Anda di halaman 1dari 42

STATUS ILMU PENYAKIT DALAM

LONG CASE

SEORANG LAKI LAKI DENGAN ACS STEMI

PENYUSUN

R. Ifan Arief Fahrurozi

030.10.226

PEMBIMBING

dr. M. Arman Nasution, Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT OTORITA BATAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA

PERIODE 26 Oktober 2014 03 Januari 2015


LEMBAR PERSETUJUAN LONG CASE

Long Case dibawah ini :

Judul : Seorang Laki Laki dengan ACS STEMI

Penyusun : R. Ifan Arief Fahrurozi, S.Ked

NIM : 030.10.226

Universitas : Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat menyelesaikan

kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Otorita Batam.

Batam, 20 Desember 2014

dr. M. Arman Nasution, Sp. PD R. Ifan Arief Fahrurozi, S.Ked

BAB I
PENDAHULUAN

Infark miokard akut (IMA) atau yang lebih dikenal dengan serangan jantung
adalah suatu keadaan dimana suplai darah pada suatu bagian jantung terhenti sehingga
sel otot jantung mengalami kematian. Infark miokard sangat mencemaskan karena
sering berupa serangan mendadak, umumnya pada pria usia 35-55 tahun, tanpa ada
keluhan sebelumnya. Sindrom koroner akut lebih lanjut diklasifikasikan menjadi
Unstable Angina (UA), ST-segment Elevation Myocardial Infarct (STEMI) dan Non
ST-segment Elevation Myocardial Infarct (NSTEMI). IMA tipe STEMI sering
menyebabkan kematian mendadak, sehingga merupakan suatu kegawatdaruratan yang
membutuhkan tindakan medis secepatnya. Angka mortalitas dan morbiditas
komplikasi IMA yang masih tinggi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
keterlambatan mencari pengobatan, kecepatan serta ketepatan diagnosis dan
penanganan dokter yang menangani. Kecepatan penanganan dinilai dari time window
antara onset nyeri dada sampai tiba di rumah sakit dan mendapat penanganan di rumah
sakit. Apabila time window berperan dalam kejadian komplikasi, maka perlu dikaji apa
saja yang menjadi faktor keterlambatannya. Ketepatan dinilai dari modalitas terapi
yang dipilih oleh dokter yang menangani. Evaluasi tentang kecepatan dan ketepatan
penanganan terhadap pasien IMA diperlukan untuk mencegah timbulnya komplikasi

BAB II
LAPORAN KASUS

STATUS ILMU PENYAKIT DALAM


SMF PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM OTORITA BATAM
LONG CASE

Nama Mahasiswa : R. Ifan Arief Fahrurozi


NIM : 030.10.226
Dokter Pembimbing : dr. M. Arman Nasution, Sp. PD

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. Abu Khahar Jenis Kelamin : Laki - Laki


Umur : 64 tahun Suku bangsa : Jawa
Status perkawinan : Menikah Agama : Islam
Pekejaan : Pensiunan Pendidikan : SMA
Alamat : Jalan Martadinata, Sekupang, Batam
Tanggal Masuk RS : 29 November 2014

A. ANAMNESIS
Diambil dari secara Autoanamnesis dan Alloanamnesis melalui pasien dan anak pasien pada
hari Sabtu, 29 November 2014 pukul 12.20 WIB.

Keluhan Utama
Nyeri dada sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.

Keluhan Tambahan
Mata berkunang-kunang, mual, pusing, dan keringat dingin.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan nyeri dada sejak 1 hari SMRS. Nyeri dada muncul tiba-
tiba saat pasien sedang beraktivitas. Nyeri dada dirasakan seperti ditindih dan rasa tidak

nyaman pada dada. Nyeri dada tidak dapat ditunjuk secara pasti, menjalar ke punggung, tidak
dipengaruhi pola bernafas maupun posisi tubuh dan dapat berlangsung kurang lebih 15 menit.
Menurut pasien nyeri dada dapat muncul kapan saja, baik saat pasien sedang istirahat maupun
sedang beraktivitas, dan nyeri dada cenderung membaik apabila pasien mencoba untuk
istirahat. Namun saat ini pasien merasakan nyeri tidak kunjung menghilang sehingga pasien
memutuskan untuk berobat ke RSOB. Pasien juga mengeluh pandangan mata berkunang-
kunang, mual, pusing dan keringat dingin. Riwayat sesak nafas saat beraktivitas, posisi tidur
terlentang dan sesak di malam hari disangkal. Riwayat batuk, demam, nyeri ulu hati, rasa
terbakar di dada, muntah, berdebar-debar, sering merasa lapar walaupun saudah makan
banyak, sering banyak minum, sering terbangun hanya untuk kencing di malam hari,
gangguan BAK dan BAB disangkal. Riwayat pengobatan saat ini pasien mengaku saat nyeri
dada pasien mengonsumsi obat tolak angin dan memakai balsam namun tidak mengalami
perbaikan.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien pernah mengalami hal yang sama sejak 5 tahun yang lalu dan telah didiagnosis
sebagai penyakit jantung koroner oleh dokter spesialis jantung, namun pasien tidak mau rutin
kontrol. 2 tahun yang lalu pasien mengalami hal yang sama kembali namun hanya diobati
dengan mengonsumsi obat tolak angina dan balsam kemudian mengalami perbaikan. 1 tahun
yang lalu pasien kembali mengalami hal yang sama namun tetap melakukan hal yang sama
seperti 2 tahun yang lalu. Riwayat Hipertensi diakui pasien sejak 5 tahun yang lalu namun
tidak terkontrol. Riwayat DM, Asma, penyakit paru, ginjal, dan hepar disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga


Terdapat anggota keluarga (adik pasien) yang pernah mengalami hal yang sama
dengan pasien. Riwayat hipertensi dan asma dialami oleh bapak pasien. Riwayat DM,
penyakit paru, ginjal, lambung dan hepar didalam keluarga disangkal.

Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok sejak usia 30 tahun dengan jumlah konsumsi rokok mencapai 2
bungkus per hari. Riwayat konsumsi minuman keras, kopi dan obat-obatan terlarang
disangkal.

Faktor Risiko Kardiovaskular

1. Jenis kelamin laki laki


2. Usia 64 tahun
3. Hipertensi tidak terkontrol
4. Riwayat penyakit jantung sebelumnya
5. Status merokok Indeks Brinkman 1088 (Derajat Berat)
6. Riwayat penyakit jantung dan hipertensi didalam keluarga

B. ANAMNESIS SISTEM
Kulit
( - ) Bisul ( - ) Rambut ( + ) Keringat dingin

( - ) Kuku ( - ) Kuning / Ikterus ( - ) Sianosis

( - ) Lain-lain ( - ) Petechiae

Kepala
( - ) Trauma ( + ) Sakit kepala ( - ) Demam

( - ) Sinkop ( - ) Nyeri pada sinus

Mata
( - ) Nyeri ( - ) Radang

( - ) Sekret ( + ) Gangguan penglihatan

( - ) Kuning / Ikterus ( - ) Ketajaman penglihatan

Telinga
( - ) Nyeri ( - ) Gangguan pendengaran

( - ) Sekret ( - ) Kehilangan pendengaran

( - ) Tinitus

Hidung
( - ) Trauma ( - ) Gejala penyumbatan

( - ) Nyeri ( - ) Gangguan penciuman

( - ) Sekret ( - ) Pilek

( - ) Epistaksis

Mulut
( - ) Bibir kering ( - ) Lidah kotor

( - ) Gusi sariawan ( - ) Gangguan pengecap

( - ) Selaput ( - ) Stomatitis

Tenggorok
( - ) Nyeri tenggorok ( - ) Perubahan suara

Leher
( - ) Benjolan ( - ) Nyeri leher

Dada (Jantung/Paru)

( + ) Nyeri dada ( - ) Sesak nafas

( - ) Berdebar ( - ) Batuk darah

( - ) Ortopnoe ( - ) Batuk

Abdomen (Lambung/Usus)

( - ) Rasa Kembung ( - ) Wasir

( + ) Mual ( - ) Mencret

( - ) Muntah ( - ) Tinja darah

( - ) Muntah darah ( - ) Tinja berwarna dempul

( - ) Sukar menelan ( - ) Tinja berwarna hitam

( - ) Nyeri ulu hati ( - ) Benjolan

( - ) Perut membesar ( - ) Konstipasi

Saluran Kemih / Alat kelamin

( - ) Disuria ( - ) Kencing nanah

( - ) Stranguria ( - ) Kolik

( - ) Poliuria ( - ) Oliguria

( - ) Polakisuria ( - ) Anuria

( - ) Hematuria ( - ) Retensi urin

( - ) Kencing batu ( - ) Kencing menetes

( - ) Ngompol (tidak disadari)

Saraf dan Otot


( - ) Anestesi ( - ) Sukar mengingat

( - ) Parestesi ( - ) Ataksia

( - ) Otot lemah ( - ) Hipo / hiperesthesi

( - ) Kejang ( - ) Pingsan

( - ) Afasia ( - ) Kedutan

( - ) Amnesia ( - ) Pusing (vertigo)

Ekstremitas
( - ) Bengkak ( - ) Deformitas

( - ) Nyeri sendi ( - ) Sianosis

C. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada hari Sabtu, 29 November 2014 pukul 12.45 WIB.
Pemeriksaan Umum
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Tinggi Badan : 176 cm
Berat Badan : 60 kg
BMI : 19,4 (Normal)
Sianosis :-
Edema umum :-
Cara berjalan : Normal
Mobilitas ( aktif / pasif ) : Aktif
Umur menurut taksiran : Sesuai

Tanda Vital
Tekanan Darah : 170 / 80 mmHg
Nadi : 80 x/menit, regular, isi kuat, ekual
Pernapasan : 16x /menit, simetris
Suhu : 36,5 C

Status Generalis
Kulit

Warna : Coklat Pigmentasi : Merata

Effloresensi :- Petekie : Tidak Ada

Jaringan Parut :- Ikterus : Tidak ada

Pertumbuhan rambut : Merata Lembab/Kering : Lembab

Suhu Raba : Hangat Pembuluh darah : Tidak melebar

Keringat : Banyak Turgor : Baik

Lapisan Lemak : Cukup Lain-lain : Tidak ada

Kelenjar Getah Bening

Retro Aurikula : tidak teraba membesar

Pre Aurikula : tidak teraba membesar

Submandibula : tidak teraba membesar

Submental : tidak teraba membesar

Anterior Cervical : tidak teraba membesar

Posterior Cervical : tidak teraba membesar

Supraklavikula : tidak teraba membesar

Lipat paha : tidak dilakukan

Ketiak : tidak dilakukan

Kepala

Ekspresi wajah : Tenang Simetri muka : Simetris

Rambut : Hitam merata

Mata

Exophthalamus : tidak ada Enopthalamus : tidak ada

Kelopak : oedem (-) Lensa : jernih

Konjungtiva : pucat (-) Visus : 6/6

10

Sklera : ikterik (-) Gerakan Mata : Segala arah

Lapangan penglihatan : Normal Tekanan bola mata : normal/palpasi

Nistagmus : tidak ada

Telinga

Tuli : -/- Selaput pendengaran : intak

Lubang : lapang Penyumbatan : -/-

Serumen : +/+ Perdarahan : -/-

Cairan : -/-

Mulut

Bibir : kering Tonsil : T1 T1 tenang

Langit-langit : tidak ada tonjolan Bau pernapasan : tidak ada

Gigi geligi : OH baik Trismus : tidak ada

Faring : tidak hiperemis Selaput lendir : tidak ada

Lidah : licin, atrofi papil (-)

Leher

Tekanan Vena Jugularis (JVP) : 5 - 2 cmH20

Kelenjar Tiroid : tidak tampak membesar

Kelenjar Limfe kanan : tidak tampak membesar

11

Dada

Bentuk : datar, simetris

Pembuluh darah : tidak tampak

Buah dada : simetris

Paru Paru

Pemeriksaan Hasil

Inspeksi Kiri Simetris saat statis dan dinamis

Kanan Simetris saat statis dan dinamis

Palpasi Kiri - Tidak ada benjolan

- Fremitus +

Kanan - Tidak ada benjolan

- Fremitus +

Perkusi Kiri Sonor di seluruh lapang paru

Kanan Sonor di seluruh lapang paru

Auskultasi Kiri - Suara vesikuler

-Wheezing (-), Ronki (-)

Kanan - Suara vesikuler

-Wheezing (-), Ronki (-)

12

Jantung

Inspeksi : Tidak tampak pulsasi iktus cordis.

Palpasi : Teraba iktus cordis pada sela iga V, 1 cm medial linea midklavikula kiri

Perkusi :

Batas kanan : sela iga III V linea sternalis kanan.

Batas kiri : sela iga V, 1 cm medial linea midklavikularis kiri.

Batas atas : sela iga II linea parasternalis kiri

Auskultasi : BJ I II normal, split ( - ), regular, murmur ( - ), gallop ( - ).

Perut

Inspeksi : Datar, Rata, Venektasi ( - ), Smilling Umbilikus ( - ), Hematoma ( - ), Tidak


tampak efloresensi yang bermakna.

Palpasi : Dinding perut : Supel, Distensi ( - ), rigid ( - ), nyeri tekan ( - ).

Hati Teraba, Nyeri tekan (-), Benjolan (-), Tepi tumpul, Permukaan rata

Limpa Tidak teraba membesar

Ginjal Ballotement ( - ) Nyeri Ketuk CVA ( - )

Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen, shifting dullness ( - )

Auskultasi : Bising usus ( + ) frekuensi 3x/menit

13

Anggota Gerak

Lengan Kanan Kiri

Otot

Tonus : normotonus normotonus

Massa : eutrofi eutrofi

Sendi : normal normal

Gerakan : aktif aktif

Kekuatan : +5 +5

Oedem : : tidak ada tidak ada

Lain-lain : Palmar eritema (-), ptechie (-), clubbing finger (-), kontraktur (-)

Tungkai dan Kaki Kanan Kiri

Luka : tidak ada tidak ada

Varises : tidak ada tidak ada

Otot

Tonus : normotonus normotonus

Massa : eutrofi eutrofi

Sendi : normal normal

Gerakan : aktif aktif

Kekuatan : 5 5

Oedem : : tidak ada tidak ada

14

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium (29 November 2014)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Keterangan

Pemeriksaan Darah

Hemoglobin 14,6 g/dL 11 16,5 Normal

Hematokrit 39,6% 35 50 Normal

Laju Endap Darah (LED) 23 mm/jam 0 10 Meningkat

Eritrosit 5,46 juta/uL 3,8 5,8 Normal

MCV 72,5 fL 80 97 Normal

MCH 26,7 pg 26,5 33,5 Normal

MCHC 36,9 g/dL 35,3 35 Meningkat

RDW-CV 13,6 % 10 15 Normal

Leukosit 12.510 /uL 4.000 11.000 Meningkat

Basofil 0,3 % 01 Normal

Eosinofil 0,1 % 05 Normal

Hitung Jenis Netrofil 86,4 % 46 75 Meningkat

Limfosit 9,4 % 17 48 Menurun

Monosit 3,8 % 4 10 Menurun

Trombosit 310.000/uL 15 45 x 104 Normal

PDW 11,3 fL 10 18 Normal

MPV 9,9 fL 6,5 11 Normal

Ureum 24,1 mg/dL 18 55 Normal

Kreatinin 1,1 mg/dL 0,7 1,3 Normal

GDS 337 mg/dL <200 Meningkat

15

2. EKG (29 November 2014)

Keterangan :
Irama sinus, Normoaxis, Gelombang P Mitral (-), Pulmonal (-), Interval PR normal,
Gelombang QRS normal, ST-T Changes (ST Depresi (-), ST Elevasi pada lead II, III, avF,
Gelombang Q patologis (-), Gelombang T Inverted pada lead V5, V6), Interval QT normal,
Gelombang U (-), LVH Voltage (-), Strain (-), RVH (-), LVH(-), RBBB (-), LBBB (-).
Kesan : Irama sinus dengan iskemia miokard segmen inferior.

16

3. Radiologi (29 November 2014)

Foto Thorax PA
Cor : jantung tidak tampak membesar,CTR 49%.
Pulmo : hilus normal, corakan bronkovaskular normal, tidak tampak adanya infiltrate
pada kedua lapang paru, sudut costofrenikus tajam, tidak tampak adanya penebalan
pleura.
Diafragma dalam batas normal. Tulang skeletal tervisualisasi intak dan soft tissue
dinding dalam dalam batas normal.
Kesan : Normal

Resume
Seorang pasien laki laki berusia 64 tahun datang dengan keluhan utama nyeri dada
sejak 1 hari SMRS. Terdapat nyeri dada angina, blurred vision, mual, pusing dan diaforesis.
Tidak ditemukan adanya riwayat nyeri pleuritic, DOE, PND, orthopnoe, batuk, demam, nyeri
epigastric, heartburn, muntah, palpitasi, gejala DM dan gangguan BAB BAK. Riwayat
pengobatan saat ini pasien mengaku saat nyeri dada pasien mengonsumsi obat tolak angin dan
memakai balsam namun tidak mengalami perbaikan. Terdapat riwayat PJK, dan hipertensi
yang tidak terkontrol. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, tampak
sakit sedang, kesan gizi baik. Tanda vital menunjukkan peningkatan tekanan darah,
normokardi, pernafasan normal dan afebris. Pemeriksaan umum ditemukan kulit lembab,
diaphoresis, dan organ lain dalam batas normal. Pada pemeriksaan penunjang dilakukan

17

pemeriksaan laboratorium, EKG dan radiologi. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan


peningkatan LED, MCHC, leukosistosis, neutrofilia, limfositopenia, monositopenia, dan
peningkatan gula darah sewaktu. Pada pemeriksaan EKG didapatkan kesan irama sinus
dengan iskemia miokard segmen inferior. Pada pemeriksaan radiologi thorax PA didapatkan
hasil dalam batas normal.

Diagnosis Kerja

1. ST Elevation Acute Coronary Syndrome (ACS STEMI) Killip Kelas I


Dasar diagnosis :
1. Anamnesis
a. Nyeri dada muncul tiba-tiba saat pasien sedang beraktivitas.
b. Nyeri dada dirasakan seperti ditindih dan rasa tidak nyaman pada
dada.
c. Nyeri dada tidak dapat ditunjuk secara pasti, menjalar ke punggung,
tidak dipengaruhi pola bernafas maupun posisi tubuh dan dapat
berlangsung kurang lebih 15 menit.
d. Nyeri dada cenderung tidak menghilang.
e. Mual, pusing dan keringat dingin.
f. Riwayat pengobatan tidak mengalami perbaikan.
g. Riwayat penyakit jantung sebelumnya yaitu PJK tidak terkontrol.
h. Riwayat hipertensi tidak terkontrol.
i. Riwayat penyakit jantung dan hipertensi didalam keluarga.
j. Riwayat kebiasaan merokok dengan indeks brinkman derajat berat.
k. Memiliki faktor risiko kardiovaskular
i. Jenis kelamin laki laki
ii. Usia 64 tahun
iii. Riwayat hipertensi tidak terkontrol
iv. Riwayat penyakit jantung sebelumnya
v. Status merokok Indeks Brinkman 1088 (Derajat Berat)
vi. Riwayat penyakit jantung dan hipertensi didalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik
a. Peningkatan tekanan darah
b. Kulit lembab / clammy skin

18

c. Diaphoresis
3. Pemeriksaan lanjutan
a. Pemeriksaan laboratorium
i. Peningkatan LED
ii. Peningkatan MCHC
iii. Leukosistosis
iv. Differential Count
1. Neutrofilia
2. Limfositopenia
3. Monositopenia
b. Pemeriksaan EKG
i. Ditemukan adanya tanda iskemia miokardium segmen
inferior yaitu ST Elevasi pada lead II, III, avF.

2. Hiperglikemia ec ACS STEMI


Dasar diagnosis :
1. Anamnesis
a. Tidak ditemukan adanya gejala 5P pada pasien,
b. Tidak ditemukan adanya riwayat penyakit DM dan penggunaan
obat DM.
2. Pemeriksaan lanjutan
a. Pemeriksaan laboratorium
i. Peningkatan gula darah sewaktu > 200 mg/dl

3. Hipertensi Grade II
Dasar diagnosis :
1. Anamnesis
a. Pusing
b. Pandangan mata berkunang / blurred vision.
c. Riwayat hipertensi tidak terkontrol.
d. Riwayat hipertensi didalam keluarga.
2. Pemeriksaan fisik
a. Peningkatan tekanan darah sistolik > 160 mmHg

19

Diagnosis Banding

Unstable Angina Pectoris


ACS NSTEMI
Perikarditis
Diseksi Aorta Akut
Emboli Paru
GERD

Penatalaksanaan

Non medikamentosa
o Tirah baring.
o Monitor tanda vital dan EKG.
o Oksigenasi 2 L/menit selama 2 3 jam, dilanjutkan apabila saturasi oksigen
arteri oksigen < 90%.
o Perbaikan gaya hidup.
Berhenti merokok.
Manajemen berat badan dipertahankan pada BMI 18,5 24,9 kg/m2.
Aktivitas fisik teratur.
Target minimal 30 menit/hari, 3 4x/minggu.
Diet
Puasa hingga bebas nyeri, kemudian diet cair dan diet jantung.
o Kontrol tekanan darah
Target < 140 / 90.
o Manajemen profil lipid
Target kadar LDL < 100 mg/dl, Trigliserida < 150 mg/dl, HDL > 40
mg/dl.
Medikamentosa
o IVFD Asering/24 jam
o Injeksi Omeprazole iv 2 x 1
o Injeksi Arixtra sc 1 x 2,5
o Injeksi Levemir sc 10 IU

20

Prognosis
Pasien dengan ACS STEMI dapat dinilai dengan TIMI Score untuk gambaran prognostic dan
mortalitas pasien ACS. TIMI Score pada pasien yaitu sebagai berikut.

THROMBOLYSIS IN MYOCARDIAL INFARCTION


(TIMI) SCORE

Variabel Skor Hasil

Usia > 65 tahun 1 -

Memiliki > 3 faktor risiko kardiovaskular 1 1

Penggunaan aspirin dalam 7 hari terakhir 1 -

Terdapat > 2 episode angina dalam 24 jam


1 -
terakhir

Peningkatan enzim jantung 1 1

Deviasi segmen ST 1 1

Riwayat PJK (+) 1 1

TOTAL 4

Interpretasi
Skor Derajat Mortalitas 30 Hari (%)
0 0,8
1 Risiko Rendah 1,6
2 2,2
3 4,4
Risiko Sedang
4 12
5 16
6 Risiko Tinggi 23
7 27

Ad Vitam : dubia ad bonam


Ad Functionam : dubia ad malam
Ad Sanationam : dubia ad malam

21

FOLLOW UP

29 November 2014
S Nyeri dada
Mual
Pusing
Pandangan berkunang
O KU : Compos mentis, tampak sakit sedang
TV :
HR : 80 x/menit, regular, isi kuat, ekual
RR : 16x/menit, simetris
TD : 170 / 80 mmHg
Suhu : 36,5oC
Status Generalis
Kepala : normosefali, rambut hitam merata
Mata : konjungtiva pucat - / - , sklera ikterik - / - , pupil bulat
isokor, reflex cahaya langsung dan tidak langsung + / +
Thorax : pergerakan dada simetris, suara nafas vesikular, ronkhi
( - ), wheezing ( - ), BJ I II normal, regular, spilit ( - ), murmur
( - ), gallop ( - )
Abdomen : datar, supel, nyeri tekan ( - ), bising usus ( + )
frekuensi 3x/menit
Ekstremitas : simetris, keringat banyak, kulit lembab, edema (-),
akral hangat.
A ACS STEMI Killip Kelas I
Hiperglikemia ec ACS STEMI
Hipertensi Grade II
P Periksa laboratorium : darah lengkap, ureum, kreatinin, gula
darah sewaktu per 8 jam dan enzim jantung (CKMB dan
Troponin T).
Periksa EKG dan Rontgen Thorax.
IVFD Asering/24 jam.
Injeksi Omeprazole iv 2 x 1.
Injeksi Arixtra sc 1 x 2,5.
Injeksi Levemir sc 10 IU.

30 November 2014
S Mual
Pusing
O KU : Compos mentis, tampak sakit ringan
TV :
HR : 84 x/menit, regular, isi kuat, ekual.

22

RR : 18x/menit, simetris.
TD : 140/90 mmHg
Suhu : 36,5oC
Status Generalis
Kepala : normosefali, rambut hitam merata
Mata : konjungtiva pucat - / - , sklera ikterik - / - , pupil bulat
isokor, reflex cahaya langsung dan tidak langsung + / +
Thorax : pergerakan dada simetris, suara nafas vesikular, ronkhi
( - ), wheezing ( - ), BJ I II normal, regular, spilit ( - ), murmur
( - ), gallop ( - )
Abdomen : datar, supel, nyeri tekan ( - ), bising usus ( + )
frekuensi 2x/menit
Ekstremitas : simetris, keringat sedikit, kulit kering, edema (-),
akral hangat
A ACS STEMI Killip Kelas I
Hiperglikemia ec ACS STEMI
Hipertensi Grade II
P Periksa gula darah sewaktu per 8 jam.
IVFD Asering/24 jam.
Injeksi Omeprazole iv 2 x 1.
Injeksi Arixtra sc 1 x 2,5.
Injeksi Levemir sc 10 IU.

01 Desember 2014

S Sulit tidur
O KU : Compos mentis, tampak sakit ringan
TV :
HR : 82 x/menit, regular, isi kuat, ekual.
RR : 18x/menit, simetris.
TD : 140/90 mmHg
Suhu : 36,5oC
Status Generalis
Kepala : normosefali, rambut hitam merata
Mata : konjungtiva pucat - / - , sklera ikterik - / - , pupil bulat
isokor, reflex cahaya langsung dan tidak langsung + / +
Thorax : pergerakan dada simetris, suara nafas vesikular, ronkhi
( - ), wheezing ( - ), BJ I II normal, regular, spilit ( - ), murmur
( - ), gallop ( - )
Abdomen : datar, supel, nyeri tekan ( - ), bising usus ( + )
frekuensi 2x/menit

23

Ekstremitas : simetris, keringat sedikit, kulit kering, edema (-),


akral hangat
A ACS STEMI Killip Kelas I
Hiperglikemia ec ACS STEMI
Hipertensi Grade II
P Pasien boleh rawat jalan.
Periksa EKG ulang
Hasil : Irama sinus, Normoaxis, Gelombang P Mitral (-),
Pulmonal (-), Interval PR normal, Gelombang QRS normal, ST-
T Changes (ST Depresi (-), ST Elevasi (-), Gelombang Q
patologis (-), Gelombang T Inverted pada lead II, III, avF),
Interval QT normal, Gelombang U (-), LVH Voltage (-), Strain
(-), RVH (-), LVH(-), RBBB (-), LBBB (-).
Kesan : Irama sinus dengan iskemia miokard segmen inferior
Periksa gula darah sewaktu per 8 jam.
Hasil laboratorium
Troponin T : >2000 ng/L
Creatinin Kinase : 719,8 U/L
Creatinin Kinase MB : 139,9 U/L
IVFD Asering/24 jam.
Injeksi Omeprazole iv 2 x 1.
Injeksi Arixtra sc 1 x 2,5.
Injeksi Levemir sc 8 IU.
Injeksi Novorapid sc.
Terapi CPG oral 1 x 1.

24

BAB III
ANALISIS KASUS

Seorang pasien laki laki berusia 64 tahun datang dengan keluhan utama nyeri dada
sejak 1 hari SMRS. Usia dan jenis kelamin merupakan faktor risiko kardiovaskular. Sindrom
koroner akut berdasarkan studi epidemiologi yang ada cenderung lebih sering terjadi pada
usia mulai dari usia lebih dari 45 tahun. Dan laki laki cenderung lebih berisiko untuk
terjadinya penyakit kardiovaskular dibandingkan perempuan karena laki laki lebih memiliki
faktor pencetus untuk terjadinya penyakit kardiovaskular yaitu merokok, diabetes mellitus,
obesitas sentral dan stress emosi sedangkan pada perempuan masih terdapat protektor yaitu
estrogen, namun apabila perempuan tersebut sudah mengalami menopause, maka risiko antara
laki laki dan perempuan adalah sama.
Nyeri dada muncul tiba-tiba saat pasien sedang beraktivitas. Nyeri dada dirasakan
seperti ditindih dan rasa tidak nyaman pada dada. Nyeri dada tidak dapat ditunjuk secara
pasti, menjalar ke punggung, tidak dipengaruhi pola bernafas maupun posisi tubuh dan dapat
berlangsung kurang lebih 15 menit. Menurut pasien nyeri dada dapat muncul kapan saja, baik
saat pasien sedang istirahat maupun sedang beraktivitas, dan nyeri dada cenderung membaik
apabila pasien mencoba untuk istirahat. Namun saat ini pasien merasakan nyeri tidak kunjung
menghilang sehingga pasien memutuskan untuk berobat ke RSOB. Apabila ditemukan pasien
dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat dan tepat apakah pasien menderita infark
miokard atau tidak. Sebagian besar pasien infark miokard datang dengan keluhan nyeri dada /
angina pectoris. Nyeri dada tipikal merupakan gejala cardinal yang merupakan tanda awal
dalam pengelolaan pasien infark miokard. Karena itu perlu di ketahui ciri khas dari nyeri dada
angina yaitu : berdasarkan lokasi nyeri dada angina cenderung terjadi pada substernal,
retrosternal dan precordial, dengan sifat nyeri seperti rasa sakit, rasa ditekan, rasa terbakar,
ditindih benda berat, rasa ditusuk, diperas ataupun dipelintir. Kemudian perlu dicari
penjalaran yang terjadi, beberapa pasien mengeluh menjalar ke lengan kiri, dapat juga ke
leher, rahang bawah, gigi, punggung, bahu maupun perut. Pasien dengan keadaan nyeri dada
akan cenderung berusaha mencari kondisi senyaman mungkin untuk mengatasi rasa nyeri,
sehingga perlu dicari tahu apakah nyeri membaik atau hilang saat istirahat ataupun
mengkonsumsi obat nitrat. Nyeri dada juga harus ditelusuri lebih lanjut adakah kemungkinan
faktor yang mencetuskan munculnya nyeri dada yaitu latihan fisik, stress emosi, udara dingin
dan sesudah makan. Durasi nyeri dada perlu di telusuri untuk menentukan perbedaan angina
stabil dan tidak stabil. Pada angina pectoris stabil keluhan nyeri berlangsung kurang lebih 15

25

menit, namun pada sindrom koroner akut nyeri dapat berlangsung lebih dari 15 menit bahkan
nyeri tidak menghilang. Berdasarkan analisis nyeri dada yang ada dapat disimpulkan bahwa
pasien mengalami angina pectoris tidak stabil.
Pasien juga mengeluh pandangan mata berkunang-kunang, mual, dan keringat dingin.
Pada pasien dengan sindrom koroner akut cenderung memiliki gejala tambahan dengan
pandangan berkunang atau kabur. Pandangan kabur identik dengan proses hipertensi kronis
yang terjadi pada mata. Pada mata normal, refleks cahaya normal dari pembuluh darah retina
dibentuk oleh refleksi antarmuka antara dinding pembuluh darah dan ruangan pembuluh
darah. Akibat hipertensi terjadi penebalan dinding pembuluh darah menyebabkan refleks
menjadi lebih lebar dan buram secara perlahan atau pada pasien gambaran mata berkunang
dan apabila progresif cenderung terjadi sklerosis dan hyalinisasi yang menyebabkan
terjadinya penyempitan pembuluh darah dan edema sehingga pandangan menjadi hilang.
Keluhan mual merupakan manifestasi dari efek parasimpatis melalui persarafan nervus vagus.
Mual dan muntah terjadi akibat adanya stimulasi nervus vagus terhadap pusat rangsang
muntah yaitu chemoreceptor trigger zone pada hipothalamus akibat kompensasi terhadap
hipoperfusi miokard. Karena traktus gastrointestinal dan kardiovaskular berada dalam satu
jaras nervus vagus, maka stimulasi vagus akan memberi efek pada gastrointestinal melalui
proses tersebut. Sedangkan keluhan keringat dingin merupakan manifestasi dari efek simpatis
pada sistem RAAS yang memicu baroreseptor pusat simpatis pada medula sehingga memicu
pada kulit untuk memproduksi keringat dalam jumlah besar.
Riwayat pengobatan saat ini pasien mengaku saat nyeri dada pasien mengonsumsi
obat tolak angin dan memakai balsam namun tidak mengalami perbaikan. Adanya thrombosis
pada pembuluh darah menyebabkan terjadinya obstruksi sehingga akan memicu infark lebih
lanjut dan gejala klinis semakin memberat. Untuk mengatasi gejala angina diperlukan obat
yang dapat mengatasi oklusi arteri atau obstruksi yang terjadi. Obat yang dikonsumsi pasien
seperti tolak angin mengandung isorae fructus (zat dari tanaman) dan balsam mengandung
eucalyptol yang bersifat analgetik dapat mengurangi gejala nyeri yang bersifat sementara.
Karena tidak mengatasi sumber nyeri yaitu oklusi arteri maka penggunaan obat yang
dilakukan pasien tidak mengatasi angina pectoris.
Terdapat riwayat PJK, dan hipertensi yang tidak terkontrol. Merupakan faktor risiko
terjadinya sindrom koroner akut berulang. Karena pada pembuluh darah yang mengalami
atherosclerosis akan cenderung terjadi rupture plak kembali apabila terjadi pelepasan faktor
jaringan yang terjadi disfungsi endothelium pada hipertensi akibat tahanan perifer di
pembuluh darah, peningkatan turbulensi aliran darah yang memicu aktivasi platelet dan

26

kaskade pembekuan darah yang berulang akibat pengobatan yang tidak sempurna sehingga
memicu terjadinya kembali thrombosis koroner dan terjadi sindrom koroner akut.
Pada pemeriksaan fisik menunjukkan peningkatan tekanan darah, kulit lembab, dan
diaphoresis. Sesuai dengan proses patofisiologi yang terkait yaitu efek simpatis akibat aktivasi
system RAAS. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan LED, MCHC,
leukosistosis, neutrofilia, limfositopenia, monositopenia, dan peningkatan gula darah sewaktu.
Hasil laboratorium yang ada berhubungan dengan mekanisme yang terjadi pada sindrom
koroner akut. Pada sindrom koroner akut terjadi nekrosis jaringan miokardium, reaksi
inflamasi pada pembuluh darah yaitu adanya peranan makrofag, disfungsi endothelial dan
berbagai sitokin sehingga memicu hasil laboratorium yang ada. Perjalanan penyakit kronis,
nekrosis jaringan luas cenderung memicu peningkatan LED dan MCHC. Adanya infark,
disfungsi endothelial, reaksi inflamasi pada pembuluh darah memicu leukositosis, neutrofilia,
limfositopenia dan monositopenia. Peningkatan kadar gula darah sewaktu harus diperhatikan
dan di monitor lebih lanjut. Pada pasien yang mengalami infark cenderung terjadi
hiperglikemia disebabkan infark yang terjadi. Berbagai penelitian menyebutkan bahwa
terjadinya inflamasi pada pembuluh darah cenderung meningkatkan protein fase akut yaitu
CRP, interleukin-6 dan TNF- yang memicu terjadinya proses apoptosis miokardium. Dengan
terjadi proses apoptosis terjadi peningkatan sisa destruksi jaringan yaitu zat oksidatif yang
memicu terjadinya stress metabolic sehingga memicu peningkatan hormon stress dan peptide
yang akan meningkatkan gula darah.
Pada pemeriksaan EKG didapatkan kesan irama sinus dengan iskemia miokard
segmen inferior. Pemeriksaan EKG 12 lead harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri
dada. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan pada 10 menit awal sejak kedatangan pasien di RS.
Pemeriksaan EKG merupakan landasan dalam menentukan keputusan terapi. Sebagian besar
pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q
pada EKG yang akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang Q.Sebagian kecil menetap
menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi thrombus tidak total, biasanya tidak
ditemukan adanya elevasi segmen ST. Karena pasien ditemukan iskemi di daerah inferior
maka pada pasien perlu dilakukan monitor EKG secara kontinyu dan EKG sebelah kanan
untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST dan mendeteksi kemungkinan
infark pada ventrikel kanan.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang yang telah dilakukan pada
pasien, maka dapat disimpulkan pasien mengalami ACS STEMI Killip Kelas I dan direncakan
untuk pemberian antikoagulan dan trombolitik untuk mengatasi angina yang terjadi.

27

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

SINDROMA KORONER AKUT

A. Pengertian
Infark Miokard Akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang
menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah
terjadi sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh darah
di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak mendapat aliran darah atau
alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot jantung,
dikatakan mengalami infark. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST
Elevation Myocardial Infarct) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut
(SKA) yang terdiri atas angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan
elevasi ST.
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah koroner
menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler,
dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi
lipid.

B. Klasifikasi
Sindroma koroner akut dibagi berdasarkan gambaran elektrokardiografi
(EKG), yaitu : sindroma koroner akut dengan elevasi segmen ST (ACS STEMI),
sindroma koroner akut tanpa elevasi segmen ST (ACS NSTEMI) dan atau angina
pectoris tidak stabil (UAP). Klasifikasi ini akan mempercepat dan mempermudah
identifikasi pasien STEMI, okulasi total arteri koroner yang memerlukan
revaskularisasi segera.

C. Faktor Risiko
Berdasarkan penelitian Framingham, maka faktor risiko penyakit jantung koroner
terdiri atas :
a. Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu factor risiko utama yang paling banyak
terjadi di dunia. Untuk Indonesia prevalensi hipertensi berkisar diantara 6-15%.
28

Sedangkan di negara lain di Amerika memiliki prevalensi lebih tinggi hingga


mencapai 15-20%, negara di Africa memiliki prevalensi 10 30%. Lebih kurang
60% penderita hipertensi tidak terdeteksi, 20% dapat diketahui tetapi tidak diobati
atau tidak terkontrol dengan baik, sedangkan hanya 20% dapat diobati dengan
baik. Perubahan hipertensi khususnya pada jantung disebabkan karena
meningkatnya tekanan darah. Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang
berat untuk jantung, sehingga menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri (faktor
miokard). Keadaan ini tergantung dari berat dan lamanya hipertensi. Mempercepat
timbulnya aterosklerosis.

Tekanan darah yang tinggi dan menetap akan menimbulkan trauma


langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria, sehingga
memudahkan terjadinya aterosklerosis koroner (faktor koroner). Hal ini
menyebabkan angina pektoris, insufisiensi koroner dan miokard infark lebih
sering didapatkan pada penderita hipertensi dibandingkan orang normal.

Hasil penelitian Framingham juga mendapatkan pengaruh penyakit jantung


koroner dengan tekanan darah diastolik. Kejadian miokard infark 2x 1ebih besar
pada kelompok tekanan darah diastolik 90-10 mmHg dibandingkan tekanan darah
diastolik (85 mmHg, sedangkan pada tekanan darah diastolik) 105 mmHg 4x lebih
besar.

b. Hiperkolestrolemia
Hiperkolesterolemia termasuk salah satu faktor risiko utama penyakit
jantung koroner di samping hipertensi dan merokok. Di Amerika pada saat ini
50% orang dewasa didapatkan kadar kolesterolnya >200 mg/dl dan 25% dari
orang dewasa umur >20 tahun dengan kadar kolesterol >240 mg/dl, sehingga
risiko terhadap PJK akan meningkat. Kolesterol, lemak dan substansi lainnya
dapat menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah arteri, sehingga lumen
dari pembuluh derah tersebut menyempit dan proses ini disebut aterosklerosis.
Penyempitan pembuluh darah ini akan menyebabkan aliran darah menjadi lambat
bahkan dapat tersumbat sehingga aliran derah pada pembuluh derah koroner yang
fungsinya memberi oksigen ke jantung menjadi berkurang. Apabila pasien
memiliki risiko tinggi penyakit jantung koroner dari hiperkolestrolemia maka

29

dapat dilakukan menemukan adanya atherosclerosis dengan melihat bruit


vascular, indeks siku-brakhialis kurang dari 0,9.
c. Merokok
Merokok merupakan salah satu faktor risiko utama untuk terjadinya
penyakit jantung termasuk serangan jantung dan stroke disamping hipertensi dan
hiperkolestrolemia dan juga memiliki hubungan kuat untuk terjadinya penyakit
jantung koroner sehingga dengan berhenti merokok akan mengurangi risiko
terjadinya serangan jantung. Orang yang merokok lebih dari 20 batang perhari
dapat memperkuat efek dua faktor risiko utama yang lainnya. Merokok
meningkatkan risiko serangan jantung sebanyak 2 sampai 3 kali.(26,27) Penelitian
Framingham membuktikan kematian mendadak akibat penyakit jantung koroner
pada laki-laki perokok 10x lebih besar daripada bukan perokok dan pada
perempuan perokok 4,5x lebih besar daripada bukan perokok.
d. Umur
Telah dibuktikan adanya hubungan antara umur dan kematian akibat PJK.
Sebagian besar kasus kematian terjadi pada laki-laki umur 35-44 tahun dan
meningkat dengan bertambahnya umur. Juga diadapatkan hubungan umur dan
kadar kolesterol yaitu kadar kolesterol total akan meningkat dengan bertambahnya
umur.
e. Jenis Kelamin
Di Amerika Serikat gejala penyakit jantung koroner sebelum umur 60 tahun
didapatkan pada 1 dari 5 laki laki dan 1 dari 17 perempuan. Data tersebut
menunjukkan bahwa laki-laki mempunyai risiko penyakit jantung koroner 2-3x
lebih besar daripada perempuan. Pada beberapa perempuan pemakaian oral
kontrasepsi dan selama kehamilan akan meningkatkan kadar kolesterol. Angka
kematian pada laki-laki didapatkan lebih tinggi daripada perempuan namun
setelah menopause hampir tidak didapatkan perbedaan angka kematian antara
laki-laki dan perempuan.
f. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus meningkatkan risiko terjadinya penyakit jantung koroner
2x hingga 4x lipat dibandingkan dengan pasien penyakit jantung koroner tanpa
riwayat diabetes mellitus. Dan kematian pasien penyakit jantung koroner dengan
diabetes mellitus mencapai 65% 75% kasus, namun secara signifikan risiko
kematian berdasarkan jenis kelamin dan usia pada pasien dengan diabetes mellitus

30

yang mengalami penyakit jantung koroner dibandingkan dengan pasien non


diabetes mellitus dengan riwayat miokard infark adalah sebanding. Dengan data
tersebut maka muncul kecurigaan adanya faktor predisposisi diabetes mellitus
terhadap penyakit jantung koroner dengan implikasi adanya resistensi insulin,
lemak visceral, inflamasi berlebihan mendasari proses terjadinya thrombogenesis.
Disisi lain, berbagai proses mekanik seperti stress oksidatif, peningkatan
atherogenisitas akibat partikel kolesterol, reaktivitas vascular yang abnormal dan
perbanyakan aktivasi hemostatic serta disfungsi ginjal telah dibuktikan sebagai
fitur karakteristik diabetes mellitus tipe 2 yang akan memperberat risiko
terjadinya penyakit jantung koroner.

D. Mekanisme Infark Miokardium


Atherosclerosis sejauh ini adalah penyebab yang paling sering dari penyakit
jantung koroner dan penyakit arteri perifer, namun atherosclerosis sendiri jarang
menyebabkan keadaan fatal. Manifestasi yang mengancam nyawa dari atherosclerosis
seperti sindroma koroner akut biasanya dicetuskan oleh thrombosis akut, dilapisan atas
pada plak atherosclerosis yang pecah atau terkikis dengan atau tanpa diikuti
vasokonstriksi yang menyebabkan onset tiba-tiba dan penurunan kritis aliran darah.
Atherosklerosis adalah suatu inflamasi imun kronik dan multifocal, penyakit
fibroproliferatif pada pembuluh ateri sedang dan besar yang terutama didasari oleh
akumulasi lemak. Atherosclerosis mulai berkembang sejak awal kehidupan dan
berkembang seiring dengan waktu, tetapi kecepatan perkembangan tidak dapat
diprediksi dan sangat variasi pada setiap orang. Pada setiap tingkat tertentu dari
pejanan faktor risiko, terdapat variasi substansial terhadap jumlah atherosclerosis yang
berkembang, kemungkinan disebabkan karena kerentanan individu tersebut. Namun
meskipun individu tersebut rentan, proses atherosclerosis membutuhkan waktu
beberapa decade untuk berkembang menjadi obstruktif atau plak thrombosis yang
rawan pecah. Berikut gambar proses kerentanan plak sehingga menyebabkan
terjadinya infark miokard :

31

1) Arteri normal.
2) Inisiasi lesi terjadi ketika sel-sel endotel diaktifkan oleh faktor risiko seperti
hiperlipoproteinemia mengungkapkan adhesi dan molekul kemo-atraktan yang
mengundang leukosit inflamasi seperti monosit dan limfosit T. Jaringan lipid
ekstraselular mulai menumpuk pada lapisan intima pada tahap ini.
3) Perubahan stadium lemak fibrosa. Monosit memasuki dinding arteri menjadi
makrofag dan mengekspresikan reseptor pemangsa (scavenger) yang mengikat
lipoprotein yang termodifikasi. Makrofag menjadi sel busa dengan mencerna
lipoprotein termodifikasi tersebut. Leukosit dan sek-sel dinding pembuluh
arteri dapat mensekresikan sitokin inflamasi dan growth factor yang
merangsang untuk masuknya leukosit dan menyebabkan migrasi dan
proliferasi sel otot polos.
4) Sementara lesi berkembang, mediator inflamasi menyebabkan terjadinya
ekspresi faktor jaringan, suatu pro koagulan yang poten dan matriks pemecah
proteinase yang memperlemah bagian cap fibrosa plak.
5) Apabila cap fibrosa rupture pada titik melemah, faktor koagulasi didalam
darah dapat memperoleh akses ke thrombogenik, faktor jaringan yang
mengandung inti lipid menyebabkan thrombosis pada plak atherosklerotik non
oklusif. Apabila keseimbangan antara mekanisme prothrombotik dan
fibrinolitik yang berlaku pada wilayah tertentu dan pada saat waktu tidak
menentu thrombus oklusif yang menyebabkan sindrom koroner akut dapat
terjadi.
6) Ketika terjadi resorbsi thrombus, produk yang terkait thrombosis seperti
thrombin dan mediator dilepaskan dari trombosit yang menggumpal yang

32

memicu proses penyembuhan, menyebabkan peningkatan akumulasi kolagen


dan pertumbuhan otot polos. Dengan cara ini lesi lemak fibrosa dapat berubah
menjadi fibrosa lebih berbahaya (advance fibrous) dan sering terjadi
kalsifikasi plak yang dapat menyebakan stenosis secara signifikan dan
menyebabkan gejala angina pectoris stabil.
7) Dalam beberapa kasus, thrombus oklusif muncul bukan berasal dari pecahnya
cap fibrosa tetapi akibat erosi lapisan endotel superfisial, menyebabkan
thrombus dinding arteri, kembali lagi tergantung pada keseimbangan
prothombotik dan fibrinolitik local yang dapat menyebabkan infark miokard
akut. Erosi lapisan supersifial sering berkomplikasi yang menjadi fibrosa lebih
berbahaya (advance fibrous) dan lesi stenosis seperti gambar diatas. Erosi
lapisan superfisial tidak selalu terjadi setelah cap fibrosa rupture.

E. Gejala Klinis
Adanya nyeri dada, nyeri alih atau rasa tidak nyaman pada bahu, lengan kiri,
dagu, leher, epigastrium, punggung, kepala pusing, dyspnoe dan rasa tertekan pada
daerah selain jantung. Secara umum terdapat gejala tipikal dan atipikal. Gejala tipikal
seperti nyeri subternal yang menghilang dengan istirahat. Gejala atipikal seperti rasa
lelah, mual, muntah, letih berlebihan, nyeri punggung dan diaphoresis (keringat
berlebihan) namun untuk gejala atipikal tidak termasuk dalam kriteria diagnosis dari
penyakit jantung koroner meskipun membantu untuk mendiagnosis suatu penyakit
jantung koroner. Rentetan kejadian gejala kronis akan memberikan manifestasi
dimulai dari angina pectoris stabil (SAP) dan sindroma koroner akut yaitu angina
pectoris tidak stabil (UAP), infark miokard akut tanpa elevasi ST (ACS NSTEMI) dan
infark miokard akut dengan elevasi ST (ACS STEMI).

F. Diagnosis
Anamnesis

Diagnosa sindrom koroner akut bersifat rule out maka atas dasar unsur tersebut
dapat dikategorikan dalam tiga tingkat kemungkinan suatu keadaan sindrom koroner
akut.

Kemungkinan Besar Keluhan utama berupa nyeri atau rasa tidak
nyaman di dada atau lengan kiri, ditambah : Riwayat nyeri dada

33

sebelumnya, dan pasien dikenal sebagai pengidap penyakit jantung


koroner, termasuk riwayat infark miokard akut.

Kemungkinan Sedang Keluhan utama berupa nyeri atau rasa tidak
nyaman di dada atau lengan kiri ditambah : Usia > 70 tahun, jenis kelamin
laki-laki dan riwayat diabetes mellitus.

Kemungkinan Kecil Keluhan iskemia tidak jelas, riwayat pemakaian
kokain.

Pemeriksaan Fisik

Tujuan utama melakukan pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor


pencetus pada pasien dan untuk memeriksa dampak hemodinamik akibat penyakit
jantung koroner. Pemeriksaan fisik pada penyakit jantung koroner biasanya normal,
apabila terdapat tanda-tanda kongesti dan hemodinamik tidak stabil maka diperlukan
penanganan segera. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan kulit pucat dan dingin,
sinus takikardi, bunyi jantung tiga atau empat, ronkhi basiler dan hipotensi.

Pemeriksaan Electrocardiography (EKG)

Berdasarkan guidelines ACC/AHA, pemeriksaan EKG 12 sandapan merupakan


alat diagnostic lini pertama untuk menegakkan diagnosis kerja dalam 10 menit setelah
pasien bertemu tenaga medis dengan keluhan rasa tidak nyaman pada dada dan atau
gejala penyakit jantung koroner lainnya. Nilai tingkat sensitivitas EKG adalah 2x lipat
untuk menunjang diagnosis kerja sindroma koroner akut namun EKG memiliki
beberapa keterbatasan. Pada keadaan tertentu gambaran EKG 12 sandapan bisa normal
dan kurang adekuat pada iskemia daerah posterior (sandapan V7-9), daerah lateral,
dinding apex ventrikel kiri dan ventrikel kanan (sandapan V34-V4R) yang terisolasi.
Namun gambaran EKG normal tidak melepas kemungkinan adanya sindrom koroner
akut. Gambaran EKG yang dapat ditemukan adalah depresi segmen ST, inversi
gelombang T dan elevasi segmen ST yang transien,tergantung derajat manisfestasi
klinis. Gambaran EKG tersebut ditemukan 30% hingga 50% dari pasien sindrom
koroner akut. Keadaan iskemia yang dinamis hanya dapat dideteksi dengan pemeriksaan
EKG 12 sandapan secara kontinu dan saat pasien mengalami angina pectoris. Oleh
karena itu, dianjurkan untuk mengulang pemeriksaan EKG setiap 6 - 9 jam, 24 jam jam
setelah pemeriksaan pertama kali datang atau bila pada saat pemantauan terjadi

34

perubahan manifestasi klinis dan hasilnya dibandingkan dengan EKG saat pertama kali
datang. Berikut adalah spektrum diagnosis beserta lokasi infark miokard dari sindrom
koroner akut berdasarkan EKG :

Spektrum Sindrom Koroner Akut.

EKG = electrocardiogram; NSTEMI = non-ST-elevated myocardial infarction; STEMI


= ST-elevated myocardial infarction.

Lokasi Infark Miokard.

STEMI = ST-elevated myocardial infarction


Pemeriksaan Biomarker atau Enzim Petanda Jantung

35

Perbedaan antara angina pectoris tidak stabil (UAP) dengan infark miokard tanpa
elevasi ST (NSTEMI) adalah pada beratnya iskemia. Pada NSTEMI, iskemia yang
terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan kerusakan miokard yang ditandai dengan
peningkatan enzim petanda jantung. Sehingga enzim petanda jantung merupakan
pemeriksaan yang sangat berperan dalam mendiagnosis infark miokard akut. Enzim
petanda jantung terdiri aspartate transaminase (AAT) / serum glutamic oxaloacetic
transaminase (SGOT), lactate dehydrogenase, creatine kinase (CK), Isoenzim CK-MB,
myoglobin dan troponin T dan I. Namun enzim petanda jantung seperti aspartate
transaminase (AAT) / serum glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT), lactate
dehydrogenase sudah tidak digunakan karena memiliki nilai sensitivitas yang rendah
dan menunda tenaga medis untuk mendiagnosis dini karena peningkatannya lambat.
Pengukuran enzim jantung spesifik troponin T dan I memiliki nilai akurasi,
sensitivitas serta spesifisitas yang tinggi untuk menilai iskemia miokard. Enzim
troponin telah menggantikan CK-MB dalam mendeteksi miokard yang nekrosis. Namun
pengukuran troponin memiliki beberapa hambatan. Kadar troponin biasanya tidak
langsung meningkat hingga 6 jam setelah awitan simptom, oleh karena itu pengukuran
dengan hasil negative harus diperiksa ulang dalam waktu 8 hingga 12 jam setelah
awitan symptom. Karena kadar troponin tetap meningkat dalam waktu lama (5 hingga
14 hari) setelah nekrosis miokard, maka penggunaan troponin dalam mendeteksi infark
miokard berulang terbatas. Namun troponin bermanfaat dalam mendeteksi infark
miokard terhadap pasien yang diperiksa beberapa hari setelah awitan symptom. Karena
waktu paruh CK-MB yang singkat, kadar isoenzim CK-MB bermanfaat untuk
mendiagnosis ektensi infark miokard (reinfarksi).
Pengukuran dengan myoblogin dapat mendeteksi infark miokard secara dini
dalam 2 jam setelah nekrosis miokard terjadi. Pengukuran dengan myoglobin memiliki
nilai spesifisitas rendah namun nilai sensitivitas tinggi maka myoglobin sering
digunakan untuk mendeteksi infark miokard apabila kadar enzim petanda jantung pasien
normal pada 4 hingga 8 jam pertama setelah awitan symptom. Namun myoglobin harus
digunakan bersama enzim petanda jantung lainnya karena puncak kadar myoglobin
menurun dengan cepat pada iskemia. Berikut tabel karakteristik pemeriksaan enzim
petanda jantung untuk diagnosis infark miokard akut :

36

Karakteristik Enzim Petanda Jantung*


Enzim Petanda Hasil Positif Kadar Sensit Spesif Nilai Nilai
Jantung pada Puncak ivitas isitas Prediksi Prediksi
pemeriksaan (jam) (%) (%) Positif Negatif
pertama (%)+ (%)+
(jam)
CK
Uji Tunggal 3-8 12 - 24 35 80 20 90
Uji Serial 95 68 30 99
CK-MB
Uji Tunggal 4-6 12 - 24 35 85 25 90
Uji Serial 95 95 73 99
Troponin I & T
Diukur 4 jam 4 - 10 35 96 56 91
setelah onset
nyeri dada
Diukur 10 jam 8 - 28 89 95 72 98
setelah onset
nyeri dada
CK = Creatinin kinase; CK-MB = Creatinin kinase isoenzim MB
(*) Infark miokard dengan ST elevasi atau tanpa ST elevasi pada pasien yang
berkunjung ke bagian gawat darurat dengan nyeri dada
(+) prediksi secara keseluruhan diberi nilai 12,5% pada infark miokard akut

G. Tatalaksana
Tatalaksana Kegawatdaruratan
Tujuan tatalaksana di IGD adalah mengurangi/menghilangkan nyeri dada,
mengidentifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera, triase
pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan menghindari
pemulangan cepat pasien dengan STEMI.
1) Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi
oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat
diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
2) Nitrogliserin : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman
dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan
interval 5 menit.
3) Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan
analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan

37

dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit
sampai dosis total 20 mg.
4) Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai
STEMI dan efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi
cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar
tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis
160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya diberikan peroral dengan
dosis 75-162 mg.
5) Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada,
pemberian penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang biasa
diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis,
dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit, tekanan darah
sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih
dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir
dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam
selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam

Terapi Khusus ACS STEMI


1) Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner,
meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi
kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau
takiaritmia ventrikular yang maligna. Sasaran terapi reperfusi adalah
door to needle time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai
dalam 30 menit atau door to balloon time untuk PCI dapat dicapai
dalam 90 menit.
2) Percutaneus Coronary Intervention (PCI)
Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa didahului
fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif dalam
mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan beberapa jam
pertama infark miokard akut. PCI primer lebih efektif dari fibrinolitik
dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan
outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik. PCI
primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pada

38

pasien < 75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada
sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan
kurang mudah hancur dengan obat fibrinolitik. Namun, PCI lebih
mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas
berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa rumah sakit
3) Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak masuk
(door to needle time < 30 menit) bila tidak terdapat kontraindikasi.
Tujuan utamanya adalah merestorasi patensi arteri koroner dengan
cepat. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik antara lain tissue
plasminogen activator (tPA), streptokinase, tenekteplase (TNK),
reteplase (rPA), yang bekerja dengan memicu konversi plasminogen
menjadi plasmin yang akan melisiskan trombus fibrin.
4) Terapi Lain
ACC/AHA dan ESC merekomendasikan dalam tata laksana semua
pasien dengan STEMI diberikan terapi dengan menggunakan anti-
platelet (aspirin, clopidogrel, thienopyridin), anti-koagulan seperti
Unfractionated Heparin (UFH) / Low Molecular Weight Heparin
(LMWH), nitrat, penyekat beta, ACE-inhibitor, dan Angiotensin
Receptor Blocker.

H. Komplikasi
o Iskemia berulang
o Aritimia
Fibrilasi ventrikel
Supraventrikular takikardi
Blok AV
o Disfungsi miokardium
Congestive heart failure
Syok kardiogenik

39

I. Prognosis
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis paska IMA.
Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana, S3 gallop,
kongesti paru dan syok kardiogenik.

Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan


pulmonary capillary wedge pressure (PCWP).

TIMI risk score adalah sistem prognostik paling akhir yang menggabungkan
anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisik yang dinilai pada pasien STEMI yang
mendapat terapi fibrinolitik.

40

BAB V
KESIMPULAN

Perbedaan mendasar jenis sindroma koroner akut adalah berdasarkan derajat


iskemia dan nekrosis yang terjadi pada miokardium. ACS STEMI berhubungan
dengan adanya thrombus yang menyebabkan terjadinya oklusi total sehingga
menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis miokardium. ACS menyebabkan
perubahan biokimiawi dan mekanikal yaitu disfungsi kontraksi sistolik, penurunan
kerja miokardium dan menjadi predisposisi terjadinya aritmia. Oleh karena itu
diperlukan diagnosis dan tatalaksana secara tepat sehingga dapat mencegah timbulnya
iskemia berulang, reinfraksi, bahkan kematian.

41

DAFTAR PUSTAKA

1. Thygesen K, Alpert JS, Jaffe AS, Simoons ML, Chaitman BR, White HD, et al. Third
universal definition of myocardial infarction. European Heart Journal. 2012 October 1,
2012;33(20):2551-67.
2. Daga LC, Kaul U, Mansoor A. Approach to STEMI and NSTEMI. Age. 2011;65:1.
3. Ueshima H, Sekikawa A, Miura K, Turin TC, Takashima N, Kita Y, et al.
Cardiovascular Disease and Risk Factors in Asia: A Selected Review. Circulation.
2008 December 16, 2008;118(25):2702-9.
4. T. Bahri Anwar.2004. Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
5. Rilantono LI. Sindrom Koroner Akut. In: Juzar D, Irmalita, editors. Penyakit
Kardiovaskular (PKV) : 5 Rahasia. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012. p. 138-60.
6. Kumar A, Cannon CP, editors. Acute coronary syndromes: diagnosis and
management, part I. Mayo Clinic Proceedings; 2009: Elsevier.
7. Anderson JL, Adams CD, Antman EM, Bridges CR, Califf RM, Casey DE, et al.
ACC/AHA 2007 Guidelines for the Management of Patients With Unstable
Angina/NonST-Elevation Myocardial Infarction A Report of the American College
of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines
(Writing Committee to Revise the 2002 Guidelines for the Management of Patients
With Unstable Angina/NonST-Elevation Myocardial Infarction) Developed in
Collaboration with the American College of Emergency Physicians, the Society for
Cardiovascular Angiography and Interventions, and the Society of Thoracic Surgeons
Endorsed by the American Association of Cardiovascular and Pulmonary
Rehabilitation and the Society for Academic Emergency Medicine. Journal of the
American College of Cardiology. 2007;50(7):e1-e157.

42

Anda mungkin juga menyukai