PEMBAHASAN
1) Metode Bayani
Dalam perspektif penemuan hukum Islam dikenal juga dengan istilah metode penemuan
hukum al-bayan mencakup pengertian al-tabayun dan al-tabyin : yakni proses mencari
kejelasan (azh-zhuhr) dan pemberian penjelasan (al-izhar) ; upaya memahami (alfahm) dan
komunikasi pemahaman (al-ifham) ; perolehan makna (al-talaqqi) dan penyampaian makna
(al-tablig).2[2] Dalam perkembangan hukum bayani atau setidak-tidaknya mendekati sebuah
metode yang dikenal juga dengan istilah hermaneutika yang bermakna mengartikan,
menafsirkan atau menerjemah dan juga bertindak sebagai penafsir. Dalam pengertian ini
dapat dipahami sebagai proses mengubah suatu dari situasi ketidaktahuan menjadi mengerti,
atau usaha mengalihkan diri dari bahasa asing yang maknanya masih gelap ke dalam bahasa
kita sendiri yang maknanya lebih jelas, atau suatu proses transformasi pemikiran dari yang
kurang jelas atau ambigu menuju ke yang lebih jelas/konkret; bentuk transformasi makna
semacam ini, merupakan hal yang esensial dari pekerjaan seorang penafsir / muffasir.
Dalam tradisi Hukum Islam sesungguhnya terminologi hermeneutika telah lama dikenal
dalam keilmuan Islam yang sering disebut dengan istilah ilmu tafsir (ilm tawil dan ilm al
bayan). Bahkan dalam perkembangan dewasa ini ilmu tafsir mengalami kemajuan pesat
dalam wacana keislaman, dalam perspektif yang lebih spesifik, penggunaan istilah ilmu
tafisr ditujukan (dikhitobkan) pada terminologi hermeneutika Al Quran sebagaimana
1[1] A.Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Cet. 5, Edisi Revisi, (Jakarta, Prebada
Media, 2005), hlm.17.
2[2] Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interprestasi Teks,( Yogyakata, UII Pres,
2004), hlm. 23
padanan kata dari hermeneutika pada umumnya. Trem yang digunakan dalam kegiatan
interprestasi dalam wacana ilmu keislaman adalah tafsir. Kata tafsir berasal dari bahasa
Arab ; fassara atau safara yang artinya digunakan secara teknis dalam pengertian eksegesisi
(penafsiran teks) di kalangan orang Islam sejak abad ke-5 hingga sekarang.3[3]
Hermeneutika yang dalam bahasa hukum Islam merupakan ilmu atau seni menginprestasikan
(the art of interprestation) teks atau memahami sesuatu dalam pengertian memahami teks
hukum atau peraturan perundang-undangan.dan kapasitasnya menjadi objek yang ditafsirkan.
Kata sesuatu/teks di sini bisa berupa : teks hukum, peristiwa hukum, fakta hukum, dokumen
resmi negara, naskah-naskah kuno, ayat-ayat ahkam dan kitab suci atapun berupa pendapat
dan hasil ijtihad para ahli hukum (doktrin). Motode dan teknik menafsirkannya dilakukan
secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks dan kontekstualisasi.
Secara filosofis metode bayani mempunyai tugas ontologis yaitu menggambarkan hubungan
yang tidak dapat di hindari antara teks dan pembaca, masa lalu dan sekarang yang
memungkinkan untuk memahami kejadian yang pertama kali (geniun) Urgensi kajian ini
dimaksudkan tidak hanya akan membebaskan kajian-kajian hukum dari otoritarianisme para
yuris positif yang elitis, tetapi juga dari kajian-kajian hukum kaum strukturalis atau
behavioralis yang terlalu emperik sifatnya. Sehingga diharapkan kajian tidak semata-mata
berkutat demi kepentingan profesi yang eksklusif semata-mata menggunakan paradigma
positivisme dan metode logis formal, namun lebih dari itu agar para pengkaji hukum supaya
menggali dan meneliti makna-makna hukum dari perspektif para pengguna dan/atau para
pencari keadilan.
Relevansi dari kajian penemuan hukum bayani mempunyai dua makna sekaligus: Pertama,
metode bayani dapat diahami sebagai metode interprestasi atas teks-teks hukum atau metode
memahami terhadap suatu naskah normatif, di mana berhubungan dengan isi (kaidah
hukumnya), baik yang tersurat maupun yang tersirat, atau antara bunyi hukum dan semangat
hukum. Kedua, metode bayani juga mempunyai pengaruh besar atau relevansi dengan teori
penemuan hukum. Hal mana ditampilkan dalam kerangka pemahaman lingkaran spriral
hermenuetika (cyricel hermeneutics) yaitu berupa proses timbal-balik antara kaidah-kaidah
dan fakta-fakta.
2) Metode Talili
Metode ijtihad talili (kausasi) berusaha meluaskan proses berlakunya hukum dari kasus nash
ke kasus cabang yang memiliki persamaan illat. Dalam epistemologi hukum Islam pola ini
4[4] Mushtafa Syalabi, Talil al-Ahkam (Beirut : Dar an-Nahdhah al-Arabiyyah, 1981), h. 14-34
bahwa setiap kesulitan pasti ada jalan keluar yang meringankannya, tujuan sesuatu peraturan
adalah kemaslahatan dan seterusnya. Biasanya, penalaran ini digunakan kalau masalah yang
akan ditakyf (dikualifikasikan, diidentifikasi) tersebut tidak dapat dikembalikan kepada
sesuatu ayat al-Quran atau Hadith tertentu secara khusus. Dengan kata lain, tidak ada
bandingannya yang tepat dari peristiwa yang terjadi pada zaman Nabi yang bisa
digunakan.5[5] Salah seorang ulama yang berperan besar dalam perumusan teori ini adalah
al-Sytib (w. 790 H/1388 M).
4) Maqashid al Syariah
Menurut Allal al Fasiy, maqashid al Syariah adalah : Tujuan yang dikehendaki Syara
dan rahasia-rahasia yang ditetapkan oleh Syariat Alloh pada setiap hukumNya. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan maqashid al Syariah adalah tujuan
Allah sebagai Syarih (Pembuat Hukum) dalam menetapkan hukum terhadap hambaNYA.
Adapun inti dari maqashid al Syariah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus
menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan menolak mudharat, atau dengan kata
lain adalah untuk mencapai kemaslahatan, karena tujuan penetapan hukum dalam Islam
adalah untuk menciptakan kemaslahatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara 6[6].
Abdullah Daraz dalam komentarnya terhadap pandangan al Syatibi menyatakan bahwa tujuan
utama Allah menetapkan hukum-Nya adalah untuk terwujudnya kemaslahatan hidup manusia
di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, taklif (pembebanan hukum) harus mengacu kepada
terwujudnya tujuan hukum itu.
Kajian tentang tujuan ditetapkannya hukum dalam Islam merupakan kajian yang
menarik. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya kajian ini merupakan kajian utama dalam
filsafat hukum Islam. Sehingga dapat dikatakan bahwa istilah maqashid al Syariah identik
dengan istilah filsafat hukum Islam. Hal ini disebabkan karena kajian ini melibatkan
pertanyaan kritis tentang tujuan ditetapkannya suatu hukum. Filsafat hukum Islam
sebagaimana filsafat pada umumnya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjangkau
oleh ilmu hukum. Demikian juga dengan filsafat hukum Islam, seperti halnya tugas filsafat
pada umumnya mempunyai dua tugas: pertama, tugas kritis dan, kedua tugas konstruktif.
Bagi al Syatibi memahami maqashid al Syariah sangat urgen dilakukan ketika seorang ulama
mujtahid ingin melakukan istinbath hukum. Karena dengan memahami maqashid al Syariah
5[5] http://fauzisaleh.blogspot.co.id/2011/09/metode-istislahi-al-syatibi-dalam.html
REFRENSI
A.Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Cet. 5, Edisi
Revisi, (Jakarta, Prebada Media, 2005), hlm.17.
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interprestasi
Teks,( Yogyakata, UII Pres, 2004), hlm. 23
http://zakarialombok.blogspot.com/2011/01/maqashid-syariah-sebagai-metode.html
Mushtafa Syalabi, Talil al-Ahkam (Beirut : Dar an-Nahdhah al-Arabiyyah, 1981), h. 14-34
http://fauzisaleh.blogspot.co.id/2011/09/metode-istislahi-al-syatibi-dalam.html