Program pembelajaran disusun dalam bentuk 1 modul. Modul ini terdiri dari 2
bagian yaitu Petunjuk Umum dan Kegiatan Belajar. Kegiatan belajar terdiri dari :
kegiatan belajar 1-4, topik, tujuan umum pembelajaran, tujuan khusus pembelajaran,
uraian dan contoh, latihan, rangkuman, tes formatif, unpan balik dan tindak lanjut,
referensi dan kunci jawaban. Setiap kegiatan belajar di tulis kompetensi dan sub
kompetensi, diuraikan petunjuk belajar, kegiatan dan latihan yang akan dilakukan,
dan dilengkapi dengan rangkuman. Setelah semua kegiatan dilakukan dan
rangkuman telah dibaca, maka mahasiswa dapat mengerjakan tes formatif yang telah
disediakan. Mahasiswa harus mengikuti urutan kegiatan yang harus dilakukan.
Setelah tes formatif selesai dikerjakan mahasiswa, pekerjaan diperiksa sendiri dengan
menggunakan kunci jawaban. Jika memenuhi syarat maka mahasiswa dapat pindah
ke kegiatan belajar lain, jika tidak maka mahasiswa mengulangi lagi bagian-bagian
yang belum dikuasai.
KEGIATAN BELAJAR
A. Kegiatan Belajar 1
PRESIPITASI
1. Tujuan Umum Pembelajaran
Mahasiswa diharapkan dapat memahami dengan benar proses terjadinya presipitasi.
2. Tujuan Khusus Pembelajaran
1. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian presipitasi
2. Mahasiswa dapat menjelaskan proses terjadinya presipitasi
3. Mahasiswa dapat menjelaskan perbedaan antara presipitasi orografis, frontal dan
konvektif
4. Mahasiswa dapat menjelaskan bentuk-bentuk presipitasi
5. Mahasiswa dapat menjelaskan cara mengukur presipitasi.
PRESIPITASI
A. Mekanisme Presipitasi
Presipitasi adalah curahan atau jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan bumi
dan terjadi dalam bentuk yang berbeda, yaitu curah hujan di daerah tropis dan curah
hujan serta salju di daerah beriklim sedang (C. Asdak).
Presipitasi adalah faktor utama yang mengendalikan proses daur hidrologi di
suatu DAS. Terbentuknya ekologi dan tata guna lahan di suatu daerah sebagian besar
ditentukan atau tergantung pada fungsi daur hidrologi dan dengan demikian
presipitasi merupakan kendala sekaligus kesempatan dalam usaha pengelolaan
sumber daya tanah dan air.
Proses terjadinya presipitasi diawali ketika sejumlah uap air di atmosfer
bergerak ketempat yang lebih tinggi oleh adanya tekanan uap air. Uap air bergerak
dari tempat dengan tekanan uap air lebih besar ke tempat dengan tekanan uap air
yang lebih kecil. Uap air yang bergerak ke tempat yang lebih tinggi tersebut pada
ketinggian tertentu akan mengalami kejenuhan dan apabila hal ini diikuti dengan
terjadinya kondensasi maka uap air tersebut akan berubah bentuk menjadi butiran air
hujan.
Udara di atmosfer mengalami proses pendinginan melalui beberapa cara
antara lain oleh adanya pertemuan antara dua massa udara dengan suhu yang berbeda
atau oleh sentuhan antara massa udara dengan suhu yang berbeda atau sentuhan
antara massa udara dengan obyek atau benda dingin. Secara ringkas dan sederhana,
terjadinya hujan terutama karena adanya perpindahan massa air basah ke tempat yang
lebih tinggi sebagai respon adanya beda tekanan antara dua tempat yang berbeda
ketinggiannya. Di tempat tersebut, karena adanya akumulasi uap air pada suhu yang
rendah maka terjadilah proses kondensasi dan pada gilirannya massa air basah
tersebut jatuh sebagai air hujan. Namun demikian, mekanisme berlangsungnya hujan
melibatkan tiga faktor utama. Dengan kata lain, akan terjadi hujan apabila
berlangsung 3 kejadian sebagai berikut :
1. kenaikan massa uap air ke tempat yang lebih tinggi sampai saatnya atmosfer
menjadi jenuh.
2. Terjadi kondensasi atas partikel-partikel uap air di atmosfer.
3. Partikel uap air tersebut bertambah besar sejalan dengan waktu untuk
kemudian jatuh ke bumi dan permukaan laut (sebagai hujan) karena gaya
gravitasi.
B. Tipe-Tipe Hujan
Bentuk atau tipe presipitasi dapat dibagi berdasarkan atas dasar genetiknya (asal mula
proses presipitasi dan berdasarkan bentuk presipitasi.
Klasifikasi Genetik
Klasifikasi ini didasarkan atas asal mula dari proses terbentuknya sampai terjadi
presipitasi. Proses terjadinya presipitasi ini melalui tahapan-tahapan sampai proses
turunjunya presipitasi. Berdasarkan genetiknya di bedakan atas:
1. Hujan konvektif (convectional storms), tipe hujan ini disebabkan oleh adanya
beda panas yang diterima permukaan tanah dengan panas yang diterima oleh
lapisan udara diatas permukaan tanah tersebut. Adara yang mengalami
pemanasan dipermukaan tanah naik keatas dan mengalami kondensasi.
Presipitasi konvektif mempunyai cirri berlangsung singkat (jarang melebihi 1
jam) tapi berintensitas sangat tinggi. Presipitasi total bias berjumlah 8-10 cm.
awan
awan
Udara panas
Gambar 3. Pendinginan konvektif
permukaah terputus
awan
timur
hujan
udara dingin
permukaan terputus
panas
Udara panas
Gunung
Laut
Gambar 3. Orografik
Suhu Udara
Suhu mempengaruhi besarnya curah hujan, laju evaporasi dan transpirasi.
Suhu juga dianggap sebagai salah satu faktor yang dapat memperkirakan dan
menjelaskan kejadian dan penyebaran air di muka bumi. Dengan demikian, adalah
penting untuk mengetahui bagaimana cara menentukan besarnya suhu udara.
Pengukuran besarnya suhu memerlukan pertimbangan-pertimbangan sirkulasi
udara dan bentuk-bentuk permukaan alat ukur suhu udara tersebut. Satuan untuk suhu
umumnya diekspresikan dalam derajat Celsius (0C) dan Fahrenheit (0F) atau dalam
skala-skala absolut. Suhu harian rata-rata diwujudkan dalam bentuk interval dari data
suhu yang dikumpulkan. Untuk mendapatkan angka suhu harian rata-rata rumus
berikut ini dapat dimanfaatkan.
24
Tave = Ti / 24
i =l
D. Pengukuran Presipitasi
Tujuan utama setiap metode pengukuran presipitasi adalah untuk
mendapatkan contoh yang benar-benar mewakili curah hujan di seluruh kawasan
tempat pengukuran dilakukan WMO (World Meteorological Office), 1997. Karena
itu di dalam memasang suatu penakar presipitasi haruslah dijamin bahwa :
1. Percikan tetesan hujan ke dalam dan ke luar penampung harus di cegah
2. Kehilangan air dari reservoir oleh penguapan haruslah seminimal mungkin
3. Jika ada, salju haruslah melebur
Tentunya, pemajanan penakar hujan adalah sangat penting untuk pengukuran
yang benar-benar mewakili. Beberapa persyaratan disajikan di bawah:
1. Untuk memperkecil pengaruh turbelensi angin (Larson dan Peck, 1974),
tinggi penakar harus dipertahankan seminimal mungkin. Sebaliknya, penakar
hujan harus ditetapkan cukup tinggi, agar tidak tertutup oleh salju. Penakar
hujan setinggi tanah harus dilindungi dari gangguan hewan. Untuk
perbandingan pengukuran semua penakar hujan dalam suatu jaringan haruslah
ditempatkan pada tinggi yang sama.
2. Bilamana mungkin, mulut penakar haruslah parallel dengan permukaan tanah.
Pada daerah yang berbukit, dimana penakar kerap kali harus ditempatkan di
atas bukit, ketelitian tangkapan penakar yang baku dapat ditingkatkan dengan
memiringkannya tegak lurus permukaan tanah (lihat Storey dan Hamilton,
1943) atau dengan menggunakan penakar hujan stereo (Storey dan Hamilton,
1943 dan Sevruk, 1974). Namun, lokasi pada suatu kemiringan lereng
umumnya harus dihindari.
3. Suatu lokasi yang terlindung dari kekuatan penuh angin harus dipilih. Akan
tetapi, abyek di sekitarnya tidak boleh lebih dekat dengan penakar yang
melebihi suatu jarak yang sama dengan n kali (pada umumnya n = 4; di Itali
n = 10 dan di negeri Belanda n = 2) tinggi penakar hujan. Suatu cara alternatif
adalah dengan membangun pariasi angin di sekitar penakar.
Pemilihan suatu tipe penakar hujan tertentu dan lokasinya di suatu tempat
tergantung pada beberapa faktor diantaranya:
1. Dapat dipercaya (ketelitian pengukuran)
2. Tipe data yang diperlukan (menit, harian dan lain-lain)
3. Tipe presipitasi yang akan diukur (adanya salju, tebalnya salju)
4. Dapat diperbandingkan dengan penakar hujan lain yang ada
5. Biaya instalasi dan perawatannya
6. Intensitas perawatan
7. Mudahnya perawatan (deteksi kebocoran)
8. Gangguan oleh hewan atau manusia
Sesudah suatu tipe penakar hujan dipilih, maka langkah selanjutnya adalah
memutuskan jumlah minimum penakar yang dibutuhkan untuk suatu kawasan.
Pengajuan ini tergantung pada maksud tujuan penelitian, posisi geografis kawasan
tersebut (aspek iklim mikro seperti pengaruh orografi), dan urbanisasi kawasan
tersebut (Gray, 1973).
E. Perhitungan Presipitasi
Para pakar hidrologi dalam melaksanakan pekerjaannya seringkali
memerlukan informasi besarnya volume presipitasi rata-rata untuk suatu daerah
tangkapan air atau daerah aliran sungai. Untuk mendapatkan data curah hujan yang
dapat mewakili daerah tangkapan air tersebut diperlukan alat penakar hujan dalam
jumlah yang cukup. Dengan semakin banyaknya alat-alat penakar hujan yang
dipasang di lapangan diharapkan dapat diketahui besarnya variasi hujan di tempat
tersebut dan juga besarnya presipitasi rata-rata yang akan menunjukkan besarnya
presipitasi yang terjadi di daerah tersebut.
Sistem jaringan kerja dari sejumlah alat penakar hujan akan mewakili
sejumlah titik-titik pengamatan besarnya atau ketebalan curah hujan di daerah
tersebut. Dalam menentukan besarnya presipitasi (rata-rata) di suatu daerah aliran
sungai dengan memanfaatkan system jaringan kerja dari alat-alat penakar hujan
(bagaimanapun baiknya pengaturan sample yang dilakukan), tetap saja akan terjadi
kesalahan yang berkaitan dengan sifat acak alamiah dari kejadian-kejadian hujan
(Wiesner, 1970). Ketelitian hasil pengukuran presipitasi akan tergantung pada
veriabilitas spasial curah hujan. Dengan demikian diperlukan lebih banyak lagi alat-
alat penakar hujan, terutama di daerah dengan kemiringan lereng besar dan daerah-
daerah yang banyak menerima tipe curah hujan lebat (thunderstorm) dibandingkan
tipe curah hujan frontal (Hutchinson, 1970; Browning, 1987).
Secara umum, ketelitian hasil pengukuran presipitasi akan meningkat dengan
meningkatnya jumlah alat penakar hujan yang digunakan. Tetapi, tingkat kerapatan
alat penakar hujan yang tinggi seringkali sulit mengaturnya di lapangan, disamping
mahal biayanya. Cara penyelesaian yang merupakan kompromi antara keterbatasan
jumlah alat penakar hujan yang digunakan dengan hasil ketelitian tetap memadai
adalah dengan membuat klasifikasi antara lain: klasifikasi tentang karakteristik
topografi seperti ketinggian tempat, kemiringan lereng, dll. Sebagai contoh, apabila
pengukuran besarnya presipitasi di suatu daerah dimaksudkan untuk penelitian air
larian, maka strategi penempatan alat penakar hujan lebih diprioritaskan pada tempat-
tempat yang dianggap sebagai sumber air larian. Dengan pendekatan yang sama hal
tersebut dilakukan untuk pengukuran curah hujan untuk penelitian erosi atau
sedimentasi. Dengan cara penempatan alat penakar hujan yang disesuaikan dengan
keperluan pengukuran, maka jumlah alat penakar hujan diperlukan di lapangan dapat
dikurangi tanpa mengorbankan tingkat ketelitian yang diinginkan.
Untuk menghitung curah hujan harian, bulanan, dan tahunan di suatu sub-
DAS/DAS, umumnya digunakan dua cara perhitungan, yaitu :
(1) Rata-rata aritmatik
(2) Teknik poligon (thiessen poligon)
Catatan :
1
l (2)/(51352,4) l x 100
2
(3)/100
3
(1) x (4)
Tabel 2.1 menunjukkan bahwa besarnya curah hujan tahunan rata-rata
menurut metoda poligon adalah 1723,2 masing-masing, sedikit lebih kecil dari pada
angka curah hujan rata-rata yang diperoleh dengan metode aritmatik (1799,3 mm).
Dari cara perhitungannya, dapat dikatakan bahwa metoda poligon menghasilkan
angka curah hujan tahunan rata-rata yang lebih akurat.
Teknik poligon termasuk memadai guna menentukan curah hujan suatu
daerah, namun demikian hasil yang baik akan ditentukan daerah pengamatan ia tidak
cocok penakar hujan yang tinggi (Shaw, 1985). Teknik ketiga dalam pengukuran
curah hujan adalah teknik isohet (isohyet). Teknik ini dipandang paling baik, tapi
bersifat subyektif dan tergantung pada keahlian, pengalaman, dan pengetahuan
pemakai terhadap sifat curah hujan di daerah setempat.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa cara isohet lebih teliti cara
perhitungannya memerlukan banyak waktu karena garis isohet yang baru perlu
ditentukan untuk setiap curah hujan. Metoda isohet terutama berguna untuk
mempelajari pengaruh curah hujan terhadap perilaku aliran air sungai terutama di
daerah dengan tipe curah hujan omografik. Pada beberapa kasus, besarnya curah
hujan di suatu tempat dapat diperkirakan dari ketinggian tempat tersebut. Hal ini
terutama lazim terjadi di daerah dengan tipe curah hujan orografik. Di daerah ini,
interval garis kontur dapat digunakan untuk membantu memperkirakan posisi garis-
garis dengan curah hujan yang sama besarnya (isohet). Setelah penentuan garis
isohet, kemudian dapat dihitung besarnya curah hujan rata-rata untuk masing-masing
fraksi isohet, dan dengan demikian, dapat diperkirakan besarnya curah hujan rata-rata
untuk seluruh DAS. Tampak bahwa teknik isohet mempunyai persyaratan yang lebih
rumit dibandingkan metoda aritmatik atau poligon, oleh karenanya, apabila
persyaratan tersebut tidak terpenuhi, maka metoda aritmatik, dan terutama metoda
poligon lebih diutamakan.
Ketepatan dalam memperkirakan besarnya curah hujan rata-rata untuk suatu
daerah tergantung pada kerapatan jaringan stasiun pencatat hujan dan tipe serta
ukuran hujan. Di daerah gurun dengan badai hujan local (localized thunderstorms),
sangat sulit untuk menentukan besarnya curah hujan rata-rata di tempat tersebut
dibandingkan dengan daerah dengan curah hujan yang bersifat siklon (cyclonic
storms). Jaringan alat pencatat hujan yang terletak terpencar tidak mewakili daerah
pengamatan cenderung menghasilkan jumlah dan intensitas hujan lebih kecil dari
yang seharusnya. Hal yang sama terjadi juga pada pengambilan data hujan untuk
waktu yang terlalu singkat. Apabila data hujan yang kurang memadai ini dipakai
sebagai data dasar perancangan program konservasi tanah dan air serta pembuatan
bangunan konservasi kainnya, maka rancangan yang dihasilkan juga menjadi lebih
kecil dari pada angka yang seharusnya (underestimate).
Veriabilitas Presitasi
Veriabilitas curah hujan umumnya dibedakan menjadi veriabilitas yang
berdimensi ruang (spatial) dan waktu (temporal). Tidak sperti yang lazim dijumpai di
daerah beriklim sedang (temperature climate), variabilitas hujan di daerah tropis jauh
lebih besar. Secara umum besarnya curah hujan bervariasi menurut ketinggian tempat
sebagai akibat pengaruh orografik.
Besarnya curah hujan yang turun di daerah tropis umumnya bervariasi dari
tahun ke tahun dan bahkan dari musim ke musim dalam kurun waktu satu tahun.
