BAB III
STRATIGRAFI
Bachri dan Sukido (1998) pada Peta Geologi Lembar Majene dan Palopo bagian
Mamuju (Ratman dan Atmawinata. 1993) formasi ini disebut Formasi Rio.
Tets : Formasi Toraja; (Tertiary Eocene Toraja Shalel) terdiri dari Serpih
kurang dan 1000 m. Fosil foraminifera besar pada batugamping menunjukkan umur
Formasi Latimojong dan ditindih tidak selaras oleh Batuan Gunungapi Lamasi.
pemalihan lemah - sedang; terdiri atas serpih, filit, rijang, marmer, kuarsit dan
46
47
breksi terkersikkan; diterobos oleh batuan beku menengah sampai basa; di Lembar
Gambar 3.1 Peta Geologi lembar Majene dan Palopo bagian Barat
48
didasarkan pada litostratigrafi tidak resmi yang bersendikan pada ciri litologi,
yang satu dengan batuan yang lain, serta hubungan tektonik batuan, sehingga dapat
metamorf dan batuan sedimen. Berdasarkan litostratografi tidak resmi, maka pada
daerah penelitian dijumpai 3 (tiga) satuan batuan yang diurutkan dari muda ke tua,
yaitu :
1. Satuan batugamping
2. Satuan batulempung
3. Satuan filit
Pembahasan dan uraian dari urutan satuan stratigrafi daerah penelitian dari
Satuan filit merupakan satuan batuan yang tertua pada daerah penelitian.
Pembahasan satuan filit pada daerah penelitian meliputi penjelasan mengenai dasar
batuan pada pengamatan secara megaskopis dan mikroskopis, umur dan lingkungan
penelitian.
49
resmi yang bersandikan pada ciri fisik dan penyebaran yang mendominasi pada
satuan batuan ini secara lateral serta dapat terpetakan dalam peta skala 1:25.000.
Penamaan batuan dari penyusun satuan batuan ini terdiri atas dua cara yaitu
mikroskop polarisasi untuk menentukan jenis dan nama batuan secara lebih rinci
menyusunnya yakni filit, maka satuan batuan ini dinamakan satuan Filit.
atau sekitar 25,75 km2. Satuan ini tersebar secara lateral yang memanjang dari
Timur Laut hingga Tenggara daerah penelitian yaitu pada daerah Bontongan hingga
Litologi yang menyusun satuan ini yaitu filit dan batugamping. Pada daerah
penelitian, secara umum litologi filit dijumpai dalam kondisi segar memperlihatkan
50
ciri fisik berwarna abu-abu kehitaman dan dalam kondisi lapuk berwarna coklat,
mineral yang dapat diamati antara lain kuarsa dan muskovit. Berdasarkan ciri
fisiknya nama batuan ini adalah Filit (Foto 3.1, Foto 3.3, Foto 3.5, Foto 3.7).
seragam antara 0,01 mm 1,2 mm, komposisi mineral terdiri dari mineral kuarsa
(13% - 21%), ortoklas (7% - 14%), biotit (2%-6%), material lempung (57% - 73%),
dan mineral opak (4% - 11%). Berdasarkan hasil analisis petrografis dan dengan
maka batuan ini dinamakan Filit (Foto 3.2, Foto 3.4, Foto 3.6, Foto 3.8).
Foto 3.1 Singkapan Filit pada stasiun 4 daerah Gura difoto ke arah N86E
51
Foto 3.1 Singkapan Filit pada stasiun 4 daerah Gura difoto ke arah N78E
Foto 3.2 Pengamatan petrografi Filit pada stasiun 4 yang memperlihatkan mineral
Kuarsa (2B), Ortoklas (9H), material lempung (6G), dan mineral opak
(3G) difoto dengan perbesaran 50X
Foto 3.3 Singkapan Filit pada stasiun 11 daerah Buttu Tanglah difoto ke arah
N125E
Foto 3.5 Singkapan Filit pada stasiun 23 daerah Matawai difoto ke arah
N170E
Foto 3.7 Singkapan Filit pada stasiun 31 daerah Katangka difoto ke arah
N189E
Foto 3.8 Pengamatan petrografi Filit pada stasiun 31 yang memperlihatkan mineral
Kuarsa (4J), Biotit (6J), material lempung (11D), dan mineral opak (1B)
difoto dengan perbesaran 50X
abu, sedangkan dalam kondisi lapuk berwarna coklat kehitaman. Batugamping ini
54
Berdasarkan ciri fisiknya nama batuan ini adalah Batugamping (Foto 3.3).
