Anda di halaman 1dari 13

(

Muttaqin, 2008)
E.
Tanda dan Gejala (Manifestasi Klinis)
1.
Neonatus : menolak untuk makan, refleks menghisap kurang, muntah,
diare, tonus otot melemah, menangis lemah.
Pathway
2.
Anak-anak dan remaja : demam tinggi, sakit kepala, muntah, perubahan
sensori, kejang, mudah terstimulasi, foto pobia, delirium, halusinasi,
maniak, stupor, koma, kaku kuduk, tanda kernig dan brudinzinski positif,
ptechial (menunjukkan infeksi meningococal) (Nurarif, 2013).
F.
Pemeriksaan Penunjang
1.
Pemeriksaan pungsi lumbal
Dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein cairan cerebrospinal,
dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan intrakranial.
a.
Pada meningitis serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan jernih,
sel darah putih meningkat, glukosa dan protein normal, kultur (-).
b.
Pada meningitis purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan keruh,
jumlah sel darah putih dan protein meningkat, glukosa menurun,
kultur (+) beberapa jenis bakteri.
2.
Pemeriksaan darah
Dilakukan pemeriksaan kadar Hb, jumlah leukosit, Laju Endap Darah
(LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit dan kultur.
a.
Pada Meningitis Serosa didapatkan peningkatan leukosit saja. Di
samping itu, pada Meningitis Tuberkulosa didapatkan juga
peningkatan LED.
b.
Pada Meningitis Purulenta didapatkan peningkatan leukosit.
3.
Pemeriksaan
Radiologis
a.
Pada Meningitis Serosa dilakukan foto dada, foto kepala, bila mungkin
dilakukan CT Scan.
b.
Pada Meningitis Purulenta dilakukan foto kepala (periksa mastoid,
sinus paranasal, gigi geligi) dan foto dada (Smeltzer, 2002).
G.
Penatalaksanaan
Penatalaksaan medis meningitis yaitu :
1.
Antibiotik sesuai jenis agen penyebab
2.
Steroid untuk mengatasi inflamasi
3.
Antipiretik untuk mengatasi demam
4.
Antikonvulsant untuk mencegah kejang
5.
Neuroprotector untuk menyelamatkan sel-sel otak yang masih bisa
dipertahankan
6.
Pembedahan : seperti dilakukan VP Shunt (Ventrikel Peritoneal Shunt)
Ventriculoperitoneal Shunt adalah prosedur pembedahan yang dilakukan
untuk membebaskan tekanan intrakranial yang diakibatkan oleh terlalu
banyaknya cairan serbrospinal. Cairan dialirkan dari ventrikel di otak
menuju rongga peritoneum. Prosedur pembedahan ini dilakukan di dalam
kamar operasi dengan anastesi umum selama sekitar 90 menit. Rambut di
belakang telinga dicukur, lalu dibuat insisi tapal kuda di belakang telinga
dan insisi kecil lainnya di dinding abdomen. Lubang kecil dibuat pada
tulang kepala, lalu selang kateter dimasukkan ke dalam ventrikel otak.
Kateter lain dimasukkan ke bawah kulit melalui insisi di belakang telinga,
menuju ke rongga peritoneum. Sebuah katup diletakkan di bawah kulit di
belakang telinga yang menempel pada kedua kateter. Bila terdapat tekanan
intrakranial meningkat, maka CSS akan mengalir melalui katup menuju
rongga peritoneum (Jeferson, 2004).
Terapi bedah merupakan pilihan yang lebih baik. Alternatif lain selain
pemasangan shunt antara lain:
a.
Choroid pleksotomi atau koagulasi pleksus Choroid
b.
Membuka stenosis akuaduktus
c.
Eksisi tumor
d.
Fenestrasi endoskopi
H.
Pengkajian Primer
1.
Airway
Adanya sumbatan atau obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan
sekret akibat kelemahan refleks batuk. Jika ada obstruksi maka lakukan :
a.
Chin lift atau jaw trust
b.
Suction atau hisap
c.
Guedel airway
d.
Intubasi trakhea dengan leher ditahan (imobilisasi) pada posisi netral
2.
Breathing
Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas, penggunaan
otot bantu apas, dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering
didapatkan pada klien meningitis disertai adanya gangguan pada sistem
pernapasan. Palpasi thoraks hanya dilakukan apabila terdapat deformitas
pada tulang dada pada klien dengan efusi pleura masif (jarang terjadi pada
klien dengan meningitis). Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi
pada klien dengan meningitis tuberkulosa dengan penyebaran primer di
paru.
3.
Circulationtekanan darah dapat normal atau meningkat, hipotensi terjadi
pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normla pada tahap dini,
disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap
lanjut.
4.
Dissability
Menilai kesadaran dengan cepat,apakah sadar, hanya respon terhadap
nyeri atau atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur GCS.
5.
Eksposure
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cidera
yang mungkin ada, jika ada kecurigan cedera leher atau tulang belakang,
maka imobilisasi in line harus dikerjakan (Muttaqin, 2008).
I.
Pengkajian Sekunder
1.
Anamnesa
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien atau orang tua membawa
anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan adalah panas badan tinggi,
kejang, dan penurunan tingkat kesadaran.
2.
Riwayat penyakit saat ini
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui jenis kuman penyebab.
Pada pengkajian klien dengan meningitis, biasanya didapatkan keluhan
yang berhubungan dengan akibat dari infeksi dan peningkatan TIK.
Keluhan gejala awal tersebut biasanya sakit kepala dan demam. Sakit
kepala dihubungkan dengan meningitis yang selalu berat dan sebagai
akibat iritasi meningen. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat
kesadaran dihubungkan dengan meningitis bakteri. Disorientasi dan
gangguan memori biasanya merupakan awal adanya penyakit.
3.
Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkingkan
adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi
pernahkah klien mengalami infeksi jalan napas bagian atas, otitis media,
mastoiditis, anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain, tindakan bedah
saraf, riwayat trauma kepala, dan adanya pengaruh immunologis pada
masa sebelumnya.
4.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan memeriksa tanda-tanda vital (TTV).
Pada klien dengan meningitis biasanya didapatkan peningkatan suhu
tubuh lebih dari normal, yaitu 38-41
o
C, dimulai dari fase sistemik,
kemerahan, panas, kulit kering, berkeringat. Keadaan ini biasanya
dihubungkan dengan proses inflamasi dan iritasi meningen yang sudah
mengganggu pusat pengatur suhu tubuh. Penurunan denyut nadi terjadi
berhubungan dengan tanda-tanda peningkatan TIK.
a.
Tingkat kesadaran
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien meningitis biasanya
berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien
sudah mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting untuk
menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk memantau
pemberian asuhan keperawatan.
b.
Fungsi serebri
Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai
gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah dan aktivitas motorik
yang pada klien meningitis tahap lanjut biasanya status mental klien
mengalami perubahan.
c.
Pemeriksaan saraf kranial
1)
Saraf I. Biasanya pada klien meningitis tidak ada kelainan fungsi
penciuman.
2)
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
Pemeriksaan papiledema mungkin didapatkan terutama pada
meningitis supuratif disertai abses serebri dan efusi subdural yang
menyebabkan terjadinya peningkatan TIK.
3)
Saraf III, IV, dan VI. Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil pada
klien meningitis yang tidak disertai penurunan kesadaran biasanya
tanpa kelainan. Pada tahap lanjut meningitis yang telah
mengganggu kesadaran, tanda-tanda perubahan dari fungsi dan
reaksi pupil akan didapatkan. Dengan alasan yang tidak diketahui,
klien meningitis mengeuh mengalami fotofobia atau sensitif yang
berlebihan terhadap cahaya.
4)
Saraf V. Pada klien meningitis umumnya tidak didapatkan
paralisis pada otot wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada
kelainan.
5)
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
simetris.
6)
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi.
7)
Saraf IX dan X. Kemampuan menelan baik.
8)
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius. Adanya usaha dari klien untuk melakukan fleksi leher
dan kaku kuduk (regiditas nukal)
9)
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak
ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.
d.
Sistem motorik
Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan koordinasi pada
meningitis tahap lanjut mengalami perubahan.
e.
Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau
periosteum derajat refleks pada respons normal. Refleks patologis akan
didapatkan pada klien meningitis dengan tingkat kesadaran koma.
Adanya refleks
Babinski
(+) merupakan tanda adanya lesi UMN.
f.
Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kedutan saraf, dan distonia. Pada
keadaan tertentu klien biasanya mengalami kejang umum, terutama
pada anak dengan meningitis disertai peningkatan suhu tubuh yang
tinggi. Kejang dan peningkatan TIK juga berhubungan dengan
meningitis. Kejang terjadi sekunder akibat area fokal kortikal yang
peka.
g.
Sistem sensorik
Pemeriksaan sensorik pada meningitis biasanya didapatkan sensasi
raba, nyeri, dan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal di
permukaa tubuh. Sensasi proprioseptif dan diskriminatif normal.
5.
Pemeriksaa diagnostik
Pemeriksaan diagnostik rutin pada klien meningitis meliputi laboratorium
klinik rutin (Hb, leukosit, LED, trombosit, retikulosit, glukosa).
Pemeriksaan faal hemostatis diperlukan untuk mengetahui secara awal
adanya DIC. Serum elektrolit dan serum glukosa dinilai untuk
mengidentifikasi adanya ketidakseimbangan elektrolit terutama
hiponatremia (Muttaqin, 2008).
J.
Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
1.
Gangguan perfusi serebra berhubungan dengan peningkatan tekanan
intrakranial
2.
Nyeri akut berhubungan dengan adanya iritasi lapisan otak
3.
Potensial terjadinya injuri berhubungan dengan adanya kejang, perubahan
status mental dan penurunan tingkat kesadaran
4.
Resiko tinggi infeksi terhadap penyebaran diseminata hematogen dari
patogen, stasis cairan tubuh, penekanan respons inflamasi (akibat-obat),
pemajanan orang lain terhadap patogen
5.
Resiko tinggi trauma berhubungan dengan iritasi korteks serebral, kejang
lokal, kelemahan umum, paralisis parestesia, ataksia, vertigo
6.
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan
sekret pada saluran nafas
7.
Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
8.
Gangguan pola nafas berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran
9.
Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi penyakit (Herdman, 2009).
K.
Intervensi keperawatan
1.
Gangguan perfusi serebra berhubungan dengan peningkatan tekanan
intrakranial
Tujuan :
a.
Pasien kembali pada keadaan status neurologis sebelum sakit
b.
Meningkatnya kesadaran pasien dan fungsi sensoris
Kriteria hasil :
a.
Tanda tanda vital dalam batas normal
b.
Rasa sakit kepala berkurang
c.
Kesadaran meningkat
d.
Adanya peningkatan kognitif dan tidak ada atau hilangnya tanda
tanda tekanan intrakranial yang meningkat
Rencana Tindakan :
Intervensi
Rasionalisasi
Pasien bed rest total dengan
posisi tidur terlentang tanpa
bantal
Perubahan pada tekanan intakranial
akan dapat meyebabkan resiko untuk
terjadinya herniasi otak
Monitor tanda-tanda status
neurologis dengan GCS.
Dapat mengurangi kerusakan otak
lebih lanjut
Monitor tanda-tanda vital seperti
TD, Nadi, Suhu, Resoirasi dan
hati-hati pada hipertensi sistolik
Pada keadaan normal autoregulasi
mempertahankan keadaan tekanan
darah sistemik berubah secara
fluktuasi. Kegagalan autoreguler akan
menyebabkan kerusakan vaskuler
cerebral yang dapat dimanifestasikan
dengan peningkatan sistolik dan
diiukuti oleh penurunan tekanan
diastolik. Sedangkan peningkatan suhu
dapat menggambarkan perjalanan
infeksi.
Monitor intake dan output
hipertermi dapat menyebabkan
peningkatan IWL dan meningkatkan
resiko dehidrasi terutama pada pasien
yang tidak sadra, nausea yang
menurunkan intake per oral
Bantu pasien untuk membatasi
muntah, batuk. Anjurkan pasien
untuk mengeluarkan napas
apabila bergerak atau berbalik di
tempat tidur.
Aktifitas ini dapat meningkatkan
tekanan intrakranial dan intraabdomen.
Mengeluarkan napas sewaktu bergerak
atau merubah posisi dapat melindungi
diri dari efek valsava
Kolaborasi
Berikan cairan perinfus dengan
perhatian ketat.
Meminimalkan fluktuasi pada beban
vaskuler dan tekanan intrakranial,
vetriksi cairan dan cairan dapat
menurunkan edema cerebral
Monitor AGD bila diperlukan
Adanya kemungkinan asidosis disertai
pemberian oksigen
dengan pelepasan oksigen pada tingkat
sel dapat menyebabkan terjadinya
iskhemik serebral
Berikan terapi sesuai advis
dokter seperti: Steroid,
Aminofel, Antibiotika.
Terapi yang diberikan dapat
menurunkan permeabilitas kapiler,
menurunkan edema serebri,
menurunkan metabolik sel / konsumsi
dan kejang.
2.
Potensial terjadinya injuri berhubungan dengan adanya kejang, perubahan
status mental dan penurunan tingkat kesadaran
Tujuan :
-
Pasien bebas dari injuri yang disebabkan oleh kejang dan penurunan
kesadaran
Rencana tindakan :
Intervensi
Rasionalisasi
Mandiri
monitor kejang pada tangan,
kaki, mulut dan otot-otot muka
lainnya
Gambaran tribalitas sistem saraf pusat
memerlukan evaluasi yang sesuai
dengan intervensi yang tepat untuk
mencegah terjadinya komplikasi.
Persiapkan lingkungan yang
aman seperti batasan ranjang,
papan pengaman, dan alat
suction selalu berada dekat
pasien.
Melindungi pasien bila kejang terjadi
Pertahankan bedrest total selama
fae akut
Mengurangi resiko jatuh / terluka jika
vertigo, sincope, dan ataksia terjadi
Kolaborasi
Berikan terapi sesuai advis
dokter seperti; diazepam,
phenobarbital, dll.
Untuk mencegah atau mengurangi
kejang. Catatan : Phenobarbital dapat
menyebabkan respiratorius depresi dan
sedasi.
3.
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan
sekret pada saluran nafas
Tujuan :
-
Jalan napas pasien kembali efektif
Kriteria hasil :
a.
Frekuensi napas 16-20 kali/menit
b.
Tidak menggunakan otot bantu napas
c.
Tidak ada suara tambahan
d.
Dapat mendemonstrasikan cara batuk efektif
e.
Sesak napas berkurang
Rencana tindakan :
Intervensi
Rasionalisasi
Kaji fungsi paru, adanya
bunyi napas tambahan,
perubahan irama dan
kedalaman, penggunaan
otot-otot aksesori, warna,
dan kekentalan sputum
Memantau dan mengatasi komplikasi
potensial. Pengkajian fungsi pernapasan
dengan interval yang teratur adalah
penting karena pernapasan yang tidak
efektif dan adanya kegagalan, akibat
adanya kelemahan atau paralisis pada
otot-otot interkostal dan diafragma
berkembang dengan cepat.
Atur posisi fowler dan
semifowler
Peninggian kepala tempat tidur
memudahkan
pernapasan,
meningkatkan ekspansi dada, dan
meningkatkan batuk lebih efektif.
Ajarkan cara batuk efektif
Klien berada ada risiko tinggi bila tidak
dapat batuk dengan efektif untuk
membersihkan jalan napas dan
mengalami kesulitan dalam menelan,
sehingga menyebabkan aspirasi saliva
dan mencetuskan gagal napas akut.
Lakukan fisioterapi dada :
vibrasi dada
Terapi fisik dada membantu
meningkatkan batuk lebih efektif.
Lakukan persiapan lendir di
jalan napas
Pengisapan mungkin diperlukan untuk
mempertahankan kepatenan jalan napas
menjadi bersih.
(Muttaqin, 2008)
DAFTAR PUSTAKA
Betz, Cecily Lynn. 2009.
Buku Saku Keperawatan Pediatri
. Jakarta : EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2009.
Buku Saku Patofisiologi
. Jakarta : EGC.
Herdman, T. 2009. Nursing Diagnoses : Definition and Classification 2012
2014. Jakarta : EGC
Jeferson, Thomas. 2004.
Ventriculoperitoneal Shunt
. Thomas Jeferson
University Hospital.
Muttaqin, Arif. 2008.
Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan
Sistem Persarafan
. Jakarta : Salemba Medika.
Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2013.
Aplikasi Asuhan
Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA (North
America Nursing Diagnosis Association) NIC-NOC.
Yogyakarta :
Mediaction Publishing.
Satyanegara. 2010.
Ilmu Bedah Saraf edisi IV
. Tangerang : Gramedia Pustaka
Utama.
Smeltzer, Suzanne C. 2002.
Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth
. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester,
dkk. Edisi 8. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai