Anda di halaman 1dari 30

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kesehatan merupakan aset yang berharga dalam kehidupan setiap

manusia. Seseorang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti bekerja,

bergaul, beraktivitas, dan lain-lain dengan kesehatan yang baik. Kesehatan

secara global dibagi menjadi dua, yaitu kesehatan jiwa dan fisik. Namun

dalam kehidupan sehar-hari, kesehatan fisik menjadi hal yang paling sering

diperhatikan dibandingkan kesehatan jiwa, padahal kesehatan jiwa ini

memiliki dampak yang lebih besar daripada kesehatan fisik. Akibatnya

banyak orang yang mengalami masalah pada kesehatan jiwa malu untuk

berobat. Biasanya orang yang mengalami gangguan kesehatan jiwa akan

berobat ketika keadaannya sudah agak parah karena masih dianggap sebagai

masalah yang tabu untuk dibicarakan.

Salah satu masalah dalam kesehatan jiwa yang paling sering ditemui

kejadiannya adalah skizofrenia. Skizofrenia merupakan penyakit psikiatrik

kronik pada pikiran manusia yang dapat mempengaruhi seseorang sehingga

mengganggu hubungan interpersonal dan kemampuan untuk menjalani

hidup sosial (Crimson dkk, 2008). Skizofrenia ini merupakan tingkatan

tertinggi dalam masalah kesehatan jiwa. Banyak hal yang tidak disadari

tentang penyakit ini pada masyarakat Indonesia, sehingga ketika ada

seorang dengan penyakit ini justru dikucilkan bahkan sampai


2

dipasung.Prevalensi pasien skizofrenia di dunia adalah sekitar 0,2 2% dari

total populasi (Ikawati, 2011). Menurut data Riskesdas tahun 2013, di

Yogyakarta, prevalensi gangguan jiwa berat yang terjadi adalah sebesar

27% dan ini merupakan prevalensi tertinggi di Indonesia (Riskesdas, 2013)

Terapi pada skizofrenia dibagi menjadi dua, yaitu farmakologi dan

non farmakologi. Untuk terapi non farmakologi bisa dilakukan dengan

memberikan ketrampilan agar meningkatkan fungsi adaptif dari orang yang

mempunyai skizofrenia. Terapi farmakologi bisa dilakukan dengan

pemberian obat antipsikotik. Selain pengobatan di atas, keluarga dekat juga

harus diberikan pengetahuan bagaimana cara menangani orang dengan

skizofrenia agar skizofrenianya dapat terkontrol dan orang tersebut dapat

kembali bergaul dengan masyarakat.

Pada terapi skizofrenia, obat yang digunakan adalah obat

antipsikotik yang berefek pada perubahan neurotransmitter dopamin di otak.

Obat-obat antipsikotik untuk terapi lini pertama pada pengobatan

skizofrenia adalah obat-obat antipsikotik atipikal, seperti risperidon,

ziprasidon, aripirazol. Sedangkan obat-obat antipsikotik tipikal digunakan

jika terapi dengan obat-obat antipsikotik atipikal tidak menunjukkan hasil

yang diharapkan atau kurang cukup memberikan efek terapi yang

diinginkan. Obat-obat antipsikotik atipikal dipilih menjadi terapi lini

pertama karena pertimbangan risiko efek samping yang ditimbulkan, yaitu

gejala ekstrapiramidal. Pada obat antipsikotik atipikal, risiko terjadinya

ekstrapiramidal lebih sedikit daripada dengan obat antipsikotik tipikal.


3

Efek samping ekstrapiramidal diduga menjadi salah satu penyebab

ketidakpatuhan pasien dalam pengobatan skizofrenia (Wijono dkk., 2013).

Akibatnya pasien menjadi sering kambuh dan pengobatan akan menjadi

lebih lama bahkan bisa seumur hidup. Untuk mengatasi efek samping

ekstrapiramidal yang ditimbulkan, biasanya dokter akan memberikan terapi

profilaksis. Pemberian obat yang paling sering diresepkan adalah

triheksifenidil atau yang biasa disingkat THP. Ada banyak faktor yang

berpengaruh dalam menentukan penggunaan THP, diantaranya usia, jenis

kelamin, tipe obat antipsikotik, dan riwayat efek ekstrapiramidal

sebelumnya. Penggunaan THP sebagai terapi tambahan pada skizofrenia

menurut penelitian Wijono (2013) di Poliklinik Jiwa Dewasa Rumah Sakit

Cipto Mangunkusumo tahun 2010 persentasenya sebesar 44,99%.

Studi tentang pola penggunaan THP pada pengobatan skizofrenia

belum banyak dilakukan. Penelitian ini digunakan untuk melihat pola

penggunaan THP pada pengobatan skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa

Grhasia.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana gambaran karakteristik pasien skizofrenia yang menerima

triheksifenidil di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Grhasia

Yogyakarta tahun 2014?


4

2. Bagaimana pola penggunaan dan peresepan triheksifenidil pada pasien

skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Grhasia

Yogyakarta tahun 2014?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui gambaran karakteristik pasien skizofrenia yang menerima

triheksifenidil di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Grhasia

Yogyakarta tahun 2014

2. Mengetahui pola penggunaan dan peresepan triheksifenidil pada pasien

skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Grhasia

Yogyakarta tahun 2014

D. Manfaat Penelitian

1. Dapat digunakan sebagai informasi tentang penggunaan triheksifenidil

sebagai terapi tambahan untuk gejala ekstrapiramidal pada pasien

skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Grhasia

Yogyakarta.

2. Bagi peneliti, menambah wawasan dan pengalaman dalam penelitian.

3. Bagi peneliti selanjutnya, sebagai studi pendahuluan dan referensi untuk

penelitian selanjutnya.

E. Tinjauan Pustaka

1. Skizofrenia
5

a. Definisi Skizofrenia

Skizofrenia merupakan penyakit psikiatrik yang paling

kompleks dan menantang. Skizofrenia menggambarkan sindrom

beragam tentang pikiran yang tidak terorganisir dan aneh, delusi,

halusinasi, dan fungsi sosial yang terganggu (Crimson dkk., 2008).

b. Etiologi Skizofrenia

Skizofrenia adalah penyakit kompleks yang tidak memiliki

penyebab tunggal. Tidak seperti kebanyakan penyakit kompleks

lainnya, skizofrenia tidak diketahui mekanisme patogenetik yang

menghubungkan antar faktor risiko terhadap penyakit. Sehingga

tidak diketahui secara pasti penyebab skizofrenia (Stefan dkk.,

2007).

Beberapa teori dikemukakan tentang patogenesis terjadinya

skizofrenia. Teori tersebut dikenal dengan hipotesis dopamin,

hipotesis neurodevelopmental, hipotesis glutamatergik, hipotesis

serotonin, dan genetik

1) Hipotesis dopamin

Hipotesis dopamin merupakan hipotesis yang paling awal

dan paling banyak diteliti. Dopamin merupakan neurotransmitter di

otak. Saat ini telah ditemukan lima macam reseptor dopamine, yaitu

reseptor D1, D2, D3, D4, da D5. Kelima reseptor dopamin ini

dikelompokkan menjadi dua famili, yakni famili D1 yang terdiri dari

reseptor D1 dan D5 serta famili D2 yang meliputi reseptor D2, D3, da


6

D4. Famili D1 pada transduksi sinyalnya berkaitan dengan protein

Gs sedangkan famili D2 bekaitan dengan protein Gi. Reseptor

dopamin yang lebih berperan pada penyakit skizofrenia adalah

reseptor D2 (Ikawati, 2011).

Gejala skizofrenia diduga muncul karena neurotransmitter

dopaminergik yang berlebihan di mesolimbik otak. Pada hipotesis

ini diduga bahwa gejala skizofrenia muncul karena neurotransmiter

dopaminergik yang berlebihan di mesolimbic otak. Up-regulation

dari reseptor dopamin D2 di caudatus berkaitan dengan risiko

terjadinya skizofrenia. Tingginya densitas reseptor dopamine D2 di

caudatus dihubungkan dengan kemunduran kognitif pada

skizofrenia (Hirvonen dkk., 2005). Hal ini didukung dengan

penelitian bahwa ketika seseorang dengan skizofrenia diterapi

dengan obat antipsikotik, terdapat penurunan neurotransmisi

dopaminergik di otak dan pasien menunjukkan fungsionalitas yang

lebih baik pada level perseptual dan gejala positif yang lebih sedikit

(El Missiry dkk., 2011).

2) Hipotesis neurodevelopmental

Pada hipotesis ini dinyatakan bahwa terdapat kerusakan pada

otak di masa-masa dalam kandungan yang mempengaruhi

perkembangan otak dan menyebabkan abnormalitas pada saat

dewasa. Infeksi ibu hamil selama kehamilannya terutama pada

trimester dua atau komplikasi pada perinatal/postnatal juga


7

mempunyai korelasi positif dengan kejadian skizofrenia. Seorang

anak yang mengalami infeksi sistem saraf pusat atau kondisi

hipoksia selama kelahirannya mempunyai resiko lima kali lebih

besar terserang gangguan psikosis termasuk skizofrenia (Dean dkk.,

2005).

3) Hipotesis Glutamatergik

Sistem glutamatergik merupakan salah satu sistem

neurotransmitter yang paling banyak tersebar di otak. Perubahan

pada fungsinya, baik hipoaktivitas maupun hiperaktivitas, dapat

mengakibatkan toksisitas di otak. Defisiensi glutamatergik

menghasilkan gejala yang sama seperti pada hiperaktivitas

dopaminergik dan kemungkinan sama seperti skizofrenia (Jones,

2006).

4) Hipotesis Serotonin

Pelepasan dopamin berkaitan dengan fungsi serotonin.

Penurunan aktivitas serotonin berkaitan dengan peningkatan

aktivitas dopamin. Bukti yang mendukung peran potensial serotonin

dalam memperantarai efek antipsikotik obat datang dari interaksi

anatomi dan fungsional dopamin dan serotonin. Studi anatomi dan

elektrofisiologi menunjukkan bahwa saraf serotonergik dari dorsal

dan median raphe nuclei terproyeksikan ke badan-badan sel

dopaminergik dalam Ventral Tegmental Area (VTA) dan Substansia

Nigra (SN) dari otak tengah. Saraf serotonergik dilaporkan berujung


8

langsung pada sel-sel dopaminergik dan memberikan pengaruh

penghambatan pada aktivitas dopamin di jalur mesolimbik dan

nigrostriatal melalui reseptor 5-HT2A (Ikawati, 2011).

5) Genetik

Faktor genetik diduga berpengaruh pada penyakit ini. Risiko

skizofrenia pada populasi berkisar antara 0,6 - 1,9%, tetapi risiko

menjadi lebih tinggi sebesar pada pasien yang mempunyai riwayat

skizofrenia dalam keluarganya. Jika kedua orang tua mempunyai

skizofrenia, risiko anaknya akan terkena skizofrenia adalah sebesar

40% (Nieratschker, 2010).

Beberapa tahun terakhir telah diteliti tentang polimorfisme

gen-gen yang berkontribusi terhadap timbulnya skizofrenia.

Beberapa polimorfisme yang diduga meningkatkan risiko penyakit

ini adalah COMT (cathecol O methyl transferase) gene, disrupted-

in-schizophrenia 1 gene (DISC1), DTNBP1 (dystrobrevin binding

protein 1) gene, NRG1 SNP1 &2 (neuregulin-1 single nucleotide

polymorphism 1&2) gene.

Polimorfisme fungsional umum gen COMT yang secara

nyata mempengaruhi aktivitas enzim diketahui memengaruhi

kognisi dan korteks prefrontal pada manusia. Polimorfisme gen ini

diduga sedikit meningkatkan risiko skizofrenia melalui efek pada

proses informasi prefrontal yang termediasi dopamin (Fan dkk.,

2005). Adanya SNiPs (single nucleotide polymorphism) pada


9

DISC1 berkaitan dengan munculnya skizofrenia dan gangguan

skizoafective karena adanya gangguan pada fungsi kognitif

(Ishizuka dkk., 2006). Polimorfisme gen DTNBP1 pada p 1635

(terletak pada intron 4), mempengaruhi kejadian skizofrenia. Allel

A pada p1635 meningkatkan resiko terjadinya skizofrenia,

sementara allel G menurunkan resiko skizofrenia (Galehdari dkk.,

2010). Pada polimorfisme gen NRG1 SNP1 mempunyai

kecenderungan dengan skizofrenia (Vilella dkk., 2008).

c. Gejala

Gejala-gejala skizofrenia terentang dari mulai yang ringan hingga

yang berat. Pada umumnya, gejala pada skizofrenia dibagi menjadi tiga

kelompok,yaitu : gejala positif, gejala negatif, dan gejala kognitif.

Gejala positif adalah penyimpangan dari pemikiran dan fungsi yang

normal. Gejala-gejala tersebut masuk dalam perilaku psikotik. Orang-

orang dengan gejala ini kadang-kadang tidak mampu untuk

membedakan mana yang nyata dan yang tidak.Gejala negatif mengacu

kepada kesulitan untuk mengeskpresikan emosi dan berfungsi secara

normal. Saat seseorang dengan skizofrenia mengalami gejala negatif,

gejalanya mirip depresi. Gejala kognitif tidak mudah untuk dilihat,

akan tetapi hal ini dapat mempersulit orang tersebut untuk mendapatkan

pekerjaan atau merawat dirinya sendiri (Anonim, 2009).


10

Tabel I. Gejala Skizofrenia (Crimson dkk., 2008)

Gejala Positif Gejala Negatif Gejala Kognitif


Curiga Perasaan menjadi Gangguan ingatan
tumpul
Delusi Alogia Gangguan perhatian
Halusinasi Anhedonia` Gangguan fungsi
Bicara tidak teratur Avoilition melakukan sesuatu

d. Klasifikasi

Skizofrenia dapat dibedakan menjadi beberapa tipe menurut PPDGJ

III tahun1993, yaitu :

1) Skizofrenia paranoid (F 20.0)

Skizofrenia tipe paranoid merupakan tipe skizofrenia yang

paling sering ditemukan.

a) Memenuhi kriteria skizofrenia

b) Halusinasi dan/ waham harus menonjol : halusinasi auditori

yang memberi perintah atau auditorik yang berbentuk tidak

verbal; halusinasi pembauan atau pengecapan rasa bersifat

seksual; waham dikendalikan, dipengaruhi, pasif atau keyakinan

dikejar-kejar

c) Gangguan afektif, dorongan kehendak, dan pembicaraan serta

gejala katatonik relatif tidak ada.

2) Skizofrenia hebefrenik (F 20.1)

a) Memenuhi kriteria skizofrenia

b) Pada usia remaja dan dewasa muda (15 25 tahun)


11

c) Kepribadian premorbid : pemalu, senang menyendiri

d) Gejala bertahan 2 3 minggu

e) Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan

proses pikir umumnya menonjol. Perilaku tanpa tujuan dan

tanpa maksud. Preokupasi dangkal dan dibuat-buat terhadap

agama, filsafat, dan tema abstrak.

f) Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat

diramalkan, mannerism, cenderung senang menyendiri, perilaku

hampa tanpa tujuan, dan hampa perasaan

g) Afek dangkal dan tidak wajar, cekikikan, puas diri, senyum

sendiri, atau sikap tinggi hati, tertawa menyeringai, mengibuli

secara bersenda gurau, keluhan hipokondriakal, ungkapan kata

diulang-ulang

h) Proses pikir disorganisasi, pembicaraan tak menentu, inkoheren.

3) Skizofrenia katatonik (F 20.2)

a) Memenuhi kriteria diagnosis skizofrenia

b) Stupor (amt berkurang reaktivitas terhadap lingkungan, gerakan,

atau aktivitas spontan) atau mutisme

c) Gaduh-gelisah (tampak aktivitas motoric tak bertujuan tanpa

stimuli eksternal)

d) Menampilkan posisi tubuh tertentu yang aneh dan tidak wajar

serta mempertahankan posisi tersebut


12

e) Negativisme (perlawanan terhadap perintah atau melakukan ke

arah yang berlawanan dari perintah)

f) Rigiditas (kaku)

g) Fleksibilitas cerea (waxy flexibility) yaitu mempertahankan

posisi tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar

h) Command automatism (patuh otomatis dari perintah) dan

pengulangan kata-kata serta kalimat

i) Diagnosis katatonik dapat tertunda jika diagnosis skizofrenia

belum tegak karena pasien yang tidak komunikatif.

