Kaki Diabetik
Kaki Diabetik
PENDAHULUAN
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik yang ditandai
dengan adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek kerja insulin,
atau keduanya. Pada penyandang DM dapat terjadi komplikasi pada semua tingkat sel dan
semua tingkatan anatomik. Manifestasi komplikasi kronik dapat terjadi pada tingkat
mikrovaskular (retinopati diabetik, nefropati diabetik, neuropati diabetik, dan kardiomiopati)
maupun makrovaskular (stroke, penyakit jantung koroner, peripheral vascular disease).
Komplikasi lain dari DM dapat berupa kerentanan berlebih terhadap infeksi akibat mudahnya
terjadi infeksi saluran kemih, tuberkulosis paru, dan infeksi kaki, yang kemudian dapat
berkembang menjadi ulkus/gangren diabetik. 1
Kaki diabetik adalah segala bentuk kelainan yang terjadi pada kaki yang disebabkan
oleh diabetes mellitus. Faktor utama yang mempengaruhi terbentuknya kaki diabetik
merupakan kombinasi neuropati otonom dan neuropati somatik, insufisiensi vaskuler, serta
infeksi. Penderita kaki diabetik yang masuk rumah sakit umumnya disebabkan oleh trauma
kecil yang tidak dirasakan oleh penderita. 2
EPIDEMIOLOGI
Kaki diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang paling ditakuti. Hasil
pengelolaan kaki diabetik sering mengecewakan, baik bagi dokter pengelola maupun
penyandang DM dan keluarganya. Seringkali kaki diabetik berakhir dengan kecacatan dan
kematian. Sampai saat ini, di Indonesia kaki diabetik masih merupakan masalah yang rumit dan
tidak terkelola dengan maksimal, karena selain kurangnya minat untuk mendalami masalah
kaki diabetik, ketidaktahuan masyarakat mengenai kaki diabetik juga masih sangat menyolok.
Sebagai tambahan, masalah biaya pengobatan yang besar yang tidak terjangkau oleh
masyarakat pada umumnya juga menambah peliknya masalah kaki diabetik. 1
Di RSUPN dr. CiptoMangunkusumo, masalah kaki diabetik masih merupakan masalah
besar. Sebagian besar perawatan penyandang DM selalu menyangkut kaki diabetik. Angka
kematian dan angka amputasi masih sangat besar, masing-masing 16% dan 25% (data
RSUPNCM tahun 2003). Nasib para penyandang DM pasca amputasi pun masih sangat buruk.
Sebanyak 14,3% akan meninggal dalam setahun pasca amputasi, dan sebanyak 37% akan
meninggal 3 tahun pasca amputasi. 1
ETIOLOGI
Ada banyak faktor yang berpengaruh dalam terjadinya kaki diabetik. Secara umum
faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi: 2
Faktor predisposisi
Faktor yang mempengaruhi daya tahan jaringan terhadap trauma seperti kelainan
makrovaskuler dan mikrovaskuler, jenis kelamin, merokok, dan neuropati otonom.
Faktor yang meningkatkan kemungkinan terkena trauma seperti neuropati motorik,
neuropati sensorik, limited joint mobility, dan komplikasi DM yang lain (seperti mata
kabur).
Faktor presipitasi
Perlukaan di kulit (jamur).
Trauma.
Tekanan berkepanjangan pada tumit saat berbaring lama.
Faktor yang memperlambat penyembuhan luka
Derajat luka.
Perawatan luka.
Pengendalian kadar gula darah.
PATOFISIOLOGI
KLASIFIKASI
A. Klasifikasi Edmonds (Kings College Hospital, London, 2004-2005) 1
Stage 1: Normal Foot
Stage 2: High Risk Foot
Stage 3: Ulcerated Foot
Stage 4: Infected Foot
Stage 5: Necrotic Foot
Stage 6: Unsalvable Foot.
B. Klasifikasi Liverpool 1
Klasifikasi primer:
Vaskular
Neuropati
Neuroiskemik
Klasifikasi sekunder:
Tukak sederhana, tanpa komplikasi
Tukak dengan komplikasi.
C. Klasifikasi Wagner 1
Wagner 0: Kulit intak/utuh
Wagner 1: Tukak superfisial
Wagner 2: Tukak dalam (sampai tendo, tulang)
Wagner 3: Tukak dalam dengan infeksi
Wagner 4: Tukak dengan gangren terlokalisasi
Wagner 5: Tukak dengan gangren luas seluruh kaki.
D. Klasifikasi Texas 1
Tingkat
Stadium
0 1 2 3
Luka superfisial,
Tanpa tukak atau Luka sampai
tidak sampai Luka sampai
A pasca tukak, tendon atau
tendon atau tulang/sendi
kulit intak/utuh kapsul sendi
kapsul sendi
B ----------------------------Dengan Infeksi----------------------------
---------------------------Dengan Iskemia---------------------------
C
PENATALAKSANAAN
A. Pencegahan Primer
Pencegahan primer meliputi pencegahan terjadinya kaki diabetik dan terjadinya ulkus,
bertujuan untuk mencegah timbulnya perlukaan pada kulit. Pencegahan primer ini juga
merupakan suatu upaya edukasi kepada para penyandang DM baik yang belum terkena kaki
diabetik, maupun penderita kaki diabetik untuk mencegah timbulnya luka lain pada kulit.
Keadaan kaki penyandang DM digolongkan berdasarkna risiko terjadinya dan risiko
besarnya masalah yang mungkin timbul. Penggolongan kaki diabetik berdasarkan risiko
terjadinya masalah (Frykberg) yaitu: 1
1) Sensasi normal tanpa deformitas
2) Sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar tinggi
3) Insensitivitas tanpa deformitas
4) Iskemia tanpa deformitas
5) Kombinasi/complicated
a) Kombinasi insensitivitas, iskemia, dan/atau deformitas
b) Riwayat adanya tukak, deformitas Charcot.
Pengelolaan kaki diabetik terutama ditujukan untuk pencegahan terjadinya tukak,
disesuaikan dengan keadaan risiko kaki. Berbagai usaha pencegahan dilakukan sesuai dengan
tingkat besarnya risiko tersebut. Dengan memberikan alas kaki yang baik, berbagai hal terkait
terjadinya ulkus karena faktor mekanik akan dapat dicegah. 1
Penyuluhan diperlukan untuk semua kategori risiko tersebut. Untuk kaki yang insensitif,
alas kaki perlu diperhatikan benar, untuk melindungi kaki yang insensitif tersebut. Jika sudah
ada deformitas, perlu perhatian khusus mengenai alas kaki yang dipakai, untuk meratakan
penyebaran tekanan pada kaki. Untuk kasus dengan permasalahan vaskular, latihan kaki perlu
diperhatikan benar untuk memperbaiki vaskularisasi kaki. Untuk ulkus yang complicated, akan
dibahas lebih lanjut pada upaya pencegahan sekunder. 1
B. Pencegahan Sekunder
Dalam pengelolaan kaki diabetik, kerja sama multi-disipliner sangat diperlukan.
Berbagai hal yang harus ditangani dengan baik agar diperoleh hasil pengelolaan yang maksimal
dapat digolongkan sebagai berikut, dan semuanya harus dikelola bersama.
1. Mechanical control (pressure control)
Kaki diabetik terjadi oleh karena adanya perubahan weight-bearing area pada plantar
pedis. Daerah-daerah yang mendapat tekanan lebih besar tersebut akan rentan terhadap
timbulnya luka. Berbagai cara untuk mencapai keadaan weight-bearing dapat dilakukan antara
lain dengan removable cast walker, total contant casting, temporary shoes, felt padding,
crutches, wheelchair, electric carts, maupun cradled insoles. 1
Berbagai cara surgikal juga dapat dipakai untuk mengurangi tekanan pada luka, seperti
dekompresi ulkus/abses dengan insisi abses dan prosedur koreksi bedah (misalnya operasi
untuk hammer toe, metatarsal head resection, Achilles tendon lengthening, dan partial
calcanectomy). 1
2. Wound control
Perawatan luka sejak pertama kali pasien datang merupakan hal yang harus dikerjakan
dengan baik dan teliti. Evaluasi luka harus dikerjakan secermat mungkin. Klasifikasi ulkus
PEDIS dilakukan setelah debridement yang adekuat. Debridement yang baik dan adekuat akan
sangat membantu mengurangi jaringan nekrotik yang harus dikeluarkan tubuh, dengan
demikian akan sangat mengurangi produksi cairan/pus dari ulkus/gangren. 1
Berbagai terapi topical dapat dimanfaatkan untuk mengurangi mikroba pada luka,
seperti cairan salin sebagai pembersih luka, atau iodine encer, senyawa perak sebagai bagian
dari dressing, dll. Demikian pula berbagai cara debridement non surgikal dapat dimanfaatkan
untuk mempercepat pembersihan jaringan nekrotik luka, seperti preparat enzim. 1
Selama proses inflamasi masih ada, proses penyembuhan luka tidak akan beranjak pada
proses selanjutnya, yaitu proses granulasi dan epitelisasi. Untuk menjaga suasana kondusif bagi
kesembuhan luka, dapat pula dipakai kasa yang dibasahi dengan salin. Cara tersebut saat ini
umum dipakai di berbagai tempat perawatan kaki diabetik. 1
3. Microbiological control (infection control)
Data mengenai pola kuman perlu diperbaiki secara berkala untuk setiap daerah yang
berbeda. Antibiotik yang dianjurkan harus selalu disesuaikan dengan hasil biakan kuman dan
resistensinya. Sebagai acuan, dari penelitian tahun 2004 di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo,
umumnya didapatkan pola kuman yang polimikrobial, campuran Gram positif dan Gram
negatif serta kuman anaerob untuk luka yang dalam dan berbau. Karena itu untuk lini pertama
pemberian antibiotik harus diberikan antibiotik spektrum luas, mencakup kuman Gram positif
dan negatif (misalnya golongan sefalosporin), dikombinasikan dengan obat yang bermanfaat
terhadap kuman anaerob (misalnya metronidazol). 1
4. Vascular control
Keadaan vaskular yang buruk tentu akan menghambat kesembuhan luka. Berbagai
langkah diagnostik dan terapi dapat dikerjakan sesuai keadaan dan kondisi pasien. Umumnya
kelainan pembuluh darah perifer dapat dikenali melalui berbagai cara sederhana seperti warna
dan suhu kulit, perabaan arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior, arteri poplitea, dan arteri
femoralis, serta pengukuran tekanan darah. Di samping itu, saat ini juga tersedia berbagai
fasilitas mutakhir untuk mengevaluasi keadaan pembuluh darah dengan cara noninvasif
maupun invasif dan semiinvasif, seperti pemeriksaan ankle brachial index, ankle pressure, toe
pressure, TcPO2, dan pemeriksaan echo Doppler serta arteriografi. 1
Setelah dilakukan diagnosis keadaan vaskularnya, dapat dilakukan pengelolaan untuk
kelainan pembuluh darah perifer dari sudut vaskular, yaitu berupa:
PROGNOSIS
Ada tiga faktor yang berperan pada penyembuhan luka dan infeksi pada kaki diabetik.
Faktor pertama adalah angiopati arteriol yang menyebabkan perfusi jaringan kaki kurang baik
hingga mekanisme radang menjadi tidak efektif. Faktor kedua adalah lingkungan gula darah
yang subur untuk perkembangan bakteri patogen; dan faktor ketiga ialah karena adanya pintas
arteriovenosa di subkutis yang terbuka hingga aliran nutrien tidak sampai ke tempat infeksi. 2
Selain ketiga faktor di atas, masih banyak faktor lain yang ikut berpengaruh dalam
terbentuknya kaki diabetik. Waspadji menyatakan bahwa faktor pendidikan, sosioekonomi, dan
gizi juga punya andil cukup besar. Pendidikan dan sosioekonomi yang rendah terkait dengan
pengetahuan yang kurang mengenai diabetes mellitus dan pencegahan komplikasinya serta
kemampuan finansial akan mempengaruhi pengelolaan diabetes mellitus yang dideritanya.
Status gizi yang rendah memiliki keterkaitan dengan rendahnya respon imun sehingga
mempermudah terjadinya infeksi. 2
Adapun prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam pemantauan penyakit diabetes
mellitus secara berkepanjangan antara lain: 6
Pemantauan kadar glukosa darah secara berfrekuensi (sebaiknya dapat dilakukan oleh
pasien secara mandiri)
Pemeriksaan kadar HbA1c (2-4 kali/tahun)
Edukasi pasien mengenai manajemen diabetes mellitus (setiap tahun)
Edukasi dan terapi gizi medis (setiap tahun)
Pemeriksaan mata (setiap tahun)
Pemeriksaan kaki (1-2 kali/tahun di dokter, dan setiap hari oleh pasien sendiri)
Tes saring untuk nefropati diabetik (urinalisis setiap tahun)
Pengukuran tekanan darah (setiap tiga bulan)
Pemeriksaan profil lipid dan kreatinin serum (setiap tahun)
Imunisasi influenza/pneumococcus
Pertimbangkan terapi antiplatelet.
DAFTAR PUSTAKA
1. Waspadji S. Kaki Diabetes. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al (eds). Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI, 2007: h. 1911-4.
2. Soetjahjo A. Peranan Neuropati Diabetik. Dalam: Majalah Kedokteran Andalas Vol. 22 No.
1. Juni 1998, h. 2-10.
3. Shahab A. Komplikasi Kronik DM Penyakit Jantung Koroner. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, et al (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta:
FKUI, 2007: h. 1894-7.
4. Schteingart DE. Pankreas: Metabolisme Glukosa dan Diabetes Mellitus. Dalam: Price SA
& Wilson LM (eds). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume
2. Jakarta: EGC, 2006: h. 1259-74.
5. Rowe, W.L. Diabetic ulcers [online].2011, April 01[citied on 2011, April 24]. Available
from : http://emedicine.medscape.com/.
6. Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, et al. Harrisons Manual of Medicine 17th Edition.
New York: McGraw-Hill, 2009: h. 942-7.
7. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus
Tipe 2 di Indonesia. Dalam: IPDs CIM: Compendium of Indonesian Medicine, 1st Edition.
Jakarta: IDI, 2009: 13-40.