Anda di halaman 1dari 12

4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Stres
2.1.1. Pengertian Stres
Stres adalah respon manusia yang bersifat non spesifik terhadap setiap
tuntutan kebutuhan yang ada dalam dirinya (Hans Selye yang dikutip Depkes,
1998).
Sneada dan Hawari (2001) mengemukakan bahwa stres adalah reaksi atau
resspon tubuh terhadap stresor psikososial berupa tekanan mental atau beban
kehidupan.
Suherjan (1987) mengemukakan bahwa stres adalah suatu kekuatan yang
mendesak atau mencekam, yang menimbulkan suatu ketegangan dalam diri
seseorang dan menurut Maramis (1999) stres adalah segala masalah atau tuntutan
penyesuaian diri yang mengganggu keseimbangan seseorang. Sementara itu
Vincent corneli yang dikutip oleh Grant Brecht (2000) berpendapat bahwa stres
adalah gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh perubahan dan
tuntutan kehidupan, yang dipengaruhi baik oleh lingkungan maupun penampilan
individu di dalamm lingkungan tersebut.
Berdasarkan pendapat para ahli yang telah dikemukakan tadi, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa stres adalah reaksi tubuh terhadap situasi yang
menimbulkan tekanan, perubahan, ketegangan emosi, yang dipengaruhi oleh
lingkungan maupun penampilan indiviidu di dalam lingkungan tersebut.

Universitas Sumatera Utara


5

2.1.2. Stresor
Stresor adalah pengalaman yang menginduksi stres. Stresor berasal dari
lingkungan sekitar manusia. Stresor dapat berupa tuntutan psikologis seperti
kehilangan pekerjaan, kegeraman karena kemacetan lalu lintas, relasi yang tidak
baik, dan sebagainya. Terdapat juga stresor fisik seperti paparan dingin,
kebisingan, kelelahan karena olah raga, dan lain-lain. ( Taylor, 2009; Looker dan
Gregson, 2005 )

2.1.3. Hal yang Mempengaruhi Respon Stres


Respon stres seseorang bergantung pada stresor dan individu itu sendiri
( Pinel, 2009 ). Menurut Taylor ( 2009 ) seberapa lama setiap stresor berlangsung
akan memengaruhi keseimbangan seseorang dalam menghadapi stresor. Paparan
kronik suatu stresor dapat menyebabkan stres kronik yang akan menimbulkan
gangguan pada tubuh individu: peningkatan level epinefrin, gangguan memori,
peningkatan tekanan darah, dan sebagainya.
Looker dan Gregson ( 2005 ) di dalam bukunya menuliskan bahwa pandangan
seseorang terhadap lingkungannya akan menentukan seseorang tersebut akan
menganggap suatu kejadian sebagai suatu stresor atau bukan. Respon stres yang
terjadi juga bergantung pada pengalaman seseorang terhadap kejadian yang sama
sebelumnya. Pinel ( 2009 ) menuliskan bahwa stres juga bergantung pada strategi
yang diadopsi seorang individu untuk mengatasi stres.

2.1.4. Tingkatan Respon Terhadap Stres


Sebenarnya stres tidak selalu bersifat negatif. Hans selye (dalam Hidayat,
2009) membagi stres menjadi tiga, yaitu :
1. Eustress : adalah respon stres ringan yang menimbulkan senang, bahagia,
menantang dan menggairahkan. Dalah hal ini tekanan yang terjadi bersifat positif,
misalnya lulus dari ujian atau kondisi ketika mengadapi perkawinan.
2. Distress : merupakan respon stres yang negatif dan menyakitkan, sehingga
tidak mampu lagi diatasi.

Universitas Sumatera Utara


6

3. Neustress : stres yang berada antara eustress dan distress, merupakan respon
stres yang menekan namun masih seimbang, sehingga seseorang merasa
tertantang untuk menghadapi masalah dan memacu untuk lebih bergairah,
berprestasi, meningkatkan produktivitas kerja dan berani bersaing.

Menurut prosesnya setiap orang dalam mengahdapi stres memiliki respon yang
berbeda-beda, tetapi secara umum respon terhadap stres memiliki beberapa
tingkat, yaitu:
1.Tingkat peringatan :
Setelah mengetahui ada stres, tubuh akan segera bereaaksi. Kecepatan tubuh
dalam bereaksi dikenal sebagai alarm stage. Apabila ada rasa takut atau cemas
atau khawatir, maka tubuh mengeluarkan adrenalin, hormon yang mempercepat
katabolisme yang menghasilkan energi untuk persiapan menghadapi bahaya yang
mengancam, ditandai dengan denyut jantung bertambah cepat dan otot
berkontraksi.
2. Tingkat resistensi :
Pada tingkat ini individu berada pada mekanisme bertahan, biasa disebut
mekanisme coping. Coping berarti kegiatan untuk mengatasi masalah, misalnya
rasa kecewa diatasi dengan humor, rasa tidak senang dihadapi dengan sikap ramah
bukan dengan marah yang tidak terkendali tersebut.

3. Tingkat ketelitian :
Jika stres berlangsung lama, akan memasuki tingkat ketiga, tubuh tidak lagi
mempunyai senjata untuk melawan stres. Pada keadaan ini, orang biasanya jatuh
sakit. Gejalanya psikosomatis, antara lain : gangguan pencernaan, mual, diare,
gatal-gatal, impotensi, menstruasi tidak lancar dan bentuk gangguan lainnya
kadang-kadang muncul gejala lain, seperti tidak mau makan atau makan terlalu
banyak, terlebih lagi bila diperberat dengan kejadian-kejadian yang datang
bersamaan, seperti : ditinggal orang tua yang disayangi, pensiun, musibah,
bencana dan lain-lain.

Universitas Sumatera Utara


7

2.1.5. Respon Tubuh Terhadap Stres


Hans Selye (1976) telah melakukan riset terhadap 2 respon fisiologis tubuh
terhadap stres yaitu : Local Adaptation Syndrome (LAS) dan General Adaptation
Syndrome (GAS).
1. Local Adaptation Syndrome
Tubuh menghasilkan banyak respon setempat terhadap stres. Respon setempat ini
termasuk pembekuan darah dan penyembuhan luka, akomodasi mata terhadap
cahaya dan lain-lain. Responnya berjangka pendek. Karakteristik dari LAS
adalah:
a. Respon yang terjadi hanya setempat dan tidak melibatkan semua sistem
b. Respon bersifat adaptif, diperlukan stresor untuk menstimulasikannya
c. Respon bersifat jangka pendek dan tidak terus-menerus
d. Respon bersifat resorative

Sebenarnya respon LAS ini banyak kita temui dalam kehidupan sehari-hari seperti
yang diuraikan dibawah ini : (Nasution, 2007)
a. Respon inflamasi
Respon ini distimulasi oleh adanya trauma dan infeksi. Respon ini memusatkan
diri hanya pada area tubuh yang trauma sehingga penyebaran inflamasi dapat
dihambat dan proses penyembuhan dapat berlangsung cepat. Respon inflamasi
dibagi kedalam 3 fase :
1. Fase pertama :
Adanya perubahan sel dan sistem sirkulasi, dimulai dengan penyempitan
pembuluh darah ditempat cedera dan secara bersamaan teraktifasinya kinin,
histamin, sel darah putih. Kinin berperan dalam memperbaiki permeabilitas
kapiler sehingga protein, leukosit dan cairan yang lain dapat masuk ketempat yang
cedera tersebut.
2. Fase kedua :
Pelepasan eksudat. Eksudat adalah kombinasi cairan dan sel yang telah mati dan
bahan lain yang dihasilkan di tempat cedera.

Universitas Sumatera Utara


8

3. Fase ketiga :
Respon ini merupakan respon adaptif yang bertujuan melindungi tubuh dari
kerusakan lebih lanjut. Misalnya mengangkat kaki ketika bersentuhan dengan
benda tajam.

2. General Adaptation syndrome (GAS)


GAS merupakan respon fisiologis dari seluruh tubuh terhadap stres. (Sumiati,
2010) Respon yang terlibat didalamnya adalah sistem saraf otonom dan sistem
endokrin. Di beberapa buku teks GAS sering disamakan dengan Sistem
Neuroendokrin. GAS terdiri dari beberapa fase, yaitu :
a. Fase Alarm (Waspada)
Melibatkan mekanisme pertahanan dari tubuh dan pikiran untuk menghadapi
stresor. Reaksi psikologis fight or flight dan reaksi fisiologis. Tanda fisik : curah
jantung meningkat, peredaran darah cepat, darah di perifer dan gastrointestinal
mengalir ke kepala dan ekstremitas. Banyak organ tubuh terpengaruh, gejala stres
mempengaruhi denyut nadi, ketegangan otot dan daya tahan tubuh menurun.
Fase alarm melibatkan mekanisme pertahanan dari tubuh seperti pengaktifan
hormon yang berakibat meningkatnya volume darah dan akhirnya menyiapkan
individu untuk beraksi. Hormon lainnya dilepas untuk meningkatkan kadar gula
darah yang bertujuan untuk menyiapkan energi untuk keperluan adaptasi,
teraktifasinya epinefrin dan norepinefrin mengakibatkan denyut jantung
meningkat dan peningkatan aliran darah ke otot. Peningkatan ambilan oksigen dan
meningkatnya kewaspadaan mental.
Aktifitas hormonal yang luas ini menyiapkan individu untuk melakukan respon
melawan atau menghindar. Respon ini bisa berlangsung dari menit sampai jam.
Bila stresor masih menetap maka individu akan masuk ke dalam fase resistensi.

Universitas Sumatera Utara


9

b. Fase Resistance (Melawan)


Individu mencoba berbagai macam mekanisme penanggulangan psikologis dan
pemecahan masalah serta mengatur strategi. Tubuh berusaha menyeimbangkan
kondisi fisiologis sebelumnya kepada keadaan normal dan tubuh mencoba
mengatasi faktor-faktor penyebab stres. Gejala stres menurun atau tubuh kembali
stabil bila denyut jantung, termasuk hormon, tekanan darah, cardiac output dan
lain-lain kembali normal. Individu tersebut berupaya beradaptasi terhadap stresor,
jika ini berhasil tubuh akan memperbaiki sel-sel yang rusak. Bila gagal maka
individu tersebut akan jatuh pada tahapan terakhir dari GAS yaitu : Fase
kehabisan tenaga.

c. Fase Exhaustion (Kelelahan)


Merupakan fase perpanjangan stres yang belum dapat tertanggulangi pada fase
sebelumnya. Timbul gejala penyesuaian diri terhadap lingkungan seperti sakit
kepala, gangguan mental, penyakit arteri koroner dan lain-lain. Bila usaha
melawan tidak dapat diusahakan, maka kelelahan dapat mengakibatkan kematian.
Tahap ini cadangan energi telah menipis atau habis, akibatnya tubuh tidak mampu
lagi menghadapi stres.

2.2. Sistem Saraf Simpatis


Guyton ( 2006 ) menuliskan bahwa sistem saraf simpatis merupakan
bagian dari sistem saraf otonom yang mengatur kebanyakan fungsi viseral tubuh.
Serabut sistem saraf simpatis dimulai dari medulla spinalis diantara segmen T-1
dan L-2. Serabut ini berjalan sampai ke jaringan dan organ yang dirangsang oleh
saraf simpatis.
Sifat saraf simpatis yang menonjol yaitu kecepatan dan intensitasnya yang
dapat mengubah fungsi viseral dalam waktu singkat. Contohnya, dapat
meningkatkan denyut jantung sebesar dua kali lipat dalam waktu tiga sampai
dengan lima detik. Sistem saraf simpatis juga memiliki sifat khusus pada serabut-
serabut saraf yang berada dalam medula adrenal.

Universitas Sumatera Utara


10

Serabut-serabut saraf ini langsung berakhir pada sel-sel neuron khusus yang
mengeluarkan epinefrin dan norepinefrin ke dalam sirkulasi darah (Guyton,
2006).
Rangsangan simpatis dapat timbul bila hipotalamus diaktivasi oleh rasa
cemas, takut, atau merasakan nyeri yang berat. Dengan kata lain rangsangan
simpatis dapat timbul jika terjadi respon stres. Baik stres fisik maupun stres
mental dapat meningkatkan rangsangan simpatis (Guyton, 2006).
Perangsangan serabut simpatis pada berbagai organ tubuh akan
menimbulkan suatu efek. Efek yang diperoleh organ tubuh tersebut ditimbulkan
secara langsung oleh perangsangan serabut saraf simpatis dan secara tidak
langsung oleh perangsangsangan hormon-hormon medula adrenal: epinefrin dan
norepinefrin. Salah satu organ yang dapat dikenai efek perangsangan serabut
simpatis dan hormon medula adrenal adalah jantung. Perangsangan simpatis pada
umumnya akan meningkatkan kerja jantung. Keadaan ini tercapai dengan naiknya
frekuensi dan kekuatan kontraksi jantung. Perangsangan simpatis akan
meningkatkan keefektifan jantung sebagai pompa, yang diperlukan saat bekerja
berat. Perangsangan epinefrin akan meningkatkan curah jantung ( Guyton, 2006 ).

STRES

SYMPHATHETIC NERVOUS PITUITARY GLAND


SYSTEM ( SAM )

MEDULA ADRENAL KORTEX ADRENAL

PENGELUARAN PENGELUARAN
KATEKOLAMIN EPINEFRIN KORTIKOSTREROID
DAN NOREPINEFRIN
-Peningkatan mobilisasi protein
-Peningkatan denyut jantung dan lemak
dan dilatasi kapiler jantung; -Peningkatan akses ke
-Peningkatan tekanan darah simpanan energi
karena vasokonstriksi -Penghambatan pembentukan
-Frekuensi pernapasan antibodi dan inflamasi
meningkat -pengaturan retensi sodium
-Pencernaan melambat
-Pupil dilatasi

Universitas Sumatera Utara


11

2.3. Cold Pressor test (CPT)


CPT merupakan suatu bentuk uji laboratorium. CPT sering digunakan dalam
penelitian-penelitian tentang kardiovaskular dan stres. CPT berfungsi untuk
memberikan paparan dingin dalam waktu singkat kepada subjek penelitian.
Paparan dingin pada CPT adalah hasil penggabungan air dengan air dengan es
batu sehingga diperoleh air dingin bersuhu sekitar 00- 40 C(Saab et al, 1993 ;
Duncko et al,2009).
CPT dapat diberikan pada tiga bagian tubuh seperti tangan , dahi, dan kaki. CPT
pada tangan dilakukan dengan cara merendam tangan ke air dingin. CPT pada
dahi dilakukan dengan cara menempelkan kantongan plastik berisi air dingin pada
dahi. CPT pada kaki dilakukan dengan cara merendam kaki kedalam air dingin
(Saab et al, 1993).
CPT dapat diberikan dalam durasi waktu tertentu. CPT dapat diberikan selama
satu menit (Duncko et al, 2009). CPT dapat diberikan selama seratus detik (Saab
et al, 1993). Ada juga beberapa peneliti yang memberikan paparan CPT dalam
dua menit. Paparan dingin oleh CPT juga dapat diberikan selama tiga atau empat
menit (Schwabe et al, 2008; Masoli, 2010).

2.4. Sistem Pernapasan


2.4.1. Pengertian Pernapasan
Pernapasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang
mengandung O2 (oksigen) ke dalam tubuh serta menghembuskan udara yang
banyak mengandung CO2 (karbondioksida) sebagai sisa dari oksidasi keluar
tubuh. Penghisapan ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi
(Syaifuddin, 1996).
Sistem pernapasan terdiri atas paru-paru dan sistem saluran yang
menghubungkan jaringan paru dengan lingkungan luar paru yang berfungsi untuk
menyediakan oksigen untuk darah dan membuang karbondioksida.
Sistem pernapasan secara umum terbagi atas :

Universitas Sumatera Utara


12

1. Bagian Konduksi
Bagian konduksi terdiri atas rongga hidung, nasofaring, laring, trakea,
bronkus, dan bronkiolus. Bagian ini berfungsi untuk menyediakan saluran
udara untuk mengalir ke dan dari paru-paru untuk membersihkan, membasahi,
dan menghangatkan udara yang diinspirasi.

2. Bagian Respirasi
Bagian ini terdiri dari alveoli, dan struktur yang berhubungan. Pertukaran gas
antara udara dan darah terjadi dalam alveoli. Selain struktur diatas terdapat
pula struktur yang lain, seperti bulu-bulu pada pintu masuk yang penting
untuk menyaring partikel-partikel yang masuk. Sistem pernapasan memiliki
sistem pertahanan tersendiri dalam melawan setiap bahan yang masuk yang
dapat merusak (Alsagaff dkk, 2002).

Terdapat tiga kelompok mekanisme pertahanan yaitu :


a. Arsitektur saluran napas; bentuk, struktur, dan kaliber saluran napas yang
berbeda-beda merupakan saringan mekanik terhadap udara yang dihirup, mulai
dari hidung, nasofaring, laring, serta percabangan trakeobronkial. Iritasi mekanik
atau kimiawi merangsang reseptor disaluran napas, sehingga terjadi
bronkokonstriksi serta bersin atau batuk yang mampu mengurangi penetrasi debu
dan gas toksik kedalam saluran napas (Tabrani Rab, 1996).

b. Lapisan cairan serta silia yang melapisi saluran napas, yang mampu menangkap
partikel debu dan mengeluarkannya.

c. Mekanisme pertahanan spesifik, yaitu sistem imunitas di paru yang berperan


terhadap partikel-partikel biokimiawi yang tertumpuk di saluran napas (Tabrani
Rab, 1996).

Universitas Sumatera Utara


13

2.4.2. Fungsi Pernapasan


Fungsi pernapasan adalah
1. Mengambil oksigen kemudian dibawa oleh darah keseluruh tubuh (sel-selnya)
untuk mengadakan pembakaran.

2. Mengeluarkan karbon dioksida yang terjadi sebagai sisa pembakaran, kemudian


dibawa oleh darah ke paru-paru untuk dibuang (karena tidak berguna lagi oleh
tubuh).

3. dan melembabkan udara (Syaifuddin, 1996)

2.4.3. Anatomi Paru


Paru manusia terbentuk setelah embrio mempunyai panjang 3 mm.
pembentukan paru dimulai dari sebuah groove yang berasal dari foregut.
Selanjutnya pada groove ini terbentuk dua kantung yang dilapisi oleh suatu
jaringan yang disebut primary lung bud. Bagian proksimal foregut membagi diri
menjadi dua, yaitu esofagus dan trakea. Pada perkembangan selanjutnya trakea
akan bergabung dengan primary lung bud. Primary lung bud merupakan cikal
bakal bronki dan cabang-cabangnya. Bronchial tree terbentuk setelah embrio
berumur 16 minggu, sedangkan alveoli baru berkembang setelah bayi lahir dan
jumlahnya terus meningkat hingga anak berumur 8 tahun. Ukuran alveoli
bertambah besar sesuai dengan perkembangan dinding toraks. Jadi, pertumbuhan
dan perkembangan paru berjalan terus menerus tanpa terputus sampai
pertumbuhan somatic berhenti. (pearce, 2009)

2.4.4. Fisiologi Pernapasan


Pada pernapasan melalui paru-paru atau pernapasan ekterna, oksigen
dipungut melalui hidung dan mulut pada waktu bernapas; oksigen masuk melalui
trakea dan pipa bronkial ke alveoli, dan dapat berhubungan erat dengan darah di
dalam kapiler pulmonaris.

Universitas Sumatera Utara


14

Hanya satu lapis membran, yaitu membran alveoli-kapiler, yang


memisahkan oksigen dari darah. Oksigen menembus membran ini dan dipungut
oleh hemoglobin sel darah merah dan dibawa ke jantung. Dari sini dipompa di
dalam arteri ke semua bagian tubuh. Darah meninggalkan paru-paru pada tekanan
oksigen 100 mmHg dan pada tingkat ini hemoglobinnya 95 perssen jenuh
oksigen.
Di dalam paru-paru, karbon dioksida, salah satu hasil buangan
metabolisme, menembus membran alveolar-kapiler dari kapiler darah ke alveoli,
dan setelah melalui pipa bronkial dan trakea, dinapaskan keluar melalui hidung
dan mulut.(Djojodibroto, 2009)
Empat proses yang berhubungan dengan pernapasan pulmoner atau
pernapasan eksterna :
1. Ventilasi pulmoner, atau gerak pernapasan yang menukar udara dalam alveoli
dengan udara luar.
2. Arus darah melalui paru-paru.
3. Distribusi arus udara dan arus darah sedemikian sehingga dalam jumlah tepat
dapat mencapai semua bagian tubuh.
4. Difusi gas yang menembusi membran pemisah alveoli dan kapiler. Karbon
dioksida lebih mudah berdifusi daripada oksigen.

Semua proses ini diatur sedemikian sehingga darah yang meninggalkan


paru-paru menerima jumlah tepat karbon dioksida dan oksigen. Pada waktu gerak
badan, lebih banyak darah datang di paru-paru membawa terlalu banyak karbon
dioksida dan terlampau sedikit oksigen; jumlah karbon dioksida itu tidak dapat
dikeluarkan, maka konsentrasinya dalam darah arteri bertambah. Hal ini
merangsang pusat pernapasan dalam otak untuk memperbesar kecepatan dan
dalamnya pernapasan. Penambahan ventilasi ini mengeluarkan karbon dioksida
dan memungut lebih banyak oksigen.

Universitas Sumatera Utara


15

2.5. Pengaruh Sistem Saraf Otonom Terhadap Frekuensi Napas


Bagian sistem saraf yang mengatur kebanyakan fungsi viseral tubuh
disebut sistem saraf otonom. Sistem saraf otonon terutama diaktifkan oleh pusat-
pusat yang terletak di medula spinalis, batang otak, dan hipotalamus. Juga, bagian
korteks serebri, khususnya korteks limbik, dapat menghantarkan sinyal ke pusat-
pusat yang lebih rendah sehingga dengan demikian mempengaruhi pengaturan
otonom. Penjalaran sinyal otonomik eferen ke berbagai organ di seluruh tubuh
dapat dibagi dalam dua subdivisi utama yang disebut sistem saraf simpatis dan
sistem parasimpatis. Serabut saraf simpatis dan parasimpatis terutama
menyekresikan salah satu dari kedua bahan transmiter sinaps ini, asetilkolin atau
norepinefrin. Serabut-serabut yang menyekresi asetilkolin disebut serabut
kolinergik. Serabut-serabut yang menyekresi norepinefrin disebut serabut
adrenergik, suatu istilah yang berasal dari kata adrenalin, nama lain bagi epinefrin.
Asetilkolin disebut transmiter parasimpatis, dan norepinefrin disebut transmiter
simpatis. Terdapat juga dua jenis utama reseptor adrenergik, yakni yang disebut
reseptor alfa dan reseptor beta. Norepinefrin dan epinefrin, keduanya disekresikan
ke dalam darah oleh medula adrenal, dan efek perangsangannya pada organ
spesifik seperti paru adalah dilatasi pada bronkus yang nantinya akan
meningkatkan frekuensi napas pada saluran pernapasan. (Guyton, 2006)

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai