Anda di halaman 1dari 4

Hukum Pidana Di Luar Kodifikasi 31 Maret 2017

1. Urgensi perlunya politik criminal untuk menanggulangi kejahatan yang


terjadi di masyarakat.
Masyarakat memiliki sifat dinamis yakni selalu ada perubahan di dalam
kehidupan sosial masyarakat. Tak terkecuali kejahatan pun semakin
berkembang. Contoh dulu tidak ada kejahatan cyber crime, namun karena
adanya sistem informasi yang berkembang maka ada kejahatan bentuk
baru yakni cyber crime. Sehingga ketika hukum yang ada tidak dapat
menjangkau kejahatan model baru yang berkembang tersebut maka
hukum pidana kehilangan tujuannya. Sejalan dengan yang dikatakan
Prof. Barda Nawawi Arief yakni bahwa kebijakan atau upaya
penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral
dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai
kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik criminal
ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat. Sehingga hokum pidana sebagai remedium dapat
menanggulangi kejahatan yang terjadi dalam masyarakat.
2. Hubungan antara pasal 103 kuhp dengan pasal 284 kuhap dengan
eksistensinya aturan hokum pidana di luar kodifikasi
Hubungannya adalah keduanya mengatur ketentuan pidana di luar
kodifikasi dan menyatakan eksistensi aturan hokum pidana di luar
kodifikasi. Pasal 103 KUHP mengatur ketentuan hokum materiilnya
sedangkan pasal 284 KUHAP mengatur ketentuan hokum formiilnya.
Dalam pasal103 KUHP disebutkan ketentuan dalam bab I sampai Bab
VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan
perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali dalam
undang-undang ditentukan lain. Sedangkanpasal 284 KUHAP dalam
waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap
semua perkara diberlakukan ketentuan uu ini, dengan pengecualian untuk
sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana
dimaksud pada undangundang tertentu, sampai ada perubahan dan atau
dinyatakan tidak berlaku lagi
Pengaturan dalam pasal 103 kuhp dan 284 kuhap menunjukan asas Lex
Specialis derogate legi generalis. (ketentuan khusus mengesampingkan
ketentuan umum).
3. Apakah hokum pidana di luar kodifikasi harus berwujud uu? Dan mengapa
demikian.
Menurut saya mengapa harus uu adalah erat kaitannya dengan sanksi
yang termuat di dalamnya. Wujud yang memuat ketentuan sanksi pidana
adalah Undang-undang dan juga perpu. Dalam hal ini mengapa UU
karena kalau kita memuatnya ke dalam Perpu maka akan melanggar asas
lex superior derogate legi inferiori, karena KUHP dan KUHAP
merupakan bentuk undang-undang. KUHP adalah UU no 1 tahun 1946
sedangkan KUHAP adalah UU no 8 tahun 1981. Sehingga yang dapat
digunakan berupa undang-undang yang setara namun mengatur ketentuan
yang lebih khusus. Hal ini yang disebut dengan lex specialis derogate
legi generalis.
4. Pengaturan dalam pidkof mengenai beban pembuktian
UU No 31 tahun 1999 jo UU no 20 tahun 2001
1. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
Dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya
dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap
dilakukan oleh penerima gratifikasi; (pasal 12 B huruf a)
2. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan
Yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber
Penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana
Dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat
bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak
pidana korupsi. (pasal 37 A ayat 2)

=> UU No 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan TPPU

3. Untuk kepentingan pemeriksaan di siding pengadilan, terdakwa


wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya
Bukan merupakan hasil tindak pidana. (pasal 77 )
6. Penyimpangan uu no 31 tahun 1999
a. Obyek hukum pidana : KORPORASI SEBAGAI SUBYEK HUKUM DIATUR
DALAM PASAL 1 AYAT (3) UU NO. 31 TAHUN 1999. HAL INI MENYIMPANG
DARI KETENTUAN PIDANA UMUM YANG SELALU MENUNJUK ORANG
SEBAGAI SUBYEK HUKUM. HAMPIR SEMUA PERUMUSAN DELIK DALAM
KUHP DIMULAI DENGAN KATA-KATA BARANG SIAPA ATAU DALAM
PASAL 341 DAN 342 KUHP YANG DIMULAI DENGAN KATA-KATA
SEORANG IBU YANG MENUNJUK MANUSIA SEBAGAI SUBYEK HUKUM.
PENGERTIAN KORPORASI DALAM PASAL 1 AYAT (3) UU NO. 31 TAHUN
1999 MERUPAKAN PENGERTIAN KORPORASI DALAM ARTI LUAS.
DISEBUTKAN BAHWA KORPORASI ADALAH KUMPULAN ORANG ATAU
KEKAYAAN YANG TERORGANISASI, BAIK MERUPAKAN BADAN HUKUM
MAUPUN BUKAN BADAN HUKUM.

b. Jenis dan lamanya pidana pengganti : Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999


tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah
diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah memuat ketentuan
pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayar
pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian negara.

Jika terpidana kasus korupsi tidak membayar uang pengganti dalam waktu 1
(satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk
menutupi uang pengganti. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda
yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana dengan
pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana
pokoknya. Dengan kata lain, pidana penjaranya ditambah lagi.
c. Perwira Penyerah Perkara mempunyai wewenang:
a. memerintahkan Penyidik untuk melakukan penyidikan;
b. menerima laporan tentang pelaksanaan penyidikan;
c. memerintahkan dilakukannya upaya paksa;
d. memperpanjang penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78;
e. menerima atau meminta pendapat hukum dari Oditur tentang penyelesaian
suatu perkara;
f. menyerahkan perkara kepada Pengadilan yang berwenang untuk
memeriksa dan mengadili;
g. menentukan perkara untuk diselesaikan menurut Hukum Disiplin Prajurit;
dan
h. menutup perkara demi kepentingan hukum atau demi kepentingan
umum/militer.
Pasal 123 UU No. 31 Tahun 1997
5. Kasus PT. SSS mengikuti lelang di kab. Baruku Timur
a. Kasus di atas merupakan tindak pidana korupsi karena sesuai dengan
rumusan pasal 2 ayat 1 setiap orang yang secara melawan hokum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian
Negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal
20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1
miliar rupiah.
b. Yang menjadi terdakwa adalah direktur PT.SSS karena telah sengaja dan
melawan hokum melakukan suap terhadap panitia lelang. Sanksi
pidananya berupa pidana penajra minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun
dan paling dikit 4 tahun dan paling banyak 1 miliar rupiah.

Anda mungkin juga menyukai