AFP/BL/26 secara umum memiliki warna absorbsi coklat, warna interferensi abu-
abu kehitaman, tekstur non klastik, ukuran mineral 0,08 mm 0,42 mm, komposisi
mineral berupa kalsit (13%), material lempung (79%), dan pori (8%). Berdasarkan
hasil analisis petrografis dan dengan melihat karakteristik serta persentase dari
(Dunham, 1962).
metamorfisme tersebut.
AFP/FLT/31 terdiri dari kuarsa, ortoklas, biotit, material lempung, dan mineral
berderajat rendah berupa Fasies Sekis Hijau (Green Schist Facies) yang terbentuk
dengan temperatur berkisar antara 3000C hingga 5000C dan tekanan antara 3000
klasifikasi yang disusun oleh Turner (1960) dalam Graha (1985), sedangkan
Penentuan umur satuan filit didasarkan atas persamaan ciri fisik dan letak
geografis filit di daerah penelitian, dimana filit pada daerah penelitian dalam
kuarsa dan muskovit. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
Satuan filit di daerah penelitian dapat disebandingkan dengan filit anggota dari
Formasi Latimojong ( Kls ) oleh Djuri,dkk (1998). Formasi Latimojong terdiri dari
serpih, filit, rijang, marmer, kuarsit dan breksi terkersikkan, juga dijumpai
ditemukan, sedangkan hubungan stratigrafi Satuan filit dengan satuan yang lebih
penjelasan mengenai dasar penamaan, penyebaran dan ketebalan, ciri litologi yang
penelitian.
57
resmi yang bersandikan pada ciri fisik dan penyebaran yang mendominasi pada
satuan batuan ini secara lateral serta dapat terpetakan dalam peta skala 1:25.000.
Penamaan batuan dari penyusun satuan batuan ini terdiri atas dua cara yaitu
menentukan jenis dan nama batuan secara lebih rinci dengan melihat sifat-sifat
batupasir menurut William, Turner, and C. M. Gilbert (1982) dan klasifikasi batuan
Satuan ini menempati luas sekitar 43% dari luas keseluruhan daerah
penelitian atau sekitar 24,05 km2. Satuan ini tersebar pada bagian barat laut hingga
timur dari utara hingga selatan daerah penelitian mulai daerah Tampan, Bontongan,
58
berarah relatif utara barat laut selatan menenggara N176o/21oE (pada stasiun 2).
Ketebalan dari satuan ini pada lokasi penelitian ditentukan berdasarkan hasil
dari perhitungan ketebalan pada penampang geologi A B yang berarah barat daya
timur laut dengan mengukur batas bawah dan batas atas lapisan pada penampang
peta geologi).
abu-abu dan adapula yang berwarna merah, sedangkan dalam kondisi lapuk
berlapis, sortasi baik, kemas tertutup, ukuran butir lempung, dan komposisi kimia
silika. Berdasarkan ciri fisiknya nama batuan ini adalah Batulempung (Foto 3.11).
AFP/BL/19 secara umum memiliki warna absorbsi coklat, warna interferensi abu-
abu, tekstur klastik, mud supported. Komposisi material terdiri dari kuarsa (3%),
dan material lempung (97%). Berdasarkan hasil analisis petrografis dan dengan
memperlihatkan ciri fisik berwarna abu-abu dan adapula yang berwarna merah,
tekstur klastik dengan struktur berlapis, sortasi baik, kemas tertutup, ukuran butir
lempung, dan komposisi kimia karbonatan. Berdasarkan ciri fisiknya nama batuan
nomor sayatan AFP/BL/1 dan AFP/BL/2 secara umum memiliki warna absorbsi
60
coklat, warna interferensi abu-abu, tekstur non klastik, mud supported. Komposisi
material terdiri dari skeletal grain (9% - 14%), material lempung (82% - 84%), dan
pori (4% - 6%). Berdasarkan hasil analisis petrografis dan dengan melihat
ini memiliki tekstur klastik dengan struktur berlapis, sortasi baik, kemas tertutup,
ukuran butir pasir halus, dan komposisi kimia silika. Berdasarkan ciri fisiknya nama
AFP/BL/41 dan AFP/BL/48 secara umum memiliki warna absorbsi coklat, warna
62
ukuran mineral 0,03 mm 0,4 mm. Komposisi mineral terdiri dari kuarsa (44% -
45%), ortoklas (26% - 30%), biotit (4%- 5%), piroksin (7% - 9%), dan mineral
opak (14% - 16%). Berdasarkan hasil analisis petrografis dan dengan melihat
ini memiliki tekstur bioklastik dengan struktur tidak berlapis, komposisi kimia
karbonat, yang tersusun oleh fosil makro dan mineral karbonat. Berdasarkan ciri
fisiknya nama batuan ini adalah Batugamping (Foto 3.21, Foto 3.23).
terdiri dari grain (sekeletel grain) dan mud. Grain berupa foraminifera besar yaitu
papuaensis, Discocyclina javana (78% - 83%) dan mud berupa mikrit (6%- 13%),
sparit (9% - 11%) yang merupakan mineral karbonat berupa kalsit. Berdasarkan
hasil analisis petrografis dan dengan melihat karakteristik serta persentase dari
(Dunham, 1962).
daerah penelitian ditentukan berdasarkan pada ciri-ciri fisik litologi dan posisi
stratigrafi yang bersendikan pada kesebandingan dengan umur relatif batuan secara
fosil foraminifera kecil (fosil mikro), tetapi terlihat pada sayatan petrografis berupa
fosil foraminifera kecil dan fosil foraminifera besar. Fosil mikro pada sayatan
petrografis tidak dapat dideskripsi dengan baik karena bagian tubuh fosil berupa
suture dan septanya tidak terlihat jelas. Berdasarkan hasil tersebut, diinterpretasikan
bahwa hal ini disebabkan penyebaran fosil yang tidak melimpah di daerah
penelitian atau dapat pula terjadi dikarenakan fosil yang sudah terubah menjadi
mineral kalsit sehingga saat dilakukan preparasi mikrofosil, fosil tersebut hancur.
Data lapangan yang mendukung yaitu komposisi kimia batugamping pada daerah
penelitian yaitu karbonatan dan keterdapatan fosil foraminifera besar pada batuan
klasifikasi lingkungan pengendapan oleh Boltovskoy dan Wright (1976) pada fosil
papuaensis, Discocyclina javana, yaitu pada lingkungan inner neritic (shelf) zone
Nummulites gizehensis
Biplanispira inflate
Lepidocyclina papuaensis
Discocyclina javana,
130 - 1000 -
0-30 30 - 100 100 - 130 3000 - 5000 Kedalaman Laut (m)
1000 3000
foraminifera besar (fosil makro) yang terkandung dalam batuan. Pada pengamatan
umur dari satuan batugamping pada daerah penelitian adalah Eosen Awal Eosen
Akhir (Early Eocene Late Eocene) yaitu pada zona Ta - Tb (Tabel 3.2).
