Disusun Oleh:
Pembimbing :
2017
1
HALAMAN PENGESAHAN
Mengetahui,
Pembimbing
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI
Sinusitis adalah radang atau infeksi dari satu atau lebih mukosa sinus
paranasal.1Sesuai anatomi sinus yang terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis
maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid. Bila
peradangan ini mengenai beberapa sinus disebut multisinus, sedang bila
mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.
1. SINUS MAKSILA
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir
sinus maksila bervolume 6-8 ml,sinus kemudian berkembang dengan cepat
dan akhirnya mencapai ukuran maksimal,yaitu 15 ml saat dewasa.
Sinus maksila berbentuk pyramid. Dinding anterior sinus ialah
permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding
posteriornya adalah permukaan infra-temporal mkasila, dinding medialnya
ialah dinding dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah
dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum.
Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan
bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila
adalah 1) dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang
4
atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 danM2), kadang kadang
juga gigi taring (C) dan gigi molar M3,bahkan akar-akar gigi tersebut
dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke
atas menyebabkan sinusitis; 2) Sinusitis maksila dapat menimbulkan
komplikasi orbita; 3) Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar
sinus, sehingga drenase hanya tergantung dari gerak silia, lagi pula
dreanase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum
adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang
atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan
selanjutnya menyebabkan sinusitis.
Sinus maksila merupakan sinus yang paling sering terinfeksi. Hal ini
terjadi karena (1) sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar,
(2) letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret
(drainase) dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar
sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi
gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila
terletak di meatus medius, di sekitar hiatus semilunaris yang sempit
sehingga mudah tersumbat.2
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir
sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan
cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.
Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan
fasial os maksila yang degan fosa kanina, dinding posteriornya adalah
permukaan infra temporal maksila, dinding hidung, dinding superiornya
ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan
palatum. Ostium sinus maksila berada disebelah superior dinding medial
sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.
5
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila
adalah :
1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas,
yaitu remolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga
gigi geligi mudah naik keatas yang menyebabkan sinusitis.
2. Sinusistis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita
3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga
drainase hanya tergantung dari grak silia, lagipula drainase juga harus
melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian sinus
etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada
daerah ini dapat menghalagi drenase sinus maksiladan selanjutnya
menyebabkan sinusitis.
2. SINUS FRONTAL
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan
ke empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel
infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada
usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20
tahun.
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar
dari lainya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang
lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kuran
lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang.
Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan
dalamnya 2 cm. sinus fronta biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus
berlekuk-lekuk. Taidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk
dinding sinus pada foto Rontgen menunjukan adanya infeksi sinus. Sinus
frontal dipisahkan oleh tulang yang relative tipis dari orbita dan fosa
serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus fronta mudah menjalar ke
daerah ini.
Sinus frontal berdrenase melalui ostiumnya yang terletak di resesus
frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid.
6
3. SINUS ETMOID
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan
akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan focus
bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti
pyramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukuran dari anterior ke
posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm dibagian anterior dan
1,5 cm dibagian posterior.
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai
sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang
terletak diantar konka media dan dinding dinding medial orbita. Sel-sel ini
jumlahnya bervariasi. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi
sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid
posterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang
bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-
kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian
posterior konka media dengan dinding lateral ( lamina basalis), sedangkan
sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit
jumlahnya dan terletak diposterior dari lamina basalis.
Dibagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit,
disebut resesus frontal, yang berhubungan sinus frontal. Selo etmoid yang
terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu
penyempitan yang di sebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium
sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan diresesus frontal dapat
menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat
menyebabkan sinusitis maksila.
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan
lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat
tipis dan membatasi sinus etmoid darirongga orbita. Di bagian belakang
sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.
7
4. SINUS SFENOID
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid
posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum
intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan
lebarnya 1,7 cm. volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml. saat sinus
berkembang, pembuluh darah dan nervus dibagian lateral os sfenoid akan
menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai
indensitasi pada dinding sinus sfenoid.
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan
kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral
berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak
sebagai indentasi) dan disebelah posteriornya berbatasan dengan fosa
serebri posterior didaerah pons.
2. EPIDEMIOLOGI
Setiap 1 dari 7 orang dewasa di Amerika Serikat dideteksi positif sinusitis
dengan lebih dari 30 juta manusia didiagnosa sinusitis setiap tahun. Sinusitis
lebih sering terjadi dari awal musim gugur dan musim semi. Insiden terjadinya
sinusitis meningkat seiring dengan meningkatnya kasus asma, alergi, dan
penyakit traktus respiratorius lainnya. Perempuan lebih sering terkena sinusitis
dibandingkan laki-laki karena mereka lebih sering kontak dengan anak kecil.
Angka perbandingannya 20% perempuan disbanding 11.5% laki-laki. Sinusitis
lebih sering diderita oleh anak-anak dan dewasa muda akibat rentannya usia ini
dengan infeksi Rhinovirus. Secara epidemiologi yang paling sering terkena
adalah sinus maksila, kemudian etmoidalis, frontalis, dan sfenoidalis
(Mansjoer, 2000). Sinus maksila sering terkena sinusitis karena sinus ini
merupakan sinus terbesar dan dasarnya berhubungan dengan dasar akar gigi
rahang atas.
3. ETIOLOGI
Seperti yang diketahui, terdapat banyak faktor menjadi penyebab sesuatu
penyakit timbul, antaranya faktor internal seperti daya tahan tubuh yang
8
menurun akibat defisiensi gizi yang menyebabkan tubuh rentan dijangkiti
penyakit dan faktor eksternal seperti perubahan musim yang ekstrim, terpapar
lingkungan yang tinggi zat kimiawi, debu, asap tembakau dan lain-lain.
Faktor-faktor lokal tertentu juga dapat menjadi predisposisi penyakit
sinusitis, berupa deformitas rangka, alergi, gangguan geligi, benda asing dan
neoplasma. Adapun agen etiologinya dapat berupa virus, bakteri atau jamur.4
Virus
Sinusitis virus biasanya terjadi selama infeksi saluran napas atas,
infeksi virus yang lazim menyerang hidung dan nasofaring juga
menyerang sinus. Mukosa sinus paranasalis berjalan kontinyu dengan
mukosa hidung dan penyakit virus yang menyerang hidung perlu dicurigai
dapat meluas ke sinus. Antara agen virus tersering menyebabkan sinusitis
antara lain: Rhinovirus, influenza virus, parainfluenza virus dan
adenovirus.
Bakteri
Jamur
9
4. KLASIFIKASI
Berdasarkan beratnya penyakit, rinosinusitis dapat dibagi menjadi ringan,
sedang dan berat berdasarkan total skor visual analogue scale (VAS) (0-10cm):
Akut
< 12 minggu
Resolusi komplit gejala
Kronik
12 minggu
Tanpa resolusi gejala komplit
Termasuk rinosinusitis kronik eksaserbasi akut
10
5. PATOFISIOLOGI
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
kelancaran klirens dari mukosiliar di dalam kompleks osteo meatal (KOM).
Disamping itu mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat
yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernafasan. 2
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat
bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan karena ostium sinus tersumbat. Maka
terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus terjadinya transudasi, yang mula-
mua cairan serosa. Gangguan drainase dan ventilasi didalam sinus, sehingga
silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi mukosa sinus menjadi
lebih kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri
patogen. Kondisi inilah yang disebut rhinosinusitis non-bacterial.
Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi lendir
sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob. Selanjutnya terjadi perubahan
jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan kista. Polip nasi dapat
menjadi manifestasi klinik dari penyakit sinusitis. Polipoid berasal dari edema
mukosa, dimana stroma akan terisi oleh cairan interseluler sehingga mukosa
11
yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, dimana mukosa
yang sembab makin membesar dan kemudian turun ke dalam rongga hidung
sambil membentuk tangkai, sehingga terjadilah polip.7
Perubahan yang terjadi dalam jaringan dapat disusun seperti dibawah ini,
yang menunjukkan perubahan patologik pada umumnya secara berurutan:
12
Masih dipertanyakan apakah infeksi dapat disebarkan dari sinus secara
limfatik.
6. GEJALA KLINIS
Wald mencatat bahwa gejala flu biasa membaik dalam 5 sampai 7 hari,
dan jika gejala menetap lebih dari 10 hari, gejala cenderung menjadi sekunder
ke salah satu sinusitis akut atau gejala persisten dari sinusitis kronis. Gejala
sinusitis kronis berlangsung lebih dari 3 minggu. American Academy of
Otolaryngology membagi kategori gejala untuk menegakan rinosinusitis, yaitu
kategori gejala mayor dan minor. Menurut durasi gejala, rinosinusitis
didefinisikan sebagai akut bila gejala berlangsung 4 minggu atau kurang,
subakut bila gejala hadir selama 4 sampai 12 minggu, atau kronis untuk gejala
yang berlangsung lebih dari 12 minggu.
Sinusitis akut
Sinusitis akut umumnya dimulai dari infeksi saluran pernafasan atas oleh
virus yang melebihi 10 hari. Organisme yang umum menyebabkan sinusitis
akut termasuk Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza dan
Moraxella catarrhalis. Diagnosis dari sinusitis akut dapat ditegakkan ketika
infeksi saluran napas atas oleh virus tidak sembuh salama 10 hari atau
memburuk setelah 5-7 hari.
Penyebab utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan infeksi
virus, terdapat transudasi di rongga-rongga sinus, mula-mula serous yang
biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Selanjutnya diikuti
oleh infeksi bakteri , yang bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul
dalam sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri.
Sekret menjadi purulen.
Sinusitis akut berulang tejadi gejala lebih dari 4 episode per tahun dengan
interval bebas penyakit lain. Eksaserbasi akut rinosinusitis didefinisikan
sebagai memburuknya gejala pada pasien yang sudah didiagnosis rhinosinusitis
secara tiba-tiba, dengan kembali ke gejala awal setelah perawatan. Untuk
mendiagnosis rhinosinusitis memerlukan 2 faktor mayor atau 1 faktor mayor 2
13
faktor minor. Jika hanya 1 faktor mayor atau 2 faktor minor ini harus
dimasukkan dalam diagnosis diferensial.
Kebas atau rasa penuh pada muka Demam (pada sinusitis kronik)
Sinusitis kronik
14
yang menonjol. Pasien dengan sinusitis kronik dengan polip nasi lebih sering
mengalami hiposmia dan lebih sedikit mengeluhkan nyeri atau rasa tertekan
daripada yang tidak memiliki polip nasi. Bakteri yang memegang peranan
penting dalam patogenesis rinosinusitis kronik masih kontroversial. Organisme
yang umum terisolasi pada sinusitis kronik termasuk Staphylococcus aureus,
bakteri anaerob dan gram negatif seperti Pseudomonas aeruginosa.
> 12 minggu Satu atau lebih dari 1. perubahan pada hidung, polip,
gejala terus gejala tersebut atau polypoid pembengkakan
menerus pada rhinoskopi anterior
(dengan decongestion) atau
hidung endoskopi
2. Edema atau eritema di meatus
tengah pada hidung endoskopi
3. Generalized atau lokal edema,
eritema, atau jaringan granulasi
di cavum hidung. Jika tidak
melibatkan meatus tengah,foto
diperlukan untuk diagnosis
4. Foto untuk memperjelas
diagnosis (foto polos atau
computerized tomography)
15
Kennedy mengklasifikasikan rhinosinusitis kronik menjadi 4 bagian berdasarkan
area yang terlibat :
Stadium Area
I kelainan anatomi Semua penyakit sinus unilateral Penyakit
Bilateral terbatas pada sinus ethmoid
II ethmoid bilateral dengan keterlibatan satu sinus lainnya
III ethmoid bilateral dengan keterlibatan 2 atau lebih sinus lainnya
IV Poliposis sinonasal Diffuse
7. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Gejala subyektif : Gejala sistemik yaitu : demam dan rasa lesu, serta gejala
lokal yaitu :hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan
mengalir ke nasofaring (postnasal drip), halitosis, sakit kepala yang lebih
berat pada pagihari, nyeri di daerahsinus yang terkena, serta kadang nyeri
alih ke tempat lain.
1. Sinusitis Maksilaris
Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila. Gejala sinusitis maksilaris
akut berupa demam, malaise dan nyeri kepala yang tak jelas yang biasanya
reda dengan pemberian analgetik biasa seperti aspirin. Wajah terasa
bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak,
misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi
khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri pada palpasi dan perkusi.
Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau
busuk.7
16
2. Sinusitis Etmoidalis
Sinusitis etmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali
bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Dari anamnesis didapatkan nyeri
yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius, kadang-kadang nyeri
di bola mata atau di belakangnya, terutama bila mata digerakkan. Nyeri
alih di pelipis, post nasal drip dan sumbatan hidung. Pemeriksaan fisik
didapatkan nyeri tekan pada pangkal hidung.
3. Sinusitis Frontalis
Nyeri berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan
memburuk menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda
hingga menjelang malam. Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa
nyeri bila disentuh dan mungkin terdapat pembengkakan supra orbita.
Pemeriksaan fisik, nyeri yang hebat pada palpasi atau perkusi di atas
daerah sinus yang terinfeksi merupakan tanda patognomonik pada sinusitis
frontalis.
4. Sinusitis Sfenoidalis
Sinusitis sfenoidalis dicirikan oleh nyeri kepala yang mengarah ke
verteks kranium. Penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari pansinusitis
dan oleh karena itu gejalanya menjadi satu dengan gejala infeksi sinus
lainnya.
17
komplikasi sinusitis.Jika ditemukan maka kita harusmelakukan
penatalaksanaan yang sesuai).
Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis untuk mendapatkan informasi dan untuk
mengevaluasi sinus paranasal adalah; pemeriksaan foto kepala dengan
berbagai posisi yang khas, pemeriksaan tomogram dan pemeriksaan CT-
Scan. Dengan pemeriksaan radiologis tersebut para ahli radiologi dapat
memberikan gambaran anatomi atau variasi anatomi, kelainan-kelainan
patologis pada sinus paranasalis dan struktur tulang sekitarnya, sehingga
dapat memberikan diagnosis yang lebih dini.
18
Pemeriksaan foto kepala
Pemeriksaan foto kepala untuk mengevaluasi sinus paranasal
terdiri atas berbagai macam posisi antara lain:
a. Foto kepala posisi anterior-posterior ( AP atau posisi Caldwell)
19
b. Foto kepala lateral
Dilakukan dengan film terletak di sebelah lateral dengan
sentrasi di luar kantus mata, sehingga dinding posterior dan dasar
sinus maksilaris berhimpit satu sama lain.15
20
d. Foto kepala posisi Submentoverteks
Foto diambil dengan meletakkan film pada vertex, kepala
pasien menengadah sehingga garis infraorbito meatal sejajar
dengan film. Sentrasi tegak lurus film dalam bidang midsagital
melalui sella turcica kearah vertex. Posisi ini biasa untuk melihat
sinus frontalis dan dinding posterior sinus maxillaris.
21
posterior sinus maxillaris, fisura orbitalis inferior, kondilus
mandibularis dan arkus zigomatikus posterior.
Pemeriksaan Tomogram
Pemeriksaan tomogram pada sinus paranasal biasanya digunakan
multidirection tomogram. Sejak digunakannya CT-Scan, pemeriksaan
tomogram sudah jarang digunakan. Tetapi pada fraktur daerah sinus
paranasal, pemeriksaan tomogram merupakan suatu teknik yang terbaik
untuk menyajikan fraktur-fraktur tersebut dibandingkan dengan
pemeriksaan axial dan coronal CT-Scan. Pada Pemeriksaan Tomogram
biasanya dilakukan pada kepala dengan posisi AP atau Waters.
Pemeriksaan Ct Scan
Pemeriksaan CT-Scan sekarang merupakan pemeriksaan yang
sangat unggul untuk mempelajari sinus paranasal, karena dapat
menganalisis dengan baik tulang-tulang secara rinci dan bentuk-bentuk
jaringan lunak, irisan axial merupakan standar pemeriksaan paling baik
yang dilakukan dalam bidang inferior orbitomeatal (IOM). Pemeriksaan
ini dapat menganalisis perluasan penyakit dari gigi geligi, sinus-sinus
dan palatum, terrmasuk ekstensi intrakranial dari sinus frontalis.
22
Foto CT scan posisi coronal memperlihatkan gambaran sinusitis maxilla
dengan penebalan dinding mukosa di sinus maxilla kanan
Pemeriksaan MRI
23
Foto MRI normal sinus
8. PENATALAKSANAAN
Mikrobiologi pada sinusitis orang dewasa
Acute Chronic
Streptococcus pneumonia Staphylococcus aureus
Haemophilus influenzae Streptococcus pneumonia
Moraxella catarrhalis Anaerobes
Anaerobes Enteric gram-negative bacilli
Staphylococcus aureus Coagulase-negative staphylococcus
Other streptococci Haemophilus influenzae
Pseudomonas aeruginosa
Alpha streptococcus
Moraxella catarrhalii
24
Antibiotik merupakan kunci dalam penatalaksanaan sinusitis supuratif
akut. Amoksisilin merupakan pilihan tepat untuk kuman gram positif dan
negatif. Vankomisin untuk kuman S. pneumoniae yang resisten terhadap
amoksisilin. Pilihan terapi lini pertama yang lain adalah kombinasi eritromicin
dan dulfonamide atau cephalexin dan sulfonamide.
25
Dekongestan
Dekongestan Oral (Lebih aman untuk penggunaan jangka panjang)
Phenylproponolamine dan pseudoephedrine, yang merupakan agonis alfa
adrenergik. Obat ini bekerja pada osteomeatal komplek
Dekongestan topikal
Phenylephrine Hcl 0 , 5 % d a n oxymetazoline Hcl 0,5 % bersifat
vasokonstriktor lokal. Obat ini bekerja melegakan pernapasan dengan
mengurangi oedema mukosa.
Antihistamin
Antihistamin golongan II yaitu Loratadine. Anti histamin golongan II
mempunyai keunggulan, yaitu lebih memiliki efek untuk mengurangi
rhinore, dan menghilangkan obstruksi, serta tidak memiliki efek samping
menembus sawar darah otak
Kortikosteroid
bisa diberi oral ataupun topikal, namun pilihan disini adalah kortikosteroid
oral yaitu metil prednisolon, efek samping berupa retensi air sangat
minimal, begitupula dengan efek terhadap lambung juga minimal.
26
Onset tiba-tiba dari 2 atau lebih gejala, salah Keadaan yang harus segera di rujuk/ dirawat
sa
Edema periorbita
tunya termasuk hidung tersumbat/ Pendorongan letak bola mata
obstruksi/ kongesti atau pilek; sekret hidung Penglihatan ganda
anterior/ posterior; nyeri/ rasa tertekan di Oftalmoplegi
wajah; Penurunan visus
Nyeri frontal unilateral atau bilateral
Penghidu terganggu/ hilang Bengkak daerah frontal
Tanda meningitis atau tanda fokal
Pemeriksaan: Rinoskopi Anterior neurologis
27
baik dan magnifikasi anatomi hidung dan ostium sinus normal bagi ahli bedah,
teknik ini menjadi populer akhir-akhir ini.
Sinusitis kronis
2 atau lebih gejala, salah satunya berupa Pikirkan diagnosis lain :
hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau
pilek; sekret hidung anterior/ posterior; Gejala unilateral
Perdarahan
nyeri/ rasa tertekan di wajah;
Krusta
Penghidu terganggu/ hilang Gangguan penciuman
Gejala Orbita
Pemeriksaan: Rinoskopi Anterior Edema Periorbita
Pendorongan letak bola mata
Foto Polos SPN/ Tomografi Komputer tidak Penglihatan ganda
direkomendasikan Oftalmoplegi
Nyeri kepala bagian frontal yang berat
Tersedia Endoskopi
Bengkak daerah frontal
Tanda meningitis atau tanda fokal
neurologis fokal
Cuci hidung
Reevaluasi setelah 4
Skema penatalaksanaan rinosinusitis kronik minggu
28
2 atau lebih gejala, salah satunya berupa Pertimbangkan diagnosis lain :
hidung tersumbat atau pilek yang tidak
Gejala unilateral
jernih; nyeri bagian frontal, sakit
Perdarahan
kepala;
Krusta
Kakosmia
Gangguan Penghidu
Gejala Orbita
Pemeriksaan THT termasuk Endoskopi: Edema Periorbita
Penglihatan ganda
Pertimbangkan Tomografi Komputer
Oftalmoplegi
Tes Alergi Nyeri kepala bagian frontal yang berat
Edem frontal
Pertimbangkan diagnosis dan Tanda meningitis atau tanda fokal neurologis
penatalaksanaan penyakit penyerta; fokal
misal Asma
Steroid topikal Gagal setelah 3 bulan Steroid topikal Perlu investigasi dan
Intranasal cuci hidung intervensi cepat
Cuci hidung
Steroid topikal
Operasi
29
2 atau lebih gejala, salah satunya berupa Pertimbangkan diagnosis lain :
hidung tersumbat atau sekret hidung
berwarnar; nyeri bagian frontal, sakit Gejala unilateral
Perdarahan
kepala;
Krusta
Gangguan Penghidu Kakosmia
Gejala Orbita
Pemeriksaan THT termasuk Endoskopi: Edema Periorbita
Pertimbangkan Tomografi Komputer Penglihatan ganda
Oftalmoplegi
Tes Alergi Nyeri kepala bagian frontal yang berat
Edem frontal
Pertimbangkan diagnosis dan Tanda meningitis atau tanda fokal neurologis
penatalaksanaan penyakit penyerta; misal fokal
ASA
Steroid topikal
Dievaluasi setelah 3
bulan Evaluasi setelah 1
bulan
Lanjutkan Steroid
Topikal Tomografi Komputer
Cuci hidung
Antibiotika jangka
panjang
Skema penatalaksanaan rinosinusitis kronik dengan polip hidung pada dewasa
untuk dokter spesialis THT berdasarkan European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps 20076
30
9. KOMPLIKASI
31
kranium. Pemeriksaan ini harus rutin dilakukan pada sinusitis refrakter, kronik
atau berkomplikasi.
Osteomielitis
a) Etiologi
b) Gejala klinis
Gejala klinis antara lain nyeri dan nyeri tekan dahi setempat sangat berat,
gejala sistemik berupa sakit kepala, malaise, demam, dan menggigil.
Pembengkakan diatas alis mata juga lazim terjadi dan bertambah hebat bila
terbentuk abses subperiosteal, terbentuk edema supraorbita dan mata menjadi
tertutup. Timbul fluktuasi dan tulang menjadi sangat nyeri tekan. Jika disertai
dengan Pott`s puffy tumor juga ditemukan penonjolan pada dahi.
32
Gambaran Pott`s puffy tumor pada osteomielitis
c) Diagnosis
d) Penatalaksanaan
33
Infeksi orbital
Infeksi orbita disebabkan oleh penetrasi ruang orbita saat operasi atau
trauma, kebanyakan disebabkan oleh bakteri yang menyebar dari sinus yang
terinfeksi. Oleh karena ruang orbita dibatasi oleh beberapa sinus, seperti sinus
frontalis, etmoid, dan maksilari, infeksi dari sinus tersebut berpotensial menyebar
hingga ruang orbita. Sinus etmoid sangat mempengaruhi penyebaran infeksi ke
ruang orbita. Hal ini dipengaruhi karena sangat eratnya hubungan antara dinding
sinus dengan orbita. Dinding yang tipis menyebabkan infeksi lebih mudah
menyebar. Sinus etmoid mempunyai dinding yang paling tipis, disebut lamina
papyracea yang batas lateral dan medialnya adalah orbita. Sehingga infeksi pada
orbita biasanya dimulai dari bagian medial. Walaupun jarang terjadi dinding sinus
yang lebih tebal dapat juga menyebabkan infeksi orbita. Sekali infeksi menyebar
melalui dinding sinus, batas periosteal dinding sinus berperan sebagai barrier
tambahan untuk memproteksi orbita dari penyebaran infeksi. Jika terbentuk abses
di antara dinding dengan periosteum, disebut abses subperiosteal. Jika periosteum
rusak maka akan terbentuk abses orbita.
a) Etiologi
Banyak organisme yang dapat diisolasi dari penderita infeksi orbita. Dapat
berupa organisme tunggal maupun organisme campuran, anaerob maupun aerob,
atau gabungan keduanya. Biasanya, hasil isolasi sama dengan yang ditemukan
pada sinus terinfeksi.
b) Diagnosis
34
ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan
sinus etmoidalis seringkali merekah pada kelompok umur ini.
2. Selulitis orbita, terlihat sebagai edema difus dari garis batas orbita dan bakteri
telah secara aktif menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk. Selulitis
ini menyebabkan kelopak mata bengkak dan nyeri ketika otot ekstra okular
bergerak.
3. Abses subperiosteal, ditandai oleh edema dari garis batas orbita dengan
pengumpulan pus diantara periorbita dan dinding tulang orbita. Secara klinis
pasien dengan kondisi ini mirip dengan grup dua, tetapi terdapat proptosis
yang menonjol dan kemosis.
4. Abses orbita, ditandai adanya abses pada rongga orbita, pus telah menembus
periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Pada tahap ini disertai gejala sisa
neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak
otot ekstraokuler mata yang terserang dan kemosis konjungtiva merupakan
tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
5. Trombosis sinus kavernosus. Komplikasi ini merupakan akibat penyebaran
bakteri melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus dimana selanjutnya
terbentuk suatu tromboflebitis septik. Secara patognomonik trombosis sinus
kavernosus terdiri dari oftalmoplegia, kemosis konjungtiva, gangguan
penglihatan yang berat, kelemahan pasien dan tanda-tanda meningitis oleh
karena letak sinus kavernosus yang berdekatan dengan saraf kranial II, III, IV,
dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.
35
Gambar 14. Gambar klasifikasi komplikasi infeksi orbita pada sinusitis
Infeksi orbita (grup dua sampai empat) lebih sulit untuk diidentifikasi dan
tidak khas waktu kejadiannya. Pasien biasanya memiliki riwayat keluar cairan
dari hidung, sakit kepala atau terasa berat dan demam. Jika infeksi terjadi pada
36
orbita, kemungkinan dapat tejadi hilangnya penglihatan. Infeksi orbita dapat
menyerupai infeksi preseptal. Pasien datang dengan inflamasi orbita. Kelopak
mata yang bengkak tidak mengindikasikan adanya inflamasi. Karena terbatasnya
ruang pada orbita, massa inflamasi dapat mengenai sekeliling struktur. Infeksi
orbita yang simple menyebabkan tekanan pada otot okular dan menyebabkan
nyeri bila mata bergerak. Jika terdapat abses subperiosteal atau bentuk abses
lainnya, penekanan orbita menyebabkan proptosis. Jika proses inflamasi menekan
nervus optikus dapat menyebabkan kebutaan. Pada keadaan awal ditemukannya
infeksi orbita mungkin minimal, tetapi akan banyak ditemukan bila infeksi terus
berlanjut.
10. PROGNOSIS
Sinusitis akut memiliki prognosis yang sangat baik, dengan perkiraan 70%
penderita sembuh tanpa pengobatan. Sedangkan sinusitis kronik memiliki
prognosis yang bervariasi. Jika penyebabnya adalah kelainan anatomi dan telah
diterapi dengan bedah, maka prognosisnya baik.lebih dari 90% pasien
membaik dengan intervensi bedah, namun pasien ini kadang mengalami
kekambuhan.19
37
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sinusitis adalah penyakit yang terjadi di daerah sinus. Sinus itu sendiri
adalah rogga udara yang terdapat di area wajah yang terhubung dengan
hidung. Fungsi dari rongga sinus sendiri adalah untuk menjaga kelembapan
hidung dan menjaga pertukaran udara di daeranh hidung. Rongga sinus
sendiri terdiri dari 4 jenis yaitu :
- Sinus Frontal, terletak di atas meja dibagian tengah dari masing-masing alis
Rasa sakit atau adanya tekanan didaerah dahi, pipi, hidung dan diantara
mata
Sakit kepala
38
Demam
Hidung mampet
Berkurangnya indra penciuman
Batuk, biasanya akan memburuk saat malam
Nafas berbau (halitosis)
Sakit gigi
39
DAFTAR PUSTAKA
Kennedy E. Sinusitis.
Available from: URL:http://www.emedicine.com/emerg/topic536.htm.
Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar HN.
Editor. Buku ajar ilmu kesehatan telinga-hidung-tenggorok. Edisi keenam.
Jakarta. Balai Penerbit FKUI; 2007. 150-154
Damayanti dan Endang, Sinus Paranasal, dalam : Efiaty, Nurbaiti, editor. Buku
Ajar Ilmu Kedokteran THT Kepala dan Leher, ed. 5, Balai Penerbit FK
UI, Jakarta 2002, 115 119.
Endang Mangunkusumo, Nusjirwan Rifki, Sinusitis, dalam Eviati, nurbaiti, editor,
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher,
Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 2002, 121 125.
Peter A. Hilger, MD, Penyakit Sinus Paranasalis, dalam : Haryono, Kuswidayanti,
editor, BOIES, buku ajar Penyakit THT, penerbit buku kedokteran EGC,
Jakarta, 1997, 241 258.
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Ballenger. J. J., infeksi Sinus Paranasal, dalam : Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorok Kepala dan Leher, ed 13 (1), Binaputra Aksara, jakarta, 1994,
232 241.
Cody. R et all, Sinusitis,dalam Andrianto P, editor, Penyakit telinga Hidung dan
Tenggorokan, Penerbit buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1993, 229 241.
40