Anda di halaman 1dari 4

Melihat Liberalisme Yang Tak Datang Dari Langit

Rofi Uddarojat

Judul : Dari Langit: Kumpulan Esai Tentang Manusia, Masyarakat, dan


Kekuasaan

Penulis : Rizal Mallarangeng

Jumlah Halaman : 659 halaman

Tahun Terbit : 2008

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, Freedom Institute

Sebuah buku tak pernah kehilangan relevansinya, selama ia mengutip ide-ide besar peradaban
dunia. Begitu juga buku Dari Langit, yang ditulis oleh Rizal Mallarangeng yang pertama kali
dipublikasikan pada tahun 2008. Buku ini seakan menghilang dari peredaran wacana publik
sejak diterbitkan pertama kali, mengikuti jejak pengarangnya yang meninggalkan dunia
gagasan dan intelektual publik karena terjun ke arena partai politik. Dengan berbagai
kontroversi, arena politik seringkali menenggelamkan seorang cendekiawan yang cemerlang
dalam intelektualisme gagasan. Padahal buku Dari Langit ini merupakan salah satu dari
sedikit buku berbahasa Indonesia (dan dari orang Indonesia) yang cemerlang dalam
menjelaskan filsafat individualisme liberalisme klasik. Rizal menjelaskan individualisme
dengan anggun, melepaskan diri dari jerat asumsi dan keyakinan umum kolektivisme dan
komunitarianisme pemikiran lokal.

Rizal mengawali bukunya dengan suatu tulisan tentang kebebasan dan kerangka umumnya.
Merujuk pada stigmatisasi kata bebas dalam masyarakat umum, Rizal membantah beberapa
mitos tentang kebebasan. Masyarakat Indonesia seringkali mengidentikkan kebebasan
dengan keliaran atau aktivitas yang berbau negatif, seperti seks bebas dan pergaulan bebas.
Padahal, menurut Rizal dalam filsafat politik, bebas mempunyai arti kata positif karena
terkait erat dengan kedewasaan, atau yang sering dipahami, manusia yang dewasa akan
mempunyai kebebasan untuk menentukan sesuatu. Manusia yang dewasa adalah manusia
yang bebas. Menurut Rizal, dalam pembelaan menyeluruhnya tentang individualisme,
menjadi manusia yang bebas dan otonom sejatinya haruslah sebagai individu yang otonom.
Artinya, sebagai individu seseorang merdeka dari tuntutan-tuntutan eksternal orang lain,
keluarga, adat, maupun masyarakat yang lebih luas atas dirinya.

Dari situ Rizal mengkritik tentang adat dan budaya timur yang cenderung mendorong
kekeluargaan dan kebersamaan sebagai sebuah sistem yang mengancam otonomi individu.
Rizal tak pernah mengkhawatirkan individu yang bebas dan dewasa, namun Rizal sangat
mengkhawatirkan ancaman paksaan dan koersi yang mengatasnamakan kepentingan bersama
masyarakat, sehingga mengorbankan kebebasan dan otonomi individu dalam menentukan
jalan hidupnya masing-masing. Rizal secara eksplisit tidak mengkhawatirkan pilihan individu
yang berbeda dengan pilihan umum sebuah masyarakat, bila memang individu yang
bersangkutan telah dewasa dan menggunakan akal sehatnya dalam menentukan sesuatu.
Namun, Rizal sangat khawatir apabila dengan mengatasnamakan masyarakat yang
mengancam kebebasan dan kepentingan individu, seperti pemberlakuan jilbab yang
mengatasnamakan bagian dari kebudayaan etnis dan agama mayoritas, sehingga semua
perempuan baik yang meyakini maupun tidaknya harus menggunakan jilbab. Disinilah apa
yang terjadi yang disebut sebagai bencana kolektivisme: sebuah aturan kolektif yang
memberangus kebebasan individu.

Lalu Rizal masuk dalam dikotomi barat-timur sebagai paradigma dalam memandang
kebebasan individu. Sebagai sistem universal, kebebasan dan otonomi individu berlaku bagi
semua orang. Dikotomi tersebut, sangat bias dan tidak relevan digunakan lagi dalam
menentukan falsafah baik dan buruk dalam suatu kehidupan. Negara timur yang cenderung
terbelakang menurut Rizal, akan menonjolkan rasa kebersamaan dan kolektivitas-nya.
Namun dalam prosesnya menuju modernisasi, suatu masyarakat akan cenderung
menonjolkan rasa individu. Dengan demikian, negara timur yang maju pun akan semakin
cenderung otonom terhadap individu. Begitu juga dengan awal mula negara barat dan Eropa,
yang berevolusi dari masyarakat yang kolektivistik, menuju masyarakat moderen yang
menjunjung nilai-nilai individu.

Dalam bab lain dalam buku tersebut, Rizal membagi argumen tentang individualisme atau
kebebasan individu dari filsuf-filsuf besar seperti Adam Smith, David Hume, John Stuart
Mill, sampai Friedrich Von Hayek ke dalam dua argumen. Pertama, argumen yang bertolak
pada ketidaksempurnaan masyarakat. Bagi paham individualisme, banyaknya kepentingan
dalam suatu masyarakat yang seringkali berakibat terhadap konflik dan benturan
kepentingan, menunjukkan betapa kompleksnya suatu masyarakat. Fakta ini disadari oleh
filsuf liberal yang mendorong individualisme, sehingga segala upaya untuk penyeragaman
kepentingan harus dihindari. Kedua, penerimaan atas keterbatasan manusia itu sendiri. Bagi
paham individualisme, sulit sekali (bahkan mustahil) menemukan manusia super sempurna
yang bisa menjadi ukuran dan pusat otoritas semua individu tipe philosopher-king ala Plato.
Dengan demikian, menerima otonomi dan kebebasan individu merupakan solusi realistis dari
semua angan-angan pengaturan masyarakat. Maka atas dasar otonomi dan kebebasan
individulah, demokrasi serta prinsip kedaulatan hukum dan pemerintah terbatas diciptakan.

Maka, sudahlah. Begitu kira-kira apa yang dipikirkan oleh Rizal ketika menjawab tulisan
Mubyarto dan Budiawan yang mengkritik individualisme. Prinsip tersebut sudah menjadi
landasan filosofis terciptanya masyarakat moderen kini.

Menyentak Kaki Kuasa

Selain membela secara keseluruhan filsafat liberalisme klasik, terutama dalam konsepsi
kebebasan individu, Rizal Mallarangeng juga seorang yang brilian dalam penjabarannya
tentang filsafat politik. Dalam satu dari tulisannya, Rizal membahas tentang Machiavelli,
seorang yang menurutnya telah disalahpahami dalam melihat gagasan besar yang dibawa.
Seorang filsuf besar selalu membawa gagasan besar yang tidak cukup dipahami melihat satu
bongkahan pemikiran saja. Dalam hal ini, banyak interpretasi yang mencoba menafsirkan
pemikiran Machiavelli gagal melihat gagasan besar yang dibawa.

Begitu yang saya lihat pesan dalam tulisan Rizal tentang Machiavelli. Ia (Machiavelli)
bukanlah penganjur kekuasaan yang tirani, absolut, dan beringas dalam arti yang sebenarnya,
namun terdapat pesan yang lebih luas dalam gambaran besar pemikirannya: tentang
sekularisasi dan peletakan posisi kekuasaan politik pada posisi yang nyata. Machiavelli
menyatakan politik yang buruk sebagai suatu kenyataan (is) bukan merupakan suatu anjuran
atau yang seharusnya (ought to). Dalam hal ini, jangan letakkan politik sebagai bagian dalam
posisi teologis surgawi, yang mutlak dalam kebenarannya. Politik, selayaknya manusia
merupakan unit yang bisa salah, bahkan memutlakkan kesalahan tersebut karena
mengandung unsur hasrat berkuasa manusia.

Rizal sadar tentang itu. Maka ia tuliskan interpretasi dalam sebuah esai yang mencerahkan
tentang gagasan besar Machiavelli. Ini penting bagi penyebaran gagasan liberalisme, bahwa
suatu gagasan tidak lah absolut. Suatu gagasan datang dari manusia, datang mengikuti
kelemahan dan ketidaksempurnaan manusia. Liberalisme sadar akan hal itu, yang dalam
turunan prinsipnya muncul konsep negara minimal, aturan hukum, demokrasi, dan
sebagainya. Liberalisme sadar pikiran manusia hanyalah menelurkan gagasan untuk manusia,
bukan gagasan super dan absolut. Sebuah gagasan yang tak datang dari langit.

Anda mungkin juga menyukai