4) Skizofrenia tak terinci atau undifferentiated (F 20.3)

a) Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia

b) Tidak paranoid, hebefrenik, katatonik

c) Tidak memenuhi skizofrenia residual atau depresi pasca-

skizofrenia.

5) Skizofrenia pasca-skizofrenia (F 20.4)

a) Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia selama 12 bulan

terakhir ini

b) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi

mendominasi gambaran klinisnya)

c) Gejala-gejala depresih menonjol dan mengganggu, memenuhi

paling sedikit kriteria untuk episode depresif (F 32.-) dan telah

ada dalam kurun waktu paling sedikit dua minggu.


13

Apabila pasien tidak menunjukkan lagi gejala skizofrenia, diagnosis

menjadi episode depresif (F 32.-). Bila gejala skizofrenia masih jelas

dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtype

skizofrenia yang sesuai (F 20.0 F 20.3).

6) Skizofrenia residual (F 20.5)

a) Gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol, misalnya

perlambatan psikomotorik, aktivitas yang menurun, afek yang

menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam

kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non verbal yang

buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara

dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk

b) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas dimasa

lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia

c) Sedikitnya sudah melewati kurun waktu satu tahun dimana

intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan

halusinasi yang telah sangat berkurang (minimal) dan telah

timbuk sindrom negatif dari skizofrenia

d) Tidak terdapat dementia atau penyakit/gangguan otak organic

lain, depresi kronis atau isntitusionalisasi yang dapat

menjelaskan disabilitas negatif tersebut.

7) Skizofrenia simpleks (F 20.6)


14

a) Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan

karena tergantung pada pemantapan perkembangan yang

berjalan dan progesif dari :

(1) Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa

didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain

dari episode psikotik

(2) Disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang

bermakna, bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang

mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan

penarikan diri secara social.

b) Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan

subtipe skizofrenia lainnya.

8) Skizofrenia lainnya (F 20.8)

Termasuk skizofrenia chenesthopathic (terdapat suatu perasaan

yang tidak nyaman, tidak enak, tidak sehat pada bagian tubuh

tertentu), gangguan skizofeniform YTI.

9) Skizofrenia tak spesifik (F 20.7)

Merupakan tipe skizofrenia yang tidak dapat diklasifikasikan ke

dalam tipe yang telah disebutkan.

2. Terapi Skizofrenia

Menurut National Institute of Mental Health (2009), Pengobatan pada

skizofrenia didasarkan untuk mengurangi gejala yang muncul karena


15

penyebab pastinya belum diketahui. Pengobatan meliputi terapi dengan

obatdan terapi psikososial.

a. Terapi psikososial. Terapi ini dapat membantu setelah pasien

menemukan obat yang cocok dan obat itu bekerja secara baik. Terapi

psikososial umumnya lebih efektif diberikan pada saat pasien berada

dalam fase perbaikan dibandingkan pada fase akut. Terapi ini membantu

pasien skizofrenia dalam menghadapi permasalahan yang ada sehari-

hari, seperti susahnya berkomunikasi, bekerja, merawat diri,

membentuk dan mempertahankan hubungan. Terapi ini meliputi:

1) Pemberhentian dari narkotik dan alkohol. Penyalahgunaan

narkoba dan alkohol terkadang sering dijumpai pada pasien

skizofrenia

2) Edukasi keluarga. Biasanya setelah pasien skizofrenia menjalani

rawat inap, akan dikembalikan lagi ke keluarganya. Untuk itu perlu

adanya edukasi bagi keluarga tentang skizofrenia. Hal ini akan

membantu dalam pencapaian target terapi untuk pasien dan juga

sarana agar pasien skizofrenia semakin patuh minum obat.

Keterampilan pengelolaan penyakit. Dengan adanya ketrampilan

pengelola penyakit, diharapkan nantinya pasien akan lebih mengerti

tentang penyakitnya dan dapat mencegah kekambuhan.

3) Rehabilitasi. Membantu mendapatkan pekerjaan dan keterampilan

untuk menjalani kehidupan sehari-hari


16

4) Self-help groups. Sesama pasien atau keluarga saling ditemukan

untuk berbagi pengalaman dan juga agar pasien tidak merasa sendiri.

5) Terapi kognitif dan perilaku. Terapi ini menolong pasien yang

gejalanya tidak dapat dikendalikan dengan obat antipsikotik. Terapi

ini dapat mengurangi gejala dan mencegah kekambuhan.

b. Obat antipsikotik

Obat antipsikotik mulai tersedia sejak pertengahan 1950. Tipe awal

yang pertama muncul adalah obat antipsikotik konvensional atau tipikal.

Beberapa contoh obat antipsikotik tipikal yang banyak digunakan

adalah haloperidol, klorpromazin, flufenazin, ferfenazin. Obat-obat

antipsikotik tipikal bekerja memblok reseptor dopamin, khususnya

reseptor D2. Pengeblokan pada reseptor D2 di mesolimbik dapat

mengurangi gejala positif pada skizofrenia.

