Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

CA NASOFARING (KNF)

I. Konsep Penyakit CA Nasofaring


1.1 Definisi/deskripsi penyakit CA Nasofaring
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah
nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring.
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher
yang terbanyak ditemukan di Indonesia (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal
146).

Kanker nasofaring adalah kanker yang berasal dari sel epitel nasofaring
di rongga belakang hidung dan belakang langit-langit rongga mulut yang
tumbuh dari jaringan epitel yang meliputi jaringan limfoit dengan
predileksi di fosa rossenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah
transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi skuamusa dan atap
nasofaring (Bruner & Suddarth, 2002).

Karsinoma nasofaring merupakan tumor yang berasal dari sel-sel epitel


yang menutupi permukaan nasofaring (Arima, 2006).

Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah


nasofaring dengan predileksi di fosa rossenmuller dan atap nasofaring.
Tumor ganas ini mayoritas terjadi di kepala dan leher (Arief Masjoer,
2006).

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah


nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring
(area diatas tenggorokan belakang hidung). Karsinoma nasofaring
merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher, tumor ganas ini berasal
dari sel epitel nasofaring.

Karsinoma nasofaring sering juga disebut dengan kanker THT, tumor


ganas (kanker) ini termasuk 5 besar bersama kanker mulut rahim,
payudara, kulit dan getah bening lebih banyak ditemukan pada laki-laki
dibandingkan perempuan.
Nasofaring merupakan bagian nasal dari faring yang mempunyai struktur
berbentuk kuboid. Banyak terdapat struktur anatomis penting di
sekitarnya. Banyak syaraf kranial yang berada di dekatnya, dan juga
pada nasofaring banyak terdapat limfatik dan suplai darah. Struktur
anatomis ini mempengaruhi diagnosis, stadium, dan terapi dari kanker
tersebut.

1.2 Etiologi CA Nasofaring


Terjadinya CA Nasofaring mungkin multifaktorial, proses
karsinogenesisnya mungkin mencakup banyak tahap. Faktor yang
mungkin terkait dengan timbulnya CA Nasofaring adalah insidens yang
tinggi dihubungkan dengan kebiasaan makan seperti sering
mengkonsumsi ikan asin,makanan yang diawetkan nitrosamine, keadaan
sosial ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup, sering
kontak dengan zat karsinogen, radang kronis nasofaring dan virus
Epstein-Barr. Selain itu faktor geografis, rasial, jenis kelamin, genetik,
pekerjaan, kebiasaan hidup, kebudayaan, infeksi kuman atau parasit juga
sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya Ca Nasofaring ini. Tetapi
sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring
adalah virus Epstein-barr, karena pada semua pasien nasofaring
didapatkan titer anti-virus EEB yang cukup tinggi.

1.3 Tanda gejala CA Nasofaring


Gejala karsinoma nasofaring dapat dikelompokkan menjadi 4 bagian,
yaitu antara lain:
1.3.1 Gejala nasofaring
Epistaksis: rapuhnya mukosa hidung sehingga mudah terjadi
perdarahan sumbatan hidung: menetap karena pertumbuhan tumor
kedalam rongga nasofaring dan menutupi koana, gejalanya pilek
kronis, ingus kental dan gangguan penciuman.
1.3.2 Gangguan pada telinga
Kataralis/ oklusi tuba eustachius: Merupakan gejala dini karena
tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa Rosenmuller).
Gangguan yang timbul akibat sumbatan pada tuba eustachius
seperti tinitus, tuli, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri
di telinga (otalgia), berdengung, rasa penuh, dan kadang gangguan
pendengaran. Otitis media serosa sampai perforasi dan gangguan
pendengaran.
1.3.3 Gangguan mata dan syaraf
Karena dekat dengan rongga tengkorak maka terjadi penjalaran
melalui foramen laserum yang akan mengenai saraf otak ke III, IV,
VI sehingga dijumpai diplopia, juling, eksoftalmus dan saraf ke V
berupa gangguan motorik dan sensorik.

Karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan


XII jika penjalaran melalui foramen jugulare yang sering disebut
sindrom Jackson. Jika seluruh saraf otak terkena disebut sindrom
unialteral.Prognosis jelek bila sudah disertai destruksi tulang
tengkorak.
1.3.4 Metastasis ke kelenjar leher
Limfadenopatiservikal: melalui pembuluh limfe, sel-sel kanker
dapat mencapai kelenjar limfe dan bertahan disana. Dalam kelenjar
ini sel tumbuh dan berkembang biak hingga kelenjar membesar dan
tampak benjolan dileher bagian samping, lama kelamaan karena
tidak dirasakan kelenjar akan berkembang dan melekat pada otot
sehingga ulit digerakkan.

1.4 Patofisiologi CA Nasofaring


Ca Nasofaring merupakan munculnya keganasan berupa tumor yang
berasal dari sel-selepitel yang menutupi permukaan nasofaring.
Tumbuhnya tumor akan dimulai pada salah satudinding nasofaring yang
kemudian akan menginfiltrasi kelenjar dan jaringan sekitarnya.
Lokasiyang paling sering menjadi awal terbentuknya Ca Nasofaring
adalah pada Fossa Rossenmuller.Penyebaran ke jaringan dan kelenjar
limfa sekitarnya kemudian terjadi perlahan, sepertilayaknya metastasis
lesi karsinoma lainnya. Penyebaran Ca Karsinoma dapat berupa :
1.4.1 Penyebaran ke atas
Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fossa medialis,
disebut penjalaranPetrosfenoid, biasanya melalui foramen laserum,
kemudian ke sinus kavernosus dan Fossa kraniimedia dan fossa
kranii anterior mengenai saraf-saraf kranialis anterior ( n.I n VI).
Kumpulangejala yang terjadi akibat rusaknya saraf kranialis
anterior akibat metastasis tumor ini disebutSindrom Petrosfenoid.
Yang paling sering terjadi adalah diplopia dan neuralgia trigeminal.
1.4.2 Penyebaran ke belakang
Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial menembus fascia
pharyngobasilaris yaitusepanjang fossa posterior (termasuk di
dalamnya foramen spinosum, foramen ovale dll) di manadi
dalamnya terdapat nervus kranialais IX XII; disebut penjalaran
retroparotidian. Yangterkena adalah grup posterior dari saraf otak
yaitu n VII - n XII beserta nervus simpatikusservikalis. Kumpulan
gejala akibat kerusakan pada n IX n XII disebut sindroma
retroparotideanatau disebut juga sindrom Jugular Jackson. Nervus
VII dan VIII jarang mengalami gangguanakibat tumor karena
letaknya yang tinggi dalam sistem anatomi tubuh. Gejala yang
muncul umumnya antara lain:
1.4.2.1 Trismus
1.4.2.2 Horner Syndrome ( akibat kelumpuhan nervus simpatikus
servikalis)
1.4.2.3 Afonia akibat paralisis pita suara
1.4.2.4 Gangguan menelan

1.4.3 Penyebaran ke kelenjar getah bening


Penyebaran ke kelenjar getah bening merupakan salah satu
penyebab utama sulitnyamenghentikan proses metastasis suatu
karsinoma. Pada Ca Nasofaring, penyebaran ke kelenjar
getahbening sangat mudah terjadi akibat banyaknya stroma
kelanjar getah bening pada lapisan submukosa nasofaring.
Biasanya penyebaran ke kelenjar getah bening diawali pada nodus
limfatikyang terletak di lateral retropharyngeal yaitu Nodus
Rouvier. Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang
biak sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai benjolan
padaleher bagian samping. Benjolan ini dirasakan tanpa nyeri
karenanya sering diabaikan oleh pasien.Selanjutnya sel-sel kanker
dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai
ototdibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit
digerakkan. Keadaan ini merupakangejala yang lebih lanjut lagi.
Limfadenopati servikalis merupakan gejala utama yang
mendorongpasien datang ke dokter.

Gejala akibat metastase jauh: sel-sel kanker dapat ikut mengalir


bersama getah bening atau darah, mengenai organtubuh yang
letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering ialah tulang, hati dari
paru. Hal inimerupakan stadium akhir dan prognosis sangat
buruk.Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma
nasofaring dapat mengadakanmetastase jauh, yang terbanyak ke
paru-paru dan tulang, masing-masing sebanyak 20%, sedangkan ke
hati 10%, otak 4%, ginjal 0,4%, tiroid 0,4%. Kira-kira 25%
penderita datangberobat ke dokter sudah-mempunyai pertumbuhan
ke intrakranial atau pada foto rontgen terlihatdestruksi dasar
tengkorak dan hampir 70% metastase kelenjar leher. Karsinoma
nasofaringumumnya disebabkan oleh multifaktor. Sampai sekarang
penyebab pastinya belum jelas. Faktoryang berperan untuk
terjadinya karsinoma nasofaring ini adalah faktor makanan seperti
mengkonsumsi ikan asin, sedikit memakan sayur dan buah segar.
Faktor lain adalah nonmakanan seperti debu, asap rokok, uap zat
kimia, asap kayuFaktor genetik juga dapat mempengaruhi
terjadinya karsinoma nasofaring1. Selain itu terbuktijuga infeksi
virus Epstein Barr juga dihubungkan dengan terjadinya karsinoma
nasofaringterutama pada tipe karsinoma nasofaring non-
keratinisasi. Hal ini dibuktikan dengan adanyakenaikan titer
antigen EBV dalam tubuh penderita Ca Nasofaring non keratinisasi
dan kenaikantiter ini pun berbanding lurus dengan stadium Ca
nasofaring; di mana semakin berat stadium CaNasofaring,
ditemukan titer antibodi EBV yang semakin tinggi. Hal ini dapat
dibuktikan dengandijumpai adanya keberadaan protein-protein
laten pada penderita karsinoma nasofaring. Padapenderita ini sel
yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang
berfungsiuntuk proses proliferasi dan mempertahankan
kelangsungan virus di dalam sel host. Protein latenini dapat dipakai
sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa karsinoma
nasofaring. Karsinoma nasofaring sangat sulit didiagnosa, hal ini
mungkindisebabkan karena letaknya sangat tersembunyi dan juga
pada keadaan dini pasien tidak datanguntuk berobat. Biasanya
pasien baru datang berobat, bila gejala telah mengganggu dan
tumortersebut telah mengadakan infiltrasi serta metastase pada
pembuluh limfe sevikal. Hal ini merupakan keadaan lanjut dan
biasanya prognosis yang jelek.
Stadium Tumor (T)
T Tumor primer
T0 Tidak tampak tumor
T1 Tumor terbatas pada satu lokasi saja
T2 Tumor dterdapat pada dua lokalisasi atau lebih tetapi masih terbatas
pada rongga nasofaring
T3 Tumor telah keluar dari rongga nasofaring
T4 Tumor teah keluar dari nasofaring dan telah kmerusak tulang
tengkorak atau saraf-saraf otak
Tx Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap
REGIONAL LIMFE NODES (N)
N0 Tidak ada pembesaran
N1 Terdapat pembesaran tetapi homolateral dan masih bisa digerakkan
N2 Terdapat pembesaran kontralateral/ bilateral dan masih dapat
digerakkan
N3 Terdapat pembesaran, baik homolateral, kontralateral maupun bilateral
yang sudah melekat pada jaringan sekitar
METASTASE JAUH (M)
M0 Tidak ada metastase jauh
M1 Metastase jauh
- Stadium I : T1 No dan Mo
- Stadium II : T2 No dan Mo
- Stadium III : T1/T2/T3 dan N1 dan Mo atau T3 dan No dan Mo
- Stadium IV : T4 dan No/N1 dan Moatau T1/T2/T3/T4 dan
N2/N3 dan Moatau T1/T2/T3/t4 dan No/N1/N3/N4 dan M1

1.5 Pemeriksaan Penunjang


1.5.1 Nasofaringoskopi
1.5.2 Rinoskopi posterior dengan atau tanpa kateter
1.5.3 Biopsi multiple
1.5.4 Radiologi: thorak PA, foto tengkorak, tomografi, CT scan, bone
scantigraphy (bila dicurigai metastase tulang)
1.5.5 Pemeriksaab Neuro-oftalmologi: untuk mengetahui perluasan
tumor kejaringan sekitar yang menyebabkan penekanan atau
infiltrasi kesaraf otak, manifestasi tergantung dari saraf yang
dikenai

1.6 Komplikasi Ca Nasofaring


Komplikasi akut yang dapat terjadi adalah:
1.6.1 Mukositis : Mukositis oral merupakan inflamasi pada mukosa
mulut berupa eritema dan adanya ulser yang biasanya ditemukan
pada pasien yang mendapatkan terapi kanker. Biasanya pasien
mengeluhkan rasa sakit pada mulutnya dan dapat mempengaruhi
nutrisi serta kualitas hidup pasien.
1.6.2 Kandidiasis : Pasien radioterapi sangat mudah terjadi infeksi
opurtunistik berupa kandidiasis oral yang disebabkan oleh jamur
yaitu Candida albicans. Infeksi kandida ditemukan sebanyak 17-
29% pada pasien yang menerima radioterapi.
1.6.3 Dysgeusia adalah respon awal berupa hilangnya rasa pengecapan,
dimana salah satunya dapat disebabkan oleh terapi radiasi.
1.6.4 Xerostomia : Xerostomia atau mulut kering dikeluhkan sebanyak
80% pasien yang menerima radioterapi. Xerostomia juga
dikeluhkan sampai radioterapi telah selesai dengan rata-rata 251
hari setelah radioterapi. Bahkan tetap dikeluhkan setelah 12-18
bulan setelah radioterapi tergantung pada dosis yang diterima
kelenjar saliva dan volume jaringan kelenjar yang menerima
radiasi.
Komplikasi kronis adalah:
1.6.1 Karies gigi : Karies gigi dapat terjadi pada pasien yang menerima
radioterapi. Karies gigi akibat paparan radiasi atau yang sering
disebut dengan karies radiasi adalah bentuk yang paling destruktif
dari karies gigi, dimana mempunyai onset dan progresi yang cepat.
Karies gigi biasanya terbentuk dan berkembang pada 3-6 bulan
setelah terapi radiasi dan mengalami kerusakan yang lengkap pada
semua gigi pada periode 3-5 tahun.
1.6.2 Osteoradionekrosis : Osteoradionekrosis (ORN) merupakan efek
kronis yang penting pada radioterapi. Osteoradionekrosis adalah
nekrose iskemik tulang yang disebabkan oleh radiasi yang
menyebabkan rasa sakit karena kehilangan banyak struktur tulang.
1.6.3 Nekrose pada jaringan lunak : Komplikasi oral kronis lain yang
dapat terjadi adalah nekrose pada jaringan lunak, dimana 95%
kasus dari osteoradionekrosis berhubungan dengan nekrose pada
jaringan lunak. Nekrose jaringan lunak didefinisikan sebagai ulser
yang terdapat pada jaringan yang terradiasi, tanpa adanya proses
keganasan (maligna). Evaluasi secara teratur penting dilakukan
sampai nekrose berkurang, karena tidak ada kemungkinan
terjadinya kekambuhan. Timbulnya nekrose pada jaringan lunak ini
berhubungan dengan dosis, waktu, dan volume kelenjar yang
terradiasi. Reaksi akut terjadi selama terapi dan biasanya bersifat
reversibel, sedangkan reaksi yang bersifat kronis biasanya terjadi
menahun dan bersifat irreversibel.
1.6.4 Gagal napas dapat terjadi karena adanya metastase dari tumor
nasofaring sampai pada trakea sehingga terjadi sumbatan total pada
trakea, transportasi oksigen menjadi terhambat, jika hal ini terus
dibiarkan maka dapat mengakibatkan gagal napas.
1.6.5 Peningkatan tekanan intrakranial, dapat terjadi ketika metastase
tomor sudah mencapai lapisan otak, dan menekan/menyesak
duramater otak sehingga merangsang peningkatan tekanan intra
kranial.

1.7 Penatalaksanaan Ca Nasofaring


1.7.1 Radioterapi : masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan
pada penggunaan megavoltage dan pengaturan dengan komputer.
1.7.2 Pengobatan tambahan: pemberian tetrasiklin,faktor transfer,
interferon, seroterapi, vaksin dan anti virus.
1.7.3 Kemoterapi: masih tetap sebagai adjuvant (tambahan)
1.7.4 Pembedahan diseksi leher radikal: dilakukan terhadap benjolan
dileher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul
kembali setelah penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor
induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan
radiologi dan serologi. Operasi sisa tumor induk (residu) atau
kambuh (residif) diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi
yang berat akibat operasi
1.7.5 Perawatan paliatif: diberikan pada pasien dengan pengobatan
radiasi. Mulut rasa kering disebabkan oleh kerusakan kelenjar liur
mayor maupun minor sewaktu penyinaran. Tidak banyak yang
dilakukan selain menasehati pasien makan dengan banyak kuah,
membawa minuman kemanapun pergi dan mencoba memakan
dengan mengunyah bahan yang rasa asam sehingga merangsang
keluarnya air liur. Gangguan lain adalah mukositis rongga mulut
karena jamur, rasa kaku didaerah leher karena fibrosis jaringan
akibat penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu makan dan
kadang-kadang muntah atau rasa mual.
1.8 Pathway

II. Rencana asuhan klien dengan gangguan Ca Nasofaring


2.1 Pengkajian
Anamnesa:
Identitas/biodata klien
Identitas penanggung jawab klien
Keluhan utama
2.1.1 Riwayat keperawatan
2.1.1.1 Riwayat kesehatan sekarang
Klien datang dengan keluhan nyeri di telinga, penglihatan
ganda, dan keluar darah dari hidung.
2.1.1.2 Riwayat kesehatan dahulu
Tanyakan pola hidup klien
2.1.1.3 Riwayat kesehatan keluarga
Adakah keluarga yang pernah mengalami penyakit yang
sama.
2.1.2 Pemeriksaan fisik: data fokus
2.1.2.1 Inspeksi
a. Adanya benjolan di leher
b. Adanya obstruksi di hidung
c. Adanya epistaksis
2.1.2.2 Palpasi
a. Nyeri tekan pada daerah leher
b. Adanya pembesaran kelenjar getah bening
2.1.3 Pemeriksaan penunjang
2.1.3.1 Foto thorax
Menunjukkan adanya masa jaringan lunak di daerah
nasofaring.
2.1.3.2 CT-Scan
Memperlihatkan destruksi atau erosi tulang didaerah fossa
serebri media.
2.1.3.3 Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA
Menunjukkan adanya infeksi virus Epstein-Barr.
2.1.3.4 Biopsi hidung dan mulut
Memperlihatkan adanya massa tumor di nasofaring.

2.2 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa 1: Nyeri akut (Wilkinson, ett. Buku Saku Diagnosis
Keperwatan. 2012. Hal: 530-537).
2.2.1 Definisi
Pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan akibat
adanya kerusakan jaringan yang aktual atau potensial, atau
digambarkan dengan istilah seperti awitan yang tiba-tiba atau
perlahan dengan intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang
dapat diantisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari
enam bulan.
2.2.2 Batasan karakteristik
Subjektif
Mengungkapkan secara verbal atau melaporkan nyeri dengan
isyarat
Objektif
Posisi untuk menghindari nyeri
Perubahan tonus otot
Perubahan selera makan
Perilaku distraksi
Perilaku ekspresif
Wajah topeng (nyeri)
Perilaku menjaga atau sikap melindungi
Fokus menyempit
Bukti nyeri yang diamati
Berfokus pada diri sendiri
Gangguan tidur
2.2.3 Faktor yang berhubungan
Agen-agen penyebab cedera ( misalnya biologis, kimia, fisik, dan
psikologis)

Diagnosa 2: Gangguan persepsi sensori pendengaran berhubungan


dengan perubahan resepsi (Wilkinson, ett. Buku Saku Diagnosis
Keperwatan. 2012. Hal: 687-695)
2.2.1 Definisi
Perubahan pada jumlah atau pola stimulus yang diterima, yang
disertai respons terhadap stimulusyang diterima, yang disertai
respons terhadap stimulus tersebut yang dihilangkan, dilebihkan,
disimpangkan atau dirusakkan.
2.2.2 Batasan karakteristik
2.2.2.1 Subjektif
Distorsi sensori
2.2.2.2 Objektif
a. Perubahan pola perilaku
b. Perubahan kemampuan menyelesaikan masalah
c. Perubahan ketajaman sensori
d. Perubahan respons yang biasanya terhadap stimulus
e. Disorientasi
f. Halusinasi
g. Hambatan komunikasi
h. Iritabilitas
i. Konsentrasi buruk
j. Gelisah

2.2.3 Faktor yang berhubungan


2.2.3.1 Perubahan resepsi, transmisi, dan atau integrasi sensori
2.2.3.2 Ketidakseimbangan biokimia
2.2.3.3 Ketidakseimbangan elektrolit
2.2.3.4 Stimulus lingkungan yang berlebihan
2.2.3.5 Ketidakseimbangan stimulus lingkungan
2.2.3.6 Stress psikologis

2.3 Perencanaan
Diagnosa 1: Nyeri akut
2.3.1 Tujuan dan Kriteria hasil (outcomes criteria): berdasarkan NOC
(lihat daftar rujukan)
Tingkat kenyamanan: tingkat persepsi positif terhadap kemudahan
fisik dan psikologis.
Pengendalian nyeri: Tindakan individu untuk mengendalikan nyeri.
Tingkat nyeri: keparahan nyeri yang dapat diamati atau dilaporkan.
2.3.2 Intervensi keperawatan dan rasional: berdasarkan NIC (lihat daftar
rujukan)
Mandiri:
Manajemen nyeri: meringankan atau mengurangi nyeri sampai pada
tingkat kenyamanan yang dapat diterima pasien dan kaji
karakteristik nyeri.
Kolaborasi:
Pemberian analgesik: menggunakan agen-agen farmakologi untuk
mengurangi atau menghilangkan nyeri.
Manajemen medikasi: memfasilitasi penggunaan obat resep atau
obat bebas secara aman dan efektif.
Diagnosa 2: Gangguan persepsi sensori
2.3.1 Tujuan dan Kriteria hasil (outcomes criteria): berdasarkan NOC
(lihat daftar rujukan)
Tujuan:
2.3.1.1 Orientasi kognitif: mampu mengidentifikasi orang,
tempaat dan waktu secara akurat
2.3.1.2 Komunikasi reseptif: resepsi diri dan interpretaasi pesan
verbal dan nonverbal
2.3.1.3 Distorsi kendali piker diri: pembatasan diri terhadap
gangguan persepsi
2.3.1.4 Perilaku kompensasi pendengaran: tindakan pribadi untuk
memantau dan mengkompensasi kehilangan pendengraan
2.3.1.5 Status neurologis: kemampuan saraf cranial untuk
mengenali impuls sensorik dan motorik
2.3.1.6 Fungsi motorik pendengaran: tingkat penginderaan suara

Kriteri hasil:
Menunjukan status neurologis fungsi motorik sensorik/ kranilan
dan menunjukan orientasi kognitif
2.3.2 Intervensi keperawatan dan rasional: berdasarkan NIC (lihat daftar
rujukan)
2.3.2.1 Stimulasi kognitif
R: meningkatkan kesadaran dan pemahaman terhadap
sekitar melalui stimulus terencana
2.3.2.2 Peningkatan komunikasi
R: membantu pembelajaran dan penerimaan metode
alternative untuk menjalani hidup
2.3.2.3 Manajmene waham
R: meningkatkan kenyamanan, keamanan dan orientasi
realitas pasien mengalami kepercayaan yang kuat dan
salah yang tidak sesuai dengan realitas
2.3.2.4 Manajemen halusinasi
R: meningkatkan keamanan, kenyamanan dan orientasi
realitas pasien ynag mengalami halusinasi
2.3.2.5 Pemantauan neurologis
R: mengumpulkan dan menganalisis data pasien untuk
mencegah atau meminimalkan komplikasi neurologis
2.3.2.6 Orientasi realitas
R: promosi kesadaran pasien terhdap identitas pribadi,
waktu dan lingkungaan
III. Daftar Pustaka
Brunner & Suddart. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan :
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI; 2001
http://dokumen.tips/documents/patofisiologi-karsinoma-nasofaring.html
diakse melalui internet tanggal 4 desember 2016
Judith M. Wilkinson, Nancy R. Ahren. Buku Saku Diagnosis Keperawatan:
Diagnosis NANDA, intervensi NIC, kriteria hasil NOC. Edisi 9.
Jakarta: EGC, 2011.
Masjoer, Arif. 2006. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media
Aeusculapius.
Nanda NIC-NOC. 2015. Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan
diagnosa medis nanda dan nic-noc jilid 2. Jakarta : ECG
Rosernberg, Smith Kelly. 2012. Nanda Diagnosis Keperawatan.
Wilkinson, Judith M. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan:
Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC Edisi 9.
Jakarta : EGC.
Banjarmasin, Oktober 2017

Preseptor Akademik, Preseptor Klinik,

(........................................................) (......................................................)

Anda mungkin juga menyukai