Analisis Empiris Efektivitas Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Di Indonesia Melalui Jalur Nilai Tukar Periode 1990 - 2 2007 - 1 PDF
Analisis Empiris Efektivitas Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Di Indonesia Melalui Jalur Nilai Tukar Periode 1990 - 2 2007 - 1 PDF
Dr. M. Natsir,SE.MSi
Fakultas Ekonomi Universitas Haluoleo Kendari
Abstract
The result of this research indicated that transmission mechanism of monetary policy
through exchange rate channel work effectively with time lag about 16 quarterly.
Exchange rates variable in this channel can be experience final target (inflations) about
19.69 % and interest rates differential about 43.36%. The result of this research is useful
for Government and Bank of Indonesia to formulate and implementations the monetary
policy effectively. This study result also can be used as reference for the researchers that
want to hold further research.
Informasi mengenai perubahan kebijakan moneter menjadi sangat penting dan selalu menjadi
perhatian bagi seluruh pelaku ekonomi. Misalnya, pernyataan Gubernur BI pada tanggal 18 Mei 2004
bahwa jika tekanan inflasi terus-menerus berlangsung, maka akan ada kenaikan suku bunga Sertifikat
Bank Indonesia (rSBI). Akibat dari pernyataan tersebut nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat
menjadi stabil dan harga saham meningkat yang sempat melemah setelah adanya informasi perubahan
kebijakan moneter oleh bank sentral Amerika Serikat (Federal Reserve of the USA).
Setiap perubahan kebijakan bank sentral akan direspons baik oleh perubahan perilaku perbankan
maupun pelaku dunia usaha lainnya. Perubahan perilaku tersebut akhirnya tercermin dalam perubahan
jumlah uang beredar, suku bunga, nilai tukar dan ekspektasi para pelaku ekonomi (Blinder,1998:6).
Perubahan-perubahan tersebut menggambarkan suatu mekanisme yang dalam teori ekonomi moneter
dinamakan mekanisme transmisi kebijakan moneter (MTKM). Karena menyangkut perubahan perilaku dan
ekspektasi masyarakat, maka MTKM merupakan proses yang bersifat kompleks dan sulit diprediksi. Untuk
alasan itu, para ahli ekonomi moneter sering menggambarkan proses transmisi moneter sebagai kotak
hitam yang penuh dengan teka-teki.
Permasalahan mengenai MTKM masih merupakan topik yang menarik dan menjadi perdebatan,
baik di dunia akademis maupun para praktisi di bank sentral. Menariknya MTKM selalu dikaitkan dengan
dua pertanyaan Bernanke dan Blinder (1992) dan Taylor (1995). Pertama, apakah kebijakan moneter dapat
mempengaruhi ekonomi riil di samping pengaruhnya terhadap harga. Kedua, jika jawabannya ya, melalui
mekanisme transmisi apa pengaruh kebijakan moneter terhadap ekonomi riil tersebut terjadi.
Penelitian ini menganalisis efektivitas MTKM melalui jalur nilai tukar. Jalur nilai tukar menjadi
sangat penting bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan perekonomian terbuka (open economy).
Efektivitas kebijakan moneter diukur dengan dua indikator yaitu (1). Berapa besar kecepatan atau tenggat
waktu (time lag) dan (2). Berapa kekuatan variabel-variabel pada masing-masing jalur merespons adanya
perubahan (shock) instrumen kebijakan moneter (rSBI) dan variabel lainnya hingga terwujudnya sasaran
akhir kebijakan moneter. Kedua indikator tersebut diperoleh dari hasil Uji Impulse Response Function dan
Uji Variance Decomposition. Bertolak dari uraian-uraian tersebut, maka peneliti termotivasi untuk pembuat
penelitian dengan judul: Analisis Empiris Efektivitas Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di
Indonesia Melalui Jalur Nilai Tukar Periode 1990:2 2007:1
1.2 Tujuan Penelitian
Mengacu pada latar belakang maka tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dan
membuktikan efektivitas mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar dalam
mewujudkan sasaran akhir kebijakan moneter (inflasi) di Indonesia periode 1990:2-2007:1.
2. Landasan Teori
2. 1 Kebijakan Moneter (Monetary Policy)
Kebijakan moneter adalah semua upaya atau tindakan bank sentral untuk mempengaruhi
perkembangan moneter (uang beredar, suku bunga, kredit dan nilai tukar) untuk mencapai tujuan ekonomi
tertentu (Litteboy and Taylor, 2006: 198) dan Mishkin (2004: 457). Sebagai bagian dari kebijakan
ekonomi makro, maka tujuan kebijakan moneter adalah untuk membantu mencapai sasaran-sasaran
makroekonomi antara lain: pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan kerja, stabilitas harga dan
keseimbangan neraca pembayaran. Keempat sasaran tersebut merupakan tujuan/sasaran akhir kebijakan
moneter (final target).
Idealnya, semua sasaran akhir kebijakan moneter harus dapat dicapai secara bersamaan dan
berkelanjutan. Namun, pengalaman di banyak negara termasuk di Indonesia menunjukkan bahwa hal yang
dimaksud sulit dicapai, bahkan ada kecenderungan bersifat kontradiktif. Misalnya kebijakan moneter yang
kontraktif untuk menekan laju inflasi dapat berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan
penciptaan kesempatan kerja. Pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa perekonomian suatu
negara memburuk karena kebijakan moneternya memiliki tujuan ganda (multiple objectives). Untuk alasan
ini, mayoritas bank sentral termasuk BI memfokuskan tujuan kebijakan moneternya pada sasaran tunggal
(single objective) yaitu mewujudkan dan memelihara kestabilan moneter (Ismail, 2006).
2.2 Kerangka Operasi kebijakan Moneter.
Kerangka operasi kebijakan moneter terdiri dari: instrumen-instrumen moneter, sasaran
operasional dan sasaran antara serta sasaran akhir. Penjelasan tentang kerangka operasi kebijakan dapat
disimak pada uraian berikut:
2.2.1 Instrumen-Instrumen Moneter
Instrumen pengendalian moneter merupakan alat-alat atau media operasi moneter yang dapat
digunakan oleh bank sentral dalam mempengaruhi sasaran operasional dan sasaran akhir yang telah
ditetapkan (Warjiyo, 2005:14) dan (Ascarya, 2002:51). Instrumen-instrumen kebijakan moneter terdiri
dari: (1). Operasi Pasar Terbuka (OPT): operasi bank sentral di pasar keuangan dilakukan dengan cara
menjual dan membeli (lelang) surat-surat berharga, misalnya Surat Berharga Indonesia (SBI). (2).
Tingkat Bunga Diskonto: fasilitas pinjaman jangka pendek dari bank sentral kepada bank-bank komersial
dalam pengendalian likuiditasnya (3). Giro Wajib Minimum (Reserve requirement): giro wajib minimum
yang harus dipelihara bank-bank komersial di bank sentral. Ketiga instrumen tersebut bersifat kuantitatif
atau instrumen moneter kuantitatif (4). Himbauan Moral (moral suation). Instrumen ini bersifat kualitatif
karena hanya berupa himbauan yang sifatnya mengarahkan atau memberikan informasi makro untuk
dijadikan masukan bagi bank-bank umum dalam manajemen aset dan kewajibannya (Ascarya, 2002: 45).
2.1.2.2 Sasaran Operasional (Operational Target)
Sasaran operasional atau sasaran segera yang dicapai dalam operasi moneter. Variabel sasaran
operasional digunakan untuk mengarahkan sasaran antara. Penetapan sasaran operasional tergantung pada
jalur mana yang diyakini efektif dalam transmisi kebijakan moneter. Kriteria sasaran operasional antara
lain: 1. Dipilih dari variabel moneter yang memiliki hubungan yang stabil dengan sasaran antara, 2. Dapat
dikendalikan oleh bank sentral, 3. Tersedia lebih segera dibanding sasaran antara, akurat dan tidak sering
direvisi (Ascarya, 2002: 15).
2.1.2. 3 Sasaran Antara (Intermediate Target)
Hubungan antara sasaran operasional dan sasaran akhir kebijakan moneter bersifat tidak langsung
dan kompleks. Untuk alasan itu, para ahli moneter dan praktisi bank sentral mendesain simple rule untuk
membantu pelaksanaan kebijakan moneter dengan cara menambahkan indikator yang disebut sebagai
sasaran antara. Sasaran antara merupakan indikator untuk menilai kinerja keberhasilan kebijakan moneter,
sasaran ini dipilih dari variabe-variabel yang memiliki keterkaitan stabil dengan inflasi, cakupannya luas,
dapat dikendalikan oleh bank sentral, tersedia relatif cepat, akurat dan tidak sering direvisi, antara lain:
agregat moneter (M1dan M2), kredit perbankan dan nilai tukar (Bofinger, 2001:125).
Secara empiris, besarnya permintaan agregat tidak selalu sama dengan penawaran agregat. Jika
terjadi selisih antara permintaan dan penawaran atau terjadi outpt gap maka akan memberi tekanan
terhadap kenaikan harga-harga (inflasi) dari sisi domestik. Proses ini yang disebut sebagai indirect
exchange rate pass-through. Sementara itu, tekanan inflasi dari sisi luar negeri terjadi melalui pengaruh
langsung perubahan nilai tukar terhadap perkembangan harga barang-barang yang diimpor, proses ini yang
disebut direct exchange rate pass-through.
Domestik
Kredit Bank
INFLASI
Permintaan Output
Ekspektasi Asing Gap
5. Paritas Suku Bunga (PSB). Variabel ini merupakan selisih suku bunga domestik, yaitu rDEPO dengan
tingkat suku bunga luar negeri (SIBOR). Variabel PSB diukur dalam satuan persen. Data PSB
merupakan data triwulan periode tahun 1990:2-2007:1, data tersebut diperoleh dari: SEKI dan Laporan
Tahunan BI serta IFS berbagai edisi penerbitan.
6. Suku bunga SBI (rSBI). Suku bunga SBI adalah tingkat suku bunga yang ditentukan atau dikenakan
oleh BI atas penerbitan SBI, suku bunga SBI tersebut diukur dalam persen. Data rSBI merupakan data
triwulan periode tahun 1990:2-2007:1. Data tersebut diperoleh dari: SEKI dan Laporan Tahunan Bank
Indonesia serta International Financial statistic (IFS) berbagai edisi penerbitan
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data runtun waktu (time series) periode
tahun 1990:2-2007:1. Sementara sumber data untuk penelitian ini adalah sumber sekunder atau data yang
telah dipublikasikan oleh lembaga yang relevan dengan penelitian ini.
3.3 Alat Analisis
Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Vector Auto Regression (VAR).
Model ini mengasumsikan dan memperlakukan semua variabel sebagai variabel endogen. Model ini
mensayratkan adanya beberapa pengujian antara lain: Uji Stasioneritas, Uji Kausalitas Granger, Uji
Kointegrasi dan Penentuan Lag Optimal.
4. Analisis Hasil dan Pembahasan
4.1 Analisis Hasil
4.1.1 Hasil Uji Stasioneritas
Uji kausalitas antar variabel penelitian dimaksudkan untuk mengetahui dan membuktikan arah
hubungan jangka pendek antar variabel (Widarjono, 2007: 244) dan (Hirawan, 2007). Hasil uji kausalitas
antar variabel pada jalur suku nilai tukar dapat dilihat pada Tabel 1.2. Pada tabel tersebut terlihat bahwa
hubungan antara rSBI dengan PSB, rSBI dengan KURS, CAPIN dengan KURS, CAPIN dengan INF dan
PSB dengan CAPIN menunjukkan adanya hubungan Granger cause atau ada hubungan saling
mempengaruhi di antara variabel-variabel tersebut. Sementara itu, rSBI dengan CAPIN, PSB dengan
KURS, INF dengan PSB dan KURS dengan INF merupakan hubungan yang satu arah. Sedangkan hasil Uji
Kausalitas untuk variabel OG dengan PSB, KURS dengan OG dan INF dengan OG serta CAPIN dengan
OG tidak ditemukan adanya hubungan di antara variabel tersebut. Artinya, tidak terdapat saling
Tabel 1.2
RINGKASAN HASIL UJI KAUSALITAS VARIABEL JALUR NILAI TUKAR
1 rSBI PSB Terdapat hubungan kausalitas dua arah dari rSBI ke PSB dan
sebaliknya
2 PSB KURS Terdapat hubungan kausaliats satu arah dari PSB ke KURS
3 rSBI KURS Terdapat hubungan kausalitas dua arah dari rSBI ke KURS
dan sebaliknya
4 KURS CAPIN Terdapat hubungan kausalitas dua arah dari KURS ke CAPIN
dan sebaliknya
5 KURS INF Terdapat hubungan kausalitas satu arah dari KURS ke INF
6 rSBI CAPIN Terdapat hubungan kausalitas satu arah dari rSBI ke CAPIN
7 CAPIN INF Terdapat hubungan kausalitas dua arah dari CAPIN ke INF
dan sebaliknya
8 PSB INF Terdapat hubungan kausalitas satu arah dari PSB ke INF
9 PSB OG Kedua variabel tidak saling berhubungan sama sekali atau no-
direction
10 PSB CAPIN Terdapat hubungan kausalitas dua arah dari PSB ke CAPIN
dan sebaliknya
11 KURS OG Tidak terdapat hubungan kausalitas antara kedua varaibel.
12 OG CAPIN Kedua variabel tidak saling berhubungan sama sekali atau no-
direction
Sumber: Natsir (2008).
4.1.3 Hasil Uji Kointegrasi: Johansen
hubungan jangka panjang. Hal ini senada dengan pendapat Granger dalam Baltagi (2004: 89) menyatakan
bahwa jika variabel-variabel yang diamati memiliki derajat integrasi yang sama, maka variabel-variabel
tersebut telah berkointegrasi atau memiliki hubungan jangka panjang. Tapi untuk lebih meyakinkan
mengenai hal tersebut, maka perlu dilakukan pengujian Kointegrasi dengan menggunakan metode
Johansen. Hasil Uji Kointegasi terhadap variabel-variabel jalur nilai tukar ditampilkan pada Tabel 1.3.
Tabel 1.3
HASIL UJI KOINTEGRASI VARIABEL JALUR NILAI TUKAR
Pada Tabel 1.3 terlihat bahwa semua persamaan dalam model VAR untuk jalur nilai tukar
berkointegrasi pada level 1%. Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel melalui jalur nilai tukar
Lag optimal merupakan jumlah lag yang memberikan pengaruh atau respons yang signifikan. Isu
tentang penentuan panjang lag optimal semakin penting seiring dengan anggapan bahwa pemilihan lag
yang tepat akan menghasilkan residual yang bersifat Gaussian, yaitu residual yang terbebas dari
permasalahan autokorelasi dan heterokedastisitas. Penentuan panjang lag optimal dalam studi ini
menggunakan beberapa krietria informasi antara lain: Likelihood Ratio Test (LR), Final Prediction Error
(FPE), Akaike Information Criterion (AIC) dan Schwarz Criterion (SC) serta Hannan-Quinn (HQ).
Dalam penentuan lag optimal perlu pula diperhatikan adanya trade off bahwa jika lag yang
dipergunakan semakin panjang, maka semakin banyak pula parameter yang harus diestimasi dan semakin
sedikit derajat kebebasannya (degrees of freedom). Peneliti akan menghadapi trade off antara mempunyai
lag yang memadai dan mempunyai derajat bebas yang cukup. Karena, jika jumlah lag terlalu sedikit maka
model akan mispesifikasi, sementara jika lag terlalu banyak maka akan menyedot derajat bebas. Karena itu,
dalam praktik seringkali peneliti menggunakan persamaan model VAR dengan lag yang direkomendasikan
Hasil perhitungan lag optimal yang ditampilkan pada Tabel 1.4 menunjukkan bahwa lag optimal
untuk jalur nilai tukar masing-masing kriteria memiliki nilai referensi lag optimal yang berbeda. Tiga
kriteria yaitu FPE dan AIC serta HQ mereferensikan lag enam sebagai lag optimal. Sedangkan kriteria SC
mereferensikan lag tiga dan kriteria LR mereferensikan lag empat sebagai lag yang optimal. Kriteria SC
merekomendasikan lag dua sebagai lag optimal. Berdasarkan kriteria dan pertimbangan yang dijelaskan
sebelumnya, maka digunakan lag 3 (tiga) sebagai lag optimal untuk jalur nilai tukar.
Tabel 1.4
HASIL PEMILIHAN LAG MODEL VAR JALUR NILAI TUKAR
Dari persamaan 1.1 terlihat bahwa pada lag satu atau satu triwulan sebelumnya (INF(-1)) inflasi
dipengaruhi oleh inflasi sendiri dengan pengaruh positif signifikan dan pada lag dua atau dua triwulan
sebelumnya (INF(-2)) dengan pengaruh positif signifikan. Sementara, pada lag tiga atau tiga triwulan
Pada lag satu atau satu riwulan sebelumnya (rSBI(-1)) inflasi dipengaruhi oleh rSBI dengan
pengaruh positif signifikan. Selanjutnya pada lag dua atau dua triwulan sebelumnya (rSBI(-2)) dengan
pengaruh negatif signifikan. Selanjutnya untuk lag tiga atau tiga triwulan sebelumnya (rSBI(-3)) dengan
pengaruh positif signifikan. Inflasi dipengaruhi oleh nilai tukar pada lag satu atau satu triwulan sebelumnya
(nilai tukar(-1)) dengan pengaruh negatif signifikan dan pada lag dua atau dua triwulan sebelumnya (nilai
tukar(-2)) dengan pengaruh poistif signifikan. Inflasi dipengaruhi oleh CAPIN pada lag dua atau dua
triwulan sebelumnya dengan pengaruh positif signifikan. Sementara, pada lag tiga atau tiga triwulan
sebelumnya (CAPIN(-3)) dengan pengaruh negatif signifikan. Variabel OG tidak berpengaruh signifikan
terhadap inflasi.
Secara individu parameter hasil estimasi pada sistem persamaan model VAR sulit untuk
diinterpretasikan dan tidak memiliki makna khususnya untuk tujuan analisis efektivitas kebijakan moneter.
Untuk alasan itu, para ahli moneter dan praktisi di bank sentral fokus pada impulse response function (IRF)
dan variance decomposition (VD) ( Solikin dkk, 1996) dan (Widarjono, 2007:380).
Analisis efektivitas kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar didasarkan pada hasil Uji IRF
yang terangkum pada Gambar 1.1. Analisis tersebut dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:
Tahap pertama: Panel (a).
Pada tahap ini diuraikan mengenai hubungan antara perubahan instrumen kebijakan moneter
(rSBI) dengan Paritas Suku Bunga (PSB). Gambar 1.1 panel (a) menunjukkan bahwa respon PSB terhadap
perubahan (shock) mengalami penurunan sebesar satu standar deviasi rSBI yang mencapai titik terendah
pada triwulan kedua setelah terjadi shock. Setelah periode tersebut PSB berangsur-angsur bergerak menuju
posisi keseimbangan (konvergen) dan selanjutnya shock rSBI direspon negatif oleh PSB. Panel (a) juga
menunjukkan bahwa diperlukan time lag satu triwulan bagi PSB untuk merespon shock rSBI dan respon
PSB terhadap shock rSBI relatif kuat.
Tahap kedua: panel (b).
Pada tahap ini diuraikan mengenai hubungan antara Paritas Suku Bunga (PSB) dengan CAPIN.
Gambar 1.1 panel (b) menunjukkan bahwa respon CAPIN terhadap shock PSB mengalami peningkatan
satu standar deviasi PSB yang mencapai titik tertinggi pada periode ke lima setelah terjadi shock. Setelah
periode tersebut CAPIN berangsur-angsur bergerak menuju posisi keseimbangan (konvergen) dan
selanjutnya respon CAPIN terhadap shock PSB mengalami penurun (negatif) hingga periode kesepuluh.
Panel (b) juga menunjukkan bahwa diperlukan time lag tiga triwulan bagi CAPIN untuk dapat merespon
perubahan PSB dan respon CAPIN terhadap shock PSB relatif lemah.
Tahap ketiga: (panel c).
Pada tahap ini diuraikan mengenai hubungan antara CAPIN dengan Kurs yang diillustrasikan pada
Gambar 1.1 panel (c). Pada gambar tersebut menunjukkan bahwa respon nilai tukar terhadap shock CAPIN
mengalami peningkatan sebesar satu standar deviasi CAPIN yang mencapai titik tertinggi pada periode ke
lima setelah terjadi shock. Setelah periode tersebut, nilai tukar berangsur-angsur menuju ke posisi
keseimbangan (konvergen). Panel (c) juga menunjukkan bahwa dibutuhkan time lag 3 triwulan bagi nilai
tukar untuk dapat merespon shock CAPIN dan respon nilai tukar terhadap shock CAPIN relatif lemah.
Tahap keempat: Panel (d).
Pada tahap ini diuraikan analisis hubungan antara nilai tukar dengan inflasi (INF) sebagai sasaran
akhir kebijakan moneter. Hubungan ini dikenal sebagai direct pass-through effect yakni hubungan langsung
antara nilai tukar dan inflasi. Dari Gambar 1.1 panel (d) menunjukkan respons INF terhadap shock nilai
tukar mengalami peningkatan satu standar deviasi nilai tukar yang mencapai titik tertinggi pada periode ke
empat setelah terjadi shock.
Setelah triwulan ke empat, INF berangsur-angsur menunju ke posisi keseimbangan dan
selanjutnya mengalami penurunan yang mencapai titik terendah pada periode keenam, kemudian
berangsur-angsur kembali menuju posisi keseimbangan (konvergen). Panel (d) juga menunjukkan bahwa
diperlukan time lag dua triwulan bagi inflasi untuk dapat merespon shock nilai tukar dan respon inflasi
terhadap shock nilai tukar relatif lemah.
Tahap kelima: Panel (e).
Pada tahap ini diuraikan mengenai hubungan antara Kurs dengan OG. Gambar 1.1 panel (e)
menunjukkan bahwa respons OG terhadap shock Kurs mengalami peningkatan satu standar deviasi nilai
tukar yang mencapai titik terendah pada periode kelima hingga periode kesepuluh. Panel (e) juga
mengindikasikan bahwa diperlukan time lag tiga triwulan bagi OG untuk dapat merespons shock nilai tukar
dan respons OG terhadap shock nilai tukar relatif lemah.
Tahap Keenam: Panel (f).
Pada tahap ini diuraikan mengenai hubungan antara inflasi (INF) dengan OG. Gambar 1.1 panel
(f) menunjukkan bahwa respon inflasi sebagai tujuan akhir kebijakan moneter terhadap perubahan (shock)
OG mengalami penurunan satu standar deviasi OG yang mencapai titik terendah periode kelima setelah
terjadi shock. Setelah periode tersebut INF berangsur-angsur menuju posisi keseimbangan dan seterusnya
menurun kembali hingga periode kesepuluh. Panel (f) juga menunjukkan bahwa diperlukan time lag empat
triwulan bagi inflasi untuk merespon shock OG dan respon inflasi terhadap shock OG relatif lemah.
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
Sumber: Sumber: Natsir (2008).
Gambar 1.1
HASIL UJI IRF JALUR NILAI TUKAR
Hasil uji Impulse Rresponse Function (IRF) mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur
jalur nilai tukar yang terangkum pada Gambar 1.1 menunjukkan bahwa mekanisme transmisi kebijakan
moneter melalui jalur nilai tukar membutuhkan tenggat waktu (time lag) atau dengan kecepatan 16 triwulan
himgga tercapainya sasaran akhir kebijakan moneter (inflasi)
Untuk jelasnya mengenai tenggat waktu (time lag) atau kecepatan respons variabel pada jalur
tersebut sejak dari perubahan (shock) instrumen kebijakan moneter (rSBI) hingga terwujudnya sasaran
akhir kebijakan moneter (inflasi) dapat dilihat pada Skema 1.1
1 3
rSBI PSB CAPIN
3
sert 2
KURS Sasaran akhir:
INFLASI
3 Output
Gap
4
Tabel 1.5
HASIL UJI VD INF JALUR NILAI TUKAR
Hasil Uji VD terangkum pada Tabel 1.5 yang menunjukkan bahwa pada periode pertama, variasi
inflasi yang dapat dijelaskan oleh inflasi sendiri adalah sebesar 70,07%. Sementara porsi yang dapat
dijelaskan oleh OG (23,68%) dan PSB (3,52%) serta nilai tukar (0,51%). Selanjutnya pada periode kelima
variasi inflasi yang dapat dijelaskan oleh inflasi sendiri sebesar 4,67%. Sementara yang dijelaskan oleh OG
menurun menjadi sebesar 2,48% dan nilai tukar meningkat menjadi sebesar 17,32% serta PSB meningkat
menjadi sebesar 67,20%. Sampai sepuluh periode mendatang variasi inflasi yang dapat dijelaskan oleh
inflasi sendiri semakin menurun menjadi sebesar 8,79% sementara porsi yang dapat dijelaskan oleh PSB
meningkat menjadi 43,37%, porsi Kurs meningkat menjadi sebesar 19,70% dan OG menurun menjadi
sebesar 1,77%. Hasil ini menyimpulkan bahwa variabel PSB memiliki predictive power atau Granger
causality yang kuat dalam menjelaskan variasi inflasi (43,37%). Sementara predictive power untuk variabel
4.2 Pembahasan
Pada bagian ini dilakukan pembahasan terhadap efektivitas mekanisme transmisi kebijakan
moneter melalui jalur nilai tukar. Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa jalur nilai tukar
berpandangan bahwa perubahan nilai tukar/kurs merupakan variabel yang berpengaruh terhadap
tercapainya sasaran akhir kebijakan moneter, khususnya perekonomian terbuka dengan sistem nilai tukar
mengambang bebas
Apabila bank sentral menjalankan kebijakan moneter yang kontraktif, maka suku bunga nominal
domestik akan meningkat. Jika pada saat yang sama suku bunga asing (SIBOR) tidak berubah, maka
perbedaan antara suku bunga domestik dengan asing (interest rate differential) meningkat, hal ini akan
medorong capital inflow. Akibatnya, nilai tukar mata uang domestik (rupiah) akan terapresiasi yang
selanjutnya menyebabkan kegiatan ekspor akan menurun sebaliknya kegiatan impor meningkat. sehingga
current account dalam neraca pembayaran akan membaik. Akibatnya, permintaan agregat akan menurun
dan selanjutnya berpengaruh terhadap inflasi (Boediono, 1998).
Pembahasan efektivitas kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar didasarkan pada hasil Uji IRF
yang diillustrasikan pada Gambar 1.1 dan hasil Uji VD yang terangkum pada Tabel 1.4. Hasil analisis Uji
IRF menunjukkan bahwa variabel-variabel dalam jalur nilai tukar telah bekerja dalam mentransmisikan
perubahan kebijakan moneter melalui shock instrumen kebijakan (rSBI) hingga tercapainya sasaran akhir
kebijakan moneter dengan kecepatan atau time lag dan kekuatan yang berbeda antara variabel yang satu
dengan variabel lainnya.
Hasil Uji IRF pada Gambar 1.1 menunjukkan bahwa shock instrumen kebijakan (rSBI) direspons
dengan cepat oleh variabel PSB dengan time lag satu triwulan. Cepatnya respon variabel PSB terhadap
shock rSBI menunjukkan bahwa stance kebijakan moneter melalui shock rSBI segera direspons oleh sektor
keuangan/perbankan. Hal ini disebabkan karena terdapat hubungan kausalitas dua arah di antara kedua
variabel, baik dari rSBI ke PSB maupun dari PSB ke rSBI seperti yang disajikan pada Tabel 1.2
Selanjutnya perubahan (shock) PSB direspons secara cepat oleh CAPIN dengan tenggat waktu
(time lag) tiga triwulan dan mencapai titik tertinggi pada triwulan ke lima sesudah terjadinya shock, setelah
periode tersebut respons perubahan CAPIN berangsur-angsur menuju ke posisi keseimbangan (konvergen)
dan pada periode ke delapan perubahan PSB direspons secara negatif oleh CAPIN. Respons negatif CAPIN
terhadap shock PSB menunjukkan bahwa tingginya paritas suku bunga (PSB) tidak mampu mendorong
arus modal masuk (capital inflow), namun sebaliknya terjadi gejala pembalikan (Solikin dkk, 1996) dan
(Nasution, 2004)
Hasil ini merupakan konfirmasi yang baik bahwa kondisi paritas suku bunga (PSB) yang terjadi
Indonesia tidak sesuai dengan yang disyaratkan dalam teori interest rate parity. Hal ini disebabkan karena
tingkat inflasi di Indonesia relatif tinggi dibanding dengan negara lain, misalnya Singapura dan nilai tukar
rupiah mengalami tren depresiasi serta Indonesia masih tergolong sebagai risk country kategori BB
(Maski, 2005).
Hasil studi sejalan dengan penelitian BI menyimpulkan bahwa belum membaiknya persepsi
investor terhadap dunia usaha menyebabkan investor lebih terpokus pada kegiatan-kegiatan finansial yang
bersifat jangka pendek. Struktur aliran modal masuk (capital inflow) lebih banyak terkait dengan investasi
portofolio di pasar finansial. Investasi di sektor riil masih dipandang terlalu berisiko dibandingkan dengan
return yang diekspektasikan dapat diraih dari investasi di sektor finansial (keuangan). Jika kondisi terus
berlangsung, maka sangat mungkin terjadi merenggangnya (decoupling) hubungan antara sektor riil dan
sektor moneter yang selanjutnya akan memperlemah efektivitas kebijakan moneter dalam mewujudkan
tujuan akhirnya.
Perubahan CAPIN direspons oleh nilai tukar dengan time lag tiga triwulan dan mencapai titik
tertinggi pada periode ke lima setelah terjadi shock. Hasil ini menunjukkan bahwa respons nilai tukar
terhadap CAPIN membutuhkan time lag relatif lambat yaitu sekitar tiga triwulan. Di samping itu, respons
Kurs terhadap CAPIN relatif lemah.
Hubungan antara Kurs dengan inflasi dapat terjadi, baik secara langsung (direct passthrough)
maupun tidak langsung (indirect pass-through). Hasil Uji IRF menunjukkan respon inflasi terhadap shock
Kurs dengan time lag dua triwulan dan mencapai titik tertinggi pada periode keempat setelah terjadi
shock. Setelah periode tersebut inflasi berangsur-angsur menuju posisi keseimbangan (konvergen). Granger
causality antara nilai tukar dengan inflasi relatif kuat (Ilyas, 1992).
Sementara itu, hubungan indirect passthrough antar Kurs dengan inflasi terjadi melalui perubahan
OG. Hasil Uji IRF pada Gambar 1.1 menunjukkan bahwa respons OG terhadap shock Kurs mengalami
peningkatan sebesar satu standar deviasi Kurs yang mencapai peningkatan pada periode ke empat setelah
terjadinya shock. Setelah periode tersebut berangsur-angsur menuju titik keseimbangan (konvergen). OG
membutuhkan time lag sekitar tiga triwulan untuk dapat merespons perubahan Kurs.
Hasil Uji IRF juga menunjukkan bahwa lemahnya hubungan antara Kurs dengan OG, lemahnya
hubungan kedua variabel mengindikasikan adanya gejala decoupling, yaitu gejala merenggangnya
hubungan antara variabel di sektor moneter (khususnya nilai tukar) dengan variabel di sektor riil (OG dan
inflasi). Gejala ini dapat dikonfirmasi dengan hasil uji VD yang menunjukkan bahwa Granger causality
antara kedua variabel sangat lemah.
Selanjutnya, hasil uji IRF Pada Gambar 1.1 menunjukkan bahwa respons inflasi terhadap shock
OG dengan time lag sekitar empat triwulan. Respons inflasi terhadap OG mengalami penurunan satu
standar deviasi OG yang mengalami penurunan terendah pada peride triwulan kelima setelah terjadi shock
dan selanjutnya berangsur-angsur menunju ke posisi keseimbangan (konvergen). Hasil ini menunjukkan
bahwa hubungan kedua variabel relatif lemah.
Hasil studi ini relevan dengan penelitian BI yang menemukan bahwa depresiasi rupiah
berpengaruh terhadap menurunnya permintaan domestik. Hal ini disebabkan karena struktur industri di
Indonesia baik yang berbasis ekspor maupun berbasis domestik memiliki kandungan impor yang tinggi
pada komponen produksinya. Selain itu, struktur kredit di Indonesia sebelum krisis moneter memiliki
kontribusi pinjaman luar negeri sekitar 20%. Akibatnya, biaya modal (capital cost) di Indonesia sangat
elastis terhadap perubahan nilai tukar. Dengan adanya depresiasi rupiah menyebabkan biaya produksi
pengusaha di Indonesia meningkat yang selanjutnya menyebabkan pendapatan menurun yang pada
gilirannya menyebabkan permintaan agregat domestik menurun.
Hasil uji VD pada Tabel 1.4 menunjukkan bahwa variasi inflasi yang dapat dijelaskan oleh nilai
tukar adalah sebesar 19,67%. Kontribusi ini lebih kecil dibandingkan dengan variasi inflasi yang dapat
dijelaskan oleh PSB yaitu sebesar 43,37%. Hasil ini menunjukkan bahwa Granger causality dan predictive
power yang tidak kuat antara inflasi dan nilai tukar. Hasil uji VD tersebut berbeda dengan hasil studi
Ramlogan (2005) di empat negara kawasan Karibia yang menyimpulkan bahwa jalur nilai tukar efektif
dalam transmisi kebijakan moneter dari sektor moneter ke sektor riil dan nilai tukar mampu menjelaskan
variabilitas inflasi secara signifikan.
Hasil studi ini berbeda dengan kondisi yang disyaratkan dalam teori purchasing power parity
(PPP) bahwa gejolak nilai tukar berpengaruh terhadap variablitas harga barang-barang yang
diperdagangkan (tradeable) yang selanjutnya berpengaruh terhadap variabilitas inflasi tidak relevan
dengan kondisi perekonomian Indonesia dalam periode studi ini. Hal ini terjadi karena nilai tukar Rupiah
terhadap dolar AS selain dipengaruhi oleh faktor ekonomi juga dipengaruhi oleh faktor non-ekonomi
misalnya faktor sentimen pasar dan gejolak politik. Di samping itu, teori PPP hanya berlaku dalam jangka
panjang (Dornbusch dkk, 2004: 127) dan (MacDonald, 1989: 74) serta (Mankiw, 2003: 206).
Hasil uji IRF dan uji VD relevan dengan hasil uji Kausalitas Granger pada Tabel 1.4 menunjukkan
bahwa tidak ditemukan hubungan atau arah kausalitas antara perubahan variabel OG dan perubahan PSB
dan perubahan OG dan nilai tukar. Hasil ini menunjukkan mengenai rendahnya kemampuan sektor
keuangan untuk meneruskan shock instrumen kebijakan moneter dari sektor moneter ke sektor riil. Artinya,
arah atau signal kebijakan moneter yang dijalankan oleh BI tidak diteruskan/tidak ditransmisikan dengan
baik oleh sektor moneter ke sektor riil.
Implikasi dari hasil tersebut adalah Bank Indonesia harus dapat mengelola dengan baik volatilitas
variabel nilai tukar agar inflasi dapat dikendalikan pada tingkat yang rendah dan stabil. Karena UU No.3
Tahun 2004 tentang BI Pasal 7 Ayat (1) memberi mandat kepada BI untuk menjaga kestabilan nilai rupiah,
stabilitas nilai rupiah dalam kaitannya dengan harga barang-barang dalam negeri (inflasi) maupun stabilitas
nilai rupiah yang dikaitkan dengan mata uang negara asing yaitu nilai tukar rupiah.
5. Kesimpulan dan Saran
5.1 Kesimpulan
Mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar membutuhkan time lag atau
kecepatan sekitar 16 triwulan hingga terwujudnya sasaran akhir kebijakan moneter (inflasi). Respons
variabel-variabel pada jalur nilai tukar terhadap perubahan instrumen moneter (Suku Bunga SBI) relatif
lemah dan variabel utama jalur ini yaitu nilai tukar/kurs hanya mampu menjelaskan variasi inflasi sebesar
19,70% lebih kecil dibandingkan dengan porsi yang dapat dijelaskan oleh Paritas Suku Bunga (PSB) yakni
sebesar 43,27%. Hasil ini menunjukkan Granger causality dan predictive power yang lemah antara Kurs
dan Inflasi.
5.2 Saran
Meskipun studi ini dan penelitian-penelitian terdahulu, misalnya Maski (2005) tidak menemukan
Granger causality kuat antara nilai tukar dan inflasi. Tapi, pada kesempatan ini peneliti menyarankan
kepada BI untuk tetap menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, karena pencapaian stabilitas harga (stabilitas
moneter) hanya dapat dicapai bila terdapat kestabilan nilai tukar/kurs mata uang suatu negara. Secara
teoritis dan empiris ditemukan bahwa baik di negara-negara maju maupun negara berkembang lainnya
ternyata variabel nilai tukar dan inflasi memiliki Granger causality yang signifikan atau hubungan yang
kuat satu sama lain (one-to-one) (Hartawan dkk, 2002) dan (Ramlogan, 2005) serta Majardi ( 2002).
6. DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, Halim, Agung, Juda, Budiman, A dan Affandi, Yoga., 2003. Perubahan Struktural dan
Kebijakan Moneter Pasca Krisis: Retrosfek dan Framework ke Depan. Direktorat Riset Ekonomi
dan Kebijakan Moneter. Jakarta: Bank Indonesia.
Allen, William A., 2000. Some Aspects of Inflation Targeting. Conference on Monetary Policy and
Inflation Targeting in Emerging Countries: Jakarta Indonesia. Juli, 13-14, 2000.
Alexander, William E., Thomas J.T, and Charles, Enoch. 1995. The Adopting of Indirect
Instruments of Monetary Policy, IMF Occasional Paper No. 126, Washington:
International Monetary Fund, pp. 17-47
Arin, KP and Jolly, SP. 2005. Trans-Tasmanian Transmission of Monetary Shock: Evidence From a VAR
Approach. Atlantic Economic Journal. Vol.33. No.10.pp: 267-283
Ascarya, 2002. Instrumen-Instrumen Pengendalian Moneter. Buku Seri Kebanksentralan No.3. Pusat
Pendidikan Dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia
Baltagi, B.H., 2004. Econometrics. Second. Revised Edition. Texas: Springer.
Bernanke, B.S and Blinder, A.S. 1992. The Federal Funds Rate and the Channel Monetary Transmission,
The American Economic Review, Vol. 2, No.12, pp. 90-121. September 1992
Boediono,1998. Merenungkan Kembali Mekanisme Transmisi Moneter Di Indonesia. Buletin
Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol. 1, No. 1. Hal. 3- 26.
Bofinger, Peter., 2001. Monetary Policy: Goal, Institutions, Strategies and Instrument. New
York: Oxford University Press
Dornbusch, Rudiger, Fisher, Stanley, Startz,Richard, 2004. Makro Ekonomi. Edisi Bahasa
Indonesia. Diterjemahkan oleh Yusuf Wibisono dan Roy Indra Mizaruddin. Jakarta:
PT.Media Global Edukasi Indonesia.
Ego, Michael A. 2000. Setting monetary policy instruments in Uganda. Dalam Mahadeva, Lavan and
Sterne, Gabriel (editor). 2000. Monetary Frameworks in a Global Context. Centre for Central
Banking Studies. Bank of England
Hartawan, A., Indratno,H., Handayani, D.E., Idris, R.Z., dan Majardi, P, 2002. Kestabilan Harga
Sebagai Sasaran Kebijakan Moneter. Pengalaman di Sejumlah negara dan Indonesia.
Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia. Jakarta: Bank
Indonesia.
Hirawan, Fajar Bambang,. 2007. Efektifitas Quantum Channel Dalam Mekanisme Transmisi
Kebijakan Moneter: Studi Kasus Indonesia Tahun 1993-2005. Jurnal Ekonomi dan
Pembangunan Indonesia. Vol. VII No.2, hal. 53-73.
Iljas, Achyar. 1992. Suatu Tinjauan Mengenai Penggunaan Nilai Tukar Sebagai Nominal Anchor Dalam
Pengendalian Inflasi Di Indonesia. Makalah yang Disampaikan Pada Sekolah Staf dan
Pimpinan Bank Indonesia (SESPIBI) Angkatan ke XVII.
Ismail, M. 2006. Inflation Targeting dan Tantangan Implementasinya di Indonesia. Jurnal Ekonomi &
Bisnis Indonesia (Journal of Indonesian Economy & Business). Volume 21, No. 2, April 2006.
Hal. 105 121.
Junggun Oh, 1999. Inflation Targeting, Monetary Transmission Mechanism and Policy Rules in Korea,
Economic Paper, Vol.2, No.1, pp. 2- 34, March 1999
Litteboy, Bruce and Taylor, B John. 2006. Macroeconomics. 3RD Edition. Australia: John Wiley
& Sons Ltd.
MacDonald, Ronald., 1989. Floating Exchange Rate: Theory and Evidence. London: Unwin
Hyman.
Mahadeva, Lavan and Sterne, Gabriel (editor). 2000. Monetary Frameworks in a Global Context. Centre
for Central Banking Studies. Bank of England.
Mahadeva and Smidkova. 2000. Modelling the transmission mechanism of monetary policy in the Czech
Republic. Dalam Mahadeva, Lavan and Sterne, Gabriel (editor). 2000. Monetary Frameworks in
a Global Context. Centre for Central Banking Studies. Bank of England.
Majardi, Fajar., 2002. Dampak Pergerakan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Laju Inflasi Di Indonesia.
Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia.
Mankiw, N.G., 2003. Macroeconomic. 5th Edition. New York: Worth Publisher Inc.
Maski, Ghozali, 2005. Studi Efektifitas Jalur-Jalur Transmisi Kebijakan Moneter Dengan Sasaran
Tunggal Inflasi (Pendekatan VAR). Disertasi Program Studi Ilmu Ekonomi Minat Ilmu
Ekonomi & Studi Pembangunan.(Unpublished) Program Pascasarjana Universitas
Brawijaya Malang Jawa Timur
Misaico, ZQ. 2000. Monetary Policy in a dollarised economy The case of Peru. Dalam Monetary
Frameworks in Global Context. Edit by Mahadeva and Sterne. Centre for Central Banking
Studies Bank of England.
Mishkin, F.S, 2004. The Economics of Money, Banking and Financial Markets. Seventh Edition.
International Edition, New York: Pearson Addison Wesley Longman.
Nasution, Anwar. 2004. Prospek Perkembangan Ekonomi dan Arah Kebijakan Moneter
Tahun 2004. Disampaikan Pada Kuliah Umum FE Unhalu Kendari, 30
Desember 2003.
Natsir, M. 2008. Studi Efektivitas Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia melalui
Jalur Suku Bunga, Jalur Nilai Tukar dan Jalur Ekspektasi Inflasi Periode 1990:2-
2007:1. Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya (tidak
dipublikasikan).
Ramlogan, Carlyn. 2005. The Transmission Mechanism of Monetary Policy: Evidence From Caribbean.
Journal of Economic Studies. Vol.17. No.31.pp: 435-447.
Siswanto, B., Kurniati, Y., Gunawan., Binhadi, S.H., 2000. Exchange Rate Channel of Monetary
Transmission in Indonesia. Dalam Perry Warjiyo dan Yuda Agung (editor) Transmission
Mechanism Of Monetary Policy In Indonesia. Directorate of Economic Research and Monetary
Policy Bank Indonesia.
Solikin, Alamsyah, Halim., Widodo, Triono, 1996. Dampak fleksibilitas Nilai Tukar Terhadap
Pengendalian Moneter di Indonesia. Kelompok Perencanaan dan analisis Kebijakan
Moneter. Desk Penelitian dan Pengembanagn Urusan Ekonomi dan Statistik. Jakarta:
Bank Indonesia.
Taylor, J.B. 1995. The Monetary Transmission Mechanism: An Empirical Framework.
Journal of Economic Perspective. Vol.09.Number.04.pp:11-26.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia. Bandung:
Penerbit Citra Umbara.
Warjiyo, Pery. 2005. Ekonomi Moneter dan Perbankan: Teori, Model Empiris dan Kebijakan.
Pascasarjana Universitas Indonesia Program Studi Ilmu Ekonomi. Depok Jakarta
Widarjono, Agus. 2007. Ekonometrika: Teori Dan Aplikasi Untuk Ekonomi Dan Bisnis, Edisi
Kedua. Yogyakarta: Penerbit Ekonisia Fak.Ekonomi UII.