Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan di bidang kesehatan merupakan investasi penting dalam suatu
negara, karena dengan adanya sumber daya yang sehat akan tercipta manusia yang
lebih berkualitas sehingga dapat memajukan diri, bangsa, dan negara.
Investasi kesehatan sangat berguna dalam meningkatkan nilai stok manusia
yang berupa peningkatan ketahanan fisik dan intelegensia, serta dapat mengurangi
penyusutan nilai manusia. Perbaikan kesehatan dan gizi yang terus menerus
menuju pada suatu keadaan yang sehat dan bergizi seimbang akan dapat
mempertahankan kondisi bobot fisik tubuh manusia (Elfindri, 2003).
Kesehatan merupakan indikator yang lebih mencerminkan pembangunan yang
langsung menyentuh atau dirasakan manfaatnya oleh manusia atau rakyat disuatu
Negara yang sebelumnya.
Hanya terbatas pada konsep penghasilan. Kesehatan juga merupakan hak azasi
manusia, karena kesehatan merupakan kodrat manusia yang sesuai dengan
deklarasi hak azasi manusia dan konstitusi WHO (Gani, 2006). Oleh karena
kesehatan merupakan hak azasi manusia, maka pelayanan kesehatan yang
diselenggarakan harus sesuai dengan kebutuhan semua lapisan masyarakat. Selain
itu, pelayanan kesehatan tersebut harus sesuai dengan kebutuhan medic dan
kebutuhan medic tidak boleh membedakan kelas social ekonomi di masyarakat,
tetapi yang membedakan hanyalah jenis penyakit seseorang.
Oleh sebab itu, kesehatan merupakan tanggung jawab semua lapisan
masyarakat dalam suatu Negara terutama pemerintah. Dimana, pemerintah
memiliki peranan penting dalam menyediakan pelayanan kesehatan yang mudah

1
diakses oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa membedakan jenis penyakit
maupun status social.
Puskesmas merupakan salah satu pelayanan kesehatan dasar yang didirikan
untuk memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu bagi
seluruh penduduk yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas. Program dan upaya
kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas merupakan program pokok
(public health essential) yang wajib dilaksanakan oleh Pemerintah untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat (Dinas Kesehatan Kota Padang, 2010).
Besarnya biaya dari pelayanan kesehatan ini tentunya harus sesuai dengan
kemampuan membayar dari masyarakat. Tentunya biaya tersebut tidak merugikan
pihak konsumen (pemakai jasa layanan kesehatan) maupun produsen (penyedia
jasa layanan kesehatan dalam hal ini adalah Puskesmas). Hal ini disebabkan
karena apabila biaya yang diberlakukan oleh Puskesmas terlalu rendah,
dikhawatirkan akan menyebabkan rendah pula mutu pelayanan di Puskesmas
tersebut. Dan sebaliknya, apabila tarifyang ditetapkan oleh Puskesmas terlalu
tinggi, dikhawatirkan masyarakat tidak mampu untuk membayarnya.
Untuk berbagai jenis pelayanan yang ditawarkan, baik secara total maupun
secara perunit/perpasien yang dilakukan dengan cara menghitung seluruh biaya
pada seluruh unit/pusat biaya serta mendistribusikannya ke unit-unit produksi yang
kemudian dibayar oleh pasien (Widayani, 2003).
Unit cost (biaya satuan) adalah biaya yang dihitung untuk satu satuan produk
pelayanan kesehatan yang dihitung dengan cara membagi total cost dengan
jumlah/kuantitas output. Biaya satuan juga sering disebut dengan biaya rata-rata,
yang merupakan hasil perhitungan dengan membagi biaya total dengan sejumlah
produksi. Unit cost member informasi mengenai satuan biaya persatuan hasil
pelayanan dengan orientasi keluaran (output), dan merupakan masukan dalam
rangka pengendalian biaya kesehatan. Dengan mengetahui satuan biaya yang
selalu bervariasi baik dari daerahnya, jenis penyakit, jenis penanganan, maupun
kemampuan tingkat institusinya, maka tingkat pengeluaran biaya yang tidak

2
dianggarkan dapat lebih terkendali. Analisis unit cost ini juga akan member
informasi tentang besaran tarif yang seharusnya ditetapkan oleh Puskesmas.
Dalam menghitung unit cost pelayanan kesehatan, dapat dilihat dari dua sudut
pandang, yaitu dari segi konsumen dan produsen. Dari segi produsen dimaksudkan
agar diketahui biaya perkasus, biaya perpasien, hari atau minggu yang
dipergunakan untuk penyusunan rencana anggaran belanja. Sedangkan, biaya yang
dikeluarkan oleh pasien dapat dipergunakan untuk menganalisis sampai seberapa
jauh kemampuan masyarakat dengan melihat tingkat pendapatannya
Penetapan tarif yang rasional juga sangat diperlukan karena hal tersebut
berhubungan langsung dengan mutu pelayanan yang diberikan pada pasien yang
menggunakan jasa puskesmas yang bersangkutan. Adanya tarif yang rasional
tersebut akan member keuntungan bagi kedua belah pihak, yaitu pengunjung dan
penyedia jasa layanan Puskesmas, karena dari berbagai sumber yang ada yaitu
banyaknya keluhan pengunjung tentang rendahnya mutu pelayanan Puskesmas.
Salah satu penyebab terjadinya hal tersebut adalah karena rendahnya honor/
insentif yang diterima oleh para penyedia jasa layanan di Puskesmas, sehingga
layanan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang seharusnya didapatkan oleh
pengunjung.
Oleh sebab itu, analisis unit cost diperlukan untuk mengetahui berapa tarif
yang rasional yang seharusnya ditetapkan oleh Puskesmas agar kedua belah pihak
yaitu pengunjung dan pihak puskesmas tidak ada yang dirugikan. Selain itu,
analisis unit cost ini juga dapat menjadi acuan bagi pemerintah dalam menetapkan
anggaran kesehatan.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Tarif?
2. Cara Penetapan Tarif di Puskesmas?

3
C. Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang cara
penetapan tarif di Puskesmas, dan untuk menyelesaikan tugas dari mata kuliah
Ekonomi Kesehatan.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tarif
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
582/Menkes/SK/VI/1997, pengertian tarif adalah sebagian atau seluruh biaya
penyelenggaraan kegiatan pelayanan di rumah sakit yang dibebankan kepada
masyarakat sebagai imbalan atas jasa pelayanan yang diterimanya. Sedangkan
menurut Kotler (2002), tarif atau price adalah harga dalam nilai uang yang harus
dibayar oleh konsumen untuk memperoleh atau mengkomsumsi suatu komoditi,
yaitu barang atau jasa.

B. Cara Penetapan Tarif di Puskesmas


Dalam pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan kesehatan milik
pemerintah seperti Puskesmas dan rumah sakit, tarif biasanya ditetapkan oleh
pemerintah secara sepihak tanpa suatu kajian yang rasional (melakukan
perhitungan unit cost). Tarif ini biasanya ditetapkan melalui suatu peraturan
pemerintah yakni dalam bentuk surat keputusan Menteri Kesehatan untuk rumah
sakit umum pusat, dan peraturan daerah (Perda) untuk rumah sakit umum provinsi,
rumah sakit umum kabupaten/kota maupun Puskesmas. Menurut Trisnantoro
(2004), hal ini menunjukkan adanya kontrol ketat dari pemerintah sebagai pemilik
sarana pelayanan tersebut. Akan tetapi disadari bahwa tarif pemerintah biasanya
mempunyai cost recovery (pemulihan biaya) yang rendah.
Tarif pelayanan kesehatan yang berlaku sekarang di Kabupaten Lima Puluh
Kota didasarkan pada ketetapan Perda No. 1 tahun 2012 tentang Retribusi Jasa
Umum. Pemerintah daerah menetapkan tarif retribusi pelayanan kesehatan

5 5
diberlakukan sama antara Puskesmas dengan rumah sakit yaitu berdasarkan jenis
pelayanan. Idealnya tarif pelayanan kesehatan di Puskesmas lebih rendah
dibandingkan tarif di rumah sakit karena sumber daya yang dimiliki puskesmas
lebih sederhana dan lebih sedikit dibandingkan rumah sakit. Menurut Trisnantoro
(2004), ada hal yang menarik tentang penetapan tarif yang bertujuan minimalisasi
penggunaan pelayanan dan mengurangi pemakaian yaitu dengan menetapkan tariff
secara tinggi. Sebagai contoh, tarif pemeriksaan umum pada rumah sakit
pemerintah ditetapkan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pelayanan serupa di
Puskesmas. Dengan cara ini maka fungsi rujukan dapat ditingkatkan sehingga
masyarakat hanya menggunakan rumah sakit apabila perlu saja.
Selama ini biaya satuan (unit cost) rawat jalan Puskesmas di Kabupaten Lima
Puluh Kota belum pernah dihitung sehingga tidak diketahui apakah tarif tersebut
lebih rendah atau lebih tinggi dari unit cost. Pemerintah daerah masih menjadikan
sarana pelayanan kesehatan seperti Puskesmas dan RSUD sebagai sumber
Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang potensial. Idealnya penetapan tarif pelayanan
kesehatan harus dikaji secara rasional terlebih dahulu berdasarkan unit cost dan
dievaluasi secara berkala untuk dilakukan penyesuaian.
Hal ini sesuai dengan penelitian Junnu (2009) yang menyatakan bahwa
penetapan tarif tergantung pada tujuan pemerintah daerah setempat, apakah untuk
meningkatkan akses pelayanan sehingga ditetapkan tarif yang rendah atau untuk
pemulihan biaya karena subsidi pemerintah berkurang, serta untuk meningkatkan
mutu pelayanan kesehatan dan kepuasan petugas. Penetapan tarif kadang sulit
dilakukan karena berbagai kepentingan, belum lagi karena tidak tersedianya
informasi besaran biaya satuan suatu jenis pelayanan.

6
Tabel 1. Realisasi Pendapatan Puskesmas Dangung-Dangung Tahun 2013

Sumber Realisasi (Rp) %


Retribusi pelayanan kesehatan 59.279.400 23,2
Klaim/Kapitasi Jamkesmas 57.444.688 22,5
Kapitasi Jamkesda 29.394.145 11,5
Kapitasi Askes PNS 101.209.930 39,7
Klaim Jampersal 7.920.000 3,1
Jumlah 255.248.163 100
Sumber : Data Sub Bagian Keuangan Dinkes Kab Lima Puluh Kota

Tabel 1 menunjukkan sumber-sumber pendapatan Puskesmas Dangung-


Dangung tahun 2013, dimana sumber terbesar berasal dari klaim Kapitasi Askes
PNS sebesar 39,7%, kemudian diikuti retribusi pelayanan kesehatan sebesar
23,2%, klaim/Kapitasi Jamkesmas sebesar 22,5%, kapitasi Jamkesda sebesar
11,5%, dan terakhir klaim Jampersal sebesar 3,1%.

Sesuai kebijakan daerah, penerimaan Puskesmas tidak dapat digunakan


secara langsung untuk mendukung operasional kegiatan pelayanan di puskesmas
karena seluruh pendapatan yang diterima harus disetorkan ke Kas Daerah. Hal ini
mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara pasal 13 ayat 2 yang berbunyi semua penerimaan dan pengeluaran daerah
dilakukan melalui rekening kas umum daerah. Hal ini tentu akan mengganggu
proses pelayanan kesehatan di Puskesmas.

Paradigma baru tentang pengelolaan keuangan negara sesuai dengan paket


peraturan perundang-undangan di bidang keuangan yaitu UU No. 17 tahun 2003
tentang Keuangan Negara, UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
dan UU No.15 Tahun 2005 tentang Pemeriksaan Keuangan Negara,
mengandung tiga kaidah manajemen keuangan negara, yaitu orientasi

7
pada hasil (mutu layanan),profesionalitas serta akuntabilitas dan transparansi.
Salah satu bentuk reformasi pengelolaan keuangan negara melalui paket peraturan
perundang-undangan tersebut adalah pembentukan Badan Layanan Umum (BLU).
BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual
tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya
didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

Pengelolaan keuangan BLU menjadi satu penekanan tersendiri di dalam


undang-undang ini yang menandakan betapa pentingnya hal tersebut dalam
penyelenggaraan kegiatan layanan umum suatu BLU. Pemerintah kemudian
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun
2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Pola Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum (PPK-BLU) adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan
fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang
sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sebagai penjabaran dari PP Nomor 23 Tahun 2005 pemerintah


mengeluarkan Permendagri No 61 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) yang secara
eksplisit menyebutkan bahwa ada persyaratan substantif, teknis dan administratif
bagi BLUD, dalam hal ini termasuk RS, Bapelkes, Puskesmas dan organisasi
pelayanan kesehatan lainnya. Selain tersebut di atas, ada beberapa prasyarat lain
yang harus dipersiapkan segera untuk mendukung pola pengelolaan keuangan
BLU antara lain (1) Pola tariff berbasis unit cost dan mutu layanan; (2) Rencana
Bisnis Anggaran (RBA) berbasis akuntansi biaya; (3) Remunerasi; (4) Sistem
Akuntansi dan Keuangan.

8
Lembaga-lembaga pelayanan publik seperti Puskesmas dan sebagainya
membutuhkan status BLU untuk meningkatkan kinerjanya terutama setelah
diberlakukannya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada tahun 2014 yang
diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Peraturan
Presiden RI Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Jaminan Kesehatan pasal 9 ayat 1
menyebutkan bahwa BPJS Kesehatan melakukan pembayaran kepada fasilitas
kesehatan tingkat pertama secara praupaya berdasarkan kapitasi atas jumlah
peserta yang terdaftar di Fasilias Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Aturan ini
membuat Puskesmas sebagai FKTP harus mengikuti sistem penggantian biaya
berdasarkan kapitasi maupun non kapitasi sebagaimana di atur dalam Permenkes
R.I No. 69 Tahun 2013 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Pada Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut dalam
Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. Konsekuensinya Puskesmas
sebagai pemberi pelayanan dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan yang
efektif dan efisien tanpa mengurangi mutu. Hal ini dapat diwujudkan dengan
mengidentifikasi seluruh aktivitas pelayanan yang diberikan sehingga biaya yang
dikeluarkan dapat dievaluasi sesuai tarif kapitasi maupun non kapitasi yang telah
ditetapkan oleh BPJS. Untuk itulah perhitungan unit cost oleh Puskesmas sebagai
sarana kesehatan primer atau FKTP sangat diperlukan sehingga dapat menentukan
biaya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan.

Puskesmas sebagai FKTP dalam memberikan pelayanan kepada peserta


BPJS maupun masyarakat umum dituntut untuk bisa memberikan pelayanan
kesehatan yang bermutu dan adil bagi masyarakat. Pengembangan puskesmas
sebagai BLUD merupakan jawaban atas tuntutan untuk meningkatkan kualitas
pelayanan puskesmas kepada masyarakat. Salah satu prasyarat yang harus
dipersiapkan untuk mendukung pola pengelolaan keuangan BLU adalah pola tarif
berbasis unit cost. Hal ini merupakan tantangan bagi seluruh elemen terkait, baik
pihak Puskesmas maupun stakeholder untuk menghitung secara riil berapa biaya

9
pelayanan yang dibutuhkan sehingga bisa menjadi alat advokasi dalam
pembiayaan pelayanan kesehatan. Analisis biaya melalui perhitungan biaya
perunit (unit cost) dapat dipergunakan Puskesmas sebagai dasar penyusunan
anggaran dan subsidi, alat negosiasi pembiayaan kepada stakeholder terkait dan
dapat pula dijadikan acuan dalam mengusulkan tarif pelayanan Puskesmas yang
baru dan terjangkau masyarakat.

Puskesmas Dangung-Dangung merupakan Puskesmas dengan jumlah


kunjungan terbesar di Kabupaten Lima Puluh Kota. Puskesmas Dangung-Dangung
juga salah satu dari enam Puskesmas di Kabupaten Lima Puluh Kota yang
dipersiapkan untuk menjadi BLUD pada tahun 2016. Salah satu syarat yang harus
dipersiapkan segera untuk mendukung pola pengelolaan keuangan BLUD disuatu
satuan kerja adalah pola tarif berbasis unit cost dan mutu layanan. Selain sebagai
persyaratan administratif, unit cost juga bermanfaat dalam penyusunan Rencana
Bisnis dan Anggaran (RBA).

Jumlah Puskesmas yang ada di Kabupaten Lima Puluh Kota yaitu 22 buah
terdiri dari 4 Puskesmas dengan rawat inap dan 18 Puskesmas rawat jalan.
Puskesmas Dangung-Dangung merupakan salah satu Puskesmas dengan rawat
inap yang terletak di Kecamatan Guguk dengan luas wilayah kerjanya mencakup
85,2 km2. Puskesmas Dangung-Dangung mempunyai wilayah kerja yang meliputi
4 nagari dengan total jumlah penduduk sebanyak 25.705 jiwa yang tersebar di 22
jorong.

