w. Zw2 ...(2.4)

Zw = kedalaman air dalam rekahan


w = berat jenis air (t/m3), 1 t/m3
r = berat jenis batuan (t/m3)
1 1
W = r [(1 - cotf .cotp) (b. H + 2 . H2 cotf ) + 2 b2 (tans - tan p)] (rekahan

tarik di belakang lereng) ..(2.5)


1
W = r .H2 [(1 - HZ )2 .cotp (cotp .tanf - 1)] (rekahan tarik di muka
2

lereng)..(2.6)

Jika lereng batuan tersebut berada di daerah rawan gempa dan


percepatan yang ditimbulkan gempa dapat dimodelkan menjadi statis W,
maka perhitungan faktor keamanan dapat dilakukan dengan memasukkan
pengaruh gempa dengan cara memodifikasi persamaan (2.1) menjadi
persamaan (2.7).

. + [ ( ) ] .
F= ......(2.7)
( + ) +
Keterangan :
F = Safety factor
A = Luas bidang kontak (m)
U = Gaya angkat oleh air dalam rekahan (t/m)
W = Berat blok yang tergelincir (t/m)
H = Tinggi lereng (m)
c = Kohesi (Mpa atau t/m2)
f = Sudut kemiringan lereng ()
p = Sudut kemiringan bidang lemah ()
= Sudut geser dalam ()
Z = Kedalaman rekahan tarik
Zw = Kedalaman rekahan tarik yang terisi oleh air
= Faktor gempa

3.5.2. Analisis Longsoran Baji


Apabila ternyata ketahanan geser bidang gelincir juga dipengaruhi oleh
kohesi dan dijumpai pula adanya rembesan air di bidang-bidang lemah
tersebut, maka penentuan faktor keamanan harus mempertimbangan kedua
faktor tersebut. Dengan membuat asumsi untuk air, bahwa air hanya masuk
di sepanjang garis potong bidang lemah dengan muka atas lereng (garis 3
dan 4 pada Gambar 2.7) dan menembus keluar di sepanjang garis bidang
lemah dengan muka lereng (garis 1 dan 2 pada Gambar 2.7), serta baji
bersifat impermeable, persamaan yang digunakan untuk menentukan factor
keamanan (Hoek et al.,1973) sebagai berikut:
Gambar 2.7 Geometri baji untuk analisis kemantapan dengan
memperhitungkan kohesi air (Hoek dan Bray, 1981)

3
F= (CA X + CB Y) + (A - X) tanA + (B - Y) tanB
r. 2. 2.

(2.13)
Keterangan :
CA, CB = Kohesi bidang lemah A dan B
;A, ;B = Sudut gesek dalam bidang lemah A dan B ()
r = Berat jenis batuan (t/m3)
w = Berat jenis air (t/m3)
H = Tinggi keseluruhan dari baji yang terbentuk (Gambar 2.7)
sin 24
X = .(2.14)
(sin 45 cos 2.na
sin 13
Y = ..(2.15)
sin 35 cos 1.nb
(cosa cosb. cos .)
A = ..(2.16)
(sin5 sin2 .)
(cosb cosa. cos .)
B = ..(2.17)
(sin5 sin2 .)

a, b = Dip bidang lemah A dan B


5 = Plunge dari garis potong kedua bidang lemah (garis no 5
pada Gambar 2.7)
24, dll = Sudut-sudut anatar bidang lemah, yang diperoleh dengan
menggunakan streonet seperti terlihat pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8 Streoplot data untuk analisis kestabilan baji
(Hoek dan Bray, 1981)

3.5.3. Analisis Longsoran Guling


Analisis ini menggunakan asumsi bahwa longsoran guling yang terjadi
mempunyai (n) buah blok yang berbentuk teratur dengan dengan lebar (x)
dan tinggi (yn) (Gambar 2.10 ). Untuk keperluan analisis, penomoran blok
dimulai dari bawah (toe) ke atas. Sudut kemiringan lereng adalah f dan
kemiringan muka lereng atas (b), sedangkan dip dari bidang-bidang lemah
adalah 90-. Undak-undakan yang terjadi (akibat longsoran) berbentuk
teratur dan mempunyai kemiringan (). Konstanta (a1, a2 dan b), (Gambar
2.11) selanjutnya dapat dihitung dengan persamaan berikut :
a1 = x. tan (f - p) ..(2.18)
a2 = x. tan (p s) .....(2.19)
b = x. tan (b - p) ......(2.20)
Tinggi blok ke-n (yn) dihitung dengan persamaan berikut ini :
yn = n (a1 b) (untuk blok dari crest ke bawah) ......(2.21)
yn = yn 1 a2 b (untuk blok di atas crest) ...(2.22)

Gambar 2.10 Model longsoran guling untuk model kesetimbangan batas


(Goodman dan Bray, 1976)

Berdasarkan model pada Gambar 2.10, terdapat tiga grup blok yang
mempunyai tingkat kemantapan yang berbeda, yaitu :
Satu set blok yang stabil (dibagian atas), di mana sudut gesek dalam
material lebih besar dari dip bidang (p >p)
Satu set blok yang terguling (di bagian tengah) dan
Satu set blok di daerah toe, yang terdorong oleh blok toppling
diatasnya. Blok ini mungkin stabil, terguling, atau tergelincir (slide),
tergantung dari kemiringan blok. Dengan geometri yang berbeda
mungkin saja set blok yang mantap dan yang akan tergelincir berubah
menjadi terguling semua.
Gambar 2.11 Kondisi kesetimbangan batas blok ke-n yang akan terguling
dan tergelincir (Goodman dan Bray, 1976)

Selanjutnya, kesetimbangan gaya-gaya yang bekerja di setiap blok


ditunjukan pada Gambar 2.11. Dari gambar tersebut terlihat bahwa gaya-
gaya yang bekerja di dasar blok ke-n adalah Rn dan Sn, sedangkan gaya-gaya
yang bekerja di interface (dengan blok terdekat) adalah Pn, Qn, Pn-1, Qn-1.
Konstanta Mn, Ln, dan Kn, yang terdapat pada gambar tersebut dihitung
sebagai berikut :
Untuk blok di bawah crest lereng : Mn = yn; Ln = yn a1;
Kn = 0
Untuk blok terdapat di crest lereng : Mn = yn a2; Ln = yn a2; Kn
=0
Untuk blok di atas crest lereng : Mn = yn a2; Ln = yn; Kn = 0
Sementara untuk gaya-gaya Qn, Qn-1, Rn, dan Sn dihitung dengan persamaan
berikut ini :
Qn = Pn. tand ..(2.23)
Qn-1 = Pn-1. tand (2.24)
Rn = Wn. cosp + (Pn Pn-1)tand ....(2.25)
Sn = Wn. sinp + (Pn Pn-1) (2.26)
dengan :
Wn = yn. x (2.27)

Sedangkan untuk gaya-gaya Pn - Pn-1, perhitungan dibedakan untuk blok


yang terguling dan blok yang tergelincir.
Untuk blok ke-n yang terguling, dicirikan dengan yn/x > cot(p), bila
>p, maka :

{( .) + [ ](. .)}
Pn-1,t =
(2.28)

Pn = 0 (untuk blok teratas dari set yang terguling)


= Pn-1 (untuk blok terguling di bawahnya)
Untuk kontrol lebih lanjut dapat dilihat bahwa pada blok ini harga Rn >0
dan Sn < Rn tanp.
Untuk blok ke-n yang tergelincir, dicirikan dengan Sn = Rn tanp, maka :
{ (. )}
Pn-1,s = Pn - ; dengan = p ......................(2.29)

Pn = Pn-1,t (untuk blok teratas dari set blok yang tergelincir)


= Pn-1,s (untuk blok terguling di bawahnya, disini akan
terlihat Pn,t > Pn,s)
Perhitungan di atas dilakukan dengan mengambil > p, namun dengan
memperhatikan blok no. 1 (toe) :
Jika Po > 0, lereng berada pada kondisi tidak mantap untuk nilai ;
yang diasumsikan. Oleh karena itu, disarankan untuk mengulang
perhitungan dengan meningkatkan nilai ;
Jika Po < 0, disarankan untuk mengulang perhitungan dengan
menurunkan nilai ; dan
Jika Po > 0, tidak cukup kecil, lereng dalam kondisi setimbang untu
nilai ; yang diasumsikan.

3.5.4. Analisis Longsoran Busur


3.5.4.1. Analisis Longsoran Busur dengan Metode Bishop yang
Disederhanakan
Metode Bishop yang disederhanakan merupakan salah satu metode yang
menggunakan prinsip kesetimbangan batas dalam menentukan faktor
keamanan yang berpotensi longsor. Metode ini menggunakan
kesetimbangan gaya dalam arah vertikal dan kesetimbangan momen pada
pusat lingkaran bidang gelincir seperti pada (Gambar 2.1). Dalam metode ini
gaya geser antaririsan diasumsikan nol. Faktor keamanan untuk metode ini
dirumuskan sebagai berikut :

/( + / )
FS = ......(2.30)
+

Keterangan :
X = [c + (r. h w. hw)tan] (x/cosb) ..(2.31)
Y = tanb. tan ..(2.32)
Z = r. h. x. sinb ...(2.33)
1
Q = 2. w. Z2 (/R) .(2.34)
Catatan : sudut b negative ketika sliding uphill.
Kondisi berikut ini harus terdapat dalam setiap bagian :
. . ( /
1) ' = ..(2.35)
1 + /

2) cosb (1 + Y/FS) > 0.2 ...(2.36)

Untuk memecahkan persamaan (2.30) di atas maka dilakukan iterasi


faktor keamanan sebelah kanan persamaan F = 1.00. Jika hasil perhitungan
faktor keamanan F sebelah kiri mempunyai selisih lebih besar dari 0.001
terhadap faktor keamanan yang diasumsikan, maka faktor keamanan diulang
dengan memakai faktor keamanan hasil perhitungan asumsi kedua dari F.
Demikian seterusnya hingga perbedaan antara kedua F kurang dari 0.001,
dan F yang terakhir tersebut adalah nilai faktor keamanan yang paling tepat
dari bidang longsor yang telah dibuat.

Gambar 2.

3.5.4.2. Analisis Longsoran Busur dengan Metode Jambu yang


Disederhaakan
Metode Jambu yang disederhanakan (Gambar 2.14) juga merupakan
salah satu prinsip kesetimbangan batas dalam menentukan faktor keamanan
dari suatu massa material yang berpotensi longsor. Metode Jambu ini adalah
metode yang biasanya digunakan untuk menganalisis kemantapan lereng
yang memiliki permukaan bidang gelincir tidak berupa busur lingkaran.
Metode ini menggunakan suatu faktor koreksi (fo) untuk mengkoreksi
bidang gelincir yang tidak berupa busur lingkaran. Metode ini memenuhi
kesetimbangan gaya pada arah vertikal dan kesetimbangan momen pada titik
pusat lingkaran runtuh.
Untuk menghitung nilai faktor keamanan dapat menggunakan persamaan
sebagai berikut :
./( + /
F= ..(2.37)
+

Keterangan :
X = [c + (r.h w.hw)tan] (1 + tan2 )x ..
Y = tanb.tan
Z = r.h.x.tanb .
Q = .w.Z2 ..
F = Faktor keamanan
r = Berat jenis batuan (t/m3)
w = Berat jenis air (t/m3)
h = Tinggi lereng (m)
hw = Tinggi lereng jenuh (m)
c = Kohesi (Mpa atau t/m2)
b = Sudut kemiringan bidang luncur ()
= Sudut geser dalam ()
Z = Kedalaman rekahan tarik (m)
fo = Faktor koreksi

Aproksimasi faktor koreksi fo (Hoek dan Bray, 1981) :


fo = 1 + K [ 1.4()2] ..
untuk : c = 0; K = O.31
c > 0; > 0; K = 0.50

Untuk memecahkan persamaan di atas (2.37) maka dilakukan iterasi


faktor keamanan dengan memasukkan faktor keamanan sebelah kanan
persamaan F = 1.00. Jika hasil perhitungan faktor keamanan F sebelah kiri
mempunyai selisih lebih besar dari 0.001 terhadap faktor keamanan yang
diasumsikan, maka faktor keamanan diulang dengan memakai faktor
keamanan hasil perhitungan asumsi kedua dari F. Demikian seterusnya
hingga perbedaan antara kedua F kurang dari 0.001, dan F yang terakhir
tersebut adalah nilai faktor keamanan yang paling tepat dari bidang longsor
yang telah dibuat.

Gambar

Anda mungkin juga menyukai