Anda di halaman 1dari 12

Meretas Kebermanfaatan Rencana Tata Ruang

pada Penataan Ruang Kota di Indonesia

Bayu Wirawan

Pendahuluan

Pertumbuhan Indonesia pada 4,5 dekade terakhir mengalami peningkatan yang


sangat dramatis. Salah satu aspek utama yang signifikan adalah tingkat
pertumbuhan penduduk yang signifikan yaitu dari 119 juta jiwa pada tahun 1971
(BPS 2015) menjadi diperkirakan sejumlah 255,5 jiwa pada tahun 2015 (Bappenas
2014). Konsekuensi langsung dari lonjakan jumlah penduduk tersebut berdasarkan
perkiraan BPS adalah menyebabkan lebih dari 53% penduduk Indonesia hidup di
kawasan perkotaan dan diperkirakan akan menjadi 66% di tahun 2035. Hal ini
tentunya akan memberikan dampak tersendiri terhadap kebutuhan ruang hidup
bagi mayoritas penduduk Indonesia.

Dinamika penggunaan lahan pada kawasan perkotaan yang tinggi baik untuk
kegiatan hunian, ekonomi, sosial budaya, dan yang lainnya tentunya akan
berdampak pada peri kehidupan masyarakat perkotaan sebagaimana telah
disebutkan oleh Barlowe (1986) bahwa pertumbuhan penduduk yang disertai
dengan peningkatan kebutuhan pendukungnya akan cenderung mengakibatkan
terjadinya kompetisi dan konflik diantara pengguna lahan. Pada kasus Indonesia,
kompetisi dan konflik ini semakin dipertajam dengan pola perencanaan perkotaan
Indonesia di masa lampau yang tidak terintegrasi dan komprehensif (Budiharjo, et
al. (1993) dalam Hidayat (2014)), mengakibatkan terjadinya ketidakefisienan pada
struktur dan pola ruang kota-kota Indonesia pada saat ini. Semakin membesarnya
kota-kota lama dan bermunculannya kota-kota muda di Indonesia menjadi
tantangan tersendiri terhadap perencanaan ruang di Indonesia.

Proses penataan ruang kawasan perkotaan di Indonesia sendiri juga turut


mengalami perjalanan waktu yang tidak pendek. Terbitnya UU No 24 tahun 1992
yang menjadi tonggak awak bagi dasar hukum perencanaan ruang di Indonesia yang
kemudian diperbaiki (ataukah diperkuat?) dengan UU No 24 tahun 2007 pada
dasarnya telah memberikan petunjuk mengenai bagaimana merencanakan ruang
kota di Indonesia. Akan tetapi, keberadaan dasar hukum tersebut ternyata belum
dapat memberikan hasil yang signifikan terhadap penataan ruang kawasan
perkotaan di Indonesia hingga saat ini.

[1]
Rencana tata ruang bagi kota-kota Indonesia adalah merupakan alat dan mekanisme
yang penting untuk dipergunakan dalam penataan ruang, dan lebih khususnya
dalam hal pengendalian pemanfaatan ruang kawasan perkotaan di Indonesia untuk
dapat mengurangi kompetisi dan konflik yang terjadi pada penggunaan lahan
kawasan perkotaan di Indonesia.

Dinamika Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan di Indonesia

Dokumen Rencana Tata Ruang (RTR) baik untuk kota sebagai daerah otonom
tersendiri atau yang menjadi bagian dari suatu wilayah kabupaten atau yang
merupakan gabungan dari beberapa daerah otonom adalah merupakan alat utama
yang menjadi rujukan dalam penataan ruang di kawasan perkotaan tersebut.

Tahapan awal yang penting berkaitan dengan Dokumen RTR tersebut adalah
penyusunannya dimana hal ini melingkupi berbagai hal yang dimulai dari
pengkajian kondisi dan kebutuhan pengembangan kota yang bersangkutan,
penjabaran hasil kajian tersebut dalam dokumen teknis perencanaan, perumusannya
dalam draft peraturan perundang-undangan, diakhiri dengan penetapannya sebagai
produk hukum yang mengikat. Pedoman yang telah diberlakukan secara nasional
(seperti Pedoman Penyusunan RTR Kawasan Strategis Nasional/KSN, Pedoman
Penyusunan RTR Wilayah Kota, Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang
dan Peraturan Zonasi, dll) juga telah menyebutkan hal-hal apa saja yang harus
dipenuhi, baik dalam muatan, kebutuhan sumber daya manusia, maupun kerangka
waktu yang dibutuhkan dalam penyusunan dokumen RTR, akan tetapi dalam
kenyataannya ternyata dijumpai perlambatan dalam proses penyusunan RTR
tersebut, terutama pada 5 tahun awal setelah ditetapkannya UU No. 26 tahun 2007
hingga saat ini, sebagai gambaran perkembangan status penetapan Perda RTRW
dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1 Perkembangan Status Penetapan Perda RTRW Kabupaten-Kota di


Indonesia 2012-2015

Perkembangan Penetapan Perda RTRW (%)


Perda RTRW Jumlah
2012 2013 2014 2015*
Kabupaten 398 50,75 65,32 79,64 82,66
Kota 93 60,21 75,27 87,09 90,32
Total 491 52,54 67,21 81,06 84,11
Keterangan:*per Mei 2015
Sumber: data diolah dari 1) Sekretariat BKPRN, 2014; 2) Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
Bappenas, 2014; 3) Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2015

Ilustrasi diatas baru menggambarkan mengenai proses penyusunan RTRW


kabupaten dan kota, sementara untuk kawasan perkotaan sendiri masih terdapat

[2]
beberapa jenis produk RTR yang juga harus tersedia, antara lain: RTR KSN
Perkotaan, RTRW Kota, RDTR dan Peraturan Zonasi, Rencana Rinci Kawasan
Perkotaan Kabupaten.

Dalam penyusunan RTR sendiri, tidak hanya faktor waktu yang menjadi faktor
penting, akan tetapi kualitas dari RTR itu sendiri juga harus dapat
dipertanggungjawabkan agar dapat menjamin tujuan penataan ruang bagi suatu
daerah yaitu terbentuk ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan.

Beberapa hal yang dapat disorot terkait dengan perlambatan tersebut adalah (tidak
secara berurutan):

Pertama, adanya dinamika yang tinggi disertai dengan tumpang tindih antara
peraturan sektoral dalam kurun waktu tersebut menyebabkan pengambil
keputusan untuk penetapan RTR baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah
harus terus menerus kembali menyesuaikan dokumen RTR yang telah disusun
dengan peraturan baru yang telah dikeluarkan.

Kedua, adanya keterbatasan SDM penyusun RTRW terutama pada aparatur


pemerintah baik di pusat maupun daerah sehingga diperlukan adanya proses
bimbingan dan pembinaan lebih insentif kepada aparatur pemerintah daerah
untuk dapat lebih memahami secara mendalam apa yang menjadi filosofis dasar
dari RTR yang telah disusun.

Minimnya anggaran daerah adalah penyebab Ketiga. Pemberlakuan otonomi


daerah menjadikan proses penyusunan RTR yang menjadi tanggung jawab
pemerintah daerah mengakibatkan pemerintah daerah harus dapat
menanggarkan sendiri untuk kegiatan ini dimana kebutuhan anggaran tersebut
juga banyak bersaing dengan kebutuhan untuk pengembangan infrastruktur
dan belanja rutin daerah. Pada banyak praktik yang ditemui oleh penulis,
anggaran untuk penyusunan RTR pada tingkat daerah memiliki porsi yang
belum optimal nilainya, sehingga tentunya ini akan memiliki kaitan langsung
dengan kualitas RTR yang dihasilkan.

Koordinasi adalah penyebab keempat dari proses lambatnya penyelesaian RTR,


baik koordinasi secara horizontal maupun vertikal. Adanya proses persetujuan
dari Kementerian/Lembaga terkait dengan substansi RTR mengharuskan
seluruh daerah di Indonesia harus mengalokasi waktu tambahan untuk proses
ini. Pada sisi lain, koordinasi horizontal antar daerah juga berjalan dalam
kondisi untuk memenuhi kebutuhan administrasi saja. Pada banyak kasus,
terlihat bahwa rencana rinci yang terletak berdampingan pada dua atau lebih
wilayah administrasi ternyata menunjukkan ketidaksetaraan fungsi ruang
dalam, hal ini menjadi pekerjaan rumah yang penting bagi BKPRD (Badan
Koordinasi Penataan Ruang Daerah) untuk dapat saling meningkatkan kualitas

[3]
serta mensinkronisasikan perencanaan antar kawasan perkotaan yang
berbatasan.

Kelima, masih adanya keterbatasan keberadaan peta dasar yang seragam (one
map policy) yang dapat dipergunakan sebagai acuan. Sebelum Badan Informasi
Geospatial/BIG (dahulu Bakosurtanal) mengeluarkan peta dasar sebagai acuan,
pada kurun waktu tahun 2007 hingga 2012 banyak ditemui RTR dengan peta-
peta yang tingkat kepercayaan koordinatnya masih belum memenuhi ketentuan
BIG, sehingga untuk meningkatkan kualitas dan keabsahan diperlukan adanya
upaya tersendiri untuk penyesuaian tersebut. Pada perencanaan yang lebih
rinci, tantangan ini menjadi semakin besar. Berdasarkan peta jalan yang
disampaikan oleh Ditjen Penataan Ruang, diperkirakan akan dihasilkan 1391
rencana rinci untuk seluruh Indonesia, sementara baru 65,85% kebutuhan
petanya (dengan skala 1:5000) yang dapat dipehuni (Direktorat Tata Ruang dan
Pertanahan Bappenas, 2014). Menjadi tugas bersama bagi instansi terkait (Kemen
PU & Pera, Kemen ATR, dan BIG) untuk dapat memenuhi kebutuhan ini.

Keenam, adalah kejelasan dari data status kepemilikan lahan. Diakui oleh
beberapa praktisi perencana tata ruang bahwa proses penyusunan rencana pada
kawasan perkotaan tidak pernah melihat data status kepemilikan lahan
dikarenakan ketiadaan akses untuk mendapatkan data tersebut, bahkan apabila
permintaan tersebut melalui jalur antar instansi pemerintah. Proses penetapan
peruntukan blok lahan yang dibuat dengan tidak mempertimbangkan kondisi
status lahan tentunya akan berdampak pada kondisi pemanfaatan lahan secara
faktual di lapangan yang dapat bertentangan dengan tujuan perencanaan awal.
Menyikapi hal ini, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (dahulu Badan
Pertanahan Nasional/BPN) sebenarnya telah meluncurkan informasi peta
tematik status kepemilikan lahan secara online sejak tahun 2013 yang dapat
diakses pada laman peta.bpn.go.id, hanya saja peta yang dihasilkan masih
bersifat indikatif serta keabsahan penggunaannya terkait dengan aspek
geospasial masih perlu dikoordinasikan kembali dengan BIG.

Keenam aspek diatas adalah beberapa hal yang penulis anggap sebagai penyebab
utama terjadinya perlambatan pada penyusunan RTR yang tidak jarang disertai juga
dengan masih belum optimalnya kualitas dari dokumen RTR yang disusun.
Penguatan dari keberadaan Kementerian Agraria dan Tata Ruang beserta BKPRN
adalah merupakan kunci pokok untuk dapat menjawab tantangan-tantangan diatas
sebagai bagian dari proses koordinasi dan pemberian petunjuk/pertimbangan pada
tingkat nasional yang dapat menjadi rujukan bagi daerah.

Disamping itu perlu juga disertai dengan adanya penguatan fungsi dan peran
BKPRD (provinsi dan kabupaten/kota) dalam rangka untuk meningkatkan
koordinasi, dimana pada era desentralisasi penataan ruang, BKPRD provinsi dapat

[4]
berperan sebagai pembimbing dan pembina bagi daerah di dalam memberikan
petunjuk terkait dengan sinkronisasi penataan ruang antar daerah. Pada sisi lain
BKPRD kota/kabupaten juga menjadi aktor utama di dalam penyebarluasan
pentingnya penataan ruang tidak hanya kepada masyarakat tetapi juga dalam
internal aparatur pemerintah daerah sendiri.

Legalitas Rencana Tata Ruang sebagai Dasar Penataan Ruang

Penetapan RTR kawasan perkotaan dalam bentuk suatu aturan perundang-


undangan adalah merupakan hal krusial yang harus dilakukan. Dalam tatanan
hukum di Indonesia penetapan tersebut dapat berupa Peraturan Presiden terkait
dengan kawasan perkotaan yang memiliki nilai strategis pada tingkat nasional,
maupun dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) bagi kawasan perkotaan strategis
tingkat provinsi/kabupaten dan untuk kota otonom. RTR yang telah ditetapkan
akan menjadi rujukan yang bersifat mengikat bagi seluruh pemangku kepentingan
penataan ruang untuk turut serta dalam menjalankan peraturan yang telah
ditetapkan.

Perlu disadari bahwa keberadaan RTR di kawasan perkotaan yang telah ditetapkan
memiliki fungsi utama sebagai dasar dalam pemberian izin pemanfaatan ruang dan
izin mendirikan bangunan. Oleh karena itu, tentunya RTR yang ditetapkan juga
telah memberikan penjabaran yang terperinci sehingga tidak memberikan kerancuan
ataupun multi tafsir diantara pemangku kepentingan penataan ruang. Pada kasus
Indonesia sebagaimana yang telah dijabarkan pada bagian sebelumnya, pemerintah
pusat dan daerah hingga saat ini masih berkonsentrasi pada penetapan RTR KSN
kawasan perkotaaan dan/atau RTRW Kabupaten/kota dimana produk-produk
tersebut hanya berfungsi sebagai arahan umum terkait tujuan dan cita-cita penataan
ruang di kawasan perkotaan, sementara untuk tataran implementasi pemanfaatan
ruang dan pengendalian pemanfataan ruang diperlukan adanya rencana rinci yang
menjabarkan secara detail dan terstruktur mengenai hal-hal apa saja yang dapat
dilakukan dalam pemanfaatan ruang. Oleh karena itu sangat penting bagi kawasan
perkotaan untuk juga memiliki Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang telah
dilengkapi dengan peraturan zonasi (PZ) sebagai alat untuk melakukan
pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Masih sangat disayangkan, hingga pertengahan tahun 2015 masih sangat sedikit
kawasan perkotaan yang telah menetapakan peraturan daerah tentang RDTR dan
PZ-nya. Dari 916 rencana rinci yang telah disusun hingga tahun tercatat baru 3
RDTR yang telah ditetapkan menjadi Perda, yaitu Provinsi DKI Jakarta serta masing-
masing 1 RDTR kawasan perkotaan pada Kabupaten Sumenep dan Kabupaten
Sumba Tengah 2014 (Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas, 2014), seperti

[5]
halnya pembahasan RDTR Provinsi DKI Jakarta, muatan Perda RDTR dan PZ yang
sangat detail dan berisikan banyak aturan ditengarai menjadi hal yang menyebabkan
proses pembahasan raperda RDTR dan PZ pada kota/kabupaten menjadi
berkepanjangan.

Satu hal yang perlu diingat adalah proses panjang dalam penetapan Perda RDTR
dan PZ bukanlah merupakan kegiatan akhir, akan tetapi merupakan langkah awal
dalam membentuk ruang kawasan perkotaan yang efisien dan berkelanjutan. Untuk
dapat menguatkan peran dari RDTR yang telah ditetapkan, diperlukan adanya
peningkatan peran aktif dari seluruh pemangku kepentingan. Pada langkah awal,
hal sangat penting untuk dilakukan adalah meningkatkan kesadaran para
pemangku kepentingan akan keberadaan Perda RDTR dan PZ tersebut melalui
berbagai media yang ada. Hal yang paling mudah dilakukan tentunya adalah
memberikan akses kepada masyarakat langsung dengan memasang peta penetapan
pola ruang pada masing-masing kantor kecamatan dan kelurahan atau bahkan pada
seluruh kantor pemerintahan (tidak hanya di kantor Dinas Tata Ruang) sebagai
rujukan paling awal bagi seluruh pemangku kepentingan. Pada negara-negara maju,
adanya perkembangan teknologi informasi dimanfaatkan dengan sangat efektif
untuk penyebarluasan informasi tentang RDTR dan PZ (sesuai versi negara-negara
tersebut) dalam bentuk kemasan yang menarik dan interaktif. Sebagai contoh Kota
New York dengan aplikasi berbasis web dengan nama ZoLa/zoning & land use1;
Singapura dengan URA Integrated Map System2-nya; Brisbane dengan aplikasi web
City Plan 20143 dapat memperlihatkan hingga tingkat kedetailan persil mengenai
fungsi pemanfaatan ruang dan aturan pembangunan yang harus dipenuhi dalam
pemanfaatan ruang. Bentuk lain yang dapat dilakukan adalah dengan membentuk
galeri penataan ruang yang terbuka untuk umum sebagai bagian dari upaya
pembelajaran kepada seluruh pemangku kepentingan terkait dengan historikal, visi,
misi, dan bentuk penataan ruang kota yang ingin dicapai, disamping sebagai bagian
dari tanggung jawab keterbukaan informasi publik. Contoh terkait hal seperti ini
dapat dilihat di Jakarta City Planning Galery yang berada di Kantor Dinas Teknik
Provinsi DKI Jakarta, atau untuk perbandingan dapat juga dilihat di Singapore City
Gallery yang berada di Kantor URA (Urban Redevelopment Authority), Singapura.
Keberadaan galeri-galeri penataan ruang ini akan sangat membantu bagi pemangku
kepentingan pemanfaatan ruang untuk dapat lebih memahami perencanaan
kawasan perkotaan yang mereka tinggali dalam format tiga dimensi.

Langkah berikutnya setelah RDTR dan PZ dapat dipastikan diseminasinya adalah


melakukan penguatan sistem pengawasan dan pelaporan. Dapat dipahami dengan

1 http://maps.nyc.gov/doitt/nycitymap/template? applicationName=ZOLA
2
https://www.ura.gov.sg/uramaps/?config=config_preopen.xml&preopen=Planning%20Boundaries&
pbIndex=2
3
http://cityplan2014maps.brisbane.qld.gov.au/CityPlan/

[6]
adanya keterbatasan aparat yang bertugas sebagai pengawas lapangan, tentunya
perlu dibentuk sistem pelaporan yang dapat membantu tugas dari pengawas
lapangan tersebut. PP No. 69 tahun 2010 tentang Bentuk dan Peran Masyarakat
dalam Penataan Ruang telah memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk dapat
berperan sebagai sumber informasi. Hal ini sangat perlu dimanfaatkan dengan
semaksimal mungkin agar proses pemanfaatan ruang di kawasan perkotaan dapat
sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Maraknya pemanfaatan teknologi
telepon seluler dari yang sederhana berbasis pesan pendek hingga penggunaan
aplikasi khusus dapat menjadi pertimbangan utama dalam hal ini. Bahkan
pemanfaatan media sosial sebagai alat bantu untuk menjaring pendapat dan
informasi sudah menjadi hal yang jamak bagi banyak lembaga pemerintahan dan
swasta, tentunya apabila dimanfaatkan dengan lebih optimal akan menjadi salah
satu senjata ampuh bagi pemerintah daerah dalam pengendalian pemanfaatan
ruang.

Diseminasi dan sistem pelaporan yang sudah ditetapkan tentu saja perlu dilengkapi
dengan standaris operasional untuk menindaklanjuti adanya temuan ataupun
pelaporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran pemanfaatan ruang.
Tiadanya standar operasional prosedur yang jelas prosesnya serta terukur waktunya
dapat mengakibatkan turunnya kepercayaan masyarakat sebagai sumber informasi.

Penataan kota yang baik dapat menjadi salah satu kontributor penting pada tingkat
layak huni dari kota tersebut. Survey yang dilakukan oleh Ikatan Ahli Perencanaan
(IAP) Indonesia pada tahun 2014 menyebutkan bahwa mayoritas responden yang
hidup di kota-kota besar Indonesia menilai kualitas penataan kota mereka masih di
bawah 60%4 (IAP Indonesia, 2015). Dengan menggunakan parameter ini, dapat
dilihat bahwa masih peran pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan perkotaan
untuk dapat meningkatkan kualitas hidup kawasan perkotaan menjadi hal yang
penting untuk dilakukan.

Efisiensi Pemanfaatan Lahan sebagai Tantangan Penataan Ruang

Berkembangnya pemanfataan ruang di kawasan perkotaan disertai dengan adanya


keterbatasan lahan dan semakin padatnya bangunan mengakibatkan para
pemangku kepentingan mulai memikirkan cara untuk dapat memanfaatkan lahan
secara lebih efisien. Untuk kota-kota besar di Indonesia dengan adanya dukungan
teknologi konstruksi bangunan hal ini disiasati dengan melakukan pembangunan
secara vertikal baik keatas maupun kebawah bumi.

4
Survey dilakukan di 17 kota besar di Indonesia dimana masyarakat pada 10 kota menilai kualitas tata
kota berada di bawah nilai 60,7 yang merupakan nilai rata-rata secara nasional pada parameter kualitas
tata kota.

[7]
Untuk pengembangan vertikal keatas maka sebagai ilustrasi, tercatat hingga tahun
2014 sudah terdapat 129 bangunan tinggi dengan 101 bangunan memiliki ketinggian
diatas 100 meter di area Jakarta-Tangerang (CTBUH, 2015) sementara di area
Surabaya terdapat 22 bangunan dengan ketinggian diatas 100 meter (Emporis, 2015)
dan di area Bandung Raya terdapat 23 bangunan yang memiliki tinggi minimal 20
lantai (Skyscrapercity, 2015). Bahkan untuk di Jakarta sendiri hingga tahun 2020
direncanakan dapat beroperasi sebuah gedung pencakar langit dengan ketinggian
hingga lebih dari 600 meter (The Signature Jakarta/Menara Jakarta di Kawasan SCBD)
serta 6 gedung pencakar langit dengan ketinggian lebih dari 300 meter. Permintaan
kebutuhan ruang baik untuk hunian maupun perkantoran pada pusat kota di kota-
kota besar tersebut mendorong tumbuhnya bangunan pencakar langit, dimana
untuk hal ini RDTR dan PZ ataupun ketentuan bangunan gedung ada telah dapat
mengakomodasinya melalui aturan amplop bangunan5.

Dalam keberjalanannya, pemanfaatan ruang secara vertikal untuk kawasan


perkotaan ternyata tidak hanya menjulang untuk menggapai langit saja, akan tetapi
dalam praktiknya pemanfaatan ini juga memasuki bawah tanah atau secara resmi
dikenal dengan istilah ruang dalam bumi (RDB)6. Telah banyak kota-kota di negara
maju mengembangkan RDB-nya untuk menambah ruang aktifitas seperti Alternative
Multi Functional Underground Space Amsterdam (AMFORA) di Belanda yang
dikembangkan sejak 1990, Montreals Indoor City Master Plan di Kanada dan The
Helsinki Underground Master Plan di Finlandia yang dikembangkan sejak tahun 1960,
dan Jurong Rock Caverns di Singapura yang mulai beroperasi sejak tahun 2014.

Pemanfaatan RDB di perkotaan Indonesia pada awalnya lebih difokuskan untuk


melengkapi kebutuhan ruang pelayanan tambahan bagi bangunan-bangunan tinggi
yang pada persil lahan yang bersangkutan. Berkaitan dengan ini, RDTR dan PZ serta
aturan bangunan gedung telah mengakomodasi pengembangannya melalui aturan
Koefisien Tapak Basemen (KTB). Akan tetapi dalam perkembangan lebih lanjut
untuk kawasan perkotaan, ternyata kebutuhan pengembangan RDB tidak hanya
terbatas pada satu persil lahan saja akan tetapi mulai melampaui batas persil lahan
yang berarti telah melintasi batas kepemilikan lahan, serta tingkat kedalamannya
juga semakin besar dimana belum terdapat aturan baku yang mengatur mengenai
hak kepemilikan RDB. UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria menyebutkan
bahwa kepemilikan tanah di Indonesia berlandaskan atas Azas Pemisahan
Horizontal yang berarti tanah yang dapat dikuasai dan dimiliki hanyalah sebatas
pada permukaan bumi saja (kulit bumi) beserta ruang yang ada diatasnya setinggi

5
Kementerian Pekerjaan Umum mendefinisikannya sebagai batas maksimum ruang yang diizinkan
untuk dibangun pada suatu tapak atau persil, dibatasi oleh garis sempadan bangunan muka, samping,
belakang, dan bukaan langit.
6
Ruang di Dalam Bumi (RDB) adalah ruang yang berada di bawah permukaan tanah yang digunakan
untuk berbagai kegiatan manusia (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 02/PRT/M/2014)

[8]
sewajarnya dalam rangka penggunaan tanah tersebut. Sedangkan benda-benda lain
yang ada diatas tanah, dan segala kandungan mineral dan lain-lain yang ada
dibawahnya, tunduk pada ketentuan hukum yang lain (tidak menyatu dengan
tanah). (Maggie, 2011).

Pada Kota Jakarta yang pengembangannya sudah sangat masif, Pemerintah Provinsi
Jakarta berusaha mengatur pemanfaatan RDB melalui Peraturan Gubernur No. 167
tahun 2012 tentang Ruang Bawah Tanah. Peraturan ini juga timbul didasarkan atas
kebutuhan pengembangan sistem transportasi massal Kota Jakarta yang berorientasi
pada penggunaan RDB yang tidak hanya pada lahan milik publik tetapi juga harus
terhubungkan dengan lahan-lahan milik privat. Belajar dari hal ini, pemerintah
Indonesia juga kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri PU No.
02/PRT/M/2014 tentang Pedoman Pemanfaatan Ruang di Dalam Bumi. Salah satu
hal mendasar dari aturan ini yang sangat penting adalah adanya klasifikasi dan
pendefinisian dari pemanfaatan ruang RDB. Untuk membedakan pemanfaatannya,
pada dasarnya RDB pada aturan ini dibedakan menjadi RDB dangkal dan RDB
dalam dimana perbedaannya didasarkan atas tingkat kedalam pengembangan yaitu
dari permukaan tanah hingga 30 meter untuk RDB dangkal dan selanjutnya lebih
dari 30 meter. Jenis pemanfaatan dari RDB tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2. Jenis Pemanfaatan Ruang Dalam Bumi

Kedalaman Pemanfaatan di Bawah Pemanfaatan di Bawah


RDB
(meter) Ruang Publik Ruang Privat
Dangkal 0 30 jaringan transportasi jaringan utilitas kawasan
kawasan bangunan gedung
jaringan transportasi
wilayah
jaringan utilitas kawasan
jaringan utilitas wilayah
bangunan gedung
Dalam > 30 jaringan transportasi jaringan transportasi
wilayah wilayah
jaringan utilitas wilayah jaringan utilitas wilayah
bangunan gedung (dapat bangunan gedung (dapat
untuk ruang untuk ruang
penyimpanan/ gudang penyimpanan/ gudang
barang atau bahan barang atau bahan
berbahaya berbahaya
Sumber: Lampiran Permen PU No. 02/PRT/M/2014

Walaupun pedoman telah menetapkan arahan batasan kedalaman, akan tetapi


secara spesifik, batasan kedalaman ini juga dapat mempertimbangkan faktor
karakteristik fisik dan kondisi geologi dari masing-masing kota. Provinsi DKI
Jakarta sendiri menggunakan batasan 10 meter di dalam membedakan RDB dangkal
dan dalam. Seperti halnya dengan Pedoman RDTR dan PZ (dituangkan dalam

[9]
Permen PU No. 20/PRT/M/2011), Pedoman RDB juga berusaha untuk memberikan
gambaran tentang pengaturan kegiatan-kegiatan apa saja yang dapat dilakukan
pada RDB, bagi pemangku kepentingan yang sebelumnya sudah dapat memahami
RDTR dan PZ, maka pengaturan dalam RDB pada dasarnya menggunakan metode
yang sama. Berciri pada ini, maka sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah daerah
sebagai agen pendorong efisiensi pemanfaatan lahan bekerja sama dengan kalangan
profesional dan akademisi untuk dapat meningkatkan pemahaman bersama
mengenai muatan-muatan dari aturan pemanfaatan RDB. Bahkan dimasa
mendatang pengaturan RDB dapat juga dimasukkan pada Perda RDTR dan PZ
untuk kota-kota besar di Indonesia sebagai bagian dari ketentuan teknis tambahan
sehingga kota-kota tersebut tidak perlu menetapkan Perda tersendiri terkait dengan
RDB.

Dalam kerangka pemanfaatan ruang jangka panjang, pemanfaatan RDB dapat


mengurangi beban pemanfaatan lahan di permukaan bumi sehingga pada
permukaan bumi tersebut dapat dimanfaatkan untuk fungsi-fungsi pendukung
peningkatan kualitas hidup dari kawasan perkotaan, seperti ruang terbuka hijau
ataupun ruang-ruang publik lainnya sebagai bagian dari penyediaan ruang untuk
kebutuhan bersosialisasi warga kota.

Keberadaan pengembangan vertikal juga menjadi titik penyadaran bagi perencana


dan perancang kota bahwa pengembangan kawasan perkotaan tidak dapat dilihat
dalam rona 2 dimensi saja tetapi juga sudah harus dalam rona 3 dimensi sehingga
kendala dan limitasi yang akan ditemui dalam proses pemanfaatan lahan sudah
dapat diantisipasi sejak awal.

Kesimpulan

Peningkatan penduduk dan kegiatan ekonomi memiliki dampak yang sangat


signifikan terhadap kompetisi penggunaan lahan di kawasan perkotaan yang
memiliki potensi untuk dapat menjadi konflik penggunaan lahan. Kebutuhan
kawasan perkotaan untuk menampung seluruh aktivitasnya tentunya perlu disertai
juga dengan peningkatan dan keberlanjutan kualitas hidup pada kawasan perkotaan
tersebut. RTR adalah merupakan salah satu mekanisme penting untuk dapat
menyeimbangkan antara kebutuhan pemanfaatan lahan dan keberlanjutan kualitas
hidup.

Disadari bahwa proses penyusunan RTR di Indonesia adalah merupakan proses


teknis dan politis yang memerlukan sumber daya yang tidak sedikit sehingga RTR
tersebut dapat menjadi suatu produk hukum yang mengikat bagi seluruh pemangku
kepentingan pengguna lahan di kawasan perkotaan. Keberadaan RTR tersebut

[10]
tentunya juga perlu disertai dengan adanya aturan yang jelas dan terperinci agar
dapat menjadi panduan yang jelas dan tidak multi tafsir sehingga dapat
dimanfaatkan untuk kemaslahatan bersama. Dalam hal ini keberadaan RDTR dan
PZ yang dapat dipahami dan diakses secara mudah oleh seluruh pemangku
kepentingan di kawasan perkotaan menjadi suatu keharusan.

Menapak perjalanan untuk menghadapi masa depan, kota-kota besar ditantang


tidak hanya untuk menata secara horizontal, tetapi juga secara vertikal baik menuju
langit maupun ke dalam bumi. Tantangan ini harus dapat dihadapi oleh kawasan
perkotaan di Indonesia, mengingat dalam beberapa dekade mendatang lebih dari
60% penduduk Indonesia akan tinggal di kawasan perkotaan. Tentunya diperlukan
perencanaan yang lebih matang di dalam menghadapi tantangan ini, dimana pada
masa mendatang RTR yang ada tidak dapat berfokus pada rona 2 dimensi tetapi
sudah mejadi rona 3 dimensi.

Daftar Pustaka

Bappenas. Buku I RPJMN 2015-2019. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional,


2014.
Barlowe, R. Land Resources Economic: The Economic of Real Estate. Fourth Ed. New Jersey:
Prentice Hall Inc., 1986
BPS. Penduduk Indonesia Menurut Provinsi 1971-2010. BPS. 2015.
http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1267
Council on Tall Buildings and Urban Habitat (CTBUH). Cities Ranked by Number of 150m+
Completed Buildings.
Direktorat Jenderal Penataan Ruang. Perkembangan Status Perda RTRW. DJPR-Kementerian
Agraria dan Tata Ruang, 2015. http://penataanruang.pu.go.id/default.asp (update:
26 Mei 2015)
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas. Laporan Koordinasi Strategis BKPRN 2014.
Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2014.
Emporis. Buildings in Surabaya (existing). 2015
http://www.emporis.com/city/100260/surabaya-indonesia/status/existing
Hidayat, J.T. Model Pengelolaan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Pinggiran Kota
Metropolitan Jabodetabek. Bogor: IPB, 2014.
Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia. Indonesia Livable Citiy Index 2014. IAP, 2014.
http://issuu.com/iapindonesia/docs/mlci_2014_presentasi__compatibility.
Lubis, J. Arah dan Kebijakan Pengembangan Perkotaan dalam Kurun Waktu RPJMN 2010-
2014 [Budhy T.S., Nila .A.P., and Anwar A.C., (editor)], dalam Bunga Rampai
Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21: Book 2, Pengalaman Pembangunan Perkotaan
di Indonesia, Jakarta: Yayasan Sugijanto Soegijoko, Urban and Regional Development
Institute, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2011.

[11]
Max Maggie. Warna Warni Pertanahan, Sistem Kepemilikan Tanah di Berbagai Negara. 2011
http://landdiary.blogspot.nl/2011_01_01_archive.html
Sekretariat BKPRN. Perkembangan Status Perda RTRW Provinsi, Kabupaten/Kota. BKPRN, 2014.
http://tataruangpertanahan.com/pdf/pustaka/informasi/11.pdf.
Skyscrapercity. Emporis Poin City of Indonesia. 2015.
http://www.skyscrapercity.com/showthread.php?t=1790639 (updated 10 Agustus
2015)

[12]

Anda mungkin juga menyukai