IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn.H
Alamat : Dusun Triwung, Desa Tempuran
Umur : 18 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Bangsa/Suku : Jawa
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Tidak bekerja
Status Pernikahan : Belum menikah
A. Keluhan Utama
Pasien sering pergi jauh dari rumah.
2
3. Riwayat Pendidikan
Pendidikan terakhir pasien ialah SMP kelas 1. Pasien tidak mempunyai biaya dan
keinginan untuk melanjutkan sekolahnya.
4. Riwayat Pekerjaan
Pasien tidak pernah bekerja.
5. Kehidupan Beragama
Pasien jarang melakukan ibadah.
6. Riwayat Keluarga
Diketahui tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan serupa.
3
3) Sikap terhadap pemeriksa.
Tidak kooperatif .
C. Karakteristik bicara
Selama wawancara pasien tidak dapat menjawab pertanyaan dengan baik. Artikulasi
tidak jelas, volume kuat dan intonasi jelas. Pembicaraan tidak menentu dan inkoheren.
D. Gangguan persepsi
Adanya gangguan persepsi halusinasi auditorik.
E. Pikiran
Bentuk pikiran : inkoheren, asosiasi longgar.
Isi pikir : sulit dinilai
Orientasi
- Orientasi waktu : Pasien tidak dapat mengetahui waktu pemeriksaan.
- Orientasi tempat : Pasien mengetahui dimana sekarang pasien berada.
- Orientasi orang : Pasien dapat mengenal orang di sekitarnya.
Daya konsentrasi : Sulit berkonsentrasi
Perhatian : Pada saat wawancara pasien tidak mampu memusatkan
perhatian dan sangat mudah teralih.
Daya ingat :
- Immediate : sulit dinilai
- Recent : sulit dinilai
4
- Recent past : sulit dinilai
- Remote : sulit dinilai
G. Daya nilai
Daya nilai sosial : Selama wawancara kurang baik.
Uji daya nilai : Buruk
Penilaian realitas : sulit dinilai
H. Tilikan
Sulit dinilai
B. Status Neurologis
1. Saraf kranial (I-XII) : tidak dilakukan
2. Gejala rangsang meningeal : tidak dilakukan
3. Mata : konjungtiva anemis (-) sclera icterus (-)
5
4. Pupil : isokor
5. Ofthalmoscopy : tidak dilakukan
6. Motorik : +5
7. Sensibilitas : sulit dinilai
8. Sistem saraf vegetative : tidak dilakukan
9. Fungsi luhur : buruk
10. Gangguan khusus : tidak ada
FORMULASI DIAGNOSTIK
Aksis I: Berdasarkan ikhtisar penemuan bermakna, kasus ini dapat dinyatakan
mengalami :
1. Gangguan jiwa, karena adanya :
- pasien sering melamun (autistik), berbicara sendiri, tertawa sendiri, mengganggu
masyarakat sekitar, mengucapkan kata-kata yang tidak bermakna hingga pasien tidak mau
merawat diri dan tidak dapat bersosialisasi.
- terdapat halusinasi auditorik (mendengar bisikan yang mengajaknya pergi jauh dari
rumah)
-pasien memiliki riwayat kejang sejak berusia 6 tahun tanpa diawali demam. Keluhan
kejang semakin sering hingga saat ini pasien berusia 18 tahun. Pasien mengalami kejang 3
hari sebelum pemeriksaan sebanyak 2 kali dalam sehari. Lama kejang 5menit. Saat
kejang mata pasien mendelik keatas kedua tangan dan kaki kelojotan. Setelah kejang
pasien sadar dan terlihat lemas, keesokan harinya pasien kembali berteriak teriak tidak
menentu dan tertawa sendiri (psikotik post iktal).
8
VII. PROGNOSIS
PROGNOSIS
Dubia ad malam :
1. usia pasien saat pertama kali timbul : 12 tahun
2. mula timbulnya : kronik
3. tipe : skizofrenia hebefrenik
4. pengobatan : tidak pernah berobat
5. faktor keturunan : tidak ada
6. premorbid : pendiam dan tidak terbuka
7. faktor pencetus : ibu meninggal dunia
8. sosio-ekonomi : hubungan dengan anggota keluarga baik,
termasuk kategori ekonomi kebawah
9. dukungan keluarga : positif
Kesimpulan prognosis:
Ad vitam : ad Bonam
Ad functionam : Dubia ad bonam
Ad Sanationam : Dubia ad malam
VIII. TERAPI
1. Farmakoterapi
Karbamazepin tablet 100 mg 2 x 1
Vitamin B Kompleks 2x1
(Pro rujuk Sp.S dan Sp.KJ)
2. Psikoterapi
a. Terapi individual
Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien mengenai penyakitnya serta hal-
hal yang dapat mencetuskan atau memperberat dan meringankan penyakit pasien sehingga
dapat memperpanjang remisi dan mencegah kekambuhan.
Memberikan psikoterapi yang bersifat suportif pada pasien mengenai kondisi
penyakitnya, meningkatkan kepercayaan diri pasien,mengenali dan memotivasi potensi dan
kemampuan yang ada pada diri pasien, dan kemampuan mengatasi masalah.
9
b. Terapi kelompok
Terhadap keluarga
Memberi penjelasan yang bersifat komunikatif, informatif dan edukatif tentang
keadaan penyakit pasien sehingga bisa menerima dan memahami keadaan pasien, serta
mendukung proses penyembuhannya dan mencegah kekambuhan.
10
PEMBAHASAN
Pendahuluan
Psikosis merupakan komplikasi berat dari epilepsi meskipun jarang ditemukan.
Keadaan ini disebut dengan psychoses of epilepsy (POE) (Israr, 2009). Psikosis pada
pasien epilepsi digolongkan berdasarkan hubungan temporal gejala itu dengan kejang.
Beberapa penelitian lain memperlihatkan bahwa gejala psikosis pada pasien epilepsi umum
cenderung singkat dan pasien cenderung bingung. Tidak ada kesepakatan yang ada
diterima secara internasional dalam hal pengklasifikasian sindrom psikosis pada epilepsi.
Penelitian memperlihatkan bahwa terdapat peningkatan prevalensi problem
psikiatrik diantara pasien-pasien epilepsi dibandingkan pasien tanpa epilepsi. Diperkirakan
terdapat 20-30% penderita epilepsi mengalami psikopatologi dalam satu waktu, terutama
ansietas dan depresi. Prevalensi psikotik episode psikotik berkisar 4-10 % dan meningkat
pada 1020 % pada temporal lobe epilepsy, terutama pada lokus sisi kiri atau bilateral
(Kusumawardhani, 2010).
Definisi
Psikosis merupakan komplikasi berat dari epilepsi meskipun jarang ditemukan.
Keadaan ini disebut dengan psychoses of epilepsy (POE). Gambaran psikosis yang sering
ditemukan pada pasien epilepsi adalah gambaran paranoid dan schizophrenia-like. Pada
forced normalization yaitu penderita mengalami gejala psikotik pada saat kejang terkontrol
dan justru gejala psikotik menghilang bila terjadi kejang (Kusumawardhani, 2010).
Epidemiologi
Proporsi seumur hidup terkena berbagai gangguan psikotik pada pasien epilepsi
adalah 7%-12%. Menurut studi di komunitas, klinik-klinik epilepsi, dan rumah sakit jiwa
menunjukkan peningkatan proporsi masalah psikiatri pada orang-orang dengan epilepsi
bila dibandingkan dengan orang yang tidak menderita epilepsi berkisar pada 4,7% dari
seluruh pasien epilepsi di Inggris dan 9,7% dari seluruh pasien epilepsi di Amerika. Kira-
kira 30% pasien epilepsi yang mengunjungi klinik rawat jalan di Amerika mempunyai
riwayat dirawat inap minimal satu kali karena masalah psikiatri. Dan 18% pasien epilepsi
11
sedang menggunakan paling tidak satu jenis obat psikotropika. Kira-kira 60% pasien
kejang parsial mengalami fenomena aura, 15% pasien mengalami disforia. Rasa takut yang
meningkat menjadi panik juga sering terjadi, kira-kira 20% dari pasien epilepsi fokal
mengalami gangguan afek iktal berupa rasa takut, cemas, dan depresi. Gejala psikosis
paling sering dihubungkan dengan epilepsi lobus temporal kanan.
Pada penelitian temporal lobektomi dimana dilakukan operasi pengangkatan fokus
epileptikum, psikosis terjadi pada 7%-8% pasien bahkan jauh setelah gejala kejangnya
sendiri berhenti. Hal ini mengindikasikan proporsi 2-3 kali lipat munculnya gangguan
psikotik pada pasien epilepsi dibandingkan dengan populasi umum, khususnya pada pasien
epilepsi dengan fokus temporomediobasal. (Hari, 2006)
Klasifikasi
Gangguan perilaku pada pasien epilepsi :
1. Iktal
a. Iktal dengan gejala psikis
b. Status non konvulsif kehang parsial simpleks (tipe sensorik, psikis, motorik,
dan autonomi). Kejang parsial kompleks, dan serangan epileptiform
lateralisasi periodik.
2. Preiktal (termasuk prodormal pasca iktal dan iktal campuran)
a. Gejala prodormal : iritabilitas, depresi, dan sakit kepala.
b. Delirium pasca ictal
c. Gejala psikosis preictal
Gejala-gejala psikotik preiktal sering kali memburuk dengan peningkatan aktivitas
kejang.
3. Interiktal
a. Psikosis skizofreniform
b. Gangguan kepribadian
c. Sindrom Gestaut - Geschwind
Psikotik interiktal sangat mirip dengan gangguan skizofrenia yang dengan mudah
dapat dikenal yaitu adanya gejala waham dan halusinasi.
a. Hiperreligiosity
b. Hiper/hiposeksual
12
c. Hipergrafia
d. Iritabilitas
e. Viscocity / bradyphrenia
Patofisiologi
(Hari, 2006)
Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya psikosis pada pasien epilepsi (Kusumawardhani, 2010) :
1. Awitan usia muda (pubertas)
2. Kejang berlanjut menahun
3. Perempuan
13
4. Tipe kejang parsial kompleks, automatisme
5. Frekuensi kejang
6. Lokus fokus epilepsi (temporal)
7. Abnormalitas neurologik
8. Gangliogliomas, hamartomas
Beberapa faktor predisposisi lain adalah lingkungan tempat pasien tumbuh besar
mungkin mengjalangi perkembangan sosial dan fungsi intelektualnya. Penyebab atau
elemen dari lingkungan ini dapat berupa proteksi berlebihan dari orangtua, regimen
pengobatan yang ketat sehingga menghalangi pasien untuk beraktivitas (bergaul dan
berolahraga).
Kejadian kejang berulang yang dapat memunculkan stigma sosial, pembatasan, dan
pandangan bias dapat secara bermakna menekan rasa percaya diri dan membatasi pasien
dalam bidang akademik, pekerjaan, dan kegiatan sosial. Gangguan emosional seperti
keadaan frustasi, tegang, cemas, takut, eksitasi yang hebat dapat mencetuskan serangan
epilepsi dan memperbanyak jumlah serangan epilepsi. Keadaan ini sering dijumpai pada
pasien epilepsi remaja atau dewasa muda. (Hari, 2006)
Gambaran klinis
1. Psikosis iktal
Terjadi selama bangkitan epileptik atau status epileptikus, dan pemeriksaan EEG
merupakan pilihan untuk diagnosis. Gejala yang nampak :
Iritabilitas
Keagresifan
Otomatisme
Mutisme
Kecuali pada kasus status parsial sederhana, keadaan perasaan umum menjadi
buruk. Kebanyakan dari psikosis iktal mempunyai fokus epileptiknya pada lobus
temporal, hanya 30% focus epileptiknya berada selain di lobus temporal (korteks
frontalis). Adakalanya psikosis menetap meskipun masa iktal telah selesai. (Israr,
2009).
2. Psikosis inter iktal
Merupakan keadaan psikosis yang persisten, dikarakteristikkan oleh paranoid, tidak
berhubungan dengan kejadian masa iktal dan tidak dengan penurunan kesadaran.
14
Kejadiannya diperkirakan 9% dari semua populasi penderita epilepsi dan mulai dari
usia 30 tahun. Gejala yang timbul :
Waham kejar dan keagamaan (onset yang tersembunyi)
Halusinasi audiotorik
Gangguan moral dan etika
Kurang inisiatif
Pemikiran yang tidak terorganisasi dengan baik
Perilaku agresif
Ide bunuh diri
Durasinya selama beberapa minggu dan dapat berakhir setelah lebih dari 3 bulan
(kronik psikosis intraiktal). Dibandingkan dengan skizofrenia, pada psikosis
intraiktal menunjukkan :
Perburukan intelektual yang lebih sedikit
Fungsi premorbid yang lebih baik
Kemunculan gejala negatif lebih sedikit
Fungsi perawatan diri lebih baik.
(Israr, 2009).
3. Psikosis post iktal
Hampir 25% dari kasus psikosis pada penderita epilepsi post-iktal, keadaan ini
muncul setelah terjadinya bangkitan epilepsi. Biasanya terdapat interval keadaan
tenang selama 12-72 jam antara berakhirnya bangkitan dengan awal dari psikosis
(durasi rata-rata adalah 70 jam). Gejala yang nampak :
Halusinasi (auditorik, visual, taktil)
Perubahan perilaku seksual
Waham (keagamaan, kebesaran, kejar)
Psikosis post iktal berhubungan dengan :
Fokus epilepsi pada sistem limbik regio temporal
IQ verbal yang rendah
Hilang konvulso febril
Hilangnya sklerosis mesial-temporal
(Israr, 2009).
15
Tatalaksana
Dalam pengobatan epilepsi dengan gangguan psikiatri, yang harus diperhatikan adalah
1. Atasi epilepsinya dengan antikonvulsan (karbamazepin, asam valproat, gabapentin,
dan lamotigine).
2. Berikan obat antipsikosis
3. Potensi terjadinya interaksi obat
16
Prognosis
Prognosis baik bila kejang dapat dikontrol dengan antikonvulsan (Kusumawardhani,
2010).
17
Daftar Pustaka
Israr, Yayan Akhyar. (2009). Psikosis pada Penderita Epilepsi, hal 8-9. FKUNRI.
Kusumawardhani, AAA. (2010). Gangguan Mental Organik Lain. Buku Ajar Psikiatri hal
106-111. FKUI.
https://www.epilepsy.com/learn/professionals/resource-library/tables/antipsychotics-and-
seizure-incidence.
18