Dengan adanya variasi besarnya hujan tersebut maka diperlukan data hujan dalam
jangka panjang untuk dapat memperkirakan besarnya nilai tengah curah hujan dan
besarnya frekuensi hujan, yaitu ketika satu besaran hujan tertentu akan datang lagi
pada periode waktu tertentu. Besarnya kejadian hujan berulang (recurrence interval)
dalam satu serial data pengamatan curah hujan dapat ditentukan dengan rumus
berikut :
T = (n + 1)/m
T = kejadian hujan berulang untuk m pengamatan data hujan
n = jumlah total pengamatan kejadian hujan
m = nomor peringkat untuk pengamatan kejadian hujan tertentu
Prosedur yang harus dilakukan adalah dengan cara menyusun data hujan
(berdasarkan besarnya) secara menurun (decreasing order). Data hujan yang terbesar
diberi nomor peringkat 1 (m=1) dan data hujan terbesar kedua diberi peringkat 2,
demikian seterusnya. Penentuan nomor peringkat ini terus dilakukan sampai setengah
dari jumlah kejadian hujan berulang telah ditentukan. Nilai-nilai yang telah
ditentukan tersebut kemudian diplotkan dengan urutan meningkat (increasing order),
data hujan yang terkecil diberi nomor peringkat m = 1, dan data hujan terkecil kedua
diberi nomor peringkat m = 2 demikian seterusnya. Seluruh data pengamatan tersebut
kemudian diplotkan di atas kertas grafik semi-logaritmik dengan data curah hujan
sebagai ordinat (y) dan nilai kejadian hujan berulang sebagai absis (X). akhirnya,
kurva kejadian hujan berulang sebagai cara menarik garis yang melewati titik-titik
kejadian hujan berulang yang telah di plotkan di atas kertas grafik tersebut di atas.
Untuk memberikan gambaran proses pembuatan kurva kejadian hujan berulang.
Dengan prosedur yang kurang lebih sama, dapat dibuat kurva debit banjir berulang
tahunan, kurva aliran debit kecil berulang tahunan, dan karakteristik hidrologi
lainnya, terutama yang mempunyai veriabilitas cukup besar.
Kesimpulan
Udara di atmosfer mengalami proses pendinginan melalui beberapa cara
antara lain oleh adanya pertemuan antara dua massa udara dengan suhu yang berbeda
atau oleh sentuhan antara massa udara dengan suhu yang berbeda atau sentuhan
antara massa udara dengan obyek atau benda dingin. Secara ringkas dan sederhana,
terjadinya hujan terutama karena adanya perpindahan massa air basah ke tempat yang
lebih tinggi sebagai respon adanya beda tekanan antara dua tempat yang berbeda
ketinggiannya. Di tempat tersebut, karena adanya akumulasi uap air pada suhu yang
rendah maka terjadilah proses kondensasi dan pada gilirannya massa air basah
tersebut jatuh sebagai air hujan. Namun demikian, mekanisme berlangsungnya hujan
melibatkan tiga faktor utama. Dengan kata lain, akan terjadi hujan apabila
berlangsung 3 kejadian sebagai berikut :
4. kenaikan massa uap air ketempat yang lebih tinggi sampai saatnya atmosfer
menjadi jenuh.
5. Terjadi kondensasi atas partikel-partikel uap air di atmosfer.
6. Partikel uap air tersebut bertambah besar sejalan dengan waktu untuk
kemudian jatuh ke bumi dan permukaan laut (sebagai hujan) karena gaya
gravitasi.
Soal-Soal
1. Jelaskan pengertian presipitasi?
2. Jelaskan proses terjadinya presipitasi?
3. Mengapa presipitasi sangat beragam baik menurut ruang maupun waktu?
4. Sebutkan dan jelaskan presipitasi yang terjadi secara vertical ?
5. Sebutkan dan jelaskan 4 unsur yang mencirikan presipitasi yang jatuh pada suatu
wilayah?
6. Jelaskan syarat-syarat memasang alat penakar curah hujan?
7. Sebutkan dan jelaskan alat-alat pengukur presipitasi menurut seyhan?
8. Jelaskan hubungan antara presipitasi yang terjadi di suatu wilayah dengan kondisi
topografi ?
9. Jelaskan cara menentukan rata-rata curah hujan daerah dengan metode aritmetik
dan polygon thiessen?
DAFTAR PUSTAKA
Asdak C, 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah Mada
University Press. Yogyakarta
Disusun oleh :
1. ADRIANI
2. MUH. NURMAN
3. A. ADRIANI
4. BASRI
5. YUSRIANI
JURUSAN GEOGRAFI
FAKULTAS MATAMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2005