10
Tabel 2. Alokasi dan Realisasi Belanja Dokumen Pelaksanaan Anggaran Puskesmas
Dangung-Dangung Tahun 2013

Jumlah Realisasi
No Kegiatan
anggaran Rp %
1 Penyediaan Biaya Operasional 86.040.000 81.743.718 95,0%
dan Pemeliharaan
2 Penyediaan Jasa Komunikasi 12.000.000 8.376.792 69,8%
Sumber Daya Air dan Listrik
3 Kemitraan Asuransi Kesehatan 117.921.400 56.481.286 47,9%
Masyarakat
4 Pengadaan, Peningkatan dan 15.000.000 12.842.900 85,6%
Perbaikan Sarana dan Prasarana
Puskesmas dan Jaringannya
5 Pemeliharaan Rutin/Berkala 7.500.000 3.601.090 48,0%
Sarana dan Prasarana Puskesmas
Keliling
Total 238.461.400 163.045.786 68,4%
Sumber : Data Seksi Penyusunan Program Dinkes Kab. Lima Puluh Kota

Anggaran dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Puskesmas


digunakan untuk membiayai belanja operasional Puskesmas baik operasional luar
gedung seperti UKM dan operasional dalam gedung seperti pelayanan rawat jalan
dan rawat inap. Tabel 2 menggambarkan alokasi dan realisasi anggaran belanja
Puskesmas yang bersumber dari APBD Kabupaten. Sumber pembiayaan
Puskesmas lainnya berasal dari Pemerintah Provinsi melalui dana dekonsentrasi
dan Pemerintah Pusat melalui dana tugas pembantuan. Pada tahun 2012.
Puskesmas Dangung-Dangung mendapat Bantuan Operasional Kesehatan (BOK)
dari Pemerintah Pusat sebesar Rp. 82.500.000,- dan pada tahun 2013 sebesar Rp.

11
84.737.000,-. Dana BOK tersebut digunakan untuk menyelenggarakan Upaya
Kesehatan Masyarakat berupa promotif dan preventif di wilayah kerja Puskesmas
Dangung-Dangung.

Tabel 3. Kunjungan Rawat Jalan dan Rawat Inap Puskesmas Dangung-Dangung


Tahun 2011-2013

Jumlah
Jumlah Jumlah Pasien
Tahun Kunjungan Jumlah
Penduduk Rawat Inap
Rawat Jalan
2011 25.138 13.414 726 14.130
2012 25.420 12.351 684 13.035
2013 25.705 10.463 237 10.700
Sumber: Data Seksi Informasi Kesehatan Dinkes Kab. Lima Puluh Kota.

Tabel 3 menggambarkan adanya penurunan jumlah kunjungan rawat jalan dan


jumlah pasien rawat inap pada tahun 2011 -2013. Hal ini diduga disebabkan
karena lokasi Puskesmas Dangung-Dangung terletak tidak terlalu jauh dari RS.
Adnan WD di Kota Payakumbuh dan RS. Achmad Darwis di Suliki yang masing-
masing berjarak lebih kurang 10 km dari puskesmas. Pasien yang berobat ke
puskesmas berasal dari dalam maupun luar wilayah kerja Puskesmas Dangung-
Dangung. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak faktor antara lain lokasi
puskesmas yang strategis berada di pinggir jalan raya sehingga mudah diakses
oleh masyarakat.

Sistem keuangan di Puskesmas Dangung-Dangungbelum sepenuhnya


menerapkan sistem akuntansi biaya sehingga belum dapat memberikan informasi
akan biaya yang benar-benar terjadi, terutama untuk alokasi biaya langsung dan
biaya tidak langsung. Menurut Gani (2006), alternatif untuk melakukan

12
pembenahan pembiayaan adalah agar daerah melakukan analisis biaya setiap jenis
pelayanan kesehatan (perorangan), baik di Puskesmas maupun di RS.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Tarif adalah sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan kegiatan pelayanan
di rumah sakit yang dibebankan kepada masyarakat sebagai imbalan atas jasa
pelayanan yang diterimanya.
Dalam pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan kesehatan milik
pemerintah seperti Puskesmas dan rumah sakit, tarif biasanya ditetapkan oleh
pemerintah secara sepihak tanpa suatu kajian yang rasional (melakukan
perhitungan unit cost). Tarif ini biasanya ditetapkan melalui suatu peraturan
pemerintah yakni dalam bentuk surat keputusan Menteri Kesehatan untuk rumah
sakit umum pusat, dan peraturan daerah (Perda) untuk rumah sakit umum provinsi,
rumah sakit umum kabupaten/kota maupun Puskesmas. Menurut Trisnantoro
(2004), hal ini menunjukkan adanya kontrol ketat dari pemerintah sebagai pemilik
sarana pelayanan tersebut. Akan tetapi disadari bahwa tarif pemerintah biasanya
mempunyai cost recovery (pemulihan biaya) yang rendah.

14 14

Anda mungkin juga menyukai