68
Tabel 3.2 Penentuan umur Satuan batulempung dengan menggunakan klasifikasi huruf
Foraminifera besar di Indonesia (P. Bauman, 1971)
Early
Early
Late
Late
Recent
T
Ta Tb Tc Tg Th
d LETTER STAGES
e 1-3
e 4-5
f 1-2
f3
Pellatispira orbitoidea
Nummulites gizehensis
Biplanispira inflata
Lepidocyclina papuaensis
Discocyclina javana,
penelitian didasarkan pada ciri fisik, umur, dan kenampakan kontak litologi di
lapangan. Untuk itu hubungan stratigrafi antara satuan batulempung dengan satuan
yang lebih tua yaitu satuan filit adalah tidak selaras, sedangkan dengan satuan
batuan yang lebih muda yaitu satuan batugamping adalah tidak selaras.
penjelasan mengenai dasar penamaan, penyebaran dan ketebalan, ciri litologi yang
resmi yang bersandikan pada ciri fisik dan penyebaran yang mendominasi pada
satuan batuan ini secara lateral serta dapat terpetakan dalam peta skala 1:25.000.
Penamaan batuan dari penyusun satuan batuan ini terdiri atas dua cara yaitu
menentukan jenis dan nama batuan secara lebih rinci dengan melihat sifat-sifat
Batugamping.
penelitian atau sekitar 4,9 km2. Satuan ini tersebar pada bagian barat daya hingga
barat laut daerah penelitian mulai daerah Buttubatu dan Passui. Tidak dijumpai
Ketebalan dari satuan ini pada lokasi penelitian ditentukan berdasarkan hasil
dari perhitungan ketebalan pada penampang geologi A B yang berarah barat daya
timur laut dengan mengukur batas bawah dan batas atas lapisan pada penampang
geologi, sehingga diperoleh ketebalan satuan batugamping sebesar 675 m (lihat peta
geologi).
struktur tidak berlapis, komposisi kimia karbonat, yang tersusun oleh fosil dan
71
mineral karbonat. Berdasarkan ciri fisiknya nama batuan ini adalah Batugamping
(Foto 3.15).
abu-abu, tekstur bioklastik, mud supported, komposisi material terdiri dari grain
(sekeletel grain) dan mud. Grain berupa foraminifera besar yaitu Miogypsina
indonesiensis. dan mud berupa mikrit dan sparit yang merupakan mineral karbonat
daerah penelitian ditentukan berdasarkan pada ciri-ciri fisik litologi dan posisi
stratigrafi yang bersendikan pada kesebandingan dengan umur relatif batuan secara
fosil mikro, namun terlihat pada sayatan petrografis berupa fosil makro. Data
klasifikasi lingkungan pengendapan oleh Boltovskoy dan Wright (1976) pada fosil
Miogypsina indonesiensis, yaitu pada lingkungan inner neritic (shelf) zone atau
Miogypsina indonesiensis
130 - 1000 -
0-30 30 - 100 100 - 130 3000 - 5000 Kedalaman Laut (m)
1000 3000
menggunakan umur relatif berdasarkan posisi stratigrafi dan kandungan fosil yang
yang dijumpai pada pengamatan petrografis, maka umur dari satuan batugamping
pada daerah penelitian adalah Miosen Tengah Miosen Akhir (Middle Miocene -
Tabel 3.4 Penentuan umur Satuan batugamping dengan menggunakan klasifikasi huruf
Foraminifera besar di Indonesia (P. Bauman, 1971)
MIOCENE PLIOSEN
EOSE
OLIGOCENE TO SPECIES
N
RESENT
Early
Early
Late
Late
Recent
T T T T T
Th
a b c d g LETTER STAGES
e 1-3
e 4-5
f 1-2
f3
Miogypsina indonesiensis
74
hanya satu, sehingga fosil ini tidak dapat dijadikan sebagai penentu umur batuan.
Berdasarkan hal tersebut, maka satuan batugamping pada daerah penelitian dapat
penelitian didasarkan pada ciri fisik, umur, dan kenampakan kontak litologi di
lapangan. Untuk itu hubungan stratigrafi antara satuan batugamping dengan satuan