Obat antipsikotik atipikal atau generasi kedua secara farmakologi

mekanisme aksinya berbeda daripada antipsikotik sebelumnya terutama

dalam hal menurunkan aktivitas dopamin. Obat antipsikotik atipikal

lebih mempunya aktivitas dalam menurunkan neurotransmitter lain,

yaitu serotonin dan norepinefrin. (Miyamoto dkk., 2005). Contoh obat

yang termasuk ke dalam golongan obat antipsikotik atipikal adalah

olanzapine, risperidon, clozapine, quetiapine, dan ziprasidon. Obat

antipsikotik atipikal merupakan lini pertama dalam pengobatan

skizofrenia karena efek samping yang ditimbulkan cenderung lebih

kecil.
17

Gambar 1 merupakan algoritma terapi skizofrenia. Terapi

antipsikotik yang digunakan sebagai lini pertama adalah antipsikotik

atipikal. Antipsikotik tipikal dapat digunakan dalam terapi jika

antipsikotik atipikal memberikan respon parsial atau sama sekali tidak

memberikan respon.

Tahap 1. Episode psikosis yang pertama


Atipsikotik Tunggal
Lebih disaraan antipsikotik golongan kedua
Respon parsial atau tanpa respon

Tahap 2. Antipsikotik generasi pertama


ataupun generasi kedua tunggal selain yang
telah digunakan pada tahap 1

Respon parsial atau tanpa respon

Tahap 3.
Klozapin

Respon parsial atau tanpa respon


Tahap 4.
Klozapin + antipsikotik lain atau terapi
elektrokonvulsif.

Tanpa respon

Tahap 5 .
Antipsikotik tunggal selain yang telah
digunakan pada tahap 1 dan 2

Tahap 6 .
Terapi kombinasi

Gambar 1. Algoritma Terapi Skizofrenia (Crimson dkk., 2008)


18

3. Efek Samping Antipsikotik

Meskipun antipsikotik tergolong efektif untuk terapi skizofrenia, tetapi

mempunyai efek samping yang serius seperti ekstrapiramidal, penambahan

berat badan, efek metabolik, kenaikan prolaktin, dan perpanjangan interval

QTc.

a. Ekstrapiramidal (EPS)

Banyak antipsikotik tipikal mempunyai efek antikolinergik yang

minimal sehingga mempunyai kecenderungan menimbulkan efek

samping ekstrapiramidal. Sedangkan untuk antipsikotik atipikal, efek

antikolinergiknya bervariasi tapi cenderung lebih rendah efeknya dalam

menimbulkan efek samping ekstrapiramidal daripada antipsikotik

tipikal (Pakpoor, 2014).

b. Penambahan berat badan dan efek metabolik

Salah satu efek samping dari penggunaan obat antipsikotik atipikal

adalah penambahan berat badan dan sindrom metabolik. Pasien yang

menerima obat antipsikotik harus secara berkala diukur Body Mass

Index (BMI) dan lingkar pinggang. Antipsikotik atipikal cenderung

meningkatkan kolestrol dan trigliserida dan kenaikan dari trigliserida

berhubungan dengan obesitas dan diabetes (Pakpoor, 2014).

c. Kenaikan prolaktin

Salah satu konsekuensi dari penggunaan antipsikotik yang tidak

selektif adalah pemblokan reseptor D2 pada laktotrof dan akan

mengakibatkan kenaikan prolaktin. Kenaikan prolaktin dalam waktu


19

yang lama akan menyebabkan hiperprolaktinemia dan dapat

menyebabkan ginekomastia, galaktorea, menstruasi yang tidak teratur,

disfungsi seksual, demineralisasi tulang (osteoporosis) (Pakpoor, 2014).

d. Perpanjangan Interval QTc

Obat-obat antipsikotik dapat mempengaruhi ECG dan dianggap

berbuhungan dengan aritmia ventrikuler dan kematian jantung

mendadak (Pakpoor, 2014).

4. Efek Samping Ekstrapiramidal

Efek samping ekstrapiramidal atau yang biasa disebut gejala

ekstrapiramidal merupakan kelainan yang berhubungan dengan pergerakan

diinduksi oleh obat antipsikotik atau obat yang memblok dopamine

(Courey, 2007). Gejala ekstrapiramidal merupakan efek samping yang

pertama kali muncul setelah obat antipsikotik golongan pertama atau tipikal

digunakan. Gejala ekstrapiramidal yang diinduksi oleh antipiskotik terbagi

menjadi sindrom akut dan tardif. Gejala ekstrapiramidal sindrom akut

terjadi dalam hitungan jam atau minggu setelah inisiasi atau penambahan

dosis antipsikotik dan termasuk di dalamnya adalah distonia, akathisia, dan

parkinsonisme. Diskinesia tardif merupakan gejala ekstrapiramidal dengan

onset telambat dan biasanya terjadi setelah penggunaan antipiskotik jangka

panjang (Jesic dkk., 2012).

Antagonisme reseptor dopamine D2 dipercaya berperan tidak hanya

pada efek antipsikotik, tetapi juga menyebabkan gejala esktrapiramidal.


20

Sebanyak 75 80% pengeblokan reseptor dopamine D2 dapat

menyebabkan timbulnya gejala ekstrapiramidal akut. Gejala

ekstrapiramidal muncul pada kurang lebih 90% pasien skizofrenia yang

menggunakan antipsikotik tipikal, seperti pada haloperidol (Jesic dkk.,

2012).

a. Distonia

Merupakan keadaan otot yang tidak normal atau sering disebut

dengan kejang otot. Istilah yang lebih akurat adalah kontraksi otot yang

diperpanjang dengan onset yang cepat biasanya 24 96 jam setelah

pemberian atau peningkatan dosis. Distonia ini merupakan salah satu

penyebab pasien menjadi tidak patuh dalam pengobatan. Distonia yang

diinduksi antipsikotik biasanya terjadi di sekitar tangan, meskipun

terkadang terjadi di beberapa otot. Tanda-tanda yang tampak seperti

kekakuan rahang, tonjolan lidah, kejang faring, disfagia, dan terkadang

sulit bernafas (Jesic dkk., 2012).

Faktor risiko distonia diantaranya adalah penggunaan jenis dan dosis

tinggi antipsikotik, usia muda, laki-laki, retardasi mental, adanya

riwayat distonia, dan penyalahgunaan alkohol. Distonia terkadang bisa

disebabkan karena antiemetik dan beberapa antidepresan. Semua

antipsikotik, tak terkecuali antipsikotik atipikal, dapat memicu distonia.

Durasi distonia dapat diperpanjang ketika digunakan antipsikotik dalam

bentuk depot (Jesic dkk., 2012).


21

Patogenesis distonia masih belum ditemukan, meskipun

berhubungan dengan hipersensitivitas sekunder dari penghambatan

reseptor D2. Ada kemungkinan untuk remisi tiba-tiba, tetapi dalam

banyak kasus, distonia berlanjut hingga bertahun-tahun dan sangat

melelahkan serta mendapatkan stigma buruk (Jesic dkk., 2012).

Untuk mengatasi distonia dapat digunakan antikolinergik intravena

atau intramuskular atau benzodiazepin sebagai terapi pilihan. Terapi

profilaksis untuk distonia tidak direkomendasikan dalam penggunakan

obat antipsikotik tipikal secara rutin, tetapi dapat digunakan pada

antipsikotik tipikal yang mempunyai potensi tinggi (haloperidol,

klorpromazin). Distonia dapat diminimalisasi dengan penggunaan

antispikotik dosis rendah. Obat antipsikotik atipikal mempunyai efek

yang lebih rendah dalam menimbulkan distonia (Crimson dkk., 2008).

b. Akathisia

Akathisia merupakan efek samping antipsikotik yang serius dan

paling banyak terjadi. Akathisia dianggap sebagai gangguan gerakan

yang diinduksi penghambatan reseptor dopamin oleh neuroleptik dan

antiemetilk. Gangguan ini juga dapat disebabkan oleh agen

serotonergik, inhibitor reuptake serotonin, dan kokain (Jesic dkk.,

2012).

Sindrom ini terdiri dari komponen subjektif dan objektif. Tanda-

tanda akathisia pada pasien seperti adanya perasaan gelisah dan

dorongan tak tertahankan untuk bergerak. Kegelisahan khususnya


22

ditandai dengan gerakan seluruh tubuh, tapi terkadang hanya terjadi

pada kaki dengan bentuk mioklonus kaki. Pasien akan melakukan

gerakan menyilangkan kaki, duduk tidak tenang di kursi atau tempat

tidur, melompat, berdiri, dan secepatnya kembali pada posisi

sebelumnya.

Berdasarkan onset yang berhubungan dengan inisiasi atau

penambahan antipsikotik, akathisia dapat dibagi menjadi akut, tardif,

kronik, dan penarikan yang berhubungan dengan penhentian

antipsikotik. Akut terjadi segera setelah inisiasi atau penambahan dosis

antipsikotik dalam kurun waktu dua minggu dan tardif terjadi paling

tidak tiga bulan setelah terapi, tanpa memperhatikan perubahan dalam

antipsikotik. Kronik terjadi setelah lebih dari tiga bulan. Bentuk-bentuk

yang telah disebutkan di atas tidak berbeda signifikan dengan akathisia

akut pada gejala motorik (Jesic dkk., 2012).

Prevalensi bervariasi dari 5 36,8%. Data dari CATIE menunjukkan

akathisia terjadi pada 10 20% pasien yang menerima antipsikotik

atipikal, sedangkan pada pasien yang menerima antipsikotik tipikal

prevalensi berkisar antara 20 52%. Belum ada studi tentang akathisia

terkait usia dan jenis kelamin. Terdapat hubungan antara penggunaan

antipsikotik reseptor D2 dengan dosis (Jesic dkk., 2012).

Saat ini, terdapat dua manajemen terapi untuk mengurangi akathisia,

yaitu modifikasi regimen obat antipsikotik dan/atau penggunaan obat

anti-akathisia. Terapi yang digunakan pada akathisia saat ini adalah -


23

blocker, benzodiazipn, antikolinergik, dan antagonis reseptor serotonin

(Crimson dkk., 2008).

c. Pseudoparkinsonisme

Parkinson yang diinduksi oleh antipsikotik merupakan bentuk

parkinson kedua yang paling banyak diderita oleh pasien berusia lanjut

selain idiopatik parkinson. Interval antara pemberian antipsikotik dan

onset parkinsonisme bervariasi mulai dari hitungan hari hingga

beberapa bulan. Tidak seperti penyakit parkinson, gejala biasanya

bilateral dan simetrikal. Terdapat tiga gejala, yaitu bradikinesia,

kekakuan otot, dan tremor.

Pada pasien yang sudah menerima antipsikotik, prevalensinya

adalah 15% meskipun terdapat kesulitan untuk menentukan secara tepat

karena studi epidemiologi menggolongkannya sebagai bentuk

parkinsonisme atau gangguan gerakan yang diinduksi obat secara umum

(Thanvi dan Treadwell, 2009).

Faktor risiko diantaranya adalah usia, jenis kelamin perempuan, tipe

obat yang digunakan, dosis dan durasi terapi, defisit kognitif, dan onset

awal gejala ekstrapiramidal (Thanvi dan Treadwell, 2009). Mekanisme

patofisiologi berhubungan dengan penghambatan reseptor dopamine D2

dan serotonin 5-HT2A dan affinitas rendah dari antipsikotik tertentu ke

reseptor asetilkolin (Jesic dkk., 2012).

Untuk mengatasi gejala ini, dapat diberikan obat antikolinergik,

seperti triheksifenidil, benztropin, difenhidramin, biperiden. Terapi


24

profilaksis pada gejala ini sebenarnya tidak terlalu direkomendasikan,

sama seperti gejala distonia, terutama untuk obat antipsikotik golongan

kedua atau atipikal. Terapi jangka panjang juga masih kontroversial,

untuk pasien yang gejala parkinsonisme sudah menghilang dapat tidak

digunakan antikolinergik setelah 6 minggu sampai 3 bulan (Crimson

dkk., 2008).

d. Diskinesia Tardif

Diskinesia tardif ditunjukkan dengan adanya pergerakan

choreoathetoid bagian wajah, kaki dan tangan, bagasi, dan otot

pernafasan. Gerakan ditandai dengan adanya kegembiraan yang

menghilang selama tidur. Beberapa pasien tidak sadar dengan adanya

gerakan yang tidak disadari (Haddad dan Dursum, 2008).

Gejala ini dapat dialami oleh semua pasien yang mendapat

antipsikotik. Gejala ini mulai nampak setelah penggunaan antipsikotik

berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Kondisi ini dapat tetap parah ketika

antipsikotik dihentikan atau bahan ireversibel (Jesic dkk., 2012).

Prevalensi terjadinya diskinesia tardif sebesar 5% pada pasien

dewasa yang menerima antipsikotik dan secara kumulatif 25 30% pada

pasien dewasa. Kejadian cenderung lebih rendah pada penggunaan

antipsikotik atipikal. Gejala ini lebih jarang dialami pada pasien yang

menggunakan antipsikotik atipikal berupa klozapin. Insiden tardif

diskinesia bervariasi tergantung pada tipe dan dosis antipsikotik, lama

penggunaan, jenis kelamin, umur pasien, meskipun terdapat pendapat


25

yang mengatakan bahwa pasien akan menderita gejala ini jika diberikan

antipsikotik dalam waktu yang lama. Pasien usia lanjut dan pasien

wanita mempunyai faktor risika yang lebih besar. Faktor risiko juga

termasuk kerusakan otak, demensia, gangguan mood, durasi terapi

antipsikotik, penggunaan terapi antikolinergik antiparkinson, dan

kejadian gejala ekstrapiramidal sebelumnya. Diskinesia tardif secara

patofisiologi terjadi karena sensitivitas yang diinduksi oleh neuroleptik

tergantung dosis pada reseptor D2 di jalur nigrostriatal (Jesic dkk.,

2012).

Saat terjadi diskinesia tardif, pasien dianjurkan untuk menghentikan

obat antipsikotik. Namun banyak pasien yang membutuhkan

antipsikotik sebagai terapi. Pada kasus tersebut, dosis antipsikotik

diturunkan paling minimum atau diganti dengan antipsikotik yang

mempunyai kecenderungan menimbulkan tardif diskinesia terendah,

seperti clozapine atau quetiapin. Penggunaan vitamin E, asam valproat,

asam lemak esensial, dan benzodiazepin juga dapat dipertimbangkan,

tetapi hasilnya tidak terlalu meyakinkan (Haddad dan Dursum, 2008).

e. Algoritma Terapi Gejala Ekstrapiramidal

Gambar 2 menunjukkan algoritma penatalaksanaan gejala

esktrapiramidal. Terapi gejala ekstrapiramidal secara profilaksis

dilakukan jika sudah dilakukan penilaian terhadap kondisi pasien. Tiga

hal yang perlu dilakukan sebelum memulai memutuskan untuk

memberikan terapi gejala ekstrapiramidal adalah mengetahui riwayat


26

gejala ekstrapiramidal sebelumnya, adanya kemungkinan untuk terjadi

gejala ekstrapiramidal jika dilihat dari jenis terapinya, dan adanya sisa

gejala ekstrapiramidal jika sebelumnya sudah terjadi gejala

ekstrapiramidal.

Distonia dapat diterapi dengan pemberian antihistamin

(difenhidramin) secara intramuskular atau antikolinergik (sulfa

atropine) secara parenteral (intramuscular). Selain itu juga dapat

diberikan diazepam injeksi. Obat antikolinergik dapat menghambat

asetilkolin yang dapat memberikan perasaan tenang kepada pasien. Pada

saat kejadian akut, difenhidramin dapat diberkan, meskipun

antihistamin tetapi yang digunakan adalah peran antikolinergiknya.

Antikolinergik yang sering digunakan adalah triheksifenidil.

Triheksifenidil merupakan antagonis reseptor asetilkolin muskarinik.

Dosis triheksifenidil saat awal digunakan adalah 1 mg/hari dan

ditingkatkan 1 mg setiap 3 5 hari dalam periode satu bulan hingga

tercapai 6 mg/hari (Cloud dan Jinnah, 2010).

Strategi pertama dalam penanganan parkinsonisme yang diinduksi

antipsikotik adalah penurunan dosis antipsikotik yang digunakan.

Namun banyak didapati pasien yang penyakitnya justru menjadi

semakin parah ketika dosis antipsikotik diturunkan, sehingga

penambahan obat untuk mengatasi gejala ekstrapiramidal menjadi

alternatif selanjutnya. Parkinsonisme ini dapat diterapi dengan

antihistamin (difenhidramin) dan antikolinergik (triheksifenidil).


27

Seperti pada distonia, dosis triheksifenidil pada saat awal digunakan

adalah 1 mg/hari dan dapat ditingkatkan hingga 6 mg/hari.

Akathisia merupakan gejala ekstrapiramidal yang sulit diterapi.

Sebagaimana parkinsonisme, strategi pertama adalah penurunan dosis

antipsikotik, tetapi cara ini bukanlah yang paling efektif. Strategi

berikutnya adalah penambahan obat untuk mengurangi akatisia, dengan

cara pemberian -blocker merupakan yang paling efektif. Propranolol

dosis 30 120 mg/hari dalam dosis terbagi merupakan terapi yang

direkomendasikan. Strategi selanjutnya jika tidak berhasil adalah

dengan golongan benzodiazepine, tetapi perlu diperhatikan pada adanya

penyalahgunaan dari obat ini. Alternatif terakhir adalah dengan

mengganti antipsikotik.

Aspek utama pada pengendalian diskinesia tardif adalah

penghentian atau penggantian antipsikotik, tetapi dengan penurunan

dosis terlebih dahulu. Antipsikotik diganti dengan atipikal generasi baru

seperti quetiapin dan klozapin. Namun obat-obat tersebut tidak bagus

jika digunakan untuk pengobatan tardif diskinesia jangka panjang.

Kemungkinan besar antipsikotik atipikal dapat menghambat reseptor

D2 dan menyebabkan tardif diskinesia (Waln dan Jankovic, 2013).

Evaluasi perlu dilakukan pada pengobatan gejala ekstrapiramidal.

Evaluasi dilakukan dua minggu setelah penggunaan pada terapi

profilaktik. Obat dapat diturunkan dosisnya jika sudah tidak tampak

adanya gejala ekstrapiramidal.


28

1. Anamnesis : riwayat penggunaan antipsikotik, dosis, dan lamanya


2. Riwayat kondisi medis umum
3. Pemeriksaan fisik dan gejala sindrom ekstrapiramidal (instrumen Skala Penilaian Gejala
Ekstrapiramidal/SPGE)
4. Pemeriksaan Penunjang : Lab, dll

Riwayat EPS sebelumnya


Predisposisi terjadinya EPS
Gejala sisa EPS
Pemberian anti Antipsikotik
EPS atau THP Terjadi EPS
saja
profilaktik

Distonia Parkinsonisme Akatisia Diskinesia Tardif

Turunkan
dosis
Difenhdramin 2 Turunkan
antipsikotik
ml im atau Inj dosis
benzodiazepin antipsikotik
(diazepam 10
mg im) atau Beta bloker :
sulfas atropine propranolol
1-2 ml ampul im 3x10-40
Difenhidra mg/hari per Ganti
min 25 -100 oral atau antipsikotropika.
mg/hari atau klonidin Diskinesia tardif
THP 1-3 x 3x0,1 ringan
Triheksifeni 2mg/hari mg/hari/oral Olanzapine/quetiia
dil 1-3 x 2 pin
mg/hari Diskenisa tardif
Diazepam inj/ berat klozapin
lorazepam oral
Ganti
antipsikotik

Ganti
antipsikotik

1. Lanjutkan pengobatan gejala EPS


2. Turunkan/stop gejala EPS jika selama 14 hari tidak ada gejala

1. Pengobatan EPS EPS muncul kembali Tidak ada EPS Antipsikotik


2. Observasi 3 bulan saja

Gambar 2. Algoritma Penatalaksanaan Gejala Ekstrapiramidal (EPS) di Poliklinik Jiwa


Dewasa RSCM (RSCM, 2007)
29

5. Triheksifenidil

a. Struktur molekul

Gambar 3. Struktur Molekul Triheksifenidil

b. Mekanisme aksi

Mekanisme aksi triheksifenidil dalam mengatasi masalah

ekstrapiramidal adalah dengan pengeblokan aktivitas intrakolinergik

striatal, yang mana relatif meningkat daripada aktivitas dopaminergik

nigrostriatal yang menurun karena pengeblokan oleh antipsikotik.

Pengeblokan aktivitas kolinergik mengubah kembali ke keadaan

semula.

c. Efek samping

Efek samping triheksifenidil dibagi menjadi dua, yaitu perifer dan

pusat. Efek samping perifer terjadi karena adanya pengeblokan pada

parasimpatetik muskarinik. Antikolinergik mengurangi produksi saliva,

keringat, dan sekresi bronkial. Selain itu, antikolinergik juga

berpengaruh pada mata dan jantung. Dilatasi pada pupil dapat

menyebabkan fotofobia dan pandangan kabur. Pada jantung dapat

menyebabkan kenaikan denyut jantung. Pada pusat, gangguan ingatan

merupakan efek samping yang paling sering dijumpai karena ingatan

sangat tergantung dari aktivitas kolinergik.


30

d. Interaksi obat

Efek antikolinergik akan meningkat, termasuk efek sampingnya jika

digunakan bersama dengan amantadine.

e. Penggunaan klinik

Triheksifenidil telah disetujui oleh Food and Drug Administration

(FDA) untuk pengobatan segala bentuk parkinsonisme. Dosis untuk

parkinsonisme biasanya adalah 5 30 mg. Dosis yang lebih tinggi

(sampai 75 mg/hari) digunakan untuk mengatasi distonia (Schartzberg

dkk., 2009).

F. Keterangan Empiris

Penggunaan triheksifenidil pada pasien skizofrenia mampu

mengatasi permasalahan efek samping berupa gejala ekstrapiramidal.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pola pengobatan triheksifenidil

pada pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Rumah Ssakit Jiwa Grhasia

Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai