LONG CASE
PENYUSUN
030.10.226
PEMBIMBING
NIM : 030.10.226
BAB I
PENDAHULUAN
Infark miokard akut (IMA) atau yang lebih dikenal dengan serangan jantung
adalah suatu keadaan dimana suplai darah pada suatu bagian jantung terhenti sehingga
sel otot jantung mengalami kematian. Infark miokard sangat mencemaskan karena
sering berupa serangan mendadak, umumnya pada pria usia 35-55 tahun, tanpa ada
keluhan sebelumnya. Sindrom koroner akut lebih lanjut diklasifikasikan menjadi
Unstable Angina (UA), ST-segment Elevation Myocardial Infarct (STEMI) dan Non
ST-segment Elevation Myocardial Infarct (NSTEMI). IMA tipe STEMI sering
menyebabkan kematian mendadak, sehingga merupakan suatu kegawatdaruratan yang
membutuhkan tindakan medis secepatnya. Angka mortalitas dan morbiditas
komplikasi IMA yang masih tinggi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
keterlambatan mencari pengobatan, kecepatan serta ketepatan diagnosis dan
penanganan dokter yang menangani. Kecepatan penanganan dinilai dari time window
antara onset nyeri dada sampai tiba di rumah sakit dan mendapat penanganan di rumah
sakit. Apabila time window berperan dalam kejadian komplikasi, maka perlu dikaji apa
saja yang menjadi faktor keterlambatannya. Ketepatan dinilai dari modalitas terapi
yang dipilih oleh dokter yang menangani. Evaluasi tentang kecepatan dan ketepatan
penanganan terhadap pasien IMA diperlukan untuk mencegah timbulnya komplikasi
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
A. ANAMNESIS
Diambil dari secara Autoanamnesis dan Alloanamnesis melalui pasien dan anak pasien pada
hari Sabtu, 29 November 2014 pukul 12.20 WIB.
Keluhan Utama
Nyeri dada sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan Tambahan
Mata berkunang-kunang, mual, pusing, dan keringat dingin.
nyaman pada dada. Nyeri dada tidak dapat ditunjuk secara pasti, menjalar ke punggung, tidak
dipengaruhi pola bernafas maupun posisi tubuh dan dapat berlangsung kurang lebih 15 menit.
Menurut pasien nyeri dada dapat muncul kapan saja, baik saat pasien sedang istirahat maupun
sedang beraktivitas, dan nyeri dada cenderung membaik apabila pasien mencoba untuk
istirahat. Namun saat ini pasien merasakan nyeri tidak kunjung menghilang sehingga pasien
memutuskan untuk berobat ke RSOB. Pasien juga mengeluh pandangan mata berkunang-
kunang, mual, pusing dan keringat dingin. Riwayat sesak nafas saat beraktivitas, posisi tidur
terlentang dan sesak di malam hari disangkal. Riwayat batuk, demam, nyeri ulu hati, rasa
terbakar di dada, muntah, berdebar-debar, sering merasa lapar walaupun saudah makan
banyak, sering banyak minum, sering terbangun hanya untuk kencing di malam hari,
gangguan BAK dan BAB disangkal. Riwayat pengobatan saat ini pasien mengaku saat nyeri
dada pasien mengonsumsi obat tolak angin dan memakai balsam namun tidak mengalami
perbaikan.
Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok sejak usia 30 tahun dengan jumlah konsumsi rokok mencapai 2
bungkus per hari. Riwayat konsumsi minuman keras, kopi dan obat-obatan terlarang
disangkal.
B. ANAMNESIS SISTEM
Kulit
( - ) Bisul ( - ) Rambut ( + ) Keringat dingin
( - ) Lain-lain ( - ) Petechiae
Kepala
( - ) Trauma ( + ) Sakit kepala ( - ) Demam
Mata
( - ) Nyeri ( - ) Radang
Telinga
( - ) Nyeri ( - ) Gangguan pendengaran
( - ) Tinitus
Hidung
( - ) Trauma ( - ) Gejala penyumbatan
( - ) Sekret ( - ) Pilek
( - ) Epistaksis
Mulut
( - ) Bibir kering ( - ) Lidah kotor
( - ) Selaput ( - ) Stomatitis
Tenggorok
( - ) Nyeri tenggorok ( - ) Perubahan suara
Leher
( - ) Benjolan ( - ) Nyeri leher
Dada (Jantung/Paru)
( - ) Ortopnoe ( - ) Batuk
Abdomen (Lambung/Usus)
( + ) Mual ( - ) Mencret
( - ) Stranguria ( - ) Kolik
( - ) Poliuria ( - ) Oliguria
( - ) Polakisuria ( - ) Anuria
( - ) Parestesi ( - ) Ataksia
( - ) Kejang ( - ) Pingsan
( - ) Afasia ( - ) Kedutan
Ekstremitas
( - ) Bengkak ( - ) Deformitas
C. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada hari Sabtu, 29 November 2014 pukul 12.45 WIB.
Pemeriksaan Umum
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Tinggi Badan : 176 cm
Berat Badan : 60 kg
BMI : 19,4 (Normal)
Sianosis :-
Edema umum :-
Cara berjalan : Normal
Mobilitas ( aktif / pasif ) : Aktif
Umur menurut taksiran : Sesuai
Tanda Vital
Tekanan Darah : 170 / 80 mmHg
Nadi : 80 x/menit, regular, isi kuat, ekual
Pernapasan : 16x /menit, simetris
Suhu : 36,5 C
Status Generalis
Kulit
Kepala
Mata
10
Telinga
Cairan : -/-
Mulut
Leher
11
Dada
Paru Paru
Pemeriksaan Hasil
- Fremitus +
- Fremitus +
12
Jantung
Palpasi : Teraba iktus cordis pada sela iga V, 1 cm medial linea midklavikula kiri
Perkusi :
Perut
Hati Teraba, Nyeri tekan (-), Benjolan (-), Tepi tumpul, Permukaan rata
13
Anggota Gerak
Otot
Kekuatan : +5 +5
Lain-lain : Palmar eritema (-), ptechie (-), clubbing finger (-), kontraktur (-)
Otot
Kekuatan : 5 5
14
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium (29 November 2014)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Keterangan
Pemeriksaan Darah
15
Keterangan :
Irama sinus, Normoaxis, Gelombang P Mitral (-), Pulmonal (-), Interval PR normal,
Gelombang QRS normal, ST-T Changes (ST Depresi (-), ST Elevasi pada lead II, III, avF,
Gelombang Q patologis (-), Gelombang T Inverted pada lead V5, V6), Interval QT normal,
Gelombang U (-), LVH Voltage (-), Strain (-), RVH (-), LVH(-), RBBB (-), LBBB (-).
Kesan : Irama sinus dengan iskemia miokard segmen inferior.
16
Foto Thorax PA
Cor : jantung tidak tampak membesar,CTR 49%.
Pulmo : hilus normal, corakan bronkovaskular normal, tidak tampak adanya infiltrate
pada kedua lapang paru, sudut costofrenikus tajam, tidak tampak adanya penebalan
pleura.
Diafragma dalam batas normal. Tulang skeletal tervisualisasi intak dan soft tissue
dinding dalam dalam batas normal.
Kesan : Normal
Resume
Seorang pasien laki laki berusia 64 tahun datang dengan keluhan utama nyeri dada
sejak 1 hari SMRS. Terdapat nyeri dada angina, blurred vision, mual, pusing dan diaforesis.
Tidak ditemukan adanya riwayat nyeri pleuritic, DOE, PND, orthopnoe, batuk, demam, nyeri
epigastric, heartburn, muntah, palpitasi, gejala DM dan gangguan BAB BAK. Riwayat
pengobatan saat ini pasien mengaku saat nyeri dada pasien mengonsumsi obat tolak angin dan
memakai balsam namun tidak mengalami perbaikan. Terdapat riwayat PJK, dan hipertensi
yang tidak terkontrol. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, tampak
sakit sedang, kesan gizi baik. Tanda vital menunjukkan peningkatan tekanan darah,
normokardi, pernafasan normal dan afebris. Pemeriksaan umum ditemukan kulit lembab,
diaphoresis, dan organ lain dalam batas normal. Pada pemeriksaan penunjang dilakukan
17
Diagnosis Kerja
18
c. Diaphoresis
3. Pemeriksaan lanjutan
a. Pemeriksaan laboratorium
i. Peningkatan LED
ii. Peningkatan MCHC
iii. Leukosistosis
iv. Differential Count
1. Neutrofilia
2. Limfositopenia
3. Monositopenia
b. Pemeriksaan EKG
i. Ditemukan adanya tanda iskemia miokardium segmen
inferior yaitu ST Elevasi pada lead II, III, avF.
3. Hipertensi Grade II
Dasar diagnosis :
1. Anamnesis
a. Pusing
b. Pandangan mata berkunang / blurred vision.
c. Riwayat hipertensi tidak terkontrol.
d. Riwayat hipertensi didalam keluarga.
2. Pemeriksaan fisik
a. Peningkatan tekanan darah sistolik > 160 mmHg
19
Diagnosis Banding
Penatalaksanaan
Non medikamentosa
o Tirah baring.
o Monitor tanda vital dan EKG.
o Oksigenasi 2 L/menit selama 2 3 jam, dilanjutkan apabila saturasi oksigen
arteri oksigen < 90%.
o Perbaikan gaya hidup.
Berhenti merokok.
Manajemen berat badan dipertahankan pada BMI 18,5 24,9 kg/m2.
Aktivitas fisik teratur.
Target minimal 30 menit/hari, 3 4x/minggu.
Diet
Puasa hingga bebas nyeri, kemudian diet cair dan diet jantung.
o Kontrol tekanan darah
Target < 140 / 90.
o Manajemen profil lipid
Target kadar LDL < 100 mg/dl, Trigliserida < 150 mg/dl, HDL > 40
mg/dl.
Medikamentosa
o IVFD Asering/24 jam
o Injeksi Omeprazole iv 2 x 1
o Injeksi Arixtra sc 1 x 2,5
o Injeksi Levemir sc 10 IU
20
Prognosis
Pasien dengan ACS STEMI dapat dinilai dengan TIMI Score untuk gambaran prognostic dan
mortalitas pasien ACS. TIMI Score pada pasien yaitu sebagai berikut.
Deviasi segmen ST 1 1
TOTAL 4
Interpretasi
Skor Derajat Mortalitas 30 Hari (%)
0 0,8
1 Risiko Rendah 1,6
2 2,2
3 4,4
Risiko Sedang
4 12
5 16
6 Risiko Tinggi 23
7 27
21
FOLLOW UP
29 November 2014
S Nyeri dada
Mual
Pusing
Pandangan berkunang
O KU : Compos mentis, tampak sakit sedang
TV :
HR : 80 x/menit, regular, isi kuat, ekual
RR : 16x/menit, simetris
TD : 170 / 80 mmHg
Suhu : 36,5oC
Status Generalis
Kepala : normosefali, rambut hitam merata
Mata : konjungtiva pucat - / - , sklera ikterik - / - , pupil bulat
isokor, reflex cahaya langsung dan tidak langsung + / +
Thorax : pergerakan dada simetris, suara nafas vesikular, ronkhi
( - ), wheezing ( - ), BJ I II normal, regular, spilit ( - ), murmur
( - ), gallop ( - )
Abdomen : datar, supel, nyeri tekan ( - ), bising usus ( + )
frekuensi 3x/menit
Ekstremitas : simetris, keringat banyak, kulit lembab, edema (-),
akral hangat.
A ACS STEMI Killip Kelas I
Hiperglikemia ec ACS STEMI
Hipertensi Grade II
P Periksa laboratorium : darah lengkap, ureum, kreatinin, gula
darah sewaktu per 8 jam dan enzim jantung (CKMB dan
Troponin T).
Periksa EKG dan Rontgen Thorax.
IVFD Asering/24 jam.
Injeksi Omeprazole iv 2 x 1.
Injeksi Arixtra sc 1 x 2,5.
Injeksi Levemir sc 10 IU.
30 November 2014
S Mual
Pusing
O KU : Compos mentis, tampak sakit ringan
TV :
HR : 84 x/menit, regular, isi kuat, ekual.
22
RR : 18x/menit, simetris.
TD : 140/90 mmHg
Suhu : 36,5oC
Status Generalis
Kepala : normosefali, rambut hitam merata
Mata : konjungtiva pucat - / - , sklera ikterik - / - , pupil bulat
isokor, reflex cahaya langsung dan tidak langsung + / +
Thorax : pergerakan dada simetris, suara nafas vesikular, ronkhi
( - ), wheezing ( - ), BJ I II normal, regular, spilit ( - ), murmur
( - ), gallop ( - )
Abdomen : datar, supel, nyeri tekan ( - ), bising usus ( + )
frekuensi 2x/menit
Ekstremitas : simetris, keringat sedikit, kulit kering, edema (-),
akral hangat
A ACS STEMI Killip Kelas I
Hiperglikemia ec ACS STEMI
Hipertensi Grade II
P Periksa gula darah sewaktu per 8 jam.
IVFD Asering/24 jam.
Injeksi Omeprazole iv 2 x 1.
Injeksi Arixtra sc 1 x 2,5.
Injeksi Levemir sc 10 IU.
01 Desember 2014
S Sulit tidur
O KU : Compos mentis, tampak sakit ringan
TV :
HR : 82 x/menit, regular, isi kuat, ekual.
RR : 18x/menit, simetris.
TD : 140/90 mmHg
Suhu : 36,5oC
Status Generalis
Kepala : normosefali, rambut hitam merata
Mata : konjungtiva pucat - / - , sklera ikterik - / - , pupil bulat
isokor, reflex cahaya langsung dan tidak langsung + / +
Thorax : pergerakan dada simetris, suara nafas vesikular, ronkhi
( - ), wheezing ( - ), BJ I II normal, regular, spilit ( - ), murmur
( - ), gallop ( - )
Abdomen : datar, supel, nyeri tekan ( - ), bising usus ( + )
frekuensi 2x/menit
23
24
BAB III
ANALISIS KASUS
Seorang pasien laki laki berusia 64 tahun datang dengan keluhan utama nyeri dada
sejak 1 hari SMRS. Usia dan jenis kelamin merupakan faktor risiko kardiovaskular. Sindrom
koroner akut berdasarkan studi epidemiologi yang ada cenderung lebih sering terjadi pada
usia mulai dari usia lebih dari 45 tahun. Dan laki laki cenderung lebih berisiko untuk
terjadinya penyakit kardiovaskular dibandingkan perempuan karena laki laki lebih memiliki
faktor pencetus untuk terjadinya penyakit kardiovaskular yaitu merokok, diabetes mellitus,
obesitas sentral dan stress emosi sedangkan pada perempuan masih terdapat protektor yaitu
estrogen, namun apabila perempuan tersebut sudah mengalami menopause, maka risiko antara
laki laki dan perempuan adalah sama.
Nyeri dada muncul tiba-tiba saat pasien sedang beraktivitas. Nyeri dada dirasakan
seperti ditindih dan rasa tidak nyaman pada dada. Nyeri dada tidak dapat ditunjuk secara
pasti, menjalar ke punggung, tidak dipengaruhi pola bernafas maupun posisi tubuh dan dapat
berlangsung kurang lebih 15 menit. Menurut pasien nyeri dada dapat muncul kapan saja, baik
saat pasien sedang istirahat maupun sedang beraktivitas, dan nyeri dada cenderung membaik
apabila pasien mencoba untuk istirahat. Namun saat ini pasien merasakan nyeri tidak kunjung
menghilang sehingga pasien memutuskan untuk berobat ke RSOB. Apabila ditemukan pasien
dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat dan tepat apakah pasien menderita infark
miokard atau tidak. Sebagian besar pasien infark miokard datang dengan keluhan nyeri dada /
angina pectoris. Nyeri dada tipikal merupakan gejala cardinal yang merupakan tanda awal
dalam pengelolaan pasien infark miokard. Karena itu perlu di ketahui ciri khas dari nyeri dada
angina yaitu : berdasarkan lokasi nyeri dada angina cenderung terjadi pada substernal,
retrosternal dan precordial, dengan sifat nyeri seperti rasa sakit, rasa ditekan, rasa terbakar,
ditindih benda berat, rasa ditusuk, diperas ataupun dipelintir. Kemudian perlu dicari
penjalaran yang terjadi, beberapa pasien mengeluh menjalar ke lengan kiri, dapat juga ke
leher, rahang bawah, gigi, punggung, bahu maupun perut. Pasien dengan keadaan nyeri dada
akan cenderung berusaha mencari kondisi senyaman mungkin untuk mengatasi rasa nyeri,
sehingga perlu dicari tahu apakah nyeri membaik atau hilang saat istirahat ataupun
mengkonsumsi obat nitrat. Nyeri dada juga harus ditelusuri lebih lanjut adakah kemungkinan
faktor yang mencetuskan munculnya nyeri dada yaitu latihan fisik, stress emosi, udara dingin
dan sesudah makan. Durasi nyeri dada perlu di telusuri untuk menentukan perbedaan angina
stabil dan tidak stabil. Pada angina pectoris stabil keluhan nyeri berlangsung kurang lebih 15
25
menit, namun pada sindrom koroner akut nyeri dapat berlangsung lebih dari 15 menit bahkan
nyeri tidak menghilang. Berdasarkan analisis nyeri dada yang ada dapat disimpulkan bahwa
pasien mengalami angina pectoris tidak stabil.
Pasien juga mengeluh pandangan mata berkunang-kunang, mual, dan keringat dingin.
Pada pasien dengan sindrom koroner akut cenderung memiliki gejala tambahan dengan
pandangan berkunang atau kabur. Pandangan kabur identik dengan proses hipertensi kronis
yang terjadi pada mata. Pada mata normal, refleks cahaya normal dari pembuluh darah retina
dibentuk oleh refleksi antarmuka antara dinding pembuluh darah dan ruangan pembuluh
darah. Akibat hipertensi terjadi penebalan dinding pembuluh darah menyebabkan refleks
menjadi lebih lebar dan buram secara perlahan atau pada pasien gambaran mata berkunang
dan apabila progresif cenderung terjadi sklerosis dan hyalinisasi yang menyebabkan
terjadinya penyempitan pembuluh darah dan edema sehingga pandangan menjadi hilang.
Keluhan mual merupakan manifestasi dari efek parasimpatis melalui persarafan nervus vagus.
Mual dan muntah terjadi akibat adanya stimulasi nervus vagus terhadap pusat rangsang
muntah yaitu chemoreceptor trigger zone pada hipothalamus akibat kompensasi terhadap
hipoperfusi miokard. Karena traktus gastrointestinal dan kardiovaskular berada dalam satu
jaras nervus vagus, maka stimulasi vagus akan memberi efek pada gastrointestinal melalui
proses tersebut. Sedangkan keluhan keringat dingin merupakan manifestasi dari efek simpatis
pada sistem RAAS yang memicu baroreseptor pusat simpatis pada medula sehingga memicu
pada kulit untuk memproduksi keringat dalam jumlah besar.
Riwayat pengobatan saat ini pasien mengaku saat nyeri dada pasien mengonsumsi
obat tolak angin dan memakai balsam namun tidak mengalami perbaikan. Adanya thrombosis
pada pembuluh darah menyebabkan terjadinya obstruksi sehingga akan memicu infark lebih
lanjut dan gejala klinis semakin memberat. Untuk mengatasi gejala angina diperlukan obat
yang dapat mengatasi oklusi arteri atau obstruksi yang terjadi. Obat yang dikonsumsi pasien
seperti tolak angin mengandung isorae fructus (zat dari tanaman) dan balsam mengandung
eucalyptol yang bersifat analgetik dapat mengurangi gejala nyeri yang bersifat sementara.
Karena tidak mengatasi sumber nyeri yaitu oklusi arteri maka penggunaan obat yang
dilakukan pasien tidak mengatasi angina pectoris.
Terdapat riwayat PJK, dan hipertensi yang tidak terkontrol. Merupakan faktor risiko
terjadinya sindrom koroner akut berulang. Karena pada pembuluh darah yang mengalami
atherosclerosis akan cenderung terjadi rupture plak kembali apabila terjadi pelepasan faktor
jaringan yang terjadi disfungsi endothelium pada hipertensi akibat tahanan perifer di
pembuluh darah, peningkatan turbulensi aliran darah yang memicu aktivasi platelet dan
26
kaskade pembekuan darah yang berulang akibat pengobatan yang tidak sempurna sehingga
memicu terjadinya kembali thrombosis koroner dan terjadi sindrom koroner akut.
Pada pemeriksaan fisik menunjukkan peningkatan tekanan darah, kulit lembab, dan
diaphoresis. Sesuai dengan proses patofisiologi yang terkait yaitu efek simpatis akibat aktivasi
system RAAS. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan LED, MCHC,
leukosistosis, neutrofilia, limfositopenia, monositopenia, dan peningkatan gula darah sewaktu.
Hasil laboratorium yang ada berhubungan dengan mekanisme yang terjadi pada sindrom
koroner akut. Pada sindrom koroner akut terjadi nekrosis jaringan miokardium, reaksi
inflamasi pada pembuluh darah yaitu adanya peranan makrofag, disfungsi endothelial dan
berbagai sitokin sehingga memicu hasil laboratorium yang ada. Perjalanan penyakit kronis,
nekrosis jaringan luas cenderung memicu peningkatan LED dan MCHC. Adanya infark,
disfungsi endothelial, reaksi inflamasi pada pembuluh darah memicu leukositosis, neutrofilia,
limfositopenia dan monositopenia. Peningkatan kadar gula darah sewaktu harus diperhatikan
dan di monitor lebih lanjut. Pada pasien yang mengalami infark cenderung terjadi
hiperglikemia disebabkan infark yang terjadi. Berbagai penelitian menyebutkan bahwa
terjadinya inflamasi pada pembuluh darah cenderung meningkatkan protein fase akut yaitu
CRP, interleukin-6 dan TNF- yang memicu terjadinya proses apoptosis miokardium. Dengan
terjadi proses apoptosis terjadi peningkatan sisa destruksi jaringan yaitu zat oksidatif yang
memicu terjadinya stress metabolic sehingga memicu peningkatan hormon stress dan peptide
yang akan meningkatkan gula darah.
Pada pemeriksaan EKG didapatkan kesan irama sinus dengan iskemia miokard
segmen inferior. Pemeriksaan EKG 12 lead harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri
dada. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan pada 10 menit awal sejak kedatangan pasien di RS.
Pemeriksaan EKG merupakan landasan dalam menentukan keputusan terapi. Sebagian besar
pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q
pada EKG yang akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang Q.Sebagian kecil menetap
menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi thrombus tidak total, biasanya tidak
ditemukan adanya elevasi segmen ST. Karena pasien ditemukan iskemi di daerah inferior
maka pada pasien perlu dilakukan monitor EKG secara kontinyu dan EKG sebelah kanan
untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST dan mendeteksi kemungkinan
infark pada ventrikel kanan.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang yang telah dilakukan pada
pasien, maka dapat disimpulkan pasien mengalami ACS STEMI Killip Kelas I dan direncakan
untuk pemberian antikoagulan dan trombolitik untuk mengatasi angina yang terjadi.
27
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Infark Miokard Akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang
menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah
terjadi sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh darah
di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak mendapat aliran darah atau
alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot jantung,
dikatakan mengalami infark. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST
Elevation Myocardial Infarct) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut
(SKA) yang terdiri atas angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan
elevasi ST.
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah koroner
menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler,
dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi
lipid.
B. Klasifikasi
Sindroma koroner akut dibagi berdasarkan gambaran elektrokardiografi
(EKG), yaitu : sindroma koroner akut dengan elevasi segmen ST (ACS STEMI),
sindroma koroner akut tanpa elevasi segmen ST (ACS NSTEMI) dan atau angina
pectoris tidak stabil (UAP). Klasifikasi ini akan mempercepat dan mempermudah
identifikasi pasien STEMI, okulasi total arteri koroner yang memerlukan
revaskularisasi segera.
C. Faktor Risiko
Berdasarkan penelitian Framingham, maka faktor risiko penyakit jantung koroner
terdiri atas :
a. Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu factor risiko utama yang paling banyak
terjadi di dunia. Untuk Indonesia prevalensi hipertensi berkisar diantara 6-15%.
28
b. Hiperkolestrolemia
Hiperkolesterolemia termasuk salah satu faktor risiko utama penyakit
jantung koroner di samping hipertensi dan merokok. Di Amerika pada saat ini
50% orang dewasa didapatkan kadar kolesterolnya >200 mg/dl dan 25% dari
orang dewasa umur >20 tahun dengan kadar kolesterol >240 mg/dl, sehingga
risiko terhadap PJK akan meningkat. Kolesterol, lemak dan substansi lainnya
dapat menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah arteri, sehingga lumen
dari pembuluh derah tersebut menyempit dan proses ini disebut aterosklerosis.
Penyempitan pembuluh darah ini akan menyebabkan aliran darah menjadi lambat
bahkan dapat tersumbat sehingga aliran derah pada pembuluh derah koroner yang
fungsinya memberi oksigen ke jantung menjadi berkurang. Apabila pasien
memiliki risiko tinggi penyakit jantung koroner dari hiperkolestrolemia maka
29
30
31
1) Arteri normal.
2) Inisiasi lesi terjadi ketika sel-sel endotel diaktifkan oleh faktor risiko seperti
hiperlipoproteinemia mengungkapkan adhesi dan molekul kemo-atraktan yang
mengundang leukosit inflamasi seperti monosit dan limfosit T. Jaringan lipid
ekstraselular mulai menumpuk pada lapisan intima pada tahap ini.
3) Perubahan stadium lemak fibrosa. Monosit memasuki dinding arteri menjadi
makrofag dan mengekspresikan reseptor pemangsa (scavenger) yang mengikat
lipoprotein yang termodifikasi. Makrofag menjadi sel busa dengan mencerna
lipoprotein termodifikasi tersebut. Leukosit dan sek-sel dinding pembuluh
arteri dapat mensekresikan sitokin inflamasi dan growth factor yang
merangsang untuk masuknya leukosit dan menyebabkan migrasi dan
proliferasi sel otot polos.
4) Sementara lesi berkembang, mediator inflamasi menyebabkan terjadinya
ekspresi faktor jaringan, suatu pro koagulan yang poten dan matriks pemecah
proteinase yang memperlemah bagian cap fibrosa plak.
5) Apabila cap fibrosa rupture pada titik melemah, faktor koagulasi didalam
darah dapat memperoleh akses ke thrombogenik, faktor jaringan yang
mengandung inti lipid menyebabkan thrombosis pada plak atherosklerotik non
oklusif. Apabila keseimbangan antara mekanisme prothrombotik dan
fibrinolitik yang berlaku pada wilayah tertentu dan pada saat waktu tidak
menentu thrombus oklusif yang menyebabkan sindrom koroner akut dapat
terjadi.
6) Ketika terjadi resorbsi thrombus, produk yang terkait thrombosis seperti
thrombin dan mediator dilepaskan dari trombosit yang menggumpal yang
32
E. Gejala Klinis
Adanya nyeri dada, nyeri alih atau rasa tidak nyaman pada bahu, lengan kiri,
dagu, leher, epigastrium, punggung, kepala pusing, dyspnoe dan rasa tertekan pada
daerah selain jantung. Secara umum terdapat gejala tipikal dan atipikal. Gejala tipikal
seperti nyeri subternal yang menghilang dengan istirahat. Gejala atipikal seperti rasa
lelah, mual, muntah, letih berlebihan, nyeri punggung dan diaphoresis (keringat
berlebihan) namun untuk gejala atipikal tidak termasuk dalam kriteria diagnosis dari
penyakit jantung koroner meskipun membantu untuk mendiagnosis suatu penyakit
jantung koroner. Rentetan kejadian gejala kronis akan memberikan manifestasi
dimulai dari angina pectoris stabil (SAP) dan sindroma koroner akut yaitu angina
pectoris tidak stabil (UAP), infark miokard akut tanpa elevasi ST (ACS NSTEMI) dan
infark miokard akut dengan elevasi ST (ACS STEMI).
F. Diagnosis
Anamnesis
Diagnosa sindrom koroner akut bersifat rule out maka atas dasar unsur tersebut
dapat dikategorikan dalam tiga tingkat kemungkinan suatu keadaan sindrom koroner
akut.
Kemungkinan Besar Keluhan utama berupa nyeri atau rasa tidak
nyaman di dada atau lengan kiri, ditambah : Riwayat nyeri dada
33
Pemeriksaan Fisik
34
perubahan manifestasi klinis dan hasilnya dibandingkan dengan EKG saat pertama kali
datang. Berikut adalah spektrum diagnosis beserta lokasi infark miokard dari sindrom
koroner akut berdasarkan EKG :
35
Perbedaan antara angina pectoris tidak stabil (UAP) dengan infark miokard tanpa
elevasi ST (NSTEMI) adalah pada beratnya iskemia. Pada NSTEMI, iskemia yang
terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan kerusakan miokard yang ditandai dengan
peningkatan enzim petanda jantung. Sehingga enzim petanda jantung merupakan
pemeriksaan yang sangat berperan dalam mendiagnosis infark miokard akut. Enzim
petanda jantung terdiri aspartate transaminase (AAT) / serum glutamic oxaloacetic
transaminase (SGOT), lactate dehydrogenase, creatine kinase (CK), Isoenzim CK-MB,
myoglobin dan troponin T dan I. Namun enzim petanda jantung seperti aspartate
transaminase (AAT) / serum glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT), lactate
dehydrogenase sudah tidak digunakan karena memiliki nilai sensitivitas yang rendah
dan menunda tenaga medis untuk mendiagnosis dini karena peningkatannya lambat.
Pengukuran enzim jantung spesifik troponin T dan I memiliki nilai akurasi,
sensitivitas serta spesifisitas yang tinggi untuk menilai iskemia miokard. Enzim
troponin telah menggantikan CK-MB dalam mendeteksi miokard yang nekrosis. Namun
pengukuran troponin memiliki beberapa hambatan. Kadar troponin biasanya tidak
langsung meningkat hingga 6 jam setelah awitan simptom, oleh karena itu pengukuran
dengan hasil negative harus diperiksa ulang dalam waktu 8 hingga 12 jam setelah
awitan symptom. Karena kadar troponin tetap meningkat dalam waktu lama (5 hingga
14 hari) setelah nekrosis miokard, maka penggunaan troponin dalam mendeteksi infark
miokard berulang terbatas. Namun troponin bermanfaat dalam mendeteksi infark
miokard terhadap pasien yang diperiksa beberapa hari setelah awitan symptom. Karena
waktu paruh CK-MB yang singkat, kadar isoenzim CK-MB bermanfaat untuk
mendiagnosis ektensi infark miokard (reinfarksi).
Pengukuran dengan myoblogin dapat mendeteksi infark miokard secara dini
dalam 2 jam setelah nekrosis miokard terjadi. Pengukuran dengan myoglobin memiliki
nilai spesifisitas rendah namun nilai sensitivitas tinggi maka myoglobin sering
digunakan untuk mendeteksi infark miokard apabila kadar enzim petanda jantung pasien
normal pada 4 hingga 8 jam pertama setelah awitan symptom. Namun myoglobin harus
digunakan bersama enzim petanda jantung lainnya karena puncak kadar myoglobin
menurun dengan cepat pada iskemia. Berikut tabel karakteristik pemeriksaan enzim
petanda jantung untuk diagnosis infark miokard akut :
36
G. Tatalaksana
Tatalaksana Kegawatdaruratan
Tujuan tatalaksana di IGD adalah mengurangi/menghilangkan nyeri dada,
mengidentifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera, triase
pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan menghindari
pemulangan cepat pasien dengan STEMI.
1) Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi
oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat
diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
2) Nitrogliserin : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman
dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan
interval 5 menit.
3) Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan
analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan
37
dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit
sampai dosis total 20 mg.
4) Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai
STEMI dan efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi
cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar
tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis
160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya diberikan peroral dengan
dosis 75-162 mg.
5) Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada,
pemberian penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang biasa
diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis,
dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit, tekanan darah
sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih
dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir
dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam
selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam
38
pasien < 75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada
sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan
kurang mudah hancur dengan obat fibrinolitik. Namun, PCI lebih
mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas
berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa rumah sakit
3) Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak masuk
(door to needle time < 30 menit) bila tidak terdapat kontraindikasi.
Tujuan utamanya adalah merestorasi patensi arteri koroner dengan
cepat. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik antara lain tissue
plasminogen activator (tPA), streptokinase, tenekteplase (TNK),
reteplase (rPA), yang bekerja dengan memicu konversi plasminogen
menjadi plasmin yang akan melisiskan trombus fibrin.
4) Terapi Lain
ACC/AHA dan ESC merekomendasikan dalam tata laksana semua
pasien dengan STEMI diberikan terapi dengan menggunakan anti-
platelet (aspirin, clopidogrel, thienopyridin), anti-koagulan seperti
Unfractionated Heparin (UFH) / Low Molecular Weight Heparin
(LMWH), nitrat, penyekat beta, ACE-inhibitor, dan Angiotensin
Receptor Blocker.
H. Komplikasi
o Iskemia berulang
o Aritimia
Fibrilasi ventrikel
Supraventrikular takikardi
Blok AV
o Disfungsi miokardium
Congestive heart failure
Syok kardiogenik
39
I. Prognosis
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis paska IMA.
Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana, S3 gallop,
kongesti paru dan syok kardiogenik.
TIMI risk score adalah sistem prognostik paling akhir yang menggabungkan
anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisik yang dinilai pada pasien STEMI yang
mendapat terapi fibrinolitik.
40
BAB V
KESIMPULAN
41
DAFTAR PUSTAKA
1. Thygesen K, Alpert JS, Jaffe AS, Simoons ML, Chaitman BR, White HD, et al. Third
universal definition of myocardial infarction. European Heart Journal. 2012 October 1,
2012;33(20):2551-67.
2. Daga LC, Kaul U, Mansoor A. Approach to STEMI and NSTEMI. Age. 2011;65:1.
3. Ueshima H, Sekikawa A, Miura K, Turin TC, Takashima N, Kita Y, et al.
Cardiovascular Disease and Risk Factors in Asia: A Selected Review. Circulation.
2008 December 16, 2008;118(25):2702-9.
4. T. Bahri Anwar.2004. Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
5. Rilantono LI. Sindrom Koroner Akut. In: Juzar D, Irmalita, editors. Penyakit
Kardiovaskular (PKV) : 5 Rahasia. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012. p. 138-60.
6. Kumar A, Cannon CP, editors. Acute coronary syndromes: diagnosis and
management, part I. Mayo Clinic Proceedings; 2009: Elsevier.
7. Anderson JL, Adams CD, Antman EM, Bridges CR, Califf RM, Casey DE, et al.
ACC/AHA 2007 Guidelines for the Management of Patients With Unstable
Angina/NonST-Elevation Myocardial Infarction A Report of the American College
of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines
(Writing Committee to Revise the 2002 Guidelines for the Management of Patients
With Unstable Angina/NonST-Elevation Myocardial Infarction) Developed in
Collaboration with the American College of Emergency Physicians, the Society for
Cardiovascular Angiography and Interventions, and the Society of Thoracic Surgeons
Endorsed by the American Association of Cardiovascular and Pulmonary
Rehabilitation and the Society for Academic Emergency Medicine. Journal of the
American College of Cardiology. 2007;50(7):e1-e157.
42