Anda di halaman 1dari 10

PENENTUAN KADAR KLORIN (Cl2) DALAM CAIRAN PEMUTIH MENGGUNAKAN TITRASI IODOMETRI

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pemutih pakaian digunakan untuk menghilangkan noda membandel yang menempel pada
pakaian. Pemutih yang beredar dipasaran, umumnya mengandung senyawa hipoklorit
sebagai bahan aktifnya. Latutan pemutih mengandung senyawa natrium hipoklorit
(NaClO) dengan kadar 5,25 % ; sedangkan serbuk pemutih mengandung senyawa kalsium
hipoklorit, Ca(ClO)2. Pemutih merupakan bahan kimia yang sangat reaktif. Mencampur
bahan pemutih dengan bahan rumah tangga lainnya dapat sangat berbahaya. Misalnya,
jika pemutih dicampur dengan pembersih kloset yang mengandung asam klorida dapat
menghasilkan gas klorin. Gas klorin dapat merusak saluran pernafasan, dan jika
kadarnya cukup besar dapat mematikan. Mencampur pemutih dengan ammonia juga
menghasilkan gas beracun, yaitu kloramin (NH2Cl) dan hidrazin (N2H4). Oleh karena itu
jangan sekali-kali mencampur pemutih dengan bahan lain tanpa petunjuk atau
pengetahuan yang jelas. Penggunaan bahan kimia tidak dapat dihindari karena sebagian
bahan kimia sangat menunjang kehidupan kita. Namun, penggunaan bahan kimia secara
tidak tepat bisa berdampak negatif bagi manusia dan lingkungan.

Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk :
Mengetahui zat aktif yang terkandung dalam cairan pemutih pakaian (bayclin)
Mengetahui bahaya jika cairan pemutih tercampur dengan zat kimia lain.
Mengetahui kandungan klor (Cl2) dalam cairan pemutih dengan menggunakan titrasi
iodometri.

Rumusan Masalah
Zat atau senyawa apa saja yang terkandung dalam cairan pemutih pakaian?
Apa bahaya/efek yang ditimbulkan, jika cairan pemutih pakaian tersebut tercampur
dengan bahan kimia yang lain?
Bagaimana cara menentukan kandungan klor (Cl2) dalam cairan pemutih pakaian dengan
menggunakan titrasi iodometri.

Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi mahasiswa pada umumnya dan
teman-teman dari program studi Pendidikan Kimia pada khususnya untuk menambah
wawasan dan pengetahuan tentang salah satu bahan kimia yang digunakan dalam
kehidupan sehari-hari yakni cairan pemutih pakaian serta bagaimana cara penentuan
kandungan klorin yang terdapat di dalamnya.

BAB II
ISI

2.1 Klorin
Klor (bahasa Yunani: Chloro=hijau pucat) adalah salah satu unsur kimia dengan simbol
Cldan mempunyai nomor atom 17. Dalam tabel periodik, unsur ini termasuk kelompok
halogen atau golongan VIIA. Dalam bentuk ionya, unsur ini biasanya sebagai pembentuk
garam dan senyawa lain yang tersedia di alam dalam jumlah yang sangat berlimpah.
Sangat pentingnya unsur ini hampir semua kehidupan mengandung dan membutuhkan
unsur ini , termasuk manusia.
Dalam bentuk gas, klorin berwarna kuning kehijauan, dan sangat beracun. Dalam bentuk
cair atau padat, klor sering digunakan sebagai oksidan, pemutih, atau desinfektan
Kebanyakan klor diproduksi untuk digunakan dalam pembuatan senyawa klorin untuk
sanitasi, pemutihan kertas, desinfektan, dan proses tekstil. Lebih jauh lagi, klor digunakan
untuk pembuatan klorat, kloroform, karbon tetraklorida, dan ekstrasi brom.

Semua perairan alami mengandung klorida yang kadarnya sangat bervariasi mulai dari
beberapa milligram sampai puluhan ribu milligram (air laut). Namun suatu perairan baik
itu air tanah, air artesis, danau atau sungai biasanya memiliki kadar klorida yang relatif
tetap. Perubahan kadar klorida dalam suatu perairan berhubungan dengan lokasi maupun
waktu tertentu yang menunjukkan adanya percampuran dengan perairan lain maupun
pencemaran terhadap perairan tersebut. Keberadaa ion Cl- dalam air akan berpengaruh
terhadap tingkat keasinan air. Semakin tinggi konsentrasi Cl- , berarti semakin asin air
dan semakin rendah kualitasnya.
2.2 Bubuk Pemutih
Bubuk pemutih terdiri dari campuran kalsium hipoklorit dan klorida basa (CaCl2),
Ca(OH)2.H2O. Kalsium hipoklorit atau yang biasa disebut kaporit adalah senyawa kimia
yang memiliki rumus kimia Ca(OCl)2. Kaporit biasanya digunakan untuk menjernihkan
air . Kalsium hipoklorit adalah padatan putih yang siap didekomposisi di dalam air untuk
kemudian melepaskan oksigen dan klorin. Senyawa aktifnya adalah hipoklorit yang
mempunyai daya untuk memutihkan. Kalsium hipoklorit memiliki aroma klorin yang
kuat. Senyawa ini tidak terdapat di lingkungan secara bebas.

Kalsium hipoklorit utamanya digunakan sebagai agen pemutih atau disinfektan. Senyawa
ini adalah komponen yang digunakan dalam pemutih komersial, larutan pembersih, dan
disinfektan untuk air minum, sistem pemurnian air, dan kolam renang. Ketika berada di
udara, kalsium hipoklorit akan terdegradasi oleh sinar matahari dan senyawa-senyawa
lain yang terdapat di udara. Di air dan tanah, kalsium hipoklorit berpisah menjadi ion
kalsium (Ca2+) dan hipoklorit (ClO-). Ion ini dapat bereaksi dengan substansi-substansi
lain yang terdapat di air.

Kalsium hipoklorit tidak terakumulasi di dalam rantai makanan. Jalur pajanan kalsium
hipoklorit kepada manusia, yakni pertama, manusia dapat terpajan kalsium hipoklorit
dalam level kecil ketika menggunakan disinfektan seperti pemutih rumah tangga. Kedua,
manusia bisa terpajan ketika ia berenang di kolam yang menggunakan bahan kimia ini
untuk membunuh bakteri. Ketiga, meminum air dari suplai air minum publik yang
menggunakan bahan kimia ini untuk membunuh bakteri juga bisa menjadi jalur pajanan.
Selain itu, para pekerja yang dipekerjakan di pekerjaan dimana senyawa ini digunakan
sebagai pemutih kertas dan tekstil dapat menjadi subyek pajanan kalsium hipoklorit
dalam level sedikit lebih tinggi.
Efek toksik dari kalsium hipoklorit utamanya bergantung pada sifat korosif hipoklorit.
Jika sejumlah kecil dari pemutih (3-6% hipoklorit) tertelan (ingesti), efeknya adalah iritasi
pada sistem gastrointestinal. Jika konsentrasi pemutih yang tertelan lebih besar, misalnya
hipoklorit 10% atau lebih, efek yang akan dirasakan adalah iritasi korosif hebat pada
mulut, tenggorokan, esofagus, dan lambung dengan pendarahan, perforasi (perlubangan),
dan pada akhirnya kematian. Jaringan parut permanen dan penyempitan esofagus dapat
muncul pada orang-orang yang dapat bertahan hidup setelah mengalami intoksikasi
(mabuk hipoklorit) hebat.
Jika gas klorin yang terlepas dari larutan hipoklorit terhirup (inhalasi), efek yang akan
muncul adalah iritasi pada rongga hidung, sakit pada tenggorokan, dan batuk. Kontak
dengan larutan hipoklorit kuat dengan kulit akan menyebabkan kulit melepuh, nyeri
bakar, dan inflamasi. Kontak mata dengan larutan pemutih konsentrasi rendah
menyebabkan iritasi ringan, tetapi tidak permanen. Larutan dengan konsentrasi yang
tinggi dapat menyebabkan luka mata parah. Pajanan hipoklorit dalam level rendah pada
jangka waktu lama dapat menyebabkan iritasi kulit. Belum diketahui apakah pajanan
klorin memiliki efek pada kemampuan reproduksi.
Pada Makanan, Food and Drug Administrastion (FDA) menetapkan ambang batas klorin,
yang tergambarkan oleh natrium hipoklorit atau kalsium hipoklorit, yaitu tidak boleh
melebihi berturut-turut 0.0082 pounds (sama dengan 3.72 gram) dan 0.0036 pounds (sama
dengan 1.633 gram) klorin per pounds makanan kering (1 pounds sama dengan 453.59
gram). Dengan kata lain, dalam 100 gram makanan, kadar klorin (yang digambarkan
dengan natrium hipoklorit atau kalsium hipoklorit) tidak boleh melebihi berturut-turut
0.82 gram dan 0.36 gram.
Seperti diketahui, hal-hal yang memengaruhi efek pajanan suatu bahan kimia terhadap
metabolisme tubuh manusia dipengaruhi oleh dosis, lama pajanan, jalur pajanan, ciri khas
dan perilaku manusia, serta keberadaan senyawa kimia lainnya . Disini FDA melakukan
perhitungan dengan menggunakan statistik manusia secara umum. Jika kita
menggunakan standar ini untuk manusia di Indonesia, mungkin standar ini masih belum
aman. Hal ini disebabkan oleh perbedaan antropometri manusia Indonesia dengan
manusia Eropa,Amerika, Afrika, atau manusia dari belahan dunia lainnya. Untuk
mendapatkan angka yang lebih dapat melindungi kesehatan manusia di Indonesia, maka
diperlukan penelitian lebih lanjut.

2.3 Iodometri
Diantara sekian banyak contoh teknik atau cara dalam analisis kuantitatif terdapat dua
cara melakukan analisis dengan menggunakan senyawa pereduksi iodium yaitu secara
langsung dan tidak langsung. Cara langsung disebut iodimetri (digunakan larutan iodium
untuk mengoksidasi reduktor-reduktor yang dapat dioksidasi secara kuantitatif pada titik
ekivalennya). Namun, metode iodimetri ini jarang dilakukan mengingat iodium sendiri
merupakan oksidator yang lemah. Sedangkan cara tidak langsung disebut iodometri
(oksidator yang dianalisis kemudian direaksikan dengan ion iodida berlebih dalam
keadaan yang sesuai yang selanjutnya iodium dibebaskan secara kuantitatif dan dititrasi
dengan larutan natrium thiosilfat standar atau asam arsenit) (Bassett, 1994).

Dengan kontrol pada titik akhir titrasi jika kelebihan 1 tetes titran. perubahan warna yang
terjadi pada larutan akan semakin jelas dengan penambahan indikator amilum/kanji
(Svehla, 1997). Iodium merupakan oksidator lemah. Sebaliknya ion iodida merupakan
suatu pereaksi reduksi yang cukup kuat. Dalam proses analitik iodium digunakan sebagai
pereaksi oksidasi (iodimetri) dan ion iodida digunakan sebagai pereaksi reduksi
(iodometri). Relatif beberapa zat merupakan pereaksi reduksi yang cukup kuat untuk
dititrasi secara langsung dengan iodium. Maka jumlah penentuan iodometrik adalah
sedikit. Akan tetapi banyak pereaksi oksidasi cukup kuat untuk bereaksi sempurna
dengan ion iodida, dan ada banyak penggunaan proses iodometrik.
Suatu kelebihan ion iodida ditambahkan kepada pereaksi oksidasi yang ditentukan,
dengan pembebasan iodium, yang kemudian dititrasi dengan larutan natrium thiosulfat
(Day & Underwood, 1981). Metode titrasi iodometri langsung (iodimetri) mengacu kepada
titrasi dengan suatu larutan iod standar. Metode titrasi iodometri tak langsung (iodometri)
adalah berkenaan dengan titrasi dari iod yang dibebaskan dalam reaksi kimia (Bassett,
1994). Larutan standar yang digunakan dalam kebanyakan proses iodometri adalah
natrium thiosulfat. Garam ini biasanya berbentuk sebagai pentahidrat Na2S2O3.5H2O.
Larutan tidak boleh distandarisasi dengan penimbangan secara langsung, tetapi harus
distandarisasi dengan standar primer.
Larutan natrium thiosulfat tidak stabil untuk waktu yang lama sehingga boraks atau
natrium seringkali ditambahkan sebagai pengawet. Iodin mengoksidasi tiosulfat menjadi
ion tetrationat:
I2 + 2S2O32- 2I- + S4O62-
Reaksinya berjalan cepat sampai selesai dan tidak ada reaksi sampingan. Berat ekivalen
dari Na2S2O3.5H2O adalah berat molekularnya 248,17 karena satu electron persatu
molekul hilang. Jika pH dari larutan diatas 9 tiosulfat teroksidasi secara parsial menjadi
sulfat:
4I2 + S2O32- + 5 H2O 8I- + 2SO42- + 10H+
Dalam larutan yang netral atau sedikit alkalin oksidasi menjadi sulfat tidak muncul ,
terutama jika iodin dipergunakan sebagai titran.
Banyak agen pengoksidasi kuat seperti garam permanganate,garam dikromat dan garam
serium (IV) mengoksidasi tiosulfat menjadi sulfat ,namun reaksinya tidak kuantitatif.
Dalam standarisasi larutan-larutan tiosulfat sejumlah substansi dapat dipergunakan
sebagai standar-standar primer untuk larutan-larutan tiosulfat. Iodin murni adalah
standar yang paling jelas namun jarang digunakan karena kesulitan dalam penanganan
dan penimbangan yang lebih sering dipergunakan adalah standar yang terbuat dari suatu
agen pengoksidasi kuat yang akan membebaskan iodine dari iodide,sebuah iodometrik.
Kalium iodat dan kalium bromat mengoksidasi iodide secara kuantitatif menjadi iodine
dalam larutan asam:
IO3- + 5I + 6H+ 3I2 + 3H2O BrO3- + 6I- + 6H+ 3I2 + Br- + 3H2O
Reaksi iodatnya berjalan cukup cepat ,reaksi ini juga hanya membutuhkan sedikit
kelebihan ion hydrogen untuk menyelesaikan reaksi. Reaksi bromat berjalan lebih lambat
namun kecepatannya dapat ditingkatkan dengan menaikkan konsentrasi ion hydrogen
biasanya sejumlah kecil ammonium molibda ditambah sebagai katalis. Kerugian utama
dari kedua garam ini sebagai standar primer adalah bahwa berat ekivalen mereka kecil.
Iodium dapat dimurnikan dengan sublimasi ia larut dalam larutan KI harus disimpan
pada tempat yang dingin dan gelap . berkurangnya iodium dan akibat penguapan dan
oksidsi udara menyebabkan banyak kesalahan dalm analisis dapat distandarisasi dengan
Na2S2O3.5H2O yang lebih dahulu distandarisasi dengan senyawa lain.
Biasanya indikator yang digunakan adalah kanji/amilum. Iodida pada konsentrasi < 10-5
M dapat dengan mudah ditekan oleh amilum. Sensitivitas warnanya tergantung pada
pelarut yang digunakan. Kompleks iodium-amilum mempunyai kelarutan kecil dalam air
sehingga biasanya ditambahkan pada titik akhir reaksi (Khopkar, 2002). Warna larutan
0,1 N iodium adalah cukup kuat sehingga dapat bekerja sebagai indikatornya sendiri.
Iodium juga memberikan warna ungu atau merah lembayung yang kuat kepada pelarut-
pelarut seperti karbon tetraklorida atau kloroform dan kadang-kadang hal ini digunakan
untuk mengetahui titik akhir titrasi. Akan tetapi lebih umum digunakan suatu larutan
(dispersi koloidal) kanji, karena warna biru tua dari kompleks kanji-iodium dipakai untuk
suatu uji sangat peka terhadap iodium. Kepekaan lebih besar dalam larutan yang sedikit
asam dari pada dalam larutan netral dan lebih besar dengan adanya ion iodida (Day &
Underwood, 1981).
Jika larutan iodium dalam KI pada suasana netral maupun asam dititrasi dengan natrium
thiosulfat maka:
I3- + 2S2O32- 3I- + S4O62-
Selama reaksi zat antara S2O32- yang tidak berwarna adalah terbentuk sebagai:
S2O32- + I3- S2O3I- + 2I-
Yang mana berjalan terus menjadi:
S2O3I- + S2O32- S4O62- +I3-
Reaksi berlangsung baik dibawah pH = 5,0 (Khopkar, 2002). Jika suatu zat pengoksidasi
kuat diolah dalam larutan netral atau (lebih biasa) larutan asam, dengan ion iodida yang
sangat berlebih, yang terakhir bereaksi sebagai zat prereduksi, dan oksidan akan
direduksi secara kuantitatif. Dalam hal-hal yang demikian, sejumlah iod yang ekivalen
akan dibebaskan, lalu dititrasi dengan larutan standar suatu zat pereduksi, biasanya
natrium thiosulfat (Bassett, 1994).
Potensial reduksi dari zat-zat tertentu naik banyak sekali dengan naiknya konsentrasi ion-
hidrogen dari larutan. Inilah halnya dalam sistem-sistem yang mengandung permanganat,
dikromat, arsenat, antimonat, borat dan sebagainya yakni, dengan anion-anion yang
mengandung oksigen dan karenanya memerlukan hidrogen untuk reduksi lengkap.
Banyak anion pengoksidasi yang lemah direduksi lengkap oleh ion iodida, jika potensial
reduksi merekanaik banyak sekali karena adanya jumlah besar asam dalam larutan
(Bassett, 1994).
Dua sumber sesatan yang penting dalam titrasi yang melibatkan iod adalah: 1.
Kehilangan iod yang disebabkan oleh sifat mudah menguapnya yang cukup berarti 2.
Larutan iodida yang asam dioksidasi oleh oksigen di udara:
4I- + O2 + 4H+ 2I2 + 2H2O
Reaksi diatas lambat dalam larutan netral tetapi lebih cepat dalam larutan berasam dan
dipercepat oleh cahaya matahari. Setelah penambahan kalium iodida pada larutan
berasam dari suatu pereaksi oksidasi, larutan harus tidak dibiarkan untuk waktu yang
lama berhubungan dengan udara, karena iodium tambahan akan terbentuk oleh reaksi
yang terdahulu. Nitrit harus tidak ada, karena akan direduksi oleh ion iodida menjadi
nitrogen (II) oksida yang selanjutnya dioksidasi kembali menjadi nitrit oleh oksigen dari
udara:
2HNO2 + 2H+ + 2I- 2NO + I2 + 2H2O 4NO + O2 + 2H2O 4HNO2
Kalium iodida harus bebas iodat karena kedua zat ini bereaksi dalam larutan berasam
untuk membebaskan iodium:
IO3- + 5I- + 6H+ 3I2 + 3H2O
(Day & Underwood, 1981).

BAB III
PEMBAHASAN

1. ALAT DAN BAHAN


Alat :
Labu ukur 100 mL
Pipet gondok 10 mL
Erlenmeyer
250 mL Pipet tetes Buret
Bahan :
Larutan KIO3 sebagai larutan baku
Air suling
Larutan Na2S2O3
Larutan 0,1 N KI 20%
HCl 4 N
Larutan kanji
Larutan H2SO4
Amonium molibdat 3%
Pemutih (bayclin sebagai aplikasinya)
2. PROSEDUR KERJA
A. Pembuatan Larutan Standar
Pembuatan larutan KIO3 sebagai larutan baku, timbang KIO3sebanyak 0,37 gr dan
dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL.
Larutkan dengan air suling dan encerkan sampai tanda batas. Kocok dengan baik agar
tercampur sempurna.
Penentuan (standarisasi) pemutih (bayclin) dengan KIO3. Bilas dan isi buret dengan
larutan Na2S2O3 0,1 N.
Pipet dengan pipet tetes sebanyak 2 mL, masukkan dalam erlenmeyer dan tambah 75 mL
air suling, ditambah 0,3 gr KI, tambah 2 mL H2SO4 1:6 dan tambah 3 tetes ammonium
molibdat 3%.
Iod yang dibebaskan dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat sampai warna menjadi
kuning muda, kemudian ditambahkan kanji dan dititrasi terus sampai warna biru hilang.
Baca dan catat angka pada buret saat awal dan akhir titrsi, tentukan dan catat volume
larutan natrium tiosulfat yang digunakan dalam titrasi.
Hitung konsentrasi larutan natium tiosulfaat. Ulangi titrasi sampai 3 kali menggunakan
volume larutan natrium tiosulafat yang sama.
Hitung konsentrasi lautan natrium tiosulfat rata-rata.
B. Penentuan Kadar Klor dalam
Dengan menentukan kadar Cl2 pada pemutih(bayclin)
Dengan mengukur berat jenis pemutih (bayclin) diperoleh massa pikno 20 gram dan massa
kotor pemutih 75 gram sehingga diperoleh massa pemutih adalah 55 gram dengan volum
50 mL sehingga diperoleh berat jenis pemutih sebesar 1,1 gram/mL.
Kemudian dari 50 mL diambil 2 mL dari pemutih (tidak berwarna) dan dimasukkan
kedalam erlenmeyer lalu ditambah aquades 75 mL agar tidak terlalu pekat .
Kemudian ditambah 0,3 gram KI berupa serbuk putih sehingga dihasilkan larutan
berwarna coklat kekuningan .
Selanjutnya ditambah lagi dengan 2 mL H2SO4 (tidak berwarna) dengan tujuan untuk
menjadikan suasana asam serta ditambahkan juga dengan 3 tetes amonium molibdat 3%
(tidak berwarna) sebagai katalis untuk mempercepat reaksi.
Dari penambahan-penambahan yang dilakukan ini diperoleh larutan berwarna coklat tua
dan terdapat endapan.
Kemudian dititrasi dengan Na2S2O3 tidak berwarna sampai larutan berwarna kuning
muda dan endapan menghilang.
Setelah menjadi kuning muda larutan ditambah dengan 5 mL larutan kanji tidak
berwarna maka larutan berubah warna menjadi ungu kehitaman. Hal ini menunjukkan
bahwa didalam larutan terdapat I2 dan larutan kanji ini berfungsi sebagai indicator.
Kemudian titrasi dilanjutkan lagi hingga warna ungu kehitaman tepat hilang. Hal ini
menunjukkan bahwa didalam larutan tidak terdapat lagi I2 melainkan telah menjadi I- .
Percobaan ini dilakukan sampai tiga kali sampai dengan diperoleh data volum Na2S-
2O3 yang digunakan.
Sebagai contoh perhitungan penentuan kadar klorin dalam cairan pemutih pakaian diatas
adalah sebagai berikut :
V1 = 16,6 mL
V2 = 19,7 mL
V3 = 17,7 mL.
Sehingga perhitungannya sebagai berikut:
Cl2 + 2 I- 2Cl- + I2
I2 + 2 S2O32- S4O62- + 2I-
Pada percobaan pertama
Massa Sampel = V x = 2 x 1,1 = 2,2 gram
molek Na2S2O3 = molek Cl2
N. V = molek Cl2
0,146 x 16,6 = molek Cl2
2,4236 x 10-3 = molek Cl2
Sehingga massa Cl2 = molek Cl2 . BE
= 0,0024 x 35,5
= 0,0852 gram.
% Massa Cl2 = Massa Cl2 x 100% Massa sampel
= 0,0852 x 100%. 2,2
= 3,8727 %
= 3,88 %.
Pada percobaan Kedua
Massa Sampel = V x = 2 mL x 1,1 gram/mL = 2,2 gram
molek Na2S2O3 = molek Cl2
N. V = molek Cl2
0,146 x 19,7 = molek Cl2
2,8762 x 10-3 = molek Cl2
Sehingga massa Cl2 = molek Cl2 . BE
= 0,0029 x 35,5
= 0,1029 gram
% Massa Cl2 = Massa Cl2 X 100% Massa Sampel
= 0,1029 x 100%. 2,2
= 4,6772 %
= 4,68 %
Pada percobaan Ketiga
Massa Sampel = V x = 2 mL x 1,1 gram/mL = 2,2 gram
molek Na2S2O3 = molek Cl2
N. V = molek Cl2
0,146 x 17,7 = molek Cl2
2,5842 x 10-3 = molek Cl2
Sehingga massa Cl2 = molek Cl2 . BE
= 0,0026 x 35,5
= 0,0923 gram
% Massa Cl2 = Massa Cl2 X 100% . Massa Sampel
= 0,0923 x 100%. 2,2
= 4,1954 %
= 4,19 %
Jadi kadar rata-rata Cl2 dalam sampel pada percobaan ini adalah sekitar 4,25 %.
BAB IV
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari hasil praktikum diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Nilai normalitas sebagai
larutan baku adalah 0,1037 N, sedangkan nilai normalitas larutan Na2S2O3 rata-rata
adalah 0,146 N 2. Untuk aplikasi iodometri yaitu penentuan kadar Cl2 dalam pemutih
(bayclin) diperoleh kadar rata-rata sebesar 4,25 %.
3.2 Saran
Untuk menentukan titik akhir suatu titrasi harus dilakukan secara cermat dan teliti ,
kelebihan larutan Na2S2O3 sedikit saja saat titik akhir sudah tercapai akan membuat
larutan erlenmeyer tidak berwarna padahal seharusnya berwarna kuning muda dan
sebaliknya apabila larutan Na2S2O3 masih kurang maka warna kuning yang diinginkan
tidsk sesuai karena warnanya kurang muda(terlalu pekat), sehingga akan berpengaruh
terhadap hasil perhitungan untuk menentukan normalitas Na2S2O3. Titik akhir titrasi
tidak jauh berbeda dengan titik ekivalennya, namun karena faktor keterbatasan indera
penglihatan membuat titik akhir titrasi tidak tepat dengan titik ekivalennya.

DAFTAR PUSTAKA

Basset, J. 1994. Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. EGC. Jakarta.


Harjadi, W. 1989. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Erlangga. Jakarta.
Khopkar S. 2002. Konsep Dasar kimia Analitik. Jakarta : UI Press.
Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Svehla, S. 1985. Buku Ajar Vogel: Analisis Anorganik Kuantitatif Makro dan Semimikro.
Jilid I. PT Kalman Media Pusaka. Jakarta.
Underwood, A. L. 1981. Analisis Kimia Kiantitatif Edisi ke Enam. Erlangga. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai