Anda di halaman 1dari 3

Pers dan Lahirnya Bangsa Indonesia

Oleh Subairi Muzakki

Sebagai sebuah bangsa, Indonesia adalah contoh paripurna dari produk nasionalisme modern yang
dibentuk oleh pers. Berbeda dengan banyak bangsa lainnya, Indonesia tidak lahir karena kesamaan
suku seperti Jepang, atau kesamaan agama seperti Pakistan. Tetapi Indonesia lahir dari kesamaan
imajiner, yaitu kesamaan nasib dan cita-cita.

Indonesianis terkemuka, Benedict Anderson mengatakan, kesamaan imajiner itu dibentuk oleh novel
dan pers. Lewat novel dan pers, kata Anderson, pembaca yang tersebar di banyak tempat, dapat
terkoneksi oleh citra dan bayangan yang sama.

Koneksi ini memiliki dampak luar biasa. Mereka mulai membandingkan kejadian di daerah lain
dengan apa yang terjadi di daerahnya sendiri. Mereka tahu bahwa di daerah sana mengalami
kejadian serupa dan mereka pun mulai merasa senasib dan seperjuangan. Mulailah mereka
membayangkan sebagai satu komunitas, komunitas terbayang yang walau satu sama lain tidak saling
kenal tapi memiliki citra sama tentang nasibnya, dan juga cita-cita bersama tentang masa depannya.

Anderson mengatakan, komunitas terbayang itulah yang disebut sebagai bangsa. Disebut komunitas
terbayang karena meski satu sama lain tidak saling kenal, mereka menganggap berada dalam satu
naungan, yaitu komunitas yang dibayangkan (imagined community). (Anderson, 1986: 15-16)

Tulisan ini berusaha melacak jejak pers dalam menampilkan citra dan bayangan yang sama tentang
masyarakat di tanah nusantara, sehingga terbentuk suatu komunitas terbayang bernama Indonesia.

Pers Berbahasa Melayu Pasar

Awal abad 20 ditandai oleh merebaknya pers yang tak lagi memakai bahasa Belanda, atau bahasa
Eropa lainnya. Tetapi memakai bahasa yang biasa dipakai oleh hampir semua masyarakat yang
tinggal di Hindia Belanda, yaitu bahasa Melayu pasar.

Menurut Douwes Dekker, secara kronologis pers berbahasa Melayu yang tertua ialah Bintang
Soerabaja, terbit pada tahun 1861 dipimpin oleh Courent. Isinya selalu menentang pemerintah dan
berpengaruh di kalangan orang-orang Tionghoa di Jawa Timur.

Namun yang paling terkenal dan berpengaruh di kalangan bumiputra adalah Medan Prijaji, terbit
pada tahun 1907 sebagai mingguan dan sejak 1910 sebagai harian. Koran ini dipimpin oleh Tirto Adhi
Surjo, orang pribumi yang diceritakan dengan sangat memikat oleh Pramoedya dalam roman
Tetralogi Pulau Buru dengan tokoh protagonis Minke.

Tirto Adhi Surjo adalah mantan mahasiswa Stovia. Jurnalis berbakat, pernah jadi koresponden
beberapa media dan redaktur pada koran Pembrita Betawi (1901-1903). Di koran Pembrita Betawi
ini dia secara khusus bertanggung jawab atas kolom Dreyfusiana, suatu kolom yang disediakan
untuk mengungkap penyalahgunaan-penyalahgunaan kekuasaan oleh Belanda dan para pegawai
sipil pribumi. Kolom itu dimaksudkan untuk menjadikan jurnalisme sebagai sebuah senjata baru bagi
perjuangan orang-orang terjajah.

Nama kolom itu merujuk pada Kasus Dreyfus yang terjadi pada akhir abad ke-19 di Prancis. Kasus
itu melahirkan manifeste des intllectuals (manifesto intelektual) dan menjadi tonggak sejarah bagi
gerakan intelektual di Eropa. Hal ini menunjukkan pengaruh gerakan intelektual Eropa di Hindia
Belanda, walaupun kata intellectueel (intelektual) belum lagi lazim dipakai dalam wacana publik di
kalangan para bangsawan fikiran waktu itu.

Sejak itu, kata intulektual mulai populer dalam pers berbahasa Melayu pasar atau pers vernakular. Ia
ditulis dengan tak menghilangkan muatan makna protes terhadap kesewanangan, bahwa kaum
intelektual harus membela yang terjajah melawan penjajah. Semakin istilah intelektual membanjir
dalam halaman-halaman pers vernakular, semakin tumbuh pula kesadaran dan kepedulian
bangsawan fikiran sebagai kaum intelektual untuk memperjuangkan rakyat terjajah.

Tirto pula yang memulai langkah besar pada 1903 dengan mengelola mingguan vernakular pertama
yang dimiliki, dieditori, dan dikelola sendiri oleh orang pribumi, yakni mingguan Soenda Berita di
Cianjur atas dukungan finansial dari Bupati Cianjur, R.A.A Prawidiredja.

Walau hanya bertahan dua tahun, tapi usaha rintisan ini menjadi modal kesuksesan Medan Prijaji.
Pada masa jayanya antara 1910-1912, Medan Prijaji mencapai tiras hingga 2.000 eksemplar, suatu
jumlah yang waktu itu cukup besar.

Media ini menggunakan bahasa Melayu pasar dan sangat kritis terhadap pemerintah. Seperti yang
lain, ia mendefinisikan dirinya sebagai jurnalisme perjuangan, wadah perjuangan kaum intelektual.

Menggunakan analisa Bennedict Anderson, dengan menyampaikan kritisisme lewat bahasa Melayu
pasar, Medan Prijaji bertindak layaknya tesis-tesis pembumian agama-nya Marthin Luther yang
ditempel di pintu kapel di Wittenberg.

Tesis-tesis itu memakai bahasa Jerman sehari-hari, dalam waktu lima belas hari tulisan itu sudah
dapat dijumpai di segala tempat di seluruh Jerman. Bahasa vernakular yang dipakai Luther lalu
diikuti oleh penulisan buku-buku lainnya, yang terus laris di pasar, meruntuhkan sakralitas bahasa
latin, dan akhirnya menciptakan khalayak pembaca baru dan sangat besar. Dari sini, benih
pembayangan akan suatu komunitas atau komunitas terbayang muncul yang berujung pada
kehadiran nasionalisme. Bahasa-bahasa cetak ini membentangkan landasan bagi kesadaran nasional.

Dalam operasi yang sama, Medan Prijaji menciptakan khalayak pembacanya sendiri, begitu pula
koran dan majalah vernakular lainnya. Para pembaca potensial dari koran-koran dan majalah-
majalah berbahasa Melayu pasar terentang mulai dari para pedagang, serdadu, dan misionaris Eropa
yang telah terbiasa mengguankan bahasa ini dalam kontak-kontak mereka dengan penduduk
pribumi, sampai dengan orang-orang keterunan Cina yang melek huruf dan akrab dengan bahasa
Sino-Melayu yang jumlahnya terus meningkat, serta orang-orang Bumiputra yang melek huruf yang
telah lama terbiasa dengan bahasa Melayu. Dengan kondisi seperti itu, pembaca pers vernakular
terus menanjak dan mendorong agar pers tidak hanya berorintasi komersial, tapi juga melayani
aspirasi-aspirasi inteligensia yang sedang tumbuh.

Pers dan Politik

Kritisisme sosial sangat nampak dalam pers-pers vernakular. Umumnya, mereka memposisikan diri
sebagai pejuang rakyat jajahan yang harus melawan kesewenangan pemerintah. Bagi mereka, pers
dan politik adalah satu kesatuan sebagai perkakas untuk membela rakyat dan mengusir kolonialisme
Belanda. Pada pertemuan dengan para Jurnalis di Padang 1932, Mohammad Hatta mengaskan posisi
ini dengan mengatakan:
Joernalistik dan politik tidak dapat dipisahkan! Bagi rajat banyak pers itu sangat perloe sekali,
karena pers itoe bersifat doea matjam, jaitoe menerangi mata rajat dan memboekakannja.
Kewajiban ini mendjadi tanggoengan pers jang sebenar-benarnja, terlebih pada masa sekarang.
(Madjalah Daulat Rajat, edisi 10 November 1932)

Posisi oposisi ini juga terlihat dari isi dan konten yang ada, selain berita tentang Hindia Belanda dan
manca Negara, roman yang dikemas dalam bentuk cerita bersambung, artikel-artikel dari para
bangsawan fikiran terus mewarnai lembaran-lembaran pers vernakular. Mayoritas berisi protes
terhadap pemerintah, ajakan persatuan, penyebaran gagasan maupun ideologi perjuangan, dan
analisa perkembangan manca Negara.

Dengan begitu, pers vernakular menyediakan konstruksi simbolik dan menjadi wahana ekspresi
identitas kolektif, forum bagi pertukaran ide-ide diantara inteligensia baru yang idealis, dan juga
obor inspirasi dari dunia luar yang bisa menghidupkan hasrat-hasrat dan tindakan-tindakan baru.
Dari sinilah benih pembayangan akan suatu komunitas atau hadirnya komunitas terbayang yang
berujung pada penciptaan bangsa Hindia, yang nanti berubah nama menjadi Indonesia.

Terutama setelah dipakainya istilah Indonesia untuk menyebut komunitas terbayang itu, sebuah
era baru benar-benar telah dimulai, sebuah era yang menandai dimulainya sejarah bangsa
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai