Anda di halaman 1dari 44

ONKOLOGI KEPERAWATAN

HIDRASI/ALIMENTASI (ANOREKSIA, DEHIDRASI, CACHEXIA)


PADA Ca. KOLON DAN MANAJEMEN KEPERAWATAN

Ns. Arina Nurfianti, M.Kep


DISUSUN OLEH :
Kelompok III

1. Khairun Nisa I1032141003


2. Makhyarotil A I1032141015
3. Tri Supartini I1032141046
4. Siti Annisa Nuril .H I1032141041
5. Teguh Ayatullah I1032141024
6. Tri Handayani I1032131031

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan YME, atas berkat dan rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan makalah yang bertemakan tentang Hidrasi/Alimentasi
(Anoreksia, Dehidrasi, Cachexia) Pada Ca. Kolon dan Manajemen Keperawatan.
Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas perkuliahan, yaitu sebagai tugas
terstruktur mata kuliah Onkologi Keperawatan Tahun Akademik 2016/2017 di
Fakultas Kedokteran, Universitas Tanjungpura.
Dalam penulisan makalah ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan
dorongan dari pihak-pihak luar sehingga makalah ini terselesaikan sesuai dengan
yang diharapkan.
Ucapan terima kasih tidak lupa diucapkan kepada :
1. Ibu Ns. Arina Nurfianti, M. Kep selaku dosen mata kuliah Onkologi
Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Tanjungpura,
2. Teman-teman Program Studi Ilmu Keperawatan Angkatan 2014 Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Tanjungpura
3. Pihak yang membantu baik secara langsung maupun tak langsung.
Segala sesuatu di dunia ini tiada yang sempurna, begitu pula dengan
makalah ini. Saran dan kritik sangatlah penulis harapkan demi kesempurnaan
makalah berikutnya. Penulis harapkan semoga makalah ini dapat memberikan
suatu manfaat bagi kita semua dan memilki nilai ilmu pengetahuan.

Pontianak, Maret 2017

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

1.1 Latar Belakang...........................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah......................................................................................2

1.3 Tujuan........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3

2.1 Ca. Kolon...................................................................................................3

2.1.1. Definisi.................................................................................................3

2.1.2. Etiologi.................................................................................................3

2.1.3. Klasifikasi............................................................................................5

2.1.4. Manifestasi Klinis................................................................................6

2.1.5. Patofisiologi.........................................................................................6

2.1.6. Pemeriksaan Penunjang.......................................................................7

2.1.7.Penatalaksanaan....................................................................................9

2.2 Anoreksia dan Kaheksia............................................................................12

2.1.1. Definisi...............................................................................................12

2.1.2. Manifestasi Klinis..............................................................................13

2.1.3. Patofisiologi.......................................................................................14

2.3 Hidrasi.......................................................................................................15

2.3.1.Definisi...............................................................................................15

2.3.2.Klasifikasi...........................................................................................16

ii
2.3.3.Manifestasi Klinis...............................................................................17

2.3.4. Patogenesis.........................................................................................18

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN...................................................................21

3.1 Kasus........................................................................................................21

3.2 Pengkaji...................................................................................................21

3.3 Analisa Data.............................................................................................23

3.4 Diagnosa Keperawatan............................................................................26

3.5 Intervensi.................................................................................................26

3.6 Implementasi............................................................................................36

3.7 Evaluasi....................................................................................................37
BAB V PENUTUP.................................................................................................38

5.1 Kesimpulan..............................................................................................38

5.2 Saran........................................................................................................38

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................39

Lampiran....................................................................................................................

40

iii
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di Indonesia berdasarkan data Riskesdas (2013) menunjukkan
bahwa prevalensi kanker cukup tinggi yaitu 1,4 per 1.000 penduduk atau
sekitarr 330.000 orang (Caesandri, 2015).
Insiden kanker kolon meningkat seiring dengan peningkatan usia
(kebanyakan pada pasien yang berusia lebih dari 55 tahun) dan makin
tinggi pada individu dengan riwayat keluarga mengalami kanker kolon.
Lebih dari 156.000 orang terdiagnosa setiap tahunnya, kira kira setengah
dari jumlah tersebut meninggal setiap tahunnya, meskipun sekitar tiga
dari empat pasien dapat terselamatkan dengan diagnosis dini dan
tindakan segera. Angka kelangsungan hidup dibawah 5 tahun adalah 40%
sampai 50%. Terutama karena terlambat dalam diagnosis dan adanya
metastase (Smeltzer, 2001).
Seseorang yang divonis kanker akan mengalami ketakutan,
kecemasan, dan stress yang merangsang hormon katekolamin, yaitu
hormon yang dapat menurunkan nafsu makan (anoreksia). Penurunan
nafsu makan diikuti dengan penurunan berat badan drastic yang berujung
pada kejadian kakeksia, yakni ketidakseimbangan antara asupan dengan
kebutuhan zat gizi yang meningkat (Uripi, 2002 dalam Caesandri, 2015).
Sebanyak 20-50% penderita kanker mengalami masalah gizi, salah satunya
adalah malnutrisi (Sutandyo, 2007 dalam Caesandri, 2015). Malnutrisi
pada penderita kanker selain akibat penyakit kanker itu sendiri, juga
merupakan efek samping dari terapi medis yang dijalani (Wilkes, 2000
dalam Caesandri, 2015).
Berdasarkan data diatas, maka penulis tertarik untuk membahas
Hidrasi/Alimentasi (Anoreksia, Dehidrasi, Cachexia) pada Ca. Kolon agar
dapat memberikan asuhan yang tepat dan menunjang proses perbaikan
pasien penderita Ca Kolon.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep teori Ca. kolon, anoreksia & kaheksia, serta hidrasi?
2. Bagaimana asuhan keperawatan pada penderita?
3. Bagaimana penatalaksanaan pada penderita?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep teori Ca. kolon, anoreksia & kaheksia, serta
hidrasi?
2. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada penderita?
3. Untuk mengetahui penatalaksanaan pada penderita?

BAB II
PEMBAHASAN
1.4 Ca. Kolon
2.1.1. Definisi
Kanker kolon adalah suatu keganasan yang terjadi di usus
besar. American Cancer Society (2009) memperkirakan bahwa
148.810 orang akan dapat didiagnosa dengan kanker kolerektal dan
49.960 akan mati karena penyakit ini di Amerika Serikat pada tahun
2008. Pada tahun 2003, Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan
bahwa sekitar 940.000 individu yang dapat didiagnosa dengan
kanker kolorektal di seluruh dunia dan 492.000 meninggal pada
tahun tersebut (Muttaqin, 2013).
Kanker kolorektal merupakan beban kesehatan utama di
seluruh dunia. Kejadian dan kematian dari kanker kolon mengalami
penurunan yang lambat selama 20 thaun di Amerika Serikat. Namun,
kaker kolon tetap penyebab ketiga kanker yang berhubungan dengan
kematian pada tahun 2008 (Muttaqin, 2013).

2
Faktor usia menjadi faktor risiko kanker kolorekatal, seperti
bagi banyak tumor solid lainnya. Puncak timbulnya kanker
kolorektal pada sekitar usia 65 tahun (Muttaqin, 2013).

2.1.2. Etiologi
Penyebab pasti masih belum diketahui, tetapi beberapa
kondisi yang dikenal sebagai sindrom polyposis adenomatosa
memiliki predisposisi lebih besar menjadi risiko kanker kolon
(Dragovich, 2009 dalam Muttaqin, 2013).
Sebagian besar kanker kolon muncul dari polip adenomatosa
yang menutup dinding sebelah dalam usus besar. Seiring waktu,
pertumbuhan abnormal ini memperbesar dan akhirnya berkembang
menjadi adenokarsinoma. Dalam kondisi ini, banyak adenomatosa
mengembangkan polip di kolon, yang pada akhirnya menyebabkan
kanker usus besar. Kanker biasanya terjadi sebelum usia 40 tahun.
Sindrom adenomatosa polyposis cenderung berjalan (Muttaqin,
2013).
Kelompok lain sindrom kanker usus besar, disebut sindrom
keturunan nonpolyposis kanker kolorektal (HNPCC=hereditary
nonpolyposis colorectal cancer). Juga berjalan dalam keluarga.
Dalam sindrom ini, kanker kolon berkembang tanpa didahului
dengan polip. Sindrom HNPCC berhubungan dengan kelainan
genetic. Kelainan ini telah diidentifikasi, dan orang yang berisiko
dapat diidentifikasi melalui genetic. Sekali teridentifikasi sebagai
pembawa gen yang abnormal, orang-orang ini memerlukan
konseling dan pemeriksaan rutin untuk mendeteksi kanker prakanker
dan tumor (Munoz,2009 dalam Muttaqin, 2013).
Faktor lain yang berisiko tinggi untuk mengembangkan
kanker kolon, meliputi hal hal berikut :
1. Kolitis ulseratif atau penyakit Crohn

3
2. Kanker payudara, Rahim, atau ovarium sekarang atau di masa
lalu
3. Obesitas telah diidentifikasi sebagai faktor risiko kanker usus
besar
4. Merokok telah jelas dikaitkan dengan resiko yang lebih tinggi
untuk kanker usus besar
Apakah diet memainkan peran dalam mengembangkan
kanker kolon masih diperdebatkan. Keyakinan bahwa serat tinggi,
rendah lemak dapat membantu mencegah kanker usus besar telah
diperiksa. Studi menunjukkan bahwa melakukan olahraga dan diet
kaya buah buahan serta sayuran dapat membantu mencegah kaker
usus besar (Muttaqin, 2013).
Penelitian efek obat menunjukkan bahwa terapi pengganti
estrogen dan OAINS seperti aspirin dapat mengurangi risiko kanker
kolorektal (Muttaqin, 2013).
2.1.3. Klasifikasi
Penilaian stadium kanker kolon dengan menggunakan sistem
TMN telah disepakati untuk menentukan stadium kanker (American
Cancer Society, 2009 dalam Muttaqin, 2013) sebagai berikut :
Stadium1 Tumor Kelenjar Metastasis Bertahan
Primer (T) Getah Jauh (M) Hidup
Bening Setelah 5
Regional (N) Tahun
Stadium 0 Carsinoma in N0 M0 -
situ (Tis)
Stadium I Tumor N0 M0 79%
menginvasi
sub mukosa
(T1) atau
propria
muskularis

4
(T2)
Stadium II Tumor N0 M0 73%
menginvasi
muskularis
(T3) atau
organ dan
struktur
jaringan
sekitar (T4)
Stadium T3 N0 M0 65%
IIA

2.1.4. Manifestasi Klinis


Gejala sangat ditentukan oleh lokasi kanker, tahap penyakit,
dan fungsi segmen usus tempat kanker berlokasi. Gejala paling
menonjol adalah perubahan kebiasaan defekasi. Pasase darah dalam
feses adalah gejala paling umum kedua. Gejala dapat juga mencakup
anemia yang tidak diketahui penyebabnya, anoreksia, penurunan
berat badan, dan keletihan. Gejala yang sering di hubungkan dengan
lesi sebelah kanan adalah yeri dangkal abdomen dan melena (feses
hitam). Gejala yang sering dihubungkan dengan lesi sebelah kiri
adalah yang berhubungan dengan obstruksi (nyeri abdomen dan
kram, penipisan feses, konstipasi, dan distensi) serta adanya darah
merah segar dalam feses (Smeltzer, 2001).
Gejala yang dihubungkan dengan lesi rectal adalah evakuasi
feses yang tidak lengkap setelah defekasi, konstipasi dan diare
bergantian, serta feses berdarah. Pertimbangn gerontology. Insiden
karsinoma kolon dan rectum meningkat sesuai usia. Kanker ini
biasanya ganas pada lansia kecuai untuk kanker prostatic pada pria.
Gejala sering tersembunyi. Keletihan hampir selalu ada, akibat
anemia defisiensi besi primer. Gejala yang sering dialporkan oleh

5
lansia adalah nyeri abdomen, obstruksi, tenesmus, dan perdarahan
rectal (Smeltzer, 2001).
Kanker kolon pada lansia berhubungan erat dengan
karsinogen diet. Kekurangan serat adalah faktor penyebab utama
karena hal ini menyebabkan pasase melalui saluran anus menjadi
lama, sehingga terpajan karsinogencukup lama. Kelebihan lemak
diyakini mengubah basa bakteri dan mengubah steroid menjadi
senyawa yang mempunyai sifat karsinogen (Smeltzer, 2001).

2.1.5. Patofisiologi
Secara genetic, kanker kolon merupakan penyakit yang
kompleks. Perubahan genetic sering dikaitkan dengan perkembangan
dari lesi premalignant (adenoma) untuk adenokarsinoma invasive.
Rangkaian peristiwa molekur dan genetic yang menyebabkan
transformasi dari keganasan polip adenomatosa. Proses awal adalah
mutase APC (Adenomatosa Poliposis Gen) yang pertama kali
ditemukan pada individu dengan keluarga adenomatosa polyposis
(FAP = familial adenomatous polyposis).Protein yang dikodekan
oleh APC penting dalam aktivasi onkogen c-myc dan siklin DI , yang
mendorong pengembangan menjadi fenotipe ganas (Muttaqin, 2013).
Selain mutase, proses epigenetic seperti metilasi DNA yang
abnormal juga dapat menyebabkan penekanan gen supresor tumor
atau aktivaasi dari onkogen, kondisi ini mengembangkan proses
komponen keseimbangan genetic dan akhirnya mengarah ke
transformasi maligna (Muttaqin, 2013).

2.1.6. Pemeriksaan Penunjang


Berdasarkan bukti sampai dengan saat ini, terdapat tiga
macam pemeriksaan penunjang yang efektif di dalam diagnosis
kanker kolon Muttaqin (2013) yaitu:
1. Enema barium dengan kontras ganda

6
Pemeriksaan ini mempunyai keuntungan sebagi berikut :
Sensitivitas untuk KKR 65-95%
Tidak memerlukan sedasi
Keberhasilan prosedur sangat tinggi
Tersedia hampir di seluruh rumah sakit
Cukup aman
Sedangkan kelemahan pemeriksaan enema barium adalah :
Lesi T1 sering tidak terdiagnosa
Lesi direktosigmoid dengan diverticulosis dan sekum,
akurasinya rendah
Akurasinya rendah untuk lesi dengan tipe datar
Untuk polip dengan ukuran < 1 cm. Sensitivitasnya hanya 70-
95%
Mendapat paparan radiasi
2. Endoskopi
Jenis emdoskopi yang dapat di gunakan adalah
sigmoidoskopi rigid, sigmoidoskopi fleksibel, dan kolonoskopi.
sigmoidoskopi fleksibel lebih efektif dibandingkan dengan yang
rigit untuk fisualisasi kolon. Dapat mendeteksi polop yang
berukuran > 9 mm, sensitivitas dan spesivitas kolonoskopi akan
semakin tinggi bila persiapan kolon, sedasi dan kompetensi
operator semakin baik.
Keuntungan kolonoskopi sebagai berikut :
Sensitivitas untuk polip dan adenokarsinoma kolorektal 95%
Dapat langsung dilakukan sebagai biopsy untuk diagnostic
Untuk lesi synchrous polyp dapat dilakukan reseksi
Tidak ada paparan radiasi
Sedangkan kelemahannya adalah :
5-30% kasus pemeriksaan tidak sampai ke sekum
Lokalisasi tumor tidak akurat

7
Harus selalu sedasi intravena
Mortalitas 1:5000 kolonoskopi
Pneumocolon Computed Tomography (PCT)
Dapat dilakukan pemeriksaan ini bila ada ahli radiologi
yang berkompeten dengan keuntungan :
Sensitivitas tinggi dalam mendiagnosa KKR
Toleransi dari penderita baik
Dapat memberikan informasi kondisi diluar kolon termasuk
menentukan stadium invasi local, metastasis hepar, dan
kelenjar getah bening.
Namun kerugiannya adalah :
Tidak dapat mendiagnosa polip < 10 mm
Memerlukan radiasi yang lebih tinggi
Tidak dapat dilakukan biopsy dan polipektomi
3. CT-Scan dan MRI
Dapat melihat infasi infasi ekstra rektal dan invasi organ
sekitar rectum
Akurasi tidak setinggi USG endoluminal
Dapat mendeteksi metastasis ke kelenjar getah bening
retroperitoneal dan hepar
Berguna untuk menentukan suatu tumor stadium lanjut untuk
menjalani terapi adjuvant preoperative
Untuk mengevaluasi keadaan ureter dan buli-buli
Akurasi menentukan stadium dengan CT-Scan adalah 80%
disbanding MRI hanya 59% untuk metastasis KGB, akurasi
CT-Scan 65% sedangkan MRI 39%.

2.1.7. Penatalaksanaan
Berikut ini penatalaksanaan yang perlu dilakukan pada pasien
dengan Ca. kolon menuut Muttaqin (2013) :

8
1. Pembedahan
Terapi Radiasi
Tempat saat ini terapi radiasi tetap merupakan
modalitas standar untuk pasien dengan kanker rektal,
peran terapi radiasi pada kanker kolon masih terbatas.
Terapi ini tidak memiliki peran dalam pengaturan ajuvan
atau dalam pengaturan metastasis. Terapi ini terbatas pada
terapi paliatif, untuk metastasis dipilih sisi lain seperti
tulang metastasis. Lebih baru dan lebih selektif cara
pemberian terapi radiasi seperti stereotactic radioterapi
(CyberKnife) dan tomotherapy saat ini sedang diselediki
dan dapat memperpanjang indikasi untuk radioterapi
dalam pengelolaan kanker usus besar di masa depan.
Terapi radiasi sekarang digunakan pada pasien pra-
operatif, intraoperatif, dan pascaoperatif untuk
memperkecil tumor, mencapai hasil yang lebih baik dari
pembedahan, dan untuk mengurangi risiko kekambuhan.
Terapi Bedah

Pembedahan adalah satu-satunya modalitas kuratif


untuk kanker kolon (tahap I-III) dan berpotensi memberikan
satu- satunya pilihan bagi pasien dengan metastasis di hati
dana tau paru [aru (penyakit stadium IV). Prinsip
prinsip umum untuk semua termasuk operasi pengangkatan
tumor primer dengan margin yang memadai termasuk
daerah drainase limfatik.
Untuk lesi di sekum dan kolon kanan, diindikasikan
untuk hemikolektomi kanan, untuk lesi di proksimal kolon
transversus atau tengah, dilakukan hemikolektomi kanan,
untuk lesi di lieanalis fleksura dan kolon sebelah kiri,
hemicolectomy kiri. Pada setiap lesi pada kolon sigmoid,
maka akan dilakukan intervensi sigmoid colectomy yang

9
sesuai dengan kondisi klinis. Total abdominal colectomy
dengan anastomis ileorectal mungkin diperlukan untuk
pasien yang telah didiagnosis dengan hereditary
nonpolyposis colorectal cancer (HNPCC), adenomatosa
poliposis familiar, dan kanker metachronous di segmen usus
yang terpisah atau kondisi keganasan usus akut dengan
status tidak diketahui pada bagian proksimal usus.
Kanker kolon dan rektal Dalam proses pembedahan
prosedur selalu mengarah pada stoma. Dan biasanya akan
menjalani pembedahan kolostomi (La Rangki et all.,2014).
Deteksi dini pada populasi berisiko secara substansial dapat
meningkatkan kelangsungan hidup dan outcome penderita,
diantaranya dengan menggunakan colonoscopy-based
screening, karena Kanker kolon dan rektal yang terdeteksi
pada stadium awal akan memiliki prognosis lebih baik jika
dibandingkan yang stadium lanjut (MHB Kusumo dan P
Budiono, 2016).
Penderita kanker kolon yang menjalani prosedur
reseksi laparoskopik memiliki outcome jangka pendek lebih
baik dibandingkan dengan yang menjalani prosedur reseksi
laparotomi. Visual analogue score (VAS) penderita
keganasan kolon yang menjalani prosedur reseksi
laparoskopik lebih rendah dibandingkan dengan yang
menjalani laparotomy. Dua indikator prognostik utama yang
sangat mempengaruhi prognosis penderita kolon adalah
invasi dinding usus dan status nodal, sehingga reseksi
lokoregional yang adekuat berdasarkan kaidah-kaidah
onkologis menjadi sangat penting. Prosedur laparoskopik
memiliki keunggulan pada outcome jangka pendek
dibandingkan operasi terbuka, antara lain lebih sedikit
kehilangan darah intraoperatif, nyeri pasca operasi lebih

10
rendah, masa pemulihan lebih pendek, dan masa rawat inap
lebih pendek. Variabel keberhasilan pada operasi KKR
sangat komplek, antara lain jenis kelamin, usia, skor ASA,
BMI, kadar Hb, kadar Albumin, kadar CEA, approach
operasi, lama operasi, jumlah kehilangan darah, kebutuhan
transfusi, komplikasi operasi, radikalitas (jumlah limfonodi
yang bisa terambil, margin reseksi), visual analogue score
(VAS), infeksi luka operasi, pemulihan pasca operasi (30
hari), danlama perawatan di rumah sakit/Length of stay
(LoS), sehingga diperlukan lebih banyak penelitian untuk
menjadikan laparaskopi sebagai alternatif pendekatan bedah
pada kasus kanker kolon (M. Hidayat Budi Kusumo dan P
Budiono, 2016).
2. Penatalaksanaan Non bedah (Nonsurgical Management)
Sistemik Kemoterapi
Kemoterapi pada kanker kolorektal yang dapat dilakukan
adalah terapi ajuvant yang direkomendasikan untuk
kolorektal stadium III dan stadium II yang memiliki risiko
tinggi, maksudnya adalah, tumor sudah berdiferensiasi buruk,
terdapat invasi vaskular atau limfatik atau perineural; tumor
dengan obstruksi atau perforasi. Pada stadium IV kondisi sel
kanker semakin buruk sehingga kemoterapi hanya dapat
mencegah penyebaran sel kanker.
Regimen kemoterapi untuk kanker usus besar adalah 5-
Fluorourasi, baik dalam pengaturan ajuvan dan metastasis.
Dalam 10 tahun terakhir, kombinasi regimen tersebut
memberikan tingkat kemanjuran dan meningkatkan
perkembangan masa hidup pada pasien dengan metastasis
kanker usus besar. Selain 5-flurourasil, fluoropyrimines
seperti capecitabine (xeloda) dan irinotecan. Beberapa
rejimen kombiansi standar menggunakan infus terus

11
berkepanjangan yang mengandung flurourasil atau
capecitabine. Ketersediaan obat obatan dan produk
biologis aktif untuk kanker kolon diharapkan dapat
menambah kelangsungan hidup untuk pasien dengan
penyakit metastasis.
Ajuvant (Pascaoperasi) Kemoterapi
Pengobatan medis untuk kanker kolon paling sering
dalam bentuk pendukung atau terapi ajufan. Terapi ajufan
biasanya diberikan selain pengobatan bedah. Pilihan
mencakup kemoterapi, terapi radiasi, dan/ atau imunoterapi.
Terapi standar kanker kolon Stadium II akhir dan
Stadium III diberikan kombinasi flurourasil dan levamisole
seperti dalam bentuk leucovorin. Pendekatan ini telah diuji
uji di beberapa uji acak yang besar dan telah terbukti
mengurangi individu 5 tahun risiko kanker kambuh dan
kematian oleh sekitar 30 %.
Meskipun informasi tentang hasil terapi ajuvan
dalam tahap II dan III kanker kolon trbatas, suatu kumpulan
data dikumpulkan oleh ajuvan Colon Cancer grup endpoint
dengan fluorourasi berbasis terapi ajuvan baru baru ini
dianalisis. Para penulis menyimpulkan bahwa kemoterapi
ajuvan penyakit signifikan memberikan manfaat
kelangsungan hidup karena mengurangi tingkat
kekambuhan terutama dalam 2 tahun pertama terapi ajuvan,
tetapi dengan beberapa keuntungan di tahun 3-4.
Agen Biologis
Agen biologis adalah suatu unsur, organisme hidup
atau kuman infeksi yang dapat menyebabkan terjadinya
penyakit atau masalah kesehatan lainnya seperti virus,
bakteri, protozoa, jamur dan parasite. Bevacizumab
(avastin), suatu anti-bodi monoklonal terhadap VEGF, suatu

12
faktor pro-angiogenesis. Bevacizumab adalah antibody
rekombinan yang memiliki mekanisme kerja sebagai
inhibitor terhadap VEGF, yang merupakan sebagai kunci
dalam angiogenesis tumor. Bevacizumab bekerja dengan
mengikat VEGF yang dikeluarkan oleh sel kanker agar tidak
berikatan dengan VEGFR di permukaan pembuluh darah
sehingga tidak terbentuk pembuluh darah baru. Tidak
terbentuknya pembuluh darah baru ini akan menyebabkan
sel kanker akan kekurangan asupan nutrisi sehingga sel
kanker tidak akan tumbuh menyebar. Obat ini menghambat
proses fosforilasi pada reseptor tyrisine kinase sehingga
tranduksi sinyal pun tidak dapat berjalan. Oleh sebab itu
tidak akan terbentuk pembuluh darah baru hasil dari
transkripsi di dalam sel, yang berakibat sel kanker atau
tumor pun tidak akan tumbuh menyebar (Hanafi, 2013).
Bevacizumab (Avastin) adalah obat anti-
angiogenesis pertama yang akan disetjui dalam praktek
klini dan indikasi pertama adalah untuk kanker kolorektal
metastatic. Obat ini merupakan antibody monoclonal pada
faktor pertumbuhan endotel vaskuler (VEGF) dengan
menunjukkan perkembangan membaik dan kelangsungan
hidup secara keseluruhan ketika bevacizumab ini
ditambahkan ke kemoterapi (IFI, fluorourasil diatmbah
irinotecan). Sebuah analisis kohort dari pasien yang lebih
tua (umur 65 tahun atau lebih) dari 2 uji klinik acak
memeriksa bevacizumab ditambah manfaat flurourasil
berbasis kemoterapi lini pertama pengobatan kanker
kolorektal metastatic. Studi menyimpulkan bahwa
penambahan bevacizumab untuk kemoterapi fluorourasil
secara keseluruhan memberikan perbaikan dan kemajuan

13
amsa hidup pada pasien yang lebih tua seperti halnya pada
pasien yang lebih muda, tanpa peningkatan risiko
pengobatan pada kelompok usia yang lebih tua.
1.5 Anoreksia dan Kaheksia
2.1.1. Definisi
Kaheksia adalah suatu keadaan sakit atau gangguan
kesehatan akibat penurunan kadar nutrisi dalam tubuh, khususnya
ketika disebabkan oleh proses penyakit berat pada kanker atau
tuberkulosis. Kaheksia berasal dari bahasa yunani kakos hexia yang
diartikan sebagai suatu kondisi buruk, yang menggambarkan kondisi
progresif perubahan bentuk tubuh menjadi kurus (Muttaqin, 2011).
Secara umum kaheksia biasanya ikut serta pada beberapa
penyakit, termasuk proses penyakit inflamasi akut disertai sakit kritis
dan penyakit inflamasikronik sepertikanker, gagal jantung kongestif,
penyakit paru obstruktif kronik, dan infeksi HIV (Muttaqin, 2011).

2.1.2. Manifestasi Klinis


Malnutrisi atau kaheksia sering terjadi pada pasien dengan
anoreksia. Kaheksia merupakan masalah klinik yang paling sering
dijumpai terutama pada pasien kanker stadium lanjut, dan memberi
dampak negatif terhadap prognosis. Malnutrisi pada pasien kanker
bukan hanya disebabkan oleh penurunan asupan makanan saja tetapi
juga karena tidak adanya respons adaptasi terhadap starvasi seperti
pada orang normal, sehingga terjadi perubahan metabolisme
(Reksodiputro,2009).
Pada pasien yang mengalami anoreksia, terjadi peningkatan
keluaran energi, perubahan metabolisme. selain ditemukan juga
adanya peranan berbagai sitokin terhadap kejadian anoreksia dan
berbagai gangguan metabolisme yang kemudian mendasari kejadian
kaheksia kanker (Sudoyo, 2009).

14
Malnutrisi pada pasien kanker juga merupakan yang
berpengaruh pada keberhasilan terapi medik termasuk radiasi dan
kemoterapi. Selain mempengaruhi hasil pengobatan, malnutrisi atau
kaheksia tidak jarang menyebabkan kematian. Asupan nutrisi yang
adekuat pada pasien kanker sulit dicapai, oleh karena itu terapi
nutrisi yang adekuat baik jumlah, komposisi maupun cara pemberian
yang tepat harus dimulai sejak dini (sejak awal terdiagnosis).

2.1.3. Patofisiologi
Kondisi abnormal dari kaheksia meliputi anoreksia,
penurunan berat beban, hilangnya massa otot, perubahan
metabolisme glukosa dan lipid, dan anemia. Kondisi anoreksia
sendiri tidak bisa secara penuh menjelaskan pengembangan
terjadinya kaheksia. Perubahan metabolisme karbohidrat, lipid, dan
protein berperan dalam kehilangan jaringan (Muttaqin, 2011).
Walaupun pemahaman proses penyakit spesifik sudah maju,
mekanisme yang menyebabkan kaheksia sendiri masih belum jelas
dan masih bersifat multifaktor. Walaupun masih kompleks, pada
beberapa penelitian menyebutkan respons inflamasi memediasi
gangguan regulasi produksi proinflamasi sitokin yang berperan
dalam prdses asal usul kaheksia dimana kondisi ini berhubungan
dengan keadaan sakit kritis dan penyakit inflamasi kronis (Delano,
2006). Sitokin merupakan substansi yang bisa memengaruhi respons
imun. Molekul ini menjadi mediator pelepasan hormon-hormon
sistem imun. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana sitokin ini
diproduksi. Beberapa ahli percaya bahwa sitokinin diproduksi oleh
sel-sel sistem imun atau oleh sel tumor itu sendiri (Argiles, 2003).
Sitokin ini selanjutnya memengaruhi Acute Phase Protein Response
(APPR) dan memproduksi perubahan metabolisme lemak dan

15
karbohidrat sebagai suatu tanda dari inflamasi akut pada kondisi
keganasan atau penyakit kritis.
Kehilangan berat badan pada pasien kanker dikeluhkan 15-
40% di mana keluhan ini mengindikasikan suatu prognosis berat.
Pasien kanker mempunyai risiko yang tinggi mengalami malnutrisi
yang dikenal sebagai kaheksia. Kaheksia kanker merupakan masalah
klinik yang paling sering dijumpai terutama pada pasien kanker
stadium lanjut, dan memberi dampak negatif terhadap
prognosis.Malnutrisi pada pasien kanker bukan hanya disebabkan
oleh penurunan asupan makanan saja tetapi juga karena tidak adanya
respons adaptasi terhadap starvasi seperti pada orang normal,
sehingga terjadi perubahan metabolisme (Reksodiputro,2009).
Pada pasien kanker kondisi kaheksla meningkat berhubungan dengan
beberapa faktor yaitu:
1. Faktor psikologis dan susunan saraf pusat (keengganan makan.
gangguan persepsi rasa kecap, stres psikologis)
2. Efek tumor (obstruksi mekanis, pemakaian nutrisi oleh tumor,
produksi sitokin oleh sel tumor, lipid mobilizing factors)
3. Efek terapi (kemoterapi, radiasi, bedah, nausea. stomatitis.
xerostomia, nyeri)
4. Efek patologis pada pasien meliputi: peningkatan resting energy
expenditure, gangguan proses metabolisme, produksi sitokin oleh
makrofag, disfungsi otonomik. dan penurunan pengosongan
lambung.
Penyebab kaheksia pada kanker belum dapat dipastikan,
diperkirakan multifaktorial. Di samping anoreksia, peningkatan
keluaran energi, perubahan metabolisme, jenis dan lokasi tumor yang
mengganggu saluran pencernaan dan jenis terapi kanker diperkirakan
mempunyai peran dalam terjadinya kaheksia kanker. Selain itu saat
ini telah ditemukan adanya peranan berbagai sitokin terhadap
kejadian anoreksia dan berbagai gangguan metabolisme yang

16
kemudian mendasari kejadian kaheksia kanker. Asupan nutrisi yang
adekuat pada pasien kanker sulit dicapai, oleh karena itu terapi
nutrisi yang adekuat baik jumlah, komposisi maupun cara pemberian
yang tepat harus dimulai sejak dini (sejak awal terdiagnosis)
(Sudoyo, 2009).

1.6 Hidrasi
2.3.1. Definisi
Adalah suatu kondisi akibat kekurangan volume cairan ekstraseluler
(CES), dan dapat terjadi karena kehilangan melalui kulit, ginjal,
gastrointestinal, pendarahan sehingga menimbulkan syok hipovolemik.
Mekanisme kompensasi pada hipovolemik adalah peningkatan rangsangan
saraf simpatis (peningkatan frekuensi jantung, kontraksi jantung, dan
tekanan vaskuler), rasa haus, pelepasan hormon ADH dan adosteron.
Hipovolemik yang berlangsung lama dapat menimbulkan gagal ginjal akut.
Gejala : pusing, lemah , letih, anoreksia, mual muntah, rasa haus, gangguan
mental, konstipasi dan oliguri, penurunan tekanan darah, HR meningkat,
suhu meningkat, turgor kulit menurun, lidah kering dan kasar, mukosa mulut
kering. Tanda-tanda penurunan berat badan akut, mata cekung, pengosongan
vena jugularis. Pada bayi dan anak-anak adanya penurunan jumlah air mata
(Tarwoto & Wartonah, 2006).
Dehidrasi adalah berkurangnya cairan tubuh total, dapat berupa
hilangnya air lebih banyak dari natrium (dehidrasi hipertonik), atau
hilangnya air dan natrium dalam jumlah yang sama (dehidrasi isotonik), atau
hilangnya batrium yang lebih banyak dari pada air (dehidrasi hipotonik)
(Sudoyo Aru, dkk 2009).
Dehidrasi merupakan keadaan ketidakseimbangan cairan dalam
tubuh yang dapat disebabkan oleh beberapa penyakit. (Huang, 2012).
Kebanyakan pasien dengan kanker akan mengalami peningkatan kebutuhan
intake oral mereka sebelum kematian yang dikarenakan oleh anoreksia,
mual, disfagia dan atau delerium. Dehidrasi dapat memperburuk gejala

17
seperti keletihan, mioklonik dan delerium. Dehidrasi juga dapat
menyebabkan terakumulasinya hasil metabolit opiod yang umumnya
diserepkan pada orang yang menderita kanker (Bruera et al, 2012).
Bila asupan oral tidak cukup untuk melembabkan pasien dengan
kanker pada tahap terminasi, beberapa pasien di sistem rumah sakit
convensional mungkin memberikan cairan parenteral, tetapi yang lain lebih
menghindarinya (Taylor & Francis, 2006).

2.3.2. Klasifikasi
Macam-macam dehirasi berdasarkan derajatnya:
a. Dehidrasi Berat :
- Pengeluaran/kehilangan cairan sebanyak 4-6 liter
- Serum natrium mencapai 159-166 mEq/lt
- Hipotensi
- Turgor kulit buruk
- Oliguria
- Nadi dan pernapasan meningkat
- Kehilangan cairan mencapai >10% BB
b. Dehidrasi Sedang :
- Kehilangan cairan 2-4 lt atau antara 5-10% BB
- Serum natrium mencapai 152-158 mEq/lt
- Mata cekung
c. Dehidrasi Ringan: Kehilangan cairan mencapai 5% BB atau 1,5-2 lt
(Maryunani, Anik. 2014).

2.3.3. Manifestasi
Dehidrasi dapat terjadi dengan cepat dan dapat ringan, sedang atau
berat, tergantung pada tingkat kehilangan cairan. Karakteristik penting dari
FVD termasuk kehilangan cairan akut; penurunan turgor kulit; oligura; urin
yang pekat; hipotensi postural; frekuensi jantung yang lemah, cepat; vena
leher yang rata; kenaikan suhu tubuh; penurunan TVS; kulit yang dingin,

18
basah karena vasokontriksi perifer; haus ; anoreksia; mual; lesu; kelemahan
otot; dan kram.
Gejala dan tanda defisit volume cairan bergantung pada kecepatan
dan besar perubahan yang terjadi. Hasil pemeriksaan fisik yang penting
adalah menurunya volume plasma dan interstisial. Gejala Umum dari
berkuranganya volume cairan sedang sampai berat adalah lesu, lemah,
lelah dan anoreksia. Tanda awal dari berkurangnya volume plasma adalah
hipotensi ortostatik dengan penurunan tekanan darah sedikitnya 10 mmHg
dan peningkatan denjut jantung pada perubahan postural. Takikardia terjadi
karena jantung berupaya untuk mempertahankan perfusi jaringan. Denyut
arteri melemah dan kecil. Pasien dapat merasa pusing pada posisi duduk
atau berdiri. Vena perifer (seperti vena di tangan) mungkin kolaps dan terisi
perlahan pada waktu tangan dalam posisi tergantung.Tanda lain
berkurangnya volume vena adalah vena jugularis yang mendatar dan
tekanan vena sentral yang rendah, mencerminkan penurunan aliran balik
vena ke jantung sisi kanan.
Volume interstisial yang berkurang diketahui dari menurunya turgor
jaringan dan lidah. Tanda lain dari kekurangan volume cairan adalah
membrane mukosa yang kering, oliguria, dan rasa haus. Oliguria terjadi
akibat efek hormone antidiuretik dan aldosteron, yang keduanya disekresi
sebagai respon terhadap volume yang berkurang. Penurunan berat badan
merupakan tanda utama lain defisit volume cairan, yang dapat di pakai
untuk memperkirakana besarnya kehilangan cairan, kecuali pada
penimbunan cairan di ruang ketiga.

2.3.4. Patogenesis
Nausea dan vomiting yang tidak terkontrol dapat mempengaruhi
terapi pada pasien secara keseluruhan dan mempengaruhi respon terapi serta
menurunkan tingkat kesembuhan pasien kanker. Selain itu mual muntah
yang tidak terkontrol juga dapat menyebabkan dehidrasi, ketidakseimbangan

19
elektrolit, penurunan berat badan, dan malnutrsisi. Muntah yang
bekepanjangan dapat menyebabkan esophageal, kerusakan gastric dan
pendarahan.(Pazdur,2003)
Dalam penelitian, hidrasi pada pasien kanker dengan volume cairan
yang jauh lebih rendah daripada yang dibutuhkan oleh rata-rata pasien medis
atau bedah. Semakin rendah kebutuhan air pada populasi ini berhubungan
dengan beberapa faktor termasuk usia, berat badan, penurunan kesadaran,
dan penurunan clearance air (Shalini Dalal, MD, and Eduardo Bruera, MD,
2004).
Pasien dengan kanker stadium lanjut sudah berusia lanjut. Pergeseran
komposisi tubuh dengan usia penurunan kadar air total tubuh sebesar 10%
-15% dibandingkan dengan orang dewasa muda. Selain itu, terkait kanker
cachexia dan penurunan berat badan mengurangi kebutuhan air lebih lanjut,
bahkan ketika mengikuti 30 mL / kg berat badan rekomendasi. Hiponatremia
terkait dengan toleransi penurunan air adalah umum pada pasien kanker dan
mungkin tidak tergantung pada status hidrasi. Hiponatremia berkaitan
dengan penurunan volume terjadi ketika natrium kehilangan melebihi air
atau ketika pasien dengan pengalaman hiponatremia dasar air dan natrium.
Pada pasien yang menggunakan diuretik, sering diresepkan untuk mengobati
kehilangan cairan ketiga ruang atau edema kaki (Shalini Dalal, MD, and
Eduardo Bruera, MD, 2004).
Mual kronis dan penggunaan morfin untuk mengontrol rasa sakit
akan merangsang ADH. Beberapa pasien kanker, terutama mereka dengan
kanker paru-paru, mengembangkan sindrom pantas ADH sekresi (SIADH),
tetapi tidak terkait pada defisit cairan. Pada orang tua, terajdi pengulangan
dari osmostat. Rilis ADH tidak terganggu dengan penuaan, tetapi tingkat
ADH meningkat untuk setiap tingkat osmolalitas plasma yang diberikan,
menunjukkan kegagalan respon normal ginjal untuk ADH. Mungkin
konsentrasi awal normal natrium dalam shift serum 125-137 mmol / L. Pada
100 pasien kanker berturut-turut dirawat di unit perawatan paliatif
Edmonton akut, rata-rata tingkat natrium plasma adalah 132 18 mmol / L,

20
dengan urea dan kreatinin normal (Shalini Dalal, MD, and Eduardo Bruera,
MD, 2004).
Meskipun kebutuhan air sehari-hari seorang pria 70 kg, mungkin
sekitar 2.100 mL, kehilangan 30 kg berat badan akan menghasilkan
kebutuhan per hari 1.200 mL. Insensible losses dari kulit dan paru-paru
mendekati 850 mL pada orang dewasa yang sehat biasanya lebih rendah
pada pasien yang sakit parah yang kurang aktif secara fisik atau terbaring di
tempat tidur. Perhitungan ini harus lebih kurangi untuk penurunan insensible
losses, yang-meskipun variabel dan tergantung pada iklim, tingkat aktivitas,
adanya demam, dan takipnea-biasanya kurang dari pada orang dewasa yang
sehat, yang mengarah ke kebutuhan air di kisaran 800-1.000 mL / d (Shalini
Dalal, MD, and Eduardo Bruera, MD, 2004).
Meskipun kebutuhan cairan pada pasien kanker terminal mungkin
kurang, mereka berada pada peningkatan risiko defisit cairan, sering dipicu
oleh variasi kecil dalam asupan cairan, infeksi, dan kondisi lainnya. Banyak
pasien dengan kanker sudah lanjut usia, di antaranya ginjal dan
neurohormonal fungsi, yang penting dalam menjaga keseimbangan air dan
status hidrasi dan memburuk oleh usia, tidak seefektif pada individu yang
lebih muda. Mekanisme haus berkurang dengan usia, yang secara signifikan
mengganggu kemampuan orang tua untuk mempertahankan homeostasis dan
meningkatkan risiko dehidrasi. Penurunan berhubungan dengan usia pada
maksimal kemih berkonsentrasi kemampuan lebih meningkatkan risiko
dehidrasi (Shalini Dalal, MD, and Eduardo Bruera, MD, 2004).

21
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

1.7 Kasus
Seorang pria usia 55 tahun didiagnosa cancer kolon (Colon
Carsinoma) stadium II dengan regimen pengobatan berupa reaksi usus dan
adjuvan kemoterapi. Sebelum didiagnosis kanker kolon, klien sudah
mengalami penurunan nafsu makan selama 3 bulan, nyeri abdomen, dan
berat badan turun 70 kg menjadi 58 kg. Setelah diketahui penyakitnya dan
dilakukan prosedur pembedahan dan masih dalam rigamen adjuvant
kemoterapi, nyeri hebat dan mual yang berat dan lama sehingga asupan
nutrisi semakin menurun drastis dalam 7 hari. Ia juga mengalami asites dan
efusi pleura.faktor-faktor tersebut memnyebabkan ia semakin membatasi
asupan makan dan mium karena merasa tidak nyaman. Akibat sedikitnya
asupan makan dan minum maka ia didiagnosis mengalami sindrom
anoreksia-cachexia. Pengkajian hari ini TD 90/60 mmHg, nadi 90x menit,
suhu 380C, RR 30x/menit, terdengar ronki. Kadar natrium 100 meq/dl,
albumin 2,8 g/dl. Pasien dicurigai asites .
Pasien terpasang cairan infus jenis NaCl 0,9 % 500 cc/24jam.
Setelah dievaluasi dokter dan perawat menganggap status hidrasi pasien
berisiko mengalami perburukan.

1.8 Pengkaji
A. Anamnesa
a. IdentitasMeliputi :
Nama : Tn P
Umur : 55 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama :-
Suku bangsa :-
Pekerjaan :-

22
Pendidikan :-
Status perkawinan : -
Alamat :-
Tanggal MRS :-
b. Keluhan Utama
Klien mengatakan nafsu makan menurun selama 3 bulan dan nyeri
abdomen.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak di jelaskan di dalam kasus
d. Riwayat Penyakit Sekarang
Klien terdiagnosa kanker kolon, nyeri hebat dan mual yang berat
dan lama sehingga asupan nutrisi semakin menurun drastis dalam 7
hari. Ia juga mengalami asites dan efusi pleura. Faktor-faktor tersebut
menyebabkan ia semakin membatasi asupan makan dan minum karena
merasa tidak nyaman. Akibat sedikitnya asupan makan dan minum
maka ia didiagnosis mengalami sindrom anoreksia-cachexia.
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Tidak di jelaskan didalam kasus
B. Pemeriksaan Fisik
- Observasi TTV Klien, yaitu :
Nadi : 90x/menit
Tekanan Darah : 90/60 mmHg
RR : 30 x/meni
Suhu : 380C
1. Pengkajian Persistem
a. Sistem Integumen
Perlu dikaji adanya kekeringan pada turgor kulit karena asupan
cairan yang kurang
b. Sistem Kardiovaskuler
Kaji apakah bunyi jantung normal / mengalami gangguan, biasanya
pada klien bunyi jantung normal, dan tidak mengalami peningkatan
nadi
c. Sistem Persarafan
Kaji tingkat nyeri dengan skala PQRST
P: nyeri saat di tekan
Q: tajam

23
R: pada abdomen
S: 8
T: terus menerus
d. Sistem Pernafasan
Perlu dikaji pola nafas klien, auskultasi paru paru terdengar suara
ronki karena adanya efusi pleura.
e. Sistem Penginderaan
Perlu dikaji Konjungtiva normalnya tidak mengalami peradangan.
f. Sistem Pencernaan
Saat dikaji ada mual, dan mengalami penurunan nafsu makan.
C. Pemeriksaan Laboratorium
Natrium 100 meq/dl normal: 135-144 meq/dl
Albumin 2,8 g/dl normal: 4-5,2 g/dl

1.9 Analisa Data


Data Etiologi Masalah Keperawatan
DS: Intervensi radiasi dan Ketidakseimbangan
klien kemoterapi nutrisi kurang dari
mengatakan ia kebutuhan

mengalami mual Anoreksia

yang berat dan


lama Intake nutrisi yang tidak
Klien adekuat
mengatakan ia
membatasi Perubahan intake nutrisi

asupan makan
dan minum
karena merasa
tidak nyaman
DO:
berat badan
menurun dari 70
menjadi 58 kg
anoreksia
DS: Cidera biologis Nyeri akut

24
klien mengatakan
nyeri pada
abdomen
P: nyeri saat di
tekan
Q: tajam
R: nyeri pada
abdomen
S: 8
T: terus
menerus
DO:
nadi : 90x/ menit
RR : 30x/ menit

DS: - Ketidakefektifan jalan


Penimbunan cairan di
nafas
dalam
DO:
RR: 30x/ menit rongga pleura
Terdengar ronki
Terdapat efusi Penurunan ekspansi paru
pleura
Hambatan pengembangan
paru

Sesak napas
Nyeri Ketidakseimbangan
DS:
Elektrolit
- Mual yang
Medulla Spinalis
berat dan
lama
respon simpatisa djuvant
- Px membatasi
asupan
Kemoreseptor trigger zone
makan dan

25
minum pada glasspharyngeal
karena
merasa tidak Aferen Vagal ( N. IX, X )
nyaman
Pelepasan serotonin
Do:
- TTV: Menstimulasi pusat
- TD 90/60 muntah
mmHg
- Nadi 90x
Muntah massif
menit
- suhu 38
- RR elektrolit : kalium,
30x/menit,. natrium, kalsium
- Kadar
natrium 100
meq/dl,
albumin 2.8
g/dl
- Terpasang
cairan infus
jenis NaCl
1500
cc/menit
- Ada resiko
asites

Efusi pleura
Na: 100 mwq/dl
Asites

26
1.10 Diagnosa Keperawatan
a. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d ketidak mampuan
menelan makanan
b. Nyeri akut b.d agen cedera biologis
c. Ketidakefektifan jalan nafas b.d hipoventilasi
d. Ketidakseimbanagn elektrolit berhubungan dengan efek samping obat
kemoterapi

1.11 Intervensi
No Diagnosa NOC NIC Rasional
1 Ketidakseimba Nutritional status: Nutrition Nutrition
ngan nutrisi Nutritional status: Management Management
kurang dari food and 1. Kaji adanya alergi 1. Mengetahui status
Fluid intake
kebutuhan b.d Nutritional status: makanan nutrisi pasien
ketidakmampu 2. Kolaborasi dengan sehingga dapat
nutrien
an menelan Intake ahli gizi untuk menentukan
Weight control menentukan
makanan intervensi yang
Kriteria hasil:
Adanya peningkatan jumlah kalori dan diberikan

BB sesuai dengan nutrisi yang 2. Memberikan

tujuan dibutuhkan pasien pedoman untuk


BB ideal sesuai 3. Berikan makanan pemenuhan nutrisi
dengan TB yang terpilih klien
Mampu (sudah dikonsultasi 3. Mengetahui
mengidentifikasi ahli gizi) pemenuhan nutrisi
kebutuhan nutrisi 4. Monitor jumlah
klien untuk proses
Tidak ada tanda- nutrisi dan penyembuhan.
tanda nutrisi kandungan kalori 4. Memberikan rasa
Tidak ada
kontrol.
penurunan BB yang
berarti

27
2 Nyeri akut b.d Pain level Pain management Pain Management
agen cedera Pain control 1. Lakukan pengkajian 1. Untuk mengetahui
Comfort level
biologis nyeri secara bagaimana nyeri
Kriteria hasil:
komprehensif yang dirasakan
Mampu mengontrol
termasuk lokasi, pasien
nyeri (tahu
2. Reaksi noverbal
karakteristik, durasi,
penyebab nyeri,
dapat menjadi tolak
frekuensi, kualitas
mampu
ukur untuk
dan faktor
menggunakan
mengetahui nyeri
presipitasi
teknik
2. Observasi reaksi pasien
nonfarmakologi 3. Menggunakan
nonverbal dari
untuk mengurangi teknik komunikasi
ketidaknyamanan
nyeri, mencari 3. Gunakan teknik terapeutik membuat
bantuan) komunikasi pasien merasa
Melaporkan bahwa
terapeutik untuk nyaman
nyeri berkurang 4. Dapat mengurangi
mengetahui
dengan nyeri pasien
pengalaman nyeri
5. Penanganan yang
menggunakan
pasien
tepat dapat
manajemen nyeri 4. Kontrol lingkungan
Mampu mengenali mengurangi nyeri
yang dapat
nyeri (skala, yang dirasakan
mempengaruhi
intensitas, frekuensi
nyeri seperti suhu
dan tanda nyeri)
ruangan,
Menyatakan rasa
pencahayaan, dan
nyaman setelah
kebisingan
nyeri berkurang
5. Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
(farmakologi, non
farmakologi dan
interpersonal)

28
3. Ketidakefektif Respiratory status: Airway suction Airway suction
1. waktu tindakan
an bersihan ventilation 1. Pastikan kebutuhan
jalan nafas b.d Respiratory status: oral/tracheal suction yang tepat

hipoventilasi airway patency membantu


suctioning
Kriteria hasil: 2. Asukultasi suara melapangan jalan
Mendemontrasikan napas sebelum dan nafas pasien
2. Mengetahui adanya
batuk efektif dan sesudah suctioning
3. Informasikan pada suara nafas
suara napas yang
klien dan keluarga tambahan dan
bersih, tidak ada
tentang suctioning kefektifan jalan
sianosis dan
4. Minta klien napas
nafas untuk
dyspneu (mampu
dalam sebelum
memenuhi O2
mengeluarkan
suction dilakukan
pasien
sputum, mampu 5. Berikan O2 dengan
3. memberikan
bernapas dengan menggunakan nasal
pemahaman
mudah, tidak ada untuk memfasilitasi
kepada keluarga
pursed lips) suction nasotrakeal
mengenai indikasi
Menunjukkan jalan 6. Monitor status
kenapa dilakukan
napas yang paten oksigen pasien
7. Ajarkan keluarga tindakan suction
(klien tidak merasa
4. Memudahkan
bagaimana cara
tidak merasa
pengeluaran sekret
melakukan suction
tercekik, irama 5. Membantu jalan
8. Hentikan suction
napas, frekuensi nafas
dan berikan oksigen
6. Mengetahui adanya
pernapasan dalam
apabila pasien
perubahan satus
rentang normal,
menunjukkan
hemodinamik, jika
tidak ada suara
bradikardi,
terjadi perburukan
napas abnormal)
peningkatan saturasi
Mampu suction bisa
O2, dll.
mengidentifikasi dihentikan.
Airway management 7. memberikan
dan mencegah
1. Buka jalan napas, pemahaman
faktor yang dapat
gunakan teknik chin

29
menghambat jalan lift atau jaw thrust kepada keluarga
napas bila perlu mengenai indikasi
2. Posisikan pasien
kenapa dilakukan
untuk
tindakan suction
memaksimalkan 8. Terhindar dari
ventilasi perubahan nilai
3. Identifikasi pasien
SaO2 dan satus
perlunya
hemodinamik yang
pemasangan alat
buruk.
jalan napas dalam Airway Management
4. Keluarkan sekret 1. Memfasilitasi
dengan batuk atau kepatenan jalan
suction napas
5. Auskultasi suara 2. Ventilasi maksimal
napas, catat adanya membuka area
suara tambahan atelektasis dan
6. Monitor respirasi
meningkatkan
dan status O2
gerakan sekret ke
jalan nafas besar
untuk dikeluarkan.
3. Bila klien mengalami
penurunan jalan
nafas.
4. Mencegah obstruksi
atau aspirasi.
Penghisapan dapat
diperlukan bila klien
tak mampu
mengeluarkan sekret
sendiri.
5. Adanya bunyi ronchi

30
menandakan
terdapat
penumpukan sekret
atau sekret berlebih
di jalan nafas.
6. Mengetahui adanya
perubahan satus
oksigen
4. Kelebihan Electrolit and acid Fluid management Fluid management
volume cairan 1. Pertahankan 1. Untuk memantau
base balance
b.d kelebihan Fluid balance catatan intake dan balance cairan
Hydration 2. Untuk
asupan cairan output yang akurat
Kriteria hasil: 2. Monitor hasil Hb mendapatkan hasil
Terbebas dari yang sesuai dengan pemeriksaan untuk
edema, efusi, retensi cairan (BUN, melalukan
anaskara Hmt, osmolitas urin) penangan yang
Bunyi napas bersih, 3. Monitor status
tepat
tidak ada hemodinamik 3. Mendapatkan
dyspneu/ortopneu termasu CVP, MAP, status
Terbebas dari
PAP, dan PCWP hemodianmik
distensi vena 4. Monitor vital sign 4. Vital sign
5. Monitor indikasi
jugularis, refleks merupakan acuan
retensi / kelebihan
hepatojugular (+) keadaan umum
Memelihara tekanan cairan (cracles, CVP,
klien
vena sentral, edema, distensi 5. Memantau
tekanan kapiler vena leher, asites) keadaan pasien
6. Monitor masukan 6. Memantau
paru, output
makanan / cairan keadaan nutrisi
jantung dan vital
dan hitung intake pasien
sign dalam batas
7. Kolaborasi untuk
kalori
normal
7. Monitor status menentukan
Terbebas dari
nutrisi penanganan pasien
kelelahan,

31
kecemasan atau 8. Kolaborasi yang tepat
kebingungan pemberian diuretik
Menjelaskan Fluid monitoring
sesuai interuksi
indikator kelebihan 9. Kolaborasi dokter 1. Mengetahui

cairan jika tanda cairan riwayat jumlah dan


tipe intake cairan
berlebih muncul
dan eliminasi
memburuk
2. Untuk mengetahui
Fluid monitoring
faktor risiko dari
1. Tentukan riwayat
ketidak
jumlah dan tipe
seimbangan cairan
intake cairan dan
3. Memantau berat
eliminasi
badan, HR, dan
2. Tentukan
RR
kemungkinan faktor
4. Untuk memantau
resiko dari ketidak
serum dan
seimbangan cairan
elektrolit urine
(hipertemia, terapi
5. Untuk memantau
dieuretik, kelainan
serum dan
renal, gagal
osmilalita urine
jantung, diaporesis, 6. Untuk mengetahui
disfungsi hati, dll) intake dan output
3. Monitor berat
7. Untuk memantau
badan, BP, HR, dan
dari tanda dan
RR
gejala edema
4. Monitor serum dan
elektrolit urine
5. Monitor serum dan
osmilalita urine
6. Catat secara akurat
intake dan output
7. Monitor tanda dan

32
gejal dari edema

1.12 Manajemen Keperawatan


1) Anoreksia
(Hariani, Ririn. 2007. Kecukupan Nutrisi pada Pasien kanker. Indonesian
Journal of Cancer 4, 140-143) mengatakan pasien dengan kanker dapat
dilakukan penanganan
a. Nutrisi Oral
Bila mungkin nutrisi oral merupakan pilihan utama untuk
dukungan nutrisi dan merupakan cara yang paling disukai. Beberapa
strategi diperlukan untuk memenuhi kecukupan nutrisi pada pasien
yang sedang menjalani terapi sehubungan dengan efek samping yang
dialami. Sebagian besar pasien dapat mentoleransi makanan dengan
porsi kecil dan sering. Untuk dapat mencukupi kebutuhan nutrisi
pasien dianjurkan mengkonsumsi makanan/minuman padat kalori.
Pada pasien yang tidak dapat memenuhi kecukupan nutrisi, bila perlu
dapat diberikan suplementasi diet cair.
b. Nutrisi Enteral
Bila pasien tidak dapat memenuhi kecukupan nutrisi secara oral
maka perlu dilakukan pemberian nutrisi dengan cara lain. Penderita
kanker dengan fungsi saluran cerna yang masih baik, pemberian nutrisi
dapat dilakukan melalui enteral. Nutrisi enteral diindikasikan pada
pasien yang tidak dapat makan yng disebabkan oleh obstruksi mekanik
atau anoreksia yang lama, tidak dapat makan secara oral karena efek
samping terapi misalnya odynophagia, mukositis, esofagitis dan lain-
lain. Pemberian formula yang diberikan sama dengan pasien bukan
kanker dengan mempertimbangkan fungsi saluran cerna,
penyakitnyang mendasari serta status metabolisme. Pemberian nutrisis
enteral dapat dilakukan secara bolus, intermiten, atau kontinyu. Nutrisi
enteral berguna untuk menormalkan fungsi usus, lebih murah, kurang
invasif dan kurang berisiko dibandingkan nutrisi parenteral.
c. Nutrisi Parenteral

33
Nutrisi parenteral diberikan kepada pasien kanker yang tidak dapat
memenuhi kecukupan nutrisi secara oral maupn enteral dan juga
diberikan pada pasien yang saluran cernanya tidak dapat digunakan.
Nutrisi parenteral juga diperlukan untuk pasien yang saluran cernanya
tidak dapat mentolerir makanan akibat mual muntah yang hebat dan
malabsorbsi. Pada pasien kanker yang menjalani transplantasi sumsum
tulang, pemberian nutrisi, karena berhubungan dengan efek samping
terapi nutrisi yang terjadi dimana pasien biasanya menderita mukositis
yang berat dan umumnya tidak bisa mentolerir nutrisi enteral.
Pada pasien yang mendapat nutrisi parenteral perlu dimonitor
dengan baik untuk meminimalkan komplikasi yang terjadi. Beberapa
komplikasi yang dapat terjadi antara lain kelebihan cairan,
hiperglikemia, gangguan keseimbangan elektrolit dan juga terjadinya
infeksi
2) Nyeri

3) Ketidakefektifan jalan nafas


Sutrisno, Resti Yulianti, Sitorus, ratna, & Kariasa, I Made. 2016. Analisis
Praktik Residensi Keperawatan Medikal Dedah dengan Pendekatan Teori
Henderson pada Pasien dengan Gangguan Sistem Respirasi: Tuberculosis
dengan Peneumotoraks Spontan Sekunder di RSUP Persahabatan
Jakarta.
Dalam jurnalnya menyatakan terkait latihan napas breathing retraining
untuk mengurangi sesak napas pada pasien kanker paru.
Setelah diberikan breathing retraining terdapat peningkatan saturasi
oksigen Rerata nilai saturasi oksigen sebelum dilakukan latihan napas
breathing retraining adalah 93,36 % dengan standar deviasi 2,11 %. Nilai
saturasi oksigen terendah adalah 91 % dan tertinggi adalah 97 %.
Sedangkan rerata nilai saturasi oksigen sesudah dilakukan latihan napas
breathing retraining adalah 96,55 % dengan standar deviasi 2,21 %. Nilai
saturasi oksigen terendah adalah 93 % dan tertinggi adalah 99%. Terdapat
penurunan skala sesak napas setelah dilakukan latihan napas breathing
retraining pada pasien kanker paru. Rerata skala sesak napas sebelum
dilakukan latihan napas breathing retraining adalah 4,73 dengan standar
deviasi 1,68. Skala sesak napas terendah adalah 3 (sedikit sesak) dan

34
tertinggi adalah 8 (berat). Terdapat peningkatan nilai arus puncak
ekspirasi (APE) setelah dilakukan latihan napas breathing retraining pada
pasien kanker paru.
Pada penerapan EBNP ini didapatkan peningkatan saturasi oksigen setelah
latihan napas breathing retraining. Selain itu, juga didapatkan penurunan
skala sesak napas setelah dilakukan latihan napas breathing retraining.
Selain breathing retraining juga dilakukan Pursed lip breathing. Pursed lip
breathing dapat meningkatan pengeluaran CO melalui bibir, meningkatkan
tekanan jalan napas yang mengalami penyempitan dan meningkatkan
pengeluaran CO 2 dengan ekspirasi 2-3 kali lebih panjang dari inspirasi.

1.13 Implementasi

1.14 Evaluasi

35
BAB V PENUTUP

1.15 Kesimpulan
Kanker kolon adalah suatu keganasan yang terjadi di usus besar.
Penyebab pasti masih belum diketahui, tetapi beberapa kondisi yang dikenal
sebagai sindrom polyposis adenomatosa memiliki predisposisi lebih besar
menjadi risiko kanker kolon. Gejala sangat ditentukan oleh lokasi kanker,
tahap penyakit, dan fungsi segmen usus tempat kanker berlokasi.
Kaheksia adalah suatu keadaan sakit atau gangguan kesehatan akibat
penurunan kadar nutrisi dalam tubuh, khususnya ketika disebabkan oleh
proses penyakit berat pada kanker atau tuberkulosis. Malnutrisi atau
kaheksia sering terjadi pada pasien dengan anoreksia.

1.16 Saran
Dalam pembuatan makalah ini kami sadar bahwa makalah ini masih
banyak kekurang-kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangatlah kami perlukan agar
dalam pembuatan makalah selanjutnya akan lebih baik dari sekarang,dan
kami juga berharap setelah membaca makalah ini,kami berharap kita
menjadi lebih tahu dan lebih faham tentang Hidrasi/Alimentasi (Anoreksia,

36
Dehidrasi, Cachexia) Pada Ca. Kolon dan Manajemen Keperawatan. Dan
yang paling penting kita bisa mengaplikasikan ilmu ini dalam kahidupan.
1. Bagi mahasiswa meningkatkan kualitas belajar dan memperbanyak
literatur dalam pembuatan makalah agar dapat membuat makalah yang
baik dan benar.
2. Bagi pendidik agar dapat memberikan bimbingan yang lebih baik dalam
pembuatan makalah selanjutnya.
3. Bagi kesehatan memberikan pengetahuan kepada mahasiswa kesehatan
khususnya untuk mahasiswa keperawatan agar mengetahui pada pasien
kanker paru dalam hal ini meliputi pengertian, etiologi, patofisiologi,
manifestasi klinis, pemeriksaan diagnostik penatalaksanaan serta asuhan
keperawatan pada pasien kanker paru.

37
DAFTAR PUSTAKA

Harsal, A., 2009. Penatalaksanaan Pasien Kanker Terminal dan Perawatan di


Rumah Hospis. Dalam: Sudoyo A.W., B. Setiyohadi, I. Alwi, dan
M.Simadibrata K., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi
V. Interna Publishing : Jakarta.

Hanafi, A. Riswandi., Elisna Syahruddin. 2013. Antibody Monoklonal dan


Aplikasinya pada Terapi Target (Targeted Therap) Kanker Paru. Jakarta:
FKUI-RS Persahabatan.

La Rangki.2014. Jurnal Pengalaman Hidup Pasien Stoma Pascakolostomi. Volume


2 Nomor 2. Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran.

M. Hidayat Budi Kusumo dan P. Budiono. 2016. Perbedaan Visual Analogue


Score (VAS) antara Prosedur Reseksi Laparaskopik dengan Laparotomi
pada Penderita Kanker Kolon. Vol 14 No 2. MEDISAINS: Jurnal Ilmiah
Ilmu-ilmu Kesehatan.

Muttaqin, Arif & Kumala Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta Salemba Medika.

Muttaqin, Arif & Kumala Sari. 2013. Gangguan Gastrointestinal : APlikasi


Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika.

Reksodiputro, A. H., 2009. Pengobatan Suportif pada Pasien Kanker. Dalam:


Sudoyo A.W., B. Setiyohadi, I. Alwi, dan M.Simadibrata K., 2009. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Interna Publishing : Jakarta.

Sudoyo, Aru W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi V. Jakarta:
Interna Publishing.

38
Sutrisno, Resti Yulianti, Sitorus, ratna, & Kariasa, I Made. 2016. Analisis Praktik
Residensi Keperawatan Medikal Dedah dengan Pendekatan Teori
Henderson pada Pasien dengan Gangguan Sistem Respirasi:
Tuberculosis dengan Peneumotoraks Spontan Sekunder di RSUP
Persahabatan Jakarta. Yogyakarta: FKUI UMY.

Tarwoto & Wartonah. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia Dan Proses


Keperawatan, Ed 3. Jakarta: Salemba Medika.

Lampiran

Kanker Penyakit Paru AIDS Usia


Obstruksi Kronik Lanjut

- Gangguan Metabolisme - Hiperkatabolis


- Anoreksi
- Efek Psikologi me
- Depresi
- Produksi sitokin oleh makrofag - Obat obatan
- Obat-obatan
- Disfungsi otonomik - Anoreksia
- Infeksi
- Penurunan pengosongan - Efek
- Berbagai
lambung penggunaan
masalah
- Efek terapi kemoterapi, radiasi, energi
gastrointestinal
bedah

39
Kaheksia

Anoreksia, penurunan
berat badan, hilangnya
massa otot, perubahan
metabolism,
ketidakseimbangan
elektrolit dan anemia

Respon Nyeri abdomen kehilangan berat badan Kelebihan


Psikologi dihubungkan dengan otot asupan cairan

Ketidakmampuan Cidera Biologis


Gangguan Fungsi Kelebihan
menelan makanan Diafragma volume cairan
Nyeri Akut
Penambahan suara
Ketidakseimbangan
nafas (ronkhi)
nutrisi kurang dari
kebutuhan

Ketidakefektifan
jalan nafas

40

Anda mungkin juga menyukai