Anda di halaman 1dari 4

Tentang Angin

Aku tahu seperti apa angin itu berhembus, tapi aku bingung bagaimana harus
menjelaskannya.
Mungkin seperti gerakan turbulensi yang berputar-putar. Naik - turun. Membawa semua
hal terbang begitu saja. Kadang mereka juga membentuk melodi indah. Menuntun daun untuk
saling bergesekan. Asal kalian tahu, suaranya seperti lengkingan biola yang tegas, lembut, dan
manisnya itu terdengar secara bersamaan. Kadang mereka menjelma menjadi sebuah ombak
yang bergulung-gulung. Menabrak tebing-tebing terjal, lalu pecah seperti butiran keringat
yang siap menjamah wajah.
Itu sangat membingungkan, bukan? Ya, begitulah. Bukankah sudah kujelaskan dari
awal, kalau aku sendiri bingung jika harus membuat kalian paham. Sebenarnya aku tidak tahu
bagaimana caranya mengungkapkan kata-kata ini dengan tepat. Yang aku tahu dan yang
kupahami adalah aku selalu berdebar-debar setiap kali angin berhembus.
Mereka seperti membawa pesan-pesan kecil untukku. Seperti menyuruhku pergi sejauh
mungkin dari sini. Dataran kasar berisi batuan yang dikelilingi pagar besi tinggi. Tinggi
sekali. Aku bisa mencium aroma berkarat dari pagar yang warnanya sudah mulai cacat itu.
Mengelupas digerogoti hujan dan panas.
Satu titik air mulai jatuh. Awal yang renggang, lalu membentuk tirai-tirai berjarum. Aku
mendongak ke atas, mendengus. Entah sudah berapa kali hujan turun hari ini. Aku
menggerakkan jari-jari kakiku yang sudah mulai mengeriput pucat. Sekarang tempat ini
kembali basah tergenang air. Ah, ya. Hujan selalu seperti itu. Hanya bergantung pada
mendungnya awan, lalu tiba-tiba jatuh tanpa bisa ditolak.
Aku menggesek-gesek tangan. Dingin ini benar-benar keterlaluan. Tak ada apapun di
tempat ini yang bisa digunakan untuk berteduh. Aku makin mendekap lututku di ujung
tempat ini. Sambil terus berharap hujan berhenti turun. Aku menelungkupkan wajahku dalam-
dalam.
Saat itu aku mulai bisa mendengar sepatu berderap. Seperti langkah kaki. Aku hanya
terkekeh. Aku rasa, halusinasiku makin liar saat hujan turun. Aku sudah terlalu lama di tempat
ini. Sendirian. Apa kalian tahu bagaimana rasanya sendirian?
Rasanya seperti ditarik ke bagian laut terdalam. Di sana tak ada lagi cahaya matahari
dan kalian tidak bisa melawannya. Hanya tenggelam makin dalam, mulai kehabisan napas.
Kotak kesendirian itu tidak akan membiarkanmu melihat lembah bercahaya. Kau hanya bisa
melihat gelap dan membuatmu merasa kesepian.
Derap sepatu itu makin terdengar jelas. Lalu sedetik kemudian disusul suara besi tua
yang berdecit. Entah kapan terakhir kalinya pintu besi tua ini dibuka. Mungkin satu atau dua
tahun lalu, entahlah aku tak tahu pasti. Kadang aku seperti mengingat hal-hal yang
mengerikan. Saat orang-orang mulai berlarian saling mengejar untuk mendapatkan makanan.
Memakan apapun yang bisa di makan.
Saat itu aku hanya bisa meringkuk diam di ujung tempat ini, seperti sekarang. Tak ada
yang berubah sama sekali. Aku bersyukur tidak ada yang menyadari keberadaanku. Sejak saat
itulah aku memutuskan untuk tak beranjak dari tempat ini, walau seinci pun. Pada akhirnya,
mereka lenyap satu persatu. Hilang tak berbekas. Aku tak tahu dengan pasti, ingatan apa itu.
Tunggu. Aku mulai merasakan sesuatu yang hangat. Aku tahu apa artinya ini. Aku
mengangkat kepalaku. Tak ada lagi hujan dan seseorang sedang berdiri di tengah tempat ini.
Aku tersenyum, aku tak sendirian lagi sekarang.
Dia hanya berdiri diam tak bergeming. Menatap pintu tempat ini. Aku bisa mendengar
deru napas dan detak jantungnya dari sini. Ritme ini, aku sangat mengenalnya. Saat ini dia
sedang menangis. Tidak ada yang lebih menyesakkan selain melihat orang menangis tanpa
suara.
Aku hanya memandanginya dari sini. Sepertinya dia gadis yang baik. Dia masih
memakai seragam sekolahnya dengan baik. Rambutnya yang panjang itu terikat tinggi dengan
pita berwarna biru. Dia mengingatkanku pada adik perempuanku. Sepertinya mereka
seumuran. Entah seperti apa adikku sekarang.
Tapi ada satu hal yang aku percayai. Adikku itu akan selalu tersenyum. Dia akan selalu
menjadi orang yang kuat dan bisa diandalkan. Aku yakin semuanya akan baik-baik saja
sekarang.
Walaupun aku tahu, itu kau Anna. Walaupun aku tahu, kaulah yang sedang menangis. Entah
sejak kapan kau berubah. Entah siapa yang mengajarimu untuk menangis. Entah siapa..
Gadis itu menoleh ke arahku. Mata kami bertemu, seperti sebuah cermin. Entah siapa
yang mengajarinya tatapan putus asa seperti itu. Tapi itu benar-benar dia. Tanganku
mengepal. Aku tidak mau dia seperti itu. Aku benci tatapan itu. Aku tidak menyukainya.
Kakiku refleks berdiri. Aku ingin memeluknya. Sejenak kemudian tersadar. Aku
kembali duduk di tempat ini. Aku tak boleh beranjak sedikit pun dari tempat ini. Aku takut.
Aku menggigit bibir bawah. Sekarang aku tak tahu lagi, apa yang harus kulakukan. Dan
seperti angin, semuanya berlalu begitu saja.
Aku hanya bisa memandanginya dari sudut ini. Melihatnya yang sesenggukan dengan
posisi terduduk. Aku bisa melihat tubuhnya yang gemetaran. Menahan sesuatu. Sesekali aku
bisa mendengar suaranya dari desau angin. Dari hari ke hari, hanya seperti itu.
Hari selalu terlelap tepat pada waktunya. Tanpa menunggu aba-aba, matahari kembali
meredup. Menunjukkan langit jingganya yang dipenuhi bercak-bercak lembayung hingga
merah. Lalu tak lama kemudian bergulir, menjadi sempurna gelap.
Sayangnya itu tidak berlaku untuknya. Di tengah gelap, tangisnya tak kunjung berhenti.
Sesakit itukah? Apakah aku bisa mempercayai cerita para angin yang berhembus?
Tentang kamu yang bahkan tak pernah kutahu sebelumnya. Tentang kamu yang tak pernah
merasa bahagia walaupun kau tersenyum? Tentang kamu yang menyembunyikan itu semua.
Apakah itu benar? Tentang kamu yang menciptakanku. Apakah sekarang kamu sudah mulai
bosan? Apakah kamu masih mengingatku? Apakah kamu menginginkan orang lain untuk
menggantikanku? Apakah kamu tahu aku ada di sini?
Sejujurnya ini membuatku merasa frustrasi. Aku benar-benar ingin memeluknya. Aku
ingin mengatakan bahwa aku akan selalu bersamanya. Aku ingin mengatakan bahwa dia tak
perlu khawatir untuk berjalan ke depan, karena aku selalu berada di belakangnya. Aku tidak
ingin dia bersedih, karena itulah aku selalu membawa topeng berbagai ekspresi untuk
membuatnya tertawa.
Jadi bagaimana mungkin kau masih menginginkan seorang kakak? Sesuatu yang kau tangisi
sekarang. Bagaimana mungkin kau masih membenci dirimu sediri karena dilahirkan terlebih
dahulu? Kau harus tahu bahwa aku sangat bersyukur memiliki adik sepertimu.
Malam makin dalam. Hembusan angin pun terasa lebih dingin dan lembab. Mungkin
karena hujan tadi. Udaranya berembun, tiba-tiba senyap. Tak ada suara apapun yang
bergeming. Apakah kau berhenti menangis?
Dalam remang-remang, aku melihatnya merogoh sesuatu dari saku. Seperti sesuatu
yang mengkilat dan kecil. Apakah itu sebuah silet? Aku terperangah. Sedetik kemudian,
pergelangan tangannya sudah sempurna teriris. Belum sempat aku berkedip, sesuatu yang
kental keluar dari goresan itu. Aku memang tidak tahu warnanya dengan jelas, tapi aku tahu
aroma ini. Anyir.
Kali ini aku tak lagi berpikir panjang. Dengan kaki yang kaku dan gemetaran. Aku
berjalan ke arahnya. Aku takut. Masih sangat takut, tapi kau lebih takut ketika melihatnya
terluka. Seseorang yang tarlihat kuat, nyatanya tak sekuat itu. Malam ini aku tahu kalau kau
sangat rapuh dan lelah. Apakah sekarang, menjadi kakak itu sangat melelahkan?
Beberapa langkah, aku jatuh. Aku sudah lupa bagaimana caranya berjalan. Aku ingin
menangis, mataku terasa panas sekali. Tapi aku lupa bagaimana caranya menangis, bahkan
aku lupa hal terakhir yang aku tangisi. Aku ingin berteriak, memanggil namamu dan
mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Tapi percuma, aku sudah lupa bagaimana caranya
menggerakkan pita suaraku. Aku melupakan banyak hal di sini.
Aku terus memaksakan diri untuk menggapaimu. Sedikit demi sedikit, tak
menghiraukan apapun lagi. Aku terus mendesah, memaksa pita suaraku untuk kembali
bergetar. Hingga di satu titik, aku menjulurkan tanganku. Belum sempat tanganku sampai,
suara itu muncul.
Kak!
Kami berdua menoleh ke arah suara itu bersamaan. Seseorang berlari-lari sembari
membawa senter. Terdengar decit pintu lagi, dia masuk dengan napas terengah-engah. Aku
bisa melihatnya, seorang pria bertubuh kecil dengan kaos berwarna kuning. Matanya tajam.
Dia bergegas merobek kaosnya dan membalut tangan kakaknya. Wajahnya panik
melihat tubuh kakaknya yang sudah mulai lemas. Ia memeluknya dengan erat, menangis.
Kak, ayo pulang. Besok kita harus ikut ke pemakaman Kak Lola. Pria bertubuh kecil
itu membelai rambut kakaknya. Gadis itu makin menangis. Ia memeluk adiknya erat-
erat.
Aku tidak mau! Kak Lola jahat, kenapa dia membuat aku jadi Kakak tertua. Kenapa
dia tidak mau menemani kita? Kenapa harus setelah Amak dan Bapak pergi? Kenapa
dia sangat membenci adik-adiknya? Aku takut menjadi kakak kalau tak ada Kak Lola.
Aku tidak mau menjadi seorang kakak. Suara gadis itu makin mengecil. Ia sudah
serak.
Kalau Kak Anna tidak mau menjadi kakak, biar aku saja yang menjadi kakak. Pria itu
terlihat tersenyum.
Gadis itu melepaskan pelukannya, memandang wajah adiknya lamat-lamat. Kamu
tidak bohong, kan? Tanyanya. Pria kecil itu mengangguk sambil menunjukkan barisan-
barisan giginya.
Yuk, sekarang pulang.Ajak pria itu, sang gadis mengangguk.
Pria itu menggendong Anna. Untung saja tubuh Anna lebih kecil darinya. Memang
benar, adik lelaki itu selalu bisa tumbuh lebih cepat dari kakak perempuannya. Lihatlah wajah
pria itu, guratannya lebih tegas sekarang.
Padahal baru beberapa waktu yang lalu dia masih berlari-larian membawa katapel,
menembaki burung-burung yang sedang asyik bertengger pada kabel-kabel, melempari
mangga tetangga, mengejar layang-layang yang putus, bermain kelereng, mencari keong di
sawah dan melakukan hal-hal menyenangkan lainnya. Aku masih bisa melihatnya sebagai
anak kecil. Tapi lihatlah sekarang. Dia berjalan dengan posisi yang lebih tegap, menggendong
kakaknya. Itu cocok seperti namanya, Elang.
Menjadi orang yang bisa di andalkan. Aku hanya bisa melihat punggung mereka yang
makin menjauh. Mereka berkembang secepat itu, hanya memerlukan waktu sehari dan mereka
sudah jauh meninggalkanku.
Anna..Elang.... Aku menangis. Suaraku akhirnya keluar, walaupun terlambat.
Aku beranjak naik. Sekarang aku bisa berdiri lebih baik. Aku menangis lagi. Mungkin
ini akan menjadi yang terakhir kalinya. Semuanya. Setelah ini, aku tidak akan ada lagi di sini.
Tidak ada di manapun juga.
Aku terkekeh kecil, mengusap wajahku.
Untunglah kau selamat Anna. Untunglah kau tidak berhasil tadi. Untunglah kau datang
di waktu yang tepat, Elang. Untunglah kau menjadi anak yang sangat dewasa.
Oh iya Anna, aku ingin memberitahukanmu sesuatu. Manusia itu tidak akan bisa
dengan mudahnya mati. Apalagi jika hanya dengan mengiris pergelangan tangan. Dan kamu
tahu kenapa banyak orang yang tidak berhasil saat mencoba bunuh diri? karena Tuhan tahu,
mereka belum berusaha dengan maksimal di dunia ini. Tuhan tidak akan semurah hati itu
membiarkanmu bisa pergi gratis dengan mudah dari kehidupan ini tanpa perjuangan dan
kerja keras. Tuhan tidak ingin kamu menyesali kesia-siaanmu di dunia ini.
Lalu bagaimana denganku? Aku rasa, Tuhan sudah jenuh mendengar keluhanku setiap
saat. Karena itulah dia mencampakkanku. Maaf karena aku sudah menjadi kakak yang buruk
untuk kalian. Aku menyayangi kalian. Seperti angin yang memintal ingatan dari serabut-
serabut benang terakhir, yang tak pernah ada.

Anda mungkin juga menyukai