Anda di halaman 1dari 23

BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. B

Umur : 37 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Wiraswasta

Agama : Islam

Status : Belum menikah

Alamat : Cariu Timur, Pangulah Baru

Ruangan : Teluk Jambe 106

Nomor CM : 00.65.61.89

Tanggal Masuk : 15 Oktober 2016

II. SUBJEKTIF
Anamnesa : Autoanamnesa, tanggal 16 Oktober 2015
Keluhan Utama : Nyeri dada sebelah kiri

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pasien mengeluh nyeri dada sebelah kiri sejak 6 jam SMRS. Nyeri dada dirasakan
setelah bagian dadan pasien terbentur dengan stir mobil. Nyeri dada dirasakan
pasien semakin berat terutama saat pasien hendak mengambil nafas dan terasa
membaik bila pasien dalam posisi setengah duduk. Selain itu pasien juga
mengeluhkan sesak napas setelah kejadian kecelakaan.Saat kejadian kecelakaan,
pasien sempat kehilangan kesadaran selama 2 jam, mual dan muntah sekali isi

1
makanan, muntah tidak menyemprot. Pasien telah diperiksa sebelumnya di Rumah
Sakit Izza namun belum dilakukan pemeriksaan laboratorium atau penunjang
lainnya dan belum diberikan terapi apapun.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Riwayat Darah Tinggi : disangkal
Riwayat Kencing Manis : disangkal
Riwayat Maag : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat TBC : disangkal
Riwayat Serangan Jantung : disangkal

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Riwayat Darah Tinggi : disangkal
Riwayat Kencing Manis : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Serangan Jantung : disangkal
Riwayat Tumor : disangkal

RIWAYAT KEBIASAAN
Makan: pasien makan seperti biasa 2- 3x sehari, porsi biasa dan sering makan
buah seperti wortel, jeruk, melon dan sayur sayuran yang sering dimasak sup.
Minum: pasien sering minum 3 5 gelas sehari.

RIWAYAT PENGOBATAN
- Pasien belum meminum obat apapun untuk keluhannya.

RIWAYAT SOSIAL EKONOMI :


- pasien bekerja sebagai wiraswasta.
- pengobatan menggunakan biaya sendiri (umum).

2
III. OBJEKTIF
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis, GCS: E4V5M6
Tekanan Darah : 140/100 mmHg
Nadi : 100x/menit
RR : 30x/menit
Suhu : 36,8o C
TB : 165 cm
BB : 61 kg
IMT : 22,4 normal (IMT Asia Pasifik)
- Kepala : mesocephal, simetris
- Rambut : Warna hitam, persebaran merata, dan tidak mudah dicabut
- Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor ,
diameter 3 mm
- Hidung : Simetris, sekret -/-, deviasi septum (-), nafas
cuping hidung (-)
- Telinga : Normotia, sekret -/-, peradangan -
- Leher :Trakea letak di tengah, Deviasi trachea (-),
pembesaran KGB (-)
Paru
- Inspeksi : simetris statis dinamis, retraksi (+)
Eksoriasi pada dada sebelah kiri 4 cm
- Palpasi : stem fremitus lapang paru kanan dan kiri sama kuat
- Perkusi : sonor pada lapang paru kanan dan kiri
- Auskultasi :suara nafas vesikuler +/ melemah pada bagian basal paru,
rhonki (-/-) dan wheezing(-/-)

Jantung
- Inspeksi : tidak terlihat iktus kordis
- Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari pada ICS V MCL Sinistra, tidak kuat
angkat.

3
- Perkusi :
Batas atas ICS II Parasternal Line Sinistra
Batas bawah kiri ICS V 2 cm lateral MCL Sinistra
Batas bawah kanan ICS V Sternal Line Dekstra

- Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
- Inspeksi : tampak datar, simetris, scar (-),striae (-), inflamasi (-),
hernia(-), peristaltik (-)
- Auskultasi : Bising Usus 20 x/ menit
- Perkusi : Timpani pada ke empat kuadran, nyeri ketok CVA (-)
- Palpasi : supel, nyeri tekan - + +
- + +
- - -
nyeri lepas (-), defans muscular (-), hepar tidak teraba
membesar, lien tidak teraba membesar.

Ekstremitas: Akral hangat + + Akral Edema - -


+ + - -

KGB : Tidak teraba pembesaran KGB di aksila dan supraclavicula,


submandibular, submental, inguinal

4
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium (15-10-2016)

Hematologi
Hemoglobin : 15,9 g/dl (13,0 - 18,0)
Eritrosit : 5,62 10^6/uL (4,50 6,50)
Leukosit : 20,1 10^3/uL (3,8 - 10,60)
Trombosit : 296 10^3/ul (150 - 400)
Hematokrit : 45,6 % (40 - 52)
MCV : 81 fL (80 - 100)
MCH : 28 pg (26-34)
MCHC : 35 g/dL (35 36)
RDW-CV : 14,3 % (12.2 15.3)
Gol. Darah ABO :A
Gol. Darah Rhesus : Positif

Kimia Klinik
Gula darah sewaktu : 93 mg/dl (<140)
Ureum : 17,4 mg/dl (15-50 mg/dl)
Creatinin : 0,67 mg/dl (0,6-1,1 mg/dl)

5
Foto thorax AP

15 Oktober 2016

6
17 Oktober 2016

- Jantung kesan normal. Aorta baik

- Corakan paru-paru meningkat

- Sinus kostofrenikus kanan tajam kiri tumpul

- Tulang-tulang dan jaringan lunak, dinding dada baik

Kesan : Suspect bronchitis chronis + efusi pleura kiri

7
Foto Abdomen 3 posisi

- Tampak gambaran gas dalam usus yang dilatasi

- Tak tampak step ladder phen maupun herring bone sign

- Tak tampak gambaran udara bebas

Kesimpulan : Suspect meteorismus (sub ileus)

8
USG Abdomen Atas/Bawah

18 Oktober 2016

9
Hepar : tidak membesar, echoparenchym homogen, tak tampak nodul

Lien, pancreas : tidak memebsar, tak tampak nodul

Gall Bladder : tidak membesar, tak tampak batu

Ginjal kanan kiri : tidak membesar, systema pelviocalycel normal, tak tampak batu

Buli-buli dan prostat : kesan normal

Tidak tampak gambaran loop intestine di supradiafragma kiri, tak tampak echo cairan bebas
di cavum abdomen maupun cavum pleura bilateral.

Kesan: - Organ-organ solid intraabdomen intak

- Tidak tampak gambaran loop intestine di supradiafragma kiri maupun echo cairan
bebas intraabdomen/ intra cavum pleura bilateral.

10
V. RESUME

Telah diperiksa seorang laki laki usia 37 tahun dengan keluhan nyeri dada
sebelah kiri sejak 6 jam yang lalu setelah bagian dada terbentur stir mobil yang
nyeri terutama saat pasien mengambil nafas dan membaik bila pasien posisi
setengah duduk. Pasien juga mengeluhkan sesak napas setelah kecelakaan. Pasien
sempat kehilangan kesadaran selama 2 jam, muntah 1x isi makanan. Pasien datang
dalam keadaan compos mentis dengan tekanan darah 140/100. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan adanya retraksi pada dada dan eksoriasi pada dada sebelah kiri
4 cm dengan suara napas vesikuler pada paru kanan dan kiri +/+ melemah pada
bagian basal paru.

VI. ASSESMENT
Diagnosa:
Trauma tumpul abdomen susp. Hernia diafragma

VII. TERAPI
Medikamentosa
02 nasal 4 lpm
NGT
IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
Ceftriaxone 2 x 1 gr
Ranitidin 2 x 15 mg
Ketolorac 3 x 1 amp
Non medikametosa
Foto Ro thorax PA + BNO 3 posisi
Rujuk ke RSHS
Jika pasien menolak pro laparatomi
Rawat ruang intermediate ruang biasa karena pasien tidak sesak

VIII. PROGNOSA
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

11
IX. FOLLOW UP
Tanggal 16 Okt 17 Okt 18 Okt
S: Sesak (+) kadang- Nyeri dada Nyeri dan berat pada ulu
kadang hati jika bernapas dalam
O: KU/ Kes: TSS/ CM Skala nyeri: 5 KU/ Kes: TSS/ CM
TD: 140/100 KU/ Kes: TSS/ CM TD: 140/90
RR: 30 x/mnt TD: 140/90 RR: 28 x/mnt
N: 100 x/mnt RR: 28 x/mnt N: 100 x/mnt
T: 36,3 N: 100 x/mnt T: 36,4
T: 36,3 Paru: SNV +/+
Paru: SNV +/+ Abd: rata, supel, timpani,
Abd: rata, supel, timpani, NT regio epigastrium, BU
NT regio epigastrium, BU +N
+N
A: TTA susp. Hernia TTA susp. Hernia TTA susp. Hernia
diafragma diafragma diafragma
P: Coba minum rencana Ajarkan teknik relaksasi USG +, hasil -
NGT lepas Posisi tidur setengah duduk IVFD Futrolit 20 tpm
IVFD Futrolit 20 tpm NGT dilepas Ceftriaxone 2x1 gr
Ceftriaxone 2x1 gr USG paru Ketolorac 3x1 amp
Ketolorac 3x1 amp IVFD Futrolit 20 tpm Ranitidin 2x1 amp
Ranitidin 2x1 amp Ceftriaxone 2x1 gr
Ketolorac 3x1 amp
Ranitidin 2x1 amp

12
Tanggal 19 Okt 20 Okt 21 Okt
S: Nyeri dada dan sesak Mual sejak kemarin malam, keluhan
berkurang muntah > 10x isi air, sesak ,
nyeri ulu hati saat menari
nafas
O: Skala nyeri: 4 Skala nyeri: 5 KU/ Kes: TSS/ CM
KU/ Kes: TSS/ CM KU/ Kes: TSS/ CM TD: 120/80
TD: 140/100 TD: 130/80 RR: 20 x/mnt
RR: 30 x/mnt RR: 22 x/mnt N: 72 x/mnt
N: 100 x/mnt N: 100 x/mnt Paru: SNV +/+
T: 36,5 T: 37 Abd: rata, supel, NT -,
Paru: SNV +/+ Paru: SNV +/+ BU + N
Abd: rata, supel, Abd: rata, supel, timpani, NT
timpani, NT regio - + +, BU + N
umbilikal dan lumbal + + -
kanan jika menarik - - -
nafas, BU + N
A: TTA susp. Hernia TTA susp. Hernia diafragma TTA susp. Hernia
diafragma diafragma
P: Coba minum rencana Ajarkan teknik relaksasi & Terapi oral
Hasil USG + teknik tarik napas dalam Cefixime 2x500 mg
IVFD Futrolit 20 tpm Pasang NGT keluar cairan Ketroprofen 3x1 tab
Ceftriaxone 2x1 gr 30 cc warna kehijauan Ranitidin 2x1 tab
Ketolorac 3x1 amp Puasakan
Ranitidin 2x1 amp Motivasi CT scan Thoraks
IVFD Futrolit 20 tpm
Ceftriaxone 2x1 gr
Ketolorac 3x1 amp
Ranitidin 2x1 amp
Polisi ingin membawa pasien
ke RSUD Subang dr
Syamsul, SpB acc

13
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. ANATOMI ABDOMEN

Abdomen dibagi menajdi 3 regio yaitu cavitas peritoneal, ruang retroperitoneal dan
cavitas pelvis.

Gambar 1. Regio abdomen

Cavitas peritoneal dibedakan lagi menjadi dua bagian, bagian atas dan bawah. Bagian
yang termasuk dalam cavitas peritoneal bagian atas ialah yang terdapat di bawah thorax, yaitu
daifragma, hepar, limpa, lambung dan usus besar transversus. Area ini disebut juga
komponen thoracoabdominal. Cavitas peritoneal bagian bawah terdiri dari usus halus, usus
besar ascendens, usus besar desendens, usus besar sigmoid dan pada wanita terdapat organ
reproduktif.

14
II. MEKANISME TRAUMA

A. Trauma tumpul

Benturan secara langsung, seperti benturan terkena stir mobil atau pintu yang sering
dialami penumpang dalam kecelakaan kendaraan bermotor dapat menyebabkan kompresi dan
luka robek pada lapisan viscera abdomen. Kekuatan ni dapat mengakibatkan ruptur dari
organ di abdomen yang padat dan berongga disertai dengan perdarahan sekunder,
kontaminasi dengan komponen visceral dan peritonitis.

Cedera geser adalah bentuk cedera yang mungkin terjadi bila adanya perangkat yang
menahan diri seperti sabuk pengaman atau komponen pelindung bahu yang dikenakan tidak
benar. Walaupun pengaman seperti sabuk pengaman, airbag dan lainnya dapat melindungi
dari luka yang lebih parah, namun dapat menyebabkan luka yang memiliki pola yang spesifik.

15
Gambar 2. Luka akibat sabuk pengaman

Pasien yang terluka dalam kecelakaan kendaraan bermotor juga dapat mengalami
cedera perlambatan, dimana adanya perbedaan gerakan dari bagian dlam tubuh yang terfiksir
dan tidak. Contohnya laserasi yang sering terjadi pada hepar dan limpa, keduanya organ yang
dapat bergerak di ligamen yang menyokongnya.

Organ tubuh yang sering mengalami perlukaan dalam trauma tumpul ialah limpa (40-
55%), hepar (35-45%) dan usus halus (5-10%). Sebagai tambahan, terdapat angka insiden
15% hematom retroperitoneal pada pasien yang menjalani operasi laparotomi untuk trauma
tumpul.

B.Trauma tajam

Luka tusuk dan luka tembak dengan kecepatan lambat dapat menyebabkan kerusakan
jaringan melalui laserasi dan luka robek. Luka tembak dengan kecepatan tinggi dapat
menyebabkan kerusakan yang lebih parah karena energi kinetik yang diransfer ke organ perut.

Organ yang paling sering terkena luka tusuk ialah hepar (40%), usus halus (40%),
diafragma (20%) dan usus besar (15%).

16
Gambar 3. Luka tusuk

Luka tembak dapat menyebabkan cedera intraabdominal tambahan berdasarkan


panjang jalan peluru melalui tubuh, semakin besar energi kinetik, kemungkinan peluru
hancur menjadi serpihan semakin besar menyebabkan luka tambahan. Luka tembak
umumnya mengenai usus halus (50%), usus besar (40%), hepar (30%) dan struktur pembuluh
darah abdomen (25%).

III. CEDERA PADA DIAFRAGMA

A. Patofisiologi

Sebanyak 80-90%, ruptur diafragma disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor.


Mekanisme ruptur berkaitan dengan perbedaan tekanan antara pelura dan cavitas peritoneal.
Benturan dari samping saat kecelakaan kendaraan bermotor 3 kali dari benturan lainnya yang
dapat menyebabkan ruptur karena dapat merusak dinding dada dan diafragma ipsilateral.
Benturan dari arah depan saat kecelakaan bermotor dapat menyebabkan peningkatan tekanan
intra-abdomen yang menghasilkan luka robek panjang pada bagian posterolateral dari
diafragma.

17
Berdasarkan literatur, mayoritas ruptur diafragma terjadi di sisi kiri. Ruptur diafragma
pada sisi kanan kurang umum dan memiliki manifestasi klinis yang lebih parah sehingga
dapat menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik yang lebih parah. Pada ruptur diafragma
sisi kanan diperlukan mekanisme trauma yang lebih besar karena hepar memberikan
perlindungan atau disebabkan oleh kelemahan pada diafragma sisi kiri. Namun dari beberapa
otopsi, diketahui bahwa tingkat insidens ruptur diafragma sisi kanan dan kiri hampir sama.
Kemungkinan besar, tingkat insidens adalah sama tapi cedera pada diafragma kanan lebih
parah sehingga menyebabkan lebih banyak kematian di tempat kejadian kecelakaan terjadi
sehingga diagnosis tidak dapat terdata secara signifikan.

Trauma tumpul umumnya mengakibatkan luka robek dengan panjang 5-15 cm, paling
sering pada bagian posterolateral dari diafragma. Sedangkan trauma tajam menyebabkan luka
insisi kecil atau lubang, kurang dari 2 cm dan dapat bertambah panjang atau menyebabkan
herniasi setelah beberapa tahun.

Trauma tajam pada dada atau abdomen juga dapat menyebabkan cedera pada
diafragma. Hal ini umumnya terjadi pada luka tembak dengan ciri khas luka yang berukuran
kecil, namun serpihan dari peluru menyebabkan luka dalam yang lebih besar.

B. Diagnosis

Anamnesis

Manifestasi klinis tergantung dari mekanisme trauma, apakah trauma tumpul atau
trauma tajam dan adanya cedera yang menyertai. Diafragma diperlukan untuk ventilasi secara
normal dan cedera pada daifragma dapat menyebabkan gangguan dalam bernafas. Adanya
kesulitan dalam bernafas dan gejala yang berkaitan dengan pulmonal seperti suara nafa
vesikuler pada salah satu sisi yang lebih lemah dapat mengindikasikan adanya gangguan pada
diafragma.

Robekan pada diafragma umumnya tidak terjadi sendiri. Pasien biasanya memiliki
cedera pada dada dan/ atau abdomen atau mungkin disertai dengan trauma pada kepala atau
ekstremitas. Ruptur diafragma biasanya disertai dengan fraktur pelivis (40%), ruptur pada
limpa (25%), laserasi pada hepar (25%) dan robekan pada aorta di thoraks atau thoracic
aortic tear (5-10%).

18
Pemeriksaan fisik

Sebanyak 10-50% diagnosis cedera diafrgama tidak langsung dapat ditegakkan dalam
24 jam awal sejak kedatangan pasien yang ke unit kegawatdarurat. Cedera diafrgma
merupakan salah satu cedera yang dapat menyebabkan gangguan pada pernafasan.

Seperti cedera lainnya, pemeriksaan fisik awal harus diutamakan pada jalan nafas
(airway), ventilasi dan sirkulasi. Setelah itu, dengan pemeriksaan dapat dilanjutkan pada leher
dan dada untuk mencari adanya deviasi trakea (seperti mediastinal shift), apakah
pengembangan dada terjadi simetris dan apakah suara nafas hilang. Auskultasi adanya bising
usus pada dada atau pada perkusi dada terdapat bunyi pekak dapat mengindikasikan cedera
pada diafragma.

3 fase klinis dari cedera daifragma ialah:

Fase akut terjadinya cedera.


Bila tidak diadiagnosis awal, fase kedua atau fase laten terjadi. Fase ini asimtomatik
namun perlahan dapat menyebankan herniasi dari isi abdomen. Diagnosis dapat
ditegakkan setelah terjadi komplikasi dari herniasi isi abdomen ke dalam cavitas pleura.
Fase ketiga atau fase obstruktif dikateristikkan dengan herniasi usus atau viscera,
obstruksi, inkarserata, strangulata dan kemungkinan ruptur dari abdomen dan colon.
Jika herniasi menyebabkan kompresi pada paru maka dapat mengakibatkan tension
pneumothorax. Tamponade cardiac juga dapat terjadi bila terjadi herniasi dari isi
abdomen ke dalam perikardium. Palaisis diafragma dapat terjadi pada fase ini.

C. Pemeriksaan lanjutan

Rontgen dada

Rontgen thoraks merupakan pemeriksaan diagnostik yang penting karena dapat


menunukkan adanya elevasi dari hemidiafragma, gaster atau usus di bagian dada, selang
nagogastrik (NGT) yang melewati abdomen dan melengkung naik ke dada. Rontgen thoraks
tidak selalu secara langsung menampilkan adanya cedera atau defek pada diafragma,
terkadang hanya menampilkan herniasi atau cedera yang menyertainya. Umumnya rontgen
dada tidak dapat menegakkan diagnosa pada awal dilakukan pada 10-40% pasien. Rontgen

19
dada yang diulang dapat membantu menegakkan diagnostik. Sebaiknya rontgen dadad
dilakukan sebeum pasien diintubasi karena dapat mengurangi herniasi yang ada.

Hepar melindungi diafragma sebelah kanan dari ruptur akibat herniasi visceral
sehingga hasil rontgen dada yang tampak ialah hemidiafragma yang terangkat dari sebagian
hepar yang mengalami herniasi. Ruptur diafragma sebelah kiri lebih nyata terlihat ketika isi
abdomen mengalami herniasi ke dada. Rontgen dada pada cedera diafragma akibat trauma
tumpul biasanya akan menampilkan mediastinum yang lebar atau abnormal, walaupun aorta
tampak normal.

Ultrasonografi

Ultrasonografi biasanya sebagai alat penegak diagnostik dalam trauma dan dapat
menampilkan herniasi, walaupun dapat melewatkan robekan kecil dalam trauma tajam.

CT-scanning

CT-scanning Multidector (Multidector CT) dapat menampilkan cedera diafragma


akibat trauma tumpul atau trauma tajam dengan menampilkan potongan yang tipis dan format
multiplanar. Pada suatu penelitian dengan 64 potongan Multidector CT dalam
mengindetifikasi ruptur diafragma diketahui memiliki sensitivitas 66,7%, spesifikivitas 100%,
positive predictive value 100% dan negative predictive value 88,4%.

MRI

MRI dapat membantu menegakkan diagnosis karena dapat menampilkan anatomi


daifragma secara akurat. MRI digunakan pada pasien yang stabil dan tidak membutuhkan
laparotomi (biasanya akibat trauma tajam).

Thoracoscopy

Thoracoscopy dapat menampilkan diafragma kebih baik bila diagnosis tidak dapat
ditegakkan dan laporotomi tidak dipelukan.

Secara umum, rontgen dada dan kontras (dengan NGT atau enema) dapat digunakan
untuk diagnosis yang dibutuhkan secara cepat (delayed diagnosis). MRI dapat digunakan
sebagai alat penegakan diagnosis secara cepat.

20
D. Tatalaksana

Pada semua pasien trauma, ABC (airway, breathing and circulation) adalah hal yang
terpenting. Pastikan jalan nafas pasien tidak ada hambatan atau benda asing, membantu
ventilasi jika dibutuhkan dan memulai resusitasi cairan jika pasien mengalami shok.

Pertimbangan melakukan pemasangan chest tube bila diketahui pasien mengalami


hemothorax atau pneumothorax. Pemasangan chest tube harus dilakkan dengan hati-hati
untuk menghindari cedera pada isi abdomen yang mengalami herniasi ke dalam cavitas
pleural.

Teknik operasi wajib dilakukan, walaupun hanya robekan kecil, karena defek ini tidak
akan membaik secara spontan. Operasi biasanya dilakukan secara transabdominal agar dapat
melakukan complete trauma laparotomy sehingga dapat mencari cedera lainnya.
Thorcaotomy wajib dilakukan untuk perbaikan pada cedera diafragma, khususnya cedera
pada sisi kanan diafragma atau bila sudah terjadi herniasi. Pada beberapa keadaan cedera
akibat trauma tajam yang terisolasi dimana abdomen tidak mengalami cedera atau gangguan,
operasi thoracotomy atau thoracoscopy dapat dilakukan.

E. Komplikasi

Kematian pada awal kedatangan pasien biasanya merupakan hasil dari cedera yang
menyertai, bukan akibat robekan pada diafragma. Tingkat mortalitas hal ini ialah 5-30%.
Morbiditas umumnya disebabkan oleh reexpansion pulmonary edema atau berkaitan dengan
laporotomi. Paralisis atau inkordinasi dari diafragma umum terjadi, tetapi lebih dari 50%
kondisi ini dapat kembali normal.

Komplikasi lambat biasanya terjadi akibat hernia ynag tidak terdiagnosis. Komplikasi
yang mungkin dapat terjadi ialah herniasi usus, inkarserata dan strangulasi. Isi abdomen yang
mengalami herniasi secara masif selanjutnya dapat menyebabkan tension hematothorax atau
dapat menyebabkan pericardial tamponade bila herniasi ke dalam pericardial sac.

Kematian dan morbiditas umumnya jarang terjadi bila diagnosis lambat ditegakkan.
Tetapi inkarserata dari isi abdomen yang mengalami herniasi dapat menyebabkan infark atau
ruptur dengan dampak yang membahayakan.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Carter BN, Giuseffi J, Felson B. Traumatic diaphragmatic hernia. Am J Roentgenol


Radium Ther Nucl Med. 1951 Jan. 65(1):56-72.
2. Baloyiannis I, Kouritas VK, Karagiannis K, Spyridakis M, Efthimiou M. Isolated
right diaphragmatic rupture following blunt trauma. Gen Thorac Cardiovasc Surg.
2011 Nov. 59(11):760-2.
3. Melo EL, de Menezes MR, Cerri GG. Abdominal gunshot wounds: multi-detector-
row CT findings compared with laparotomy-a prospective study. Emerg Radiol. 2011
Dec 2.
4. Berardoni NE, Kopelman TR, O'Neill PJ, August DL, Vail SJ, Pieri PG, et al. Use of
computed tomography in the initial evaluation of anterior abdominal stab wounds. Am
J Surg. 2011 Oct 27.
5. Rizoli SB, Brenneman FD, Boulanger BR, Maggisano R. Blunt diaphragmatic and
thoracic aortic rupture: an emerging injury complex. Ann Thorac Surg. 1994 Nov.
58(5):1404-8.
6. Grimes OF. Traumatic injuries of the diaphragm. Diaphragmatic hernia. Am J Surg.
1974 Aug. 128(2):175-81.
7. Dreizin D, Bergquist PJ, Taner AT, Bodanapally UK, Tirada N, Munera F. Evolving
concepts in MDCT diagnosis of penetrating diaphragmatic injury. Emerg Radiol.
2015 Apr. 22 (2):149-56.
8. Patlas MN, Leung VA, Romano L, Gagliardi N, Ponticiello G, Scaglione M.
Diaphragmatic injuries: why do we struggle to detect them?. Radiol Med. 2015 Jan.
120 (1):12-20.
9. Leung VA, Patlas MN, Reid S, Coates A, Nicolaou S. Imaging of Traumatic
Diaphragmatic Rupture: Evaluation of Diagnostic Accuracy at a Level 1 Trauma
Centre. Can Assoc Radiol J. 2015 Jun 19.
10. Athanassiadi K, Kalavrouziotis G, Athanassiou M, et al. Blunt diaphragmatic rupture.
Eur J Cardiothorac Surg. 1999 Apr. 15(4):469-74.
11. Barbiera F, Nicastro N, Finazzo M, et al. The role of MRI in traumatic rupture of the
diaphragm. Our experience in three cases and review of the literature. Radiol Med
(Torino). 2003 Mar. 105(3):188-94.
12. Barsness KA, Bensard DD, Ciesla D, et al. Blunt diaphragmatic rupture in children. J
Trauma. 2004 Jan. 56(1):80-2.
13. Bergqvist D, Dahlgren S, Hedelin H. Rupture of the diaphragm in patients wearing
seatbelts. J Trauma. 1978 Nov. 18(11):781-3.
14. Bocchini G, Guida F, Sica G, Codella U, Scaglione M. Diaphragmatic injuries after
blunt trauma: are they still a challenge? Reviewing CT findings and integrated
imaging. Emerg Radiol. 2012 Jun. 19(3):225-35.
15. Boulanger BR, Milzman DP, Rosati C, Rodriguez A. A comparison of right and left
blunt traumatic diaphragmatic rupture. J Trauma. 1993 Aug. 35(2):255-60.
16. Boulanger BR, Mirvis SE, Rodriguez A. Magnetic resonance imaging in traumatic
diaphragmatic rupture: case reports. J Trauma. 1992 Jan. 32(1):89-93.
17. Guth AA, Pachter HL, Kim U. Pitfalls in the diagnosis of blunt diaphragmatic injury.
Am J Surg. 1995 Jul. 170(1):5-9.
18. Hanna WC, Ferri LE, Fata P, Razek T, Mulder DS. The current status of traumatic
diaphragmatic injury: lessons learned from 105 patients over 13 years. Ann Thorac
Surg. 2008 Mar. 85(3):1044-8.
19. Jarrett F, Bernhardt LC. Right-sided diaphragmatic injury: rarity or overlooked
diagnosis?. Arch Surg. 1978 Jun. 113(6):737-9.

22
20. Leaman PL. Rupture of the right hemidiaphragm due to blunt trauma. Ann Emerg
Med. 1983 Jun. 12(6):351-7.
21. Leppaniemi A, Haapiainen R. Occult diaphragmatic injuries caused by stab wounds. J
Trauma. 2003 Oct. 55(4):646-50.
22. Matsevych OY. Blunt diaphragmatic rupture: four year's experience. Hernia. 2008
Feb. 12(1):73-8.
23. Mihos P, Potaris K, Gakidis J, et al. Traumatic rupture of the diaphragm: experience
with 65 patients. Injury. 2003 Mar. 34(3):169-72.
24. Nau T, Seitz H, Mousavi M, Vecsei V. The diagnostic dilemma of traumatic rupture
of the diaphragm. Surg Endosc. 2001 Sep. 15(9):992-6.
25. Patselas TN, Gallagher EG. The diagnostic dilemma of diaphragm injury. Am Surg.
2002 Jul. 68(7):633-9.
26. Powell BS, Magnotti LJ, Schroeppel TJ, Finnell CW, Savage SA, Fischer PE, et al.
Diagnostic laparoscopy for the evaluation of occult diaphragmatic injury following
penetrating thoracoabdominal trauma. Injury. 2008 May. 39(5):530-4.
27. Ramos CT, Koplewitz BZ, Babyn PS, et al. What have we learned about traumatic
diaphragmatic hernias in children?. J Pediatr Surg. 2000 Apr. 35(4):601-4.
Rodriguez-Morales G, Rodriguez A, Shatney CH. Acute rupture of the diaphragm in
blunt trauma: analysis of 60 patients. J Trauma. 1986 May. 26(5):438-44.
28. Sangster G, Ventura VP, Carbo A, et al. Diaphragmatic rupture: a frequently missed
injury in blunt thoracoabdominal trauma patients. Emerg Radiol. 2006 Nov 29.
29. Schneider CF. Traumatic diaphragmatic hernia. Am J Surg. 1956 Feb. 91(2):290-7.
30. Shackleton KL, Stewart ET, Taylor AJ. Traumatic diaphragmatic injuries: spectrum
of radiographic findings. Radiographics. 1998 Jan-Feb. 18(1):49-59.
31. Shatney CH, Sensaki K, Morgan L. The natural history of stab wounds of the
diaphragm: implications for a new management scheme for patients with penetrating
thoracoabdominal trauma. Am Surg. 2003 Jun. 69(6):508-13.
32. Shehata SM, Shabaan BS. Diaphragmatic injuries in children after blunt abdominal
trauma. J Pediatr Surg. 2006 Oct. 41(10):1727-31.
33. Sukul DM, Kats E, Johannes EJ. Sixty-three cases of traumatic injury of the
diaphragm. Injury. 1991 Jul. 22(4):303-6.
34. Tansley P, Treasure T. Trauma care and the pitfalls of diaphragmatic rupture. J R Soc
Med. 1999 Mar. 92(3):134-5.
35. Voeller GR, Reisser JR, Fabian TC, et al. Blunt diaphragm injuries. A five-year
experience. Am Surg. 1990 Jan. 56(1):28-31.
36. Zarour AM, El-Menyar A, Al-Thani H, Scalea TM, Chiu WC. Presentations and
outcomes in patients with traumatic diaphragmatic injury: a 15-year experience. J
Trauma Acute Care Surg. 2013 Jun. 74(6):1392-8; quiz 1611.

23

Anda mungkin juga menyukai